BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keseluruhan aktivitas organisasi—baik yang berada di sektor komersil
maupun publik—tidak bisa lepas dari pengelolaan reputasi. Reputasi tidak bisa
diciptakan sendiri oleh organisasi dan bergantung pada pihak di luar kontrol
langsung organisasi yakni stakeholder. Pada jurnal Leuven dan Mak, Fombrun1
mendefinisikan reputasi sebagai hasil sekumpulan tindakan organisasi dalam
memenuhi ekspektasi stakeholder. Dedikasi dan jangka waktu yang panjang
dibutuhkan untuk membangun reputasi, oleh karena itu pengelolaan reputasi
berkaitan erat dengan pengelolaan komunikasi antara organisasi dengan
stakeholder. Kualitas hubungan antara organisasi dengan stakeholder diuji dengan
adanya kejadian tidak terduga yang mengganggu aktivitas organisasi tersebut.
Ancaman pada reputasi organisasi muncul sebagai konsekuensi dari tindakan
organisasi yang tidak sesuai dengan ekspektasi stakeholder. Peristiwa
penangkapan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto menghasilkan tantangan-
tantangan yang memerlukan pengelolaan manajemen komunikasi yang tepat
untuk mempertahankan hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
hadapan para stakeholder-nya.
Sejak resmi beroperasi pada tahun 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) telah menyita perhatian masyarakat dengan mengusut kasus-kasus korupsi
yang melibatkan sejumlah tokoh ternama seperti para birokrat, pengusaha, bahkan
sesama aparat penegak hukum. Kecenderungan KPK dalam memanfaatkan
berbagai lini media, khususnya media massa, merupakan salah satu strategi
komunikasi yang membedakan KPK dengan institusi publik lainnya. Hampir
setiap tindakan KPK dalam menginvestigasi dan menangkap tersangka korupsi
1 James K. Van Leuven & Angela K. Y. Mak, (2006). “Reformulating Organizational Identity and Reputation Theory from a Public Relations Vantage Point”. Terarsip dalam http://195.130.87.21:8080/dspace/bitstream/123456789/812/1/Reformulating%20Organizational%20Identity%20and%20Reputation%20Theory%20from%20a%20Public%20Relations%20Vantage%20Point.pdf Diakses pada 18 November 2015
2
selalu diliput oleh media massa. KPK mengaku bahwa ekspos awak pers
digunakan sebagai salah satu alat “promosi” terbesar dalam upaya pencegahan
korupsi2. Selain memiliki wewenang dalam menggunakan metode-metode khusus
untuk memberantas korupsi, KPK juga giat melaksanakan berbagai kampanye dan
sosialisasi sebagai bentuk pencegahan tindak pidana korupsi. Usaha keras KPK
dalam memberantas kasus korupsi sekaligus meningkatkan awareness masyarakat
terhadap bahaya korupsi telah menciptakan citra dan reputasi yang sangat kuat di
kalangan masyarakat Indonesia. Buah dari konsistensi KPK dalam menjalankan
visi dan misi organisasinya tercermin pada survei Indo Barometer yang
dilaksanakan pada 14-22 Oktober 2015—KPK menempati posisi puncak sebagai
lembaga publik dengan tingkat kepercayaan publik paling tinggi (82%) 3 ,
mengungguli Tentara Nasional Indoneisa (81%) dan Presiden (78,6%)4.
Pemeliharaan hubungan yang baik dengan seluruh stakeholder merupakan
hal penting bagi kelangsungan aktivitas organisasi. Dalam menjalankan visi dan
misinya memberantas korupsi, KPK berkoordinasi dan supervisi dengan sesama
insitusi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti
pihak kepolisian dan kejaksaan. Meskipun berdiri sebagai lembaga publik yang
independen, KPK menyampaikan laporan secara berkala kepada presiden, DPR,
BPK dan sebagai sebuah lembaga publik, KPK memiliki tanggungjawab tertinggi
kepada publik. Komitmen tersebut dicantumkan langsung oleh KPK melalui situs
resmi mereka5. KPK mengaku bahwa mereka membutuhkan kerjasama dari
semua pihak untuk bisa melakukan pemberantasan dan pencegahan tindak
korupsi6. Pengelolaan komunikasi dengan stakeholder akan menjadi efektif jika
dilakukan secara berkala, terbuka, dua arah. Pemeliharaan hubungan yang baik
dengan seluruh stakeholder akan menghasilkan reputasi yang baik bagi KPK.
2 Rosidah, Amia Luthfia, & Wira Respati, (2012). “Analisis Strategi Integrated Marketing Communication: Studi Kampanye Antikorupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia“ .Terarsip dalam http://marcomm.binus.ac.id/academic-‐journals/analisis-‐strategi-‐integrated-‐marketing-‐communication-‐studi-‐kampanye-‐antikorupsi-‐pada-‐komisi-‐pemberantasan-‐korupsi-‐kpk-‐di-‐indonesia/ Diakses pada 7 November 2015 3Herudin, (10 Oktober 2015) .“Survei: KPK, TNI, dan Presiden Peroleh Kepercayaan Publik Tertinggi”. Kompas.com. Terarsip dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/10/10/09314551/Survei.KPK.TNI.dan.Presiden.Peroleh.Kepercayaan.Publik.Tertinggi Diakses pada 6 Oktober 2015 4 Jakarta Globe, (8 Oktober 2015). “Amid Attempts to Strip Its Powers, KPK Named Indonesia’s Most Trusted Institution.” Terarsip dalam http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/amid-‐attempts-‐strip-‐powers-‐kpk-‐named-‐indonesias-‐trusted-‐institution/ Diakses pada 20 Oktober 2015) 5 Tersedia pada website KPK www.kpk.go.id/id/tentang-‐kpk/sekilas-‐kpk 6 Berdasarkan wawancara dengan fungsional humas KPK, Zulkarnain Meinardy pada 12 Oktober 2015
3
Sepanjang perjalanan organisasi, ada momen-momen tertentu dimana
memiliki hubungan baik dengan para stakeholder sangat menentukan reputasi
organisasi. Adanya peristiwa tidak terduga atau krisis sangat berpotensi untuk
mengubah persepsi stakeholder terhadap organisasi. Secara historis, sudah
beberapa kali terjadi peristiwa tidak terduga menimpa KPK yang berbuntut dari
konflik antara KPK dengan salah satu kelompok stakeholder-nya yakni lembaga
kepolisian. Ketegangan antara dua lembaga penegak hukum yang akrab dengan
sebutan “cicak vs buaya” ini sudah beberapa kali terjadi sepanjang lembaga KPK
berdiri, yakni pada tahun 2009, 2012, dan yang terakhir di tahun 2015. Pada
konflik “cicak vs buaya” jilid 3 yang terjadi di awal tahun 2015 ini wakil ketua
KPK Bambang Widjojanto ditangkap oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia
dengan tuduhan sumpah palsu dan berselang sebulan setelahnya, pemimpin KPK
Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolda Sulawesi Selatan atas
tuduhan pemalsuan dokumen. Tindak penangkapan dua pimpinan KPK ini
mendapat sorotan luar biasa dari media dan menimbulkan berbagai reaksi publik.
