BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
-
Upload
truongkiet -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik atas dasar agama kini paling sering dilihat di tengah-tengah
kehidupan masyarakat Indonesia. Asumsi ini tentu akan banyak mendapatkan
banyak tentangan, namun fakta tidak dapat dipungkiri bahwa konflik-konflik
keberagamaan sudah sangat sering terjadi dan telah menimbulkan korban, bukan
hanya harta benda tetapi juga nyawa manusia yang tidak sedikit jumlahnya.
Makin sering dijumpai konflik yang terjadi atas nama keberagamaan ini tidak
hanya menyeret orang atau kelompok orang yang berbeda agama untuk bertikai,
tetapi di dalam sebuah agama yang sama (Rumahuru, 2012).
Harus diakui bahwa dalam beberapa hal, realitas kebebasan beragama di
Indonesia menunjukkan trend yang membaik, seperti telah dicabutnya beberapa
pelarangan terhadap agama-agama tertentu untuk melakukan aktivitas keagamaan
secara terbuka, serta dukungan untuk dibentuknya organisasi antaragama agar
tumbuh dan berkembang dengan cepat. Namun demikian, sampai pada tingkat
tertentu pelanggaran terhadap kebebasan beragama justru menguat dengan ben-
tuknya yang lebih signifikan serta berdampak luas. Pemberitaan di media massa
banyak memuat mengenai penyerangan, pengusiran, dan perusakan rumah dan
tempat ibadah (Azra, 2003).
Kasus yang masih segar diingatan adalah apa yang dialami oleh
komunitas atau pengikut Islam Jama’ah (LDII) dan Jemaat Ahmadiyah dalam
Islam. Untuk kasus Ahmadiyah, pelanggaran itu berlangsung dramatis di berbagai
2
tempat, seperti Kuningan-Jawa Barat, Parung-Bogor, hingga Lombok NTB. Di
Lombok Timur, massa dengan beringas membakar pemukiman Ahmadiyah pada
tangga 10-13 September 2002, dan membuat ratusan orang pengagum Mirza
Ghulam Ahmad kehilangan tempat tinggal. Kediaman mereka kembali diserbu di
Praya Lombok Tengah pada Jumat tanggal 17 Maret 2006 yang membuat mereka
mengungsi ke Mapolres setempat. Sebulan sebelumnya, pada tanggal 4 Februari
2006, kasus serupa terjadi lagi di Lingsar Lombok Barat yang memaksa mereka
mengungsi hingga kini.
Konflik semakin berdarah-darah ketika intervensi yang dilakukan oleh
pemerintah yang pada awalnya bertujuan untuk mencari jalan tengah justru
diartikan berbeda oleh sekelompok orang dalam menjustifikasi tindakannya untuk
mengeliminasi kelompok lain. Peristiwa Cikeusik, Provinsi Banten, yang belum
selesai adalah cermin nyata atas tindakan massa terorganisasi yang saling
menyerang atas dasar keyakinan beragama (CRCS, 2010). Tindakan tersebut
justru mendapat legitimasi berdasarkan atas aturan hukum yang berlaku. Aturan
hukum yang dimaksud adalah kebebasan dalam beragama. Beberapa upaya juga
dilakukan oleh para pemeluk agama untuk melakukan upaya-upaya pembuatan
peraturan daerah yang berisikan aturan-aturan agama tertentu.1
Dalam beberapa kasus, hal tersebut di atas dijadikan komoditas politik
dan kekuasaan, misalnya beberapa provinsi yang mayoritas penduduknya me-
meluk Islam seperti Aceh, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Banten, dan NTB
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) syariah yang sangat jelas memihak
1 Dokumen Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) Propinsi Papua, tanggal 16 Juli 2008.
3
agama Islam. Hal ini telah memantik reaksi beberapa daerah lain yang juga
mayoritas penduduknya memeluk Kristen untuk melakukan hal yang sama,
misalnya di Maluku dan Papua. Pada kedua wilayah ini, mayoritas penduduknya
(beragama Kristen) berencana menyuarakan Perda Injil sebagai imbangan atas
keluarnya Perda Syariah di daerah yang mayoritas beragama Islam. Jika ditelisik
lebih dalam, para pembuat dan inisiator kebijakan tersebut hampir pasti akan
menyatakan bahwa keputusan tersebut dikeluarkan untuk melindungi kepentingan
agama masyarakat mayoritas.
Secara substansial, di Papua, khususnya di Kota Jayapura riak-riak dalam
masyarakat yang bersumber dari perbedaan agama mulai muncul ke permukaan
dengan ketelanjangan yang masif. Jika dicermati, dengan mendengar orasi-orasi,
membaca pernyataan-pernyataan, serta melihat aksi-aksi para pendemo yang
mengatasnamakan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) Papua pada
tanggal 4 Agustus tahun 2008 di halaman Dewan Perwakilan Rakyat Papua di
Jayapura, menimbulkan berbagai keprihatinan. Konflik agama yang pernah ter-
jadi di Ambon, juga berita-berita konflik agama (terutama kelompok Islam dan
Kristen) mengenai pembakaran gereja atau pelarangan rumah ibadah di Jawa
lewat jejaring media massa, LSM, serta mobilitas para pendakwah, telah menular-
kan pengaruhnya ke tanah Papua di Jayapura. Aspirasi-aspirasi yang dilontarkan
oleh para pengunjuk rasa tersebut penuh dengan nuansa/sentimen agama (Kristen
Menolak Islam). Demo ini kembali diulang pada tanggal 5 November 2008. Hal
ini setidaknya terlihat dalam gambar berikut.
Pe
menuntut
mushala d
keberadaa
bangunan
gereja set
disasar ol
Syariah, s
kan jilbab
anggapan
yang yang
Pa
tutan sek
Papua Sy
apa denga
Lagi lain
Gambar
ernyataan y
agar pem
di seluruh
an masjid,
n sarana-sar
tanah Papu
leh para pen
sentra ekono
b juga dip
bahwa hal
g meyakini
ara pendemo
kaligus hara
yariah No”,
anmu?”, “R
nnya, terma
r 1. Berita KSumb
yang disuar
merintah da
Papua, sert
madrasah,
rana terseb
ua. Bukan
ndemo dalam
omi kecil, d
protes kebe
l tersebut a
peradabann
o melengka
apan terhad
“Pejabat K
Rakyat mabu
asuk, “Gub
Koran dan Sber: Koleksi P
rakan oleh
aerah men
ta meminta
dan pesant
but harus m
hanya sara
m aspirasin
dan pedagan
eradaannya.
akan merusa
nya dibuka d
api diri den
dap pemeri
Kristen ada
uk karena pe
bernur ber
Spanduk parPribadi, 2012
h para pend
injau kemb
kepada pe
tren. Demi
mendapatka
ana pendidi
nya, sarana
ng asongan
Hal ini d
ak dasar ke
dengan Injil
gan berbag
intah, seper
di mana im
emimpin cin
rilah kami
ra Demonstr2
demo terse
bali kebera
emerintah u
kian pula,
n persetuju
kan dan p
perekonom
perempuan
dilakukan d
eyakinan m
l (Kristen).
ai spanduk
rti: “Papua
manmu? Ke
nta pada mi
cinderama
tran
ebut antara
adaan mus
untuk memb
mengenai
uan dari ge
eribadatan
mian seperti
n yang meng
didasarkan
masyarakat P
yang berisi
a Pancasila
enapa diam
iras” dan ba
ata Perdasi4
a lain
shala-
batasi
pem-
ereja-
yang
Bank
gena-
pada
Papua
i tun-
Yes,
m, ada
anyak
dan
5
Perdasus sebagai imanmu bagi Tuhan”, “Jangan ubah Pancasila dan UU 1945
Pasal 29” (Sumber: Bendel FKKI, 2008). Secara keseluruhan, demonstrasi ter-
sebut bukan yang pertama terjadi di Kota Jayapura dengan menggunakan agama
sebagai kendaraan tempurnya. Secara umum, hampir setiap aksi demonstrasi
yang mengatasnamakan rakyat Papua, menggunakan agama sebagai salah satu
pilar penggerak massa.
Fenomena demonstrasi di Kota Jayapura ini dapat dimaklumi karena
konflik keberagamaan di Indonesia seringkali terjadi dengan menggunakan
agama untuk menjustifikasi keterlibatannya dalam konflik. Agama dipolitisir
untuk tujuan-tujuan kelompok sendiri. Ketika sebuah daerah dengan mayoritas
agama A, maka semua di tempat tersebut harus ‘berdasarkan agama’ A, pim-
pinannya pun harus dari agama A, bangunan tempat ibadah lain tidak boleh selain
rumah ibadah agama A. Demikian juga semangat yang diusung para demonstran
yang menginginkan semua aspek kehidupan masyarakat Papua, harus diatur dan
dikelola dengan menggunakan jargon agama tertentu (Kristen).
Lebih lanjut, mengenai fenomena keberagamaan yang menampilkan
potret disharmonisasi hubungan antarumat beragama di Papua, dapat dilihat
dalam laporan International Crisis Group (ICG) pada tanggal 16 Juni 2008. Hal
ini juga dapat dijadikan sebagai early warning system tentang masalah kerukunan
antarumat beragama di Papua. ICG mengemukakan,
“konflik antara umat beragama yaitu umat Islam dan Kristen juga bisa terjadi di Papua bila tak ditangani secara efektif. Pada 2007 kekerasan yang nyaris terjadi dapat dihindari di Manokwari dan Kaimana di Provinsi Papua Barat. Tetapi, tetap saja ketegangan itu menyisakan perasaan sakit hati di kedua belah pihak. Penyebab utamanya yaitu perpindahan penduduk Muslim dari daerah lain di Indonesia ke Papua yang terus berlangsung; munculnya kelompok-kelompok baru yang bersifat eksklusif
6
di masyarakat Islam maupun Kristen yang telah memperkuat persepsi bahwa agama yang lain adalah musuh; dampak yang tidak hilang-hilang dari konflik Maluku dan pengaruh dari perkembangan di luar Papua.”2 Pernyataan tersebut didukung oleh Uskup Leo Laba Ladjar OFM, Ketua
Forum Kerukunan Umat Beragama Papua. Ia memaparkan bahwa berbagai
bentuk protes masyarakat Papua tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor,
disampaikan melalui salah satu media masa lokal terkenal di Jayapura
Cenderawasih Pos, 17 Juni 2008;
“kekhawatiran perasaan orang Papua asli tentang semakin banyaknya sarana pendidikan umat Islam yang dibangun di Papua, karena orang Papua mayoritas beragama Kristen merupakan sebuah kewajaran dan tidak perlu dikhawatirkan oleh pemeluk agama lain (Islam), justru harus dijadikan sebagai pemicu untuk mempercepat pembuatan Perdasi dan Perdasus yang dapat melindungi orang asli Papua”. Fenomena di atas juga memberikan gambaran ujian terhadap upaya-upaya
penerapan toleransi dan pluralisme. Realitas menunjukkan, banyak orang atau
kelompok orang (komunitas) yang tidak mentolerir toleransi itu sendiri. Bahkan,
para pendemo (FKKI) tidak memiliki komitmen dan usaha mencari jalan tengah
untuk semua pihak demi terwujudnya Papua tanpa diskriminasi agama. Perspektif
ini tentunya terkesan sangat subjektif, namun sesuatu yang tidak dapat disangkal
jika merujuk pada aspirasi para demonstran pada tanggal 4 November 2008
silam, semakin menguatkan anggapan yang dikemukakan oleh ICG bahwa mun-
culnya kelompok-kelompok baru yang bersifat eksklusif di masyarakat telah
memperkuat persepsi bahwa agama yang lain adalah musuh.
Fenomena lain yang patut dicermati adalah penolakan terhadap M. Hatari3
sebagai salah satu kepala biro dalam struktur pemerintahan Provinsi Papua.
