BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia terlahir seorang diri ke dunia ini, namun tidak ada satupun
manusia yang mampu hidup seorang diri sepanjang hidupnya. Sebagai makhluk
sosial, sudah menjadi kodratnya manusia saling membutuhkan antara satu dengan
lainnya. Oleh karena itu, manusia diharuskan menjalin hubungan baik antar sesama
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Ketika menjalin hubungan baik antar
sesama, biasanya individu akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan mengenai
identitas diri, seperti siapa dirinya dan dari mana asalnya. Pertanyaan akan nama dan
asal-usul tersebut menuntut setiap individu memiliki identitas sebagai tanda pembeda.
Bagi setiap individu, identitas merupakan suatu hal yang wajib dimiliki
sebagai tanda pembeda antar satu individu dengan individu yang lainnya. Seperti
yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:517), “identitas” memiliki
definisi sebagai jati diri. Melalui pengertian tersebut, identitas dapat diartikan sebagai
jati diri individu yang ditunjukkan melalui ciri-ciri atau keadaan khusus untuk
memahami, mendeskripsikan serta menginterpretasikan dirinya.
2
Permasalahan identitas merupakan salah satu tema pada kajian budaya yang
muncul pada tahun 1990-an. Pembahasan mengenai identitas merujuk pada berbagai
macam isu, seperti sosial, politik serta budaya. Berbagai permasalahan yang dibahas
mengenai identitas, di antaranya yaitu politik feminisme, etnisitas, serta orientasi
seksual. Identitas dalam kajian budaya lebih sering disebut sebagai identitas budaya
atau identitas kultural. Hal tersebut karena identitas merupakan produk budaya yang
sifatnya tidak abadi. Identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak
mungkin tercipta di luar representasi budaya dan akulturasi (Barker, 2011:174).
Menurut Stuart Hall, konsep identitas budaya yaitu menyembunyikan
identitas pribadi seorang individu di balik identitas kolektif yang ada di sekitarnya
(Hall, 1990:04). Berdasarkan konsep tersebut, seorang individu dipaksakan memiliki
identitas yang sama dengan identitas di sekelilingnya. Individu yang memiliki
identitas berbeda dengan sebuah kelompok akan dianggap tidak layak menjadi bagian
dari kelompok tersebut. Konsep tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan
identitas budaya antar satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Permasalahan ketimpangan identitas budaya dapat terlihat ketika individu
yang berasal dari negara-negara Barat terkadang dianggap lebih superior ketimbang
mereka yang berasal dari belahan dunia lainnya. Adanya stereotip bahwa identitas
budaya negara-negara non-Barat lebih rendah dari pada negara-negara Barat tidak
terlepas dari sejarah kejayaan Eropa di masa lalu. Robert J. C. Young menjelaskan
bahwa wacana pemisah antara Barat dan non Barat merupakan dampak dari ekspansi
3
bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-19 yang menyebabkan sembilan dari sepuluh
wilayah di bumi dikuasai oleh Eropa (Young, 2003:02).
Lebih lanjut, ditambah dengan adanya peristiwa Revolusi Industri yang terjadi
di sebagian besar negara-negara Eropa, membuat mereka semakin giat melakukan
ekspansi ke belahan dunia lain untuk menambah daerah jajahan baru. Tujuan
penambahan daerah jajahan baru yaitu untuk memperoleh pasar bagi produk-produk
industri mereka. Selain itu perluasan daerah jajahan mereka manfaatkan sebagai
tambahan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Adanya industrialisasi di
sebuah negara agraris mengakibatkan pertanian mereka menjadi mundur, oleh karena
itu fungsi negara jajahan adalah sebagai sumber bahan makanan bagi negara mereka,
serta bahan-bahan yang diperlukan dalam industri (Soeratman, 2012:22).
Selain penjajahan fisik yang berupa eksploitasi sumber daya alam dan sumber
daya manusia, bangsa-bangsa Eropa juga melakukan penjajahan mental dengan
mengkonstruksi identitas bangsa terjajah. Akibatnya masyarakat terjajah selalu
direpresentasikan sebagai pihak inferior dan masyarakat penjajah sebagai superior.
Bangsa penjajah selalu dianggap lebih kompeten dalam hal pemerintahan, hukum,
ekonomi, ilmu pengetahuan, serta dalam musik, seni dan sastra. Sedangkan bangsa-
bangsa terjajah dianggap akan selalu membutuhkan negara Barat, seperti dalam
pembangunan dan pendidikan (Young, 2003:02).
