BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

32
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini berangkat dari pengalaman peneliti ketika peneliti membaca novel berbahasa Inggris dengan judul The Maze Runner .Peneliti merasa sangat menikmatinya karena gaya penulisan James Dashner yang enteng, terkesan slengekan ”, memberikan efek menegangkan namun santai dan komunikatif. Dashner seolah- olah dapat membawa peneliti sebagai pembaca teks sumber ke dalam alam fantasi novel The Maze Runner . Hal yang sangat berbeda yang dirasakan peneliti ketika membaca hasil terjemahan The Maze Runner oleh Yunita Candra. Di dalamnovel terjemahan The Maze Runner , terdapat onomatope yang diterjemahkan secara kurang akurat, serta banyak ungkapan makian yang tidak diterjemahkan. Hal ini mengakibatkan berbedanya novel asli dengan novel terjemahannya. Apakah suatu karya novel terjemahan yang berbeda dengan novel aslinya dikatakan baik? Suatu terjemahan dapat dikatakan baik atau tidak, dapat dinilai dari tiga hal yaitu keakuratan ( accuracy ),keberterimaan ( acceptability ), dan keterbacaan ( readability ). Keakuratan dimaksudkan bila tidak terjadi distorsi makna antara karya asli dan karya terjemahan sehingga isi atau makna dari karya asli dan karya terjemahannya sama atau memiliki kesepadanan makna.Keberterimaan mengacu pada seberapa lazim istilah yang digunakan, dan apakah penggunaan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian ini berangkat dari pengalaman peneliti ketika peneliti membaca

novel berbahasa Inggris dengan judul The Maze Runner.Peneliti merasa sangat

menikmatinya karena gaya penulisan James Dashner yang enteng, terkesan

“slengekan”, memberikan efek menegangkan namun santai dan komunikatif.

Dashner seolah- olah dapat membawa peneliti sebagai pembaca teks sumber ke

dalam alam fantasi novel The Maze Runner. Hal yang sangat berbeda yang

dirasakan peneliti ketika membaca hasil terjemahan The Maze Runner oleh Yunita

Candra. Di dalamnovel terjemahan The Maze Runner, terdapat onomatope yang

diterjemahkan secara kurang akurat, serta banyak ungkapan makian yang tidak

diterjemahkan. Hal ini mengakibatkan berbedanya novel asli dengan novel

terjemahannya. Apakah suatu karya novel terjemahan yang berbeda dengan novel

aslinya dikatakan baik?

Suatu terjemahan dapat dikatakan baik atau tidak, dapat dinilai dari tiga

hal yaitu keakuratan (accuracy),keberterimaan (acceptability), dan keterbacaan

(readability). Keakuratan dimaksudkan bila tidak terjadi distorsi makna antara

karya asli dan karya terjemahan sehingga isi atau makna dari karya asli dan karya

terjemahannya sama atau memiliki kesepadanan makna.Keberterimaan mengacu

pada seberapa lazim istilah yang digunakan, dan apakah penggunaan

2

ungkapannya sudah sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.Keterbacaan mengacu

pada seberapa mudah suatu ungkapan dipahami oleh pembaca teks sasaran.

Berangkat dari penjabaran tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji

kualitas dari hasil terjemahan novel The Maze Runnertanpa memperhitungkan

proses penerjemahannya. Kata kualitas disini digunakan sebagai istilah payung

(umbrella term) yang terdiri dari dua hal yang dinilai, antara lain keakuratan

(accurancy) dan keterbacaan (readability).Dalam menilai keakuratan dan

keterbacaan terjemahan novel The Maze Runner,peneliti memfokuskan

penelitiannya pada aspek semantik saja, dimana onomatope, ungkapan makian,

dan ungkapan budaya merupakan fokus dalam penelitian ini. Data dari penelitian

ini merupakan onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya yang berada

dalam tataran kalimat. Peneliti memfokuskan penelitiannya hanya pada ke tiga hal

tersebut karena di dalam novel The Maze Runner banyak ditemukan onomatope,

ungkapan makian, dan ungkapan budaya yang sangat menarik untuk dikaji.Kajian

ini diberi judul Keakuratan dan Keterbacaan Terjemahan Onomatope, Ungkapan

Makian dan Ungkapan Budaya dalam Novel The Maze Runner ke dalam Bahasa

Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka penelitian ini

merumuskannya dalam dua rumusan masalah, antara lain:

1. Bagaimana keakuratan terjemahan onomatope, ungkapan makian, dan

ungkapan budaya dalam novel terjemahan The Maze Runner?

3

2. Bagaimana keterbacaan terjemahan onomatope, ungkapan makian, dan

ungkapan budaya dalam novel terjemahan The Maze Runner?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan sesuai dengan rumusan masalah yang

ada, antara lain:

1. Mendeskripsikan keakuratan terjemahan onomatope, ungkapan makian,

dan ungkapan budaya dalam novel terjemahan The Maze Runner.

2. Mendeskripsikan keterbacaan terjemahan onomatope, ungkapan makian,

dan ungkapan budaya dalam novel terjemahan The Maze Runner.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoretis

maupun manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian linguistik terapan,

khususnya dalam kaitannya dengan terjemahan (translation).

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini memiliki manfaat praktis yaitu dengan adanya penelitian ini

diharapkan dapat memberikan panduan bagi pembelajar tentang penerjemahan

khususnya mengenai keakuratan (accuracy) dan keterbacaan (readability)

terjemahan onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya. Penelitian ini

juga diharapkan dapat menambah referensi di bidang penerjemahan bagi peneliti

selanjutnya yang memiliki minat yang sama.

4

1.5 Tinjauan Pustaka

Pelawi (2014) telah melakukan penelitian mengenai terjemahan dalam

disertasinya yang berjudul Dampak Teknik, Metode, dan Ideologi Penerjemahan

terhadap Hasil Terjemahan Teks The Gospel According to Matthew dalam Teks

Bahasa Indonesia. Data penelitian berupa 1) kata, frasa, klausa, kalimat, dan teks;

2) pernyataan-pernyataan ahli terjemahan mengenai keakuratan terjemahan; 3)

pernyataan- pernyataan para ahli keagamaan mengenai tingkat keberterimaan

terjemahan; 4) pernyataan-pernyataan para umat Kristen mengenai tingkat

keterbacaan terjemahan. Dalam menilai keakuratan dan terjemahan, Pelawi

menggunakan Instrumen Penilai Tingkat Keakuratan Terjemahan (disajikan dalam

tabel 1) dan Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan (disajikan dalam tabel 2).

