BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia terlahir seorang diri ke dunia ini, namun tidak ada satupun manusia yang mampu hidup seorang diri sepanjang hidupnya. Sebagai makhluk sosial, sudah menjadi kodratnya manusia saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, manusia diharuskan menjalin hubungan baik antar sesama untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Ketika menjalin hubungan baik antar sesama, biasanya individu akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas diri, seperti siapa dirinya dan dari mana asalnya. Pertanyaan akan nama dan asal-usul tersebut menuntut setiap individu memiliki identitas sebagai tanda pembeda. Bagi setiap individu, identitas merupakan suatu hal yang wajib dimiliki sebagai tanda pembeda antar satu individu dengan individu yang lainnya. Seperti yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:517), identitasmemiliki definisi sebagai jati diri. Melalui pengertian tersebut, identitas dapat diartikan sebagai jati diri individu yang ditunjukkan melalui ciri-ciri atau keadaan khusus untuk memahami, mendeskripsikan serta menginterpretasikan dirinya.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap manusia terlahir seorang diri ke dunia ini, namun tidak ada satupun

manusia yang mampu hidup seorang diri sepanjang hidupnya. Sebagai makhluk

sosial, sudah menjadi kodratnya manusia saling membutuhkan antara satu dengan

lainnya. Oleh karena itu, manusia diharuskan menjalin hubungan baik antar sesama

untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Ketika menjalin hubungan baik antar

sesama, biasanya individu akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan mengenai

identitas diri, seperti siapa dirinya dan dari mana asalnya. Pertanyaan akan nama dan

asal-usul tersebut menuntut setiap individu memiliki identitas sebagai tanda pembeda.

Bagi setiap individu, identitas merupakan suatu hal yang wajib dimiliki

sebagai tanda pembeda antar satu individu dengan individu yang lainnya. Seperti

yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:517), “identitas” memiliki

definisi sebagai jati diri. Melalui pengertian tersebut, identitas dapat diartikan sebagai

jati diri individu yang ditunjukkan melalui ciri-ciri atau keadaan khusus untuk

memahami, mendeskripsikan serta menginterpretasikan dirinya.

2

Permasalahan identitas merupakan salah satu tema pada kajian budaya yang

muncul pada tahun 1990-an. Pembahasan mengenai identitas merujuk pada berbagai

macam isu, seperti sosial, politik serta budaya. Berbagai permasalahan yang dibahas

mengenai identitas, di antaranya yaitu politik feminisme, etnisitas, serta orientasi

seksual. Identitas dalam kajian budaya lebih sering disebut sebagai identitas budaya

atau identitas kultural. Hal tersebut karena identitas merupakan produk budaya yang

sifatnya tidak abadi. Identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak

mungkin tercipta di luar representasi budaya dan akulturasi (Barker, 2011:174).

Menurut Stuart Hall, konsep identitas budaya yaitu menyembunyikan

identitas pribadi seorang individu di balik identitas kolektif yang ada di sekitarnya

(Hall, 1990:04). Berdasarkan konsep tersebut, seorang individu dipaksakan memiliki

identitas yang sama dengan identitas di sekelilingnya. Individu yang memiliki

identitas berbeda dengan sebuah kelompok akan dianggap tidak layak menjadi bagian

dari kelompok tersebut. Konsep tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan

identitas budaya antar satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Permasalahan ketimpangan identitas budaya dapat terlihat ketika individu

yang berasal dari negara-negara Barat terkadang dianggap lebih superior ketimbang

mereka yang berasal dari belahan dunia lainnya. Adanya stereotip bahwa identitas

budaya negara-negara non-Barat lebih rendah dari pada negara-negara Barat tidak

terlepas dari sejarah kejayaan Eropa di masa lalu. Robert J. C. Young menjelaskan

bahwa wacana pemisah antara Barat dan non Barat merupakan dampak dari ekspansi

3

bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-19 yang menyebabkan sembilan dari sepuluh

wilayah di bumi dikuasai oleh Eropa (Young, 2003:02).

Lebih lanjut, ditambah dengan adanya peristiwa Revolusi Industri yang terjadi

di sebagian besar negara-negara Eropa, membuat mereka semakin giat melakukan

ekspansi ke belahan dunia lain untuk menambah daerah jajahan baru. Tujuan

penambahan daerah jajahan baru yaitu untuk memperoleh pasar bagi produk-produk

industri mereka. Selain itu perluasan daerah jajahan mereka manfaatkan sebagai

tambahan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Adanya industrialisasi di

sebuah negara agraris mengakibatkan pertanian mereka menjadi mundur, oleh karena

itu fungsi negara jajahan adalah sebagai sumber bahan makanan bagi negara mereka,

serta bahan-bahan yang diperlukan dalam industri (Soeratman, 2012:22).

