BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/28426/2/BAB 1.pdfSalah satunya adalah cara...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan merupakan salah satu aspek kehidupan yang secara manusiawi
menggerakkan orang dalam aktivitas-aktivitasnya, dan juga menjadi alasan bagi
setiap individu untuk berusaha. Oleh karena itu upaya untuk memenuhi kebutuhan
juga tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Selama hidup manusia
membutuhkan bermacam-macam kebutuhan, seperti: makanan, pakaian
perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan juga dipengaruhi oleh
kebudayaan, lingkungan, waktu, dan agama. Semakin tinggi tingkat kebudayaan
suatu masyarakat, semakin tinggi atau banyak pula macam kebutuhan yang harus
dipenuhi, termasuk kebutuhan akan sandang (pakaian).
Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok, yang berfungsi untuk
melindungi tubuh manusia. Melalui pakaian dapat dilihat bagaimana manusia
mengekspresikan tentang cara hidupnya, karena pakaian adalah hal yang penting
untuk menunjang penampilan. Pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan, karena
dengan pakaian manusia dapat memiliki kepercayaan diri di hadapan manusia
lainnya. Lebih dari itu, pakaian adalah cermin dari identitas, status hierarki,
gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu.
Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam
pandangan sosial, politik dan religius (Nordholt, 2005).
Dilihat dari tingkatan sosialnya, gaya berpakaian pada masyarakat
golongan menengah ke bawah dan golongan menengah ke atas, memiliki gaya
2
berbeda-beda pula. Masyarakat golongan menengah ke atas misalnya, gaya
(fashion) merupakan sesuatu yang amat penting untuk mereka tonjolkan, dan
untuk menunjukkan eksistensi mereka. Salah satunya adalah cara mereka dalam
memilih pakaian yang akan mereka kenakan. Pakaian bermerek, berkualitas dan
memiliki daya jual atau harga yang tinggi, merupakan kriteria mereka dalam
memilih pakaian.
Berbeda dengan masyarakat golongan menengah ke bawah, bukan berarti
mereka tidak terlalu mementingkan gaya (fashion), namun penampilan atau tren
berpakaian dengan barang-barang bermerek dengan harga tinggi bukanlah
prioritas utama yang ingin ditujunya. Mereka masih membanding-bandingkan
harga sesuai dengan daya beli kemampuan mereka. Terkait dengan sikap
demikian, Gerke (dalam Damsar,2005:184-185) dikarenakan tidak semua anggota
kelas menengah mampu mengkonsumsi barang-barang simbolis kelas menengah
secara nyata, terutama dari kalangan menengah pada lapisan kelas menengah ke
bawah. Oleh karena itu pada lapisan kelas menengah yang disebut barusan
mengkonsumsi barang-barang simbolis menengah secara simbolis pula. Lebih
jauh Damsar (2005:184-185) menganalisa bahwa kelompok ini mengkonsumsi
barang-barang simbolis kelas menengah secara tidak langsung pada barang-
barang yang dimaksud tetapi melalui makna dari barang yang disimbolkan.
Kalaupun secara langsung dikonsumsi tetapi dengan cara yang simbolis pula
misalnya membeli barang-barang bermerek di pasar loak.
Berangkat dari hal tersebut, maka bagi masyarakat golongan menengah ke
bawah juga mencari barang-barang yang dapat memberikan simbol bagi
3
kelompok sosial mereka. Untuk itu, pakaian bekas impor dapat dikatakan
merupakan barang simbolis yang dijadikan solusi bagi mereka yang ingin tetap
tampil gaya (fashion) dengan merek terkenal namun harganya murah. Di sisi lain
pakaian bekas impor adalah limbah global yang berasal dari negara-negara maju
yang kemudian diekspor ke negara-negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, untuk dijual kembali dengan harga murah. Limbah global untuk
keperluan sandang yang diperdagangkan di pasar loak beragam, seperti blazer,
gaun, baju tidur, kemeja, jas, celana, baju kaos, celana pendek, celana dalam, rok,
jins, dasi , scraft, topi, karpet, bed cover, sprei, gorden, sepatu, tas, ikat pinggang.
Dari beberapa pengamatan yang sudah dilakukan beragam barang sandang
tersebut, pakaianlah yang paling banyak dijual di pasar-pasar loak1. Penjualan
pakaian bekas ini sudah sejak lama berlangsung dan sampai sekarang masih
banyak kita temukan di berbagai pasar, tidak hanya di pasar tradisional bahkan
juga di mall , salah satunya di Taman Mini Square. Belum ditemukan angka tahun
yang pasti, kapan awal masuknya pakaian bekas tersebut ke negeri kita ini.
Menurut Juliastuti, di Indonesia sendiri kemunculan pasar baju bekas atau yang
biasa dikenal dengan pasar loak ini tidak berjalan merata. Pasar loak di Sumatera,
Batam, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul dari pada di
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya.
Damsar (2005) lebih jauh memaparkan tentang keterkaitan
berkembangnya fenomena penjualan pakaian bekas ini dengan masa krisis yang
1 Berdasarkan hasil observasi yang sudah peneliti lakukan beberapa pasar di Jakarta, Medan,
Padang Panjang dan Bukittinggi.
4
terjadi di negeri kita, menurutnya penjualan pakaian bekas ini mulai berkembang
pesat ketika Indonesia memasuki krisis ekonomi, tahun 1997, dimana masyarakat
harus berpandai-pandai mengatur keuangan untuk memenuhi kebutuhan sandang,
sehingga banyak masyarakat mencari alternatif bagaimana bisa survive dalam
menghadapi krisis. Salah satu alternatif tersebut adalah mengkonsumsi barang-
barang layak pakai yang dijual di pasar loak. Konsekuensi logis dari keadaan ini
adalah permintaan terhadap barang-barang murah meriah tetapi bagus terus
meningkat. Seiring dengan itu, karena permintaan terus meningkat maka oleh
banyak orang melihat, bahwa menjual barang bekas merupakan aktifitas ekonomi
yang prospektif.
Hal itu membuktikan bahwa pakaian bekas impor ini menjadi banyak
diminati oleh berbagai kalangan masyarakat, dari yang tua sampai yang muda,
baik laki-laki maupun perempuan. Terutama bagi kalangan muda, seperti
mahasiswa yang merupakan trend centernya. Ini yang mengakibatkan pakaian
bekas selalu berkembang seiring perkembangan zaman. Ditambah lagi pakaian-
pakaian bekas tersebut ditawarkan dengan harga murah, merek-merek terkenal
dan dengan kualitas yang bagus.