Insiden ini menyedot perhatian yang lebih besar seiring dengan berkembangnya
asumsi masyarakat mengenai isu konflik antara KPK dengan aparat kepolisian7
hingga motif kepentingan dari para elit politik 8 . Penangkapan ini juga
menghasilkan putusan presiden untuk mengnonaktifkan dua komisioner KPK
tersebut. Kasus ini pun berkembang menjadi salah satu krisis terbesar yang
melanda KPK dan mengancam reputasi KPK di hadapan para stakeholder-nya.
Untuk mengurangi kerusakan sekaligus mempertahankan reputasi organisasi,
perencanaan serangkaian strategi komunikasi yang melibatkan seluruh
stakeholder menjadi sangat penting.
Pengnonaktifan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sempat
mengakibatkan kekosongan pimpinan dalam struktur organisasi KPK.
Kekosongan pemimpin merupakan suatu hal yang fatal bagi kelangsungan
aktivitas suatu organisasi, terlebih lembaga publik yang dituntut untuk selalu siap
memberikan layanan kepada masyarakat. Untuk mengisi kekosongan pemimpin,
7 BBC Indonesia, (16 Februari 2015). “Kronologi Kasus Budi Gunawan dan Ketegangan Polri”. Terarsip dalam http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk Diakses pada 16 November 2015 8 Dany Permana, (27 Januari 2015). “Ada Motif Kekuasaan Di Balik Kasus KPK vs Polri”. Kompas.com. Terarsip dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/01/27/18211771/Ada.Motif.Kekuasaan.di.Balik.Konflik.KPK.Vs.Polri Diakses pada 16 November 2015
4
presiden telah menunjuk pemimpin sementara agar KPK tetap bisa
melangsungkan aktivitasnya organisasinya. Beberapa keputusan yang diambil
KPK di bawah pimpinan sementara sempat menimbulkan berbagai reaksi keras
dari publik9, menunjukan bahwa organisasi membutuhkan pemimpin tetap yang
kredibel dan dipercaya oleh publik. Selama kurang lebih setengah tahun, KPK
menjalani proses seleksi pimpinan yang diharapkan dapat mengakomodir aspirasi
dan harapan dari seluruh stakeholder. Kondisi tersebut membuat KPK harus
mampu mengkomunikasikan berbagai keputusan organisasi, termasuk keputusan
mengenai struktural pimpinan yang terpilih dengan cara yang tepat kepada seluruh
stakeholder-nya. Adanya struktural pemimpin yang baru dapat dijadikan
momentum untuk mendukung upaya KPK dalam mengembalikan kepercayaan
stakeholder terhadap organisasi.
Penangkapan dua pimpinan KPK juga menyorot hubungan antara KPK
dengan pihak kepolisian. Tindak penangkapan kepada Bambang Wijayanto yang
berselang enam hari setelah KPK mendeklarasikan status tersangka kepada salah
satu petinggi Kepolisian RI sekaligus calon Kapolri saat itu menimbulkan asumsi
bahwa kejadian ini merupakan buntut dari konflik antara kedua lembaga publik
tersebut. Seperti dilansir melalui berbagai media, baik pihak KPK10 maupun
kepolisian 11 membenarkan adanya ketegangan bersamaan dengan peristiwa
penangkapan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Kedua pihak
menyatakan bahwa konflik disinyalir berada di lingkup antar personal KPK
dengan Polri. Indikasi konflik antar anggota bisa berkembang menjadi konflik
yang lebih besar dan memperburuk dampak terhadap reputasi organisasi. Aparat
kepolisian sebagai bagian dari stakeholder memiliki peranan yang penting dalam
menjaga kelangsungan aktivitas organisasi sekaligus reputasi KPK. Insiden ini
telah mengakibatkan rendahnya penilaian publik terhadap kualitas hubungan 9 Danny Permana, (5 Maret 2015). “Publik Pertanyakan Komitmen KPK, Presiden Harus Segera Turun Tangan.” Kompas.com. Terarsip dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/03/05/08020551/Publik.Pertanyakan.Komitmen.KPK.Jokowi.Harus.Segera.Turun.Tangan Diakses pada 30 Oktober 2015 10Icha Rastika, (27 Januari 2015). “Johan Budi: Satu Persatu Pimpinan KPK Dilaporkan ke Bareskrim, Kebetulan atau Disengaja?”. Kompas.com. Terarsip dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/01/27/00051551/Johan.Budi.Satu.Persatu.Pimpinan.KPK.Dilaporkan.ke.Bareskrim.Kebetulan.atau.Disengaja Diakses pada 8 November 2015 11Sabrina Asil, (20 Oktober 2015). “Menurut Kapolri, KPK Masih Rawan Konflik”. Kompas.com. Terarsip dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/10/20/07294531/Menurut.Kapolri.KPK-‐Polri.Masih.Rawan.Konflik Diakses pada 18 November 2015
5
antara kedua lembaga ini12. Perdebatan mengenai konflik “cicak vs buaya” yang
selama ini berkembang di masyarakat mengindikasikan perlu adanya tinjauan
ulang terhadap kualitas hubungan dan bentuk-bentuk komunikasi yang selama ini
dilakukan KPK dengan pihak kepolisian.
Upaya KPK dalam menjalankan aktivitas stakeholder relations berhasil
menciptakan reputasi yang kuat di kalangan masyarakat Indonesia, seperti yang
telah ditunjukan dalam beragam hasil polling dan dukungan di media sosial.
Reputasi kuat yang dimiliki KPK sebagai lembaga publik juga didukung melalui
pemeliharaan hubungan yang baik dengan para stakeholder yang lain, yakni
sesama badan penegak hukum dan aparat pemangku kepentingan negara.
Penangkapan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto atau konflik “cicak vs
buaya” jilid 3 kali ini menimbulkan kekosongan pemimpin sekaligus sorotan
publik terhadap hubungan KPK-Polri berpotensi mengancam reputasi KPK di
hadapan para stakeholder-nya 13 . Manajemen komunikasi yang tepat sebagai
wujud respon KPK terhadap konflik tersebut diharapkan dapat mengembalikan
kepercayaan stakeholder sehingga hubungan antara organisasi dengan stakeholder
bisa tetap terjaga dengan baik. Pengelolaan komunikasi yang dilakukan KPK
melalui stakeholder relations dapat membantu mencegah konflik “cicak vs buaya”
terjadi lagi. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk menggambarkan
keseluruhan proses manajemen komunikasi yang dilakukan KPK dalam
mengelola stakeholder pasca penangkapan Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimana
manajemen komunikasi KPK dalam mengelola stakeholder untuk
mempertahankan reputasi organisasi pasca penangkapan Abraham Samad
12 Hary Siswoyo & Reja Fajri, (8 Oktober 2015). “Survei: Publik Lebih Percaya KPK Ketimbang DPR”. Vivanews. Terarsip dalam http://m.news.viva.co.id/news/read/684702-‐survei-‐-‐publik-‐lebih-‐percaya-‐kpk-‐ketimbang-‐dpr Diakses pada 20 Oktober 2015 13Harian Terbit, (21 September 2015). “ICW Nilai Kinerja KPK Menurun”. Terarsip dalam http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/09/21/42197/25/25/ICW-‐Nilai-‐Kinerja-‐KPK-‐Menurun Diakses pada 26 November 2015
6
dan Bambang Widjojanto?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Untuk mendeskripsikan manajemen komunikasi yang dilakukan KPK
dalam mengelola stakeholder untuk mempertahankan reputasi organisasi
pasca penangkapan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
dan pengetahuan bagi penelitian ilmu komunikasi khususnya di bidang
public relations, stakeholder relations, dan reputation building.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi
praktik kehumasan organisasi sektor publik maupun sektor komersil untuk
mempertahankan reputasi melalui pendekatan stakeholder relations.