2 Lihat http://www.crisisgroup.org/home/Papua/index.php?page=070503
7
Penolakan terjadi hanya karena ia adalah seorang yang beragama Islam (satu-
satunya orang beragama Islam yang menduduki jabatan strategis di struktur
pemerintahan provinsi sebagai kepala biro keuangan), meskipun dalam pernyata-
an tersebut lebih menekankan pada aspek pendatang. Kasus penolakan ini
semakin kental bernuansa agama (Kristen menolak Islam) jika dibandingkan
dengan Tedjo Suprapto (Sekda Provinsi Papua) yang juga pendatang, tetapi ber-
agama Kristen. Senada dengan penolakan terhadap kepala biro keuangan tersebut,
resistensi agama semakin tampak dalam wujud penolakan terhadap keberadaan
STAIN Al-Fatah Jayapura,4 yang dipandang sebagai ancaman terhadap akidah
(keyakinan) orang asli Papua meskipun anggapan ini perlu dikaji, diteliti, dan
dipertanyakan lebih jauh.
Hal yang ganjil, yang dirasakan umat Islam saat itu, dari berbagai
peristiwa demonstrasi dan protes bernuansa agama di Kota Jayapura adalah
nuansa absennya peran Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB), baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Padahal, FKUB yang dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006, berfungsi (1) melakukan dialog dengan pemuka
agama dan tokoh masyarakat, (2) menampung aspirasi ormas keberagamaan dan
3 Penolakan ini terkait dengan adanya penolakan Kristen terhadap perkembangan
Islam di Jayapura seperti mulai maraknya pembangunan tempat ibadah. M.Hatari sendiri merupakan tokoh Muslim Papua yang berasal dari Ternate, Maluku Utara yang sebelumnya telah berkarir cukup lama di Papua. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 Juli 2011, bersamaan dengan maraknya demonstrasi penolakan terhadap keberadaan sarana umum (Bank Syariah) yang sangat identitk dengan Islam, selengkapnya lihat www.westpapua-Indonesian-interaction,blog.
4 Terkait dengan hal ini, keterangan lebih jauh dapat dilihat pada surat MRP No 484/119/MRP/2007 perihal dukung sikap masyarakat yang ditujukan kepada Gubernur Papua dan ditembuskan kepada Kesbangpol, Walikota Jayapura, Bupati Jayapura dan BPH-GKI di tanah Papua
8
aspirasi masyarakat, (3) menyalurkan aspirasi ormas keberagamaan dan masyara-
kat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur, (4) melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan
yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat,
dan (5) memberikan rekomendasi tertulis atas pendirian rumah ibadah.
Berbarengan dengan semangat penolakan keberadaan berbagai hal yang
berbau Islam, secara perlahan muncul pula gerakan-gerakan umat Islam yang
berupaya membentengi diri terhadap aksi-aksi yang dianggap sebagai ancaman,
baik yang dilakukan secara diam-diam melalui gerakan-gerakan pengumpulan
massa di kantong-kantong Muslim. Aksi-aksi tersebut dilakukan melalui pengaji-
an dan arisan-arisan keluarga, maupun yang dilakukan secara terang-terangan
dengan melakukan beberapa aksi protes baik melalui para tokoh agama, maupun
akademisi melalui media masa. Salah satu aksi yang dilakukan melalui media
massa adalah yang dilakukan oleh Musa Rumbaru, tanggal 18 Agustus 20115
yang mempertanyakan kepada pihak aparat berwenang tentang dipanah dan
ditembaknya seorang mahasiswa STAIN Al-Fatah Jayapura atas nama Indra
Wahyudi (20 tahun) di masjid Istiqomah Tanah Hitam Distrik Abepura, Jayapura
pada tanggal 16 Agustus 20116 ketika hendak melaksanakan shalat subuh.
Ketegangan-ketegangan yang muncul di tengah masyarakat Jayapura
merupakan akumulasi kebencian orang Papua khususnya terhadap berbagai
kebijakan negara yang dianggapnya tidak memihak. Mengingat Papua (Jayapura)
merupakan wilayah yang mayoritas penduduknya Kristen, maka selalu muncul
5 Wawancara dengan H. Musa Rumbaru, salah satu pemuka Muslim Jayapura, 19 Agustus 2011 di Dok VIII Jayapura Utara. 6 Lihat, Berita Kontras Papua dalam www.trunity.net.
9
isu yang berlawanan seperti isu islamisasi yang menyertai kedatangan para
transmigran. Peristiwa ini bukan lagi hal yang baru karena juga terjadi di wilayah
yang mayoritas Islam seperti di Jawa Barat (97,29% Muslim) kadang muncul isu
Kristenisasi (Cholil, 2013: xv) karena kehadiran sesuatu yang baru (minoritas) di
tengah penduduk mayoritas dan mengungdang persoalan seperti ketegangan
khususnya di tingkat bawah. Persoalan seperti inilah yang terus hadir di tengah
masyarakat Jayapura yang menyertai dinamika hubungan Kristen dan Islam
hingga saat ini.
1.2 Permasalahan
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, ketegangan keberagamaan di
Jayapura sudah semakin sering terjadi meski belum sampai pada tingkat anarkis-
me yang massif. Wacana popular yang didukung argumentasi para peneliti
ataupun pengamat ahli selalu menjelaskan dan berdalih bahwa agama hanya
dipolitisasi atas konflik-konflik yang ada. Namun jawaban dari pertanyaan
kritisnya bukanlah pada problem “politisasi” agama, tetapi mengapa agama
memberi ruang bagi politisasi yang melahirkan konflik di Jayapura? Dalam kasus
Jayapura, dan Papua keseluruhan, dan ini tidak (belum?) diketemukan di wilayah
NKRI lainnya -bahkan kasus Aceh relatif jauh dari isu agama- ditemukan indikasi
bertemu dan menguatnya sentimen religious nasionalism dan ethno nasionalism
yang sedang berproses dan mengkristalisasi. Hal ini ditegaskan dalam disertasi
Habel Melkias Suae, Konstruksi Identitas Kepapuaan dalam Dinamika Arus
Demokrasi (2012), bahwa wacana politik identitas warga Papua, dalam praksis-
relasinya justru sangat didominasi oleh negara dan agama, dengan sebuah
10
hipotesis adanya isyarat implisit dikotomi Muslim-proNKRI vs Kristen-
antiNKRI.
Untuk membedah persoalan akar konflik keberagamaan masyarakat
Jayapura, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan pokok di atas melalui
beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana potret konflik keberagamaan antara Kristen dan Muslim di
Papua? Pertanyaan ini akan menjawab ‘psikologis’ atau watak inheren
keagamaan seperti yang terekspresikan di keseharian mereka lewat
wacana-wacana yang mereka ungkapkan di tengah masyarakat dan media-
media terutama media internal mereka. Pertanyaan ini juga akan men-
jawab akar-akar historis perkembangan agama-agama yang masuk ke
Jayapura. Pendekatan ini akan melihat perkembangan masuknya agama-
agama ke Jayapura dari masa Belanda, Orde Lama-Orde Baru, hingga
masa Reformasi.
2. Bagaimana proses politisasi agama berlangsung dalam hubungan Kristen
dan Islam di Jayapura-Papua? Hal ini berhubungan dengan argumentasi
bahwa akar konflik keberagamaan akan berpotensi besar karena adanya
anasir kekerasan yang ada dalam agama itu sendiri yang bisa disulut dan
menyulut konflik. Penyangkalan agama tidak berperan dalam konflik
kekerasan hanya akan menjauhkan dari sikap kritis karena fakta adanya
komunitas agama yang masih terus memproduksi konflik dan kekerasan
adalah nyata. Wacana Papua Islam-Papua Kristen, Papua Tanah Damai,
demo kelompok agama dan komunitas yang berkeinginan menutup
sarana-prasarana yang berlabel agama yang belakangan ini terjadi di
11
Provinsi Papua, terutama di Kota Jayapura dan sebagainya merupakan
indikasi makin jelasnya keberagamaan muncul sebagai bahasa politik.
3. Bagaimana dampak politisasi agama terhadap keberlangsungan kehidupan
keberagamaan masyarakat di Jayapura-Papua? Dalam hal ini, bentuk dan
model politisasi agama yang berlangsung di Papua akan digambarkan dan
ditunjukan . Selanjutnya akan dilihat bagaimana dampak politisasi agama
berkontribusi terhadap hubungan antara Kristen dan Islam dikota Jayapura
di masa depan.
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis melihat bahwa faktor
keberagamaan tidak seharusnya, dalam bahasa Rumadi Ahmad (2012),
disekularisasi dalam memahami akar konflik keberagamaan dan bahkan konflik
multi dimensi di Papua khususnya Jayapura (dan Indonesia pada umumnya). Ini
dikarenakan agama, sebagaimana Geertz (1992) katakan, telah membentuk suatu
struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya,
yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah
laku.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui faktor sejarah, sosial-politik, dan budaya yang mempengaruhi
lunturnya rasa toleransi yang berujung pada penolakan terhadap nilai-nilai
12
agama dan pluralitas budaya yang telah berkembang di Papua, khususnya
di Kota Jayapura.
2. Memberikan pemaparan dan pandangan secara komprehensif untuk para
pengambil kebijakan guna melakukan strategi kebudayaan dalam mencip-
takan Jayapura dan Papua pada umumnya yang lebih demokratis dan
harmonis serta berkeadilan bagi semua pihak, penduduk asli maupun
pendatang.
3. Memperoleh pemahaman luas mengenai dinamika hubungan Kristen-
Islam di Jayapura dalam kaitannya dengan posisi Papua yang sangat
rawan terhadap munculnya berbagai persoalan termasuk upaya separatis-
me yang juga mengikutkan agama sebagai salah satu faktor pemicu.
Adapun manfaat penelitian ini mencakup dua hal pokok berikut:
1. Manfaat teoretis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
rujukan bagi rujukan guna dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam
tentang politik keberagamaan di Jayapura maupun Papua pada umumnya
mengenai konflik yang berbasis agama.
2. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan berkontribusi terhadap peme-
rintah (Pusat dan Daerah) dalam menentukan arah penataan Papau
khususnya dalam bidang kehidupan keagamaan yang selam ini menjadi
persoalan tersendiri dan belum terselesaikan.
13
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Konseptual
1.4.1 Tinjauan Pustaka
Secara umum, terdapat beberapa perspektif dalam melihat Papua seperti
melihat dari aspek konflik Papua. Perspektif ini berasal dari pihak Papua dan
pemerintah. Kebanyakan penelitian tentang konflik Papua versi Papua selalu
mendasarkan pada persoalan konflik politik, sosial, maupun ekonomi yang
menyerukan persoalan-persoalam dan isu-isu tentang ketidakadilan serta HAM
yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat Papua. Kepustakaan semacam ini
misalnya dapat ditemukan dalam karya George Junus Aditjondro (1986), Pdt.
Yoman Socratez (2012), Sendius Wonda (2007, 2009), Markus Haluk (2013)
yang cenderung bernada miring terhadap kebijakan pemerintah dan terkesan pro-
M (Merdeka). Kepustakaan-kepustakaan tersebut, lebih cenderung memposisikan
diri sebagai oposisi terhadap cara pandang yang dilakukan oleh pemerintah dalam
melihat Papua.
Menarik dicatat bahwa bagi penulis-penulis asli Papua, buku-buku mereka
cenderung bernuansa Kristen, namun bagi peneliti dan penulis versi kedua yang
menggunakan buku-buku versi Papua ini tidak pernah melihat secara mendalam
wacana religiusitas (dalam bahasa Bourdieu modal simbolik) yang eksplisit pada
narasi-narasi mereka. Buku-buku versi kedua ini, misalnya karya kelompok LIPI
dan Jaringan Damai Papua seperti Papua Road Map karya Muridan S. Widjojo
dkk, dan karya Widjojo lainnya (2009, 2001) dan The Papua Way – Dinamika
Laten & Refleksi 10 Tahun Otsus Papua yang ditulis oleh Anthonius Ayorbaba
(2011). Mereka lebih menyoroti bagaimana konflik Papua itu mesti didekati
untuk mendapatkan solusi yang terbaik bagi Papua dan juga pemerintah.
