Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

29
1 Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra sebagai sebuah produk budaya telah dipandang sebagai salah satu elemen yang penting dalam perkembangan kehidupan manusia baik sebagai makhluk sosial maupun individu. Kutha Ratna (2004:332) menyatakan bahwa fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan dan mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu selalu mengalami perkembangan. Artinya semakin kompleks kehidupan manusia semakin berkembang pula genre yang dimiliki oleh sastra. Dapat dilihat buktinya pada zaman Yunani Kuno, pembicaraan terhadap sastra hanya sebatas pada puisi. Lain halnya dengan kondisi saat ini, genre-genre sastra telah berkembang sangat jauh dibandingkan dengan yang terdapat pada zaman tersebut. Saat ini genre prosa, lebih khususnya lagi novel, adalah jenis karya sastra yang paling populer. Hal tersebut dikarenakan novel memiliki sarana penceritaan yang paling lengkap dan dianggap memiliki kemiripan paling dekat dengan narasi nonsastra (Ratna, 2011:482). Jika dilihat awal perkembangannya kata ‘novel’ pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 memang dapat digunakan untuk kejadian nyata maupun fiktif (Eagleton, 2006:2). Hal tersebut setidaknya dapat menjelaskan

Transcript of Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1  

Bab I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra sebagai sebuah produk budaya telah dipandang sebagai salah satu

elemen yang penting dalam perkembangan kehidupan manusia baik sebagai

makhluk sosial maupun individu. Kutha Ratna (2004:332) menyatakan bahwa

fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan dan mencerminkan kehidupan

manusia, sedangkan kehidupan manusia itu selalu mengalami perkembangan.

Artinya semakin kompleks kehidupan manusia semakin berkembang pula genre

yang dimiliki oleh sastra. Dapat dilihat buktinya pada zaman Yunani Kuno,

pembicaraan terhadap sastra hanya sebatas pada puisi. Lain halnya dengan kondisi

saat ini, genre-genre sastra telah berkembang sangat jauh dibandingkan dengan

yang terdapat pada zaman tersebut.

Saat ini genre prosa, lebih khususnya lagi novel, adalah jenis karya sastra

yang paling populer. Hal tersebut dikarenakan novel memiliki sarana penceritaan

yang paling lengkap dan dianggap memiliki kemiripan paling dekat dengan narasi

nonsastra (Ratna, 2011:482). Jika dilihat awal perkembangannya kata ‘novel’ pada

akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 memang dapat digunakan untuk kejadian

nyata maupun fiktif (Eagleton, 2006:2). Hal tersebut setidaknya dapat menjelaskan

2  

keluwesan yang dimiliki oleh novel dari segi penceritaannya yang dapat

menggabungkan antara unsur-unsur fiktif dan faktual sehingga menghasilkan

sebuah karya yang menarik untuk disimak. Dalam hal ini perlu ditekankan kembali

unsur kefiktifan yang dimiliki oleh karya sastra. Para penikmat genre tersebut tidak

jarang terpukau oleh unsur-unsur faktual yang dibubuhi oleh pengarang sehingga

terhanyut dan melupakan hal terpenting bahwa yang mereka baca adalah fiktif

belaka.

André Malraux, sebagai salah satu pengarang besar Prancis abad ke-20, telah

dikenal melalui novel-novelnya yang banyak menampilkan unsur-unsur faktual.

Karya-karya yang ia hasilkan sebagian besar memang terinspirasi langsung dari

pengalaman-pengalaman hidupnya yang penuh petualangan. Lahir di Paris pada 3

November 1901 selain seorang novelis Malraux juga merupakan seorang seniman,

sejarawan dan negarawan yang aktif mendukung jendral Charles de Gaulle sehingga

selama masa pemerintahan sang jendral, Malraux ditugaskan untuk menjadi menteri

kebudayaan Prancis karena kepiawaian yang dimilikinya1.

Saat-saat mudanya ia gunakan untuk bertualang menjelajahi hutan di

Indochina untuk mencari peninggalan-peninggalan peradaban Khmer kuno. Aksinya

tersebut membuat ia ditangkap oleh pemerintah kolonial Prancis di Kamboja karena

dianggap telah melakukan penjarahan makam. Malraux akhirnya dinyatakan bebas

setelah mengajukan banding pada pemerintah di Paris. Penganiyaan yang ia terima

                                                            1 André Lagard et al. 1973. XXe Siècle Collection Littéraire. Paris, Bruxelles, Montréal : Bordas.

Halaman 482

3  

selama masa penahanan oleh pemerintah kolonial membuatnya menjadi seorang

anti-kolonialisme dan mendukung pergerakan Jeune-Annam, sebuah kelompok

pergerakan kemerdekaan Vietnam, dengan mendirikan sekaligus menjadi editor

surat kabar L'Indochine Enchaînée2.

Sekembalinya Malraux ke Eropa, karena meluasnya ancaman fasisme yang

dipimpin oleh Hitler, ia turut pula terjun langsung pada peristiwa-peristiwa yang

penting seperti perang sipil di Spanyol dan perang dunia kedua. Pada kedua perang

tersebut ia turut serta dalam berbagai aksi pertempuran. Di Spanyol ia dipercaya

oleh pasukan Republik untuk menjadi kapten bagi satu skuadron pesawat tempur

dengan pangkat kolonel. Setelah melalui berbagai pertempuran di front terdepan ia

berangkat ke Amerika Serikat dengan tujuan membantu mengumpulkan dana untuk

keperluan medis di Spanyol. Selanjutnya pada perang dunia kedua yang meletus

pada tahun 1939, Malraux mendaftarkan diri menjadi anggota militer dan

ditempatkan sebagai prajurit di unit tank Prancis. Saat Jerman berhasil

menundukkan pasukan Prancis Malraux juga ikut tertangkap dan dijadikan tahanan

selama masa penaklukan. Ia mampu melarikan diri dari tahanan namun kembali

tertangkap dan baru dapat dibebaskan setelah pasukan sekutu membebaskan Prancis.

