pola pengambilan keputusan keluarga dan bidan dalam merujuk ...
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dua hal utama, yaitu melihat
sejauhmana upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana
gempa dan tsunami oleh Pemerintah Kota Padang, serta melihat faktor
penghambat yang dialami Pemerintah Kota Padang dalam upaya peningkatan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami. Penelitian ini
penting dan menarik mengingat Indonesia merupakan Negara sebagian besar
daerahnya cendrung rentan terhadap kejadian bencana, khususnya gempa bumi
dan tsunami. Diharapkan, temuan penelitian ini bisa dijadikan bahan masukan
oleh pemerintah daerah diseluruh Indonesia yang memiliki kerawanan terhadap
bencana gempa dan tsunami. Sekaligus penelitian ini juga dimaksudkan untuk
mengevaluasi program – program yang telah diterapkan Pemerintah Kota Padang
dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang.
Indonesia merupakan negara rawan bencana gempa bumi, tsunami, dan
letusan gunung berapi (Prasetya dkk, 2006). Dalam satu de kade terakhir saja
terdapat ratusan kasus bencana alam, baik yang berskala kecil maupun besar.
Sebagian diantaranya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.
Bencana gempa bumi yang diikuti tsunami di Aceh pada tahun 2004 mengakibat
160.000 jiwa meninggal dunia (Jayasuriya dkk, 2010). Dua tahun berselang,
bencana gempa yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 menyebabkan 6000
korban jiwa ( Daryono, 2010).
2
Menyadari kerentanan terhadap potensi bencana di wilayah Indonesia,
maka pemerintah memformulasikan sebuah kebijakan tentang penanggulangan
bencana. Kebijakan tersebut telah disahkan dalam bentuk Undang-undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana. Undang-undang ini bertujuan
memberikan perlindungan kepada kehidupan dan penghidupa n yang ada di
Negara Republik Indonesia dari bencana dengan cara menyelenggarakan
penanggulangan bencana secara terpadu, terencana, terkoordinasi dan terintegrasi
( UU No 24 tahun 2012).
Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pemerintah daerah juga
diwajibkan untuk meyelenggarakan penanggulangan bencana di daerahnya .
Penanggulangan bencana tersebut meliputi pemenuhan hak masyarakat yang
terkena bencana, perlindungan dari dampak bencana, peningkatan kapasitas
masyarakat dalam mengurangi resiko bencana , dan pembangunan fisik yang
ramah bencana. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk membuat
kebijakan penanggulangan bencana yang selaras dengan undang-undang
penanggulangan bencana serta kebijakan pembangunan dengan memasukan
tinjauan potensi bencana yang ada didaerahnya. Artinya, kebijakan pembangunan
yang telah direncanakan harus mengedepankan aspek-aspek potensi terjadinya
bencana di daerah tersebut.
Berdasarkan tingginya potensi bencana yang dimiliki Indonesia, maka
kebijakan mengenai upaya penanggulangan bencana menjadi salah satu instrumen
penting untuk meminimalisir kerugian dan korban jiwa . Pemerintah Provinsi
Sumatra Barat merespon potensi bencana ini dengan membentuk Peraturan
3
Daerah Provinsi Sumatra Barat Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Respon Pemerintah Provinsi Sumatra Barat ini sangat beralasan,
mengingat Sumatra Barat menempati posisi ke-6 dalam daftar kerawanan bencana
yang dirilis BNPB pada tahun 2011.
Tabel 1.1. Daftar Kerawanan Provinsi di Indonesia
Sumber : Dokumen BNPB, 2011
Dari sembilan belas kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Sumatra
Barat, enam diantaranya berada di wilayah pesisir yang berbatasan langsung
dengan Samudara Hindia. Kondisi geografis ini mengakibatakan 6 kabupaten/kota
tersebut berpotensi besar terkena ancaman gempa dan tsunami. Oleh karenanya,
pada tanggal 23 April 2012, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno
mengeluarkan surat edaran No. 360/374/KL-BPBD/IV-2012 tentang Status Siaga
Darurat Gempabumi dan Tsunami Wilayah Sumatera Barat untuk tujuh
Kabupaten/Kota di wilayah Sumatera Barat khususnya di daerah pesisir. Wilayah
tersebut diantaranya, Kabupaten Pesisir selatan, Kabupaten Padang Pariaman,
4
Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pasaman Barat,Kota Pariaman, dan
Kota Padang.