14
Sementara itu, sejauh penulis ketahui hanya ada dua karya yang benar-
benar khusus melihat konflik keberagamaan yang terjadi di Papua, yaitu artikel
Christian Warta dan tesis Cahyo Pamungkas (2008). Studi Cahyo Pamungkas
yang berjudul: Papua Islam dan Otonomi Khusus: Kontestasi Identitas di
Kalangan Orang Papua (2008) dengan jeli memperlihatkan bagaimana wacana
keislaman dan kekristenan dipakai dalam pembentukan wacana kepapuaan dan
keindonesiaan. Lebih jauh, Cahyo Pamungkas (2008: 174-175) dengan meng-
gunakan analisis Bourdieu atas wacana kapital, habitus, dan ranah menyimpulkan
sebagaimana berikut:
Pertama, Muslim Papua dalam posisi subordinat berusaha memperoleh
pengakuan akan identitas budayanya yang bersifat fleksibel di tengah Otonomi
Khusus (Otsus) yang sedang berlangsung. Kedua, Muslim Papua pada posisi
subordinat dalam ranah keberagamaan Islam di tanah Papua mengkontestasikan
identitasnya dengan Muslim pendatang melalui konstruksi identitas politik ke-
Papua-an sebagaimana direpresentasikan dalam wacana Islam rahmatan lil
Papua dan wacana Papua tanah damai, serta praksis-praksis advokasi pelang-
garan HAM. Ketiga, Muslim Papua pada posisi subordinat dalam ranah politik
dan keberagamaan di Papua mengkontestasikan identitasnya dengan Kristen
Papua melalui wacana bahwa Islam merupakan bagian dari adat istiadat orang
Papua asli dan praksis-praksis mediasi antara Muslim pendatang dengan Kristen
Papua terkait dengan persoalan pendirian tempat ibadah dan perguruan tinggi
Islam. Kesimpulan studi ini adalah strategi Muslim Papua untuk mendapatkan
pengakuan akan identitas budayanya dilakukan dengan merumuskan jati dirinya
secara fleksibel, yaitu memadukan antara ke-Islam-an dan ke-Papua-an, meng-
15
kontestasikan identitas budayanya dengan Muslim pendatang dan Kristen Papua
dalam arena politik identitas di Tanah Papua, serta melakukan konsolidasi inter-
nal melalui pembentukan Majelis Muslim Papua (MMP).
Penelitian di atas menarik dan cerdas, namun seperti peneliti-peneliti lain
hanya terfokus pada konstestasi wacana identitas keberagamaan dalam bingkai
diskursus relasional hegemoni negara dengan konflik keberagamaan yang ada.
Pendekatan semacam ini mensubordinasi agama sebagai entitas dan realitas
politik di bawah bayang wacana dominan negara, yang di masa pasca Orde Baru,
agama mampu mentransformasikan kembali dirinya sebagai diskursus dominan
dan hegemonik terhadap kehidupan masyarakat dan bahkan negara. Hal ini terjadi
karena memang perannya yang transendental sebagai kanopi suci rasionalitas tin-
dakan politis individual dan komunal. Dengan demikian, melalui pemahaman ini
mampu dijelaskan bagaimana agama kembali menjadi wacana dominan per-
politikan masyarakat dan negara yang berpotensi munculnya konflik vertikal dan
horizontal di negara Pancasila ini. Konstelasi inilah yang belum dijelaskan oleh
Cahyo Pamungkas secara mendalam, yaitu mengapa ada Muslim Papua dalam
posisi status quo dan pro-NKRI, sementara Kristen pendatang seakan mampu
melebur dalam wacana tentang kepapuaan.
Secara umum, penelitian yang menjadikan etnis dan agama sebagai objek
dan subjek kajian telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik berupa kajian
teologis maupun kajian praktis. Setiap peneliti silih berganti memaparkan ber-
bagai hasil temuan lapangan yang menginformasikan kekhasan dan keaneka-
ragaman masyarakat dalam memeluk dan menjalankan sebuah ritual keberagama-
an dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula, mirisnya sebuah peristiwa perse-
16
lisihan agama yang kadang menghadirkan korban jiwa yang tidak sedikit, ataupun
harta benda yang habis dijarah dan dibakar. Di dalam kasus konflik di Jayapura
maupun Papua, keseluruhan tipe konflik etnis dan konflik agama tampaknya
menemukan sinerginya dalam isu pendatang versus orang asli.
Disertasi ini, secara garis besar membahas isu tentang konflik etnis yang
selalu berkelindan dengan agama, namun secara khusus tidak akan banyak mem-
bahas kontestasi agama dengan adat di Jayapura. Untuk itu, pendekatan isu
konflik etnis dan agama yang keduanya dihadapkan pada (kebijakan) pemerintah
menjadi penting untuk menjadi latar kajian. Berikut akan dipaparkan beberapa
studi kasus konflik etnis dan keberagamaan yang telah ditelaah.
1.4.1.1 Pendatang versus Orang Asli (Konflik Etnis)
Salah satu contoh konflik yang berlatar belakang etnis dapat dilihat pada
penelitian Marzali (2003). Marzali menjelaskan bahwa konflik etnis merupakan
akibat dari hubungan sosial yang intensif antara kelompok etnis yang berbeda,
sekarang hidup bersama di Indonesia meskipun pada masa awal kemerdekaan
konflik etnis tersebut tidak seserius seperti apa yang terjadi saat ini. Pada awal-
nya, Marzali menyatakan bahwa konflik antara Dayak sebagai penduduk asli
Kalimantan dan para pendatang Madura dalam kategori konflik yang tidak
realistis, meskipun setelah melakukan penelitian mengubah pendapatnya dengan
menyatakan bahwa konflik tersebut adalah konflik realistis dengan menyatakan
sebuah teori frustrasi-agresi.
Teori ini memberikan penjelasan frustrasi orang Dayak atas perilaku
orang lain dari luar Kalimantan, khususnya pendatang Madura yang berakar pada
17
kebijakan pemerintah pusat dan Polri atas kekayaan hutan yang notabene secara
adat milik orang Dayak. Isu SDA yang di lapangan banyak di tangan orang
Madura inilah yang merupakan akar utama dari konflik etnis di Kalimantan.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pemerintah dan aparatur negara malah menjadi
aktor utama sumber konflik melalui orang Madura (Marzali, 2003). Dalam
peristiwa kerusuhan yang dimulai oleh suku Melayu (1996) dan Dayak (1997 &
2001) melawan pendatang Madura, anggota-anggota dari etnis lain seperti Jawa,
Banjar, dan Bugis kelihatannya bersifat parsial. Mereka berpihak pada penduduk
asli meskipun yang menjadi korban dari peristiwa tersebut adalah orang-orang
yang tidak berdosa, termasuk perempuan dan anak-anak.
Lebih lanjut, Marzali mengungkapakan bahwa konflik etnis di Kalimantan
antara Dayak dan Madura adalah konflik yang unik dan menarik. Sasaran
kemarahan penduduk asli (Dayak) terbatas pada para pendatang Madura. Hal ini
dapat terjadi karena masyarakat dari etnis Madura tidak mampu menyesuaikan
diri dengan orang lain. Orang Madura cenderung hidup secara eksklusif, meski-
pun menganut agama Islam. Mereka melaksanakan shalat di masjid sendiri,
mereka hidup berdampingan hanya dengan masyarakat mereka sendiri, menikah
hanya dengan sesama orang Madura, sebagian dari mereka suka melakukan ke-
jahatan, dan apabila seseorang dari mereka melakukan tindakan kejahatan, seperti
mencuri atau membunuh orang lain, maka orang Madura lain akan melindungi-
nya (Marzali, 2003).
Gambaran yang dikemukakan oleh Marzali di atas tidak tertutup kemung-
kinan akan terjadi di Papua, khususnya di Kota Jayapura, mengingat tingkat
kepercayaan masyarakat lokal Papua terhadap pemerintah cukup rendah ditambah
18
dengan penguasaan sektor ekonomi yang dominan dari masyarakat pendatang.
Hal ini akan memunculkan frustrasi-agresi dalam masyarakat asli Papua, dan
sebagai bentuk pelampiasan akan ditujukan kepada masyarakat pendatang. Hal
ini dimungkinkan karena ketidakberdayaan masyarakat lokal dalam menghadapi
pendatang. Indikasi ke arah tersebut saat ini sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat di Kota Jayapura.
Isu konflik pendatang dan orang asli ini juga seperti yang dilihat oleh
Widjojo (1998). Ia mengemukakan bahwa konflik di Papua bermula dari masalah
modernisasi dan perubahan sosial, kebijakan politik dan ekonomi pemerintah,
serta aspek kultural yang didukung oleh kebijakan pemerintah pusat. Berbagai
program pemerintah dan peristiwa non-agama dan non-etnis yang dibawa dari
luar Papua dipahami dengan penuh subjektivitas yang berisi prasangka dan
kekhawatiran tentang islamisasi dan jawanisasi. Lebih lanjut, Widjojo meng-
ungkapkan bahwa pendatang di Irian Jaya (Papua) umumnya beragama Islam dan
berasal dari Jawa meskipun banyak juga yang berasal dari Sulawesi.
Pada titik tertentu, ada suatu sentimen kolektif yang menyatakan bahwa
Irian Jaya (Papua) diperas dan dieksploitasi untuk kepentingan Pulau Jawa dan
pendatang lainnya yang beragama Islam untuk kemajuannya sendiri. Hasil yang
diberikan oleh alam yang secara tradisional seharusnya dinikmati sebesar-besar-
nya untuk kepentingan rakyat Irian Jaya (Papua), ternyata hanya dinikmati oleh
pendatang yang tidak punya hak menikmatinya. Lebih khusus mengenai kehidup-
an keberagamaan, dalam kasus pembangunan sarana ibadah dan ruang gerak
untuk aktivitas keberagamaan, sikap pemerintah dirasakan tidak konsisten.
19
Hal yang menarik adalah, Widjojo melihat, banyak kerusuhan berawal
dari hal-hal sepele dan tidak terkait langsung dengan masalah etnis dan agama,
namun tiba-tiba reaksi massa setempat yang muncul justru mengedepankan
sentimen etnis dan agama. Gambaran peristiwa ini dapat dilihat dalam peristiwa
kerusuhan Abepura pada tanggal 18 Maret 1996. Kemarahan terhadap pemerintah
yang dianggap menyebabkan kematian salah satu tokoh Papua Merdeka, Thomas
Wanggai, berubah menjadi pelampiasan kebencian dan kecemburuan sosial
terhadap warga pendatang dengan membakar pasar dan toko milik pendatang
yang disertai dengan pernyataan-pernyataan anti pendatang.
Masyarakat Papua yang tidak puas tersebut, mengidentifikasikan dirinya
sebagai Kristen dan mereka merasakan pada satu sisi kemungkinan membangun
sarana ibadah seperti gereja sangat sulit dan kegiatannya dihambat di daerah lain.
Di sisi lain, mereka menyaksikan di Irian Jaya (Papua) sangat mudah untuk
membangun masjid. Dalam ketidakjelasan terdapat tanda-tanda yang dibaca oleh
para tokoh agama Kristen sebagai keberpihakan secara terselubung terhadap
mayoritas agama Islam (Widjojo, 1998). Apa yang dijelaskan oleh Widjojo me-
nunjukkan bahwa meskipun secara nyata konflik yang bersumber dari persoalan
agama belum ada sama sekali, tetapi konflik-konflik laten atas dasar keber-
agamaan telah muncul meskipun sumber masalahnya adalah kebijakan pemerin-
tah yang dinilai berpihak, ambigu, dan sentralistik. Konflik laten tersebut
beberapa waktu lalu telah mencari triger untuk meletup, meskipun masih dapat
ditengahi oleh sikap saling menghargai antar pemeluk agama.
20
1.4.1.2 Konflik Keberagamaan
Pada konteks yang lebih luas, konflik yang menunjukkan penyerangan
terhadap agama tertentu dengan sasaran perusakan simbol-simbol kegamaan
dalam masyarakat telah banyak dilakukan oleh para peniliti seperti dikemukakan
oleh Santoso (2002). Ia menjelaskan, konstruksi sosial tentang alasan yang
mendasari kekerasan politik-agama di Situbondo. Menurutnya, tindakan perusak-
an gereja merupakan upaya untuk menyalurkan emosi ketidakpuasan masyarakat
terhadap sikap dan keputusan penguasa. Konstruksi sosial pelaku berpendapat
bahwa tindakan perusakan gereja pantas dilakukan karena dibenarkan oleh agama
dalam rangka mempertahankan identitas agama (Santoso, 2002: ix-x).