Setelah itu ia membentuk dan memimpin Brigade Alsace-Loraine untuk

                                                            2  Curtis Cate. 1997. André Malraux : A Biography. New York : Fromm Publishing. Halaman 86-96  

4  

melanjutkan peperangan melawan Jerman mendampingi pasukan divisi satu Prancis

hingga perang dunia kedua berakhir3.

Berbagai aksi dan petualangan yang dialami oleh Malraux tersebut menjadi

inspirasi utama bagi karya-karyanya. Karya pertamanya berjudul Les Conquérants,

yang terbit pada tahun 1928 terinspirasi dari perjalanannya selama di Indochina.

Novel tersebut bercerita tentang perjuangan partai Kuomintang dan partai Komunis

Cina dalam revolusi di Kanton pada tahun 1920-an. Dilanjutkan dengan La Voie

Royale yang terbit pada tahun 1930, Malraux menuangkan kisah perjalanannya

mencari peninggalan peradaban Khmer kuno di hutan Indochina ke dalam karyanya

tersebut. Berikutnya Le Temps du Mépris (1935) dan L’Espoir (1938) merupakan

karyanya yang dihasilkan selama masa-masa pergolakan fasisme di Eropa. Le

Temps du Mépris menceritakan perlawanan bawah tanah terhadap Nazi di Jerman

sedangkan L’Espoir mengisahkan kilas balik kejadian selama sembilan bulan

pertama perang sipil di Spanyol. Selain karya-karya Malraux di atas terdapat satu-

satunya novel yang dianggap sebagai sebuah masterpiece dan berhasil mendapatkan

penghargaan ternama Prix Goncourt dari Académie Goncourt yaitu La Condition

Humaine 4 . Penciptaan Novel La Condition Humaine didasari atas rasa simpati

Malraux terhadap kaum komunis di Cina. La Condition Humaine berlatar belakang

kondisi revolusi di Shanghai pada tahun 1927 yang berakhir tragis dengan

pembantaian anggota-anggota komunis militan Shanghai oleh partai Kuomintang

                                                            3 André Georges Malraux. (2011). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Classroom

Edition. Chicago: Encyclopædia Britannica 4 Ibid 

5  

pimpinan Chang-Kai-Shek. Sebelumnya partai Komunis Cina dan Kuomintang

bersatu untuk melawan pemerintahan utara namun seiring kekalahan musuh

bersama mereka itu, gesekan-gesekan kepentingan antara dua partai besar tersebut

sebagai pemimpin Cina yang baru tidak terelakkan lagi. Partai Komunis Cina yang

didukung oleh kaum buruh dan petani ingin mendirikan pemerintahan yang berbasis

ajaran komunis, sedangkan partai Kuomintang yang didukung oleh kaum borjuis

menentang hal tersebut karena harta yang mereka miliki terancam diambil alih oleh

pemerintah komunis jika hal itu terjadi. Selain itu terjadi pula perpecahan di dalam

tubuh partai Komunis antara Komunis militan Shanghai dan Komunis Internasional

atau Komintern. Komunis militan berkeinginan keras agar partai Komunis Cina

memisahkan diri dari Kuomintang dan mengobarkan revolusi untuk mengambil alih

Cina sedangkan Komintern menginginkan hal yang sebaliknya dengan alasan posisi

mereka yang dianggap masih lemah.

Novel La Condition Humaine mampu menarik pembacanya untuk larut ke

dalam sebuah peristiwa revolusi yang penuh akan penderitaan tiap-tiap tokohnya

untuk menemukan makna hidup dan perjuangan masing-masing individu. Tokoh-

tokoh yang dimaksud bukan hanya berasal dari pihak-pihak yang mendukung

terjadinya revolusi melainkan juga mereka yang menentang atau bahkan tidak

peduli terhadap keberlangsungan revolusi. Makna novel La Condition Humaine

bukanlah semata-mata pertarungan antara dua kubu yang saling berhadapan secara

frontal dan juga bukan untuk menundukkan suatu musuh dalam pertikaian. Makna

novel lebih ditekankan pada upaya pencarian arti hidup dan pembebasan diri dari

6  

kodrat kemanusiaan yang dimiliki oleh para tokohnya. Hal tersebutlah yang

menjadikan La Condition Humaine sangat menarik untuk ditinjau dari segi

penokohan novel. Tiap-tiap individu dalam La Condition Humaine merupakan

tokoh sentral yang tergabung dalam sebuah komunitas revolusi. Setiap tokoh novel

memiliki keunikan ditinjau dari latar belakang dan permasalahan hidup yang

mereka hadapi.

Di antara tokoh-tokoh dalam novel La Condition Humaine pengarang nampak

memiliki simpati tersendiri dengan memberikan penekanan terhadap pentingnya

tokoh yang bernama Baron de Clappique dalam bukunya Anti-Mémoire5. Clappique

digambarkan sebagai tokoh yang hidup dalam imajinasi dan menjauhkan diri dari

realitas kehidupan. Ia terjebak di antara orang-orang yang mendukung revolusi dan

orang-orang yang menentangnya. Sementara ia dapat berguna bagi kepentingan

revolusi namun juga dapat merugikan bahkan fatal bagi perjuangan. Perilakunya

konyol, sulit ditebak dan hampir tidak pernah serius seperti seseorang yang

memiliki kepribadian ganda. Seringkali ia meniru gaya tokoh-tokoh terkenal dan

seakan-akan mengasosiasikan dirinya dengan tokoh yang ia tiru tersebut. Ia pun

gemar menceritakan kisah-kisah imajinasi yang seolah-olah nyata sehingga menarik

perhatian orang-orang yang berbicara dengannya. Clappique selalu bersembunyi di

balik kebohongan-kebohongan dan sikapnya yang sulit ditebak (Goldmann,

                                                            5 Claude Tannery. 1991. Malraux, the Absolute Agnostic; Or, Metamorphosis as Universal

Law.Chicago: University of Chicago Press. 