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan di
atas, terdapat beberapa kerangka pemikiran yang digunakan peneliti untuk
membantu memahami permasalahan dalam penelitian ini:
1. Manajemen Komunikasi Dalam Aktivitas Kehumasan
Pembinaan dan pemeliharaan hubungan yang saling menguntungkan
antara organisasi dengan publiknya merupakan salah satu fungsi utama unit
kehumasan di suatu organisasi. Dalam menjalankan praktik kehumasan, perangkat
humas tidak bisa berjalan tanpa didukung oleh fungsi manajemen. Hubungan erat
antara manajemen dan komunikasi sendiri disebutkan dalam Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 12.Kep/M.Pan/08/2007 yang
mengatur bahwa aktivitas humas pemerintah merupakan aktivitas lembaga atau
individu yang melakukan fungsi manajemen dalam bidang komunikasi dan
7
informasi kepada publik pemangku kepentingan dan sebaliknya.
Kegiatan manajemen merujuk pada pengelolaan atau penanganan yang
terdiri dari proses-proses pengorganisasian14. Tokoh ahli di bidang manajemen,
George R. Terry, yang menyumbangkan pemikirannya untuk perkembangan ilmu
manajemen telah menggolongkan fungsi manajemen ke dalam beberapa tahapan
sebagai berikut15:
Bagan 1.1 Fungsi Manajemen George R. Terry
Sumber: Rudy, 2005
Jika mengacu pada peraturan pemerintah tentang praktik humas lembaga negara,
maka aktivitas kehumasan yang dilakukan oleh lembaga publik, termasuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan pengelolaan komunikasi atau
informasi antara lembaga kepada publiknya secara terorganisir. Michael Kaye
dalam Primananda16 mengartikan manajemen komunikasi sebagai upaya manusia
atau individu dalam mengelola proses komunikasi melalui penyusunan kerangka
makna dan dengan mengoptimalkan sumber daya komunikasi serta teknologi yang
ada.
Kegiatan manajemen komunikasi yang menjadi ruang lingkup perangkat
humas dapat mengacu pada model-model perencanaan strategis yang berkembang
di dalam bidang ilmu public relations. Pendekatan yang bisa digunakan dalam
mengoperasikan manajemen komunikasi adalah Perencanaan Strategis Public
Relations yang dikemukakan oleh Scott M. Cutlip. Cutlip mengungkapkan bahwa
proses perencanaan strategis public relations terdiri dari empat tahapan, di
14 I. Gusti Ngurah Putra, Manajemen Hubungan Masyarakat (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008) hal.10 15 George R. Terry, “Principles of Management”, cited in R. Satya Raju & A. Parthasarathy, Management: Text and Cases (New Delhi: PHI Learning Private Limited, 2009) hal. 132 16 Michael Kaye, ”Communication Management”, cited in Alia Primananda, Manajemen Komunikasi Dalam Konteks Internasional dan Antarbudaya: Studi Kasus Manajemen Komunikasi Unit Investor Relations PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dalam Memenuhi Kebutuhan Informasi Stakeholder Asing di NYSE (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, 2014) hal. 17
8
antaranya17:
1. Mendefinisikan masalah (research-listening)
Langkah pertama ini mencakup penyelidikan dan pemantauan pengetahuan,
opini, sikap, dan perilaku kelompok yang peduli dan terpengaruh oleh
tindakan dan kebijakan organisasi. Langkah ini memerlukan analisis rinci atas
faktor internal dan eksternal dalam suatu masalah atau situasi yang tengah
dihadapi organisasi. Analisis tersebut digunakan untuk mengetahui
kekuatan/strength (S) dan kelemahan/weakness (W) yang dimiliki organisasi,
dan untuk mengidentifikasi peluang/opportunity (O), dan ancaman/threat (T)
yang berasal dari lingkungan eksternal organisasi.
2. Membuat rencana dan program (planning-decision making)
Informasi yang terkumpul pada langkah pertama digunakan dalam proses
selanjutnya yang membahas publik program, tujuan, tindakan, serta strategi,
taktik, dan tujuan komunikasi. Dalam proses ini, organisasi juga perlu
menetapkan tingkat hasil yang akan dicapai (konsekuensi, akibat, dampak)
oleh program dan kegiatan public relations. Penetapan hasil akan membantu
organisasi dalam memilih strategi, memantau kinerja dan kemajuan, serta
mengevaluasi keefektifan program. Sebagian besar organisasi biasanya
beroperasi berdasarkan manajemen oleh sasaran (management by objectives
atau MBO) atau dengan istilah lain manajemen menurut tujuan dan hasil
(management by objectives and results atau MOR). MBO secara sistematis
mengaplikasikan teknik-teknik manajemen yang efektif untuk menjalankan
organisasi. MBO beroperasi dengan dua tingkat hasil, yaitu tujuan dan
sasaran. Tujuan (goal) adalah pernyataan ringkas yang menyebutkan
keseluruhan hasil dari suatu program. Sasaran (objective) adalah hasil
pengetahuan spesifik, opini tertentu, dan perilaku spesifik yang hendak dicapai
untuk masing-masing publik sasaran yang telah didefinisikan dengan jelas.
3. Bertindak dan berkomunikasi (communication-action)
Langkah ketiga mencakup pelaksanaan program tindakan dan komunikasi
yang dirancang untuk mencapai tujuan spesifik bagi setiap publik demi
mencapai tujuan program. Seluruh program public relations yang
17 Scott M. Cutlip, & Allen H. Center, Effective Public Relations (5th Eds). (New Jersey: Prentice-‐Hall, 1982) hal. 138
9
dilaksanakan harus memiliki tujuh unsur C di dalam komunikasi public
relations, yakni kredibilitas (credibility), konteks (context) , isi (content),
kejelasan (clarity), kesinambungan dan kekonsistenan (continuity and
consistency), saluran (channel), dan kesanggupan khalayak (capability of the
audience)18.
4. Mengevaluasi program (evaluation)
Langkah yang terakhir mencakup penilaian dari mulai proses persiapan,
pelaksanaan, dan hasil pelaksanaan program. Saat program sedang
dilaksanakan, dibuat penyesuaian berdasarkan evaluasi umpan balik tentang
bagaimana program berjalan atau tidak berjalan. Evaluasi merupakan proses
yang terus-menerus dan penting dilaksanakan. Dalam analisis terakhir,
evaluasi program melibatkan banyak pengetahuan di luar teknik riset ilmiah.
Prinsip dalam praktik adalah mengumpulkam bukti terbaik yang tersedia
untuk mengelola dan mengevaluasi program public relations.