4
Dampak dari sejarah penjajahan Eropa terhadap terbentuknya stereotip
identitas budaya merupakan isu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Isu tersebut
ditemukan dalam novel Onitsha karya Jean Marie Gustave Le Clézio yang menjadi
objek material dalam penelitian ini. Secara garis besar, novel Onitsha menceritakan
adanya kesenjangan stereotip identitas budaya antara penduduk Eropa dan Afrika.
Le Clézio merupakan seorang sastrawan berkewarganegaraan Prancis yang
memperoleh Nobel Sastra pada tahun 2008. Lahir pada tahun 1940 di Nice, Prancis,
Le Clézio merupakan keturunan keluarga Breton yang beremigrasi pada abad ke-18
ke Pulau Mauritius, Prancis. Keluarga Breton adalah kelompok etnis penutur bahasa
Inggris yang beremigrasi dari negara asalnya Inggris lalu menetap di wilayah
Bretagne, Prancis.
Sejak kecil Le Clézio memang terlihat memiliki hobi menulis. Melalui
hobinya tersebut saat kecil Le Clézio mampu menghasilkan karya-karya seperti
dongeng dan cerita bergambar. Setelah dewasa, Le Clézio menyelesaikan studi
sarjana di Institut d'Etudes Littéraires di Nice hingga memperoleh gelar Doktor. Pada
usia 23 tahun Le Clézio mulai mendapat perhatian dari publik setelah dirinya
mendapat penghargaan Prix Renaudot atas novel pertamanya yang berjudul Le
Procès Verbal (1963). Ia juga mendapatkan penghargaan Grand Prix Paul Morand
de l’Académie Français atas novelnya yang berjudul Désert (1980). Penghargaan
5
tertinggi ia peroleh pada tahun 2008 ketika ia diumumkan sebagai penerima
penghargaan Nobel dalam bidang sastra oleh kerajaan Swedia1.
Le Clézio merupakan seorang penulis yang memiliki warna tersendiri dalam
setiap tulisannya. Dapat dilihat dari puluhan karya-karya ciptaannya, Le Clézio kerap
bercerita mengenai kisah petualangan dan penjelajahan dari berbagai negara. Selain
itu melalui karya-karyanya Le Clézio juga terkenal terkenal sebagai penulis yang
menyuarakan permasalahan kaum minoritas dan budaya yang terpinggirkan. Lebih
dari 40 buku telah ia tulis, sebagian berupa fiksi, esai, dan juga cerita anak. Beberapa
karyanya yaitu La fièvre (1965), Le dégule (1966), Terra amata (1967), La livre des
fuites (1969), La guerre (1970), Les géants (1973), Haï (1977), Voyage de l’autre
côté (1975), Le rêve mexicain ou la pensée interrompue (1998), Le chercheur d’or
(1985)2.
Pada awal karirnya sebagai penulis, Le Clézio tertarik untuk mengangkat
tema-tema kegilaan dan keterasingan, namun akhirnya berubah pada akhir tahun
1970-an. Karya-karyanya berubah menjadi lebih luas, populer, dan menyenangkan. Ia
meninggalkan tema-tema yang suram dan penuh siksaan menjadi tema-tema seperti
kenangan masa kecil, perjalanan dan sejarah tentang keluarganya. Beberapa karya
1 Nobel Media AB. 2014. Jean-Marie Gustave Le Clézio - Biographical.
http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/2008/clezio-bio.html (diakses pada 09
Februari 2015 pukul 08.15)
2 Nobel Media AB. 2014. Jean-Marie Gustave Le Clézio - Bibliography.
http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/2008/clezio-bibl.html (diakses pada 09
Februari 2015 pukul 08.16)
6
yang terinspirasi dari ingatan masa lalunya, yaitu: Onitsha (1991), La quarantaine
(1995), Révolution (2003), L’Africain (2004) dan Ritournelle de la faim (2008).