7  

1973:67). Penyebab dari semua tingkah laku aneh yang dimiliki oleh Clappique

adalah dikarenakan ia menderita gangguan psikologi yang disebut mythomania.

1.2 Permasalahan

Pada umumnya karya sastra menampilkan dikotomi antara tokoh protagonis

dan antagonis dalam unsur penokohannya. Banyak pengarang menyajikan

perseteruan dua sisi yang berlawanan tersebut sebagai sebuah konflik utama dalam

karya ciptaan mereka. Novel La Condition Humaine memiliki perbedaan dengan

karya-karya pada umumnya dalam aspek tersebut. Hal ini dikarenakan yang terjadi

di antara tokoh-tokohnya tidak difokuskan pada pertarungan antara dua kubu yang

saling berselisih. Perseteruan antara partai Kuomintang dan partai Komunis Cina

yang disajikan sepanjang novel La Condition Humaine hanyalah sebagai latar

belakang. Permasalahan utama yang ditonjolkan oleh pengarang dalam La

Condition Humaine ialah terletak pada upaya pencarian arti hidup dan pembebasan

diri tiap-tiap tokohnya. Di antara tokoh-tokoh tersebut penulis tertarik untuk

mengangkat tokoh Baron de Clappique sebagai objek utama penelitian dikarenakan

aspek kelainan psikologis berupa kecenderungan mythomaniac yang diderita

olehnya. Minimnya pemahaman di dalam masyarakat umum mengenai gangguan

psikologis tersebut menjadi masalah dalam menangkap pesan yang ingin

disampaikan oleh pengarang melalui tokoh Baron de Clappique. Pesan tersebut

nampak tersimpan dalam hubungan antara mythomania pada Clappique dengan

makna novel yang disampaikan oleh Malraux dalam karyanya tersebut.

8  

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, didapatkan beberapa rumusan masalah

sebagai berikut:

1) Penyebab dan gejala-gejala kecenderungan mythomaniac yang diderita

oleh Baron de Clappique.

2) Akibat kecenderungan mythomaniac terhadap diri Baron de Clappique dan

lingkungan di sekitarnya.

3) Hubungan antara mythomania pada tokoh Baron de Clappique dengan

tema takdir manusia dalam novel.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua macam tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan

praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah menghadirkan pemahaman mengenai

gejala dan penyebab kecenderungan mythomaniac yang diderita oleh tokoh Baron

de Clappique dalam novel La Condition Humaine dengan menggunakan teori

psikologi sastra dan pemahaman mengenai kecenderungan mythomaniac dari

beberapa ahli psikologi. Penelitian ini bertujuan pula untuk mengembangkan

psikologi sastra sebagai sebuah teori yang mampu mengungkap berbagai

penggunaan konsep kelainan psikolgis dalam suatu karya sastra.

Tujuan praktis penelitian ini adalah sebagai sebuah sumbangan pembelajaran

serta apresiasi kesusatraan Prancis khususnya novel La Condition Humaine. Lebih

9  

lanjut penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan wawasan dan pemahaman

yang lebih luas kepada pembaca mengenai konsep mythomania yang diterapkan

dalam suatu karya sastra sehingga pesan pengarang yang ingin diungkapkan

melaluinya dapat diterima dengan lebih baik.

1.5 Tinjauan Pustaka

Karya-karya yang dihasilkan oleh André Malraux tentunya telah banyak

dijadikan objek penelitian. Di antaranya yang terkenal adalah penelitian yang

dilakukan oleh Lucien Goldmann dalam bukunya Pour Une Sociologie du Roman.

Dalam penelitian tersebut Goldmann menggunakan teori strukturalisme genetik

yang ia ciptakan untuk menganalisis novel-novel André Malraux, khususnya tiga

novel pertamanya yaitu Les Conquérants, La Voie Royale dan La Condition

Humaine. Sesuai dengan tujuan teori strukturalisme genetik, Goldmann dalam

penelitianya mengungkapkan pandangan dunia Malraux di dalam karya-karyanya.

Melalui dua novel revolusi yang diciptakan Malraux yaitu Les Conquérants (1928)

dan La Condition Humaine (1933), Goldmann menyatakan bahwa Malraux tidak

mengidentifikasikan dirinya dengan partai komunis pada saat ia menulis kedua

novel tersebut. Partai tersebut memang hadir dalam karyanya namun nilai-nilai

fundamental yang menyusun dunia di dalam dua karya tersebut berbeda. Selain itu

diungkapkan pula faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap pemikiran

Malraux dalam karyanya-karyanya seperti latar belakang sejarah dan kondisi sosial

saat karya tersebut dihasilkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun

10  

menggunakan objek penelitian yang sama namun teori yang digunakan dalam

penelitian ini, yaitu psikologi sastra, berbeda dengan yang digunakan oleh

Goldmann, yaitu strukturalisme genetik.

Selain itu ditemukan juga sebuah skripsi di dalam lingkungan Fakultas Ilmu

Budaya UGM yang berjudul Roman La Condition Humaine Karya André Malraux

oleh Mohammad Ma’sum (1994). Dengan menggunakan teori struktural, skripsi

tersebut meneliti tentang unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada novel seperti alur,

penokohan, latar, sudut pandang dan tema. Keberadaan unsur-unsur intrinsik

tersebut dibuktikan memilki perpaduan yang harmonis antara satu dan yang lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ma’sum turut membantu peneliti dalam memahami

struktur yang terdapat dalam novel La Condition Humaine.

Artikel mengenai biografi pengarang didapatkan melalui beberapa sumber.

Pertama, buku yang berjudul XXe Siècle Collection Littéraire (1973) yang ditulis

oleh sebuah tim yang dikepalai oleh André Lagard. Sumber yang kedua penulis

dapatkan melalui aplikasi software komputer yang berisi kumpulan artikel digital

yaitu Encyclopedia Britannica Classroom Edition. Terakhir ditemukan buku yang

berjudul André Malraux: A Biography karangan Curtis Cate. Ketiga sumber tersebut

membantu penulis untuk memahami lebih mendalam tentang latar belakang André

Malraux.