Dari data Indeks Rawan Bencana Tahun 2013 BNPB menyebutkan kalau
Kota Padang masuk dalam kategori rawan bencana tinggi dan berada pada
peringkat 10 secara nasional atau peringkat pertama dari wilayah kabupaten yang
ada di Provinsi Sumatera Barat (BNPB, 2013). Dari sekian banyak bencana,
bencana gempa bumi dan tsunami yang paling mengancam, hal ini dikarenakan
posisi daerah tersebut berada di zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan
lempeng Eurasia. Fenomena tersebut menjadikan Kota Padang sebagai salah satu
daerah yang sering mengalami bencana gempabumi.
Berdasarkan data seismisitas yang diperoleh dari United States Geological
Survey (USGS), pada tahun 2014 di Kota Padang tercatat 246 kejadian
gempabumi dengan magnitudo golongan gempabumi merusak sampai golongan
gempabumi besar (magnitudo 5 SR sampai 8 SR). Intensitas kejadian gempabumi
yang terjadi selama kurun waktu 114 tahun terakhir yakni periode 1900 sampai
2014 dapat dilihat pada gambar 1.1. Grafik tersebut mengambarkan frekuensi
kejadian gempabumi. Terlihat bahwa gempabumi golongan merusak (rentang
magnitudo 5 SR–6 SR) memang sangat sering terjadi dengan tingkat intesitas
kejadian semuanya di atas lima. Intensitas kejadian gempabumi dengan golongan
besar (6 SR < M < 8 SR) dapat dikatakan jarang terjadi yaitu di bawah lima kali
akan tetapi tingkat kerusakan lebih sering dirasakan.
5
Gambar 1.1. Grafik Kejadian Gempa Kota Padang dan sekitarnya dari
tahun1900-2014
Sumber : USGS, 2014
Selain bencana gempabum i, Kota Padang juga di bayang-bayangi oleh
potensi bahaya bencana tsunami yang cukup besar sebagai bencana ikutan dari
gempabumi. Gempabumi dan tsunami dapat ditegorikan sebagai bencana kakak-
adik, sebab sebagian besar tsunami destruktif (90%) di wilayah Indonesia telah
disebabkan atau didahului oleh gempa bumi (Hamzah dkk., 2000). Kota Padang
merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam kawasan Megathrust Mentawai.
Beberapa penelitian terakhir mengindikasikan bahwa segmen Mentawai dari
Megathrust Sumatera kemungkinan besar akan mengalami peruntuhan (rupture)
dalam beberapa dekade ke depan, karena energi yang tertumpuk di lokasi ini
sudah terlalu besar (BNPB, 2013). Peruntuhan pada zona penunjaman ini dapat
memicu gempabumi besar yang berpotensi menimbulkan kerusakan parah di
sebagian besar kota-kota di Pulau Sumatera serta memicu bencana tsunami.
Berdasarkan peta bahaya tsunami yang dikeluarkan oleh BNPB pada tahun
2013, terdapat 3 kelas bahaya tsunami di Kota Padang, yaitu bahaya tinggi,
6
sedang, dan rendah. Dari keseluruhan wilayah Kota Padang, sebesar 7.613 Ha
atau 19,41 % wilayah Kota Padang masuk dalam wilayah bahaya tinggi.
Meskipun kurang dari 20 % luas wilayah Kota Padang secara keseluruhan, akan
tetapi wilayah kelas bahaya tinggi menutupi hampir sebagian besar wilayah
pesisir pantai Kota Padang terutam a di wilayah pusat-pusat penduduk dan aktifitas
masyarakat seperti di wilayah kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang
Selatan, Padang Utara, Koto Tangah, Bungus Teluk Kabung dan Nanggalo.
Sehingga dapat dibayangkan dampak yang luar biasa jika bencana tsunami terjadi
di Kota Padang.
Salah satu bencana yang terjadi dan berdampak cukup besar pada Kota
Padang adalah gempabumi yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 lalu,
dengan kekuatan 7.9 SR pada pukul 17.15 WIB yang berpusat di Samudra Hindia
57 Km Barat Daya Pariaman dengan kedalaman 71 Km (Laporan BPK
2009,2010). Akibatnya banyak masyarakat Kota Padang yang meninggal,
bangunan Pemerintah serta pusat-pusat pelayanan masyarakat hancur dan tidak
dapat digunakan, tidak lancarnya akses transportasi baik keluar maupun kedalam
Kota Padang, selain itu beberapa daerah juga tertimbun longsor (LIPI -
UNESCO/ISDR, 2009).