Dari beberapa karya-karyanya, novel Onitsha menjadi salah satu novel Le
Clézio yang juga mendapat perhatian publik. Onitsha diterbitkan pertama kali pada
tahun 1991 oleh penerbit Gallimard. Pada tahun 1997 novel ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan judul yang sama oleh Alison Anderson. Onitsha
terinspirasi dari pengalaman masa kecil Le Clézio yang melakukan perjalanan lintas
benua dari Eropa menuju Afrika3. Onitsha sendiri merupakan nama sebuah wilayah di
Nigeria, Afrika Barat, yang ditinggali oleh Le Clézio selama berada di Afrika. Oleh
karena itu, nama “Onitsha” digunakan sebagai judul pada novel tersebut.
Sebagian besar cerita dalam novel Onitsha berlatar tempat di Onitsha,
Nigeria, pada tahun 1948-1949. Onitsha menggambarkan realita pada waktu itu, yaitu
kondisi Nigeria yang menjadi salah satu daerah jajahan Inggris di Afrika Barat.
Peristiwa penjajahan tersebut berakibat pada terjadinya kesenjangan dalam
mengidentifikasi identitas budaya Nigeria dan Inggris. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut ini:
D’autre Anglais sont arrivés. Ils se sont amusés à contrefaire des voix de
noirs, à dire des blagues en pidgin. M. Simpson montrait le piano: «Big
black fellow box spose white man fight him, he cry too mus!» (Le Clézio,
1991:61).
3 Serafin, Steven R. 2013. Jean-Marie Gustave Le Clézio.
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/333320/Jean-Marie-Gustave-Le-Clezio (diakses pada 21
januari 2015 pukul 14.00)
7
Orang Inggris yang lain berdatangan. Mereka bercanda dengan menirukan
suara orang-orang kulit hitam, membicarakan lelucon dengan bahasa
pidgin. Tuan Simpson memainkan piano: “Big black fellow box spose white
man fight him, he cry too mus!”
Kutipan tersebut menceritakan salah satu peristiwa yang ada di dalam novel Onitsha.
Di dalam kutipan tersebut Inggris sebagai pihak penjajah merasa berhak bertindak
semena-mena pada Nigeria sebagai daerah jajahannya, termasuk dalam mengolok-
olok identitas budaya Onitsha yaitu bahasa Pidgin4. Berdasarkan kutipan tersebut
dapat dilihat adanya stereotip bahwa identitas budaya Nigeria dipandang lebih buruk
dari pada identitas budaya Inggris.
Adanya kesenjangan stereotip antara identitas budaya Onitsha dan Inggris
berdampak pada pembentukan identitas budaya Fintan Allen yang merupakan tokoh
utama dalam novel Onitsha. Fintan merupakan seorang remaja keturunan Italia-
Inggris yang mengalami berbagai proses pembentukan identitas. Selain itu, ia
mengalami dua kali perpindahan dari Marseille, Prancis, menuju Onitsha, Nigeria,
kemudian ke Bath, Inggris. Melalui perpindahan tempat tinggal tersebut, Fintan
menemukan adanya ketimpangan dalam menilai identitas budaya antara Nigeria dan
Inggris. Permasalahan yang menarik dalam novel ini terlihat ketika Fintan menolak
mengakui identitasnya sebagai keturunan Inggris dan justru mengharapkan memiliki
identitas yang distereotipkan lebih rendah.
4 Bahasa Pidgin adalah salah satu bentuk identitas budaya dari Nigeria. Bahasa Pidgin adalah
kombinasi bahasa pribumi Nigeria dan Inggris yang berkembang melalui interaksi ratusan tahun atas
pengaruh pedagang Inggris (Falola, 2008:04).
8
Setelah melakukan perpindahan tempat tinggal ke Onitsha, Fintan
mendapatkan kenyamanan setiap kali berada di tengah masyarakat dan kebudayaan
Onitsha. Sayangnya, sebagai anak keturunan Inggris, Fintan dianggap memiliki
kedudukan yang jauh lebih tinggi dari pada masyarakat Onitsha. Tuntutan untuk
melestarikan identitas Inggris yang dalam dirinya pun membuat Fintan tidak bisa
memiliki identitas seperti harapannya. Akhirnya, Fintan pun terpaksa melakukan
negosiasi agar tidak menimbulkan konflik yang berlanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Memiliki identitas budaya penting bagi setiap individu sebagai tanda pengenal
dan pedoman dalam memosisikan diri di tengah masyarakat. Sebagai pemilik tubuh
seharusnya individu berhak memilih identitas budaya yang ia inginkan, namun
adanya stereotip bahwa salah satu identitas budaya lebih buruk dari pada identitas
budaya lainnya mengakibatkan individu dibatasi untuk memperoleh identitas budaya
harapannya.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada novel Onitsha,
dirumuskan pertanyaan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pembentukan identitas budaya pada diri individu yang
digambarkan dalam novel Onitsha?