Penelitian lain seputar karya-karya Malraux berupa skripsi telah dilakukan

pula oleh Renny Sjahrul Azwar (1976) di dalam lingkungan Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan judul Penggambaran Tentang

11  

Asia dalam Tiga Novel Malraux. Melalui penelitian ini digambarkan pandangan

Malraux mengenai lingkungan di Asia dalam tiga novel pertamanya dengan

menggunakan teori struktural. Penelitian ini turut memberikan pandangan yang

lebih luas kepada peneliti mengenai hubungan di antara trilogi novel Asia karya

Malraux.

Ditemukan pula buku yang berjudul Malraux, the Absolute Agnostic; Or,

Metamorphosis as Universal Law karangan Claude Tannery (1991).Di dalam buku

tersebut terkandung analisis singkat mengenai tokoh Baron de Clappique yang

membantu peneliti untuk memahami lebih lanjut tokoh tersebut. Selain itu buku

tersebut juga berisi dukungan Tannery terhadap analisis lebih mendalam terhadap

tokoh Baron de Clappique yang membuat peneliti semakin yakin untuk menelitinya.

Untuk mendukung pemahaman mengenai teori psikologi sastra penulis

mengacu pada buku Psikologi Sastra : Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh

Kasus karangan Albertine Minderop (2011). Buku ini berisi tentang penjelasan

berbagai teori sastra disertai dengan contoh analisisnya di dalam meneliti karya

sastra yang membantu penulis dalam memahami teori psikologi sastra.

Selain itu ditemukan pula buku Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi,

Model, Teori, dan Aplikasi (2013) karangan Dr. Suwardi Endraswara, M. Hum dan

buku Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif

karangan Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. (2011). Kedua buku tersebut

menjelaskan secara singkat mengenai teori psikologi sastra sehingga membantu

penulis dalam memahami teori psikologi sastra dengan lebih baik.

12  

Ditemukan pula buku berjudul Psikologi Kepribadian karangan Alwisol

(2004) dan Sumadi Suryabrata (2007). Dalam kedua buku tersebut penulis

menemukan pembahasan mengenai teori kepribadian Jung sehingga membantu

dalam memahami teori yang akan digunakan.

Literatur mengenai mythomania penulis dapatkan melalui dua artikel dalam

jurnal online, Psychiatric Times, yang ditulis oleh Dr. Charles C. Dike yang

berjudul Pathological lying: symptom or disease? Lying with no apparent motive or

benefit (2008) dan Pathological Lying: If lying is a common human behavior, when

does it become pathological? (2007). Selain itu penulis juga menemukan buku yang

berjudul The Mythomanias: The nature of deception and Self-Deception (1997)

karangan Michael Mysbodolsky yang membahas mythomania secara lebih

komperhensif.

Ditemukan pula beberapa penelitian lain di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya

UGM yang menggunakan teori psikologi sastra sebagai pendekatannya. Di

antaranya adalah sebuah skripsi yang disusun oleh Dewi Setyawati (2007) berjudul

Penyimpangan Perilaku Tokoh Utama dalam Roman J’irai Cracher Sur Vos

Tombes Karya Boris Vian (Tinjauan Psikologi Behaviorisme). Skripsi ini meneliti

tentang penyimpangan tokoh Lee yang agresif dan egois dengan menggunakan teori

analisis psikologi behaviorisme. Penelitian lainnya yaitu skripsi berjudul Psikologi

Remaja Tokoh Cécile dalam Roman Bonjour Tristesse Karya Françoise Sagan

(Tinjauan Psikoanalisis) yang disusun oleh Shella Raisadora (2010). Penelitian ini

membahas tentang kondisi psikologi remaja pada tokoh Cécile yang menunjukan

13  

ciri-ciri kelabilan. Raisadora menggunakan dua teori pada penelitian ini yaitu

semiotika yang digunakan untuk menemukan bentuk-bentuk kelabilan pada tokoh

Cécile dan dilanjutkan dengan teori psikoanalisis. Selain itu ditemukan pula

penelitian yaitu skripsi yang berjudul Motif Pembunuhan Kenji Oleh Yayoi dalam

Novel Auto Karya Natsuo Kirino: Sebuah Pendekatan Psikologi Humanistik oleh

Fatma Noor Aini (2010). Penelitian yang dilakukan oleh Aini ini mengungkapkan

hubungan antara pemenuhan kebutuhan dasar Yayoi dengan motif pembunuhan

yang dia lakukan terhadap Kenji, suaminya, dengan menggunakan teori psikologi

humanistik Abraham Maslow. Terlihat bahwa ketiga penelitian di atas memiliki

pendekatan yang sama dengan penelitian ini, yaitu pendekatan psikologi sastra.

Meskipun demikian objek penelitian dan permasalahan yang teradapat pada

penelitian ini berbeda.

1.6 Landasan Teori

Dalam landasan teori berikut akan dikemukakan teori-teori yang mendukung

penelitian. Adapun bahasan teori mencakupi: psikologi sastra, teori kepribadian,

konsep rasa berasalah dan pemahaman mengenai mythomania.

1.6.1 Mythomania

Mythomania dalam istilah psikologi dapat juga disebut sebagai pseudologia

fantastica atau pathological lying. Pengertian lebih lanjut terhadap mythomania

pertama kali disampaikan oleh Ernest Dupré (1905), seorang ahli psikologi yang

14  

pertama kali mengusulkan istilah untuk gangguan psikologis tersebut. Menurutnya

mythomania adalah suatu bentuk ketidakseimbangan mental pada diri seseorang

untuk mengubah-ubah fakta, mereka-reka cerita dan menciptakan dongeng imajiner6.