Sejalan dengan Santoso, penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati (2003),
memperlihatkan bahwa konflik Ambon pada tanggal 19 Januari 1999 adalah
puncak gunung es dari sejarah panjang konflik keberagamaan yang merupakan
tunggangan dari kelompok tertentu dalam perebutan lahan ekonomis dan ke-
kuasaan pada masyarakat Maluku. Namun, akhirnya secara singkat Ratnawati
menyimpulkan bahwa tragedi tersebut menunjukkan bahwa orang Ambon kurang
mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk mengatur perbedaan agama dan
perbedaan lainnya dalam masyarakat, termasuk untuk menolak kekuatan luar
yang bermaksud merusak keharmonisan dalam masyarakat. Ia menyimpulkan
bahwa tragedi Ambon merupakan sebuah contoh dari kegagalan negara untuk
membangun masyarakat multikultural (Ratnawati, 2003: 10-13).
Sementara itu, masih dalam kasus yang sama, Asyumardi Azra (2003)
berpendapat bahwa agama memainkan peranan penting dalam konflik komunal di
Maluku, meskipun peran tersebut muncul belakangan. Ia menegaskan, ada faktor
21
lain yang menciptakan permusuhan dan konflik antara dua komunitas keber-
agamaan tersebut. Ketika pertikaian terjadi antara kelompok-kelompok agama
(Muslim dan Kristen), agama digunakan sebagai alat pengumpul massa dan
melegitimasi tindak kekerasan. Selain itu, kerusuhan massal di Maluku berasal
dari persaingan dalam memperebutkan sumber daya ekonomi dan distribusi ke-
kuatan politik yang tidak proporsional pada birokrasi lokal antara masyarakat
Muslim dan masyarakat Kristen, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Faktor
penting lainnya adalah kegagalan aparat polisi dan militer dalam menanggulangi
konflik yang justru lebur menjadi pelaku dari konflik tersebut dengan berafiliasi
pada agama yang dianut (Azra, 2003: 69-71).
Demikian juga penelitian Bartels (2011) pada konflik Maluku, menyim-
pulkan bahwa hal terpenting dalam kasus konflik agama di Maluku Tengah
adalah bahwa agama dunia tidak menawarkan banyak hal yang dapat mendukung
resolusi konflik. Maluku masih seperti kantong mesiu yang suatu saat bisa
meledak jika dipicu. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa kendala utama,
antara lain ketika Muslim Ambon tidak sepenuhnya menerima pendatang
Muslim, dan bahwa Muslim dan Kristen Ambon dengan dimungkinkan oleh per-
aturan otonomi daerah baru, bisa setuju untuk bersama-sama bersikap lebih tegas
terhadap orang luar (Bartels, 2011: 141-142).
Penelitian Asyumardi Azra, Ratnawati, dan Bartels di atas sekaligus mem-
berikan petunjuk awal tentang reproduksi konflik dalam masyarakat sebagai
akibat dari penanggulangan konflik keberagamaan dengan melibatkan masyarakat
multikultur yang tidak tuntas. Indikator yang diuraikan oleh Azra di atas, mulai
muncul di tengah-tengah masyarakat Kota Jayapura. Saat ini, beberapa orang atau
22
kelompok orang terus menghasut dan mengumpulkan massa keberagamaan untuk
digerakkan menentang dan melawan agama yang lain, yang berujung pada ke-
kerasan, seperti diungkapkan oleh Warta (2011);
Pendeta radikal biasanya dapat dijumpai di tempat umum yang strategis, seperti pelabuhan, lapangan udara atau terminal bus. Dengan pidato membakar yang disuarakan secara keras melalui megafon secara terus menerus menciptakan suasana yang sangat panas di antara kedua kelompok agama. Kadangkala hal ini mengakibatkan terjadinya kekerasan …. Seorang penduduk asli (pendeta dari Gereja Pentakosta Bethany), dengan pengeras suara di tangan muncul di tengah keramaian... bukan hanya suara keras saja yang mengganggu, namun juga kalimat-kalimatnya mengundang kemarahan sebagian orang. Secara terbuka orang tersebut menyerang komunitas Muslim di Papua. Kira-kira 15 menit berlalu, seorang anak muda Muslim yang sudah tidak tahan menerima hinaan ini menonjok muka pendeta tersebut. Pendeta itu terjatuh namun terus mengejek orang Muslim dengan suara yang lebih keras dan cara yang emosional. Tidak lama kemudian, pendeta itu kembali dipukuli oleh pria yang sama. Situasi mulai memanas ketika beberapa orang Kristen mulai memukuli pria Muslim tersebut. Keributan berakhir dengan dibukanya pintu kapal (Warta, 2011: 84-85).
Secara spesifik, penelitian tentang kekerasan keberagamaan khususnya di
Provinsi Papua oleh Christian Warta (2011) menyimpulkan bahwa sumber konflik
dengan motivasi agama dapat ditemukan di dalam radikalisme agama-agama
akhir ini. Kerja misionaris agresif dan dakwah yang mengandung unsur kebenci-
an telah mengacaukan hidup berdampingan secara damai. Para pendeta radikal,
seperti beberapa anggota Gereja Evangelis dan gereja kharismatik yang tidak
menghormati pandangan agama lain kecuali agama mereka sendiri mungkin saja
akan berpengaruh di masa mendatang, terutama dengan latar belakang jumlah
anggota mereka yang meningkat secara teratur yang membuktikan kebutuhan
meluas akan kepemimpinan dan religiusitas yang ekstrim, sementara usaha-usaha
23
para pemimpin agama di Papua untuk mencapai perdamaian masih sangat jauh
dari harapan (Warta, 2011: 90-91).
Uraian Warta di atas tampaknya dapat dijadikan indikasi bahwa benar
adanya, benih konflik antar agama di Papua khususnya di Kota Jayapura, yang
telah ditanam oleh berbagai pihak yang menghendaki ketidakharmonisan dalam
masyarakat. Benih-benih itu berwujud demonstrasi-demonstrasi keberagamaan
tertentu di mana para penggerak aksi tersebut adalah para pemimpin-pemimpin
keberagamaan. Dengan demikian, kesan yang muncul adalah mereka justru men-
jadi ‘biang’ dari konflik, karena tidak henti-hentinya menghembuskan angin per-
musuhan.
Suatu hal yang pasti saat ini adalah Kota Jayapura telah membentuk
masyarakatnya menjadi masyarakat multietnik dan multikultural. Kondisi ini
merupakan konsekuensi Jayapura sebagai ibukota provinsi yang menjadi pusat
segala perkembangan di daerah. Kondisi ini tentu mempertemukan individu-
individu dalam masyarakat yang memiliki identitas budaya asal yang berbeda-
beda. Di Papua terdapat banyak masyarakat lokal dalam bentuk suku yang mem-
punyai jati diri masing-masing. Di samping itu, ada masyarakat pendatang yang
juga mempunyai jati diri masing-masing jika ada pertemuan antar berbagai jati
diri, akan muncul dua macam kemungkinan yang akan mempengaruhi pem-
bangunan di dalam masyarakat, yaitu terjadi pembauran yang saling melengkapi
dan juga bisa menimbulkan konflik antar jati diri (Suae, 2006: 78).
24
1.4.1.3 Agama versus Adat
Penelitian Sudaryanto (2007) pada masyarakat Wana di Kayoli Sulawesi
Tengah memperlihatkan adanya pertentangan atau perbedaan pandangan antara
agama dan budaya dalam hal penyebaran agama baru. Hasil penelitian tersebut
memberikan penjelasan bahwa ketika mereka dipaksa mengikuti jenis keper-
cayaan atau keyakinan yang berbeda, niscaya muncul bentuk-bentuk perlawanan
terhadap upaya tersebut. Proses meng-agama-kan orang Wana selama ini dilaku-
kan melalui pemaksaan agama baru, dan menempatkan praktik perdukunan yang
erat kaitannya dengan ritual agama asli sebagai praktik yang harus dihentikan
bahkan diberantas. Agama baru ini tidak secara bijak memanfaatkan budaya
setempat sebagai jalan masuk bagi penyebaran agama pada orang Wana. Penye-
baran agama Kristen misalnya, dilakukan dengan cara menempatkan Guru Injil
sebagai penyebaran ajaran agama dan penempatan tenaga lapangan di bidang
kesehatan yang memberi layanan kesehatan cuma-cuma dan mendidik cara hidup
sehat, serta membantu sanitasi. Akan tetapi, Towali (dukun) dijadikan sebagai
musuh utama karena diaggap sebagai manifestasi dari kekuasan iblis atau setan
(Budiman 2007: 248-249).
Sejalan dengan peristiwa di atas, penelitian yang dilakukan oleh Adham
(2007), di tanah Toa Kajang Sulawesi Selatan, yang mengetengahkan tentang
penyebaran agama Islam dengan memadukannya dengan budaya setempat, mem-
perlihatkan proses islamisasi yang tidak dilakukan dengan nuansa syariat yang
kaku, melainkan melalui proses dialog dengan budaya setempat. Salah satu
contohnya ialah yang mengganti rebbana yang terkesan Arab dengan Ganrang
sabagai alat musik saat memperingati kelahiran nabi (maulid), dan bahkan meng-
25
ganti nama maulid nabi dengan kaddo minyak dalam rangka penyebaran ajaran
Islam masih ada unsur-unsur kepercayaan lokal. Islam datang ke satu tempat
tidak hitam putih, tetapi bisa saling mengisi dengan budaya di tempat mana ia
akan menapak. Konstruk sejarah islamisasi seperti inilah yang menjadi salah satu
faktor penjelas relasi antara agama dan kebudayaan lokal (Budiman 2007: 293-
294).
Penelitian yang dilakukan oleh Hasse J (2008) di Sulawesi Selatan, yang
memfokuskan penelitiannya pada eksistensi agama Tolotang di tengah dinamika
sosial politik Indonesia, mengungkapkan bahwa agama Tolotang yang telah lama
hidup di Amparita selalu ada dalam bayang-bayang ‘kepunahan’ agama sekaligus
penganutnya. Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dijalani dengan penuh
kekhawatiran. Bagaimana tidak, identitas lokal yang mereka inginkan selalu ber-
dampak pada relasi politis dengan pemerintah maupun mayarakat yang tidak
sehat. Bentuk dominasi pemerintah telah membatasi ruang gerak mereka untuk
menjalankan ajaran, seperti menyangkut regulasi pemerintah tentang keberadaan
Tolotang pada Surat Keputusan bimas Hindu Bali/Budha No. 2 tahun 1966 yang
mendapat respons baik dari pihak Tolotang. Keputusan tersebut merupakan
bentuk pembatasan hak spiritual untuk dengan bebas menjalankan ajaran
(Abdullah, 2008: 240-261).
Lebih jauh penelitian ini melihat bahwa pihak luar justru mengganggap
keputusan tersebut akan memberikan kebebasan kepada Tolotang yang harus
mendasarkan ajaran dan keyakinan yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
Hal ini disadari pula oleh Tolotang bahwa di satu sisi keputusan ini membatasi
kebebasan dalam menjalankan ajaran, namun di sisi lain memberikan perlindung-
26
an. Meskipun dalam keputusan pemerintah yang mengafiliasi Tolotang ke dalam
agama Hindu, praktik-praktik agama yang dilakukan sangat bertentangan. Ajaran
maupun praktiknya tetap didasarkan pada ajaran warisan leluhur, tanpa men-
dasarkan pada ajaran kitab suci Hindu, Veda. Ini dapat dilihat sebagai salah satu
bentuk resistensi terhadap Hindu. Bukan hanya tindakan penolakan yang di-
alamatkan pada agama Hindu, tetapi terhadap Islam pun juga demikian. Penolak-
an terhadap Islam ditujukan dengan penolakan afiliasi. Tindakan ini terkait
dengan sejarah dan ‘pengusiran’ Totolang dari tanah kelahirannya setelah ke-
datangan Islam. Dari sini dapat dilihat bahwa secara struktural, Tolotang adalah
bagian integral dari agama Hindu, namun pada praksisnya tetap pada acuan
ajaran leluhur.
Menyikapi kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, ketika masyarakat dengan
mudah tersentuh bahkan beralih pada pemahaman baru keberagamaan yang
akhirnya memperkuat ideologi keberagamaan di Papua, menjadikan nilai-nilai
tradisi digilas arus penguatan ideologi pendatang sehingga menyebabkan ke-
tegangan di dalam masyarakat. Dalam kehidupan ini, memang tidak ada sesuatu
yang tidak berubah, perubahan budaya tentunya tidak hanya mencakup budaya
material, tetapi juga perubahan pada sistem kognitif, sistem tindakan, dan simbol-
simbolnya (Syam, 2004). Bentuk konflik adat dan agama serta respons satu sama
lainnya seperti dalam beberapa ringkasan riset di atas oleh Sudaryanto (2007),
Adham (2007), dan Hasse J (2008) juga akan memberi gambaran bagaimana
respons religiusitas lokal atau adat masyarakat asli Jayapura menghadapi desakan
agama baru yang dibawa ‘pendatang’ ini.
27
Dari penelitian lapangan yang telah dilakukan, tampak bahwa sistem
kepercayaan atau religiusitas masyarakat Kota Jayapura telah semakin ter-
integrasi dengan agama-agama baru yakni kekristenan dan keislaman dengan
segala variannya. Kepercayaan lama tentang ruh-ruh jahat dan baik di alam
barangkali masih ada, dan ini perlu penelitian lebih lanjut, namun secara umum
budaya material, sistem kognitif, sistem tindakan dan simbol-simbol tradisi dan
religi lama itu umumnya telah tergantikan dengan Kristen atau Islam.7
Perubahan dalam masyarakat di Papua dapat dilihat dari respons tradisi
lokal yakni melihat dinamika perubahan tradisi lokal dalam konteks lokalitasnya.
Perubahan itu mengarah ke dimensi akulturasi dan bukan adaptasi, sebab di
dalam perubahan itu tidak hanya terjadi proses saling meniru atau menyesuaikan,
tetapi mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan yang baru tentunya ada
unsur yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Proses yang tidak terelak-
kan ini seiring dengan arus globalisasi dalam artian saat paham-paham baru
(sistem kognitif) yang datang dari luar bersamaan dengan budaya material yang
mereka bawa bertemu dan berdialog dalam aras pikiran, tindakan, dan simbol
masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat Jayapura khususnya.
Dalam konteks masyarakat Papua, agama Kristen lebih diidentikkan
dengan agama orang pegunungan, sementara Islam lebih diasosiasikan dengan
agama pesisir (Yamin, 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Noerid Haloei Radam (2001: 300) yang menjelaskan bahwa bagi masyarakat
Bukit, warga yang berpindah agama khususnya ke dalam Islam (karena perkawin-
7 Wawancara dengan tokoh masyarakat Jayapura, pada tanggal 31 Mei 2013, di Jayapura Papua.
28
an atau bukan) akan dipandang oleh masyarakatnya bukan sebagai orang Bukit
lagi tetapi dianggap oleh masyarakatnya atau oleh yang bersangkutan sebagai
Orang Dagang. Religilah yang memberi makna eksistensi sosial manusia.
Dunia luas juga bisa melihat bagaimana perkembangan Islam pada
masyarakat Dani8 di Kampung Walesi Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua.9
Berbagai persoalan pelik dan dilematis dialami komunitas Islam Dani Kampung
Walesi, terutama menyangkut resistensi identitas, baik sebagai orang Dani mau-
pun sebagai seorang muslim yang taat. Pada satu sisi, mereka masih dianggap
belum sepenuhnya Islam oleh para penganut Islam mainstream. Hal ini
disebabkan, banyaknya hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam masih dipraktik-
kan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya memelihara dan mengkonsumsi
daging babi, menikah secara adat, membakar mayat, dan beberapa kebiasaan
lainnya yang merupakan warisan tradisi turun-menurun.
Dari berbagai penelitian di atas, tampaknya semua peneliti tenggelam
dalam upaya mencari siapa salah dan siapa benar dalam setiap konflik yang
terjadi untuk dijadikan rujukan para pengambil kebijakan terutama pemerintah.
Temuan mereka seringkali cenderung mengerucut pada kesimpulan akan peran
pemerintah yang selalu terlambat mengambil tindakan penyelesaian konflik,
namun seringkali tidak tegas, lalai, atau bahkan tidak pernah hadir karena men-
8 istilah Dani atau Ndani sebenarnya tidak disukai oleh orang Baliem, baik yang
hidup di Barat maupun di sebelah Timur kabupaten, berbagai sumber menyebutkan bahwa istilah Ndani merupakan suatu ejekan yang pernah dilontarkan oleh klen di sebelah barat (Yali) kepada klan di sebelah Timur (Parim) yang artinya ejekan yang hingga kini belum berhasil diketahui atau diberitahukan kepada pihak luar penduduk asli Baliem, karena mungkin sengaja di rahasiakan (Sunario-Susanto, 1993:11).
9 Yang dimaksud Papua adalah merujuk kepada provinsi dan juga berarti kelompok suku bangsa seperti yang dikemukakan oleh pelaut portugis Antonio d’Arbreu yang mengunjungi pantai Irian Jaya tahun 1551 (Andrianto, 2001:1).
29
jadi sumber dari kekerasan tersebut. Para peneliti tersebut sepertinya lebih fokus
pada usaha pengungkapan aktor dari konflik-konflik tersebut, yang secara detail
tidak pernah terungkap. Oleh karena itu, penelitian ini akan berupaya bukan
hanya mengungkap akar, aktor dan solusi dari pemecahan konflik keberagamaan
yang terjadi di Papua, khususnya di Kota Jayapura, tetapi juga akan menampilkan
potret dari kehidupan keberagamaan sehari-hari masyarakat Kota Jayapura,
beserta dampak dan akibat yang timbul dari pemberlakuan dan pelaksanaan
kebijakan pemerintah dalam kehidupan beragama dalam masyarakat.
1.4.2 Kerangka Konseptual
1.4.2.1 Budaya dan Agama
Sebelum membahas apa yang dimaksud dengan konflik, penting pula di
sini diperjelas apa yang dimaksud dengan budaya dan agama. Budaya, menurut
Koentjaraningrat (1987:180), adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan
hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
manusia dengan belajar. Dalam pemahaman ini, keberagamaan para penganut
agama adalah bagian dari (proses) budaya. Karena apa yang diyakini sebagai
‘agama’ ditransferkan dari generasi ke generasi melalui media pembelajaran.
Dalam hal ini, peneliti memandang perlu untuk tidak membedakan budaya
dengan agama secara tajam sebagaimana pandangan kaum agamawan ataupun
antropolog yang bias akan rasa ‘superioritas’ agama besar (terutama Kristen,
Islam, dan lainnya, yang dalam konteks Indonesia kini enam agama yang diakui
30
negara)10 terhadap agama lokal. Lagi pula dalam realitasnya masyarakat Indo-
nesia, termasuk Papua, ‘agama’ dalam artian keyakinan akan yang adikodrati
sudah menjadi bagian dari ekspressi kehidupan sehari-hari.
Pemandangan yang semakin jelas di akhir dekade ini adalah maraknya
tuntutan-tuntutan politis dan maraknya ekspresi dalam budaya popular atau
kebudayaan sehari-hari yang bernuansa religius. Namun demikian, transformasi
budaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala perubahan budaya lokal
yang terjadi pada masyarakat Jayapura pada khususnya sebelum dan sesudah
kedatangan agama-agama baru, khususnya Islam dan Kristen dengan segala
alirannya. Sebagaimana argumen Andito, budaya juga mempengaruhi agama dan
demikian pula sebaliknya. Budaya-agama (budaya yang agamis) tersebut akan
terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam
kondisi objektif dari kehidupan penganutnya. Hal ini terjadi karena manusia
sebagai homo-religius merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi
dalam kebebasan menciptakan berbagai objek realitas dan tata nilai baru ber-
dasarkan inspirasi agama (Andito, 1998: 282). Hal ini seperti apa yang dinyata-
10 Istilah resmi dan non-resmi memang tidak ditemukan secara langsung dalam
kebijakan atau peraturan negara tentang agama. Sebaliknya, secara tidak langsung banyak sekali kebijakan yang memuat ide tentang agama resmi dan non-resmi. Misalnya dalam bidang hak sipil warga sebagaimana UU No. 23 tahun 2006 tentang Adminduk pasal 8 ayat 4 menggolongkan pengecualian terhadap dua kelompok keagamaan: “… tatacara pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan …” (CRCS, 2009: 16). Meskipun istilah agama resmi masih diperdebatkan, namun dalam disertasi ini digunakan untuk memudahkan identifikasi terhadap agama-agama yang ada. Dalam disertasi ini, dengan alasan tadi, menggunakan istilah agama resmi sebagai ‘lawan’ dengan agama tidak resmi. Agama resmi dalam disertasi ini disamakan dengan agama formal, sedangkan agama tidak resmi dipadankan dengan agama lokal meskipun sangat mungkin diperdebatkan. Penggunaan istilah tersebut hanya untuk menunjuk agama-agama yang selama ini ‘diakui’ keberadaannya oleh negara. Agama resmi yang dimaksud dalam disertasi ini adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu (Hasse J, 2012).
31
kan Geertz (1992:13), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam
benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana
individu atau kelompok individu dan yang mengarahkan tingkah lakunya.
1.4.2.2 Transformasi Sosial
Transformasi dalam bahasa Inggris berasal dari kata transform. Kata ini
berarti mengubah sesuatu ke bentuk lain atau mengubah suatu kondisi dan sifat
tertentu menjadi kondisi atau sifat yang lain (Webster, 2010). Adakalanya, per-
ubahan tersebut terjadi dalam organisasi masyarakat pada waktu tertentu (Macionis,
1987: 638 dalam Sztompka, 2007: 5), atau terjadi dalam hubungan orang per orang,
kelompok, organisasi, dan kultur masyarakat pada waktu tertentu. Perubahan dapat
terjadi melalui proses alamiah atau disengaja, tergantung masyarakat atau institusi
yang ada (Husein, 2012: 42-43). Transformasi sekaligus mencakup tiga unsur dalam
prosesnya yaitu perbedaan, adanya identitas tertentu, dan bersifat historis yang
terikat pada konteks (Zaeny, 2005).
Sesuatu yang berubah dalam transformasi adakalanya terjadi hanya sebagian,
terbatas ruang lingkupnya, tanpa menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari
sebuah sistem. Transformasi sosial merupakan perubahan pola perilaku, hubungan
sosial, lembaga dan struktur sosial pawa waktu tertentu. Jadi, transformasi me-
rupakan suatu proses perubahan atau pembaharuan cara, bentuk, model, strategi
maupun pendekatan dalam lingkup waktu tertentu (Sztompka, 2007: 5). Penekanan
transformasi sebagaimana beberapa pendapat di atas terletak pada materi yang ber-
ubah, identitas, dan waktu. Dalam konteks Papua, perubahan terjadi khususnya pada
hubungan masyarakat baik antara orang asli Papua sendiri maupun antara masya-
32
rakat asli dengan pendatang. Hal ini terkait dengan identifikasi penduduk asli
(Kristen) dan pendatang (Islam) yang berlanjut pada hubungan yang bernuansa
keagamaan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perubahan agama dalam
penelitian ini adalah perubahan ekspresi keberagamaan masyarakat Jayapura se-
telah mereka memeluk agama-agama baru. Oleh karena itu, yang dimaksud
perubahan atau transformasi agama dan budaya bermakna adanya dua trajektori,
yang tidak bisa dipisahkan secara ketat, yakni pertama transformasi mengenai
bagaimana budaya ‘asli’ bernegosiasi hingga dibentuk oleh agama-agama baru
yang kini mereka yakini dan gilasan budaya modern yang menerpanya (sosial,
ekonomi, politik, teknologi, gaya hidup dan sebagainya). Kedua adalah sebalik-
nya, yaitu bagaimana agama-agama baru bernegosiasi dengan budaya asli dan
modern.
Titik berat penelitian ini lebih difokuskan pada perubahan agama dalam
artian keberagamaan masyarakat Jayapura serta bagaimana budaya mereka yang
terinspirasi oleh keberagamaan baru mereka. Oleh karena itu, peneliti sepakat
dengan Komaruddin Hidayat dalam memaknai agama, seperti yang dikutip oleh
Muhammad Wahyuni Nafis dalam Andito (1998:47), yang lebih memandang
agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesalehan hidup
berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Untuk selanjutnya, peneliti kadangkala meng-
gunakan dan memaknai istilah ‘agama’ dalam artian keberagamaan (perilaku
beragama) dan kata ‘keagamaan’ itu sendiri secara bergantian, namun tidak
mengubah arti asal sebagaimana definisi Komarudin Hidayat di atas. Pemakaian
dua kata tersebut hanya bertujuan mempermudah pembacaan kalimat.
33
1.4.2.3 Dinamika Konflik
Dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya, Jayapura bisa dikatakan
merupakan wilayah yang mengalami perubahan yang sedemikian cepat dan ter-
kesan instan dalam waktu yang cepat. Hal ini disebabkan oleh pesatnya teknologi
transportasi dan komunikasi. Kekentalan sentimen keberagamaan yang berujung
pada semakin panasnya konflik kekerasan keberagamaan pasca-kejatuhan Orde
Baru hingga Reformasi juga terasa di Papua. Hal ini dipicu oleh semakin kental-
nya ekspresi keberagamaan individu-individu di masyarakat yang eksklusif dan
berkelindan dengan konflik-konflik sosial, politik, ekonomi yang ada di Papua,
sebagaimana telah dicontohkan sebelumnya.
Dari perspektif sosiologi dan antropologi, konflik merupakan sesuatu
yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia, terlebih
lagi dalam masyarakat yang plural dan multi-kultur. Demikian pula, disebabakan
agama menjadi ekspresi kebudayaan keseharian, maka tidak terelakkan pula jika
agama menjadi bagian ekspresi konflik di ranah kehidupan lainnya. Oleh karena
itu, yang perlu dilakukan adalah bagaimana konflik dikendalikan dan diselesaikan
secara damai dan bijaksana agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial baru
dalam kehidupan masyarakat.
Meski terfokus pada isu konflik keberagamaan, bukan berarti hanya akan
melihat secara khusus relasi konflik kelompok kekristenan terhadap kelompok-
kelompok Islam di Jayapura. Akar konflik keberagamaan di Jayapura tidaklah
tunggal, namun berakar dari berbagai persoalan yang kompleks di berbagai ranah
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Namun, bukan berarti agama tidak ber-
kaitan sama sekali, sekali lagi yang terjadi di lapangan adalah agama menjadi
34
(bagian) ekspresi berbagai konflik yang ada. Hal yang niscaya, dikarenakan
seperti dinyatakan di atas, bahwa agama menjadi jiwa kebudayaan keseharian
masyarakat bangsa ini termasuk Papua. Ekspresi keberagamaan dalam multi-
konflik di Jayapura inilah yang menjadi fokus perhatian untuk dipahami dan
dianalisis secara kritis agar dapat dikelola secara positif membangun Papua
secara keseluruhan.
Adanya konflik menurut Lewis A. Coser (1965), salah satu tokoh sosiolog
kontemporer, tidak selalu merusak sistem sosial karena konflik juga dapat mem-
berikan keuntungan pada masyarakat luas tempat konflik tersebut terjadi. Konflik
justru dapat membuka peluang integrasi antar-kelompok dan merupakan indikator
sehatnya suatu masyarakat, dalam kasus ini salah satunya adalah menciptakan
kesadaran kepapuaan. Namun, yang menjadi persoalan utama di sini adalah
konflik-konflik yang ada, dalam pandangan Coser, penuh dengan nuansa agresi
dan permusuhan. Hal ini menunjukkan adanya eskalasi penguatan kelompok etnis
keberagamaan yang saling berhadap-hadapan, baik antar-masyarakat dengan
masyarakat maupun masyarakat dengan negara. Dengan demikian, apa yang
dimaksud dengan ‘akar konflik’ berarti sesuatu ‘problem’ yang ada di bawah
konflik.
Kata ‘akar’ sendiri dalam konstruksi pohon menunjuk pada suatu bagian
yang ada di bawah tanah, namun berpotensi untuk setiap saat muncul, bahkan
tumbuh (KBBI, 2010). Akar adalah sesuatu kekuatan laten. Jadi, makna me-
mahami akar konflik dalam penelitian ini berarti memahami bagaimana potensi-
potensi laten konflik keberagamaan yang ada di Jayapura. Di sini, ‘akar konflik’
dapat dimaknai juga sebagai ‘ketegangan’, karena ketegangan adalah manifestasi
35
terbuka dari suatu konflik. Lebih jauh, setelah adanya konflik pula selanjutnya
endapan ketegangan eksis dan potensial untuk terus direproduksi (Fisher, 2000).
Masyarakat Papua, Jayapura termasuk di dalamnya, sejak awal merupa-
kan masyarakat yang plural yang mempunyai suku bangsa yang kurang lebih dua
ratusan suku dengan jumlah bahasa yang sangat banyak. Tidak dapat dipungkiri,
masyarakat Papua sejak dulu hidup dalam suasana keberagaman budaya, adat,
dan agama yang juga pada mulanya tidak terlalu peduli dengan persoalan keber-
agamaan itu sendiri. Kebiasaan hidup dalam masyarakat yang plural sangat
dinamis. Hal ini menujukkan bahwa dalam kebiasaan hidup dalam masyarakat
yang berbeda suku agama dan bahasa tidak ada masalah dalam kehidupan
mereka, contohnya menjamu tamu yang berbeda suku dan agama telah lama di-
kenal masyarakat. Bahkan, tidak jarang dalam satu keluarga atau klan memeluk
lebih dari satu agama.
Seperti diketahui, pada mulanya orang Jayapura selalu menyambut baik
orang pendatang, bahkan ada banyak mitos yang berkembang bahwa mereka akan
selamat dan sejahtera saat pendatang tiba di tengah-tengah mereka. Bahkan, bila
ditilik lebih jauh, peperangan antar suku, sebelum kedatangan agama baru, dapat
dipastikan terjadi karena permasalahan duniawi atau material belaka, bukan
karena keyakinan ideologis. Peperangan yang terjadi di antara mereka biasanya
terjadi karena empat hal, yakni soal sengketa tanah, masalah perempuan, pen-
curian babi, dan balas dendam atas terbunuhnya anggota suku mereka. Bahkan
lewat peranglah masyarakat Papua berinteraksi.
Munculnya konflik keberagamaan di Jayapura akhir-akhir ini dapat dilihat
dari tiga proses konflik laten yang ada (Fisher, 2000; Burton, 1990); pemicu/pra
36
konflik, konflik, dan pasca konflik. Untuk itu, penelitian ini akan dibagi menjadi
tiga bahasan yang satu sama lain merupakan bara laten konflik keberagamaan di
Jayapura. Proses konflik ini dapat dilihat secara kronologis yakni pertama riak-
riak konflik dari bertemunya agama baru versus agama adat. Kedua, gelombang
kecil pembentukan identitas religius dari agama baru berujung pada konflik
agama (Islam) versus agama (Kristen) yang dikarenakan pembiaran dan pem-
biasaan khutbah popular misionaris dan dakwah berisi kebencian. Ketiga, kedua
proses konflik sebelumnya, sepertinya berkelindan dengan proses konflik yang
bermuara pada isu pendatang versus orang asli di dalam geliat dinamika politik
pasca Reformasi hingga Otsus yang juga mengusung isu HAM dan ketidakadilan
di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya serta tuntutan kemerdekaan.
1.4.2.4 Konstruksi Sosial
Sebagai langkah awal, penelitian bertujuan untuk melihat agama dan
pluralitas budaya lokal di Papua yang mendapatkan pengaruh globalisasi secara
umum. Teori “Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan” yang dikemukakan oleh
Abdullah (2006) akan dipakai di sini. Abdullah mengungkapkan bahwa komuni-
tas tidak dapat dipahami lagi sebagai suatu entitas yang utuh akibat dari suatu
proses diferensiasi yang terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu (1) proses pengabur-
an batas-batas komunitas yang disebabkan oleh migrasi masuk dan migrasi keluar
yang terjadi pada berbagai komunitas; (2) mengaburnya batas-batas kebudayan
yang menyebabkan proses sosialisasi mengalami pergeseran; (3) kepatuhan yang
melemah akibat hilangnya kepemimpinan lokal dalam suatu komunitas
(Abdullah, 2006). Proses-proses kebudayaan inilah yang tidak dapat dihindari
37
niscaya akan berpotensi konflik, yang diawali dengan adanya ketegangan-
ketegangan.
Teori tersebut merupakan kelanjutan dari teori fenomenologi, yang lahir
untuk melihat paradigma fakta sosial. Di antara derivasi pendekatan fenomeno-
logi adalah teori konstruksi sosial yang digagas oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann (1990). Berger dan Luckmann melihat bahwa usaha untuk memahami
konstruksi sosial dilakukan dengan mendefinisikan kenyataan dan pengetahuan.
Kenyataan adalah suatu yang tersirat dalam pergaulan sosial yang diungkapkan
secara sosial melalui komunikasi lewat bahasa, bekerjasama lewat bentuk-bentuk
organisasi sosial dan sebagainya. Masyarakat merupakan kenyataan objektif dan
sekaligus merupakan kenyataan subjektif.
Sebagai kenyataan objektif masyarakat seperti berada di luar diri manusia
dan berhadapan dengannya, sedangkan sebagai kenyataan subjektif individu
berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Dengan kata
lain, individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk
individu. Kenyataan bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif
dan subjektif. Kenyataan objektif adalah kenyataan yang ada di luar diri manusia
dan kenyataan subjektif adalah kenyataan yang ada di dalam diri manusia (Berger
dan Luckmann, 1990: 66-225). Dengan melihat seperti ini, peneliti melihat bagai-
mana konstruksi religiusitas sosial dan individu Jayapura terbentuk, yang kini
semakin mengkristalisasi ke arah primordialisme, tidak hanya etnik maupun
agama namun simbiosis etnik-agama menjadi satu. Fenomena ini juga menandai
titik pergeseran nilai dan tatanan sosial dalam kajian mengenai nasionalisme
(Nurkhoiron, 2005:31).
38
Paham primordialisme yang dibicarakan pada tataran masyarakat, yang
mempunyai keanekaragaman adat istiadat dan budaya, merupakan sebuah ke-
niscayaan. Saat ini, perkembangan nilai-nilai kebersamaan yang sering dipraktik-
kan oleh masyarakat seiring dengan lahirnya paham-paham agama yang baru
dengan menguatkan pemahaman yang mengarah pada sebuah pemahaman dan
klaim yang secara terus-menerus dikembangkan dan disebarkan. Sementara itu,
proses perkembangan keberagaman juga terus berkembang. Oleh karena itu,
apabila pendidikan agama tidak diterapkan secara baik melalui keluarga atau
lembaga pendidikan formal, akan mengakibatkan sebuah masalah yang dapat
berakibat konflik dalam masyarakat.
Sebagai contoh, pada waktu yang lalu (sebelum 1996) jarang terjadi
masalah yang bernuansa SARA di Jayapura dan Papua, tetapi saat ini masyarakat
mulai gelisah dengan berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat,
seperti saat terjadinya krisis kepercayaan terhadap agama tertentu dan masyarakat
tertentu. Hal ini ditambah lagi dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat yang dianggap tidak menguntungkan kelompok tertentu. Hal ini
akan menjadi sebuah referensi yang terus menjadi catatan dalam masyarakat
sehingga apabila tidak dicari jalan keluarnya, kemungkinan akan terjadi sebuah
situasi yang mengancam keharmonisan. Hal ini dikarenakan di dalam kehidupan
masyarakat agama menjadi alat legitimasi yang kuat melalui pemberian status
ontologis yang absah yaitu dengan meletakkan lembaga-lembaga tersebut di
dalam suatu kerangka acuan yang keramat dan kosmis. Suatu kenyataan bahwa
legitimasi kuno di dalam sejarah kehidupan umat manusia merupakan tatanan
39
kelembagaan yang mencerminkan atau mewujudkan sesuatu yang nyata dengan
yang ada dan yang tidak nyata (Berger, 1991).
Keberagamaan merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang dapat di-
pelihara keorisinalitasannya. Pola hubungan antar-individu selalu terjalin dengan
meniadakan perbedaan sebagai gambaran kemajemukan dari sebuah tatanan nilai
yang dapat dipelihara. Selain itu, Indonesia adalah sebuah negara yang plural.
Pluralitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa dilihat dari keaneka-
ragaman ras, suku, bahasa (daerah), adat istiadat, dan agama (Nasikun, 2006).
Bisa jadi keberagaman ini menjadi sebuah kekayaan. Namun, bila tidak dikelola
dengan baik, kekayaan tersebut akan menjadi ancaman yang berakibat fatal yang
kini mulai semakin tampak vulgar di berbagai daerah sejak Reformasi, termasuk
Papua.
Mengutip Anthony Giddens (2001) bahwa etnis-etnis di dunia, termasuk
Indonesia, dengan kebudayaannya masing-masing memperoleh momentum
untuk bangkit pada era global. Kebijakan penerapan Otonomi Daerah (UU No.
32/2004) yang dapat dilihat sebagai respons terhadap globalisasi memberi angin
segar bagi tumbuhnya rasa percaya diri etnis di berbagai daerah di Indonesia.
Penerapan Otonomi Daerah tersebut, seperti diingatkan Giddens, juga meng-
indikasikan bahwa globalisasi tidak hanya berkaitan dengan sistem-sistem besar,
seperti tatanan keuangan dunia. Globalisasi bukan sekadar soal apa yang terjadi
di “luar sana”, terpisah dan jauh dari orang per orang, tetapi juga merupakan
fenomena “di sini”, yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang intim
dan pribadi dari tiap-tiap etnis.
40
Namun demikian, hal tersebut memunculkan risiko di dalam masya-
rakat multietnis di era global, yang mempunyai kecenderungan dominasi satu
kebudayaan di atas kebudayaan yang lainnya dalam konteks pemahaman budaya
mayoritas dan minoritas antaretnis. Titik-titik persinggungan budaya antar-etnis
memiliki peluang besar untuk menjadi konflik etnis karena sebagian besar
konflik yang terjadi bermula dari munculnya rasa ketidak-puasan yang dialami
oleh kelompok masyarakat etnis minoritas atas perlakuan kelompok mayoritas
dalam negara yang terdiri dari kelompok masyarakat yang majemuk (Perwita,
1996:150).
Koentjaraningrat (1992) dalam bukunya Membangun Masyarakat Maje-
muk banyak mengupas berbagai macam hal yang berkaitan dengan dinamika
hidup masyarakat (Irian Jaya) Papua, yaitu tentang kebhinekaan ras dan bahasa
serta kehidupan masyarakat tradisionalnya untuk melihat bagaimana membangun
masyarakat di Papua. Dalam kaitannya dengan realitas kehidupan masyarakat
Papua yang sarat dengan nuansa keberagamaan, dapat dilihat pada kehidupan
keseharian masyarakat Papua saat ini. Perkembangan yang terjadi seiring dengan
modernisasi menyebabkan semakin terbukanya akses terhadap daerah lain di
Indonesia. Oleh karena itu, arus migran pun tidak bisa dibendung dan terjadi
pertemuan antara kebudayaan yang berbeda, yang dalam prosesnya telah terjadi
gesekan dalam masyarakat sehingga terjadi kerawanan konflik di Papua.
Pengalaman beberapa kejadian yang bernuansa SARA yang terjadi di
daerah lain di Indonesia menjadikan masalah ini sangat penting untuk menjadi
perhatian. Terkait persoalan tersebut kiranya menarik untuk melihat kehidupan
masyarakat Minang sebagai model pembangunan multikultural. Di sini, masya-
41
rakat Minang mampu menunjukkan sikap terbuka terhadap kelompok migran
yang berbeda ras dan agama, namun mereka mampu menciptakan kondisi
kehidupan sosial secara dinamis dan yang menarik mereka membaur dan mem-
bentuk heterogenitas yang unik di tengah diferensiasi sosial dengan beragam
kelas tentunya sehingga telah menunjukkan adanya aliansi-aliansi baik ekonomi
maupun sosial budaya di tengah perbedaan yang tetap ada dan terus terpelihara
(Erniwati, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan yang ada di Papua
jangan sampai menimbulkan sebuah perpecahan, atau paling tidak bisa dijadikan
sebagai sebuah kondisi yang akan menunjukkan sebuah kemajuan yang dapat
membantu saling mengisi dalam berbagai aspek baik ekonomi sosial politik dan
lainnya, tetapi merupakan sumber kekuatan yang harus dikelola dengan baik.
Perkembangan Islam di Papua telah mempengaruhi kehidupan masyarakat
Jayapura. Perkembangan Islam saat ini dianggap mengancam di daerah yang
telah dianggap oleh sekelompok orang sebagai “Serambi Yerusalem”. Untuk hal
itu, perlu kiranya dilihat strategi atau model di Australia yang menurut Indriana
Kartini (2006), perlu diciptakan suasana tidak adanya ghettoisasi dan tidak
adanya politisasi atas perbedaan yang ada.
Semua teori yang disebut sebelumnya, belum cukup menjelaskan bagai-
mana agama menjadi wacana utama dari kekerasan yang ada di Papua dan
Jayapura pada umumnya. Saat ini berkembang wacana seakan-akan telah terjadi
proses agamaisasi konflik-konflik laten di Papua seperti yang akan dilihat dari
persitiwa-peristiwa di Jayapura. Untuk menjawab pertanyaan besar ini, juga akan
didekati dari pusat isu itu sendiri, yakni peran agama. Dalam kesejarahannya bisa
dikatakan, dan ini diakui oleh masyarakat Papua sendiri, bahwa berkat globalisasi
42
agama bersamaan dengan globalisasi ekonomi dan politik yang dimulai dari ke-
datangan para missionaris dan pendakwah serta pedagang dan penguasa pemerin-
tahan yang militeristik (baik Belanda maupun Indonesia) inilah Papua terbuka
pada dunia yang global.
Agama missionaris dan zending dengan institusi kesehatan dan pen-
didikannya bisa dikatakan telah menjadi bagian terdalam dari kesadaran Papua.
Pada level ini, agama menurut Berger (1991) berperan sebagai sacred canopy
yang keberadaannya tidak hanya menjadi panduan ritual, tetapi juga turut meng-
konstruksi dan memberikan pandangan hidup serta nilai-nilai sosial yang pada
gilirannya mempunyai dorongan pada tataran sosial dan praksis. Dikatakan
sebagai sacred canopy karena agama diyakini sanggup melindungi manusia dari
chaos, yakni keadaan hidup tanpa makna (meaningless life). Agama akhirnya
menjadi semesta simbolik yang penting dan mampu memberikan makna dalam
kehidupan manusia.
Dalam perjalanannya agama-agama yang datang itu saling bertemu. Dari
sikap-sikap agama atas konflik Papua ini, tampak adanya pola-pola gerak pe-
mikiran dan praksis yang paralel. Di sini dilihat bahwa baik pihak Kristen mau-
pun Islam, dalam bahasa Rene Girard (Sindunatha, 2006), tengah melakukan
proses yang disebut mimetic desire, yaitu hasrat saling ingin meniru satu sama
lain. Secara sistematis, mimesis terjadi karena menjadikan orang lain sebagai
model (mediator), yaitu hubungan yang terjadi antara diri dengan apa yang
diinginkan dan antara orang lain dengan apa yang diinginkan.
Dalam kasus konflik beragama antara Islam dan Kristen ini, yang terjadi
adalah posisi mereka satu sama lain adalah sebagai mediator internal, yakni
43
mereka pada dalam posisi yang sama sebagai subjek sehingga akan menjadi rival.
Mimesis inilah yang menjadi sumber kekerasan karena melahirkan kecemburuan
dan rivalitas. Hal ini ditambah dengan kecenderungan agama baru ini
(abrahamik) yang eksklusif dan terkadang kaku dalam melihat yang liyan
sehingga, seperti yang bisa diduga, bila kekakuan yang ekslusif bertemu maka
kekerasan yang satu akan diikuti kekerasan berikutnya berdasarkan prinsip balas
dendam. Di level ini, agama sangat rentan menjadi kambing hitam atau tung-
gangan bagi mereka yang memanfaatkan kecenderungan konflik untuk ke-
pentingan sesaat.
Dinamika bagaimana nilai-nilai agama menjadi kapital simbolik ini mem-
bawa diskusi ini ke teori praksis Bourdieu (1991). Melalui konsepnya tentang
habitus dan arena serta hubungan dialektis antara keduanya, Bourdieu menge-
mukakan analitisnya tentang reproduksi kebudayaan. Dalam kasus ini, konstelasi
dan lingkungan politik, sosial, budaya, dan ekonomi di Jayapura dilihat sebagai
arena (field). Dalam hal ini, gejala yang membuat agama sebagai kapital simbolik
yang mendominasi perilaku politik keseharian dibanding kapital-kapital lainnya
(budaya, ekonomi, sosial) disebabkan nilai-nilai agama sudah menjadi kebiasaan
(perilaku) orang-orang Jayapura.
Agama adalah habitus dari orang-orang di Jayapura. Bourdieu merumus-
kan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia.
Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia dan
tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga
mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri
manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, hingga mempengaruhi tubuh
44
fisiknya. Habitus yang sudah sangat kuat tertanam serta mengendap menjadi
perilaku fisik disebutnya sebagai hexis. Lewat teori praksis Bourdieu, studi ini
ingin melihat bagaimana proses psikologis aktor agama merekonstruksi dan
mereproduksi kekerasan simbolik. Melalui teori Bourdieu inilah perubahan
sosial, budaya, dan agama yang ditandai dengan gejolak konflik di ranah-ranah
politik, sosial, budaya, ekonomi, dan agama seperti yang sedang terjadi di Jaya-
pura akan dilihat dan dianalisis lebih jauh.
Dinamika konflik yang tumpang-tindih dan tanpa arah ini menunjukkan
juga bahwa Jayapura, dan Papua pada umumnya, mengalami defisit modal sosial
karena rendahnya trust (kepercayaan) satu sama lain. Dalam kacamata Francis
Fukuyama (2002), dapat dikatakan bahwa komunitas-komunitas yang ada sedang
mengalami defisit sosial kapital karena tidak adanya trust satu sama lain dan
terhadap pemerintah. Meskipun bisa dikatakan bahwa dalam diri setiap
komunitas masing-masing memiliki aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan yang
memberikan, kepada para anggota komunitas, landasan untuk saling mem-
percayai. Dengan kata lain, komunitas-komunitas tersebut disatukan oleh keper-
cayaan. Namun, dalam konteks konflik Papua, seperti yang tampak di Jayapura,
trust itu hampir-hampir tidak ada. Rasa percaya pada dasarnya merupakan produk
dari modal sosial yang baik yang “it is born of historical and inherently cultural
tendencies and values to associate and cooperate.” Lebih lanjut Fukuyama
mengatakan:
… that since it is impossible for governments or external agencies to “mitigate the cultural dimensions of the problem,” the single thing that can be done to build sosial kapital is “strengthen the rule of law and the basic political institutions on which it rests.” This would involve an
45
increase in “the radius of trust” among inward-looking, familial societies, like those of Latin America and some Asian countries.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana melihat konflik
yang ada di Jayapura melalui kacamata Fukuyama. Untuk menjawab pertanyaan
ini, akan dilihat melalui apa yang disebut oleh Ben Anderson (1983) sebagai
proses pembentukan komunitas yang terbayangkan (imagined community) guna
melihat gagalnya kesejarahan modal sosial dan trust dibentuk, sehingga bisa
dikatakan bahwa negara telah gagal (atau lebih tepatnya tidak peduli) mem-
bangun sense of citizenship di Papua.
Berdasarkan landasan-landasan teori yang digunakan, studi ini ber-
argumen bahwa pendekatan sosiologi-antropologis serta historis adalah kompo-
nen terpenting dalam pengkajian fenomena agama dan konflik di Papua maupun
di wilayah lain di Indonesia yang di dalam psikologinya simbol-simbol agama
dan budaya masih merupakan kapital yang dominan.
1.5 Metode Penelitian
Untuk memahami fokus kajian serta mencapai tujuan yang diungkapkan
di depan, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif dipilih
karena penelitian menggunakan metode yang menekankan pada analisis pe-
mahaman dan pemaknaan. Melalui metode ini, realitas sosial budaya yang
hendak diungkap dan dikaji adalah realitas subjektif berupa pemahaman dan
pemaknaan, termasuk di dalamnya upaya menelaah esensi dan pemberian makna
pada fenomena konflik kekerasan keberagamaan di Kota Jayapura.
46
1.5.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Kota Jayapura
merupakan kota yang menjadi arena sejarah keterbukaan Papua pada dunia luar.
Kota Jayapura dengan demikian menjadi jendela untuk melihat Papua. Jayapura
telah mengalami berbagai transformasi atau perubahan semenjak Belanda mem-
buka wilayah ini menjadi Hollandia hingga masa-masa sekarang semenjak ada
dalam wilayah Republik Indonesia. Perubahan ekologi, sosial ikut terjadi seiring
kegiatan ekonomi merasuk ke Papua bersama kekuatan politik dan teknologi
yang mendukungnya. Perjumpaan ini yang merupakan proses globalisasi juga
membawa budaya dan religiusitas yang baru dari pendatang bertemu dengan
budaya dan religiusitas orang-orang asli. Perjumpaan inilah yang membawa
transformasi atau perubahan budaya dan agama di Jayapura dimana konflik
adalah sebuah proses yang tidak terhindarkan.
Pemilihan Kota Jayapura sebagai objek penelitian didasari oleh beberapa
alasan. Pertama, alasan efektivitas waktu serta tingkat penerimaan dan resistensi
masyarakat. Kedua, Kota Jayapura yang dipilih karena Kota Jayapura adalah
Ibukota Provinsi Papua, yang di dalamnya terdapat hampir seluruh etnis yang ada
di Indonesia termasuk suku yang ada di Papua dan terwakilkan lewat 4 zona
ekologis pemukiman masyarakat. Ketiga, di Kota Jayapura, protes dan de-
monstrasi keberagamaan beberapa waktu yang lalu sering dijumpai, bahkan
konflik sewaktu-waktu bisa pecah jika tidak ditangani dengan baik dan bijak oleh
para pihak yang berwenang. Keempat, di Kota Jayapura pula dapat disaksikan
tingkat pembauran antar-masyarakat yang tinggi, serta banyak aktivitas bersama
47
dalam masyarakat yang berbeda agama, terutama menyangkut kegiatan kegiatan
untuk kepentingan bersama dalam masyarakat.
1.5.2 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui be-
berapa cara. Selain studi kepustakaan, pengumpulan data di lapangan menitik-
beratkan observasi partisipasi. Metode ini dianggap cukup baik karena untuk me-
ngetahui pemahaman masyarakat tentang kehidupan beragama masyarakat
dengan tidak hanya menceburkan diri ke dalam aktivitas kehidupan masyarakat
Kota Jayapura. Namun lebih dari itu, semaksimal mungkin dapat merekam
seluruh aktivitas hidup masyarakat khususnya pada aktivitas-aktivitas yang ber-
kaitan dengan tema penelitian. Observasi ini dilakukan di Kota Jayapura yang
difokuskan pada lembaga-lembaga sosial-keagamaan seperti masjid dan gereja.
Observasi ini melihat secara detail mengenai keberadaan sarana-sarana ibadah
seperti letak lokasi dan posisi.
Selain kedua cara di atas, wawancara juga menjadi metode utama dalam
pengumpulan data. Semua data dikumpulkan dengan cara wawancara langsung
mendalam dan intensif dengan para informan. Informan terdiri dari pejabat
berwenang di Kementerian Agama RI, pejabat Kementerian Agama di tingkat
Provinsi Papua dan Kota Jayapura, tokoh-tokoh lintas agama yang ada di
Jayapura, tokoh-tokoh agama yang terlibat aktif dalam FKUB seperti para pucuk
pimpinan agama (imam, pendeta), para tokoh penggerak demonstrasi keber-
agamaan, para koordinator demonstran, beberapa orang demonstran, praktisi
maupun akademisi. Informan umumnya ditemui langsung di rumah atau tempat
48
kerja, dan beberapa hal lain yang dianggap dapat memberikan informasi.
Wawancara dilakukan hampir di setiap waktu, sehingga informasi tentang kehi-
dupan keberagamaan dapat diperoleh dengan lancar. Adapun studi kepustakaan
digunakan untuk menjelaskan hal-hal yangn berhubungan dengan teori dan fakta
lapangan yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Metode ini juga diguna-
kan untuk menelusuri konflik-konflik yang terjadi di Papua terkait dengan
Kristen dan Islam sehingga tidak terjadi duplikasi dan plagiarisme dalam peng-
kajian tentang akar-akar konflik di Papua.
Penentuan informan dilakukan berdasarkan sistem snow-balling. Sebagai
informan kunci, peneliti memilih tokoh agama karena memiliki pengetahuan dan
pemahaman serta pengalaman mengenai dinamika hubungan Kristen-Islam di
Papua. Dari tokoh tersebut, wawancara dilakukan terhadap tokoh-tokoh lain yang
memiliki perspektif yang dalam mengenai persoalan yang diteliti. Wawancara
juga dilakukan terhadap pemeluk kedua agama dengan mempertimbangkan
tingkat penerimaan terhadap kedua belah pihak.
Semua data hasil wawancara dan pengamatan (observasi) sehari-hari
dicatat dengan cermat dan serinci mungkin serta dikumpulkan sehingga menjadi
catatan lapangan atau fieldnotes. Untuk menjamin kevalidan dan agar data tidak
tercecer, digunakan alat perekam baik berupa tape recorder maupun handycam
atau kamera digital untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa yang erat kaitannya
dengan kehidupan keberagamaan sepanjang informan atau masyarakat meng-
izinkannya. Agar peneliti terhindar dari bias etnosentrisme dan dapat melukiskan
suatu persoalan dan pandangan hidup, dalam bentuk thick description maka perlu
diperhatikan perspektif emik dan perspektif etik. Perspektif emik adalah pen-
49
deskripsian suatu fenomena berdasarkan dari sudut pandang orang-orang yang
diteliti, sedangkan perspektif etik adalah jika mendeskripsikan suatu fenomena
berdasarkan konsep-konsep yang dimiliki oleh seorang peneliti (Geertz, 1992).
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menitikberatkan pada
pendekatan interpretif dan tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk
mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari
makna (Geertz, 1992:5). Dengan demikian, lebih jauh diuraikan dan dijelaskan
mengenai makna-makna yang dapat ditangkap dari fenomena aktivitas
demonstrasi keberagamaan di lapangan, baik berupa pemaknaan yang dilakukan
oleh masyarakat itu sendiri maupun oleh para pembuat kebijakan.
1.6 Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan, penelitian ini akan dibahas dalam enam bab.
Pertama, Bab Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Kerangka Konseptual,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Dalam bab ini digambarkan secara
umum diskusi dan alur disertasi ini, serta hal-hal penting yang membedakan
dengan penelitian-penelitian lainnya yang telah dilakukan oleh para ahli sebelum-
nya. Bab ini dimaksudkan memberikan ulasan singkat mengenai disertasi yang
mencakup hal teknis metodologis.
Kedua, bab mengenai gambaran umum lokasi penelitian. Bab ini diawali
dengan sejarah Kota Jayapura yang tidak lepas dari pengaruh kuat kolonial di
masa lalu. Demikian pula, dalam bab ini melihat aspek mengenai letak dan
kondisi geografis Jayapura, kondisi ekonomi, persebaran dan jumlah jumlah pen-
50
duduk, pendidikan, dan kondisi kehidupan sosial-keagamaan. Bab ini secara
sekilas memberikan gambaran mengenai kondisi Kota Jayapura sebagai pusat
dinamika masyarakat karena posisinya sebagai ibukota propinsi. Pusat pemerin-
tahan dan perekonomian berpusat di Kota Jayapura, namun berbagai persoalan
terus mengiringi hubungan masyarakatnya khususnya menyangkut hubungan
Kristen-Islam dengan segala aspek bawaan termasuk etnis (asal daerah) dan
penguasaan sentra-sentra ekonomi.
Ketiga, bab mengenai Jayapura sebagai medan kontestasi antara Kristen
dan Islam. Bab ini menunjukkan potret kontestasi kedua agama yang selama ini
terjadi. Bab ini melihat konstruksi dan reproduksi sejarah masuknya agama
Kristen dan Islam hingga masa pasca Reformasi serta perannya masing-masing
yang dianggap menyimpan banyak persoalan yang belum ditangani dengan baik
karena klaim kepemilikan terhadap Papua salah satunya berasal dari klaim me-
ngenai siapa yang pertama hadir di Papua. Bab ini secara gamblang memberikan
ulasan setting Papua yang selama ini diwarnai oleh berbagai peristiwa keagamaan
yang melibatkan dua komunitas agama yang saling bersaing. Masing-masing
agama menunjukkan kekentalan identitas yang mencirikannya sebagai agama
yang memang selalu berebut. Dalam hal ini dinamika keagamaan menunjukkan
kontestasiyang bukan hanya terjadi pada ranah kehidupan sosial sehari-hari,
tetapi juga terjadi dalam bentuk visualitas termasuk penonjolan keberadaan
tempat ibadah dengan segala fasilitasnya. Selain kontestasi antara kedua agama,
bab ini juga menguraikan mengenai kerjasama keduanya pada saat perayaan hari
besar keagamaan. Demikian pula, dalam bab ini ditunjukkan bagaimana peran
51
agama selama ini yang dianggap mampu membendung berbagai persoalan
keagamaan di Papua.
Keempat, bab mengenai kerukunan di Jayapura (Papua). Pada uraian bab
ini akan ditunjukkan bagaimana pencarian perdamaian sekaligus perebutan tanah
damai terjadi. Secara khusus, bab ini berbicara mengenai proses atau transformasi
agama dan budaya dalam konteks kehidupan sosial keagamaan di Jayapura.
Berbagai ketengangan yang terjadi mendapat tempat semakin luas ketika berbagai
kepentingan mengambil bagian dalam sisi kehidupan masyarakat. Tampaknya,
kerukunan yang selama ini diimpikan sulit terwujud karena kondisi di luar Papua
turut menentukan keberlangsungan harmoni di Jayapura (Papua). Berbagai
gagasan mengenai penciptaan Papua sebagai tanah damai bermunculan seiring
semakin menguatnya tuntutan pemberian otoritas khusus bagi pengelolaan Papua
berupa Otonomi Khusus. Hal ini kemudian mewujud dalam berbagai per-
kumpulan dan memunculkan rasa kepemilikan terhadap Papua meskipun klaim
tersebut menguat secara politis akibat dukungan elite. Kemudian, pada bab ini
juga diuraikan mengenai kontestasi antara Kristen dan Islam dalam beragam
bentuk yang tidak lepas dari adanya klaim masing-masing agama mengenai
posisinya di tanah Papua, meskipun di antara mereka juga terdapat keinginan
untuk menciptakan Papua sebagai tanah damai. Bab ini ditutup dengan uraian
mengenai penyebab atau faktor serta resolusi konflik Kristen dan Islam di
Jayapura yang menunjukkan berbagai pemicu dan penyelesaian konflik yang
terjadi.
Kelima, bab yang berisi uraian tentang religiusitas Jayapura dalam bayang
konflik politik agama yang membahas dinamika kehidupan sosial politik keber-
52
agamaan. Agama dilihat tidak hanya menjadi sumber atau dasar untuk berbuat
baik bagi penganutnya, lebih jauh agama dapat menjadi alat untuk memperoleh
kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Dalam bab ini pula
ditunjukkan berbagai fakta yang mendasari terjadinya politisasi agama di Papua
yang mendapat tempat melalui intervensi elite agama bahkan juga negara.
Perebutan ruang publik melalui berbagai atribut menguatkan asumsi adanya
pelibatan agama dalam dinamika konflik di Jayapura. Bab ini secara khusus
melihat bagaimana agama digunakan untuk kepentingan yang bergerak di luar
koridor atau jangkauan agama itu sendiri termasuk pencapaian hasrat ekonomi
dan politik yang dibalut agama. Bab ini ditutup dengan uraian mengenai masa
depan hubungan Kristen-Islam di tengah pasang-surutnya hubungan antara
keduanya.
Keenam, bab ini merupakan simpulan yang berisi pokok persoalan diskusi
disertasi ini. Dalam bab ini diuraikan mengenai tiga hal pokok sebagaimana yang
telah disinggung pada sub bab permasalahan. Perjalanan Kristen-Islam di
Jayapura (Papua) selalu berada pada dua kondisi; kompromi dan konflik. Kondisi
tersebut terus membanyangi kehidupan masyarakat beragama khususnya di
Jayapura yang juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial yang terjadi di
daerah-daerah lain. Kemudian, dalam bab simpulan ini juga dapat dilihat bagai-
mana proses dan dampak yang ditimbulkan oleh ‘perlakuan’ terhadap agama
yang sering justru keliru, termasuk politisasi agama.