Selain penjajahan fisik yang berupa eksploitasi sumber daya alam dan sumber

daya manusia, bangsa-bangsa Eropa juga melakukan penjajahan mental dengan

mengkonstruksi identitas bangsa terjajah. Akibatnya masyarakat terjajah selalu

direpresentasikan sebagai pihak inferior dan masyarakat penjajah sebagai superior.

Bangsa penjajah selalu dianggap lebih kompeten dalam hal pemerintahan, hukum,

ekonomi, ilmu pengetahuan, serta dalam musik, seni dan sastra. Sedangkan bangsa-

bangsa terjajah dianggap akan selalu membutuhkan negara Barat, seperti dalam

pembangunan dan pendidikan (Young, 2003:02).

4

Dampak dari sejarah penjajahan Eropa terhadap terbentuknya stereotip

identitas budaya merupakan isu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Isu tersebut

ditemukan dalam novel Onitsha karya Jean Marie Gustave Le Clézio yang menjadi

objek material dalam penelitian ini. Secara garis besar, novel Onitsha menceritakan

adanya kesenjangan stereotip identitas budaya antara penduduk Eropa dan Afrika.

Le Clézio merupakan seorang sastrawan berkewarganegaraan Prancis yang

memperoleh Nobel Sastra pada tahun 2008. Lahir pada tahun 1940 di Nice, Prancis,

Le Clézio merupakan keturunan keluarga Breton yang beremigrasi pada abad ke-18

ke Pulau Mauritius, Prancis. Keluarga Breton adalah kelompok etnis penutur bahasa

Inggris yang beremigrasi dari negara asalnya Inggris lalu menetap di wilayah

Bretagne, Prancis.

Sejak kecil Le Clézio memang terlihat memiliki hobi menulis. Melalui

hobinya tersebut saat kecil Le Clézio mampu menghasilkan karya-karya seperti

dongeng dan cerita bergambar. Setelah dewasa, Le Clézio menyelesaikan studi

sarjana di Institut d'Etudes Littéraires di Nice hingga memperoleh gelar Doktor. Pada

usia 23 tahun Le Clézio mulai mendapat perhatian dari publik setelah dirinya

mendapat penghargaan Prix Renaudot atas novel pertamanya yang berjudul Le

Procès Verbal (1963). Ia juga mendapatkan penghargaan Grand Prix Paul Morand

de l’Académie Français atas novelnya yang berjudul Désert (1980). Penghargaan

5

tertinggi ia peroleh pada tahun 2008 ketika ia diumumkan sebagai penerima

penghargaan Nobel dalam bidang sastra oleh kerajaan Swedia1.

Le Clézio merupakan seorang penulis yang memiliki warna tersendiri dalam

setiap tulisannya. Dapat dilihat dari puluhan karya-karya ciptaannya, Le Clézio kerap

bercerita mengenai kisah petualangan dan penjelajahan dari berbagai negara. Selain

itu melalui karya-karyanya Le Clézio juga terkenal terkenal sebagai penulis yang

menyuarakan permasalahan kaum minoritas dan budaya yang terpinggirkan. Lebih

dari 40 buku telah ia tulis, sebagian berupa fiksi, esai, dan juga cerita anak. Beberapa

karyanya yaitu La fièvre (1965), Le dégule (1966), Terra amata (1967), La livre des

fuites (1969), La guerre (1970), Les géants (1973), Haï (1977), Voyage de l’autre

côté (1975), Le rêve mexicain ou la pensée interrompue (1998), Le chercheur d’or

(1985)2.

Pada awal karirnya sebagai penulis, Le Clézio tertarik untuk mengangkat

tema-tema kegilaan dan keterasingan, namun akhirnya berubah pada akhir tahun

1970-an. Karya-karyanya berubah menjadi lebih luas, populer, dan menyenangkan. Ia

meninggalkan tema-tema yang suram dan penuh siksaan menjadi tema-tema seperti

kenangan masa kecil, perjalanan dan sejarah tentang keluarganya. Beberapa karya

1 Nobel Media AB. 2014. Jean-Marie Gustave Le Clézio - Biographical.

http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/2008/clezio-bio.html (diakses pada 09

Februari 2015 pukul 08.15)

2 Nobel Media AB. 2014. Jean-Marie Gustave Le Clézio - Bibliography.

http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/2008/clezio-bibl.html (diakses pada 09

Februari 2015 pukul 08.16)

6

yang terinspirasi dari ingatan masa lalunya, yaitu: Onitsha (1991), La quarantaine

(1995), Révolution (2003), L’Africain (2004) dan Ritournelle de la faim (2008).