Tabel 1.2
Data Jumlah Korban Jiwa Akibat Gempa 30 September 2009 di Kota
Padang
Keterangan Jumlah Korban Jiwa
Meninggal 383
Luka Berat 431
Luka Ringan 771
Hilang 2
Sumber: Dokumen BPBD Kota Padang 2009
7
Dari tabel 1.2 diketahui bahwa akibat gempa 30 September 2009 lalu,
banyak masyarakat Kota Padang yang meninggal dunia, menderita luka berat
maupun ringan dan bahkan beberapa orang hilang, Selain banyaknya korban jiwa,
gempa tersebut juga mengakibatakan kerusakan rumah penduduk. Tabel 1.3
menggambarkan jum lah kerusakan rumah penduduk, sarana kesehatan, dan sarana
pendidikan di Kota Padang.
Tabel 1.3
Data Kerusakan Akibat Gempa 30 September 2009 di Kota Padang
Keterangan Kerusakan
Rumah
Penduduk
Kerusakan
Saranan
Kesehatan
Kerusakan
Sarana
Pendidikan
Rusak berat 33.579 15 1.606
Rusak sedang 35.816 17 1.038
Rusak ringan 37.615 53 903
Jumlah 107.010 85 3.547
Sumber: Dokumen BPBD Kota Padang 2009
Selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
RI terhadap gempa Padang tahun 2009 lalu, kegiatan perekonomian menurun
karena banyaknya hotel dan pusat hiburan lainnya yang rubuh. Hal ini
menyebabkan pemerintah daerah merugi karena t idak manerima pajak dari pusat
hiburan dan hotel tersebut.
Tabel 1.4
Kerugian Pemerintah Kota PadangBerdasarkan Penerimaan Pajak
Daerah Akibat Gempa Tahun 2009
No Jenis Pajak Jumlah lokasi
Kerusakan pada
wajib pajak
Potensi Pajak rata-
rata per bulan
(Rp)
Estimasi
kekurangan
penerimaan
Triwulan 4 (Rp)
1 Pajak Hotel 15 526.750.000,00 1.580.250.000,00
2 Pajak Restoran 59 383.364.212,00
3 Pajak tempat hiburan
-Bioskop 4 71.869.918,00 215.609.754,00
-Billyard 11 5.233.000,00 15.699.000,00
8
No Jenis Pajak Jumlah lokasi
Kerusakan pada
wajib pajak
Potensi Pajak rata-
rata per bulan
(Rp)
Estimasi
kekurangan
penerimaan
Triwulan 4 (Rp)
-Karaoke 1 450.000,00 1.350.000,00
-Permainan Anak 5 8.315.500,00 24,946.500,00
-Kolam renang 1 600.000,00 1.800.000,00
4 Pajak parkir 7 10.000.000,00 30.000.000,00
Jumlah 1.006.582.630,00 3.019.747.890,00
Sumber: Dokumen BPBD Kota Padang 2009
Banyaknya jatuh korban jiwa, kerusakan serta kerugian-kerugian yang
yang dialami Kota Padang (lihat tabel 1.2,1.3 dan 1.4), seharusnya dapat
diminimalisir dengan keberadan manajemen penanggulangan bencana yang tepat
dan sesuai dengan yang diamanatkan Undang-undang No 24 tahun 2007. Shaluf
(2008) menganggap manajemen bencana sebagai istilah kolektif yang mencakup
semua aspek perencanan untuk merespon bencana, mencakup kegiatan-kegiatan
sebelum bencana dan setelah bencana yang juga merujuk pada manajemen resiko
dan konsekuensi bencana. Sedangkan dalam siklus hidup manajemen bencana
alam dan manajemen bencana modern, terdapat ada empat aktivitas yang sangat
penting dilakukan, yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan
(Kusumasari, 2004).
Dari pengalaman berbagai kejadian bencana di Indonesia selama ini,
faktor kesiapsiagaan dirasakan sangat pentin g ditingkatkan, bukan saja pada
tingkat pemerintah pusat maupun daerah, tapi juga pada tingkat komunitas atau
masyarakat yang lansung menjadi korban bencana itu sendiri. Hal ini disebabkan
kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana, dan
dalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini. Secara sederhana
kesiapasiagaan dapat diartikan sebagai kegiatan dan langkah-langkah yang
9
diambil sebelum terjadinya bencana. Gellespie dan Streeter (1987) mendefinisikan
kesiapsiagaan sebagai perencanaan, identifikasi sumberdaya, sistem peringatan,
pelatihan, simulasi dan tindakan prabencana lainnya yang diambil untuk tujuan
utama meningkatkan keamanan dan efektivitas respon masyarakat selama
bencana.