Tabel 1. Instrumen Penilai Tingkat Keakuratan Terjemahan (Pelawi,2014)

Kategori

Terjemahan

Skor Parameter kualitatif

Akurat 3

Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, dan kalimat

atau teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke

dalam bahasa sasaran; sama sekali tidak terjadi

distorsi makna.

Kurang

Akurat 2

Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa,

klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah

dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran.

Namun, masih terdapat distorsi makna atau

terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna

yang dihilangkan yang mengganggu keutuhan

pesan.

Tidak

Akurat 1

Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat

atau teks bahasa sumber dialihkan secara tidak

akurat ke dalam bahasa sasaran atau dihilangkan

(deleted).

5

Tabel 2. Instrumen Penilai Tingkat Keterbacaan Terjemahan (Pelawi,2014)

Kategori

Terjemahan

Skor Parameter kualitatif

Tingkat

Keterbacaan

Tinggi

3

Kata, istilah teknis, frasa, klausa, dan kalimat atau

teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah

oleh pembaca

Tingkat

Keterbacaan

Sedang

2

Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh

pembaca; namun ada bagian tertentu yang harus

dibaca lebih dari satu kali untuk memahami

terjemahan

Tingkat

Keterbacaan

Rendah

1

Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca

Dalam penelitian ini, Pelawi menemukan teknik terjemahan yang

diterapkan, antara lain teknik tunggal, kuplet, triplet dan kwartet. Secara teori, dari

sembilan teknik penerjemahan yang diterapkan, teknik harfiah dan peminjaman

alamiah berorientasi pada bahasa dan budaya bahasa sumber, sedangkan enam

lainnya, yaitu modulasi, transposisi, amplifikasi, penghilangan, penambahan,

reduksi, dan generalisasi berorientasi pada bahasa dan budaya sasaran. Metode

penerjemahan yang diterapkan antara lain metode bebas, komunikatif, adaptasi

dan harfiah. Ideologi penerjemahan yang diterapkan yaitu ideologi foreignisasi

dan ideologi domestikasi. Berdasarkan frekuensi penggunaannya, ideologi

domestikasi yang berorientasi pada bahasa dan budaya sasaran paling banyak

diterapkan, kemudian diikuti oleh ideologi foreignisasi yang berorientasi pada

bahasa dan budaya sumber. Penerapan teknik yang berorientasi pada bahasa

sasaran, kecuali teknik penghilangan, berdampak positif pada hasil terjemahan,

yaitu akurat, berterima dan mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi.

6

Penelitian mengenai terjemahan juga telah dilakukan oleh Setyowati

(2014) dalam tesisnya yang berjudul Pergeseran dalam Penerjemahan Kohesi

Leksikal dan Faktor-faktor Penyebabnya: Studi Kasus pada Novel Infernodan

Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.Dalam tesisnya, Setyowati meneliti

mengenai jenis-jenis kohesi leksikal yang digunakan dalam novel Inferno asli

(bahasa Inggris) dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, jenis - jenis

pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal dalam novel Inferno, dan faktor-

faktor penyebab terjadinya pergeseran dalam penerjemahan tersebut. Sumber

datanya berupa lima bab pertama dari novel Inferno karya Dan Brown, novel

bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Setyowati menemukan

adanya 184 penggunaan kohesi leksikal pada data bahasa Inggris, yang terbagi ke

dalam 9 jenis, antara lain repetisi, sinonim, superordinat, antonim, komplementer,

ko-hiponim, ko-meronim, dan collocation proper. Sedangkan pada data bahasa

Indonesia, Setyowati mendapati 226 kohesi leksikal yang terbagi ke dalam 10

jenis, yaitu repetisi, sinonim, superordinat, istilah umum, antonim, komplementer,

ko-hiponim, ko-meronim, dan collocation proper. Pada rumusan masalah yang

kedua, Setyowati mendapati 221 fenomena pergeseran dalam penerjemahan

kohesi leksikal yang terbagi menjadi 8 jenis, yaitu penghilangan, penambahan,

perubahan leksikon, pergeseran level, pergeseran struktur, pergeseran kelas,

pergeseran intra-sistem dan pergeseran unit. Sedangkan faktor penyebab

terjadinya pergeseran, terdapat dua faktor penyebab, yaitu faktor intralinguistik

dan faktor ekstralinguistik. Faktor intralinguistik terdiri dari perbedaan kaidah/

aturan gramatikal (perbedaan kaidah klausa relatif, struktur f rase nom ina, penanda

7

jumlah jamak, obyek dari suatu verba, artikel takrif, nomina terbilang serta

morfosintaksis) dan pada butir leksikon (bahasa Indonesia tidak memiliki padanan

dari beberapa kata Bahasa Inggris dan untuk menghindari ketaksaan makna).

Faktor ekstralinguistik terdiri dari perbedaan budaya dan juga pilihan penerjemah

(penerjemah memilih untuk mengutamakan kesepadanan makna daripada bentuk

dalam beberapa data dan penerjemah menganut ideologi domestication sehingga

berorientasi pada bentuk- bentuk dalam Bahasa Indonesia).

Penelitian lain yang mengusung tema terjemahan telah dilakukan oleh

Setiawan (2015). Setiawan membahas mengenai Strategi penerjemahan teks

Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris (Studi kasus laman resmi kementrian

sekretariat negara republik Indonesia). Dalam tesisnya, Setiawan mengkaji dua

strategi penerjemahan dari Machali, yaitu strategi penerjemahan pergeseran

bentuk dan strategi penerjemahan pergeseran makna yang diterapkan oleh

penerjemah dalam menerjemahkan teks- teks berita berbahasa Indonesia yang ada

di dalam laman resmi Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia ke

dalam teks berbahasa Inggris. Terdapat dua rumusan masalah penelitian, antara

lain 1) Bagaimana pergeseran bentuk dalam strategi menerjemahkan berita - berita

dalam laman resmi Kementerian Sekretariat Negara RI dan 2) Bagaimana

pergeseran makna dalam strategi menerjemahkan berita - berita dalam raman resmi

Kementerian Sekretariat Negara RI. Hasilnya menunjukkan bahwa di dalam

menerjemahkan teks sumber berbahasa Indonesia ke dalam teks sasaran berbahasa

Inggris dalam Kementerian Sekretariat Negara, penerjemahan menggunakan dua

strategi yaitu strategi pergeseran bentuk atau transposisi dan pergeseran makna

8

atau modulasi. Strategi pergeseran bentuk lebih dominan dibandingkan strategi

pergeseran makna.