Dari beberapa karya-karyanya, novel Onitsha menjadi salah satu novel Le

Clézio yang juga mendapat perhatian publik. Onitsha diterbitkan pertama kali pada

tahun 1991 oleh penerbit Gallimard. Pada tahun 1997 novel ini diterjemahkan ke

dalam bahasa Inggris dengan judul yang sama oleh Alison Anderson. Onitsha

terinspirasi dari pengalaman masa kecil Le Clézio yang melakukan perjalanan lintas

benua dari Eropa menuju Afrika3. Onitsha sendiri merupakan nama sebuah wilayah di

Nigeria, Afrika Barat, yang ditinggali oleh Le Clézio selama berada di Afrika. Oleh

karena itu, nama “Onitsha” digunakan sebagai judul pada novel tersebut.

Sebagian besar cerita dalam novel Onitsha berlatar tempat di Onitsha,

Nigeria, pada tahun 1948-1949. Onitsha menggambarkan realita pada waktu itu, yaitu

kondisi Nigeria yang menjadi salah satu daerah jajahan Inggris di Afrika Barat.

Peristiwa penjajahan tersebut berakibat pada terjadinya kesenjangan dalam

mengidentifikasi identitas budaya Nigeria dan Inggris. Hal tersebut dapat dilihat pada

kutipan berikut ini:

D’autre Anglais sont arrivés. Ils se sont amusés à contrefaire des voix de

noirs, à dire des blagues en pidgin. M. Simpson montrait le piano: «Big

black fellow box spose white man fight him, he cry too mus!» (Le Clézio,

1991:61).

3 Serafin, Steven R. 2013. Jean-Marie Gustave Le Clézio.

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/333320/Jean-Marie-Gustave-Le-Clezio (diakses pada 21

januari 2015 pukul 14.00)

7

Orang Inggris yang lain berdatangan. Mereka bercanda dengan menirukan

suara orang-orang kulit hitam, membicarakan lelucon dengan bahasa

pidgin. Tuan Simpson memainkan piano: “Big black fellow box spose white

man fight him, he cry too mus!”

Kutipan tersebut menceritakan salah satu peristiwa yang ada di dalam novel Onitsha.

Di dalam kutipan tersebut Inggris sebagai pihak penjajah merasa berhak bertindak

semena-mena pada Nigeria sebagai daerah jajahannya, termasuk dalam mengolok-

olok identitas budaya Onitsha yaitu bahasa Pidgin4. Berdasarkan kutipan tersebut

dapat dilihat adanya stereotip bahwa identitas budaya Nigeria dipandang lebih buruk

dari pada identitas budaya Inggris.

Adanya kesenjangan stereotip antara identitas budaya Onitsha dan Inggris

berdampak pada pembentukan identitas budaya Fintan Allen yang merupakan tokoh

utama dalam novel Onitsha. Fintan merupakan seorang remaja keturunan Italia-

Inggris yang mengalami berbagai proses pembentukan identitas. Selain itu, ia

mengalami dua kali perpindahan dari Marseille, Prancis, menuju Onitsha, Nigeria,

kemudian ke Bath, Inggris. Melalui perpindahan tempat tinggal tersebut, Fintan

menemukan adanya ketimpangan dalam menilai identitas budaya antara Nigeria dan

Inggris. Permasalahan yang menarik dalam novel ini terlihat ketika Fintan menolak

mengakui identitasnya sebagai keturunan Inggris dan justru mengharapkan memiliki

identitas yang distereotipkan lebih rendah.

4 Bahasa Pidgin adalah salah satu bentuk identitas budaya dari Nigeria. Bahasa Pidgin adalah

kombinasi bahasa pribumi Nigeria dan Inggris yang berkembang melalui interaksi ratusan tahun atas

pengaruh pedagang Inggris (Falola, 2008:04).

