BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I .pdf · berbangsa dan bernegara harus...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara hukum, pernyataan tersebut diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Dengan pernyataan tersebut maka seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada aturan atau norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Negara hukum memiliki pengertian Negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum. 1 Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berisikan kebenaran dan keadilan, sehingga kepentingan masyarakat terlindungi hukum harus dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya hukum dapat berjalan normal dan efektif di masyarakat, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum. Dewasa ini masyarakat sudah mulai banyak yang memahami untuk menuangkan isi kesepakatan dalam suatu perjanjian tertulis dan tidak lagi menggunakan perjanjian lisan. Hal ini disebabkan karena kebutuhan masyarakat akan adanya kepastian hukum untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak yang membuat kesepakatan atau perjanjian. 1 Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional Dimasa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, hlm.1.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I .pdf · berbangsa dan bernegara harus...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, pernyataan tersebut diatur dalam

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3).

Dengan pernyataan tersebut maka seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada aturan atau norma-norma hukum

yang berlaku di Indonesia.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Negara hukum memiliki pengertian

Negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan

semua orang sama di hadapan hukum.1 Prinsip Negara hukum menjamin

kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berisikan kebenaran dan

keadilan, sehingga kepentingan masyarakat terlindungi hukum harus

dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya hukum dapat berjalan normal dan efektif di

masyarakat, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum.

Dewasa ini masyarakat sudah mulai banyak yang memahami untuk

menuangkan isi kesepakatan dalam suatu perjanjian tertulis dan tidak lagi

menggunakan perjanjian lisan. Hal ini disebabkan karena kebutuhan masyarakat

akan adanya kepastian hukum untuk melindungi kepentingan masing-masing

pihak yang membuat kesepakatan atau perjanjian.

1Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional

Dimasa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, hlm.1.

2

Perjanjian tertulis dapat dijadikan sebagai dasar untuk pembuktian kelak

apabila terjadinya wanprestasi yang timbul apabila salah satu pihak tidak

terpenuhi hak karena pihak lainnya tidak memenuhi kewajibannya. Oleh karena

itu, dibutuhkannya hukum yang mengatur mengenai perjanjian sehingga dapat

memberikan keadilan kepada para pihak. Kecermatan dalam membuat perjanjian

dengan berpagarkan ketentuan hukum, menjamin pelaksanaan bisnis relatif aman,

tentu saja dari sisi hukumnya. Sekurang-kurangnya, dalam bisnis itu, kehadiran

hukum dapat melindungi hubungan bisnis di antara pelaku bisnis, dan hukum

tidak menjadi suatu hal yang menakutkan bagi hubungan bisnis.2

Perjanjian dalam hukum kita di kenal juga dengan istilah kontrak, yang

mana merupakan peristilahan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau

contract (Inggris).3 Baik perjanjian maupun kontrak mengandung pengertian yang

sama, yaitu perbuatan hukum untuk saling mengikatkan para pihak ke dalam suatu

hubungan perikatan. Namun tidak semua perjanjian tertulis harus diberikan judul

kontrak, tetapi tergantung kepada kesepakatan para pihak, sifat, materi perjanjian

dan kelaziman dalam menggunakan istilah tersebut.4

Dewasa ini masyarakat sudah banyak yang mengerti pentingnya peran

Notaris untuk memperoleh kepastian hukum tersebut. Maka dari itu masyarakat

mulai membuat perjanjian di hadapan pejabat umum yang dalam hal ini adalah

Notaris. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

2I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan-

ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Bali,

hlm.27.

3Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta,

hlm.160.

4I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, loc.cit.

3

2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN-P) menyatakan bahwa “Notaris

adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau

berdasarkan undang-undang lainnya”.

Kehadiran jabatan Notaris di kehendaki oleh Negara untuk membantu dan

melayani masyarakat yang telah melimpahkan wewenangnya kepada Notaris yang

membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan,

peristiwa atau keadaan hukum.5 Notaris selaku pejabat yang berwenang membuat

akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang di

haruskan oleh peraturan perundang-undangan. Akta notariil merupakan alat bukti

tertulis yang dibuat oleh pejabat Notaris yang merupakan alat bukti autentik.