Anisah (2012) mengkaji mengenai terjemahan dalam tesisnya dengan

judul Transformasi Terjemahan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia: Studi Kasus

dalam Buku A Child Called It. Anisah meneliti bentuk transformasi segi konvensi

bahasa pada penerjemahan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia buku A Child

Called It, bentuk transformasi segi konvensi budaya yang ada pada penerjemahan

bahasa Inggris ke bahasa Indonesia buku A Child Called It dan juga fungsi

transformasi terjemahan pada buku A Child Called It. Hasil menunjukkan bahwa

transformasi terjemahan terbagi menjadi dua macam antara lain terjemahan segi

konvensi bahasa yang terdiri dari penambahan, pengurangan, dan transformasi

makna, dan terjemahan segi konvensi budaya yang terdiri dari penambahan ,

pengurangan dan transformasi makna. Sedangkan fungsi transformasi terjemahan

dalam buku A Child Called It antara lain fungsi informatif, penegasan, ekspresif

dan adaptatif, dan referensial.

Dari keempat tinjauan pustaka tersebut diatas, terdapat beberapa

perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu perbedaan

pertama terdapat pada rumusan masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Pelawi

hampir mirip dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, hanya saja Pelawi

merangkumnya menjadi satu rumusan masalah saja (keakuratan, keberterimaan

dan keterbacaan). Kedua, objek penelitian dari penelitian ini adalah novel ber -

genre fantasi, dari beberapa penelitian tersebut diatas, belum ada yang

menggunakan objek yang ber-genre fantasi. Ketiga, data pene litian ini merupakan

9

onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya dimana data penelitian ini

berbeda dengan data pada keempat penelitian di atas. Oleh karena itu, diharapkan

penelitian ini nantinya akan menghasilkan sesuatu yang berbeda dari penelitian -

penelitian sebelumnya.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Penerjemahan

Secara umum, penerjemahan merupakan aktifitas mentransfer pesan dari

satu bahasa yang disebut sebagaibahasa sumber (Source Language) ke dalam

bahasa lainnya (Target Language). Definisi yang sama juga disampaikan oleh

Kridalaksana (1985) dalam Nababan (2013:19) yang mengartikan “Penerjemahan

sebagai pemindahan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran

dengan pertama- tama mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya

bahasanya”. Newmark (1988:10) mendefinisikan penerjemahan dengan lebih

mendalam, “Translation is now used as much to transmit knowledge and to create

understanding between groups and nations, as to transmit culture ”. Dengan kata

lain, penerjemahan tidak sekedar menransfer pesan namun juga menransfer

kebudayaan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

Nida dan Taber (1982:33) menjelaskan lebih detail mengenai sistem

penerjemahan yang terdiri dari tiga tahapan, antara lain: 1) analisis, dimana pesan

dari bahasa A dianalisis (a) hubungan gramatikalnya (b) makna dari kata- kata dan

kombinasi kata- katanya, 2) transfer, dimana materi yang telah dianalisis

ditransfer dari bahasa A ke dalam bahasa B (tahap ini terjadi di dalam otak

manusia), 3) restrukturisasi, dimana materi yang telah ditransfer direstrukturisasi

10

untuk menghasilkan pesan akhir yang secara penuh dapat diterima dalam bahasa

sasaran. Sistem penerjemahan tersebut digambarkan lebih lanjut dalam diagram

berikut ini.

A (Source) B (Receptor)

(Analysis) (Restructuring)

Message

X (Transfer) Y

Gambar 1

Sistem Penerjemahan menurut Nida & Taber (1982:33)

Dari penjelasan mengenai penerjemahan diatas, jelas terlihat bahwa

penerjemahan merupakan proses menganalisis pesanbahasa sumber yang

kemudian makna yang telah dianalisis tersebut diproses di dalam pikiran manusia

untuk dicarikan padanannya di dalam bahasa sasarankemudian dilanjutkan dengan

merestrukturisasi ulang ke dalam bahasa sasaran. Dalam proses transfer tersebut,

terdapat kemungkinan munculnya beberapa kesulitan dalam menerjemahkan,

seperti ketidaksepadanan makna. Oleh karena itu, topik mengenai penerjemahan

erat kaitannya dengan kesepadanan.

11

1.6.2 Kesepadanan

Penerjemahan merupakan aktifitas pencarian padanan dari bahasa sumber

(Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Oleh karenanya, kesepadanan adalah kunci

utama di dalam menerjemahkan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh

Catford (1965:21), “The term „equivalent‟ is clearly a key term .” Catford

menekankan bahwa masalah yang paling utama dalam menerjemahkan yaitu

menemukan kesepadanan terjemahan dalam bahasa sasaran. Newmark (1988 :11)

juga menyadari sulitnya mencari kesepadanan dari bahasa sum ber (Bsu) ke dalam

bahasa sasaran (Bsa) yang m ungkin sebenarnya tidak eksis, mengingat setiap

bahasa memiliki ciri dan struktur yang berbeda- beda. Kesepadanan yang

dimaksudkan Newmark adalah kesepadanan yang masih dimungkinkan adanya

gap antara teks sumber (Tsu) dan teks sasaran (Tsa), namun gap tersebut bisa

dipersempit. Oleh karena itu, Newmark dalam Zulaeni (2013:22)mengusulkan

cara baru untuk mempersempit kesepadanan yaitu dengan apa yang disebutnya

Communicative Translation dan Semantic Translation. Penerjemahan

Komunikatif (Communicative Translation) dimaksudkan untuk mendapatkan

kemiripan efek pembaca terjemahan dengan efek yang sama dirasakan oleh

pembaca novel aslinya, sedangkan Penerjemahan Semantik (S emantic

Translation) yaitu membuat semua unsur sintaktik dan semantik dari bahasa

sumber diterjemahkan sedekat mungkin dengan makna kontekstual bahasa

sasaran.

Zulaeni (2013:19) mengutip tulisan Tytler (1791) dalam Bell (1997:10 -

11)yang berjudul „Essay on the Principles of Translation‟, khususnya pada sub-

12

bab pertama „Description of a Good Translation: general rules flow ing from that

description‟ yang menyatakan bahwa terjemahan yang bagus haruslah mengacu

pada tiga aturan umum menerjemahkan, antara lain: 1) terjemahan harus bisa

menyajikan transkrip yang utuh dari semua ide yang ada pada karya asli, 2) gaya

dan cara „style and manner‟ dari penulisan haruslah berkarakter sama dengan

karya asli dan 3) Bahasa sasaran haruslah mempunyai dan mengandung semua

kasus yang ada pada bahasa sumber. Dengan kata lain, suatu terjemahan dapat

dikatakan baik apabila tercapai kesepadanan antara bahasa sumber dan bahasa

target sehingga pembaca karya terjemahan dapat merasakan efek yang sama

sebagaimana pembaca bahasa sumber membaca karya aslinya.