8

Setelah melakukan perpindahan tempat tinggal ke Onitsha, Fintan

mendapatkan kenyamanan setiap kali berada di tengah masyarakat dan kebudayaan

Onitsha. Sayangnya, sebagai anak keturunan Inggris, Fintan dianggap memiliki

kedudukan yang jauh lebih tinggi dari pada masyarakat Onitsha. Tuntutan untuk

melestarikan identitas Inggris yang dalam dirinya pun membuat Fintan tidak bisa

memiliki identitas seperti harapannya. Akhirnya, Fintan pun terpaksa melakukan

negosiasi agar tidak menimbulkan konflik yang berlanjut.

1.2 Rumusan Masalah

Memiliki identitas budaya penting bagi setiap individu sebagai tanda pengenal

dan pedoman dalam memosisikan diri di tengah masyarakat. Sebagai pemilik tubuh

seharusnya individu berhak memilih identitas budaya yang ia inginkan, namun

adanya stereotip bahwa salah satu identitas budaya lebih buruk dari pada identitas

budaya lainnya mengakibatkan individu dibatasi untuk memperoleh identitas budaya

harapannya.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada novel Onitsha,

dirumuskan pertanyaan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pembentukan identitas budaya pada diri individu yang

digambarkan dalam novel Onitsha?

9

2. Bagaimana negosiasi yang dilakukan individu ketika berhadapan dengan

stereotip identitas budaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan terkait

dengan teori yang bersangkutan. Secara lebih khusus, tujuan dari penelitian novel

Onitsha karya Jean Marie Gustave Le Clézio ini adalah untuk memecahkan

permasalahan mengenai pembentukan identitas budaya dalam diri individu dan

negosiasi yang dilakukan individu ketika berhadapan dengan stereotip identitas

budaya. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menginspirasi untuk penelitian-

penelitian selanjutnya mengenai permasalahan serupa.

1.4 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pengamatan sebelumnya, belum ada penelitian yang membahas

novel Onitsha karya J.M.G. Le Clézio. Beberapa karya Le Clézio lainnya ditemukan

sebagai objek dalam penelitian skripsi, seperti pada skripsi Analisis Struktural Désert

Karya Jean Marie Gustave Le Clézio oleh Alexandra Samantha pada tahun 1992.

Penelitian tersebut menggunakan analisis struktural dengan langkah pertama

penulisan sinopsis novel, lalu menganalisis lebih lanjut mengenai unsur-unsur yang

terkait antar satu dengan lainnya, seperti tokoh, latar, alur, dan tema. Penelitian ini

10

juga bertujuan untuk menunjukkan mengapa novel Désert dianggap bermutu

sehingga memenangkan penghargaan Académie Française pada tahun 1980.

Selain itu, novel Le Clézio yang berjudul Désert juga pernah diteliti lebih

lanjut oleh alumnus Sastra Prancis, D.A.A.A. Candra Hayu, dalam skripsinya yang

berjudul Perjuangan untuk Kebebasan dan Strategi Bertahan dalam Roman Désert

karya J.M.G. Gustave Le Clézio pada tahun 2012. Penelitian tersebut menggunakan

konsep kebebasan bertanggung jawab oleh Pierre Bordieu untuk menjelaskan usaha

yang ditempuh dalam hal memperjuangkan hak.

Selain Novel Désert, karya Le Clézio yang pernah diteliti adalah novel Mondo

et Autres Histoires dalam skripsi yang berjudul Pengaruh Lingkungan Pada Tokoh

dalam Cerita Mondo et Autres Histoire Sebuah Kajian Struktural yang ditulis oleh

Lediva Thianingga Penggi pada tahun 2005. Penelitian tersebut menunjukkan analisis

sifat tokoh-tokoh dalam cerita dengan menggunakan analisis struktural, setelah itu

dilakukan analisis lebih lanjut mengenai pengaruh lingkungan sekitar terhadap

pembentukan tokoh dengan menggunakan teori psikologi perkembangan anak.

Karya Le Clézio lainnya yang pernah menjadi objek penelitian adalah novel

Poisson d’or. Penelitian berupa tesis dilakukan oleh Paryatun pada tahun 2011

dengan mengambil judul Theatrical Perfomance Imigran ala Poisson d’or Karya Le

Clézio. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana theatrical performance yang

digunakan sebagai politik identitas imigran untuk beradaptasi dengan masyarakat

11

sekitar. Setelah itu penelitian tersebut juga menunjukkan penerapan teori sosial pada

kajian sastra, dengan berbagai pendekatan seperti sastra francophone, sastra

pascakolonial, dan metode semiotika Roland Barthes.