Penderita mythomania akan terus menerus mengubah-ubah fakta atau berbohong

dan tanpa ragu menimpalinya dengan kebohongan lain apabila tindakan tersebut

mulai terungkap dan si penderita mulai terpojok sementara bagi mereka untuk

mengatakan kebenaran adalah suatu kejanggalan.

Dr. Charles C. Dike (2007:4-5), seorang psikiater sekaligus peneliti di Yale

University School of Medicine, dalam artikelnya menjelaskan bahwa penderita

mythomania memiliki durasi yang sangat lama dalam mempertahankan perilakunya

tersebut bahkan mungkin bisa seumur hidup7. Apabila kebohongan biasa dapat

dikatagorikan sebagai perilaku retrospektif, maka mythomania dapat dikategorikan

sebagai perilaku prospektif. Perilaku retrospektif ditujukan untuk melawan tindakan

penghukuman, melindungi teman dari masalah, menunjukkan kewibawaan, atau

sebagainya. Poin utama dari perilaku ini adalah bahwa tindakan yang dilakukan

memiliki periode yang sangat singkat dan tidak ada kelanjutannya di masa depan.

Sedangkan perilaku prospektif bertujuan untuk menghindari ancaman yang akan

datang baik yang bersifat fiksi, ilusi maupun kenyataan. Tujuan tersebut kemudian

direpresentasikan dalam sebuah agenda berkepanjangan yang disusun sebagai suatu

                                                            6Henriette Bloch, et al. 1991. Grand dictionnaire de la psychologie. Paris: Larousse Hal. 490 7Charles. C. Dike. 2007. Pathological Lying: If lying is a common human behavior, when does it

become pathological, (Online) (http://www.sequeltsi.com/files/library/Pathological_Lying. pdf diakses pada: 22/05/2013) Halaman 4-5.

15  

strategi defensif. Strategi tersebut akan terus dilakukan meskipun dengan

mengabaikan perubahan kondisi pada identitas diri, perilaku, kebiasaan ataupun

ingatan si penderita. Hal tersebut merupakan penyebab dari kerusakan diri penderita

yang membuatnya semakin sulit dipahami oleh orang-orang di sekitarnya

(Myslobodsky, 1997:5-6). Dalam jurnal penelitian Dupré berikutnya pada tahun

1925 kata mythomania dapat pula diartikan sebagai suatu perilaku kepura-puraan

dan penyamaran yang pelakunya hidup dalam penderitaan di balik “topeng”

(Myslobodsky 1997:2). Dari pernyataan berbagai ahli psikolgi mengenai

mythomania yang telah disebutkan dapat diambil kesimpulan bahwa mythomania

adalah suatu bentuk gangguan psikologis yang membuat penderitanya hidup di

dalam kepalsuan yang diciptakan baik oleh pikiran, perasaan maupun tindakannya

sendiri baik dengan cara berbohong, berfantasi, ataupun tindakan-tindakan lainya

yang dapat menyembunyikan atau mengalihkan sifat dan tujuan asli yang mereka

miliki.

Secara umum terdapat beberapa faktor fundamental yang menjadi latar

belakang penyebab terjadinya kecenderungan mythomaniac. Berikut ini adalah

faktor-faktor yang dapat melatarbelakangi munculnya gejala gangguan psikologis

ini yaitu:

a. Kegagalan berturut-turut di masa lalu, misalnya dalam bidang akademis atau

profesional.

b. Ketidakpuasan terhadap kehidupan yang dijalani.

c. Merasa kehilangan orang terdekat, misalnya karena disebabkan oleh kematian.

16  

d. Tindakan tidak menyenangkan yang sering diterima dari lingkungan yang

buruk di sekitar penderita.

e. Perubahan gaya hidup masyarakat di sekitar penderita.

f. Depresi dan kegelisahan yang berlebih (Myslobodsky 1997:6).

Faktor-faktor di atas berperan besar dalam latar belakang seseorang yang

memiliki gangguan mythomania sehingga timbul beberapa gejala umum yang dapat

diamati dari penderita. Gejala penderita mythomania dapat disebut juga sebagai

mythopathology. Dupré dalam jurnal-jurnal medisnya (1905-1919) mendeskrpsikan

beberapa gejala yang pada umumnya dimiliki oleh para penderita mythomania 8 .

Untuk melengkapi mythopathology yang telah disampaikan Dupré, Myslobodsky

(1997) turut pula mendeskripsikan beberapa gejala gangguan psikologis ini. gejala-

gejala mythomania tersebut antara lain:

a. Gemar Mempernainkan Fakta atau Berbohong

Penderita mythomania cenderung sering mempermainkan fakta dengan cara

melebih-lebihkan, memutarbalikan, atau menguranginya sehingga ia dapat

mengambil keuntungan dari tindakannya tersebut. Perilakunya itu dilakukan

secara spontan sehingga terlihat tidak mencurigakan bagi orang-orang

disekeliling penderita. Gejala ini timbul akibat masa lalu si penderita yang

sering mendapatkan kegagalan dalam hidup dan sering pula mendapatkan

tekanan dari lingkungannya sehingga ia berusaha dengan cara mempermainkan

                                                            8 Dupré, Ernest. 1925. Pathologie de L’imagination et de L’émotivité. Paris: Payot.

17  

fakta untuk menutup-nutupi kebenaran yang ia anggap tidak menguntungkan

dirinya.

b. Membuat Ide-ide Fantasi

Penderita mythomania memiliki kegemaran membuat ide-ide yang sifatnya

fantasi. Ia menolak realitas dengan cara menutupinya dengan khayalan fantasi

yang menyenangkan Hal tersebut disebabkan oleh berbagai kegagalan yang

terus menerus dialami oleh si penderita sehingga membuatnya jatuh ke dalam

jurang fantasi alam bawah sadarnya sebagai pelarian dari kegagalan–kegagalan

yang pernah dialami sebelumnya. Si penderita lebih memilih fantasi sebagai

tempat pelariannya dikarenakan segala hal yang berhubungan dengan realita

baginya adalah sesuatu yang kejam disebabkan pengalamannya yang pernah ia

rasakan dahulu.

c. Gemar Menuturkan Cerita

Penderita mythomania gemar menceritakan suatu kisah yang dilebih-lebihkan

dan bersifat fantastis. Hal tersebut dilakukan guna menarik perhatian orang-

orang diseklilingnya dengan menunjukkan bahwa dirinya memiliki sifat yang

menyenangkan, bijaksana dan berwawasan luas. Kegemarannya ini didasarkan

atas ketidakpuasan terhadap hidup yang dimiliki penderita. Keadaan hidup yang

cenderung bertolak belakang dengan keinginan penderita membuatnya

menciptakan sendiri cerita-cerita fiktif yang ia lakukan sebagai penghibur diri.