1.6.3 Teknik Penerjemahan

Molina dan Albir (2002) mendefinisikan teknik terjemahan sebagai

“…..understood as an instrument of textual analysis that, in combination with

other instruments, allows us to study how translation equivalence works in

relation to the original text”. Molina dan Albir (2002) mengklasifikasikan teknik

penerjemahan menjadi beberapa kelompok, antara lain:

1. Peminjaman (borrowing). Teknik ini dilakukan dengan cara kata dipinjam

secara langsung dari bahasa lain (bahasa sumber). Terdapat dua macam

teknik peminjaman, yaitu peminjaman murni (pure borrowing) dan

peminjaman alami (naturalized borrowing). Sebagai contohnya

peminjaman murni yaitu kata hamburger dari bahasa Inggris

diterjemahkan hamburger dalam bahasa Indonesia, sedangkan peminjaman

13

alami yaitu mayonnaise dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi

mayones dalam bahasa Indonesia.

2. Kalke (Calque). Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara

menerjemahkan kata atau frasa bahasa sumber secara literal ke dalam

bahasa sasaran. Ciri khas dari teknik ini adalah adanya interferensi struktur

teks sumber pada bahasa sasaran (Molina dan Albir, 2002). Contoh dari

penggunaan teknik ini adalah Directorate Generaldalam bahasa Inggris

diterjemahkan menjadi Direktorat Jendral dalam bahasa Indonesia.

3. Penerjemahan harfiah (literal translation). Penerjemahan ini dilakukan

dengan cara menerjemahkan kata per- kata dengan mengesampingkan

konteks.Contoh dari penerjemahan harfiah adalah Killing two birds with

one stone (bahasa Inggris) diterjemahkan menjadi Membunuh dua burung

dengan satu batu (bahasa Indonesia).

4. Transposisi (transposition).Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan

cara mengubah kelas kata. Kata kerja di dalam teks sumber dirubah

menjadi kata benda dalam bahasa sasaran, atau kata benda dirubah

menjadi preposisi. Contohnya yaitu adept dari bahasa Inggris

diterjemahkan menjadi terampil dalam bahasa Indonesia.

5. Modulasi (modulation).Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara

merubah sudut pandang atau kategori kognitif. Sebagai contohnya, kalimat

I cut my finger(bahasa Inggris) tidak diterjemahkan menjadi Aku mengiris

jariku, tetapi diterjemahkan menjadi Jariku teriris (bahasa Indonesia).

14

6. Adaptasi (adaptation). Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara

menggantikan ungkapan budaya teks sumber menjadi ungkapan budaya

bahasa sasaran yang memiliki makna yang sama atau serupa. Sebagai

contoh ungkapan As white as snow dalam bahasa Inggris diterjemahkan

menjadi Seputih Kapas dalam bahasa Indonesia.

7. Kompensasi (compensation).Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan

menyampaikan pesan dari teks sumber ke bagian lain dari teks bahasa

sasaran karena adanya pengaruh stilistika, kata/ frasa tersebut tidak dapat

diletatakkan pada tempat yang sama seperti teks sumber. Sebagai

contohnya frasa A pair of scissors (bahasa Inggris) diterjemahan menjadi

Sebuah gunting (bahasa Indonesia).

8. Amplifikasi (amplification).Teknik penerjemahan ini menerjemahkan

dengan cara memparafrase suatu informasi yang implisit dari teks sumber

ke bahasa sasaran (Molina dan Albir, 2002). Contoh ungkapan dari

penggunaan teknik ini adalah Idul Fitri yang diparafrase menjadi Hari

besar/ raya umat Islam.

9. Generalisasi (generalization). Menerjemahkan istilah teks sumber dengan

istilah bahasa sasaran yang lebih umum. Sebagai contohnya istilah

mansiondalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi tempat tinggal dalam

bahasa Indonesia.

10. Partikularisasi (particularization).Penerjemahan dengan teknik ini

dilakukan dengan cara menggantikan suatu istilah teks sum ber dengan

istilah yang lebih konkrit, presisi atau spesifik (seperordinat ke

15

subordinat). Teknik ini merupakan kebalikan dari generalisasi. Contoh dari

penggunaan teknik ini adalah Air transportation dalam bahasa Inggris

diterjemahkan menjadi pesawat dalam bahasa Indonesia.

11. Reduksi (reduction).Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara

menghapuskan secara parsial karena penghapusan tersebut dianggap tidak

menimbulkan distorsi makna atau mengimplisitkan suatu informasi yang

eksplisit dalam bahasa sasaran. Teknik ini merupakan kebalikan dari

teknik amplifikasi. Sebagai contohnya Jokowi the president of Indonesia

dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Jokowi dalam bahasa

Indonesia).

12. Substitusi (substitution).Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan

mengubah unsur- unsur linguistik dan paralinguistik (intonasi atau isyarat).

Sebagai contoh menganggukkan kepala diterjemahkan menjadi ungkapan

setuju.

13. Variasi (variation).Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara

mengubah unsur linguistik dan paralinguistik yang mempenga ruhi variasi

linguistik, seperti perubahan tona tekstual, gaya bahsa, dialek sosial, dialek

geografis. Teknik penerjemahan ini biasanya digunakan untuk

menerjemahkan naskah drama.

14. Amplifikasi linguistic (linguistic amplification). Teknik penerjemahan ini

dilakukan dengan cara menambahkan unsur- unsur linguistik dalam bahasa

sasaran. Teknik ini biasa digunakan pada sulih suara.

16

15. Kompresi linguistik (linguistic compression).Teknik penerjemahan ini

dilakukan dengan cara mensintesa unsur- unsur linguistik pada bahasa

sasaran (Molina dan Albir, 2002). Teknik ini lazim digunakan dalam

penerjemahan teks film. Contohnya Yes so what? (bahasa Inggris)

diterjemahkan menjadi Y? (bahasa Spanyol).

16. Deskripsi (description).Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara

menggantikan sebuah ungkapan dengan deskripsi fungsi dan bentuknya.

Sebagai contohnya Nursing Room(bahasa Inggris) diterjemahkan menjadi

Ruang untuk menyusui (bahasa Indonesia).

17. Kreasi diskursif (discursive creation).Teknik penerjemahan ini dilakukan

dengan menerjemahkan ungkapan dengan menggunakan padanan diluar

konteks teks sum ber. Teknik ini biasa digunakan dalam judul buku atau

judul film. Sebagai contohnya Husband for A Year (bahasa Inggris)

diterjemahkan menjadi suami sementara (bahasa Indonesia).