Terakhir, pada pada tahun 2013 karya Le Clézio yang berjudul Revolution

juga menarik perhatian Cinantyan Punjung Prapatti untuk diteliti. Dengan judul

Perlawanan dalam Roman Révolutions Karya Jean Marie Gustave Le Clézio,

penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa kekuasaan dapat dinegosiasi

melalui perlawanan, dan perlawanan sendiri memerlukan strategi untuk dapat

mencapai tujuannya.

Selain tinjauan pustaka mengenai karya-karya Le Clézio yang dijadikan

referensi, ada juga beberapa penelitian lain yang membahas mengenai permasalahan

identitas. Seperti pada penelitian yang berjudul Pengaruh Identitas terhadap

Pembentukan Presepsi dalam Novel l’Amant Karya Marguerite Duras oleh Namiera

Riskiana pada tahun 2010. Penelitian tersebut mengungkapkan bagaimana identitas

seseorang berperan penting dalam membentuk presepsi atau pandangannya mengenai

kehidupan sosial, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan budaya, gender, ras, kelas

ekonomi, golongan usia dan psikologis. Teori yang digunakan pada penelitian

tersebut yaitu gabungan antara teori identitas, teori presepsi dan teori kekuasaan

Michael Foucault.

12

Permasalahan identitas juga diungkapkan pada penelitian yang dilakukan oleh

Anggie Brosasmita Wibowo pada tahun 2011. Penelitian yang berjudul Identitas Diri

dan Rekognisi Homoseksual dalam Film Juste Une Question d’amour,

mengungkapkan bagaimana kaum homoseksual membangun dan membentuk

identitas sosialnya di tengah masyarakat, serta bagaimana masyarakat memandang

kaum mereka.

Selain itu, permasalahan identitas budaya juga ditemukan dalam penelitian

yang berjudul Identitas Kultural dalam Novel Edensor Karya Andrea Hirata: Sebuah

Kajian Poskolonial, sebuah tesis yang ditulis oleh Faridha Yusnaini pada tahun 2011.

Tesis tersebut membahas mengenai identitas kultural dalam kondisi poskolonial yang

terdapat dalam novel Edensor. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa identitas

kultural sebagai sebuah konstruksi sosial dalam bentuk etnisitas, agama, bahasa, dan

negara-bangsa. Kesadaran akan identitas kultural muncul sebagai konstruksi sosial

karena pertemuan berbagai kultur yang berbeda dalam ruang dan waktu yang berbeda

pula. Akibat dari pertemuan berbagai kultur tersebut memunculkan transformasi

identitas dengan budaya yang lebih dominan, yakni Eropa yang memunculkan

inferioritas.

Penelitian terbaru ada pada tahun 2014, Shavira Lazuardh juga melakukan

penelitian yang berjudul Kolonialisme dan Pembentukan Identitas dalam Novel Allah

n’est pas Oblige. Penelitian tersebut mengangkat permasalahan bagaimana

kolonialisme berpengaruh terhadap pembentukan identitas. Shavira menggunakan

13

teori naratologi untuk mengetahui bagaimana teknik penceritaan dalam novel yang

mengungkapkan permasalahan kolonialisme sehingga mempengaruhi identitas, selain

itu ia juga menggunakan teori kolonialisme dan teori identitas.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, penelitian dengan judul negosiasi

identitas yang terdapat pada novel Onitsha karya Jean Marie Gustave Le Clézio

belum pernah dilakukan sebelumnya, oleh karena itu penelitian ini layak untuk

dilakukan.

1.5 Landasan Teori

Landasan teori digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian.

Adanya teori sesungguhnya digunakan untuk membantu menyelesaikan dan

menjawab permasalahan yang ditanyakan dalam sebuah penelitian. Penelitian ini

akan membahas mengenai negosiasi identitas yang dilakukan oleh tokoh utama. Oleh

karena itu, berikut merupakan teori yang digunakan untuk membantu penyelesaian

permasalahan penelitian:

1.5.1 Pembentukan Identitas Individu

Identitas merupakan konsep mengenai jati diri. Identitas merupakan sesuatu

yang harus dimiliki setiap individu karena identitas berfungsi sebagai tanda pembeda

antar satu individu dengan individu lainnya. Selain itu identitas juga merupakan apa

14

yang diyakini individu terkait seluruh aspek sosial dan kultural yang dimaknai

melalui tanda-tanda, seperti gaya hidup, sikap dan lain sebagainya (Barker,

2011:173).