Terdapat berbagai langkah-langkah atau model perencanaan strategis public
relations yang dapat diadopsi dalam menjalankan manajemen komunikasi, namun
model-model tersebut secara umum melibatkan keseluruhan proses yang relatif
sama yakni penelitian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi19. Kemudian,
Broom dan Dozier20 melihat bahwa manajemen komunikasi menekankan pada
perencanaan strategis humas di mana program komunikasi terdiri dari dua faktor
utama, yakni 1) Strategi Pesan dan 2) Strategi Media. Berikut adalah bagan
sederhana yang diperkenalkan oleh Broom dan Dozier 21 setelah mengolah
kembali proses perencanaan strategis Cutlip:
Tabel 1.1 Proses Perencanaan Strategis Public Relations Cutlip
No 4 Langkah Proses Public
Relations
Langkah-Langkah Proses Perencanaan
Strategis Public Relations dan Garis Besar
Program
18 Ibid., hal. 209 19 Putra, op.cit., hal. 56 20 Ibid., hal. 57 21 Ibid., hal. 58
10
1 Menentukan masalah
(Penelitian)
(Masalah dan peluang)
1. Problem
2. Analisis Situasi: informasi latar
belakang-data-bukti
• faktor/kekuatan dalam
• faktor/kekuatan luar
2 Perencanaan dan program
(Perencanaan)
(Sasaran-sasaran dan Tujuan)
3. Sasaran Program
4. Publik-publik
• Siapa yang terlibat/terpengaruh?
• Bagaimana
keterlibatan/keterpengaruhan mereka?
5. Tujuan program : untuk masing-
masing publik
3 Bertindak dan berkomunikasi
(Pelaksanaan)
(Implementasi)
6. Program Tindakan : untuk masing-
masing publik
7. Program Komunikasi: untuk
masing-masing publik
• Strategi pesan
• Strategi media
8. Rencana Pelaksanaan Program
• Pembagian tanggung jawab
• Penjadwalan
• Anggaran
4 Mengevaluasi program
(Evaluasi dan hasil)
9. Rencana Evaluasi
10. Umpan Balik dan Penyesuaian
Program
Sumber: Broom & Dozier, 1990.
Dalam upaya menyebarkan informasi dan membina hubungan yang baik
dengan masyarakat, lembaga publik melakukan serangkaian aktivitas kehumasan
yang tidak jauh berbeda dengan lembaga swasta. Peristiwa “cicak vs buaya” jilid
3 yang menimpa KPK di awal tahun 2015 menimbulkan sejumlah reaksi publik.
Perangkat humas KPK dituntut untuk mampu merespon berbagai reaksi publik
11
dengan mengupayakan program komunikasi yang dirancang secara strategis untuk
memastikan bahwa pesan yang disampaikan kepada publik bisa diterima dengan
efektif serta media yang digunakan tepat sasaran. Manajemen komunikasi sebagai
bagian dari aktivitas kehumasan menjadi penting diterapkan oleh humas KPK
karena pengelolaan manajemen komunikasi berkaitan erat dengan upaya
memenuhi kebutuhan informasi publik dengan memanfaatkan segala sumber daya
yang ada. Pelaksanaan manajemen komunikasi dapat membantu fungsi humas
KPK dalam menyusun respon komunikasi yang tepat terhadap berbagai reaksi
publik akibat peristiwa konflik “cicak vs buaya" jilid 3 ini. Kemudian, model-
model perencanaan strategis public relations yang sudah ada dapat dipadukan dan
diadopsi oleh perangkat humas KPK dapat menjalankan kegiatan manajemen
komunikasi kepada para stakeholder organisasi.
2. Pengelolaan Komunikasi dengan Stakeholder
Peneliti memahami bahwa keberadaan kelompok berkepentingan
(stakeholder) yang tidak bisa dilepaskan dengan keseluruhan aktivitas organisasi
memunculkan pentingnya humas dalam organisasi. Hal ini didasari oleh
pernyataan Grunig dan Hunt yang berbunyi, “If the organization has no
consequences upon other systems in its environment and if those systems have no
consequences upon the organization, there is no need for public relations,”22
(apabila organisasi tidak memiliki konsekuensi terhadap lingkungannya dan
lingkungannya tidak memiliki konsekuensi terhadap organisasi, maka humas tidak
akan diperlukan). Dalam pernyataan tersebut, Grunig dan Hunt menggarisbawahi
adanya dampak dan konsekuensi antara organisasi dengan lingkungannya.
Keterkaitan antara organisasi dengan lingkungannya tersebut menjadi pegangan
bagi praktisi humas dalam melaksanakan aktivitas kehumasan, termasuk dalam
upaya menciptakan komunikasi dua arah dengan stakeholder. Terdapat beberapa
penjelasan yang bisa digunakan untuk mengartikan entitas stakeholder, seperti
“any human or nonhuman actor who influences and is influenced by
22 James E. Grunig & Todd Hunt, ”Managing Public Relations”, cited in Rachmat Kriyantono, Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal: Aplikasi Penelitian dan Praktik (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2014) hal 59.
12
organization”23 (setiap manusia atau non-manusia yang memiliki pengaruh dan
dipengaruhi organisasi), “any group that can be affect or be affected by the
behavior of organization,”24 (kelompok yang bisa memberi dampak atau terkena
dampak dari tindakan organisasi). Stakeholder juga dapat dimaknai sebagai
individu, kelompok, atau organisasi yang memiliki beragam kepentingan terhadap
organisasi.
Karakteristik lembaga publik yang berorientasi pada pelayanan publik
tidak bisa berjalan secara optimal apabila tidak diiringi dengan pemeliharaan
komunikasi yang baik dengan masyarakat dan para stakeholder yang lain. Oleh
karena itu, aktivitas-aktivitas kehumasan yang dilakukan oleh lembaga publik
menekankan pada upaya menyebarkan berbagai informasi kepada masyarakat atau
menyediakan informasi bagi seluruh stakeholder. Gani 25 mengidentifikasikan
aktivitas yang dilakukan humas di lembaga pemerintah secara regular atau
melalui program-program humas pemerintah sebagai berikut :
1. Menyediakan dan memberikan informasi kepada masyarakat dan
stakeholders semua kegiatan pemerintah yang akan dan sedang
dilaksanakan
2. Berkomunikasi dengan masyarakat untuk memperoleh dukungan dan
partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kebjakan publik serta menjalin
hubungan baik dengan stakeholders seluas-luasnya.
3. Integralisasi dan harmonisasi antara institusi atau humas dapat sebagai
mediasi antara institusi di daerah.
4. Mengidentifikasi opini stakeholders baik lokal, regional, nasional, bahkan
internasional, sebagai peringatan awal untuk mengantisipasi perubahan-
perubahan di luar, yang sekiranya berhubungan dengan pemerintahan dan
mengambil langkah strategis. Point ini semakin penting khususnya humas
pemerintah di daerah-daerah rawan konflik atau daerah-daerah yang
melaksanakan otonomi khusus
5. Pekerjaan-pekerjaan teknis sebagai management support pada organisasi
pemerintah dan sebagainya. 23 Ibid., hal. 61 24 Ibid., hal 62 25 Prita Kemal Gani, (2012). “Kemitraan Antara Pemangku Kepentingan dan Humas Pemerintah dalam Diseminasi Informasi”. Terarsip dalam http://web.kominfo.go.id/sites/default/files/PERHUMAS.pdf Diakses pada 7 Desember, 2015
13
Dalam menentukan langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan untuk membina
hubungan baik dengan stakeholder, organisasi bisa mengacu pada stakeholder
theory. Teori yang pertama kali digagas oleh R. Edward Freeman 26 ini
memberikan perhatian pada konsep tentang keberadaan kelompok yang memiliki
resiko dipengaruhi atau juga berpotensi memengaruhi aktivitas organisasi. Secara
sederhana, teori stakeholder menawarkan dua tindakan yang sebaiknya dilakukan
humas dalam menjalin komunikasi dengan stakeholder, yakni mengidentifikasi
stakeholder dan menganalisis peran organisasi dalam relasi dengan stakeholder27.