Dalam pasal 1 angka 7 UUJN-P disebutkan bahwa “Akta Notaris yang selanjutnya

disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang di tetapkan oleh Undang-Undang”.

Penyelundupan hukum dengan akta notariil muncul sebagai suatu konsep

baru yang dilahirkan oleh individu tertentu untuk mencapai keinginannya yang

sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Perlu menjadi

perhatian Notaris untuk mengkaji apakah yang diminta pihak klien tidak

melanggar/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, atau bahkan telah

terjadi praktek penyelundupan hukum.6

5Habib Adjie, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat

Publik, PT Refika Aditama, Bandung, hlm.32.

6A.A.Andi Prijatno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa Notaris Di Indonesia,

Putra Media Nusantara, Surabaya, hlm.3-4.

4

Perkembangan hukum saat ini, mulai ditemui upaya-upaya untuk melakukan

penyelundupan hukum yang melibatkan Notaris. Salah satu tindakan yang

melahirkan konsep baru sebagai upaya penyelundupan hukum adalah pemalsuan

tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil. Pernah terjadi kasus

penyelundupan hukum yang melibatkan seorang Notaris, pada tanggal 11 Maret

2014 kasus ini bermula dari balik nama sertifikat tanah milik Made Sarja dengan

lokasi tanah terletak di kawasan Tanah Lot, Kabupaten Tabanan. Dalam kasus ini

melibatkan seorang Notaris I Ketut Nuridja, SH.,M.Kn beserta Nyoman Adi

Wiryatama dan Gede Made Dedy Pratama dalam kasus dugaan pemalsuan tanda

tangan akta notariil, yakni para pihak dalam hal ini yaitu Adi Wiryatama dan

Gede Made Dedy Pratama tidak pernah bertemu secara langsung dengan Made

Sarja yang dalam kasus ini menjadi pihak pelapor.7

Maka dari itu penelitian ini menganalisis mengenai aspek

pertanggungjawaban Notaris secara pidana yang tidak diatur dalam UUJN-P.

Akan tetapi sanksi pidana dapat dikenakan kepada Notaris apabila, Notaris

terbukti baik dalam jabatannya maupun sebagai subyek hukum melakukan tindak

pidana atau turut serta melakukan pemalsuan tanda tangan dalam pembuatan akta

notariil. Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tentang

pemalsuan surat , yakni:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat

menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang

diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk

memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah

isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat

7Http://m.news.viva.co.id/news/read/562966, diakses tanggal 2 Januari 2016, pkl. 10.30 WITA.

5

menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara

paling lama 6 tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai

surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat

itu dapat menimbulkan kerugian.

Dilihat dari ketentuan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(selanjutnya disebut KUHP) jika Notaris terbukti melakukan pemalsuan dapat

dikenakan sanksi pidana sedangkan sanksi pidana tersebut tidak diatur dalam

UUJN-P sehingga dapat dikatakan penelitian ini mengkaji mengenai norma

kosong. Kemudian hal tersebut akan dibahas dalam penelitian ini dengan judul

“Pemalsuan Tandatangan Akta Oleh Para Pihak Dalam Pembuatan Akta Notariil.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka

dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut;

1. Apakah akibat hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya

dipalsukan oleh para pihak ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan

oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam mendekatkan permasalahan untuk menghindari pembahasan

menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang

lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan

6

yang akan dibahas, yaitu mencakup uraian-uraian dari tinjauan umum dalam hal

pemalsuan tandatangan akta oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.

1.4 Orisinalitas

Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena

belum ada penelitian secara khusus menulis dengan judul ini, meskipun demikian

ada beberapa tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Adapun

judul beserta rumusan masalahpenelitian lain yang tidak sama dengan penelitian

ini :

a. Tesis berjudul Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat

Dan Berindikasi Perbuatan Pidana, yang disusun pada tahun 2009 oleh

Agustining mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

Medan. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor apakah yang menyebabkan Notaris diperlukan kehadirannya dalam

pemeriksaan perkara pidana?

2. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum terhadap akta

otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana?