Persoalan pakaian bekas impor merupakan hal cukup banyak diperhatikan
oleh berbagai pihak. Dari sisi konsumen, hukum pasar berlaku karena ada
konsumennya, selain harganya terjangkau kualitasnya juga bagus, sehingga sangat
diminati oleh masyarakat dan menjadi alternatif pilihan berbelanja kebutuhan
akan pakaian. Berbeda halnya dengan masyarakat, pemerintah justru
menempatkan persoalan pakaian bekas ini sebagai sebuah pelanggaran, baik dari
5
segi ekonomi maupun hukum. Pertama dari segi ekonomi, pemerintah melarang
masyarakat mengkonsumsi pakaian bekas, karena dapat mematikan industri
pakaian jadi dalam negeri. Kedua dari segi hukum, pakaian bekas ini masuk ke
Indonesia secara illegal.
Larangan impor pakaian bekas ini bukanlah persoalan yang baru
diperhatikan oleh pemerintah, namun sudah ada sejak 33 tahun yang lalu tepatnya
pada tahun 1982 Pemerintah telah melarang kegiatan impor pakaian bekas ini.
Aturan tersebut tertuang dalam SK Mendagkop No. 28 tahun 1982 tentang
Ketentuan Umum di Bidang Impor. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada
tahun 2002, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag), yakni Rini
Soemarno mengeluarkan Menperindag Nomor 642/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23
September 2002 tentang barang yang diatur tata niaga impornya. Dalam aturan
tata niaga itu mengatur larangan impor atas produk gombal atau kain perca. Masih
terkait dengan aturan pelarangan tersebut pemerintah juga mengeluarkan Undang
Undang No. 7 Tahun 2014. Menurut Undang Undang ini pemerintah melarang
impor pakaian bekas, karena dikatakan mengandung virus (kuman) yang
membahayakan yang dapat menularkan penyakit. Di samping itu impor pakaian
bekas dapat mematikan industri garmen dan tekstil dalam negeri.
Sampai saat ini larangan-larangan tersebut masih belum dipatuhi oleh
masyarakat. Tampaknya sulit bagi masyarakat untuk tidak menjual dan
mengkonsumsi pakaian bekas. Alasan lain juga berkaitan dengan produksi dalam
negeri tidak kompetitif dan dibenahi dari segi mutu, kualitas dan kuantitasnya.
Selain itu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah terlebih dahulu adalah
6
mentalitas masyarakat itu sendiri, yang selalu menganggap produk luar negeri
lebih baik dibandingkan dengan produk dalam negeri. Koentjaraningrat (1974),
menyebutkan ada beberapa sifat kelemahan dalam mentalitas banyak orang
Indonesia, dua diantaranya yaitu sifat mentalitas yang meremehkan mutu dan sifat
tak percaya kepada diri sendiri. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya
masyarakat Indonesia yang lebih menyenangi dan mengkonsumsi barang-barang
bermerek dari luar negeri ketimbang produk dalam negerinya sendiri. Contohnya
saja dapat kita lihat bahwasanya pakaian dan sepatu, sudah banyak brand-brand
terkenal di kancah Internasional telah memenuhi lingkup pasar Indonesia, tidak
hanya itu makanan-makanan yang berasal dari luar negri pun sudah tidak asing
lagi ditemui di Indonesia.
Tidak hanya persoalan mentalitas, kualitas produksi dalam negeri yang
tidak dibenahi akan membuat masyarakat masih berfikir bahwa produk luar negeri
lebih bagus dibanding produk dalam negeri. Hal itu akan mengakibatkan
pemerintah sulit untuk menerapkan peraturan tersebut. Ini dikarenakan hukum
pasar akan terus berlaku, dimana kebutuhan masyarakat akan pakaian bekas
dengan harga murah dan berkualitas tetap saja tinggi, maka pasarnya tetap pula
tumbuh. Terlebih lagi pada kalangan muda khususnya mahasiswa, mereka berada
pada masa perubahan (transition) dimana mereka mulai sadar akan fashion, untuk
menunjukkan “siapa aku” atau “inilah aku”, sehingga merekapun dituntut untuk
mengikuti tren. Hanya sedikit dari kalangan muda yang tidak begitu peduli
dengan perubahan tren berpakaian ini, hal ini didukung oleh pernyataan
Anugrahati (2014:4) yang mengatakan bahwa mahasiswa merupakan mangsa
7
pasar tersendiri yang cukup menjanjikan, bagi pelaku bisnis. Sehingga tidak
mengherangkan bila para mahasiswa menjadi salah satu kelompok konsumen
yang dijadikan target utama oleh para pelaku bisnis.
Oleh sebab itulah, dapat dipahami alasan mengapa kalangan muda
khususnya mahasiswa merupakan konsumen terbesar dari pasar pakaian bekas ini.
Hal ini juga sejalan dengan yang diungkapkan oleh Tambulana (2013) bahwa,
pakaian menjadi salah satu kebutuhan yang di rasa semakin meningkat sejak
masuk ke bangku kuliah. Terutama bagi mahasiswi, pakaian menjadi salah satu
penanda eksistensi diri di kampus dan dalam pergaulan dengan teman sebaya.
Lebih jauh Tambulana (2013) mengemukakan bahwa setiap bulan bahkan minggu
mahasiswi didorong untuk terus mengkonsumsi, sedangkan sebagai mahasiswi
yang masih bergantung pada uang kiriman orang tua tentu harus jeli dalam
mengatur pengeluaran agar tidak berlebih. Kebutuhan atas pakaian sering kali
tidak diimbangi dengan ketersediaan uang yang cukup sehingga pakaian bekas
menjadi salah satu alternatif bagi mahasiswi untuk memenuhi kebutuhan atas
pakaian.
Sebenarnya bukan hanya mahasiswa di Indonesia saja yang
mengkonsumsi pakaian bekas ini untuk menunjang fashion mereka, di negara-
negara lain pun banyak mahasiswa yang meminati pakaian bekas ini, seperti
mahasiswa di Freiburg, Jerman2. Menurut mereka, pada umumnya mahasiswa di
2 Lihat pada (Aniesatun, Vera. 2006. “Wanita dan Fashion: Identitas, Budaya dan
Gaya Hidup Pada Mahasiswi” dalam Judith Schlehe dan Pande Made Kutanegara.
Budaya Barat Dalam Kacamata Timur.Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
8
Freiburg mempunyai beberapa tempat tujuan khusus untuk memenuhi kebutuhan
mereka akan fashion, 2 tempat dari 3 tempat yang disebutkan mahasiswa tersebut
adalah pasar baju bekas yaitu flee market (pasar bekas), second hand shop.
Seperti halnya mahasiswa di Freiburg yang memiliki flee market dan
second hand shop, mahasiswa di Sumatera Barat khususnya di Padang dan
Bukittinggi juga memiliki Pasar baju bekas (pasar loak). Salah satunya yang
terkenal adalah pasar loak di Bukittinggi yang dikenal dengan nama “Pasar Butik
atau Boutique Second”.