Proses identifikasi stakeholder akan mempermudah lembaga publik untuk
mencapai kesepahaman (mutual understanding) dengan stakeholder. Hal ini
khususnya berkaitan dengan jumlah dan kompleksitas stakeholder yang dimiliki
oleh lembaga publik berbeda dengan lembaga swasta. Stakeholder dalam
lingkungan organisasi publik tidak hanya masyarakat sesuai kewenangan dan
fungsi pokok lembaga publik tersebut, namun juga sekelompok individu yang
berpotensi terkena dampak dari suatu kebijakan yang telah diambil organisasi.
Setiap keputusan yang diambil oleh lembaga publik umumnya memiliki pengaruh
pada aspek sosial yang lebih luas dibanding dengan lembaga swasta.
Dalam melakukan aktivitas komunikasi, organisasi perlu mengetahui dan
memahami khalayak yang akan disasar agar pesan yang disampaikan bisa
diterima secara efektif. Oleh karena itu, lembaga publik perlu memperhatikan dan
menyadari keberadaan sekelompok individu atau stakeholder yang paling
berpotensi untuk terkena dampak dan menimbulkan reaksi tertentu kepada
organisasi. Pada awal pengembangan teori stakeholder, Freeman menawarkan
cara untuk mengenali stakeholder dengan memprioritaskan atribut (attributes),
yakni kepentingan mereka dalam dalam organisasi dan tingkat pengaruh mereka
terhadap organisasi. Freeman mengelompokkan stakeholder menjadi eksternal
stakeholders dan internal stakeholders. Tipologi stakeholder berdasarkan atribut
(attributes) semakin diperjelas oleh Mitchell, Agle, dan Wood yang menghasilkan
tipologi stakeholder dengan yang melihat atribut kuasa (power) dalam
memengaruhi organisasi, legitimasi (legitimacy) hubungan dengan organisasi, dan
26 Krisyantono,op.cit., hal.66 27 Ibid., hal.63
14
urgensi (urgency) atas klaim mereka28. Upaya memetakan stakeholder telah
banyak dibahas dalam pengembangan teori stakeholder, namun selalu berfokus
pada atribut yang dimiliki stakeholder dan implikasinya terhadap organisasi.
Kajian dan riset mengenai stakeholder juga umumnya dilakukan dalam ranah
organisasi swasta, oleh karena itu humas lembaga publik harus memerhatikan
pendekatan yang paling tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan
organisasinya. Sebagai organisasi publik yang memiliki kondisi lingkungan
organisasi yang berbeda dengan lembaga swasta, akan lebih tepat bagi humas
lembaga publik untuk mengidentifikasi seluruh stakeholder sebelum
mengklasifikasikan mereka berdasarkan atribut. Humas lembaga publik dapat
menggunakan model linkages yang memberikan perhatian pada koneksi yang
dimiliki oleh setiap organisasi dengan lingkungannya. Grunig dan Hunt 29
mengembangkan model Key Linkages yang berusaha mengidentifikasi
stakeholder berdasarkan koneksi-koneksi yang kemungkinan dimiliki organisasi,
yaitu:
a. Enabling Linkages –Mengidentifikasi stakeholder yang memiliki otoritas
dan kontrol terhadap penyediaan sumber daya bagi organisasi sehingga
organisasi bisa tetap beroperasi.
b. Functional Linkages—Mengidentifikasi stakeholder yang penting bagi
fungsi organisasi karena memiliki kemampuan menyediakan input dan
ouput bagi organisasi.
c. Normative Linkages—Mengidentifikasi stakeholder yang memiliki
masalah yang sama atau berbagi nilai, kepentingan, tujuan yang sama
dengan organisasi.
d. Diffused Linkages—Mengidentifikasi stakeholder yang terlibat atau
terkait.
Pemeliharaan hubungan yang baik dengan seluruh stakeholder sebagai
bagian dari aktivitas kehumasan lembaga publik disampaikan melalui Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 109/M.PAN/11/2005.
Dalam peraturan tersebut, tugas pranata humas pemerintah meliputi perencanaan
pelayanan informasi dan kehumasan, pelayanan informasi hubungan 28 Ibid., hal.68 29 Ibid., hal. 66
15
kelembagaan, hubungan personil, dan pengembangan pelayanan informasi dan
kehumasan. Humas lembaga publik bertanggungjawab dalam pengelolaan
komunikasi antara organisasi dengan masyarakat dan seluruh stakeholder-nya.
Yang perlu diperhatikan adalah dampak dan konsekuensi dari setiap tindakan
organisasi publik cenderung memengaruhi aspek sosial yang lebih luas dibanding
dengan organisasi swasta. Dengan demikian, lembaga publik memerlukan
pendekatan yang lebih mendalam ketika membangun relasi dengan para
stakeholder tersebut. Proses identifikasi stakeholder diharapkan bisa memberi
pengetahuan tentang kebutuhan dan harapan para stakeholder sehingga dapat
tercapai hubungan yang didasari oleh mutual understanding antara lembaga
publik dengan para stakeholder-nya.
3. Aktivitas Kehumasan dalam Upaya Membangun Reputasi Organisasi
Pencapaian reputasi organisasi didukung oleh serangkaian aktivitas
kehumasan yang dijalankan organisasi tersebut. Institute of Public Relations30
menjelaskan peran humas dalam menciptakan serta membangun reputasi
organisasi melalui definisi sebagai berikut, “public relations is about reputation
the result of what you do, what you say, what other says about you” (humas
adalah mengenai reputasi yaitu hasil dari apa yang anda lakukan, apa yang anda
katakan, dan apa yang orang lain katakan tentang anda). Upaya membentuk
reputasi bagi lembaganya masing-masing merupakan bagian dari pekerjaan
humas. Humas lembaga publik akan berupaya membangun reputasi yang baik di
hadapan publik. Penelitian yang dilakukan oleh Andreassen dalam jurnal Silva
dan Batista, mengungkapkan bahwa reputasi pemerintah adalah penentu utama
loyalitas publik31. Philip J. Kitchen32 mengungkapkan bahwa reputasi perusahaan
atau organisasi dipengaruhi oleh pengalaman masyarakat mengenai perusahaan
30 Anne Gregory, The Art & Science of PR: Planning & Managing a PR Campaign Vol.2 (New Delhi: Crest Publishing House, 2000) hal. 15 31Rui Da Silva & Luciano Batista, (2007). “Boosting Government Reputation Through CRM”, Journal of Public Sector Management, vol. 20, no.7, 59. Tearsip dalam http://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/09513550710823506 Diakses pada 1 November 2015 32 Philip J. Kitchen, “PR: Principles & Practice”, cited in Wahyu Dwi Kusumawandani, Pengaruh Kualitas Pelayanan Pada Reputasi Lembaga: Studi Pada Tenaga Kerja Indonesia di Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta Depok terhadap Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2012) hal. 28
16
dan produknya, bagaimana penampilan perusahaan, serta bagaimana orang lain
dan media membicarakan mengenai perusahaan-sekumpulan cerita dari
masyarakat mengenai perusahaan. Reputasi yang baik dapat memperlancar
berbagai bentuk pelayanan publik dari lembaga publik kepada masyarakat.