9
2. Bagaimana negosiasi yang dilakukan individu ketika berhadapan dengan
stereotip identitas budaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan terkait
dengan teori yang bersangkutan. Secara lebih khusus, tujuan dari penelitian novel
Onitsha karya Jean Marie Gustave Le Clézio ini adalah untuk memecahkan
permasalahan mengenai pembentukan identitas budaya dalam diri individu dan
negosiasi yang dilakukan individu ketika berhadapan dengan stereotip identitas
budaya. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menginspirasi untuk penelitian-
penelitian selanjutnya mengenai permasalahan serupa.
1.4 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan sebelumnya, belum ada penelitian yang membahas
novel Onitsha karya J.M.G. Le Clézio. Beberapa karya Le Clézio lainnya ditemukan
sebagai objek dalam penelitian skripsi, seperti pada skripsi Analisis Struktural Désert
Karya Jean Marie Gustave Le Clézio oleh Alexandra Samantha pada tahun 1992.
Penelitian tersebut menggunakan analisis struktural dengan langkah pertama
penulisan sinopsis novel, lalu menganalisis lebih lanjut mengenai unsur-unsur yang
terkait antar satu dengan lainnya, seperti tokoh, latar, alur, dan tema. Penelitian ini
10
juga bertujuan untuk menunjukkan mengapa novel Désert dianggap bermutu
sehingga memenangkan penghargaan Académie Française pada tahun 1980.
Selain itu, novel Le Clézio yang berjudul Désert juga pernah diteliti lebih
lanjut oleh alumnus Sastra Prancis, D.A.A.A. Candra Hayu, dalam skripsinya yang
berjudul Perjuangan untuk Kebebasan dan Strategi Bertahan dalam Roman Désert
karya J.M.G. Gustave Le Clézio pada tahun 2012. Penelitian tersebut menggunakan
konsep kebebasan bertanggung jawab oleh Pierre Bordieu untuk menjelaskan usaha
yang ditempuh dalam hal memperjuangkan hak.
Selain Novel Désert, karya Le Clézio yang pernah diteliti adalah novel Mondo
et Autres Histoires dalam skripsi yang berjudul Pengaruh Lingkungan Pada Tokoh
dalam Cerita Mondo et Autres Histoire Sebuah Kajian Struktural yang ditulis oleh
Lediva Thianingga Penggi pada tahun 2005. Penelitian tersebut menunjukkan analisis
sifat tokoh-tokoh dalam cerita dengan menggunakan analisis struktural, setelah itu
dilakukan analisis lebih lanjut mengenai pengaruh lingkungan sekitar terhadap
pembentukan tokoh dengan menggunakan teori psikologi perkembangan anak.
Karya Le Clézio lainnya yang pernah menjadi objek penelitian adalah novel
Poisson d’or. Penelitian berupa tesis dilakukan oleh Paryatun pada tahun 2011
dengan mengambil judul Theatrical Perfomance Imigran ala Poisson d’or Karya Le
Clézio. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana theatrical performance yang
digunakan sebagai politik identitas imigran untuk beradaptasi dengan masyarakat
11
sekitar. Setelah itu penelitian tersebut juga menunjukkan penerapan teori sosial pada
kajian sastra, dengan berbagai pendekatan seperti sastra francophone, sastra
pascakolonial, dan metode semiotika Roland Barthes.
Terakhir, pada pada tahun 2013 karya Le Clézio yang berjudul Revolution
juga menarik perhatian Cinantyan Punjung Prapatti untuk diteliti. Dengan judul
Perlawanan dalam Roman Révolutions Karya Jean Marie Gustave Le Clézio,
penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa kekuasaan dapat dinegosiasi
melalui perlawanan, dan perlawanan sendiri memerlukan strategi untuk dapat
mencapai tujuannya.