18. Kesepadanan Lazim (established equivalent). Teknik penerjemahan ini

dilakukan dengan cara menggantikan istilah dalam bahasa sasaran yang

sudah lazim digunakan atau didengar. Sebagai contohnya penggunaan

istilah efisien dan efektif lebih lazim digunakan daripada istilah sangkil

dan mangkus.

19. Penambahan. Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan menambahkan

informasi bertujuan untuk memperjelas konsep. Sebagai contoh kalimat

He is a dentist (bahasa Inggris) diterjemahkan menjadi Laki- laki muda itu

adalah dokter gigi (bahasa Indonesia).

17

20. Penghapusan (deletion). Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara

menghapuskan informasi bsu secara menyeluruh. Teknik ini hampir mirip

dengan teknik reduksi. Teknik reduksi hanya menghilangkan informasi

secara parsial sedangkan teknik penghapusan menghilangkan informasi

secara menyeluruh.

1.6.4 Keakuratan (Accuracy)

Dikarenakan penerjemahan merupakan kegiatan memindahkan pesan dari

bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa), istilah keakuratan

pemindahan pesan daribahasa sumber ke dalam bahasa sasaran menjadi hal yang

penting. Apabila pesan dari bahasa sumber tidak tersampaikan secara utuh ke

dalam bahasa sasaran dapat diartikan bahwa terjemahannya tidak atau kurang

akurat. Nida dan Taber (1982:1) meyakini bahwa keakuratan terjemahan

ditentukan oleh apakah pembaca terjemahan memahami pesan secara akurat

seperti yang dimaksudkan oleh penulis aslinya. Seperti yang disebutkan oleh

Kridalaksana (1985) dalam Nababan (2013:19) bahwasannya penerjemahan

sebagai proses penyampaian amanat, sehingga seharusnya amanat tersebut dapat

disampaikan secara utuh, akurat, tanpa ada pengurangan ataupun

penambahan.Dapat disimpulkan bahwa keakuratan adalah pemindahan pesan

semirip mungkin dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

18

1.6.5 Keterbacaan (Readability)

Karya terjemahan erat kaitannya dengan keterbacaan. Ricards et a l.

(1985:238) dalam Pelawi (2014:77) menyatakan bahwa keterbacaan merujuk pada

seberapa mudah sebuah teks dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Terkadang

pembaca bahasa sasaran (Bsa) tidak membaca karya aslinya dalam bahasa sumber

sehingga mereka mengharapkan agar terjemahan yang mereka baca dapat dengan

mudah mereka pahami, dengan kata- kata senatural mungkin dalam bahasa

sasaran dan struktur kalimat yang mudah dipahami, seolah- olah karya tersebut

karya asli, bukan hasil dari penerjemahan. Larson (1998:545) menambahkan

bahwa sebuah teks yang dapat dibaca yaitu teks yang memiliki penulisan yang

baik. Penulisan yang baik yang dimaksud Larson mencakup gaya penulisan yang

menyenangkan, ritme yang baik dan tidak terlalu terburu- buru. Secara lanjut

Nababan (2000:317) dalam Pelawi (2014:77) menambahkan faktor - faktor lainnya

yang dapat mempengaruhi keterbacaan sebuah teks terjemahan, yaitu penggunaan

kata- kata asing dan daerah, penggunaan kata dan kalimat taksa, penggunaan

kalimat tak lengkap, dan alur pikir yang tidak runtut. Pelawi menambahkan,

keterbacaan sebuah teks dapat diukur secara empirik. Pengukuran keterbacaan

didasarkan pada beberapa hal, seperti panjang rata - rata kalimat, kompleksitas

struktur kalimat, dan jumlah kata baru yang digunakan dalam teks (Ricards et al.,

1985:238 dalam Pelawi, 2014:77-78).

19

1.6.6 Onomatope

Sebuah bunyi atau suara dapat dipersepsikan dan diproduksi berbeda - beda

oleh setiap penutur yang memiliki la tar belakang budaya yang berbeda. Sebagai

contohnya tiruan suara kucing, penutur berbahasa Indonesia menirukan suara

kucing dengan Meong, penutur bahasa Jepang menirukannya dengan Nyanya,

sedangkan penutur bahasa Inggris menirukannya Miaow . Tiruan suara kucing

Meong, Nyanya, dan Miaow ini disebut dengan onomatope.

Onomatope berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata

onomatopoila, onoma, -atos yang berarti nama dan poieo yang berarti membuat

(Ullmann,1972:82). Menurut Kridalaksana d i dalam Kamus Linguistik

(2008:167), “Onomatope (onomatopeia) adalah penamaan benda atau perbuatan

dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu;

misalnya berkokok, suara dengung, deru, aum, cicit, dsb.” Dapat disimpulkan

bahwa onomatope adalah kosakata tiruan bunyi maupun tiruan suara gerakan atau

perbuatan.

Onomatope dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu onomatope primer d an

onomatope sekunder (Ullmann,1972:84). Onomatope primer merupakan kata

yang merepresentasikan tiruan bunyi. Yang termasuk ke dalam onomatope primer

contohnya kring, dor, kotek, kukuruyuk dan masih banyak tiruan bunyi yang

lainnya. Sedangkan onomatope sekunder adalah kata yang merepresentasikan

suara gerakan atau kondisi fisik atau mental. Onomatope yang termasuk ke dalam

kategori ini antara lain gema, gemeretak, raung, derak, dentum, gemer esik, keriut

(Kamus Besar Bahasa Indonesia).

20

Menerjemahkan onomatope juga bukan merupakan hal yang mudah. Tak

jarang penerjemah menemukan kesulitan dalam menerjemahkan onomatope. Hal

ini disebabkan karena adanya kearbitreran bunyi dan antara penutur satu d engan

penutur lain berbeda dalam mempersepsikan suatu bunyi. Dalam disertasinya,

Zulaeni (2014:146-148) juga menjelaskan empat hal yang menyebabkan sulitnya

menerjemahkan onomatope, yaitu adanya kontroversi mengenai kearbriteran

onomatope, onomatope sangat tergantung pada alat artikulasi sistem ortografi

suatu bahasa, onomatope juga tergantung pada tempat tinggal penutur bahasa

tersebut, dan yang terakhir kebudayaan, tata cara, adat dan norma yang ada pada

sebuah kelompok masyarakat penutur sebuah bahasa juga menentukan ada

tidaknya onomatope dalam kelom pok masyarakat tersebut.