Fombrum dan Riel dalam jurnal Klaavu33 menyatakan bahwa reputasi
adalah penilaian stakeholder organisasi terhadap keseluruhan organisasi. Segala
aktivitas yang dilakukan organisasi harus dikomunikasikan dengan tepat kepada
seluruh stakeholder. Hal ini dilakukan agar seluruh stakeholder mengetahui dan
memahami perilaku dan kinerja organisasi. Dengan demikian, stakeholder dapat
mengevaluasi apakah organisasi telah memenuhi ekspektasi mereka atau tidak.
Kemampuan memenuhi ekspektasi stakeholder serta upaya dalam
mengkomunikasikan pencapaian tersebut menentukan baik atau buruknya reputasi
suatu organisasi. Seperti yang diulas oleh Doorley dan Garcia 34 mengenai
pemetaan reputasi yang ditulis dalam rumus sebagai berikut:
Bagan 1.2 Pemetaan Reputasi Doorley dan Garcia
Sumber: Doorley & Garcia, 2011.
Formula di atas menjelaskan bahwa pembentukan reputasi merupakan
proses yang kumulatif. Doorley dan Garcia mengilustrasikan apabila sebuah
perusahaan tidak sengaja mengeluarkan produk yang gagal, kesalahan tersebut
tidak bisa diperbaiki hanya dengan meminta maaf melalui press conference35.
Upaya komunikasi saja tidak cukup untuk memperbaiki kesalahan yang telah
dilakukan oleh organisasi di mata para stakeholder-nya. Reputasi organisasi
dibangun melalui kinerja, perilaku, dan komunikasi, oleh karena itu reputasi
organisasi hanya bisa diperbaiki dengan mengupayakan tiga aspek tersebut. 33 Marita Klaavu, (2009). “Company Reputation and Image Analysis: Case: Game Central”. Terarsip dalam https://www.theseus.fi/bitstream/handle/10024/2585/Klaavu_Marita.pdf?sequence=1 Diakses pada 8 Desember 2015 34John Doorley & Helio Fred Garcia, Reputation Management: The Key to Successful Public Relations and Corporate Communication (Oxon: Taylor & Francis, 2011) hal 18. 35 Ibid., hal. 15
Reputasi = Sejumlah Citra = Perilaku+Kinerja+Komunikasi
17
Berkowitz dalam Doorley dan Garcia36 menyebutkan bahwa langkah
penting dalam pembentukan reputasi organisasi adalah membangun dan
memelihara hubungan baik dengan para konstituen atau pemangku kepentingan.
Pembinaan hubungan baik tersebut tentunya didukung melalui aktivitas
komunikasi, yang harus berjalan sesuai dan konsisten dengan perilaku dan kinerja
organisasi. Apabila proses tersebut tidak berjalan beriringan, maka kegiatan
komunikasi yang dilakukan akan menjadi pencitraan semu atau bahkan
kebohongan publik. Dengan demikian, peneliti akan menggarisbawahi bahwa
penelitian ini berfokus pada upaya komunikasi yang dilakukan oleh KPK melalui
aktivitas kehumasan dalam rangka mempertahankan reputasi organisasinya pasca
penangkapan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Secara garis besar, dapat ditarik dari definisi reputasi yaitu adanya
keterlibatan stakeholder dan aktivitas organisasi. Reputasi diperoleh berdasarkan
kinerja dan bentuk komunikasi yang dilakukan oleh organisasi. Passow dalam
jurnal Silva dan Batista37 menemukan banyak kesamaan dalam upaya peningkatan
reputasi yang dilakukan institusi pemerintah dan institusi swasta, yakni melalui
sumber daya serta perilaku pendukung, adanya visi dan konsep organisasi yang
strategis, serta mementingkan tanggung jawab sosial organisasi yang lebih besar.
Temuan tersebut mengindikasikan bahwa secara umum, lembaga
pemerintah/publik mengikuti alur logika yang sama dengan lembaga swasta dalam
meningkatkan reputasi organisasinya. Meskipun begitu, humas lembaga publik
perlu menyadari sifat dan jenis lembaganya dalam merancang aktivitas
kehumasan yang tepat untuk membangun reputasi organisasi. Gelders, Bouckaert,
dan van Ruler 38 mengidentifikasikan empat hambatan yang mempersulit
pengelolaan reputasi di lembaga publik dibanding lembaga swasta, di antaranya
(a) lingkungan yang lebih kompleks dan tidak stabil, (b) adanya batasan legal
maupun formal, (c) terikat dengan presedur yang lebih kaku, (d) kompleksitas
dalam produk dan tujuan yang ingin diraih. Beberapa hambatan tersebut harus
diperhatikan oleh humas lembaga publik dalam mengkomunikasikan kinerja
36 Ibid., hal. 10 37 Silva & Batista, op. cit., hal 595 38 Dave Gelders, Geert Bouckaert, & Betteke van Ruler, “Communications Management in the Public Sector: Consequences for Public Communication about Policy Intentions”, cited in Chiara Valentini, Political Public Relations in the European Union: EU Reputation and Relationship Management Under Scrutiny (Public Relations Journal, vol. 7, no.4, 2013) hal. 3
18
organisasi kepada para stakeholder sehingga dapat tercipta reputasi organisasi
yang baik.
4. Pengelolaan Komunikasi Stakeholder dalam Pembentukan Reputasi Organisasi
Reputasi merupakan suatu aset tak terlihat (intangible asset) yang harus
dimiliki setiap organisasi. Pekerjaan public relations bermuara pada pembentukan
reputasi organisasi. Reputasi organisasi sangat bergantung pada penilaian
stakeholder, maka menjadi tugas humas untuk memastikan adanya hubungan baik
antara organisasi dengan seluruh stakeholder-nya. Sejumlah premis yang
diungkapkan Cornelissen dan Thorpe dapat membantu humas untuk memahami
lebih dalam mengenai peran stakeholder dalam pembentukan reputasi
organisasi39:
a. Reputasi adalah konstruksi persepsi stakeholder berdasarkan sejumlah
sinyal dan pesan yang diterima melalui pengalaman langsung maupun
perantara tertentu (media, pendapat profesional).
b. Reputasi adalah fenomena stakeholder (stakeholder phenomenon). Hal ini
menjelaskan bahwa pembentukan reputasi bersifat non-monolistik—faktor
yang menjadi penentu reputasi akan berbeda di antara stakeholders, yang
mengakibatkan reputasi organisasi bagi satu kelompok stakeholder akan
berbeda dengan kelompok stakeholder yang lain.
c. Reputasi akan terus berkembang dari waktu ke waktu berdasarkan
penilaian stakeholder.
Salah satu premis yang dituliskan di atas berisi bahwa pembentukan
reputasi organisasi bergantung pada penilaian beragam kelompok stakeholder.
Berbagai opini dan persepsi kelompok stakeholder terhadap organisasi dapat
memunculkan lebih dari satu reputasi organisasi, yakni dengan melihat reputasi
organisasi berdasarkan kelompok stakeholder secara spesifik (stakeholder specific
reputations). Perbedaan reputasi di antara kelompok stakeholder tersebut
merupakan dampak dari perbedaan sinyal dan pesan yang diterima oleh
stakeholder. Dalam melakukan kegiatan komunikasi dengan para stakeholder,
39 Joep Cornelissen & Richard Thorpe, “Measuring a Business School's Reputation: Perspectives, Problems and Prospects”, European Management Journal, vol. 20, no. 2 (May, 2002) hal. 172-‐178
19
humas juga harus memperhatikan hubungan antar kelompok stakeholder yang
berdampak pada reputasi organisasi. Stakeholder-network perspective berasal dari
sudut pandang sosiologis yang melihat stakeholder sebagai subjek sosial yang
dapat memengaruhi persepsi satu sama lain40. Secara garis besar, humas harus
menyadari dampak yang ditimbulkan oleh keragaman stakeholder, khususnya
terhadap pembentukan reputasi organisasi.
Studi Tuck 41 terhadap reputasi perusahaan di industri pertambangan
Australia menghasilkan sebuah model yang dinamakan stakeholder model of
reputation formation. Model yang dikembangkan dengan mengikuti premis-
premis Cornelissen dan Thorpe ini ditunjukan untuk menggambarkan keragaman
kelompok stakeholder, bersamaan dengan faktor-faktor lain seperti reputasi
industri dan media, memengaruhi pembentukan reputasi perusahaaan. Tuck
memberi gambaran bagaimana suatu kelompok stakeholder membentuk reputasi
awal atau meninjau kembali reputasi perusahaan yang sudah ada dengan
menggabungkan berbagai sinyal dan pesan yang diterima. Dalam jurnalnya, Tuck
menulis bahwa aktivitas organisasi, aktivitas industri—aktivitas perusahaan lain
yang berada di satu lini industri—reputasi industri, serta tindakan kelompok
stakeholder lain terhadap perusahaan, membentuk serangkaian impresi karena
dialami langsung oleh stakeholder. Selain melakukan penilaian langsung,
stakeholder juga akan meninjau secara tidak langsung melalui media dan laporan
perusahaan. Meskipun stakeholder model of reputation formation yang
dikembangkan oleh Tuck berasal dari hasil penelitian yang dilakukan pada
perusahaan swasta, humas lembaga publik dapat menggunakan model ini dalam
upaya membangun reputasi lembaganya. Jenis dan sifat lembaga publik yang
bertujuan untuk melayani seluruh lapisan masyakat berdampak pada kompleksitas
dan jumlah stakeholder yang harus ditangani oleh humas lembaga publik. Dengan
demikian, penting bagi humas untuk memahami pengelolaan komunikasi yang
efektif dengan beragam stakeholder karena akan berpengaruh pada reputasi
40 Stefania Romenti, (2010). “Reputation and Stakeholder Management: an Italian Case Study”, Journal of Communication Management, vol. 14, 306-‐3018. Terarsip dalam http://kastoria.teikoz.gr/prmarketingmaster/PublicRelationsStrategies/files/2012/12/12-‐2010_Reput-‐Managt_Reputation-‐and-‐stakeholder-‐engagement-‐Italian-‐case.pdf Diakses pada 27 Desember 2015 41 Jacqualine Tuck, (2012). “A Stakeholder Model of Reputation: the Australian Mining Industry”, The Business School Working Paper Series, vol. 2, 3-‐5. Terarsip dalam https://federation.edu.au/__data/assets/pdf_file/0017/75023/A-‐Stakeholder-‐Model-‐of-‐Reputation-‐The-‐Australian-‐Mining-‐Industry.pdf Diakses pada 25 Oktober 2015
20
organisasi. Secara sederhana, Tuck menggambarkannya dalam bagan sebagai
berikut:
Bagan 1.3 Stakeholder Model of Reputation Formation
Sumber: Tuck, 2012.
Model ini memberikan gambaran tentang faktor-faktor pembentuk reputasi
organisasi di kalangan kelompok stakeholder yang beragam, sehingga dapat
membantu humas lembaga publik untuk menciptakan reputasi organisasi yang
positif di mata seluruh stakeholder-nya. Reputasi organisasi yang baik sangat
penting bagi kelangsungan aktivitas organisasi, khususnya lembaga publik karena
kelancaran pelayanan umum bergantung pada reputasi lembaga publik di mata
masyarakat dan kelompok stakeholder yang lain. Humas lembaga publik juga bisa
memperkirakan tindakan komunikasi yang sesuai untuk mempertahankan reputasi
organisasi yang telah diraih dengan menggunakan stakeholder model of
reputation. Hal yang harus diperhatikan oleh humas lembaga publik adalah
keberadaan industri yang tercantum di dalam model ini. Sebagai lembaga yang
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, aktivitas yang
dilakukan oleh lembaga publik memiliki dampak yang besar pada aspek sosial
masyarakat. Humas lembaga publik bisa mengganti faktor industri dengan
keberadaan faktor masyarakat, seperti reputasi lembaga publik di mata
masyarakat.
21
Reputasi organisasi dibangun melalui kinerja, perilaku, dan komunikasi, oleh
karena itu reputasi organisasi hanya bisa diperbaiki dengan mengupayakan tiga
aspek tersebut.
F. Kerangka Konsep
Berbagai survei dan hasil polling terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) selama ini menunjukan bahwa KPK memiliki tingkat kepercayaan publik
yang tinggi, namun dengan adanya peristiwa penangkapan dua pimpinannya yakni
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, KPK dihadapkan dengan sejumlah
reaksi publik yang berpotensi mengancam reputasi organisasinya. Pada
pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemeliharaan reputasi merupakan
proses kumulatif yang dibangun melalui aspek kinerja, perilaku, dan komunikasi,
sehingga reputasi organisasi hanya bisa diperbaiki dengan mengupayakan tiga
aspek tersebut. Penelitian ini akan berfokus pada pengelolaan manajemen
komunikasi yang dilakukan KPK dalam mengelola stakeholder sebagai upaya
untuk mempertahankan reputasi organisasi.
Manajemen komunikasi dapat membantu KPK untuk mengembalikan
kepercayaan stakeholder sehingga hubungan antara organisasi dengan stakeholder
bisa tetap berjalan dengan baik. Untuk melihat setiap indikator dalam pelaksanaan
manajemen komunikasi yang dilakukan KPK dalam mengelola stakeholder untuk
mempertahankan reputasi organisasinya, peneliti akan mengadopsi konsep
Perencanaan Strategis Public Relations milik Cutlip. Konsep perencanaan
strategis yang digagas oleh Cutlip tersebut merupakan model perencanaan
strategis public relations yang relevan untuk menjelaskan proses manajemen
komunikasi yang dilakukan KPK dalam rangka mempertahankan reputasi
organisasinya pasca konflik “cicak vs buaya” jilid 3 ini. Dalam menentukan
langkah-langkah manajemen komunikasi yang tepat, maka harus menyesuaikan
dengan sifat dan jenis organisasi KPK sebagai lembaga publik serta kondisi publik
yang tengah dihadapi KPK pasca penangkapan dua pimpinannya. Terdapat empat
proses perencanaan strategis public relations Cutlip yang terdiri dari a) penentuan
masalah untuk memahami peluang atau masalah yang dihadapi KPK pasca
penangkapan dua pimpinannya, b) perencanaan dan program yang berisi
22
penyusunan program komunikasi, mekanisme pelaksanaan program,
mengidentifikasi stakeholder yang akan disasar serta tujuan komunikasi yang
ingin dicapai, c) bertindak dan berkomunikasi yang menjelaskan implementasi
dari program dan kegiatan komunikasi yang telah disusun, d) mengevaluasi
program dengan menilai jalannya keseluruhan tahapan untuk mengukur
tercapainya tujuan komunikasi.
Peneliti telah merangkum penjelasan di atas ke dalam sebuah bagan yang
dapat menggambarkan secara rinci konsep penelitian yang menjadi acuan dalam
memahami bagaimana manajemen komunikasi yang dilakukan KPK dalam
mengelola stakeholder sebagai upaya untuk mempertahankan reputasi organisasi.
Berikut adalah bagan kerangka konsep manajemen komunikasi KPK dalam
mengelola stakeholder untuk mempertahankan reputasi organisasi pasca
penangkapan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto:
23
Bagan 1.4 Kerangka Konsep Manajemen Komunikasi KPK dalam Mengelola
Stakeholder untuk Mempertahankan Reputasi Organisasi
.
Perencanaan Strategis Public Relations (Cutlip,1982)
1. Menentukan masalah
2. Perencanaan dan program 3. Bertindak dan berkomunikasi
4. Mengevaluasi program
• memahami masalah dan peluang yang ditimbulkan pasca penangkapan AS & BW
•
• pembuatan rencana program • mengidentifikasi stakeholder yang
akan disasar • menjelaskan mekanisme
pelaksanaan program komunikasi • menentukan tujuan komunikasi
yang ingin dicapai
• implementasi program
• menilai jalannya tahapan-‐tahapan dalam strategi komunikasi
• melihat peran strategi komunikasi dalam memengaruhi pembentukan reputasi
24
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif. Penelitian
kualitatif dipilih karena penelitian ini akan dilakukan berdasarkan kondisi alami di
lapangan untuk menggali informasi tanpa berusaha memengaruhi informan. Melalui
penelitian kualitatif, maka data yang akan dihasilkan adalah data deskriptif berupa
kata-kata tertulis dan lisan42. Sedangkan istilah deskriptif ditujukan untuk membuat
deskripsi sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
atau objek tertentu. Penelitian deskriptif akan memaparkan situasi atau peristiwa,
tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesa atau membuat
prediksi43.
Peneliti membutuhkan metode penelitian sebagai pedoman agar hasil yang
diperoleh fokus kepada tujuan yang hendak dicapai. Terdapat berbagai jenis metode
penelitian yang dapat digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, dan masing-
masing metode diperlukan untuk mampu menjawab penelitian. Peneliti dapat memilih
metode penelitian dengan mempertimbangkan tiga faktor sebagai berikut44: a) tipe
pertanyaan yang diajukan, b) luas kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa
perilaku yang akan diteliti, 3) fokus terhadap peristiwa kontemporer sebagai
kebalikan dari peristiwa historis. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah
yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini diarahkan untuk menjawab
pertanyaan tentang bagaimana suatu proses atau fenomena berkembang dalam sebuah
konteks sosial. Peneliti akan menggambarkan keadaan objek penelitian sesuai dengan
fakta-fakta yang ditemukan di lapangan, sehingga peneliti memiliki sedikit peluang
untuk mengontrol proses atau fenomena tersebut. Studi kasus merupakan metode
penelitian yang cocok digunakan karena pokok pertanyaan dalam pertanyaan ini
berkenaan dengan pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana”, dan berusaha
menyelidiki fenomena kontemporer dimana perilaku yang relevan tidak dapat
dimanipulasi dan belum ada batasan yang jelas antara fenomena dengan konteksnya.45
Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti menggunakan metode studi kasus dengan
42 Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Losdakarya, 2006) hal. 23 43 Ibid., hal. 27 44Robert K. Yin, Studi Kasus Desain dan Metode (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001) hal. 1 45 Ibid. hal. 2
25
memusatkan pada pelaksanaan strategi komunikasi dalam mengelola stakeholder
untuk meningkatkan reputasi organisasi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menjadi langkah yang penting karena menentukan
cara perolehan data atau bukti yang diperlukan dalam penelitian ini. Perolehan data
akan diklasifikan oleh peneliti berdasarkan sumber pengambilannya:
a. Data primer akan diperoleh melalui wawancara terstruktur. Wawancara
dilakukan untuk memperoleh data atau informasi dengan cara langsung
bertatap muka dengan informan untuk mendapat data yang lengkap dan
mendalam. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti menggunakan
panduan wawancara (interview guide) yang diharapkan mampu menggiring
proses wawancara menjadi lebih jelas, fokus, dan sesuai dengan tema
penelitian. Informan yang dipilih dalam proses wawancara merupakan
informan yang benar-benar mengetahui atau terlibat langsung dengan fokus
permasalahan dalam penelitian ini, seperti divisi humas KPK. Untuk
melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, peneliti juga berusaha
untuk bisa memperoleh informasi dari beragam kelompok stakeholder terkait
seperti kepolisian, masyarakat, dan aparatur negara.
b. Data sekunder akan diperoleh melalui tinjauan terhadap dokumen-dokumen
yang tersimpan dalam bentuk press release, artikel media, dan dokumen lain
yang bisa mendukung kelengkapan data primer.
3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian studi kasus, strategi penjodohan pola adalah salah satu
teknik analisis yang paling “dominan” atau paling sering digunakan 46 . Logika
penjodohan pola akan membandingkan suatu pola yang didasarkan atas empiri
dengan pola yang diprediksikan. Jika kedua pola tersebut ada persamaan maka
hasilnya dapat memperkuat validitas internal studi kasus yang bersangkutan. Proses
46 Ibid. hal. 140
26
analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada beberapa tahapan
yang telah dijelaskan oleh Miles dan Huberman dalam Nazir (2003)47 sebagai berikut:
a. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data-data kasar yang
muncul dari data tertulis di lapangan. Tahap reduksi data akan berlangsung
sepanjang proses penelitian dilaksanakan. Pada tahap ini, peneliti akan
mengumpulkan dan menyederhanakan berbagai data yang diperoleh melalui
wawancara dan studi dokumen tentang strategi komunikasi KPK dalam
mengelola stakeholder untuk mempertahankan reputasi organisasi.
b. Penyajian data atau data display merupakan kegiatan penyajian informasi
yang telah dipilih dalam bentuk teks naratif, grafik jarangan, tabel maupun
bagan, yang bertujuan untuk mempertajam pemahaman peneliti sehingga
memungkinkan dapat ditariknya satu kesimpulan penelitian. Pada tahap ini,
peneliti mengkategorisasikan data berdasarkan kerangka teori dan konsep
penelitian untuk kemudian dicari bagaimana kesesuaian polanya dengan
konsep penelitian yang telah dibuat.
c. Pengambilan keputusan dan verifikasi, yang berisi pencarian arti pola-pola,
penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi.
Penarikan kesimpulan dilakukan melalui verifikasi berupa tinjauan ulang pada
data-data yang diperoleh sehingga bisa teruji validitasnya. Data-data yang
telah dikategorisasikan tersebut akan dianalisis dengan melihat kesesuaian
antara konsep yang digunakan dengan bukti-bukti empiris di lapangan,
kemudian disajikan secara sistematis ke dalam bentuk uraian hasil penelitian
dan analisis. Peneliti akan menjadikan data-data yang telah disusun secara
sistematis tersebut sebagai acuan dalam menarik kesimpulan penelitian.
47 Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003) hal. 12