Pasar Butik merupakan salah satu tempat tujuan khusus untuk memenuhi
kebutuhan mereka akan fashion. Pasar Butik ini ramai dikunjungi setiap "hari
pasar" atau biasa disebut oleh masyarakat dengan “Bukak Bal”, sebab pada hari
itu harga pakaian yang dijual lebih murah. Bukak Bal ini jatuhnya pada Hari
Kamis dan Sabtu, akan tetapi pasar ini lebih ramai dikunjungi pada akhir pekan.
Ramainya Pasar Butik ini, sangat dimungkinkan karena Bukittinggi yang dikenal
sebagai Kota Wisata, dan ditambah lagi letak Pasar Butik pun sangat strategis,
karena berada dekat dengan Jam Gadang sebagai ikonnya Bukittinggi.
Pengunjung yang datang dari berbagai daerah di Sumatera Barat, sambil
melancong juga banyak yang membeli pakaian di Pasar Butik. Selain itu, pada
hari-hari tersebut harga baju-baju bekas lebih murah dari hari-hari biasa dan
barangnya pun masih banyak dan bagus-bagus, sehingga konsumen lebih leluasa
dalam memilih.
Dilihat dari jumlah lapak baju bekas pun lebih ramai di hari Bukak Bal
dan akhir pekan, ini dibanding pada hari biasanya. Perkiraan jumlah pedagang
9
pada hari biasa sekitar 180 orang, sedangkan pada akhir pekan meningkat sampai
lebih dari 200 orang3. Di Pasar Butik ini bukan hanya menjual baju dan celana,
tapi juga menjual berbagai macam tas, dompet, sepatu, ikat pinggang dan topi.
Dari pengamatan awal peneliti, konsumen terbesar pakaian bekas di Pasar
Butik ini adalah anak-anak muda seperti pelajar dan mahasiswa. Hal ini terlihat
dari pengunjung yang mayoritasnya adalah anak-anak muda, serta barang yang
diperjual belikanpun kebanyakan untuk kalangan muda. Baik itu dari pakaian, tas
dan sepatu. Sependapat dengan yang dikatakan Aniesatun (dalam Schele dan
Kutanegara, 2006:188), mahasiswi merupakan salah satu pasar konsumen yang
bagus bagi perkembangan dunia fashion. Oleh sebab itu Mahasiswa didorong
untuk terus mengkonsumsi agar dipandang up to date. Di satu sisi hal ini dapat
dikatakan sebagai tindakan pemborosan dan berlebih-lebihan, seperti halnya yang
dilakukan mahasiswa sebagai konsumen dari pakaian bekas di Pasar Butik
Bukittinggi tersebut. Di sisi lain Pasar Butik menjadi pilihan berbelanja
mahasiswa yang diminati. Itu terlihat dari jumlah pengunjung muda (mahasiswa)
yang lebih ramai ke Pasar Butik dibanding dengan toko-toko yang juga menjual
baju baru di Pasar Atas Bukittinggi.
Mungkin pada awalnya bagi mahasiswa pakaian bekas merupakan pilihan
alternatif bagi mereka yang ingin tampil gaya dengan biaya yang cukup
terjangkau, dibandingkan jika mereka membeli baju baru. Namun tidak menutup
kemungkinan juga bahwa ini merupakan suatu sikap pemborosan dan berlebih-
lebihan. Ini dikarenakan membeli pakaian yang berkualitas dengan harga murah
3 Data dari hasil observasi peneliti di lapangan.
10
bisa saja menjadi sebuah hobi dan suatu kecanduan bagi konsumen khususnya
mahasiswa. Berdasarkan kenyataan itulah peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Mahasiswa Dan Pakaian Bekas”. Khususnya untuk mengetahui mengapa
mahasiswa lebih menyenangi pakaian bekas di Pasar Butik dibandingkan dengan
pakaian baru di Pasar Atas Bukittinggi. Selain itu, secara lebih dalam lagi peneliti
ingin mengetahui bagaimana pola konsumsi (terutama pakaian) dari mahasiswa di
Pasar Butik Bukittinggi.
B. Perumusan Masalah
Pada dasarnya orang senang berpakaian bagus, terlebih lagi jika
memperolehnya dengan harga yang murah. Tidak dipungkiri pula bahwa setiap
orang mempunyai hasrat untuk tampil sempurna di depan umum, bukan hanya
ingin terlihat fashionable tetapi juga ingin menonjol untuk dapat diperhatikan.
Manusia sebagai makhluk sosial yang kerap bergaul dan berintekrasi
membutuhkan pakaian layak pakai untuk memenuhi kebutuhan sandangnya.
Namun agaknya kebutuhan itu sudah tidak dapat dibedakan lagi dengan
keinginan, seringkali pembelian baju oleh seseorang tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan fungsional melainkan pemenuhan keinginan. Disadari atau tidak
budaya konsumerisme ikut berperan di dalamnya.
Salah satu cara memperoleh pakaian yang bagus dan dengan harga murah
yaitu dengan membeli pakaian bekas impor, pakaian bekas impor tercatat ikut
membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik, sehingga konsumen
terbesar dari pakaian bekas tersebut adalah anak muda, khususnya mahasiswa.
Selain merefleksikan keuangannya yang terbatas dan soal pengetahuan, anak
11
muda khususnya mahasiswa tentu lebih terinspirasi dengan kultur luar negri.
Mungkin bagi mahasiswa, pakaian bekas pada awalnya adalah salah satu cara
hemat mereka untuk mendapatkan pakaian dengan merek terkenal dan berkualitas
serta murah. Disisi lain, juga tidak sedikit dari masyarakat yang memandang
pakaian bekas sebagai hal yang kotor, murahan, bekas orang lain, sehingga tidak
layak untuk dikonsumsi
Hal ini juga tidak berbeda jauh dengan pihak pemerintah, menurutnya
pakaian bekas merupakan satu masalah atau pelanggaran, dimana pakaian bekas
merupakan barang illegal yang dilarang di perdagangkan dengan berbagai alasan.
Meskipun pemerintah sudah sering mengeluarkan larangan mengenai
perdagangan pakaian bekas ini, namun dari pihak konsumen tidak pernah
menghiraukannya. Bahkan keberadaan pakaian bekas dari tahun ke tahun semakin
meningkat, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya lapak-lapak yang
menjual pakaian bekas, dan semakin ramainya konsumen yang mengunjungi
lapak tersebut, seperti yang terlihat di “pasar butik” Bukittinggi, dimana remaja
(orang-orang yang terlihat masih muda) yang banyak datang belanja ke pasar
tersebut untuk membeli pakaian bekas. terlebih lagi sewaktu hari libur, pasar butik
ini lebih ramai di kunjungi dibanding dengan toko-toko yang menjual baju baru di
Pasar Atas Bukittinggi4. Hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi penulis,
meskipun sudah dilarang mengapa masih banyak yang beli, dan mengapa pula
anak-anak muda seperti mahasiswa yang banyak datang berbelanja ke Pasar ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah :
4 Sumber : Data dari hasil observasi beberapa kali ke lapangan.
12
1. Seperti apa pola konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas?
2. Bagaiamana mereka melakukan pilih memilih dalam
mengkonsumsi pakaian bekas?