1.6.7 Ungkapan Makian

Memaki atau mengumpat merupakan aktifitas linguistik yang

memanfaatkan kata tabu untuk mengekspresikan emosi yang kuat (Stapleton,2010

dalam Vingerhoets dkk,2013:287). Menurut Cambridge Dictionary , ungkapan

makian merupakan bahasa yang kasar dan menyinggung yang digunakan

seseorang, terutama ketika marah. Definisi yang serupa diungkapkan oleh

Andersson dan Trudgill (1990:53) dalam Zulaeni (2013:108), makian

didefinisikan sebagai “Sebentuk bahasa berupa ekspresi- ekspresi yang a.

Berhubungan dengan segala sesuatu yang bersifat tabu atau distigmakan dalam

kultur kehidupan; b. Tidak boleh diinterpretasikan secara literal; dan c. Bisa

dipergunakan untuk mengekspresikan emosi dan sikap yang dalam dan kuat”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makian merupakan kata tabu, kasar,

21

vulgar dan dapat menyakitkan hati yang digunakan untuk mengungkapkan emosi

yang kuat seperti marah maupun kecewa.

Dari beberapa definisi di atas dapat dilihat bahwasanya makian cenderung

dikaitkan dengan ekspresi negatif, seperti pengungkapan kemarahan maupun

kekecewaan. Seiring penggunaannya, makian kini memiliki fungsi yang lebih

luas, tidak hanya berkaitan dengan pengungkapan ekspresi- ekspresi negatif saja.

Hal tersebut diungkapkan pula oleh Utama (2015:6) dalam skripsinyabahwa kata

makian umumnya digunakan untuk menghina, namun juga memiliki fungsi lain

seperti mempertegas ekspresi lisan dari sebuah emosi yang kuat. Selain untuk

mengekspresikan kemarahan, menghina seseorang, dan mempertegas ataupun

melebih- lebihkan suatu pernyataan, fungsi lain dari kata makian juga

diungkapkan oleh Gati dan Hartman (2014:6) yaitu untuk membuat orang tertawa.

Dapat diambil kesimpulan bahwasannya kata makian memiliki beberapa fungsi

yaitu untuk mengekspresikan kemarahan, kekesalan ataupun kekecewaan, untuk

mengekspresikan diri, untuk menghina, untuk menguatkan suatu pernyataan,

untuk membuat humor maupun untuk menunjukkan kedekatan.

Makna dari kata makian bukanlah makna literal, namun merupakan makna

konotasi. Oleh karenanya, dalam menerjemahkan kata makian, penerjemah tidak

diperkenankan menerjemahkannya secara literal tanpa memperhitungkan konteks.

Sebagai contohnya, eksklamasi “you bitch!” tidak dapat semena- mena

diinterpretasikan bahwa dia adalah seekor anjing betina, melainkan orang tersebut

di konotasikan seperti anjing betina (bitch). Dalam menerjemahkan kata makian,

hal yang harus diperhatikan adalah kesepadanan maknanya, baik kesepadanan

22

komponen maknanya, maupun makna emotifnya. Konteks tentunya memiliki

andil yang sangat besar dalam penerjemahan kata makian. Oleh karenanya,

menerjemahkan makian memberikan tantangan tersediri bagi setiap penerjemah

karena makian memuat unsur budaya dari bahasa sumber.Zulaeni dalam

Disertasinya (2014:118) menjelaskan bahwa dalam menerjemahkan makian,

penerjemah harus mencari padanan kata makian dari bahasa sumber di dalam

bahasa sasaran. Apabila padanannya tidak diketemukan, maka penerjemah harus

mencari makna kata makian tersebut dan mempelajari konteks yang meliputinya,

kemudian menggantikan kata makian bahasa sumber dengan kata makian lain dari

bahasa sasaran yang sesuai dengan konteks kata makian dalam bahasa sumber.

1.6.8 Ungkapan Budaya

Newmark (1988:94) di dalam bukunya A Textbook of Translation

mengungkapkan bahwa budaya merupakan pandangan hidup atau cara hidup

masyarakat dan manifestasinya yang menggunakan bahasa sebagai media

ekspresinya. Newmark (1988:95), membagi kata- kata budaya menjadi beberapa

kategori, antara lain:

1. Ecology

Flora, fauna, winds, plains, hills, honeysuckle, downs, sirocco,

tundra, pampas, tabuleiros, plateau.

2. Material Culture (Artifact)

a. food: zabaglione, sake, kaiserrschmarren

b. clothes: anorak, kanga (Afrika), sarong (South East), dhoti

(India)

c. Houses and towns: kampong, bourg, bourgade, chalet, low -

rise, tower, mansion

d. Transportation: bike, rikshaw, moulton, cabriolet, tilbury,

caleche.

3. Social Culture ( work and leisure): ajah, amah, condotirre,

biwa, sithar

23

4. Organisations, customs, activities, procedures, concept

a. political and administrative

b. religious

c. artistic

5. Gestures and habit

Penerjemahan tidak dapat terlepas dari budaya bahasa sumber karena

menerjemahkan bahasa berarti menerjemahkan budaya. Proses pembentukan

bahasa dihasilkan oleh kebudayaan dimana bahasa tersebut berada, sehingga suatu

bahasa merupakan bentuk manifestasi budaya yang berbentuk struktur bahasa

(jenis kelamin dari nomina tak bernyawa), bentuk sapaan (seperti Bapak, Ibu,

Mister, Sir, dll), dan juga leksis („the sun sets‟) (Newmark, 1988:95). Oleh

karenanya, bahasa akan memiliki arti apabila bahasa tersebut berada di dalam

kebudayaannya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa proses penerjemahan tidak

hanya dipandang sebagai aktifitas bilingual namun juga sebagai aktifitas

bikultural (Mohanty, 1994:25 dalam Prasetyani).

Menerjemahkan kata- kata budaya satu ke dalam kata- kata budaya yang

lain tentunya akan menemui banyak permasalahan, karena bahasa memiliki

makna apabila berada dalam kebudayaan yang mewadahinya (Prasetyani).