Identitas menyangkut masalah posisi yang dipengaruhi oleh kesadaran diri

dan interaksi sosial, bagaimana individu memposisikan dirinya dan diposisikan oleh

orang lain. Oleh karena itu, identitas terbagi menjadi dua, yaitu identitas diri yang

merupakan keyakinan seseorang mengenai dirinya sendiri dan identitas sosial yang

merupakan harapan orang lain terhadap dirinya. Meskipun terpisah menjadi dua

identitas, sebagai pribadi yang utuh individu harus memiliki seluruh aspek sosial dan

budaya, sehingga identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak

mungkin hadir di luar representasi budaya dan akulturasi (Barker, 2011:174).

Menurut Stuart Hall (via Barker, 2011:176-178) terdapat tiga cara berbeda

dalam memahami identitas, tiga cara tersebut yaitu:

a. Subjek Pencerahan

Subjek ini terinspirasi oleh pemikiran Descartes mengenai «je pense donc

je suis» yang berarti saya berfikir maka saya ada. Subjek ini menempatkan

individu sebagai subjek yang rasional. Individu berhak memiliki

pengalaman tentang dunia dan memahami dirinya sebagai bagian dari

dunia itu. Inti dari subjek ini menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap

individu berhak memiliki keinginan untuk menentukan identitas dirinya,

15

bukan kepasrahan untuk menerima identitas diri karena adanya pihak yang

mendominasi atau berkuasa.

b. Subjek Sosiologis

Subjek ini menjelaskan bahwa setiap individu adalah makhluk sosial. Oleh

karena itu identitas individu pun terbangun atas pengaruh lingkungan

sosial. Inti dari subjek ini menjelaskan bahwa pada dasarnya identitas

tidak dapat berdiri sendiri, melainkan dibentuk oleh pengaruh orang lain

yang menjadi perantara subjek dengan nilai, makna, dan simbol

kebudayaan dari tempat ia hidup. Identitas terbentuk dari interaksi yang

terjadi antara diri dan lingkungan sosialnya.

c. Subjek Pascamodern

Subjek ini menjelaskan bahwa identitas bukan hanya dilihat dari sisi

biologis semata, melainkan dari sisi historisnya juga. Di dalam subjek ini

ada asumsi bahwa setiap individu akan memiliki identitas yang berbeda

dalam kurun waktu yang berbeda. Identitas tersebut tidak menyatu dalam

diri individu karena identitas dapat berubah-ubah menyesuaikan situasi

dan kondisi. Individu nantinya akan memiliki beragam identitas yang

terkadang kontradiktif.

16

1.5.2 Identitas Budaya dalam Diri Individu

Untuk membahas mengenai masalah identitas budaya, penelitian ini

menggunakan teori identitas budaya dari Stuart Hall. Stuart Hall dalam Cultural

Identity and Diaspora, berpendapat bahwa konsep identitas budaya merupakan

sesuatu hal yang tidak langsung terbentuk, melainkan sebuah proses yang tidak akan

pernah selesai, selalu dalam proses, dan diwujudkan dalam sebuah representasi (Hall,

1990:222). Identitas dan representasi merupakan dua hal yang tidak mungkin dapat

dipisahkan. Hal tersebut karena identitas individu akan terlihat jika ditunjukkan

melalui representasi, seperti yang dikatakan oleh Barker sebelumnya bahwa identitas

ditandai atau direpresentasikan melalui gaya hidup, sikap dan lain sebagainya.

Hall mengungkapkan setidaknya ada dua cara pandang untuk melihat identitas

budaya, yaitu identitas budaya sebagai wujud yang stabil dan identitas budaya

sebagai sesuatu yang akan terus berubah. Cara pertama dalam melihat identitas

budaya adalah melihatnya sebagai sesuatu yang bersifat esensialis. Identitas budaya

dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan tidak akan pernah berubah. Menurut Hall,

identitas budaya dalam cara pandang ini merefleksikan pengalaman sejarah dan kode-

kode kebudayaan dari mereka yang menciptakan, sebagai individu yang sama, stabil,

dan tidak akan pernah berubah (Hall, 1990:223).

Dalam cara pandang ini, identitas budaya dalam diri individu dinilai stabil dan

tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Seorang individu akan memiliki

17

identitas budaya yang terus menerus seperti itu. Identitas tersebut tidak akan berubah

sejak lahir hingga tua. Berdasarkan cara pandang esensialis ini, identitas budaya

dalam diri individu akan dilihat sebagai representasi sejarah dan kebudayaan dari

daerah asalnya saja. Hal ini lah yang nanti akan menyebabkan timbulnya kesenjangan

antar satu identitas dengan identitas lainnya.

Selanjutnya, cara kedua adalah menghargai adanya persamaan dan perbedaan

dalam memandang identitas budaya. Dalam cara pandang ini Stuart Hall tidak lagi

melihat identitas budaya sebagai sesuatu yang esensialis, melainkan sesuatu yang

akan selalu berubah setiap saat. Identitas budaya dalam konsep ini

mempermasalahkan bagaimana proses “menjadi” sama pentingnya dengan apa yang

“telah terjadi”.

It is a matter of “becoming” as well as of “being”. It belongs to the future as

much as to the past. It is not something which already exist, transcending

place, time, history and culture (Hall, 1990:225).

Menurut Hall dalam kutipan tersebut, identitas budaya bukan hanya merujuk pada

masa lalu saja, melainkan apa yang ada pada masa kini dan masa depan. Hal tersebut

karena proses “becoming” identitas akan terjadi secara terus menerus sesuai tempat,

waktu, sejarah, dan budaya. Hall menegaskan bahwa identitas budaya bukanlah

sesuatu yang kaku dan tidak berubah dari waktu ke waktu, melainkan identitas

budaya adalah sesuatu yang terus menerus dibentuk berdasarkan kerangka sejarah

dan budaya.

18

Selayaknya sesuatu yang dipengaruhi oleh sejarah dan budaya, identitas

budaya akan terus mengalami transformasi. Identitas budaya dalam cara pandang ini

tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang bersifat abadi, melainkan identitas merupakan

subjek dari permainan sejarah dan kekuasaan. Selama ini, dampak dari sejarah dan

kolonialisasi masa lampau adalah munculnya representasi identitas kaum terjajah

lebih buruk dari kaum penjajah. Peristiwa kolonialisasi membuat mereka para

penjajah memiliki kekuasaan untuk membentuk pola pikir dan menempatkan mereka

yang terjajah sebagai “yang lain” (Hall,1990 :225).

Melalui cara pandang bahwa identitas bukanlah sesuatu yang esensialis,

individu akan mendobrak stereotip identitas yang muncul sebagai dampak dari

sejarah masa lampau. Berdasarkan pada cara yang kedua ini, identitas budaya dalam

diri individu akan selalu berubah dan akan terus menjadi sesuatu yang baru. Selain

itu, identitas dipandang pada bagaimana seorang individu menjadikannya sebagai

sebuah posisi, bukan hanya esensi semata. Oleh karena itu individu dapat menjadi

siapa saja dimana pun ia berada karena tidak terikat oleh stereotip yang terbentuk dari

masa lampau.

Sejatinya identitas bersifat cair dan tidak tetap. Identitas bukanlah sesuatu

yang kaku karena akan terus mengalami pembentukan dan perubahan. Pembentukan

identitas tidak akan pernah berhenti dan akan terus berlangsung selama individu

tersebut masih hidup. Proses pembentukan identitas terkait dengan bagaimana

individu menempatkan dirinya dalam lingkup masyarakat. Sebagaimana yang telah

19

dikatakan sebelumnya bahwa identitas bukanlah merupakan sesuatu yang tetap, maka

seseorang dapat mengalami perubahan seiring dengan perubahan kehidupannya.

Identitas akan berubah sesuai berjalannya waktu, perubahan situasi dan kondisi yang

dialami dalam hidup setiap individu.

1.6 Metode Penelitian

Menurut Teeuw kata “sastra” berasal dari bahasa sansekerta, kata san berarti

mengarahkan, mengajarkan, menunjukkan. Akhiran tra yang ditambahkan memiliki

arti alat atau sarana. Setelah digabungkan, kata “sastra” dapat diartikan sebagai alat

untuk mengajar atau petunjuk pengajaran yang baik (Teeuw, 1984:23).

Sebagai sebuah media pengajaran, karya sastra juga berfungsi sebagai alat

komunikasi, yang menghubungkan pengarang dengan pembaca. Oleh karena itu,

umumnya karya sastra diciptakan dengan tujuan tertentu. Sebuah karya sastra ditulis

tidak semata-mata untuk memenuhi kepuasan batin pengarang saja, melainkan ada

nilai-nilai penting dalam kehidupan nyata yang ingin disampaikan oleh pengarang

kepada pembaca melalui karya sastra. Banyak nilai-nilai kehidupan berharga yang

dapat diperoleh dari membaca dan mempelajari sastra. Selain sebagai sarana hiburan,

sastra dapat digunakan sebagai cermin atas peristiwa nyata yang terjadi pada

zamannya. Karya yang besar justru diciptakan oleh pengarang dengan tujuan, baik

20

sosial, politik, budaya dan ekonomi, maupun tujuan lainnya yang bersifat moral,

pendidikan, dan pengajaran (Ratna, 2005:321).

Karya sastra, baik sebagai kreativitas estetis maupun respon kehidupan sosial,

mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap

berarti bagi aspirasi kehidupan seniman, kehidupan manusia pada umumnya. Karya

sastra dapat disebut sebagai sebuah miniatur dunia, karena berfungsi

menginventarisasikan berbagai kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata (Ratna,

2003:34).

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk menjelaskan

pada dasarnya karya sastra tercipta sebagai refleksi atas permasalahan yang terdapat

di kehidupan nyata. Pada dasarnya setiap kejadian dalam karya sastra, merupakan

gambaran yang pernah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu

pendekatan sosiologi sastra akan menjelaskan aspek-aspek sosial, karena pada

dasarnya rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Sosiologi sastra mencoba

menjelaskan bahwa eksistensi karya sastra bukan semata-mata gejala individual

(pribadi pengarang), melainkan gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat (Ratna,

2003:27).

Berhubung wilayah kajian sosiologi dianggap cukup luas, oleh karena itu

Rene Wellek dan Austin Warren (via Damono, 1979:03) membagi telaah sosiologis

menjadi tiga klasifikasi, sebagai berikut:

21

1. Sosiologi pengarang, yaitu permasalahan mengenai status sosial, ideologi

politik, dan berbagai hal lainnya yang menyangkut diri pengarang sebagai

penghasil sastra.

2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri.

Pokok penelaahannya adalah permasalahan mengenai apa yang tersirat dalam

karya sastra.

3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan antara pembaca dan pengaruh sosial

karya sastra.

Berdasarkan ketiga klasifikasi tersebut, penelitian ini akan difokuskan pada sosiologi

karya sastra saja. Penelitian ini tidak akan membahas mengenai aspek ekstrinsik

seperti pengaruh pengarang terhadap pembentukan karya sastra maupun pengaruh

terciptanya karya sastra terhadap pembaca. Penelitian ini hanya akan

mempermasalahkan apa yang ada di dalam karya sastra saja. Permasalahan yang ada

diambil dari novel Onitsha yaitu terkait permasalahan identitas budaya pada tokoh

Fintan Allen.

Selanjutnya, metodologi dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap.

Berikut merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini:

1. Penelitian ini dimulai dengan melakukan pembacaan heuristik, yaitu

pembacaan tahap pertama untuk mendapatkan gambaran awal mengenai cerita

di dalam novel.

22

2. Setelah itu dilakukan pembacaan kembali dengan cara hermeneutik untuk

memahami alur, latar, tema dan penokohan pada novel Onitsha. Selain itu

pembacaan tahap kedua dilakukan untuk menemukan permasalahan yang

terdapat dalam novel untuk diteliti lebih lanjut.

3. Proses selanjutnya dilakukan proses pengumpulan data dengan cara

pembuatan tabel data. Tabel data disusun secara urut berdasarkan halaman,

waktu, dan tempat terjadinya peristiwa.

4. Data yang sudah urut tersebut selanjutnya diklasifikasikan lagi untuk

menemukan bagaimana pembentukan identitas budaya, serta proses negosiasi

identitas yang terjadi dalam novel Onitsha.

5. Setelah semua data terkumpul, dilakukan proses analisis data dengan bantuan

teori yang identitas dari Stuart Hall.

6. Tahap selanjutnya yaitu proses penulisan hasil analisis dengan disertakan

data-data yang mendukung memperkuat analisis.

7. Tahap terakhir adalah tahap pengambilan kesimpulan dari penelitian yang

telah dilakukan dan menyajikannya menjadi hasil penelitian secara utuh

dengan disertai lampiran data-data lain sebagai pendukung.

23

1.7 Sistematika Penyajian

Berikut merupakan sistematika penyajian pada penelitian novel Onitsha karya

Jean Marie Gustave Le Clézio:

Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori, metode

penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penyajian.

Bab II : Berisi analisis mengenai pembentukan identitas budaya dan

proses negosiasi yang dilakukan individu saat berhadapan

dengan stereotip identitas budaya.

Bab III : Mencakup pembahasan singkat mengenai kesimpulan yang

dihasilkan dari seluruh pembahasan dalam analisis

sebelumnya. Setelah itu dilanjutkan dengan daftar pustaka

sebagai referensi.