Selain tinjauan pustaka mengenai karya-karya Le Clézio yang dijadikan
referensi, ada juga beberapa penelitian lain yang membahas mengenai permasalahan
identitas. Seperti pada penelitian yang berjudul Pengaruh Identitas terhadap
Pembentukan Presepsi dalam Novel l’Amant Karya Marguerite Duras oleh Namiera
Riskiana pada tahun 2010. Penelitian tersebut mengungkapkan bagaimana identitas
seseorang berperan penting dalam membentuk presepsi atau pandangannya mengenai
kehidupan sosial, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan budaya, gender, ras, kelas
ekonomi, golongan usia dan psikologis. Teori yang digunakan pada penelitian
tersebut yaitu gabungan antara teori identitas, teori presepsi dan teori kekuasaan
Michael Foucault.
12
Permasalahan identitas juga diungkapkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Anggie Brosasmita Wibowo pada tahun 2011. Penelitian yang berjudul Identitas Diri
dan Rekognisi Homoseksual dalam Film Juste Une Question d’amour,
mengungkapkan bagaimana kaum homoseksual membangun dan membentuk
identitas sosialnya di tengah masyarakat, serta bagaimana masyarakat memandang
kaum mereka.
Selain itu, permasalahan identitas budaya juga ditemukan dalam penelitian
yang berjudul Identitas Kultural dalam Novel Edensor Karya Andrea Hirata: Sebuah
Kajian Poskolonial, sebuah tesis yang ditulis oleh Faridha Yusnaini pada tahun 2011.
Tesis tersebut membahas mengenai identitas kultural dalam kondisi poskolonial yang
terdapat dalam novel Edensor. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa identitas
kultural sebagai sebuah konstruksi sosial dalam bentuk etnisitas, agama, bahasa, dan
negara-bangsa. Kesadaran akan identitas kultural muncul sebagai konstruksi sosial
karena pertemuan berbagai kultur yang berbeda dalam ruang dan waktu yang berbeda
pula. Akibat dari pertemuan berbagai kultur tersebut memunculkan transformasi
identitas dengan budaya yang lebih dominan, yakni Eropa yang memunculkan
inferioritas.
Penelitian terbaru ada pada tahun 2014, Shavira Lazuardh juga melakukan
penelitian yang berjudul Kolonialisme dan Pembentukan Identitas dalam Novel Allah
n’est pas Oblige. Penelitian tersebut mengangkat permasalahan bagaimana
kolonialisme berpengaruh terhadap pembentukan identitas. Shavira menggunakan
13
teori naratologi untuk mengetahui bagaimana teknik penceritaan dalam novel yang
mengungkapkan permasalahan kolonialisme sehingga mempengaruhi identitas, selain
itu ia juga menggunakan teori kolonialisme dan teori identitas.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, penelitian dengan judul negosiasi
identitas yang terdapat pada novel Onitsha karya Jean Marie Gustave Le Clézio
belum pernah dilakukan sebelumnya, oleh karena itu penelitian ini layak untuk
dilakukan.
1.5 Landasan Teori
Landasan teori digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian.
Adanya teori sesungguhnya digunakan untuk membantu menyelesaikan dan
menjawab permasalahan yang ditanyakan dalam sebuah penelitian. Penelitian ini
akan membahas mengenai negosiasi identitas yang dilakukan oleh tokoh utama. Oleh
karena itu, berikut merupakan teori yang digunakan untuk membantu penyelesaian
permasalahan penelitian:
1.5.1 Pembentukan Identitas Individu
Identitas merupakan konsep mengenai jati diri. Identitas merupakan sesuatu
yang harus dimiliki setiap individu karena identitas berfungsi sebagai tanda pembeda
antar satu individu dengan individu lainnya. Selain itu identitas juga merupakan apa
14
yang diyakini individu terkait seluruh aspek sosial dan kultural yang dimaknai
melalui tanda-tanda, seperti gaya hidup, sikap dan lain sebagainya (Barker,
2011:173).
Identitas menyangkut masalah posisi yang dipengaruhi oleh kesadaran diri
dan interaksi sosial, bagaimana individu memposisikan dirinya dan diposisikan oleh
orang lain. Oleh karena itu, identitas terbagi menjadi dua, yaitu identitas diri yang
merupakan keyakinan seseorang mengenai dirinya sendiri dan identitas sosial yang
merupakan harapan orang lain terhadap dirinya. Meskipun terpisah menjadi dua
identitas, sebagai pribadi yang utuh individu harus memiliki seluruh aspek sosial dan
budaya, sehingga identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak
mungkin hadir di luar representasi budaya dan akulturasi (Barker, 2011:174).