Begitupun tingkat kesiapsiagaan yang dimiliki oleh masyarakat dapat
meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Ainudin, dkk (2012) menyatakan bahaya
gempa bumi dan tsunami akan menjadi bencana ketika masyarakat yang terkena
bencana tidak siap. Kesiapsiagaan yang efektif membantu menyelamatkan hidup
masyarakat, mengurangi cidera, membatasi kerugian properti dan meminimalkan
segala macam gangguan bencana (Mileti, 1999). Untuk membangun ketahanan
dalam menghadapi bencana perlu manajemen bencana yang komprehensif,
terutama pada kegiatan pra-bencana berupa peningkatan kesiapsiagaan. Oleh
karena itu, konsep kesiapsiagaan masyarakat sangat penting dalam sebuah
manajemen bencana
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan banyaknya korban jiwa di
Kota Padang pada gempa 30 September 2009, dapat diasumsikan bahwa
pemerintah dan masyarakat Kota Padang masih belum siap dalam menghadapi
bencana, baik dari segi pengetahuan maupun sikap. Setidaknya ini tercermin dari
hasil penelitian GTZ (2010) tentang 30 Menit di Kota Padang: Pembelajaran
untuk Kesiapsiagaan danPeringatan Dini Tsunami dari GempaBumi 30 September
2009 menyebutkan pada saat gempa 30 Sepetember 2009 masyarakat umumnya
melarikan diri dengan sepeda motor dan mobil, sehingga terjadi kemacetan lalu
10
lintas yang parah. Bahkan diperparah dengan banyak kecelakaan juga terjadi.
Jalur evakuasi yang ditetapkan tidak cukup untuk menyalurkan massa. Warga,
juga tidak mempertimbangkan evakuasi vertikal sebagai pilihan dalam
penyelamatan diri. Evakuasi berlangsung hanya sebagai gerakan horisontal
menjauh dari pantai dan mengarah ke daratan. Kepanikan tidak cukup disitu saja,
kenyataan bahwa orang-orang bergerak ke arah laut untuk melihat laut makin
menciptakan kekacauan.
Kondisi tersebut sebenarnya sudah diprediksi jauh-jauh hari, dimana
dilatar belakangi hasil penelitian Lembaga Ilm u Pengetahuan Indonesia (LIPI)
sebelum bencana terjadi, tepatnya pada tahun 2006, mengungkapkan bahwa
tingkat kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang hanya 56% (LIPI,2006). Angka
tersebut tergolong rendah. Mengingat posisi Kota Padang sebagai daerah rawan
bencana, rendahnya angka kesiapsiagaan itu tentunya berkonsekuensi pada
ketidakmampuan masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana. Walhasil,
pada gempabumi besar yang terjadi 3 tahun kemudian (30 September 2009)
masyarakat mengalami kepanikan. Banyak warga yang kehilangan arah dalam
menyelamatkan diri danjalan-jalan dipadati oleh orang-orang yang ketakutan dan
panik.
Meskipun pasca bencana tersebut kebijakan penanggulangan dan
pencegahan bencana semakin digalakkan oleh pemerintah Kota Padang,
kesiapsiagaan masyarakat ternyata tidak mengalami peningkatan berarti. Pada
gempa bumi yang terjadi tahun 2012, tiga tahun setelah gempa bumi besar
terakhir, masyarakat masih saja panik dan memenuhi jalanan tanpa terorganisir.
11
Sumber kepanikan terutama justrusaat sirine peringatan tsunami dibunyikan.
Tanpa komando, warga Kota Padang yang berada di zona merah dan kuning
tsunami, serentak eksodus kedaerah lebih tinggi radius dari 5 kilometer dari bibir
pantai, seperti kawasan bypass, kampus Unand dan Indarung. Jalan menjadi macet
total karena banyak warga menyelamatkan diri menggunakan kendaraan roda dua
dan roda empat. Shelter di beberapa kawasan yang telah dibangun bukanlah
menjadi pilihan utama masyarakat sebagai tempat penyelamatan. Masyarakat
lebih memilih untuk melakukan eksodus dengan menggunakan kendaraan pribadi,
baik itu motor maupun mobil, sehingga hal tersebut menjadi salah satu penyebab
kemacetan di beberapa titik jalan di Kota Padang. Banyaknya titik kemacetan juga
dinilai sebagai ketidaksiapan pemerintah dalam meyediakan jalur evakuasi bagi
masyarakat untuk menuju daerah yang aman (Padang Ekspres, 13 April 2012).