Ia mencari persembunyian di dalam cerita-cerita fiktifnya tersebut akan tetapi ia

18  

akan berusaha menghindar jika mulai menyinggung kehidupannya yang asli.

Perilaku tersebut didorong pula oleh tekanan dari lingkungan yang dialami oleh

penderita. Latar belakang penderita mythomania yang sering diremehkan dan

dan dipandang rendah di dalam kehidupan sosialnya mencari pelarian dengan

melakukan perilaku tersebut.

d. Gemar Berperan Sebagai Tokoh Rekaan

Penderita mythomania memiliki kecenderungan untuk berperan sebagai suatu

tokoh yang penting atau terkenal seperti seorang raja, ilmuan terkenal,

bangsawan atau pengusaha kaya. Ia memerankan perannya ini terkadang hingga

berbulan-bulan yang terus ia ulangi dengan peran yang semakin rumit dan

penuh dengan petualangan. Si penderita sering kemudian menghilang dalam

pelarian yang memungkinkan dirinya untuk segera memulai lagi peran besar

lain dengan kepribadian palsu yang ia miliki. Gejala ini timbul sebagai bentuk

penolakan dari ketidakpuasan dengan kehidupan yang dimilikinya ditambah

dengan perubahan gaya hidup masyarakat sekitar yang memberikan kesempatan

bagi penderita untuk memuluskan perannya tersebut.

e. Gemar Terhadap Bacaan yang Berjenis Drama, Melodrama, atau Thriller

Dikarenakan kebiasaannya yang senang untuk bercerita dan berperan sebagai

tokoh yang penting, penderita mythomania umumya memiliki kegeramaran

terhadap bacaan yang berjenis drama, melodrama ataupun cerita-cerita detektif.

Jenis-jenis bacaan tersebut umumnya dekat dengan kehidupan masyarakat dan

banyak memiliki nilai moral yang terkandung di dalamnnya sehingga hal

19  

tersebut dapat memberkan inspirasi bagi kebiasaan penderita yang gemar

bercerita dan berperan sebagai karakter lain.

f. Emosi Cenderung Tidak Stabil dan Sensitif Terhadap Saran

Penderita akan mengalami ketidakstabilan emosi ketika kebohongan yang ia

sampaikan pada targetnya mulai terungkap Emosi yang tidak stabil ini akan

sangat terlihat oleh orang-orang yang dekat dengannya. Pada saat itu pula

penderita memiliki kesensitifan berlebih terhadap saran yang ditujukan

kepadanya. Hal tersebut dikarenakan si penderita merasakan tekanan yang

ditujukan kepadanya sehingga membuatnya enggan untuk mengikuti saran atau

anjuran orang lain.

g. Tidak Mampu Memotivasi Diri

Depresi akibat kegagalan yang pernah dialami oleh penderita terus tertanam

dalam dirinya sehingga membuatnya merasa bahwa usaha-usaha yang ia

lakukan sia-sia. Hal tersebut membuat si penderita cenderung terlihat malas dan

tidak dapat memotivasi dirinya untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya ia

lakukan.

h. Tidak Mampu Mengatur Skala Prioritas

Si penderita tidak dapat menahan diri untuk melawan tuntutan keadaan atau

suatu keharusan dengan melakukan hal yang sebaliknya. Hal tersebut

cenderung ia lakukan untuk menutupi masalah dan hal–hal yang membuatnya

merasa terganggu sehingga ia selalu dapat merasa nyaman dalam hidupnya.

Gejala ini dilatarbelakangi oleh kondisi penderita yang terus menerus

20  

mengalami kegagalan dalam hidup yang membuatnya tidak nyaman atas suatu

usaha yang sebenarnya harus ia lakukan. Akibat trauma atas pengalaman pahit

yang pernah ia rasakan dalam hidupnya, si penderita cenderung mencari

berbagai alasan untuk menghindari satu tuntutan yang sebenarnya harus

dilaksakan olehnya.

Akibat ketidakmampuan untuk mengungkapkan jati dirinya, para penderita

mythomania selalu menggunakan berbagai perilaku menyimpang sebagai tabir yang

memisahkan antara dirinya dan dunia luar. Sampai saat ini penelitian belum

menunjukkan adanya pemulihan yang efektif terhadap gangguan psikologis ini. Hal

tersebut dikarenakan mythomania digolongkan sebagai suatu fenomena yang

terbilang sangat kompleks9.

1.6.2 Psikologi Sastra

Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan penelaahan sastra yang

menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra (Semi,

1985:46). Secara definitif tujuannya adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang

terkandung dalam suatu karya. Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam

pembicaraan ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan

karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk

memahami hubungan antara psikologi dengan sastra yaitu:

                                                            9 Charles. C.Dike. (2008). Pathological lying: symptom or disease? Lying with no apparent motive or

benefit. Psychiatric Times,. Psychiatric Times, 25(7). (psychiatrictimes.com, diakses 22/05/2013)

21  

a.) Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis.

b.) Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra.

c.) Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang

kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-

tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.pada umumnya, aspek-aspek

kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semata-

mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan

dan diinvestasikan. Dalam analisis pada umumnya yang menjadi tujuan adalah

tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga dan seterusnya.  Cara yang pertama

dipandang kurang begitu sesuai dengan penelitian sastra yang menyeluruh karena

bertentangan dengan sifat karya sastra yang otonom dan cara yang terakhir memiliki

kaitan dengan sosiologi sastra dan resepsi sastra sebagai psikologi sosial.

Langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat dilakukan melalui dua cara,

pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis

terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah

karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi

yang dianggap relevan untuk melakukan analisis (Ratna, 2004:344). Penelitian ini

akan menggunakan cara yang kedua dalam mengaplikasikan pemahaman teori

psikologi. Setelah itu langkah berikutnya yaitu dengan memperlihatkan bahwa teks

yang ditampilkan melalui suatu teknik dalam teori sastra yang ternyata dapat

22  

mencerminkan suatu konsep dari psikologi yang diusung oleh tokoh fiksional

(Minderop, 2011:59).

1.6.2.1 Psikologi Kepribadian

Penelitian ini akan menggunakan teori kepribadian dari Carl Gustav Jung

(1875-1959). Dalam Alwisol (2004: 48), Jung menyatakan bahwa kepribadian atau

psyche mencakup keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan

ketidaksadaran. Kepribadian membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Sejak awal kehidupan, kepribadian adalah

kesatuan atau berpotensi membentuk kesatuan. Ketika mengembangkan kepribadian,

orang harus berusaha mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen

kepribadian.

Kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga

tingkat kesadaran; ego beroperasi pada tingkat sadar, kompleks beroperasi pada

tingkat tak sadar pribadi, dan arsetip beroperasi pada tingkat kolektif. Di samping

sistem-sistem yang terikat dengan daerah operasinya masing-masing, terdapat sikap

jiwa (introvert-ekstrovert) dan fungsi jiwa (pikiran-perasaan-persepsi-intuisi) yang

beroperasi pada semua tingkat kesadaran (Alwisol, 2004: 48). Sikap jiwa adalah

arah energi psikis (libido) yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap

dunianya, fungsi jiwa adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teoritis

tetap meskipun lingkungannya berbeda-beda (Kuntjojo, 2009:30-31).

23  

Jung dalam Suryabrata (2007) mengungkapkan konsep sikap jiwa sebagai

dasar pembagian tipe kepribadian. Konsep sikap jiwa dijelaskan sebagai arah dari

energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia

terhadap dunianya. Arah aktivitas energi psikis itu dapat ke luar ataupun ke dalam,

dan arah orientasi manusia terhadap dirinya, dapat keluar ataupun ke dalam. Jadi,

berdasarkan sikap jiwa tersebut manusia digolongkan menjadi dua tipe yaitu:

manusia yang bertipe introvert dan manusia yang bertipe ekstrovert.

a. Manusia Bertipe Introvert

Manusia bertipe introvert dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam

dirinya sendiri. Orientasinya terutama tertuju ke dalam pikiran, perasaan serta

tindakan-tindakanya ditentukan oleh faktor subjektif. Penyesuaian dengan dunia

luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dengan orang

lain, kurang dapat menarik hati orang lain, tetapi penyesuaian dengan hatinya

sendiri baik. Bahayanya tipe ini apabila jarak dengan dunia objektif terlalu jauh,

maka seseorang dapat lepas dari dunia objektifnya. Ciri-ciri manusia tipe introvert

(1) pendiam artinya tidak suka bicara, (2) menarik diri adalah sifat yang dimiliki

seorang interoverts yang selalu ingin menyendiri dan kurang menyukai keramaian,

(3) penakut, (4) menahan diri artinya menahan diri dari suatu keinginan, (5) puas

dengan dirinya sendiri, (6) kaku adalah sifat kurang fleksibel terhadap suatu yang

baru dikenalnya karena kurang banyak mengenal dunia luar, (7) bijaksana adalah

sifat tepat dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan segala

kemungkinan dengan keputusan yang diambilnya, dan (8) teliti adalah mengerjakan

24  

sesuatu dengan sepenuhnya untuk mendapatkan hasil yang sempurna (Suryabrata,

2007: 162).

b. Manusia Bertipe Ekstrovert

Manusia bertipe ekstrovert dipengaruhi oleh dunia objektifnya yaitu dunia di

luar dirinya. Orientasi tertuju keluar pikiran, perasaan, serta tindakannya ditentukan

oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non sosial. Ciri-ciri tipe

ekstroverts adalah (1) bersikap positif terhadap masyarakat, sifat ini menunjukkan

bahwa masyarakat merupakan tempat yang tepat untuk berinteraksi, (2) hatinya

terbuka artinya terbuka terhadap hal-hal baru tanpa adanya rasa canggung, (3)

mudah bergaul artinya dapat dengan mudah berinteraksi dengan orang lain, (4)

menarik perhatian, (5) bergantung terhadap kelompok, (6) tidak teliti artinya

terburu-buru tanpa pemikiran yang matang, (7) mudah merubah suatu pendirian

karena pengaruh dari luar, dan (8) agresif artinya cepat mengambil tindakan dalam

suatu permasalahan (Suryabrata, 2007: 162).

Jung mengutarakan bahwa tipe-tipe tersebut dapat kita jumpai pada semua

lapisan masyarakat, baik laki-laki ataupun perempuan, orang dewasa ataupun anak-

anak. Dikatakan juga bahwa dalam satu keluarga kedua tipe tersebut, introvert dan

ekstrovert dapat ditemukan sekaligus. Sikap kedua tipe tersebut terhadap dunia luar

atau lingkungan sekitarnya bukanlah sikap yang diambil dengan sadar dan sengaja.

Sikap yang demikian dianggap mempunyai sebab tak sadar dan instinktif. Jung

menganggap sikap manusia terhadap dunia luar itu sebagai suatu soal penyesuaian

25  

diri, sebab cara suatu tipe menyesuaikan diri dengan dunia luar akhirnya akan

bergantung kepada pembawaan.

1.6.2.2 Konsep Rasa Bersalah.

Kegembiraan, kemarahan, ketakutan dan kesedihan kerap kali dianggap

sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang

membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang

ditimbulkan dan mengakibatkan meningkatnya ketegangan, (Krech, via Minderop,

2011:39-40). Perasaan bersalah dan menyesal juga tergolong ke dalam klasifikasi

emosi. Perasaan bersalah muncul dari adanya persepsi perilaku seseorang yang

bertentangan dengan nilai-nilai moral atau etika yang dibutuhkan oleh suatu kondisi.

Perasaan bersalah kerap kali ringan dan cepat berlalu, tetapi dapat pula bertahan

lama. Derajat yang lebih rendah dari perasaan bersalah kadang-kadang dapat

dihapuskan karena si individu mengingkarinya dan ia merasa benar. Upaya tersebut

dilakukan karena adanya kekuatan positif untuk memperoleh kesenangan. Para

anthropologis menunjukkan bahwa larangan-larangan moral cenderung diciptakan

oleh suatu masyarakat, yang disebabkan oleh kepentingan masyarakat untuk

mencegah terjadinya suatu kejadian, yang pada dasarnya masyarakat itu sendiri

menginginkannya. Alasan yang lebih penting lagi ialah adanya pelanggaran yang

kadangkala memuaskan karena dialami sebagai penolakan keuasaan dari luar,

sebagai suatu ekspresi otonomi dan kekuasaan diri pribadi. Sumber mendasar dari

keyakinan individu tentang kebaikan dan keburukan dari tindakan tertentu bisa

26  

disadari atau tidak disadari. Tetapi rasa besalah mengalir langsung dari apa yang

dirasakannya sebagai suatu transgresi terhadap moralitas, (Minderop, 2011: 40-41).

Terdapat perbedaan yang tajam dalam diri seseorang dalam menangkap

situasi yang menjurus pada rasa bersalah. Ada orang yang sadar apa yang harus

dilakukannya dan ia sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan.

Contohnya, seseorang berpendapat bahwa ia merasa bersalah karena ia mendiamkan

pelayan toko mengembalikan uang berlebih. Ada pula orang yang merasa bersalah,

tetapi ia tidak tahu penyebabnya serta tidak tahu bagaimana menghilangkannya,

(Krech, via Minderop, 2011:202).

Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah

adanya karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin

manusia karena hakikat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi

kekalutan batinnya sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari bagi

setiap orang belum sepenuhnya menggambarkan diri mereka masing-masing. Apa

yang diperlihatkan belum tentu dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam

dirinya karena manusia seringkali berusaha menutupinya. Kejujuran, kecintaan,

kemunafikan dan lain-lain berada di dalam batin masing-masing yang kadang-

kadang terlihat gejalanya daría luar dan kadang kala tidak, (Endraswara via

Minderop, 2011:203)

27  

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, artinya penafsiran yang

dilakukan disajikan dalam bentuk deskriptif. Metode tersebut menitikberatkan pada

data alamiah dan mendasarkan kepada kualitas yang terdapat dalam data (Ratna,

2004:46-47). Sumber data dalam penelitian ini adalah kata, kalimat dan ungkapan

dalam novel La Condition Humaine karya André Malraux. Langkah-langkah yang

digunakan dalam menyusun penelitian ini adalah:

1. Menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian yaitu novel La

Condition Humaine Karya André Malraux.

2. Melakukan pembacaan novel secara heuristik, yaitu membaca novel

secara keseluruhan untuk memahami isi alur dan cerita lalu dilanjutkan

dengan membuat bagan yang berisi peristiwa, tokoh, waktu dan tempat

sehingga dapat memudahkan peneliti dalam menemukan peristiwa-

peristiwa penting dalam novel yang diteliti.

3. Melakukan pembacaan secara hermeneutik, yaitu pembacaan secara lebih

detail dibantu dengan bagan peristiwa yang telah dibuat dengan tujuan

untuk menemukan permasalahan dalam novel.

4. Melakukan tinjauan pustaka dengan mencari bahan yang mendukung

objek analisis, yaitu tulisan-tulisan mengenai tokoh Baron de Clappique,

psikologi sastra dan kecenderungan mythomaniac.

5. Menganalisis novel La Condition Humaine dengan menggunakan

pendekatan psikologi sastra dan teori mengenai mythomania untuk

28  

menganalisis kecenderungan mythomaniac pada tokoh Baron de

Clappique. Selanjutnya teknik analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik pustaka karena sumber data diperoleh dari

sumber tertulis. Teknik tersebut mencakup kegiatan: mengumpulkan,

mendeskripsikan dan menganlisis data secara kritis.

6. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis data guna menjawab

permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam rumusan masalah.

1.8 Sistematika Penulisan

Bab I berisi pendahuluan yang diawali dengan latar belakang, yaitu uraian

secara umum mengenai apa yang akan diteliti. Setelah itu masuk pada sub bab

permasalahan yang menjelaskan permasalahan pada objek material. Setelah itu

dilanjutkan dengan rumusan masalah yaitu pemfokusan terhadap permasalahan

yang terdapat dalam objek materi penelitian. Selanjutnya adalah tujuan penelitian

yang berisi tentang tujuan dilakukannya penelitian ini. Berikutnya adalah tinjauan

pustaka, yaitu penjelasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan

dengan objek penelitian yang digunakan. Dilanjutkan dengan landasan teori, yaitu

berisi penjelasan tentang teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan

yang ada dalam objek penelitian. Setelah itu dilanjutkan dengan metode penelitian

yang merupakan uraian tahap-tahap kegiatan penelitian. Terakhir adalah sistematika

penulisan yang berisi kerangka penelitian dengan tujuan mempermudah pengerjaan

dan pembacaan laporan penelitian.

29  

Bab II pembahasan berisi analisis novel dengan menggunakan teori psikologi

sastra dan teori mythomania.

Bab III penutup, berisi kesimpulan dan saran.