Menurut Stuart Hall (via Barker, 2011:176-178) terdapat tiga cara berbeda
dalam memahami identitas, tiga cara tersebut yaitu:
a. Subjek Pencerahan
Subjek ini terinspirasi oleh pemikiran Descartes mengenai «je pense donc
je suis» yang berarti saya berfikir maka saya ada. Subjek ini menempatkan
individu sebagai subjek yang rasional. Individu berhak memiliki
pengalaman tentang dunia dan memahami dirinya sebagai bagian dari
dunia itu. Inti dari subjek ini menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap
individu berhak memiliki keinginan untuk menentukan identitas dirinya,
15
bukan kepasrahan untuk menerima identitas diri karena adanya pihak yang
mendominasi atau berkuasa.
b. Subjek Sosiologis
Subjek ini menjelaskan bahwa setiap individu adalah makhluk sosial. Oleh
karena itu identitas individu pun terbangun atas pengaruh lingkungan
sosial. Inti dari subjek ini menjelaskan bahwa pada dasarnya identitas
tidak dapat berdiri sendiri, melainkan dibentuk oleh pengaruh orang lain
yang menjadi perantara subjek dengan nilai, makna, dan simbol
kebudayaan dari tempat ia hidup. Identitas terbentuk dari interaksi yang
terjadi antara diri dan lingkungan sosialnya.
c. Subjek Pascamodern
Subjek ini menjelaskan bahwa identitas bukan hanya dilihat dari sisi
biologis semata, melainkan dari sisi historisnya juga. Di dalam subjek ini
ada asumsi bahwa setiap individu akan memiliki identitas yang berbeda
dalam kurun waktu yang berbeda. Identitas tersebut tidak menyatu dalam
diri individu karena identitas dapat berubah-ubah menyesuaikan situasi
dan kondisi. Individu nantinya akan memiliki beragam identitas yang
terkadang kontradiktif.
16
1.5.2 Identitas Budaya dalam Diri Individu
Untuk membahas mengenai masalah identitas budaya, penelitian ini
menggunakan teori identitas budaya dari Stuart Hall. Stuart Hall dalam Cultural
Identity and Diaspora, berpendapat bahwa konsep identitas budaya merupakan
sesuatu hal yang tidak langsung terbentuk, melainkan sebuah proses yang tidak akan
pernah selesai, selalu dalam proses, dan diwujudkan dalam sebuah representasi (Hall,
1990:222). Identitas dan representasi merupakan dua hal yang tidak mungkin dapat
dipisahkan. Hal tersebut karena identitas individu akan terlihat jika ditunjukkan
melalui representasi, seperti yang dikatakan oleh Barker sebelumnya bahwa identitas
ditandai atau direpresentasikan melalui gaya hidup, sikap dan lain sebagainya.
Hall mengungkapkan setidaknya ada dua cara pandang untuk melihat identitas
budaya, yaitu identitas budaya sebagai wujud yang stabil dan identitas budaya
sebagai sesuatu yang akan terus berubah. Cara pertama dalam melihat identitas
budaya adalah melihatnya sebagai sesuatu yang bersifat esensialis. Identitas budaya
dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan tidak akan pernah berubah. Menurut Hall,
identitas budaya dalam cara pandang ini merefleksikan pengalaman sejarah dan kode-
kode kebudayaan dari mereka yang menciptakan, sebagai individu yang sama, stabil,
dan tidak akan pernah berubah (Hall, 1990:223).
Dalam cara pandang ini, identitas budaya dalam diri individu dinilai stabil dan
tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Seorang individu akan memiliki
17
identitas budaya yang terus menerus seperti itu. Identitas tersebut tidak akan berubah
sejak lahir hingga tua. Berdasarkan cara pandang esensialis ini, identitas budaya
dalam diri individu akan dilihat sebagai representasi sejarah dan kebudayaan dari
daerah asalnya saja. Hal ini lah yang nanti akan menyebabkan timbulnya kesenjangan
antar satu identitas dengan identitas lainnya.
Selanjutnya, cara kedua adalah menghargai adanya persamaan dan perbedaan
dalam memandang identitas budaya. Dalam cara pandang ini Stuart Hall tidak lagi
melihat identitas budaya sebagai sesuatu yang esensialis, melainkan sesuatu yang
akan selalu berubah setiap saat. Identitas budaya dalam konsep ini
mempermasalahkan bagaimana proses “menjadi” sama pentingnya dengan apa yang
“telah terjadi”.