Secara mengejutkan rendahnya angka kesiapsiagaan dan pengetahuan
masyarakat Kota Padang juga terungkap dari hasil survei yang dilakukan BNPB
kerjasama Badan Pusat Statistik dan UNFPA pada tahun 2013, tentang tingkat
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana gempabum i dan tsunami di kota
Padang.Dari 10 desa yang disurvei ternyata hanya 2 desa yang memiliki indeks
tingkat kesiapsiagaan dan pengetahuan yang berada dalam kategori sedang,
selebihnya berada pada kategori rendah.
12
Gambar 1.2. Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat Kota Padang 2013
Sumber: Dokumen BNPB, 2013
Padahal, berdasarkan catatan ahli gempa dan tsunami, wilayah Sumatra
Barat khususnya Kota Padang memiliki siklus 200 tahunan gempa besar yang
pada awalnya abad ke-21 ini telah memasuki masa berulangnya siklus tersebut.
Perkiraan ini didasarkan kejadian gempa dan tsunami yang pernah terjadi pada
172 tahun dan 208 tahun lalu, yaitu gempa bumi besar yang pernah melanda
Kepulauan Mentawai, di sisi barat Sumatra Barat dan Bengkulu pada tahun 1797
dan tahun1833 (Kogami, 2009).
Bukti-bukti secara meyakinkan yang menunjukan peristiwa tersebut akan
terjadi dalam waktu yang dekat, tentunya tidak dapat diketahui secara pasti.
Namun, terlepas benar atau tidaknya prediksi para ahli tentang akan terjadinya
gempa besar dan tsunami di wilayah barat Sumatra, konsep kesiapsiagaan bencana
harus tetap dilaksanakan, apabila sewaktu-waktu terjadi bencana, masyarakat
yang berada diwilayah barat Sumatra, khususnya Kota Padang sudah siap.
13
Selain itu, dilihat dari segi ekonomi dan politik, sebagai Ibukota Provinsi
Sumatra Barat, hampir seluruh kegiatan dipusat di Kota Padang. Fasilitas
pendidikan, kegiatan perekonom ian, pelabuhan, bandara, sarana -sarana pelayanan
publik berada di Kota Padang. Apabila terjadi gempabumi yang disertai tsunami
sudah bisa dipastikan semua aktivitas ekonomi dan politik akan lumpuh total .
Keadaan ini juga diperparah kepadatan penduduk, Kota Padang merupakan salah
satu kota berkembang di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai
1.214 per km2 (BPS Kota Padang, 2010).
Kepadatan penduduk suatu daerah yang rawan bencana merupakan
ancaman yang akan mem perparah banyaknya jatuh koraban jiwa. Menurut
Jefferis-Nilsen (2009) kepadatan penduduk menjadi salah satu peningkatan resiko
ancaman bencana di suatu wilayah, selain lokasi munculnya bencana, struktur dan
konstruksi bangunan, material bangunan, pemahaman masyarakat terhadap
potensi munculnya bencana, kurangnya persiapan (preparedness) yang dilakukan
oleh masyarakat dan pemerintah, serta pendidikan bencana yang kurang memadai.
Tingkat kepadatan jum lah penduduk di Kota Padang akan menyebabkan
banyaknya korban jiwa apabila terjadi bencana gempa dan tsunami. Semakin
tinggi kepadatan sebuah kawasan, maka semakin tinggi pula resiko kerentanan
yang dimiliki (Kidokoro, 2008). Kepala BNPB mengatakan, berdasarkan hasil
penelitian dengan menggunakan scenario modeling tsunami, diperkirakan lebih
dari 655.109 jiwa terancam tsunami. Dari jum lah tersebut, 265.000 jiwa warga
Kota Padang tinggal di daerah yang sangat rawan tsunami, dengan lebih dari
95.000 orang akan membutuhkan lebih dari 30 menit untuk mengevakuasi diri
14
ketempat yang lebih aman (Gema BNPB, 2011). Sehingga diperlu peran dan
upaya yang jelas dari Pemerintah Kota Padang dalam meningkatakan
kesiapsiagaan masyarakat, sebab tanpa adanya kesiapsiagaan, termasuk peringatan
dini dan persiapan evakuasi yang jelas, diperkirakan 60 persen penduduk Kota
Padang akan menjadi korban (Bahan Persentasi Walikota Padang, 2010). Artinya,
jika bencana tsunami terjadi, sudah bisa dipastikan berapa jumlah korban jiwa
yang akan terpapar bencana di Kota Padang.