3. Mengapa mahasiswa menyenangi penggunaan pakaian bekas?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan pola konsumsi seperti apa yang dilakukan oleh
mahasiswa terhadap pakaian bekas.
2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan budaya konsumsi mahasiswa
dalam pilih memilih pakaian bekas.
3. Memahami alasan mahasiswa menyenangi pakaian bekas.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini juga mempunyai beberapa manfaat yang terbagi dalam 2
jenis, yaitu manfaat akademis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Akademis
Penelitian berguna sebagai bahan masukan dan referensi bagi para
peneliti dan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita sebagai
mahasiswa antropologi dalam pengembangan konsep-konsep mengenai
pakaian bekas dan budaya konsumsi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan
pemikiran bagi peneliti lain dalam mengembangkan penelitian selanjutnya
mengenai masalah yang sama.
13
E. Kerangka Pemikiran
Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia untuk
melidungi tubuhnya, namun seiring berkembangnya waktu, pakaian tidak hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja tetapi juga sebagai kebutuhan
sosial dan budaya. Maslow berpendapat bahwa kebutuhan yang diinginkan
seseorang tersebut berjenjang, artinya jika kebutuhan yang pertama telah
terpenuhi, kebutuhan tingkat kedua akan muncul menjadi yang utama. Selanjutnya
jika kebutuhan tingkat kedua telah terpenuhi, muncul kebutuhan tingkat ketiga
dan seterusnya sampai tingkat kebutuhan yang kelima (Setiadi,2003:38).
Dalam penelitian ini, kebutuhan mahasiswa untuk memenuhi
kebutuhannya akan fashion, lebih ditekankan pada jenis kebutuhan sosio-budaya.
Karena setiap orang hidup di lingkungan sosial dan budaya, dimana mereka saling
berinteraksi satu sama lain. Salah satunya adalah dengan pakaian, dengan pakaian
mereka dapat memenuhi kebutuhan sosial dan budaya mereka. Pakaian
merupakan ekspresi dari identitas seseorang karena saat kita memilih pakaian,
baik di toko atau di rumah, berarti kita mendefenisikan dan mendeskripsikan diri
sendiri (Laurie dalam Nordholt, 2005:1). Karena pakaian membantu tubuh-tubuh
individual kita menyatakan keberadaan sosialnya dan siapa diri kita. Lebih jauh
Kuper berpendapat;
Dengan memperhatikan arti penting berpakaian sebagai suatu ekspresi dari
identitas sosial, asal usul, komitmen, dan kesetiaan individu, tidaklah
mengherankan bahwa orang-orang seharusnya memandang pakaian hampir
seperti perpanjangan diri mereka sendiri. Singkatnya, sekarang dapat kita
mengerti mengapa hubungan seseorang dengan pakaiannya bersifat langsung
dan lebih akrab daripada hubungannya dengan semua objek materi yang lain”
(Nordholt, 2005:4)
14
Pakaian tidak hanya untuk mengenali identitas individu seseorang saja
tetapi pakaian juga menjadi identifikasi untuk mengenali sebuah group atau
komunitas dari mana orang itu berasal. Misalnya orang minang identik dengan
baju kurungnya, orang jawa identik dengan kembennya, dan komunitas anak punk
identik dengan celana jins ketatnya. Begitupula yang terjadi pada mahasiswa,
pada dasarnya mahasiswa dalam memilih berpakaian secara sadar maupun tidak
sadar mereka akan terpengaruh oleh lingkungan, kelompok atau komunitas
dimana mereka berada, yang menyebabkan identitas tersebut tidak tetap dan
mengalami proses tergantung pada sistuasi atau konteks dimana individu berada.
Perubahan (transition) budaya yang dialami seseorang juga dapat
mempengaruhinya dalam perubahan fashion. Seperti yang dialami oleh para
remaja ketika masuk ke perguruan tinggi sebagai mahasiswa, dimana dalam
memilih gaya berpakaian mereka akan terpengaruh oleh teman-teman dan
lingkungan mereka.
Pakaian erat kaitannya dengan kebudayaan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Morris (dalam Rizky, 2012:5) bahwa pakaian juga mampu
menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display), karna mampu
mengkomunikasikan afiliasi budaya. Pakaian menunjukkan identitas budaya si
pemakainya. Menurut J.J Honigmann dalam Koentjaraningrat (2009:150)
menyebutkan bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu, pertama: wujud
ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak yang berupa ide-ide, gagasan, nilai,
peraturan, norma, dan sebagainya yang memberi jiwa kepada masyarakatnya yang
disebut dengan sistem budaya atau adat istiadatnya. kedua: adalah serangkaian
15
aktifitas manusia dalam suatu masyarakat menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan disebut dengan sistem sosial, dan ketiga: berupa
hasil karya manusia yang disebut dengan kebudayaan fisik. Salah satu dari hasil
kebudayaan ini adalah pakaian. Pakaian sebagai hasil dari budaya yang
mencerminkan kepribadian masyarakat. Adanya slogan yang mengatakan bahwa
“You are what you wear” menyebabkan terciptanya stereotip dalam pakaian yang
menjadikannya sebuah simbol tertentu (Aniesatun dalam Schlehe dan Kutanegara,
2006:181).
Dalam kaitannya, cakupan kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup
manusia. Hidup manusia akan memelihara, mengolah, dan mengerjakan berbagai
hal hal yang menghasilkan tindak budaya. Karena itu konsep kebudayaan menjadi
sangat beragam. Hal ini seperti pernyataan Kroeber dan Kluckhohn (dalam
Endraswara,2003:4), defenisi kebudayaan dapat digolongkan menjadi 7 hal, yaitu:
Pertama, kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang
kompleks, meliputi hukum, seni, moral, adat-istiadat, dan segala
kecakapan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Kedua, menekankan sejarah kebudayaan, yang
memandang kebudayaan sebagai warisan tradisi. Ketiga,
menekankan kebudayaan yang bersifat normative, yaitu
kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia,
seperti cita-cita, nilai dan tingkah laku, Keempat, pendekatan
kebudayaan dari aspek psikologis, kebudayaan sebagai langkah
penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya. Kelima,
16
kebudayaan dipandang sebagai struktur , yang membicarakan
pola-pola dan organisasi kebudayaan serta fungsinya. Keenam,
kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan. Kebudayaan
adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan,
misalkan manusia pintar menggunakan simbol dalam komunikasi
sedangkan hewan tidak. Ketujuh, defenisi kebudayaan yang
kurang lengkap dan tidak bersistem.