It is a matter of “becoming” as well as of “being”. It belongs to the future as
much as to the past. It is not something which already exist, transcending
place, time, history and culture (Hall, 1990:225).
Menurut Hall dalam kutipan tersebut, identitas budaya bukan hanya merujuk pada
masa lalu saja, melainkan apa yang ada pada masa kini dan masa depan. Hal tersebut
karena proses “becoming” identitas akan terjadi secara terus menerus sesuai tempat,
waktu, sejarah, dan budaya. Hall menegaskan bahwa identitas budaya bukanlah
sesuatu yang kaku dan tidak berubah dari waktu ke waktu, melainkan identitas
budaya adalah sesuatu yang terus menerus dibentuk berdasarkan kerangka sejarah
dan budaya.
18
Selayaknya sesuatu yang dipengaruhi oleh sejarah dan budaya, identitas
budaya akan terus mengalami transformasi. Identitas budaya dalam cara pandang ini
tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang bersifat abadi, melainkan identitas merupakan
subjek dari permainan sejarah dan kekuasaan. Selama ini, dampak dari sejarah dan
kolonialisasi masa lampau adalah munculnya representasi identitas kaum terjajah
lebih buruk dari kaum penjajah. Peristiwa kolonialisasi membuat mereka para
penjajah memiliki kekuasaan untuk membentuk pola pikir dan menempatkan mereka
yang terjajah sebagai “yang lain” (Hall,1990 :225).
Melalui cara pandang bahwa identitas bukanlah sesuatu yang esensialis,
individu akan mendobrak stereotip identitas yang muncul sebagai dampak dari
sejarah masa lampau. Berdasarkan pada cara yang kedua ini, identitas budaya dalam
diri individu akan selalu berubah dan akan terus menjadi sesuatu yang baru. Selain
itu, identitas dipandang pada bagaimana seorang individu menjadikannya sebagai
sebuah posisi, bukan hanya esensi semata. Oleh karena itu individu dapat menjadi
siapa saja dimana pun ia berada karena tidak terikat oleh stereotip yang terbentuk dari
masa lampau.
Sejatinya identitas bersifat cair dan tidak tetap. Identitas bukanlah sesuatu
yang kaku karena akan terus mengalami pembentukan dan perubahan. Pembentukan
identitas tidak akan pernah berhenti dan akan terus berlangsung selama individu
tersebut masih hidup. Proses pembentukan identitas terkait dengan bagaimana
individu menempatkan dirinya dalam lingkup masyarakat. Sebagaimana yang telah
19
dikatakan sebelumnya bahwa identitas bukanlah merupakan sesuatu yang tetap, maka
seseorang dapat mengalami perubahan seiring dengan perubahan kehidupannya.
Identitas akan berubah sesuai berjalannya waktu, perubahan situasi dan kondisi yang
dialami dalam hidup setiap individu.
1.6 Metode Penelitian
Menurut Teeuw kata “sastra” berasal dari bahasa sansekerta, kata san berarti
mengarahkan, mengajarkan, menunjukkan. Akhiran tra yang ditambahkan memiliki
arti alat atau sarana. Setelah digabungkan, kata “sastra” dapat diartikan sebagai alat
untuk mengajar atau petunjuk pengajaran yang baik (Teeuw, 1984:23).
Sebagai sebuah media pengajaran, karya sastra juga berfungsi sebagai alat
komunikasi, yang menghubungkan pengarang dengan pembaca. Oleh karena itu,
umumnya karya sastra diciptakan dengan tujuan tertentu. Sebuah karya sastra ditulis
tidak semata-mata untuk memenuhi kepuasan batin pengarang saja, melainkan ada
nilai-nilai penting dalam kehidupan nyata yang ingin disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca melalui karya sastra. Banyak nilai-nilai kehidupan berharga yang
dapat diperoleh dari membaca dan mempelajari sastra. Selain sebagai sarana hiburan,
sastra dapat digunakan sebagai cermin atas peristiwa nyata yang terjadi pada
zamannya. Karya yang besar justru diciptakan oleh pengarang dengan tujuan, baik
20
sosial, politik, budaya dan ekonomi, maupun tujuan lainnya yang bersifat moral,
pendidikan, dan pengajaran (Ratna, 2005:321).