Fenomena tersebut cukup menggambarkan betapa rentannya masyarakat
Kota Padang terhadap bencana gempa dan tsunami, sehingga upaya peningkatan
kesiapsiagan masyarakat harus segera diwujudkan. Tingginya ancaman gempa
bumi dan tsunami di Kota Padang harusnya diimbangi dengan tin gkat
kesiapsiagaan masyarakat yang tinggi. Kesiapsiagaan masyarakat yang tinggi
dapat meminimalisasi resiko bencana gempabumi dan tsunami. Kesiapsiagaan
dari pemerintah, individu dan rumah tangga serta komunitas sekolah yang tinggi
dapat meningkatkan upaya pengurangan resiko bencana secara terpadu dan
berkesinambungan.
Terlepas dari berbagai potensi bencana dan rendahnya kesiapsiagaan
masyarakat Kota Padang, menimbulkan spekulasi bagaimana upaya yang telah
dilakukan pemerintah Kota Padang dalam menyiapkan m asyarakatnya. Sebagai
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota Padang memiliki tanggung jawab dalam
pengelolan bencana di Kota Padang Padang, termasuk dalam upaya meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat sebagai salah upaya dalam mengurangi resiko bencana.
Walaupun secara nasional pemerintah pusat telah melakukan berbagai upaya
15
dalam meningkatkan kesiapsiagaan bencana, namun pemerintah daerah memiliki
peran yang lebih utama. Keberadaan strategi kesiapsiagaan bencana ditingkat
nasional dan provinsi ada hal yang penting, tetapi yang juga sama pentingnya
adalah keharusan pemerintah daerah untuk mampu merancang dan
mengimplementasikan kebijakan strategis ditingkat daerah ataupu n lokal
(Kusumasari, 2014).
Peningkatan kesiapsiagan masyarakat menjadi salah satu upaya dalam
pengarungan resiko bencana yang akan terjadi dan akan menimpa masyarakat
kota Padang, sehingga kesiapsiagaan yang dibangun harus menyentuh seluruh
lapisan masyarakat. Sebagai salah kota yang paling rawan bencana di dunia, Ko ta
Padang harus mampu berusaha meningkatkan kesiapsiagaan untuk mengurangi
dampak bencana, sebagai bagian dari kebijakan penanganan bencana. Tanggung
jawab dan peran pemerintah dalam menyiapkan masyarakat untuk kondisi darurat
tergantung kemampuan pemerintah, sebagaimana diutarakan Kreps (1991) bahwa
masyarakat akan memiliki manajemen darurat yang efektif, sebagian besar sangat
tergantung pada kredibilitas yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Untuk itu Pemerintah Kota Padang beserta instansi–instansi lainnya seperti
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) giat melakukan berbagai kegiatan
pengurangan resiko bencana dalam bentuk kesiapsiagaan masyarakat.
Pengurangan resiko bencana dilakukan berupa edukasi masyarakat dan sekolah
serta pembenahan jalur – ja lur evakuasi. Pembenahan sistem peringatan dini juga
tidak luput dilakukan agar makin cepat tanggap jika bencana terjadi sehingga bisa
meminimalisir ja tuhnya korban jiwa. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemko
16
Padang dalam mensistematiskan pelaksanaan praktik pengurangan risiko bencana
dengan meningkatkan kesiapsiagaan, baik untuk pada pemerintahan, masyarakat
dan sekolah dengan memberdayakan seluruh stakeholders yang ada. Dan
kebijakan ini diwujudkan melalui konsep Pengurangan Resiko Bencana.