Terlebih lagi apabila budaya bahasa sumber sanga t berbeda dengan budaya bahasa

sasaran. Newmark (1988:94) berpendapat bahwa menerjemahkan kata budaya

tidak akan terlepas dari adanya „gap‟ kebudayaan atau „distance‟ antara bahasa

sumber dan bahasa sasaran. Oleh karenanya, seorang penerjemah harus memilik i

kompetensi bahasa dan kompetensi budaya bahasa sumber dan budaya bahasa

sasaran. Selain itu, seorang penerjemah juga harus memiliki kemampuan untuk

menetukan teknik penerjemahan apa yang akan digunakannya untuk

24

menerjemahkan kata budaya sehingga didapatkan terjemahan kata budaya yang

akurat dan berterima. Hal tersebut telah disampaikan oleh Nida (1975:130) dalam

Nababan (2008) bahwa “ .....translators are permanently faced with the problems

of how to treat the cultural aspects implicit in a source text (SL ) and finding the

most appropriate technique of successfully conveying these aspects in the target

language (TL)”. Dengan kata lain, keberhasilan penerjemahan kata budaya

ditentukan oleh kompetensi penerjemah dan keputusan penerjemah dalam

menggunakan teknik terjemahan yang tepat.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dimana menurut

Sudaryanto (1993:62) merupakan pemaparan secara apa adanya akan fakta

kebahasaan yang ada. Peneliti mendeskripsikan data dan disesuaikan dengan

tujuan penelitian sehingga kajian teori yang dituangkan dalam kerangka teori

bukan sebagai tujuan penelitian tetapi sebagai landasan dalam menganalisis data

(Pelawi, 2014:66). Penelitian ini merupakan penelitian pustaka atau content

analysis. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel The Maze Runner karya

James Dashner versi aslinya (bahasa Inggris) dan novel terjemahan dengan judul

yang sama The Maze Runner yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh

Yunita Candra. Data utama penelitian ini berupa onomatope, ungkapan makian,

dan ungkapan budaya yang berada dalam tataran kalimat.

Penelitian ini juga menggunakan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil

questioner.Data kuantitatif ini digunakan untuk menentukan tingkat keakuratan

25

dan keterbacaan serta digunakan sebagai alat untuk menguji validitas dan

reliabilitas Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan dan Instrumen Penilai

Keterbacaan Terjemahan yang digunakan dalam penelitian ini.Selanjutnya,

terdapat tiga tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaan penelitian deskriptif,

yaitu penyediaan data, pengelompokan data sesuai kategori (onomatope,

ungkapan makian, dan ungkapan budaya), analisis data, dan penyajian/ perumusan

hasil analisis (Mahsun, 2012:86).

1.8 Metode Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data merupakan tahapan yang menjadi dasar bagi

pelaksanaan tahapan analisis data (Mahsun, 2012:86). Sumber data dalam

penelitian ini adalah sum ber data tertulis, yaitu novel The Maze Runner versi

bahasa asli (Bahasa Inggris) dan terjemahan (B ahasa Indonesia). Purposive

sampling digunakan dalam pengumpulkan data, dimana sampel data yang diambil

disesuaikan dengan tujuan penelitian (Baryadi, 2015). Data yang dikumpulkan

dari penelitian ini berupa onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya.

Pengumpulan onomatope berdasarkan pada daftar onomatope yang digunakan

oleh Sugahara (2010) dalam disertasinya yang berjudul Onomatopeia in Spoken

and Written English: Corpus- and Usage-based Analysis. Pengum pulan ungkapan

budaya berdasarkan pada kategori yang digunakan Newmark (1988:95).Adapun

langkah kerja yang dilakukan peneliti, antara lain:

1. Membaca novel The Maze Runner dalam teks sumber yaitu Bahasa Inggris dan

novel terjemahan The Maze Runner berbahasa Indonesia.

26

2. Memberi tanda pada onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya

dalam novel asli The Maze Runner dan dalam novel terjemahannya.

3. Mencatat data yang berupa onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan

budaya yang telah diberi tanda.

4. Mengelompokkan sesuai kategorisasi yaitu onomatope, ungkapan makian,dan

ungkapan budaya dan dimasukkan ke dalam tabel.

5. Menyusun alat ukur yaitu Instumen Penilai Keakuratan Terjemahan yang

dikembangkan dari Instrumen Penilai Kekuratan Terjemahandan Instrume n

Penilai Keterbacaan Terjemahan yang dikembangkan dari Instrumen Penilai

Keakuratan Terjemahan oleh Pelawi, 2014.

6. Melakukan pengujian validitas dan reliabilitas terhadap alat ukur untuk

mendapatkan alat ukur yang valid dan reliabel.

7. Setelah data terkumpul dan alat ukur teruji, peneliti m enganalisis data sesuai

rumusan masalah, yaitu kekuratan dan keterbacaan.

Dalam menyusun alat ukur, peneliti melakukan metode lain. Peneliti

menyusun alat ukur dengan mengembangkan alat ukur yang telah digunakan oleh

Pelawi (2014) dalam disertasinya.Peneliti mengembangkan alat ukur yang

digunakan Pelawi (2014) karena sejauh peneliti melakukan tinjauan pustaka,

belum ada alat ukur yang dapat mengukur keakuratan dan keterbacaan selain yang

digunakan oleh Pelawi (2014).Meskipun demikian, pengembangan diperlukan

mengingat data yang digunakan oleh Pelawi (2014) berbeda dengan data pada

penelitian ini.Dalam penelitian ini, terdapat dua instrumen yang digunakan yang

27

dikembangkan, yaitu Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan dan Instrumen

Penilai Keterbacaan Terjemahan.

Langkah selanjutnya setelah alat ukur dikembangkan, peneliti melakukan

uji validitas dan reliabilitas.Terdapat 15 data yang diuji validitas dan

reliabilitasnya.Ke-15 data tersebut terdiri dari 5 data onomatope, 5 data makian

dan 5 data budaya.Pemilihan 5 data pada setiap masing- masing kategori

didasarkan pada sering munculnya ke-15 data tersebut. Setelah dipilih ke-15 data

tersebut, peneliti menyebarkan questioner yang berisi 30 data, dimana 15 data

untuk menguji Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan dan 15 data untuk

menguji Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan. Quesioner diberikan kepada

12 orang teknisi penerjemah yang minimal telah menjadi penerjemah selama satu

tahun.

a. Validitas alat ukur

Menurut Azwar (1997:5), “validitas adalah sejauh mana ketepatan dan

kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya”. Suatu tes dikatakan

memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukur

secara tepat atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud

dilakukannya pengukuran tersebut.Dalam penelitian ini, pengujian dilakukan

dengan menggunakan validitas isi (Content Validity). Validitas isi adalah sejauh

mana alat ukur telah mewakili semua aspek yang akan diukurnya.