Karya sastra, baik sebagai kreativitas estetis maupun respon kehidupan sosial,
mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap
berarti bagi aspirasi kehidupan seniman, kehidupan manusia pada umumnya. Karya
sastra dapat disebut sebagai sebuah miniatur dunia, karena berfungsi
menginventarisasikan berbagai kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata (Ratna,
2003:34).
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk menjelaskan
pada dasarnya karya sastra tercipta sebagai refleksi atas permasalahan yang terdapat
di kehidupan nyata. Pada dasarnya setiap kejadian dalam karya sastra, merupakan
gambaran yang pernah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
pendekatan sosiologi sastra akan menjelaskan aspek-aspek sosial, karena pada
dasarnya rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Sosiologi sastra mencoba
menjelaskan bahwa eksistensi karya sastra bukan semata-mata gejala individual
(pribadi pengarang), melainkan gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat (Ratna,
2003:27).
Berhubung wilayah kajian sosiologi dianggap cukup luas, oleh karena itu
Rene Wellek dan Austin Warren (via Damono, 1979:03) membagi telaah sosiologis
menjadi tiga klasifikasi, sebagai berikut:
21
1. Sosiologi pengarang, yaitu permasalahan mengenai status sosial, ideologi
politik, dan berbagai hal lainnya yang menyangkut diri pengarang sebagai
penghasil sastra.
2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri.
Pokok penelaahannya adalah permasalahan mengenai apa yang tersirat dalam
karya sastra.
3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan antara pembaca dan pengaruh sosial
karya sastra.
Berdasarkan ketiga klasifikasi tersebut, penelitian ini akan difokuskan pada sosiologi
karya sastra saja. Penelitian ini tidak akan membahas mengenai aspek ekstrinsik
seperti pengaruh pengarang terhadap pembentukan karya sastra maupun pengaruh
terciptanya karya sastra terhadap pembaca. Penelitian ini hanya akan
mempermasalahkan apa yang ada di dalam karya sastra saja. Permasalahan yang ada
diambil dari novel Onitsha yaitu terkait permasalahan identitas budaya pada tokoh
Fintan Allen.
Selanjutnya, metodologi dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap.
Berikut merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini:
1. Penelitian ini dimulai dengan melakukan pembacaan heuristik, yaitu
pembacaan tahap pertama untuk mendapatkan gambaran awal mengenai cerita
di dalam novel.
22
2. Setelah itu dilakukan pembacaan kembali dengan cara hermeneutik untuk
memahami alur, latar, tema dan penokohan pada novel Onitsha. Selain itu
pembacaan tahap kedua dilakukan untuk menemukan permasalahan yang
terdapat dalam novel untuk diteliti lebih lanjut.
3. Proses selanjutnya dilakukan proses pengumpulan data dengan cara
pembuatan tabel data. Tabel data disusun secara urut berdasarkan halaman,
waktu, dan tempat terjadinya peristiwa.
4. Data yang sudah urut tersebut selanjutnya diklasifikasikan lagi untuk
menemukan bagaimana pembentukan identitas budaya, serta proses negosiasi
identitas yang terjadi dalam novel Onitsha.
5. Setelah semua data terkumpul, dilakukan proses analisis data dengan bantuan
teori yang identitas dari Stuart Hall.
6. Tahap selanjutnya yaitu proses penulisan hasil analisis dengan disertakan
data-data yang mendukung memperkuat analisis.
7. Tahap terakhir adalah tahap pengambilan kesimpulan dari penelitian yang
telah dilakukan dan menyajikannya menjadi hasil penelitian secara utuh
dengan disertai lampiran data-data lain sebagai pendukung.
23
1.7 Sistematika Penyajian
Berikut merupakan sistematika penyajian pada penelitian novel Onitsha karya
Jean Marie Gustave Le Clézio:
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori, metode
penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penyajian.
Bab II : Berisi analisis mengenai pembentukan identitas budaya dan
proses negosiasi yang dilakukan individu saat berhadapan
dengan stereotip identitas budaya.
Bab III : Mencakup pembahasan singkat mengenai kesimpulan yang
dihasilkan dari seluruh pembahasan dalam analisis
sebelumnya. Setelah itu dilanjutkan dengan daftar pustaka
sebagai referensi.