Dari defenisi kebudayaan di atas, penelitian ini memakai konsep
kebudayaan tersebut, untuk menjelaskan bagaimana mahasiswa melakukan pilih
memilih pakaian bekas di Pasar Butik, yang dilihat dari nilai-nilai budaya yang
mereka miliki. Sehingga nantinya peneliti dapat mengetahui bagaimana
mahasiswa tersebut melakukan pilih memilih dalam mengkonsumsi pakaian
bekas. Selain itu, Penelitian ini juga menggunakan konsep budaya konsumen.
Dimana budaya konsumen merupakan bentuk khusus dari budaya materi. Lebih
jauh Lury (1998) mengatakan bahwa budaya materi adalah nama yang diberikan
pada kajian hubungan manusia-benda, yaitu kajian mengenai manfaat benda-
benda atau objek-objek. Konsumsi yang dirujuk melalui budaya konsumen dari
lensa budaya materi dapat dilihat sebagai konversi, atau lebih tepatnya, ‘perilaku
manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan-tujuan mereka sendiri
(Strathern dalam Lury, 1998:3). Seperti halnya prilaku mahasiswa dalam
mengkonsumsi pakaian bekas, dimana pakaian bekas tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan akan pakaian semata, lebih dari itu pakaian bekas bagi
mahasiswa juga untuk memenuhi kebutuhannya akan fashion.
17
Bicara mengenai fashion sangat erat kaitannya dengan budaya konsumen.
Institusi sosial fashion sangat menarik perhatian orang karena kemampuannya
menarik konsumen dengan menawarkan sejuta mimpi indah yang pada akhirnya
menjerumuskan orang tersebut pada suatu lingkaran siklus mode yang
perubahannya sangat cepat dan tidak pernah diduga (Aniesatun dalam Schlehe
dan Kutanegara, 2006:174). Fashion (mode) adalah suatu topik yang layak
menjadi perhatian kita karena jelas ia merupakan suatu cara aksi yang dirangsang
oleh perkembangan industri konsumen (Chaney, 2011:99).
Fashion atau mode seperti yang dikatakan oleh Chaney merupakan sebuah
industri yang diciptakan oleh kapitalisme di dalam budaya konsumsi pada
masyarakat (Aniesatun dalam Schlehe dan Kutanegara, 2006:188). Di dalam
masyarakat, mahasiswa merupakan salah satu pasar konsumen yang bagus bagi
perkembangan dunia fashion. Sebab kalangan-kalangan muda sepeti
mahasiswalah yang lebih banyak mengikuti perkembangan tren dalam fashion.
Hal ini dapat dilihat di berbagai pusat-pusat perbelanjaan lebih banyak dikunjungi
oleh kalangan muda, khususnya mahasiswa. Selain itu kita juga banyak melihat
diberbagai tempat pakaian yang banyak dijual adalah pakaian yang dikonsumsi
oleh kalangan muda.
Marshall Sahlins (dalam Lury,1998:22) sudah melakukan pendekatan
antropologis terhadap budaya materi, khususnya mengenai totemisme untuk
mengembangkan sebuah analisis tentang konsumsi, “khususnya makanan dan
pakaian”, dalam masyarakat Barat modern. Ia berargumen sebagai berikut:
Masyarakat modern telah mengganti objek-objek alamiah dan
spesies dengan objek-objek buatan pabrik. Dengan kata lain,
18
objek buatan pabrik berperan sebagai totem baru dunia modern;
dan kelompok konsumen bagaikan suku-suku dalam masyarakat
tradisional. Sahlins menunjuk contoh, bagaimana bagian-bagian
pakaian dapat bertindak sebagai totem, mengkomunikasikan
identitas sosial yang mencolok dan mengidentifikasikan berbagai
‘suku’. Dia memandang sistem pakaian kita bukan sekedar
seperangkat objek materi untuk membuat pemakainya merasa
hangat, tetapi sebagai kode simbolik yang digunakan pemakainya
untuk mengkomunikasikan keanggotaan mereka dalam kelompok
sosial. Jadi, pakaian yang menunjukkan perbedaan antara pria dan
wanita atau antara kelas atas dan bawah juga menunjukkan suatu
sifat berbeda yang dianggap ada di antara mereka. Pakaian
mengkomunikasikan apa yang dianggap ‘kehalusan’ wanita dan
‘keperkasaan’ pria; apa yang dianggap ‘kesopanan’ kelas atas dan
apa yang dianggap ‘kekasaran’ kelas bawah. Dengan demikian
pakaian dapat dipandang mengkomunikasikan hak milik yang
dianggap melekat dalam setiap kelompok dan menjadi dasar untuk
membedakan mereka.
Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif. Masyarakat yang terus
menerus berkonsumsi. Namun konsumsi yang dilakukan bukan lagi hanya
sekedar kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar
kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia.
Konsumsi diartikulasikan dalam rangkaian yang merupakan urutan mitologi dari
sebuah cerita: Manusia yang memiliki kebutuhan-kebutuhan yang membawanya
menuju pada objek yang memberinya kepuasan (Baudrillard,2006:73). Ini berarti
apa yang melandasi konsumsi tidak lagi logika kebutuhan (need) tetapi lebih pada
logika hasrat (desire) atau kepuasan. Lebih jauh antropolog dan ekonom Douglas
dan Isherwood mengatakan:
Konsumsi yang terjadi dalam semua masyarakat adalah “diluar
perdagangan”, artinya tidak terbatas pada perdagangan, tetapi selalu
merupakan fenomena budaya sebagai halnya sebuah fenomena
ekonomi. Hal ini berkaitan dengan makna, nilai dan komunikasi seerat
kaitan antara pertukaran, harga dan ekonomi. Mereka menyatakan
bahwa kegunaan benda-benda selalu dibingkai oleh konteks budaya,
bahkan benda-benda sederhana dalam kehidupan sehari-hari
19
mempunyai makna budaya. Dari perspektif ini, benda-benda materi
bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, tetapi juga
mempunyai makna, dan bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam
hubungan sosial (Lury,1998:16)
Konsumsi telah menjadi suatu budaya, yaitu budaya konsumsi. Dimana
hal ini menyebabkan pemborosan dan berlebih-lebihan dalam memenuhi
kebutuhan untuk kepuasannya, seperti yang dikatakan Herry Priyono (dalam
Sutrisno dan Putranto,2009:267-268).) secara ringkas dan jelas, konsumerisme
adalah konsumsi yang mengada-ada, lebih lanjut dikemukakannya, konsumerisme
tak hanya menyangkut proses sosio psikologis, tetapi juga berupa gejala ekonomi
politik. Dalam banyak hal bisa dikatakan bahwa konsumerisme menjadi syarat
mutlak bagi kelangsungan bisnis status dan gaya hidup.
Budaya konsumen erat kaitannya dengan gaya hidup, karena konsumsi
terhadap suatu barang, menurut Weber (dalam Damsar,2005:88), merupakan suatu
gambaran gaya hidup dari kelompok status tertentu. Selanjutnya Satria (dalam
Schlehe dan Kutanegara, 2006:114-115) memaparkan:
Budaya konsumen dicirikan dengan peningkatan gaya hidup
(lifestyle). Justru menurut Lury, proses pembentukan gaya hidup-lah
yang merupakan hal terbaik yang mendefenisikan budaya
konsumen.(...). Orang berusaha sebisa mungkin menunjukkan
identitas dirinya pada khalayak melalui lifestylenya, yang tentu saja
berbeda satu sama lain, sebisa mungkin gayanya khas dan orang
lain tidak mampu menirunya.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Lury, Alfitri (2007:6) juga
mengatakan bahwa setiap orang memiliki gaya hidupnya masing-masing,
sehingga mempengaruhi perilaku dalam menentukan pilihan yang akan di
20
konsumsi. Dengan begitu gaya hidup merupakan pilihan seseorang yang pada
nantinya akan menjadi sebuah identitas yang membedakannya dengan orang lain.
Hal ini juga terjadi pada mahasiswa, dimana mereka ingin menunjukkan
jati dirinya dan ingin terlihat menonjol dengan pakaian yang mereka pakai, serta
berbeda satu sama lain. Salah satunya adalah dengan cara mengkonsumsi pakaian
bekas. Seperti yang dikatakan Herry Priyono (dalam Sutrisno dan Putranto,2009)
hal yang sama juga terjadi pada mahasiswa yang mengkonsumsi pakaian bekas.
Mahasiswa adalah masyarakat yang konsumtif terhadap pakaian bekas, apa yang
melandasi konsumsi tidak lagi logika kebutuhan (need) tetapi lebih pada logika
hasrat atau kepuasan.
Baudrillard (dalam Martono, 2012:135) menjelaskan bahwa rasionalitas
konsumsi dalam sistem masyarakat yang berprilaku konsumtif telah jauh berubah,
karena saat ini membeli bukan lagi sebagai upaya memenuhi kebutuhan, namun
lebih sebagai pemenuhan hasrat, menjadikan konsumsi tidak lagi hanya melihat
kepada nilai guna barang yang dibeli, akan tetapi kepada makna atau simbol yang
melekat pada objek atau barang. Sehingga mengkonsumsi pakaian bekas bukan
lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi untuk memenuhi kebutuhan akan
fashion. Bicara mengenai fashion tidak terlepas dari budaya konsumsi, dan ini
berarti budaya konsumsi telah memasuki kehidupan anak-anak muda seperti
mahasiswa. Oleh sebab itu, peneliti memakai konsep budaya konsumsi agar dapat
membantu peneliti nantinya untuk menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana
budaya konsumsi ini mempengaruhi pola konsumsi mahasiswa terhadap pakaian
bekas, dan seperti apa pola konsumsi tersebut.
21
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Sebagai sebuah penelitian antropologi, penelitian ini bertipe
penelitian desktiptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif yaitu : untuk mengumpulkan data di lapangan, karena
metode ini memfokuskan kegiatan orang dalam berinteraksi dengan
lingkungan kehidupan mereka, dan dalam meneliti penulis berusaha
memakai bahasa dan tafsiran yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang
diteliti dengan dunia sekitarnya. Metode kualitatif ini akan menghasilkan
data deskriptif, keutuhan data yang didapat dilapangan dilakukan
penelitian secara holistik (Moleong, 2000:32).
Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah alat pengumpul data
utama. Hal ini dilakukan karena peneliti sebagai “alat” yang sangat
memungkinkan untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-
kenyataan yang ada dilapangan, dapat berhubungan dengan informan atau
objek lainnya, dan peneliti mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan
di lapangan. Peneliti menempatkan dirinya selama peranan sebagai pelaku
yang ditelitinya dan mencoba untuk dapat mencapai tingkat pemahaman
yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala sosial
yang diamatinya (Moleong, 2000:5).
Peneliti mendeskripsikan suatu keadaan melalui data yang
diperoleh di lapangan. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar
dan bukan angka. Semua data yang dikumpulkan berkemungkinan
22
menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Data tersebut berasal dari
naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dan dokumen pribadi. Menurut
Koentjaraningrat (1997:29) penelitian bersifat deskriptif memberikan
gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau pun
kelompok tertentu
Metode kualitatif dengan penelitian deskriptif ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai budaya konsumsi yang terjadi pada
mahasiswa melalui pakaian bekas. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan secara detail mengenai budaya konsumsi serta pola
konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas sebagaimana yang tergambar
pada masalah penelitian ini. Sesuai dengan realita yang ada yang diperoleh
peneliti di lapangan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kawasan Pasar Atas Bukittinggi, atau
lebih dikenal dengan pasar butik (pasar loak). Peneliti memilih pasar loak
yang ada di Bukittinggi ini dikarenakan pasar ini lebih pesat
perkembangannya dibanding dengan pasar loak yang ada di kota- kota
lain. Selain itu pasar loak yang lebih dikenal dengan sebutan “pasar butik”
ini sangat dikenal oleh kalangan mahasiswa-mahasiswa di Kota
Bukittinggi, Padang dan sekitarnya.
3. Informan Penelitian
Informan adalah sumber informasi, mereka sebagai seorang
pembicara asli yang menggunakan bahasa mereka sendiri untuk
23
memberikan informasi, agar lebih dekat dengan kebudayaan mereka
sehingga semua hal yang akan menghambat penemuan informasi akan
dikesampingkan (Spradley,1997:35). Informan menjadi objek penting dal
am penelitian, yang menjadi sumber data dalam penelitian.
Informan Penelitian adalah orang yang dipilih sesuai dengan
kepentingan permasalahan dan tujuan penelitian. Pemilihan informan
dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu yang tujuannya
adalah menyaring sebanyak mungkin informasi yang menjadi dasar dari
rancangan teori yang akan dibangun (Moleong, 2000 : 3).
Dalam pengambilan informan, peneliti melakukan dengan tekhnik
non probabilitas sampling karena tidak semua individu (anggota populasi)
dapat dijadikan sumber informasi. Teknik ini dilakukan dalam dua bentuk
yaitu teknik purposive sampling dan teknik snowball sampling. Purposive
sampling yaitu teknik penarikan informan dengan tujuan tertentu.
Purposive dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih oleh
peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki (Mantra, 2004:121).
Adapun informan yang dipilih secara purposive sampling ini adalah
pedagang pakaian bekas dan mahasiswa yang menjadi konsumen dari
pakaian bekas.
Untuk mendapatkan informan selanjutnya peneliti memakai
tekhnik snowball sampling. Bentuk snow ball sampling diartikan sebagai
peneliti meminta rekomendasi dari informan pertama untuk menunjukan
beberapa informan yang dianggap sesuai dengan objek penelitian
24
kemudian peneliti meminta rekomendasi lagi dari informan yang
ditunjukan oleh informan pertama tadi dan begitu seterusya. Orang yang
bisa dijadikan informan pertama oleh peneliti untuk memulai teknik snow
ball adalah mahasiswa yang merupakan konsumen pakaian bekas di
Boutique Second. Dari informan ini selanjutnya diminta rekomendasi
untuk ditunjukkan langsung beberapa orang, yang dirasa juga mengetahui
dan dapat melengkapi data mengenai permasalahan penelitian ini.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak terkait dengan
topik penelitian ini, maka informan penelitian dibagi dalam beberapa
kelompok, yaitu terdiri dari: (1) informan kunci, (key informan), yaitu
mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan
dalam penelitian, (2) informan biasa, yaitu mereka yang terlibat secara
langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan tambahan, yaitu
mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung
terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti (Hendarso dalam
Suyanto, 2005: 171-172). Namun, untuk memilih siapa yang tepat menjadi
informan dalam penelitian ini, peneliti memilih informan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Dengan demikian, ditetapkanlah kriteria pemilihan informan.
Kriteria informan yang dipilih sebagai informan kunci dan informan biasa
dalam melakukan penelitian ini adalah :
a. Informan kunci dalam penelitian in adalah pedagang pakaian bekas
serta konsumen pakaian bekas yang bukan berstatus sebagai
25
mahasiswa. Jumlah informan kunci dalam penelitian ini adalah 5
orang, yaitu 3 orang pedagang pakaian bekas serta 2 orang
konsumen pakaian bekas yang bukan merupakan mahasiswa.
b. Informan biasa adalah orang-orang yang memiliki hubungan
langsung dengan topik penelitian. Jumlah informan biasa dalam
penelitian ini adalah 5 orang mahasiswa yang merupakan
konsumen pakaian bekas, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Bersedia diwawancarai
2. Konsumen “Pasar Butik” Bukittinggi (sering berbelanja,
minimal 1-2 kali dalam sebelum)
3. Berstatus mahasiswa
c. Informan tambahan dalam penelitian ini berjumlah 5 orang, yaitu
1 orang tukang jahit, 1 orang mahasiswa yang bukan konsumen
dari pakaian bekas, dan 3 orang mahasiswa yang juga merupakan
konsumen namun tidak termasuk kedalam kriteria penelitian ini.
Jumlah dari keseluruhan informan dalam penelitian ini adalah 15
orang. Berikut nama-nama informan yang telah peneliti
wawancarai:
Tabel 1. Informan Penelitian
No. Nama Inisial Jenis
Kelamin
Umur Status
1 F Laki-laki 24 tahun Pedagang
2 P Laki-laki 26 tahun Pedagang
3 R Perempuan 21 tahun Pedagang
26
4 J Laki-laki 26 tahun Konsumen
bukan
mahasiswa
(pegawai bank)
5 Y Perempuan 25 tahun Konsumen
bukan
mahasiswa
6. A Laki-laki 23 tahun Mahasiswa
7 I Laki-laki 24 tahun Mahasiswa
8 U Perempuan 22 tahun Mahasiswa
9 D Perempuan 23 tahun Mahasiswa
10 S Perempuan 22 tahun Mahasiswa
11 M Laki-laki 21 tahun Mahasiswa
12 H Perempuan 23 tahun Mahasiswa
13 AC Perempuan 21 tahun Mahasiswa
14 DF Perempuan 22 tahun Mahasiswa
15 IM Laki-laki 61 tahun Tukang jahit
4. Tekhnik Pengumpulan Data
4.1 Observasi Partisipasi
Metode pengamatan atau observasi adalah salah satu alat penting untuk
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif. Mengamati berarti
memperhatikan fenomena di lapangan melalui kelima indra peneliti, seringkali
dengan instrument atau perangkat dan merekamnya untuk tujuan ilmiah
(Angrosino dalam Creswell, 2015:231). Observasi merupakan sebuah teknik
pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati
hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda, waktu,
27
peristiwa, tujuan, dan perasaan. Observasi partisipasi merupakan salah satu
jenis proses pengamatan yang lebih mendalam. Pengamatan terlibat dan
pengamatan tidak terlibat dibedakan dari ada tidaknya interaksi antara peneliti
dengan informan. Dalam pelaksanaannya, pengamatan terlibat, peneliti harus
memupuk terlebih dahulu hubungan baik dan mendalam dengan informan.
Sikap saling percaya tersebut dikenal dengan istilah rapport. Observasi dalam
penelitian ini, dimulai dari akhir tahun 2015 sampai dengan Januari 2017.
Esensi dari pengamatan terlibat adalah untuk memperoleh data
tentang:
a. Bagaimana keadaan “Pasar Butik” tersebut ? (di dalamnya meliputi
hubungan antara pedagang dan pembeli, transaksi seperti apa yang
terjadi antara pedagang dan pembeli, hari apa saja mahasiswa banyak
berbelanja di “Pasar Butik”, jam-jam berapa saja “Pasar Butik” ramai
di kunjungi? )
b. Melihat pola dan budaya konsumsi pada mahasiswa dalam
berbelanja pakaian bekas di Pasar Butik (di dalamnya meliputi
bagaimana mahasiswa tersebut melakukan pilih-memilih dalam
membeli pakaian bekas).
4.2 Wawancara Mendalam
Seorang peneliti tidak melakukan wawancara berdasarkan sejumlah
pertanyaan yang telah disusun dengan mendetail dengan alternatif jawaban
yang telah dibuat sebelum melakukan wawancara, melainkan berdasarkan
pertanyaan yang umum yang kemudian didetailkan dan dikembangkan ketika
28
melakukan wawancara atau setelah melakukan wawancara berikutnya.
Mungkin ada sejumlah pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelum
melakukan wawancara (sering disebut pedoman wawancara), tetapi
pertanyaan tersebut tidak terperinci dan berbentuk pertanyaan terbuka / tidak
ada alternatif jawaban. Hal ini berarti wawancara dalam penelitian kualitatif
dilakukan seperti dua orang yang bercakap-cakap tentang sesuatu (Afrizal,
2014:20).
Data yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara mendalam ini adalah
data utama yang dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video
serta foto – foto pakaian dari narasumber, dari apa yang mereka ketahui
tentang pakaian bekas, mengapa mereka bisa menyenangi penggunaan pakaian
bekas, jenis pakaian yang dia suka, sampai bagaimana dia mengkreasikan
pakaian tersebut untuk dipakai dalam kesehariannya.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpulan data
berupa:
a. Daftar pedoman wawancara digunakan sebagai pedoman dalam
mengajukan peranyaan-pertanyaan kepada informan.
b. Buku catatan dan pena digunakan untuk mencatat seluruh
keterangan yang diberikan oleh informan.
c. Handphone digunakan untuk merekam sesi wawancara yang
sedang berlangsung.
d. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan seluruh peristiwa
yang terjadi selama proses penelitian.
29
5. Analisa Data
Analisis data dilakukan sejak penulis berada dilapangan. Data yang
diperoleh di lapangan baik itu hasil dari wawancara, observasi atau
pengamatan, dikumpulkan dan diklasifikasikan berdasarkan temanya,
kemudian data tersebut diinterpretasikan kedalam bentuk tulisan guna
memperoleh gambaran sesungguhnya tentang masalah yang diteliti. Data
analisis secara interpretatif dan dilihat secara keseluruhan (holistik) untuk
menghasilkan suatu laporan penelitian yang deskriptif tentang masalah yang
diteliti. Pekerjaan menganalisis data ini memerlukan ketekunan, ketelitian, dan
perhatian khusus. Pekerjaan mencari dan menemukan data yang menunjang
atau tidak menunjang hipotesis pada dasarnya memerlukan seperangkat
kriteria tertentu, kriteria ini perlu didasarkan atas pengalaman, pengetahuan,
atau teori sehingga membantu pekerjaan ini.
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis
secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data
dilapangan secara berkesinambungan, sehingga kualitas penelitian diharapkan
dapat mendekati realitas (Bungin, 2007 : 106).
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan kedalam hipotesis kerja (Moleong, 1990 : 103).
Analisa data dilakukan sebelum, selama, dan sesudah penelitian dengan cara
menggabungkan data-data yang diperoleh dari penelitian satu sama lainnya.
30
Analisa data dapat bersifat interpretative dan disajikan dalam bentuk
deskriptif yang dipercayai sebagai kekuatan untuk penulisan dalam
pendekatan kualitatif. Untuk menjaga kesahihan data, selama dan sesudah
penelitian dilakukan pengecekan, seperti teknik, reinterview pada setiap
jawaban yang diberikan oleh informan pada saat wawancara.
6. Proses Jalannya Penelitian
Penelitian ini diawali pada bulan April 2016 dan berakhir pada bulan
Januari 2017. Penelitian ini dilakukan di Boutique Second Bukittinggi, selain
itu penelitian juga dilakukan di area kampus, dimana informan penelitian
berkuliah dan juga tempat-tempat lain seperti coffee shop.
Penelitian dilakukan secara bertahap, mulai dari pembuatan proposal
penelitian, terjun ke lapangan, dan mengolah data untuk pembuatan skripsi.
Tahap awal pada saat pembuatan proposal penelitian terlebih dahulu dengan
membaca tulisan atau literatur yang berhubungan dengan judul penelitan ini.
Selain itu untuk melengkapi data pembuatan proposal penelitian, maka
dilakukan survey awal di lokasi penelitian pada akhir tahun 2015.
Survey awal atau observasi awal dilakukan di lokasi penelitian yaitu di
Boutique Second Bukittinggi, selain itu penulis juga menemani seorang teman
ke Dinas Pasar dan ke Dinas KOPERINDAG, dimana waktu itu Ia juga
membutuhkan data-data terkait mengenai Boutique Second, dan penulis juga
memanfaatkan hal ini untuk mengetahui tentang Boutique Second dan Pakaian
Bekas, serta bagaimana status keberadaannya. Observasi ini dilakukan dengan
31
tujuan untuk mendapatkan data awal guna melengkapi dan menunjang
proposal penelitian ini.
Penulisan proposal berlangsung selama 4 bulan dan setelah
mendapatkan persetujuan dari kedua pembimbing skripsi pada bulan Januari ,
penulis melaksanakan ujian proposal pada tanggal 18 Februari 2015. Setelah
melaksanakan ujian proposal, selanjtnya penulis mulai melakukan penelitian
di lapangan pada akhir April 2015.
Proses penelitian dilakukan setelah keluarnya surat izin penelitian oleh
Departemen Pendidikan Nasional Fakulas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Adalas No: 412/UN16.08.WD I/PP/2016. Hal Permohon Izin
Penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga saat melakukan penelitian
di lapangan.
Dalam melakukan penelitian, penulispun melakukannya secara
bertahap, pada tahap awal penelitian, penulis memfokuskan untuk
memperoleh data mengenai bab II, yaitu mengenai keadaan pasar, dimana
data-data tersebut diperoleh dari hasil observasi penulis dan beberapa orang
pedagang di Boutique Second. Untuk melengkapi data ini penulis lebih sering
melakukan kunjungan ke lokasi penelitian untuk melihat keadaan pasar. Selain
itu penulis juga memperoleh data dari 2 orang teman yang tahu banyak
mengenai pakaian bekas, namun kedua orang ini tidak berstatus sebagai
mahasiswa. Selanjutnya, penulis memfokuskan untuk memperoleh data-data
mengenai bab III dan bab IV, dimana data tersebut banyak diperoleh dari
mahasiswa-mahasiswa yang merupakan konsumen dari pakaian bekas.
32
Penelitian ini memang lebih sering dilakukan di lokasi penelitian yaitu
di Boutique Second Bukittinggi, baik itu dengan pedagang pakaian bekas
ataupun dengan mahasiswa. Akan tetapi untuk melengkapi data dengan
mahasiswa yang merupakan konsumen pakaian bekas, penelitian ini juga
dilakukan di tempat-tempat lain seperti di kampus, dan coffee shop sesuai
kesepakatan dengan informan.
Selama penelitian di lapangan, biasanya penulis selalu ditemani oleh
teman dan terkadang hanya berdua saja dengan informan, hal ini sangat
membantu penulis di lapangan. Adanya saran-saran dari teman saat
dilapangan juga mempermudah penulis dalam melakukan wawancara dengan
pedagang, serta informan lainnya. Kemudahan lain yang penulis rasakan yaitu
keterbukaan pedagang dan informan saat memberikan informasi yang penulis
butuhkan membuat penulis merasa nyaman dan tidak canggung untuk
bertanya lebih dalam lagi.
Selama melakukan penelitian dilapangan, tidak hanya kemudahan-
kemudahan yang penulis rasakan, penulis juga merasakan beberapa kesulitan,
yaitu ketika menanyai beberapa informasi yang membuat informan merasa
kurang nyaman dan takut dirugikan, biasanya mereka agak sedikit tertutup.
Kesulitan lain yang dialami penulis adalah masalah waktu. Untuk waktu
penelitian, tidak dilakukan setiap hari, waktu penelitian biasanya tergantung
kesepakatan dengan informan dan mengikuti waktu yang diinginkan informan,
jika itu data terkait informan tersebut. Sehingga hal ini merupakan kendala
bagi penulis, sebab informan-informan tersebut memiliki kesibukan yang
33
berbeda-beda, sehingga penulis harus menyesuaikan waktu yang telah
ditentukan oleh informan-informan tersebut.