Dalam upaya pengurangan resiko bencana di Kota Padang telah pernah
ditetapkan pada tahun 2008. Upaya ini dimuat dalam Rencana Strategis–
Rencana Aksi Daerah untuk Pengurangan Risiko Bencana Kota Padang
(RENSTRA - RAD PRB), setelah penetapan RAD PRB pada tahun 2008 maka
disusunlah Peraturan Penanggulangan Bencana Kota Padang yang dimuat dalam
Perda No 3 Tahun 2008. Lahirnya Perda No 3 Tahun 2008 tentang
penanggulangan bencana, mengakibatkan pembaharuan terhadap Rencana Aksi
Daerah, yang mana dituangkan dalam Surat Keputusan Walikota No. 65 tahun
2012 tentang Rencana Aksi Daerah Kota Padang. Mengacu pada renstra RAD
PRB dan Surat Keputusan Walikota Kota Padang tersebut, kesiapsiagaan dalam
menghadapi ancaman bencana adalah satu hal yang penting untuk dibangun dalam
sistem pemerintah sebagai bentuk upaya pengurangan resiko bencana. Indikator
kesiapsiagaan akan terbangun apabila adanya pengetahuan yang memadai tentang
bencana dan penanggulangannya, adanya rencana evakuasi, adanya sistem
peringatan dini, tersedianya sum berdaya yang dapat dimobilisasi saat terjadi
bencana dan adanya kebijakan institusi dalam pengurangan risiko bencana.
Rangkain upaya kesiapsiagan yang dilakukan Pemerintah Kota Padang
terlihat belum optimal, hal tersebut tercermin dari tingginya angka korban jiwa
pada gempa 30 September 2009, kepanikan warga pada gempa 12 April 2012,
17
serta hasil penelitian yang lakukan oleh BNPB pada tahun 2013, menunjukan
bahwa kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang tidak menunjukan peningkatan
yang berarti. Sehingga program -program pengurangan resiko bencana dalam hal
kesiapsiagaan masyarakat perlu dikaji ulang dan perlu disempurnakan, agar apa
yang dilakukan pemerintah Kota Padang memberi dampak yang berarti bagi
peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan tidak hanya berupa slogan kosong.
Berdasarkan uraian tersebut, mengundang pertanyaan sudah sejauhmana
upaya yang telah dilakukan pemerintah Kota Padang terkait program
kesiapsiagaan bencana dan apa saja faktor penghambat upaya tersebut sehingga
kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang dari tahun ketahun tidak mengalami
peningkatan.
1.2. Rumusan Masalah
Setelah 5 tahun berlalunya gempa 30 September 2009 di Kota Padang,
namun masih menyisakan pekerjaan rumah untuk Pemerintah Kota Padang dalam
berbagai sektor penanggulangan bencana, salah satunya upaya peningkatan
kesiapsiagaan masyarakat dalam pengurangan resiko bencana gempa dan tsunami.
Berdasarkan beberapa hasil kajian, termasuk hasil penelitian LIPI (2006 ) dan
survei BNPB yang dilakukan pada tahun 2013 tentang indeks kesiapsia gaan
masyarakat Kota Padang, menunjukan rendahnya persentase tingkat
kesiapsaiagaan masyarakat Kota Padang, padahal ancaman gempa dan tsunami di
Kota Padang seperti bom waktu yang suatu saat dapat meledak. Di kutip dari
Prameshwari, 2011 menerangkan bahwa CNN bekerjasama California Teknologi
Institute yang pernah meneliti semua gempa yang terjadi di Indonesia,
18
menyatakan gempa bumi dan tsunami yang dahsyat sangat mungkin terjadi dalam
beberapa dekade mendatang di daerah sekitar pantai Padang.
Seharusnya hasil–hasil penelitian yang menyim pulkan akan terjadinya
gempa dan tsunami di Kota Padang, dapat memberikan efek kejut bagi pemerintah
dan masyarakat Kota Padang, bahwa mereka saat ini berada ditengah ancaman
bencana yang cukup dahsyat dan sudah mempersiapkan diri sedini mungkin.
Sehingga diperlukan komitmen Pemerintah Kota Padang dan langkah –langkah
untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa, mengurangi dampak kerugian serta
menghindari banyaknya kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh bencana di
Kota Padang. Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan
kesiapsiagaan, terutama kesiapsiagaan masyarakat. Sebab pemerintah
membutuhkan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kesiapsiagaan dalam
menghadapi suatu bencana untuk mengurangi risiko terhadap bencana (Matsuda
dan Okada, 2006). Namun, rangkaian program peningkatan kesiapsiagaan yang
dilakukan Pemerintah Kota Padang masih dinilai belum optimal, perlu sebuah
analisa yang mendalam terhadap upaya yang telah dilakukan, mengingat tidak
adanya peningkatan yang berarti kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang dari
tahun ke tahun.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah penelitian di Kota Padang tentang
bagaimana upaya menciptakan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana
gempabumi dan tsunami. Dari hasil review beberapa penelitian mengenai
bencana, sebagian besar penelitian mengenai pengurangan resiko bencana lebih
fokus membahas mengenai perubahan paradigma penanggulangan bencana
19
(lihat Mayena, 2012; Sternberg, 2013; Batbuyan, 2013, Victoria, dkk., 201;
Khan, 2008; Robert & Schneider, 2012; Baytiyeh & Naja, 2013; Nateghi, 2000),
bagaimana mengatasi kerentanan masyarakat dari bencana (lihat Mayo, dkk
., 2013; Mayena, 2012; Ainuddin & Routray, 2012; Virapart, 2011; Jhonson, dkk.,
2014; Troy Sternberg, 2013; Sobremisana & Pilar , 2014; Khairi, dkk., 2014;
Said, dkk., 2011), pengembangan konsep kesiapsiagaan (lihat Mayo, dkk.,
2013; Khairi, dkk , 2014; Ainuddin & Routray, 2012; Sternberg, 2013; Virapart,
2011; Jhonson, dkk., 2014; Said, dkk., 2011), dan pengembangan program
pengurangan resiko bencana (lihat Sternberg, 2013; Grundy, 2013;
Sobremisana & Pilar, 2014; Mayena, 2012; Mayo, dkk., 2013).
Namun, dalam beberapa penelitian tersebut masih terdapat sejumlah
kekurangan. Beberapa kekurangan yang tampak dari berbagai penelitian tersebut
adalah belum mampunya menjelaskan secara rinci upaya apa saja yang perlu
dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam pengurangan
resiko bencana.Pembahasan secara mendalam tentang pelaksanaan upaya
peningkatan kesiapsiagaan masyarakat oleh pemerintah daerah sebagai bentuk
upaya pengurangan resiko bencana pun jarang ditemui. Tidak ditemukan pula
penjelasa secara rinci langkah–langkah apasaja yang diambil pemerintah Daerah
dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bencana, pelaksanaan peran
pemerintah daerah hanya terkesan menilai dan memeriksa kesiapsiagan
masyarakat dan tidak menjelaskan upaya apasaja yang dilakukan apabila hasil
penilain kesiapsiagaan masyarakat rendah, tidak memaparkan tentang bagaimana
pemerintah daerah melakukan upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat
20
setelah pengintegrasian perjanjian Hyogo tentang Pengurangan resiko bencana
kedalam undang-undang penanggulangan bencana.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penelitian ini akan mengambil topik tentang Evaluasi
Kebijakan Peningkatan Kesiapsiagaan Masyarakat Kota Padang dalam
Menghadapi Bencana Gempabum i dan Tsunami. Dan penelitian ini berusaha
menjawab pertanyaan besar “Mengapa upaya peningkatan kesiapsiagaan
masyarakat oleh Pemerintah Kota Padang belum memberikan dampak yang
berarti terhadap tingkat kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang dalam
menghadapi bencana gempabumi dan tsunami?. Untuk mempermudah proses
penelitian, pertanyaan besar tersebut di uraikan kedalam dua pertanyaan turunan
sebagai berikut:
1. Bagaimana upaya kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Padang
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengurangi resiko
bencana gempabumi dan tsunami?
2. Apasaja faktor penghambat yang dihadapi Pemerintah Kota Padang dalam
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat ?
1.3 Tujuan Peneliti
1. Untuk mengevaluasi dan mengatahui sejauhmana upaya Pemerintah Kota
Padang dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana
gempabumi dan tsunami
21
2. Mengetahui Faktor-Faktor Penghambat yang dihadapi Pemerintah Kota
Padang dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat sebagai upaya
pengurangan resiko bencana gempabumi dan tsunami
1.4 Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini
diharapkan dapat memberi manfaat untuk:
1. Memberikan bahan masukan dan informasi serta dapat memberikan
sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi semua pihak dan instansi
terkait pelaksanaan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat sebagai upaya
pengurangan resiko bencana.
2. Memberikan gambaran pelaksanaan peningkatan kesiapsiagaan
masyarakat dalam pengurangan resiko bencana yang dilaksanakan di Kota
Padang.