3. Bagaimana fungsi dan peranan Majelis Pengawasan Daerah terhadap

pemanggilan Notaris pada pemeriksaan perkara pidana?

Tesis ini membahas tentang keterlibatan Notaris dalam perkara pidana dan

diperlukannya kehadiran Notaris dalam pemeriksaan perkara pidana yang

melibatkan kliennya.

7

b. Skripsi berjudul Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Otentik Yang

Dibuat Di Hadapannya (Studi Terhadap Notaris Di Kota Semarang), yang

disusun pada tahun 2015 oleh Ida Nurkasanah mahasiswa Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Negeri Semarang. Rumusan yang terdapat dalam penelitian

ini adalah :

1. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang dibuat di

hadapannya ?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat di hadapan

notaris jika memuat keterangan tidak benar ?

Penelitian ini lebih ditekankan untuk mengkaji dan meneliti seberapa jauh

dan bagaimana tanggung jawab profesi Notaris dalam mempertanggungjawabkan

akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, serta bagaimana akibat hukum jika

dalam akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris suatu saat terjadi kekeliruan

yang menimbulkan kerugian secara perdata bagi salah satu atau lebih para pihak.

1.5 Tujuan Penulisan

Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka

tujuan dari penulisan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum

dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan tersebut adalah sebagai berikut;

1.5.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan penelitian ini adalah untuk dapat

memahami tentang kebijakan aspek hukum di Indonesia mengenai apakah akibat

hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak.

8

Selain itu, bertujuan juga untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban

notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta

notariil.

1.5.2 Tujuan khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang akibat

hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak ;

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang

pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak

dalam pembuatan akta notariil.

1.6 Manfaat Penulisan

1.6.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi

atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya

masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Sehingga,

melalui penelitaian ini dapat dilihat apakah akibat hukum terhadap akta notariil

yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak serta bagaimana

pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak

dalam pembuatan akta notariil.

1.6.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan

penelitian sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan

9

bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dikalangan

masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi pelanggaran-pelanggaran yang

terjadi terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini juga diharapkan

dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan peraturan perundang

undangan dan pembaharuan terhadap peraturan-peraturan yang terkait.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan Teoritis merupakan dukungan teori, konsep, asas dan pendapat-

pendapat hukum dalam hal membangun atau memperkuat kebenaran dari

permasalahan yang dianalisis.8 Untuk membahas permasalahan yang telah

dipaparkan penelitian ini secara lebih mendalam, perlu kiranya dikemukakan

teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum terhadap permasalahan tersebut

yang didasarkan pada literatur – literatur yang dimungkinkan untuk menunjang

pembahasan permasalahan yang ada. Dengan adanya teori, konsep, asas dan

pendapat-pendapat hukum yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat,

memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang

dikemukakan dalam penelitian ini.

Adapun teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum yang

dipergunakan dalam penelitian ini meliputi :

1.7.1 Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai sistem

terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang

8Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung,

hlm.141.

10

diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja,

asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan

ketertiban umum. Kebebasan berkontrak begitu esensial, baik bagi individu dan

kepentingan umum masyarakat yang menuntut dan menetapkan suatu pembatasan

kebebasan untuk mengadakan sebuah perjanjian.9

Bilamana antara pihak telah mengadakan sebuah perjanjian maka diakui

bahwa ada kebebasan kehendak di antara para pihak tersebut. Hal ini berlaku juga

dalam pembuatan perjanjian di bawah tangan, kebebasan berkontrak adalah salah

satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah

perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi.

Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi

ruang lingkup sebagai berikut:10

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat

perjanjian.

3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang

akan dibuatnya.

4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang­undang

yang bersifat opsional.

9Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,

PT Refika Aditama, Bandung hlm.99.

10

Sutan Remy Sjandeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang

Seimbang Bagi ParaPihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cetakan Pertama, Institut

Bahkir Indonesia, Jakarta, hlm.47.

11

Asas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) yang menyatakan bahwa “semua

persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya”. Sekalipun asas kebebasan berkontrak

yang diakui oleh KUH Perdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH

Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini

telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak

yang membuat kontrak tidak sama kuat.11

1.7.2 Asas konsensualitas

Hal utama yang harus di tonjolkan dalam perjanjian ialah bahwa pembuatan

perjanjian harus berpegangan pada asas konsensualitas, yang dimana asas ini

merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian modern dan bagi terciptanya

kepastian hukum.12

Pengertian asas konsensualitas yaitu untuk melahirkan

perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok

dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau

detik tercapainya sebuah kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah

apabila hal-hal yang pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan suatu

formalitas.13

Terjadinya sebuah perjanjian pada umumnya peresuaian kehendak saja

sudah cukup. Namun hukum harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakan

keadilan dalam masyarakat, sehingga diperlukannya asas konsensualitas demi

11Ibid.

12

R. Subekti, 1992, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung,

hlm.5.

13

Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, op.cit, hlm.95.

12

tercapainya kepastian hukum. Asas Konsensualitas dapat disimpulkan melalui

Pasal 1320 KUH Perdata bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya

kesepakatan kedua belah pihak dan Semua persetujuan yang dibuat secara sah

sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak

dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah

bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

kontrak tersebut.

1.7.3 Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam negara

hukum. Menurut Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada hal-hal

berikut:14

1. kepastian hukum;

2. keadilan;

3. daya guna atau kemanfaatan.

Asas kepastian hukum ini memberikan landasan tingkah laku individu dan

landasan perbuatan yang dapat dilakukan oleh negara terhadap individu.

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang

melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim

yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di

putuskan.15

14O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, hlm.33.

15

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,

Jakarta, hlm.158.

13

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena dapat memberikan pengaturan secara jelas dan

logis. Notaris dalam menjalankan tugas jabatanya wajib berpedoman secara

normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan

diambil untuk kemudian dituangkan oleh akta. Bertindak berdasarkan aturan

hukum yang berlaku akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak.16

Asas ini dapat dipergunakan untuk dapat mengatasi persoalan dalam hal

bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta notariil yang

data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Realitanya banyak

permasalahan seperti ini timbul di masyarakat dan mengikutsertakan Notaris

tetapi di dalam pengaturannya terutama di UUJN-P sendiri tidak diatur mengenai

tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan

tandatangan yang dipalsukan oleh para pihak. Dengan asas kepastian hukum ini

diharapkan dapat memberikan suatu bentuk kepastian bagi notaris apabila

berhadapan dengan kasus seperti ini

1.7.4 Pengertian, kewenangan dan kewajiban Notaris

Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 UUJN-P jelas disebutkan

bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”, artinya Notaris

adalah orang yang diangkat untuk bertugas menjalankan amanat jabatan-

16Habib Adjie, op.cit, hlm.85.

14

jabatannya dengan maksud dan tujuan melayani kepentingan umum atau

masyarakat.

Pelaksanaan wewenang, para Notaris wajib untuk mengetahui sampai di

mana batas kewenangannya. Selain wewenang yang mereka miliki, notaris juga

memilki kewajiban yang harus mereka laksanakan dalam menjalankan tugas

jabatannya serta larangan yang tidak boleh dilakukan yang apabila ketiga hal ini

dilanggar maka Notaris yang bersangkutan akan memperoleh sanksi sesuai

dengan ketentuan yang telah diatur dalam UUJN-P.

Kewenangan Notaris tersebut diatur dalam Pasal 15 ayat (1) sampai dengan

ayat (3) UUJN-P, yang dapat dibagi menjadi tiga yaitu kewenangan umum

Notaris, kewenangan khusus Notaris dan kewenangan Notaris yang akan

ditentukan kemudian.17

Kewenangan umum Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat

(1), yakni:

“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lainyang ditetapkan oleh

undang-undang.”

Kewenangan khusus Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (2), yakni:

“Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris

berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

17Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia

Cerdas, Jakarta, hlm.94.

15

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;

f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat Akta risalah lelang.”

Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian diatur dalam Pasal 15

ayat (3) bahwa “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.” Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah

peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah

bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang

dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka peraturan

perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan

bukan di bawah undang-undang.

Berikutnya mengenai kewajiban Notaris ini diatur secara lengkap dalam

Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN-P yang menegaskan bahwa :

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:

a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan

menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari Protokol Notaris;

c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta

Akta;

d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta

berdasarkan Minuta Akta;

e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang

memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta

16

tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi

lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan

tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak

diterimanya surat berharga;

i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan

waktu pembuatan Akta setiap bulan;

j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau

daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan

berikutnya;

k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada

setiap akhir bulan;

l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik

Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,

dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

m. Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling

sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk

pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat

itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan

n. Menerima magang calon Notaris.

(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in

originali.

(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

b. Akta penawaran pembayaran tunai;

c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat

berharga;

d. Akta kuasa;

e. Akta keterangan kepemilikan; dan

f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Uraian dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a diatas disebutkan bahwa seorang

Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan

hal yang penting karena jika seorang Notaris bertindak dengan ketidakjujuran

makan akan banyak kejadian yang akan merugikan klien bahkan akan

menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris tersebut, dan keseksamaan

17

bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang

Notaris.18

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis penelitian

Dalam pelaksanaan penulisan penelitian ini, penulis menggunakan jenis

penelitian yuridis normatif. Dipilihnya jenis penelitian yuridis normatif karena

penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya

dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori – teori hukum kemudian dikaitkan

dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dalam praktek hukum.19

1.8.2 Jenis pendekatan

Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan

(Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and

Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang

akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema

sentral dalam penelitian ini.20

Selanjutnya dilanjutkan dengan menganalisis

permasalahan yang ada sesuai dengan konsep – konsep hukum yang ada.

1.8.3 Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

menggunakan tiga bahan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier.

18Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa, Sukses, Jakarta, hlm.41.

19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat,Edisi I, Cet ke-V, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.13.

20

Ibrahim dan Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, hlm.302.

18

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer terdiri atas asas-asas, kaidah hukum yang dalam

perwujudannya berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,

keputusan tata usaha negara dan hukum tidak tertulis yang berkaitan dengan

notaris dan akta yang bersifat mengikat. Adapun sumber-sumber bahan hukum

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri atas literatur-

literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum

(buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender

leer), pendapat para sarjana, jurnal-jurnal atau karya tulis hukum yang berkaitan

dengan topik penelitian maupun literatur non hukum, dan artikel-artikel yang

diperoleh dari internet.

3) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang mendukung bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan

19

pengertian atas bahan hukum lainnya.21

Bahan hukum yang dipergunakan oleh

penulis seperti: kamus besar bahasa Indonesia, kamus istilah komputer,

ensiklopedia hukum dan internet.

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan faktor penting dalam

menentukan keberhasilan dari penulisan penelitian ini, kerena jenis penelitian

yang digunakan adalah yuridis normatif. Dalam penulisan penelitian ini penulis

menggunakan teknik studi kepustakaan, yang mana dengan metode ini penulis

mencari, mempelajari dan memahami berbagai pendapat, teori dan konsepsi yang

berhubungan dengan pokok permasalahan yang didapatkan dari literatur-literatur

yang tersedia serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pemalsuan tandatangan akta oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.

Bahan hukum yang relevan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system), yang

kemudian kartu ini disusun berdasarkan pokok bahasan untuk memudahkan

analisis dan pada kartu dicatat konsep-konsep yang berkaitan dengan

permasalahan atau isu hukum pada tulisan ini.22

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif

analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode sistematis, metode

interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah

21Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

hlm.93.

22

Winarno Surachman, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, Tarsito,

Bandung, hlm.257.

20

penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan

menjawab permasalahan.

Metode evaluatif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan informasi

tentang apa yang terjadi yang merupakan kondisi nyata mengenai keterlaksanaan

rencana yang memerlukan evaluasi.

Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan

sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem

yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian

sebab akibat menyangkut obyeknya.

Metode interprestatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-

undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau

dengan keseluruhan sistem hukum. Karena suatu undang-undang pada hakikatnya

merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku

sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat

dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Metode argumentatif adalah alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan

secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau

menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum,

norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta system hukum dan penemuan

hukum yang berkaitan dengan obyeknya.

21