Pengujian validitas ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS

dengan korelasi Produk Momen Pearson.Dalam pengujian validitas terhadap

28

questioner, digunakan validitas item dimana perhitungan dilakukan dengan

mengkorelasikan masing- masing skor item dengan skor total item

(qmc.binus.ac.id).Skor total merupakan hasil pen jumlahan dari keseluruhan skor

item. Suatu data dinyatakan valid apabila item - item berkorelasi signifikan

terhadap skor total atau r hitung ≥ r tabel.

b. Reliabilitas alat ukur

Reliabilitas berasal dari kata reliability, yaitu keajegan pengukuran

(Walizer and Wienir,1978:105). Suatu hasil pengukuran dapat dikatakan reliabel

(dapat dipercaya) apabila ketika dilakukan beberapa kali pengukuran terhadap

kelompok subjek yang sama, hasil pengukuran yang diperoleh relatif sama,

selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah (Azwar,

1997:4). Dikatakan reliabel atau handal apabila jawaban responden terhadap

pernyataan dalam questioner stabil a tau konsisten dari waktu ke waktu. Apabila

pengukuran tersebut menghasilkan hasil pengukuran yang berbeda - beda ketika

dilakukan pengukuran ulang, berarti penelitian tersebut tidak bisa diandalkan atau

tidak reliabel.

c. Hasil pengukuran

Dilihat dari hasil uji validitas dan reliabilitas Instrumen Penilai Kekuratan

Terjemahan dan Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan dengan tingkat

kepercayaan sebesar 95%, diperoleh hasil bahwa r hitung ≥ r tabel, sehingga

didapatkan hasil bahwa keseluruhan data reliabel atau konsisten atau stabil

29

sehingga instrumen penelitian ini dapat diandalkan.Instrumen Penilai Keakuratan

Terjemahan yang telah diuji validitas dan reliabilitas disajikan pada tabel 3 dan

Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan disajikan pada tabel 4.

Tabel 3. Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan

Kategori

Terjemahan

Skor Parameter Kualitatif

Akurat 1 Makna kata atau frasa teks sumber dialihkan

secaraakurat ke dalam teks sasaran; sama sekali

tidak terjadi distorsi makna.

Kurang

Akurat

2 Sebagian besar makna kata atau frasa teks

sumber sudah dialihkan secara akurat ke dalam

teks sasaran, namun masih terdapat distorsi

makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau

ada makna yang dihilangkan yang mengganggu

keutuhan pesan atau masih terdapat kesalahan

dalam menerjemahkan elemen- elemen tunggal

seperti kesalahan penerjemahan pada

penggunaan infleksi atau fungsi gramatikal.

Tidak Akurat 3 Makna kata atau frasa teks sumber dialihkan

secara tidak akurat ke dalam bahasa sasaran atau

dihilangkan (deleted) atau terdapat kesalahan

dalam struktur kalimat seperti kesalahan urutan

kata sehingga mengganggu keutuhan pesan.

Tabel 4. Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan

Kategori

Terjemahan

Skor Parameter Kualitatif

Keterbacaan

Baik

1 Terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh

pembaca bahasa sasaran.

Keterbacaan

Kurang Baik

2 Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh

pembaca; namun ada bagian tertentu yang harus

dibaca lebih dari satu kali untuk memahami

terjemahan.

Keterbacaan

Tidak Baik

3 Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca bahasa

sasaran.

30

1.9 Metode Analisis Data

Pada tahap ini, peneliti melakukan analisis untuk mengkaji mengenai

keakuratan dan keterbacaan novel terjemahan The Maze Runner.Dalam

menganalisis, untuk menentukan keakuratan novel terjemahan, peneliti

menggunakan Cambridge Dictionary , Oxford Dictionary dan Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI). Peneliti juga mencaritahu makna dari kata atau frasa

dari berbagai sumber, seperti buku, internet dan bertanya kepada native ataupun

ahli terjemahan. Setelah mengetahui makna ungkapan, kemudian peneliti

membandingkannya dengan terjemahannya. Peneliti juga menggunakan hasil uji

statistik guna menentukkan apakah terjemahan tersebut akurat, kurang akurat atau

tidak akurat. Menentukkan keakuratan data, didasarkan pada Instrumen Penilai

Keakuratan Terjemahan yang telah disajikan pada Tabel 3.

Dalam menganalisis keterbacaan, peneliti menggunakan kemampuan

peneliti sendiri sebagai penutur asli bahasa sasaran dan sebagai penilai hasil

terjemahan. Dikarenakan penelitian ini berorientasi pada hasil terjemahan,

sehingga peneliti dapat menilai dan mengevaluasi hasil terjemahan(Nababan,

2000:121). Penilaian terhadap padanan semua tataran lingual secara objektif sulit

dicapai sehingga penentuan keterbacaan pun tetap terpengaruh pada subjektifitas

peneliti sebagai penilai hasil terjemahan karena apa yang dianggap enak dibaca

oleh orang satu belum tentu dianggap enak dibaca oleh orang yang lainnya

(Machali, 2000:115; Nababan, 2004:60; Larson, 1998:545). Selain itu, dalam

menentukkan keterbacaan hasil terjemahan, peneliti menggunakan hasil uji

statistik dan Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan yang telah

dikembangkan, yang disajikan pada Tabel 4.

31

Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan dalam menganalisis keakuratan

dan keterbacaan:

1. Setelah onomatope, ungkapan makian, danungkapan budaya terkumpul, dan

dimasukkan ke dalam tabel, kemudian dianalisis sesuai rumusan masalah,

yaitu kekuratan dan keterbacaan dengan menggunakan hasil uji statistik dan

Instrumen Penilai Keakuratan dan Keterbacaan Terjemahan.

2. Dalam menganalisis keakuratan data, peneliti mencari komponen makna

ungkapanTsu dan Tsa, kemudian dibandingkan. Setelah dibandingkan

ditentukkan keakuratannya dengan menggunakan Istrumen Penilai

Keakuratan Terjemahan. Data yang akurat diberi skor 1 dan, data yang

kurang akurat diberi skor 2, dan data yang tidak akurat diberi skor 3.

3. Dalam menganalisis keterbacaan, peneliti menilai hasil terjemahan

berdasarkan pada Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan kemudian

diberi skor 1 untuk keterbacaan yang tinggi, skor 2 untuk keterbacaan yang

sedang dan skor 3 untuk keterbacaan yang rendah.

4. Hasil dari kedua analisis dipadukan untuk mendapatkan kesimpulan akan

kualitas menyeluruh terjemahan novel The Maze Runner.

1.10 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Dalam penyajian hasil analisis data, penelitian ini menggunakan metode

informal. Metode informal merupakan perumusan dengan menggunakan kata -

kata biasa sehingga penjabaran akan dengan mudah dipahami (Mahsun, 006:116).

32

1.11 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis. Kelima

bab tersebut antara lain:

BAB I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian yang dibagi menjadi

manfaat teoretis dan manfaat praktis, tinjauan pustaka, landasan

teori,metode penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis

data, metode penyajian hasil analisis data, dan sistematika penyajian.

BAB II Keakuratan Terjemahan Novel The Maze Runner.

BAB III Keterbacaan Terjemahan novel The Maze Runner.

BAB IV Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan.