BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara...

33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan merupakan salah satu aspek kehidupan yang secara manusiawi menggerakkan orang dalam aktivitas-aktivitasnya, dan juga menjadi alasan bagi setiap individu untuk berusaha. Oleh karena itu upaya untuk memenuhi kebutuhan juga tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Selama hidup manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan, seperti: makanan, pakaian perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan juga dipengaruhi oleh kebudayaan, lingkungan, waktu, dan agama. Semakin tinggi tingkat kebudayaan suatu masyarakat, semakin tinggi atau banyak pula macam kebutuhan yang harus dipenuhi, termasuk kebutuhan akan sandang (pakaian). Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok, yang berfungsi untuk melindungi tubuh manusia. Melalui pakaian dapat dilihat bagaimana manusia mengekspresikan tentang cara hidupnya, karena pakaian adalah hal yang penting untuk menunjang penampilan. Pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan, karena dengan pakaian manusia dapat memiliki kepercayaan diri di hadapan manusia lainnya. Lebih dari itu, pakaian adalah cermin dari identitas, status hierarki, gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik dan religius (Nordholt, 2005). Dilihat dari tingkatan sosialnya, gaya berpakaian pada masyarakat golongan menengah ke bawah dan golongan menengah ke atas, memiliki gaya

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan merupakan salah satu aspek kehidupan yang secara manusiawi

menggerakkan orang dalam aktivitas-aktivitasnya, dan juga menjadi alasan bagi

setiap individu untuk berusaha. Oleh karena itu upaya untuk memenuhi kebutuhan

juga tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Selama hidup manusia

membutuhkan bermacam-macam kebutuhan, seperti: makanan, pakaian

perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan juga dipengaruhi oleh

kebudayaan, lingkungan, waktu, dan agama. Semakin tinggi tingkat kebudayaan

suatu masyarakat, semakin tinggi atau banyak pula macam kebutuhan yang harus

dipenuhi, termasuk kebutuhan akan sandang (pakaian).

Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok, yang berfungsi untuk

melindungi tubuh manusia. Melalui pakaian dapat dilihat bagaimana manusia

mengekspresikan tentang cara hidupnya, karena pakaian adalah hal yang penting

untuk menunjang penampilan. Pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan, karena

dengan pakaian manusia dapat memiliki kepercayaan diri di hadapan manusia

lainnya. Lebih dari itu, pakaian adalah cermin dari identitas, status hierarki,

gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu.

Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam

pandangan sosial, politik dan religius (Nordholt, 2005).

Dilihat dari tingkatan sosialnya, gaya berpakaian pada masyarakat

golongan menengah ke bawah dan golongan menengah ke atas, memiliki gaya

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

2

berbeda-beda pula. Masyarakat golongan menengah ke atas misalnya, gaya

(fashion) merupakan sesuatu yang amat penting untuk mereka tonjolkan, dan

untuk menunjukkan eksistensi mereka. Salah satunya adalah cara mereka dalam

memilih pakaian yang akan mereka kenakan. Pakaian bermerek, berkualitas dan

memiliki daya jual atau harga yang tinggi, merupakan kriteria mereka dalam

memilih pakaian.

Berbeda dengan masyarakat golongan menengah ke bawah, bukan berarti

mereka tidak terlalu mementingkan gaya (fashion), namun penampilan atau tren

berpakaian dengan barang-barang bermerek dengan harga tinggi bukanlah

prioritas utama yang ingin ditujunya. Mereka masih membanding-bandingkan

harga sesuai dengan daya beli kemampuan mereka. Terkait dengan sikap

demikian, Gerke (dalam Damsar,2005:184-185) dikarenakan tidak semua anggota

kelas menengah mampu mengkonsumsi barang-barang simbolis kelas menengah

secara nyata, terutama dari kalangan menengah pada lapisan kelas menengah ke

bawah. Oleh karena itu pada lapisan kelas menengah yang disebut barusan

mengkonsumsi barang-barang simbolis menengah secara simbolis pula. Lebih

jauh Damsar (2005:184-185) menganalisa bahwa kelompok ini mengkonsumsi

barang-barang simbolis kelas menengah secara tidak langsung pada barang-

barang yang dimaksud tetapi melalui makna dari barang yang disimbolkan.

Kalaupun secara langsung dikonsumsi tetapi dengan cara yang simbolis pula

misalnya membeli barang-barang bermerek di pasar loak.

Berangkat dari hal tersebut, maka bagi masyarakat golongan menengah ke

bawah juga mencari barang-barang yang dapat memberikan simbol bagi

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

3

kelompok sosial mereka. Untuk itu, pakaian bekas impor dapat dikatakan

merupakan barang simbolis yang dijadikan solusi bagi mereka yang ingin tetap

tampil gaya (fashion) dengan merek terkenal namun harganya murah. Di sisi lain

pakaian bekas impor adalah limbah global yang berasal dari negara-negara maju

yang kemudian diekspor ke negara-negara yang sedang berkembang seperti

Indonesia, untuk dijual kembali dengan harga murah. Limbah global untuk

keperluan sandang yang diperdagangkan di pasar loak beragam, seperti blazer,

gaun, baju tidur, kemeja, jas, celana, baju kaos, celana pendek, celana dalam, rok,

jins, dasi , scraft, topi, karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang.

Dari beberapa pengamatan yang sudah dilakukan beragam barang sandang

tersebut, pakaianlah yang paling banyak dijual di pasar-pasar loak1. Penjualan

pakaian bekas ini sudah sejak lama berlangsung dan sampai sekarang masih

banyak kita temukan di berbagai pasar, tidak hanya di pasar tradisional bahkan

juga di mall , salah satunya di Taman Mini Square. Belum ditemukan angka tahun

yang pasti, kapan awal masuknya pakaian bekas tersebut ke negeri kita ini.

Menurut Juliastuti, di Indonesia sendiri kemunculan pasar baju bekas atau yang

biasa dikenal dengan pasar loak ini tidak berjalan merata. Pasar loak di Sumatera,

Batam, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul dari pada di

Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya.

Damsar (2005) lebih jauh memaparkan tentang keterkaitan

berkembangnya fenomena penjualan pakaian bekas ini dengan masa krisis yang

1 Berdasarkan hasil observasi yang sudah peneliti lakukan beberapa pasar di Jakarta, Medan,

Padang Panjang dan Bukittinggi.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

4

terjadi di negeri kita, menurutnya penjualan pakaian bekas ini mulai berkembang

pesat ketika Indonesia memasuki krisis ekonomi, tahun 1997, dimana masyarakat

harus berpandai-pandai mengatur keuangan untuk memenuhi kebutuhan sandang,

sehingga banyak masyarakat mencari alternatif bagaimana bisa survive dalam

menghadapi krisis. Salah satu alternatif tersebut adalah mengkonsumsi barang-

barang layak pakai yang dijual di pasar loak. Konsekuensi logis dari keadaan ini

adalah permintaan terhadap barang-barang murah meriah tetapi bagus terus

meningkat. Seiring dengan itu, karena permintaan terus meningkat maka oleh

banyak orang melihat, bahwa menjual barang bekas merupakan aktifitas ekonomi

yang prospektif.

Hal itu membuktikan bahwa pakaian bekas impor ini menjadi banyak

diminati oleh berbagai kalangan masyarakat, dari yang tua sampai yang muda,

baik laki-laki maupun perempuan. Terutama bagi kalangan muda, seperti

mahasiswa yang merupakan trend centernya. Ini yang mengakibatkan pakaian

bekas selalu berkembang seiring perkembangan zaman. Ditambah lagi pakaian-

pakaian bekas tersebut ditawarkan dengan harga murah, merek-merek terkenal

dan dengan kualitas yang bagus.

Persoalan pakaian bekas impor merupakan hal cukup banyak diperhatikan

oleh berbagai pihak. Dari sisi konsumen, hukum pasar berlaku karena ada

konsumennya, selain harganya terjangkau kualitasnya juga bagus, sehingga sangat

diminati oleh masyarakat dan menjadi alternatif pilihan berbelanja kebutuhan

akan pakaian. Berbeda halnya dengan masyarakat, pemerintah justru

menempatkan persoalan pakaian bekas ini sebagai sebuah pelanggaran, baik dari

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

5

segi ekonomi maupun hukum. Pertama dari segi ekonomi, pemerintah melarang

masyarakat mengkonsumsi pakaian bekas, karena dapat mematikan industri

pakaian jadi dalam negeri. Kedua dari segi hukum, pakaian bekas ini masuk ke

Indonesia secara illegal.

Larangan impor pakaian bekas ini bukanlah persoalan yang baru

diperhatikan oleh pemerintah, namun sudah ada sejak 33 tahun yang lalu tepatnya

pada tahun 1982 Pemerintah telah melarang kegiatan impor pakaian bekas ini.

Aturan tersebut tertuang dalam SK Mendagkop No. 28 tahun 1982 tentang

Ketentuan Umum di Bidang Impor. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada

tahun 2002, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag), yakni Rini

Soemarno mengeluarkan Menperindag Nomor 642/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23

September 2002 tentang barang yang diatur tata niaga impornya. Dalam aturan

tata niaga itu mengatur larangan impor atas produk gombal atau kain perca. Masih

terkait dengan aturan pelarangan tersebut pemerintah juga mengeluarkan Undang

Undang No. 7 Tahun 2014. Menurut Undang Undang ini pemerintah melarang

impor pakaian bekas, karena dikatakan mengandung virus (kuman) yang

membahayakan yang dapat menularkan penyakit. Di samping itu impor pakaian

bekas dapat mematikan industri garmen dan tekstil dalam negeri.

Sampai saat ini larangan-larangan tersebut masih belum dipatuhi oleh

masyarakat. Tampaknya sulit bagi masyarakat untuk tidak menjual dan

mengkonsumsi pakaian bekas. Alasan lain juga berkaitan dengan produksi dalam

negeri tidak kompetitif dan dibenahi dari segi mutu, kualitas dan kuantitasnya.

Selain itu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah terlebih dahulu adalah

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

6

mentalitas masyarakat itu sendiri, yang selalu menganggap produk luar negeri

lebih baik dibandingkan dengan produk dalam negeri. Koentjaraningrat (1974),

menyebutkan ada beberapa sifat kelemahan dalam mentalitas banyak orang

Indonesia, dua diantaranya yaitu sifat mentalitas yang meremehkan mutu dan sifat

tak percaya kepada diri sendiri. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya

masyarakat Indonesia yang lebih menyenangi dan mengkonsumsi barang-barang

bermerek dari luar negeri ketimbang produk dalam negerinya sendiri. Contohnya

saja dapat kita lihat bahwasanya pakaian dan sepatu, sudah banyak brand-brand

terkenal di kancah Internasional telah memenuhi lingkup pasar Indonesia, tidak

hanya itu makanan-makanan yang berasal dari luar negri pun sudah tidak asing

lagi ditemui di Indonesia.

Tidak hanya persoalan mentalitas, kualitas produksi dalam negeri yang

tidak dibenahi akan membuat masyarakat masih berfikir bahwa produk luar negeri

lebih bagus dibanding produk dalam negeri. Hal itu akan mengakibatkan

pemerintah sulit untuk menerapkan peraturan tersebut. Ini dikarenakan hukum

pasar akan terus berlaku, dimana kebutuhan masyarakat akan pakaian bekas

dengan harga murah dan berkualitas tetap saja tinggi, maka pasarnya tetap pula

tumbuh. Terlebih lagi pada kalangan muda khususnya mahasiswa, mereka berada

pada masa perubahan (transition) dimana mereka mulai sadar akan fashion, untuk

menunjukkan “siapa aku” atau “inilah aku”, sehingga merekapun dituntut untuk

mengikuti tren. Hanya sedikit dari kalangan muda yang tidak begitu peduli

dengan perubahan tren berpakaian ini, hal ini didukung oleh pernyataan

Anugrahati (2014:4) yang mengatakan bahwa mahasiswa merupakan mangsa

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

7

pasar tersendiri yang cukup menjanjikan, bagi pelaku bisnis. Sehingga tidak

mengherangkan bila para mahasiswa menjadi salah satu kelompok konsumen

yang dijadikan target utama oleh para pelaku bisnis.

Oleh sebab itulah, dapat dipahami alasan mengapa kalangan muda

khususnya mahasiswa merupakan konsumen terbesar dari pasar pakaian bekas ini.

Hal ini juga sejalan dengan yang diungkapkan oleh Tambulana (2013) bahwa,

pakaian menjadi salah satu kebutuhan yang di rasa semakin meningkat sejak

masuk ke bangku kuliah. Terutama bagi mahasiswi, pakaian menjadi salah satu

penanda eksistensi diri di kampus dan dalam pergaulan dengan teman sebaya.

Lebih jauh Tambulana (2013) mengemukakan bahwa setiap bulan bahkan minggu

mahasiswi didorong untuk terus mengkonsumsi, sedangkan sebagai mahasiswi

yang masih bergantung pada uang kiriman orang tua tentu harus jeli dalam

mengatur pengeluaran agar tidak berlebih. Kebutuhan atas pakaian sering kali

tidak diimbangi dengan ketersediaan uang yang cukup sehingga pakaian bekas

menjadi salah satu alternatif bagi mahasiswi untuk memenuhi kebutuhan atas

pakaian.

Sebenarnya bukan hanya mahasiswa di Indonesia saja yang

mengkonsumsi pakaian bekas ini untuk menunjang fashion mereka, di negara-

negara lain pun banyak mahasiswa yang meminati pakaian bekas ini, seperti

mahasiswa di Freiburg, Jerman2. Menurut mereka, pada umumnya mahasiswa di

2 Lihat pada (Aniesatun, Vera. 2006. “Wanita dan Fashion: Identitas, Budaya dan

Gaya Hidup Pada Mahasiswi” dalam Judith Schlehe dan Pande Made Kutanegara.

Budaya Barat Dalam Kacamata Timur.Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

8

Freiburg mempunyai beberapa tempat tujuan khusus untuk memenuhi kebutuhan

mereka akan fashion, 2 tempat dari 3 tempat yang disebutkan mahasiswa tersebut

adalah pasar baju bekas yaitu flee market (pasar bekas), second hand shop.

Seperti halnya mahasiswa di Freiburg yang memiliki flee market dan

second hand shop, mahasiswa di Sumatera Barat khususnya di Padang dan

Bukittinggi juga memiliki Pasar baju bekas (pasar loak). Salah satunya yang

terkenal adalah pasar loak di Bukittinggi yang dikenal dengan nama “Pasar Butik

atau Boutique Second”.

Pasar Butik merupakan salah satu tempat tujuan khusus untuk memenuhi

kebutuhan mereka akan fashion. Pasar Butik ini ramai dikunjungi setiap "hari

pasar" atau biasa disebut oleh masyarakat dengan “Bukak Bal”, sebab pada hari

itu harga pakaian yang dijual lebih murah. Bukak Bal ini jatuhnya pada Hari

Kamis dan Sabtu, akan tetapi pasar ini lebih ramai dikunjungi pada akhir pekan.

Ramainya Pasar Butik ini, sangat dimungkinkan karena Bukittinggi yang dikenal

sebagai Kota Wisata, dan ditambah lagi letak Pasar Butik pun sangat strategis,

karena berada dekat dengan Jam Gadang sebagai ikonnya Bukittinggi.

Pengunjung yang datang dari berbagai daerah di Sumatera Barat, sambil

melancong juga banyak yang membeli pakaian di Pasar Butik. Selain itu, pada

hari-hari tersebut harga baju-baju bekas lebih murah dari hari-hari biasa dan

barangnya pun masih banyak dan bagus-bagus, sehingga konsumen lebih leluasa

dalam memilih.

Dilihat dari jumlah lapak baju bekas pun lebih ramai di hari Bukak Bal

dan akhir pekan, ini dibanding pada hari biasanya. Perkiraan jumlah pedagang

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

9

pada hari biasa sekitar 180 orang, sedangkan pada akhir pekan meningkat sampai

lebih dari 200 orang3. Di Pasar Butik ini bukan hanya menjual baju dan celana,

tapi juga menjual berbagai macam tas, dompet, sepatu, ikat pinggang dan topi.

Dari pengamatan awal peneliti, konsumen terbesar pakaian bekas di Pasar

Butik ini adalah anak-anak muda seperti pelajar dan mahasiswa. Hal ini terlihat

dari pengunjung yang mayoritasnya adalah anak-anak muda, serta barang yang

diperjual belikanpun kebanyakan untuk kalangan muda. Baik itu dari pakaian, tas

dan sepatu. Sependapat dengan yang dikatakan Aniesatun (dalam Schele dan

Kutanegara, 2006:188), mahasiswi merupakan salah satu pasar konsumen yang

bagus bagi perkembangan dunia fashion. Oleh sebab itu Mahasiswa didorong

untuk terus mengkonsumsi agar dipandang up to date. Di satu sisi hal ini dapat

dikatakan sebagai tindakan pemborosan dan berlebih-lebihan, seperti halnya yang

dilakukan mahasiswa sebagai konsumen dari pakaian bekas di Pasar Butik

Bukittinggi tersebut. Di sisi lain Pasar Butik menjadi pilihan berbelanja

mahasiswa yang diminati. Itu terlihat dari jumlah pengunjung muda (mahasiswa)

yang lebih ramai ke Pasar Butik dibanding dengan toko-toko yang juga menjual

baju baru di Pasar Atas Bukittinggi.

Mungkin pada awalnya bagi mahasiswa pakaian bekas merupakan pilihan

alternatif bagi mereka yang ingin tampil gaya dengan biaya yang cukup

terjangkau, dibandingkan jika mereka membeli baju baru. Namun tidak menutup

kemungkinan juga bahwa ini merupakan suatu sikap pemborosan dan berlebih-

lebihan. Ini dikarenakan membeli pakaian yang berkualitas dengan harga murah

3 Data dari hasil observasi peneliti di lapangan.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

10

bisa saja menjadi sebuah hobi dan suatu kecanduan bagi konsumen khususnya

mahasiswa. Berdasarkan kenyataan itulah peneliti tertarik untuk meneliti tentang

“Mahasiswa Dan Pakaian Bekas”. Khususnya untuk mengetahui mengapa

mahasiswa lebih menyenangi pakaian bekas di Pasar Butik dibandingkan dengan

pakaian baru di Pasar Atas Bukittinggi. Selain itu, secara lebih dalam lagi peneliti

ingin mengetahui bagaimana pola konsumsi (terutama pakaian) dari mahasiswa di

Pasar Butik Bukittinggi.

B. Perumusan Masalah

Pada dasarnya orang senang berpakaian bagus, terlebih lagi jika

memperolehnya dengan harga yang murah. Tidak dipungkiri pula bahwa setiap

orang mempunyai hasrat untuk tampil sempurna di depan umum, bukan hanya

ingin terlihat fashionable tetapi juga ingin menonjol untuk dapat diperhatikan.

Manusia sebagai makhluk sosial yang kerap bergaul dan berintekrasi

membutuhkan pakaian layak pakai untuk memenuhi kebutuhan sandangnya.

Namun agaknya kebutuhan itu sudah tidak dapat dibedakan lagi dengan

keinginan, seringkali pembelian baju oleh seseorang tidak hanya untuk memenuhi

kebutuhan fungsional melainkan pemenuhan keinginan. Disadari atau tidak

budaya konsumerisme ikut berperan di dalamnya.

Salah satu cara memperoleh pakaian yang bagus dan dengan harga murah

yaitu dengan membeli pakaian bekas impor, pakaian bekas impor tercatat ikut

membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik, sehingga konsumen

terbesar dari pakaian bekas tersebut adalah anak muda, khususnya mahasiswa.

Selain merefleksikan keuangannya yang terbatas dan soal pengetahuan, anak

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

11

muda khususnya mahasiswa tentu lebih terinspirasi dengan kultur luar negri.

Mungkin bagi mahasiswa, pakaian bekas pada awalnya adalah salah satu cara

hemat mereka untuk mendapatkan pakaian dengan merek terkenal dan berkualitas

serta murah. Disisi lain, juga tidak sedikit dari masyarakat yang memandang

pakaian bekas sebagai hal yang kotor, murahan, bekas orang lain, sehingga tidak

layak untuk dikonsumsi

Hal ini juga tidak berbeda jauh dengan pihak pemerintah, menurutnya

pakaian bekas merupakan satu masalah atau pelanggaran, dimana pakaian bekas

merupakan barang illegal yang dilarang di perdagangkan dengan berbagai alasan.

Meskipun pemerintah sudah sering mengeluarkan larangan mengenai

perdagangan pakaian bekas ini, namun dari pihak konsumen tidak pernah

menghiraukannya. Bahkan keberadaan pakaian bekas dari tahun ke tahun semakin

meningkat, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya lapak-lapak yang

menjual pakaian bekas, dan semakin ramainya konsumen yang mengunjungi

lapak tersebut, seperti yang terlihat di “pasar butik” Bukittinggi, dimana remaja

(orang-orang yang terlihat masih muda) yang banyak datang belanja ke pasar

tersebut untuk membeli pakaian bekas. terlebih lagi sewaktu hari libur, pasar butik

ini lebih ramai di kunjungi dibanding dengan toko-toko yang menjual baju baru di

Pasar Atas Bukittinggi4. Hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi penulis,

meskipun sudah dilarang mengapa masih banyak yang beli, dan mengapa pula

anak-anak muda seperti mahasiswa yang banyak datang berbelanja ke Pasar ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah :

4 Sumber : Data dari hasil observasi beberapa kali ke lapangan.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

12

1. Seperti apa pola konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas?

2. Bagaiamana mereka melakukan pilih memilih dalam

mengkonsumsi pakaian bekas?

3. Mengapa mahasiswa menyenangi penggunaan pakaian bekas?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan pola konsumsi seperti apa yang dilakukan oleh

mahasiswa terhadap pakaian bekas.

2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan budaya konsumsi mahasiswa

dalam pilih memilih pakaian bekas.

3. Memahami alasan mahasiswa menyenangi pakaian bekas.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini juga mempunyai beberapa manfaat yang terbagi dalam 2

jenis, yaitu manfaat akademis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Akademis

Penelitian berguna sebagai bahan masukan dan referensi bagi para

peneliti dan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita sebagai

mahasiswa antropologi dalam pengembangan konsep-konsep mengenai

pakaian bekas dan budaya konsumsi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan

pemikiran bagi peneliti lain dalam mengembangkan penelitian selanjutnya

mengenai masalah yang sama.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

13

E. Kerangka Pemikiran

Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia untuk

melidungi tubuhnya, namun seiring berkembangnya waktu, pakaian tidak hanya

sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja tetapi juga sebagai kebutuhan

sosial dan budaya. Maslow berpendapat bahwa kebutuhan yang diinginkan

seseorang tersebut berjenjang, artinya jika kebutuhan yang pertama telah

terpenuhi, kebutuhan tingkat kedua akan muncul menjadi yang utama. Selanjutnya

jika kebutuhan tingkat kedua telah terpenuhi, muncul kebutuhan tingkat ketiga

dan seterusnya sampai tingkat kebutuhan yang kelima (Setiadi,2003:38).

Dalam penelitian ini, kebutuhan mahasiswa untuk memenuhi

kebutuhannya akan fashion, lebih ditekankan pada jenis kebutuhan sosio-budaya.

Karena setiap orang hidup di lingkungan sosial dan budaya, dimana mereka saling

berinteraksi satu sama lain. Salah satunya adalah dengan pakaian, dengan pakaian

mereka dapat memenuhi kebutuhan sosial dan budaya mereka. Pakaian

merupakan ekspresi dari identitas seseorang karena saat kita memilih pakaian,

baik di toko atau di rumah, berarti kita mendefenisikan dan mendeskripsikan diri

sendiri (Laurie dalam Nordholt, 2005:1). Karena pakaian membantu tubuh-tubuh

individual kita menyatakan keberadaan sosialnya dan siapa diri kita. Lebih jauh

Kuper berpendapat;

Dengan memperhatikan arti penting berpakaian sebagai suatu ekspresi dari

identitas sosial, asal usul, komitmen, dan kesetiaan individu, tidaklah

mengherankan bahwa orang-orang seharusnya memandang pakaian hampir

seperti perpanjangan diri mereka sendiri. Singkatnya, sekarang dapat kita

mengerti mengapa hubungan seseorang dengan pakaiannya bersifat langsung

dan lebih akrab daripada hubungannya dengan semua objek materi yang lain”

(Nordholt, 2005:4)

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

14

Pakaian tidak hanya untuk mengenali identitas individu seseorang saja

tetapi pakaian juga menjadi identifikasi untuk mengenali sebuah group atau

komunitas dari mana orang itu berasal. Misalnya orang minang identik dengan

baju kurungnya, orang jawa identik dengan kembennya, dan komunitas anak punk

identik dengan celana jins ketatnya. Begitupula yang terjadi pada mahasiswa,

pada dasarnya mahasiswa dalam memilih berpakaian secara sadar maupun tidak

sadar mereka akan terpengaruh oleh lingkungan, kelompok atau komunitas

dimana mereka berada, yang menyebabkan identitas tersebut tidak tetap dan

mengalami proses tergantung pada sistuasi atau konteks dimana individu berada.

Perubahan (transition) budaya yang dialami seseorang juga dapat

mempengaruhinya dalam perubahan fashion. Seperti yang dialami oleh para

remaja ketika masuk ke perguruan tinggi sebagai mahasiswa, dimana dalam

memilih gaya berpakaian mereka akan terpengaruh oleh teman-teman dan

lingkungan mereka.

Pakaian erat kaitannya dengan kebudayaan. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Morris (dalam Rizky, 2012:5) bahwa pakaian juga mampu

menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display), karna mampu

mengkomunikasikan afiliasi budaya. Pakaian menunjukkan identitas budaya si

pemakainya. Menurut J.J Honigmann dalam Koentjaraningrat (2009:150)

menyebutkan bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu, pertama: wujud

ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak yang berupa ide-ide, gagasan, nilai,

peraturan, norma, dan sebagainya yang memberi jiwa kepada masyarakatnya yang

disebut dengan sistem budaya atau adat istiadatnya. kedua: adalah serangkaian

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

15

aktifitas manusia dalam suatu masyarakat menurut pola-pola tertentu yang

berdasarkan adat tata kelakuan disebut dengan sistem sosial, dan ketiga: berupa

hasil karya manusia yang disebut dengan kebudayaan fisik. Salah satu dari hasil

kebudayaan ini adalah pakaian. Pakaian sebagai hasil dari budaya yang

mencerminkan kepribadian masyarakat. Adanya slogan yang mengatakan bahwa

“You are what you wear” menyebabkan terciptanya stereotip dalam pakaian yang

menjadikannya sebuah simbol tertentu (Aniesatun dalam Schlehe dan Kutanegara,

2006:181).

Dalam kaitannya, cakupan kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup

manusia. Hidup manusia akan memelihara, mengolah, dan mengerjakan berbagai

hal hal yang menghasilkan tindak budaya. Karena itu konsep kebudayaan menjadi

sangat beragam. Hal ini seperti pernyataan Kroeber dan Kluckhohn (dalam

Endraswara,2003:4), defenisi kebudayaan dapat digolongkan menjadi 7 hal, yaitu:

Pertama, kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang

kompleks, meliputi hukum, seni, moral, adat-istiadat, dan segala

kecakapan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota

masyarakat. Kedua, menekankan sejarah kebudayaan, yang

memandang kebudayaan sebagai warisan tradisi. Ketiga,

menekankan kebudayaan yang bersifat normative, yaitu

kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia,

seperti cita-cita, nilai dan tingkah laku, Keempat, pendekatan

kebudayaan dari aspek psikologis, kebudayaan sebagai langkah

penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya. Kelima,

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

16

kebudayaan dipandang sebagai struktur , yang membicarakan

pola-pola dan organisasi kebudayaan serta fungsinya. Keenam,

kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan. Kebudayaan

adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan,

misalkan manusia pintar menggunakan simbol dalam komunikasi

sedangkan hewan tidak. Ketujuh, defenisi kebudayaan yang

kurang lengkap dan tidak bersistem.

Dari defenisi kebudayaan di atas, penelitian ini memakai konsep

kebudayaan tersebut, untuk menjelaskan bagaimana mahasiswa melakukan pilih

memilih pakaian bekas di Pasar Butik, yang dilihat dari nilai-nilai budaya yang

mereka miliki. Sehingga nantinya peneliti dapat mengetahui bagaimana

mahasiswa tersebut melakukan pilih memilih dalam mengkonsumsi pakaian

bekas. Selain itu, Penelitian ini juga menggunakan konsep budaya konsumen.

Dimana budaya konsumen merupakan bentuk khusus dari budaya materi. Lebih

jauh Lury (1998) mengatakan bahwa budaya materi adalah nama yang diberikan

pada kajian hubungan manusia-benda, yaitu kajian mengenai manfaat benda-

benda atau objek-objek. Konsumsi yang dirujuk melalui budaya konsumen dari

lensa budaya materi dapat dilihat sebagai konversi, atau lebih tepatnya, ‘perilaku

manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan-tujuan mereka sendiri

(Strathern dalam Lury, 1998:3). Seperti halnya prilaku mahasiswa dalam

mengkonsumsi pakaian bekas, dimana pakaian bekas tidak hanya untuk

memenuhi kebutuhan akan pakaian semata, lebih dari itu pakaian bekas bagi

mahasiswa juga untuk memenuhi kebutuhannya akan fashion.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

17

Bicara mengenai fashion sangat erat kaitannya dengan budaya konsumen.

Institusi sosial fashion sangat menarik perhatian orang karena kemampuannya

menarik konsumen dengan menawarkan sejuta mimpi indah yang pada akhirnya

menjerumuskan orang tersebut pada suatu lingkaran siklus mode yang

perubahannya sangat cepat dan tidak pernah diduga (Aniesatun dalam Schlehe

dan Kutanegara, 2006:174). Fashion (mode) adalah suatu topik yang layak

menjadi perhatian kita karena jelas ia merupakan suatu cara aksi yang dirangsang

oleh perkembangan industri konsumen (Chaney, 2011:99).

Fashion atau mode seperti yang dikatakan oleh Chaney merupakan sebuah

industri yang diciptakan oleh kapitalisme di dalam budaya konsumsi pada

masyarakat (Aniesatun dalam Schlehe dan Kutanegara, 2006:188). Di dalam

masyarakat, mahasiswa merupakan salah satu pasar konsumen yang bagus bagi

perkembangan dunia fashion. Sebab kalangan-kalangan muda sepeti

mahasiswalah yang lebih banyak mengikuti perkembangan tren dalam fashion.

Hal ini dapat dilihat di berbagai pusat-pusat perbelanjaan lebih banyak dikunjungi

oleh kalangan muda, khususnya mahasiswa. Selain itu kita juga banyak melihat

diberbagai tempat pakaian yang banyak dijual adalah pakaian yang dikonsumsi

oleh kalangan muda.

Marshall Sahlins (dalam Lury,1998:22) sudah melakukan pendekatan

antropologis terhadap budaya materi, khususnya mengenai totemisme untuk

mengembangkan sebuah analisis tentang konsumsi, “khususnya makanan dan

pakaian”, dalam masyarakat Barat modern. Ia berargumen sebagai berikut:

Masyarakat modern telah mengganti objek-objek alamiah dan

spesies dengan objek-objek buatan pabrik. Dengan kata lain,

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

18

objek buatan pabrik berperan sebagai totem baru dunia modern;

dan kelompok konsumen bagaikan suku-suku dalam masyarakat

tradisional. Sahlins menunjuk contoh, bagaimana bagian-bagian

pakaian dapat bertindak sebagai totem, mengkomunikasikan

identitas sosial yang mencolok dan mengidentifikasikan berbagai

‘suku’. Dia memandang sistem pakaian kita bukan sekedar

seperangkat objek materi untuk membuat pemakainya merasa

hangat, tetapi sebagai kode simbolik yang digunakan pemakainya

untuk mengkomunikasikan keanggotaan mereka dalam kelompok

sosial. Jadi, pakaian yang menunjukkan perbedaan antara pria dan

wanita atau antara kelas atas dan bawah juga menunjukkan suatu

sifat berbeda yang dianggap ada di antara mereka. Pakaian

mengkomunikasikan apa yang dianggap ‘kehalusan’ wanita dan

‘keperkasaan’ pria; apa yang dianggap ‘kesopanan’ kelas atas dan

apa yang dianggap ‘kekasaran’ kelas bawah. Dengan demikian

pakaian dapat dipandang mengkomunikasikan hak milik yang

dianggap melekat dalam setiap kelompok dan menjadi dasar untuk

membedakan mereka.

Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif. Masyarakat yang terus

menerus berkonsumsi. Namun konsumsi yang dilakukan bukan lagi hanya

sekedar kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar

kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia.

Konsumsi diartikulasikan dalam rangkaian yang merupakan urutan mitologi dari

sebuah cerita: Manusia yang memiliki kebutuhan-kebutuhan yang membawanya

menuju pada objek yang memberinya kepuasan (Baudrillard,2006:73). Ini berarti

apa yang melandasi konsumsi tidak lagi logika kebutuhan (need) tetapi lebih pada

logika hasrat (desire) atau kepuasan. Lebih jauh antropolog dan ekonom Douglas

dan Isherwood mengatakan:

Konsumsi yang terjadi dalam semua masyarakat adalah “diluar

perdagangan”, artinya tidak terbatas pada perdagangan, tetapi selalu

merupakan fenomena budaya sebagai halnya sebuah fenomena

ekonomi. Hal ini berkaitan dengan makna, nilai dan komunikasi seerat

kaitan antara pertukaran, harga dan ekonomi. Mereka menyatakan

bahwa kegunaan benda-benda selalu dibingkai oleh konteks budaya,

bahkan benda-benda sederhana dalam kehidupan sehari-hari

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

19

mempunyai makna budaya. Dari perspektif ini, benda-benda materi

bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, tetapi juga

mempunyai makna, dan bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam

hubungan sosial (Lury,1998:16)

Konsumsi telah menjadi suatu budaya, yaitu budaya konsumsi. Dimana

hal ini menyebabkan pemborosan dan berlebih-lebihan dalam memenuhi

kebutuhan untuk kepuasannya, seperti yang dikatakan Herry Priyono (dalam

Sutrisno dan Putranto,2009:267-268).) secara ringkas dan jelas, konsumerisme

adalah konsumsi yang mengada-ada, lebih lanjut dikemukakannya, konsumerisme

tak hanya menyangkut proses sosio psikologis, tetapi juga berupa gejala ekonomi

politik. Dalam banyak hal bisa dikatakan bahwa konsumerisme menjadi syarat

mutlak bagi kelangsungan bisnis status dan gaya hidup.

Budaya konsumen erat kaitannya dengan gaya hidup, karena konsumsi

terhadap suatu barang, menurut Weber (dalam Damsar,2005:88), merupakan suatu

gambaran gaya hidup dari kelompok status tertentu. Selanjutnya Satria (dalam

Schlehe dan Kutanegara, 2006:114-115) memaparkan:

Budaya konsumen dicirikan dengan peningkatan gaya hidup

(lifestyle). Justru menurut Lury, proses pembentukan gaya hidup-lah

yang merupakan hal terbaik yang mendefenisikan budaya

konsumen.(...). Orang berusaha sebisa mungkin menunjukkan

identitas dirinya pada khalayak melalui lifestylenya, yang tentu saja

berbeda satu sama lain, sebisa mungkin gayanya khas dan orang

lain tidak mampu menirunya.

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Lury, Alfitri (2007:6) juga

mengatakan bahwa setiap orang memiliki gaya hidupnya masing-masing,

sehingga mempengaruhi perilaku dalam menentukan pilihan yang akan di

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

20

konsumsi. Dengan begitu gaya hidup merupakan pilihan seseorang yang pada

nantinya akan menjadi sebuah identitas yang membedakannya dengan orang lain.

Hal ini juga terjadi pada mahasiswa, dimana mereka ingin menunjukkan

jati dirinya dan ingin terlihat menonjol dengan pakaian yang mereka pakai, serta

berbeda satu sama lain. Salah satunya adalah dengan cara mengkonsumsi pakaian

bekas. Seperti yang dikatakan Herry Priyono (dalam Sutrisno dan Putranto,2009)

hal yang sama juga terjadi pada mahasiswa yang mengkonsumsi pakaian bekas.

Mahasiswa adalah masyarakat yang konsumtif terhadap pakaian bekas, apa yang

melandasi konsumsi tidak lagi logika kebutuhan (need) tetapi lebih pada logika

hasrat atau kepuasan.

Baudrillard (dalam Martono, 2012:135) menjelaskan bahwa rasionalitas

konsumsi dalam sistem masyarakat yang berprilaku konsumtif telah jauh berubah,

karena saat ini membeli bukan lagi sebagai upaya memenuhi kebutuhan, namun

lebih sebagai pemenuhan hasrat, menjadikan konsumsi tidak lagi hanya melihat

kepada nilai guna barang yang dibeli, akan tetapi kepada makna atau simbol yang

melekat pada objek atau barang. Sehingga mengkonsumsi pakaian bekas bukan

lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi untuk memenuhi kebutuhan akan

fashion. Bicara mengenai fashion tidak terlepas dari budaya konsumsi, dan ini

berarti budaya konsumsi telah memasuki kehidupan anak-anak muda seperti

mahasiswa. Oleh sebab itu, peneliti memakai konsep budaya konsumsi agar dapat

membantu peneliti nantinya untuk menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana

budaya konsumsi ini mempengaruhi pola konsumsi mahasiswa terhadap pakaian

bekas, dan seperti apa pola konsumsi tersebut.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

21

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Sebagai sebuah penelitian antropologi, penelitian ini bertipe

penelitian desktiptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kualitatif yaitu : untuk mengumpulkan data di lapangan, karena

metode ini memfokuskan kegiatan orang dalam berinteraksi dengan

lingkungan kehidupan mereka, dan dalam meneliti penulis berusaha

memakai bahasa dan tafsiran yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang

diteliti dengan dunia sekitarnya. Metode kualitatif ini akan menghasilkan

data deskriptif, keutuhan data yang didapat dilapangan dilakukan

penelitian secara holistik (Moleong, 2000:32).

Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah alat pengumpul data

utama. Hal ini dilakukan karena peneliti sebagai “alat” yang sangat

memungkinkan untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-

kenyataan yang ada dilapangan, dapat berhubungan dengan informan atau

objek lainnya, dan peneliti mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan

di lapangan. Peneliti menempatkan dirinya selama peranan sebagai pelaku

yang ditelitinya dan mencoba untuk dapat mencapai tingkat pemahaman

yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala sosial

yang diamatinya (Moleong, 2000:5).

Peneliti mendeskripsikan suatu keadaan melalui data yang

diperoleh di lapangan. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar

dan bukan angka. Semua data yang dikumpulkan berkemungkinan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

22

menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Data tersebut berasal dari

naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dan dokumen pribadi. Menurut

Koentjaraningrat (1997:29) penelitian bersifat deskriptif memberikan

gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau pun

kelompok tertentu

Metode kualitatif dengan penelitian deskriptif ini diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai budaya konsumsi yang terjadi pada

mahasiswa melalui pakaian bekas. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan secara detail mengenai budaya konsumsi serta pola

konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas sebagaimana yang tergambar

pada masalah penelitian ini. Sesuai dengan realita yang ada yang diperoleh

peneliti di lapangan.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan Pasar Atas Bukittinggi, atau

lebih dikenal dengan pasar butik (pasar loak). Peneliti memilih pasar loak

yang ada di Bukittinggi ini dikarenakan pasar ini lebih pesat

perkembangannya dibanding dengan pasar loak yang ada di kota- kota

lain. Selain itu pasar loak yang lebih dikenal dengan sebutan “pasar butik”

ini sangat dikenal oleh kalangan mahasiswa-mahasiswa di Kota

Bukittinggi, Padang dan sekitarnya.

3. Informan Penelitian

Informan adalah sumber informasi, mereka sebagai seorang

pembicara asli yang menggunakan bahasa mereka sendiri untuk

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

23

memberikan informasi, agar lebih dekat dengan kebudayaan mereka

sehingga semua hal yang akan menghambat penemuan informasi akan

dikesampingkan (Spradley,1997:35). Informan menjadi objek penting dal

am penelitian, yang menjadi sumber data dalam penelitian.

Informan Penelitian adalah orang yang dipilih sesuai dengan

kepentingan permasalahan dan tujuan penelitian. Pemilihan informan

dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu yang tujuannya

adalah menyaring sebanyak mungkin informasi yang menjadi dasar dari

rancangan teori yang akan dibangun (Moleong, 2000 : 3).

Dalam pengambilan informan, peneliti melakukan dengan tekhnik

non probabilitas sampling karena tidak semua individu (anggota populasi)

dapat dijadikan sumber informasi. Teknik ini dilakukan dalam dua bentuk

yaitu teknik purposive sampling dan teknik snowball sampling. Purposive

sampling yaitu teknik penarikan informan dengan tujuan tertentu.

Purposive dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih oleh

peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki (Mantra, 2004:121).

Adapun informan yang dipilih secara purposive sampling ini adalah

pedagang pakaian bekas dan mahasiswa yang menjadi konsumen dari

pakaian bekas.

Untuk mendapatkan informan selanjutnya peneliti memakai

tekhnik snowball sampling. Bentuk snow ball sampling diartikan sebagai

peneliti meminta rekomendasi dari informan pertama untuk menunjukan

beberapa informan yang dianggap sesuai dengan objek penelitian

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

24

kemudian peneliti meminta rekomendasi lagi dari informan yang

ditunjukan oleh informan pertama tadi dan begitu seterusya. Orang yang

bisa dijadikan informan pertama oleh peneliti untuk memulai teknik snow

ball adalah mahasiswa yang merupakan konsumen pakaian bekas di

Boutique Second. Dari informan ini selanjutnya diminta rekomendasi

untuk ditunjukkan langsung beberapa orang, yang dirasa juga mengetahui

dan dapat melengkapi data mengenai permasalahan penelitian ini.

Untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak terkait dengan

topik penelitian ini, maka informan penelitian dibagi dalam beberapa

kelompok, yaitu terdiri dari: (1) informan kunci, (key informan), yaitu

mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan

dalam penelitian, (2) informan biasa, yaitu mereka yang terlibat secara

langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan tambahan, yaitu

mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung

terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti (Hendarso dalam

Suyanto, 2005: 171-172). Namun, untuk memilih siapa yang tepat menjadi

informan dalam penelitian ini, peneliti memilih informan berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Dengan demikian, ditetapkanlah kriteria pemilihan informan.

Kriteria informan yang dipilih sebagai informan kunci dan informan biasa

dalam melakukan penelitian ini adalah :

a. Informan kunci dalam penelitian in adalah pedagang pakaian bekas

serta konsumen pakaian bekas yang bukan berstatus sebagai

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

25

mahasiswa. Jumlah informan kunci dalam penelitian ini adalah 5

orang, yaitu 3 orang pedagang pakaian bekas serta 2 orang

konsumen pakaian bekas yang bukan merupakan mahasiswa.

b. Informan biasa adalah orang-orang yang memiliki hubungan

langsung dengan topik penelitian. Jumlah informan biasa dalam

penelitian ini adalah 5 orang mahasiswa yang merupakan

konsumen pakaian bekas, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Bersedia diwawancarai

2. Konsumen “Pasar Butik” Bukittinggi (sering berbelanja,

minimal 1-2 kali dalam sebelum)

3. Berstatus mahasiswa

c. Informan tambahan dalam penelitian ini berjumlah 5 orang, yaitu

1 orang tukang jahit, 1 orang mahasiswa yang bukan konsumen

dari pakaian bekas, dan 3 orang mahasiswa yang juga merupakan

konsumen namun tidak termasuk kedalam kriteria penelitian ini.

Jumlah dari keseluruhan informan dalam penelitian ini adalah 15

orang. Berikut nama-nama informan yang telah peneliti

wawancarai:

Tabel 1. Informan Penelitian

No. Nama Inisial Jenis

Kelamin

Umur Status

1 F Laki-laki 24 tahun Pedagang

2 P Laki-laki 26 tahun Pedagang

3 R Perempuan 21 tahun Pedagang

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

26

4 J Laki-laki 26 tahun Konsumen

bukan

mahasiswa

(pegawai bank)

5 Y Perempuan 25 tahun Konsumen

bukan

mahasiswa

6. A Laki-laki 23 tahun Mahasiswa

7 I Laki-laki 24 tahun Mahasiswa

8 U Perempuan 22 tahun Mahasiswa

9 D Perempuan 23 tahun Mahasiswa

10 S Perempuan 22 tahun Mahasiswa

11 M Laki-laki 21 tahun Mahasiswa

12 H Perempuan 23 tahun Mahasiswa

13 AC Perempuan 21 tahun Mahasiswa

14 DF Perempuan 22 tahun Mahasiswa

15 IM Laki-laki 61 tahun Tukang jahit

4. Tekhnik Pengumpulan Data

4.1 Observasi Partisipasi

Metode pengamatan atau observasi adalah salah satu alat penting untuk

pengumpulan data dalam penelitian kualitatif. Mengamati berarti

memperhatikan fenomena di lapangan melalui kelima indra peneliti, seringkali

dengan instrument atau perangkat dan merekamnya untuk tujuan ilmiah

(Angrosino dalam Creswell, 2015:231). Observasi merupakan sebuah teknik

pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati

hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda, waktu,

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

27

peristiwa, tujuan, dan perasaan. Observasi partisipasi merupakan salah satu

jenis proses pengamatan yang lebih mendalam. Pengamatan terlibat dan

pengamatan tidak terlibat dibedakan dari ada tidaknya interaksi antara peneliti

dengan informan. Dalam pelaksanaannya, pengamatan terlibat, peneliti harus

memupuk terlebih dahulu hubungan baik dan mendalam dengan informan.

Sikap saling percaya tersebut dikenal dengan istilah rapport. Observasi dalam

penelitian ini, dimulai dari akhir tahun 2015 sampai dengan Januari 2017.

Esensi dari pengamatan terlibat adalah untuk memperoleh data

tentang:

a. Bagaimana keadaan “Pasar Butik” tersebut ? (di dalamnya meliputi

hubungan antara pedagang dan pembeli, transaksi seperti apa yang

terjadi antara pedagang dan pembeli, hari apa saja mahasiswa banyak

berbelanja di “Pasar Butik”, jam-jam berapa saja “Pasar Butik” ramai

di kunjungi? )

b. Melihat pola dan budaya konsumsi pada mahasiswa dalam

berbelanja pakaian bekas di Pasar Butik (di dalamnya meliputi

bagaimana mahasiswa tersebut melakukan pilih-memilih dalam

membeli pakaian bekas).

4.2 Wawancara Mendalam

Seorang peneliti tidak melakukan wawancara berdasarkan sejumlah

pertanyaan yang telah disusun dengan mendetail dengan alternatif jawaban

yang telah dibuat sebelum melakukan wawancara, melainkan berdasarkan

pertanyaan yang umum yang kemudian didetailkan dan dikembangkan ketika

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

28

melakukan wawancara atau setelah melakukan wawancara berikutnya.

Mungkin ada sejumlah pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelum

melakukan wawancara (sering disebut pedoman wawancara), tetapi

pertanyaan tersebut tidak terperinci dan berbentuk pertanyaan terbuka / tidak

ada alternatif jawaban. Hal ini berarti wawancara dalam penelitian kualitatif

dilakukan seperti dua orang yang bercakap-cakap tentang sesuatu (Afrizal,

2014:20).

Data yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara mendalam ini adalah

data utama yang dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video

serta foto – foto pakaian dari narasumber, dari apa yang mereka ketahui

tentang pakaian bekas, mengapa mereka bisa menyenangi penggunaan pakaian

bekas, jenis pakaian yang dia suka, sampai bagaimana dia mengkreasikan

pakaian tersebut untuk dipakai dalam kesehariannya.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpulan data

berupa:

a. Daftar pedoman wawancara digunakan sebagai pedoman dalam

mengajukan peranyaan-pertanyaan kepada informan.

b. Buku catatan dan pena digunakan untuk mencatat seluruh

keterangan yang diberikan oleh informan.

c. Handphone digunakan untuk merekam sesi wawancara yang

sedang berlangsung.

d. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan seluruh peristiwa

yang terjadi selama proses penelitian.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

29

5. Analisa Data

Analisis data dilakukan sejak penulis berada dilapangan. Data yang

diperoleh di lapangan baik itu hasil dari wawancara, observasi atau

pengamatan, dikumpulkan dan diklasifikasikan berdasarkan temanya,

kemudian data tersebut diinterpretasikan kedalam bentuk tulisan guna

memperoleh gambaran sesungguhnya tentang masalah yang diteliti. Data

analisis secara interpretatif dan dilihat secara keseluruhan (holistik) untuk

menghasilkan suatu laporan penelitian yang deskriptif tentang masalah yang

diteliti. Pekerjaan menganalisis data ini memerlukan ketekunan, ketelitian, dan

perhatian khusus. Pekerjaan mencari dan menemukan data yang menunjang

atau tidak menunjang hipotesis pada dasarnya memerlukan seperangkat

kriteria tertentu, kriteria ini perlu didasarkan atas pengalaman, pengetahuan,

atau teori sehingga membantu pekerjaan ini.

Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis

secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data

dilapangan secara berkesinambungan, sehingga kualitas penelitian diharapkan

dapat mendekati realitas (Bungin, 2007 : 106).

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data

kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan

tema dan dapat dirumuskan kedalam hipotesis kerja (Moleong, 1990 : 103).

Analisa data dilakukan sebelum, selama, dan sesudah penelitian dengan cara

menggabungkan data-data yang diperoleh dari penelitian satu sama lainnya.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

30

Analisa data dapat bersifat interpretative dan disajikan dalam bentuk

deskriptif yang dipercayai sebagai kekuatan untuk penulisan dalam

pendekatan kualitatif. Untuk menjaga kesahihan data, selama dan sesudah

penelitian dilakukan pengecekan, seperti teknik, reinterview pada setiap

jawaban yang diberikan oleh informan pada saat wawancara.

6. Proses Jalannya Penelitian

Penelitian ini diawali pada bulan April 2016 dan berakhir pada bulan

Januari 2017. Penelitian ini dilakukan di Boutique Second Bukittinggi, selain

itu penelitian juga dilakukan di area kampus, dimana informan penelitian

berkuliah dan juga tempat-tempat lain seperti coffee shop.

Penelitian dilakukan secara bertahap, mulai dari pembuatan proposal

penelitian, terjun ke lapangan, dan mengolah data untuk pembuatan skripsi.

Tahap awal pada saat pembuatan proposal penelitian terlebih dahulu dengan

membaca tulisan atau literatur yang berhubungan dengan judul penelitan ini.

Selain itu untuk melengkapi data pembuatan proposal penelitian, maka

dilakukan survey awal di lokasi penelitian pada akhir tahun 2015.

Survey awal atau observasi awal dilakukan di lokasi penelitian yaitu di

Boutique Second Bukittinggi, selain itu penulis juga menemani seorang teman

ke Dinas Pasar dan ke Dinas KOPERINDAG, dimana waktu itu Ia juga

membutuhkan data-data terkait mengenai Boutique Second, dan penulis juga

memanfaatkan hal ini untuk mengetahui tentang Boutique Second dan Pakaian

Bekas, serta bagaimana status keberadaannya. Observasi ini dilakukan dengan

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

31

tujuan untuk mendapatkan data awal guna melengkapi dan menunjang

proposal penelitian ini.

Penulisan proposal berlangsung selama 4 bulan dan setelah

mendapatkan persetujuan dari kedua pembimbing skripsi pada bulan Januari ,

penulis melaksanakan ujian proposal pada tanggal 18 Februari 2015. Setelah

melaksanakan ujian proposal, selanjtnya penulis mulai melakukan penelitian

di lapangan pada akhir April 2015.

Proses penelitian dilakukan setelah keluarnya surat izin penelitian oleh

Departemen Pendidikan Nasional Fakulas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Adalas No: 412/UN16.08.WD I/PP/2016. Hal Permohon Izin

Penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga saat melakukan penelitian

di lapangan.

Dalam melakukan penelitian, penulispun melakukannya secara

bertahap, pada tahap awal penelitian, penulis memfokuskan untuk

memperoleh data mengenai bab II, yaitu mengenai keadaan pasar, dimana

data-data tersebut diperoleh dari hasil observasi penulis dan beberapa orang

pedagang di Boutique Second. Untuk melengkapi data ini penulis lebih sering

melakukan kunjungan ke lokasi penelitian untuk melihat keadaan pasar. Selain

itu penulis juga memperoleh data dari 2 orang teman yang tahu banyak

mengenai pakaian bekas, namun kedua orang ini tidak berstatus sebagai

mahasiswa. Selanjutnya, penulis memfokuskan untuk memperoleh data-data

mengenai bab III dan bab IV, dimana data tersebut banyak diperoleh dari

mahasiswa-mahasiswa yang merupakan konsumen dari pakaian bekas.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

32

Penelitian ini memang lebih sering dilakukan di lokasi penelitian yaitu

di Boutique Second Bukittinggi, baik itu dengan pedagang pakaian bekas

ataupun dengan mahasiswa. Akan tetapi untuk melengkapi data dengan

mahasiswa yang merupakan konsumen pakaian bekas, penelitian ini juga

dilakukan di tempat-tempat lain seperti di kampus, dan coffee shop sesuai

kesepakatan dengan informan.

Selama penelitian di lapangan, biasanya penulis selalu ditemani oleh

teman dan terkadang hanya berdua saja dengan informan, hal ini sangat

membantu penulis di lapangan. Adanya saran-saran dari teman saat

dilapangan juga mempermudah penulis dalam melakukan wawancara dengan

pedagang, serta informan lainnya. Kemudahan lain yang penulis rasakan yaitu

keterbukaan pedagang dan informan saat memberikan informasi yang penulis

butuhkan membuat penulis merasa nyaman dan tidak canggung untuk

bertanya lebih dalam lagi.

Selama melakukan penelitian dilapangan, tidak hanya kemudahan-

kemudahan yang penulis rasakan, penulis juga merasakan beberapa kesulitan,

yaitu ketika menanyai beberapa informasi yang membuat informan merasa

kurang nyaman dan takut dirugikan, biasanya mereka agak sedikit tertutup.

Kesulitan lain yang dialami penulis adalah masalah waktu. Untuk waktu

penelitian, tidak dilakukan setiap hari, waktu penelitian biasanya tergantung

kesepakatan dengan informan dan mengikuti waktu yang diinginkan informan,

jika itu data terkait informan tersebut. Sehingga hal ini merupakan kendala

bagi penulis, sebab informan-informan tersebut memiliki kesibukan yang

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara mereka dalam ... karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang. ...

33

berbeda-beda, sehingga penulis harus menyesuaikan waktu yang telah

ditentukan oleh informan-informan tersebut.