BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id. BAB 1... · hukum merupakan suatu conditio...

26
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar negara-negara modern di seluruh dunia saat ini telah menyatakan diri sebagai negara hukum. Gagasan negara hukum secara umum dapat diartikan bahwa segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara (penyelenggaraan negara) harus didasarkan atas aturan-aturan atau hukum. Sejak lahirnya hingga sekarang, gagasan negara hukum terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan dalam bentuk konsep-konsep, diantaranya konsep negara hukum liberal, konsep negara hukum formal, konsep negara hukum materiil, konsep negara hukum menurut Al-Qur’an dan Sunah, konsep negara hukum rechtsstaat, konsep negara hukum rule of law, konsep negara hukum demokrasi (democratische rechtsstaat) dan konsep negara hukum modern atau negara hukum kesejahteraan (welvaarsstaat/welfarestate). 1 Konsep negara hukum menjadi suatu kebutuhan “primer” bagi negara- negara modern untuk mencapai tujuan ketertiban dan keteraturan. Konsep negara hukum merupakan suatu conditio sine qua non dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Pembatasan kekuasaan terhadap penguasa menjadi salah satu latar belakang mengapa konsep negara hukum itu sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Semangat membatasi kekuasaan penguasa ini semakin kuat setelah lahirnya adagium yang begitu populer dari Lord 1. Ni’matul Huda, 2012, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 90-104.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id. BAB 1... · hukum merupakan suatu conditio...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar negara-negara modern di seluruh dunia saat ini telah

menyatakan diri sebagai negara hukum. Gagasan negara hukum secara umum

dapat diartikan bahwa segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara

(penyelenggaraan negara) harus didasarkan atas aturan-aturan atau hukum. Sejak

lahirnya hingga sekarang, gagasan negara hukum terus mengalami perkembangan

dan penyempurnaan dalam bentuk konsep-konsep, diantaranya konsep negara

hukum liberal, konsep negara hukum formal, konsep negara hukum materiil,

konsep negara hukum menurut Al-Qur’an dan Sunah, konsep negara hukum

rechtsstaat, konsep negara hukum rule of law, konsep negara hukum demokrasi

(democratische rechtsstaat) dan konsep negara hukum modern atau negara hukum

kesejahteraan (welvaarsstaat/welfarestate).1

Konsep negara hukum menjadi suatu kebutuhan “primer” bagi negara-

negara modern untuk mencapai tujuan ketertiban dan keteraturan. Konsep negara

hukum merupakan suatu conditio sine qua non dalam penyelenggaraan negara dan

penyelenggaraan pemerintahan. Pembatasan kekuasaan terhadap penguasa

menjadi salah satu latar belakang mengapa konsep negara hukum itu sangat

penting. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu warga negara

dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Semangat membatasi kekuasaan

penguasa ini semakin kuat setelah lahirnya adagium yang begitu populer dari Lord

1.

Ni’matul Huda, 2012, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 90-104.

2

Acton, yakni “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”,

(manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan

kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan

disalahgunakan).2

Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini didasarkan pada

ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), menyatakan bahwa

“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Hamid S. Attamimi, bahwa

Negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai

negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat.3 Bahkan konsep negara

hukum Indonesia juga tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan

(welfarestate). Negara Indonesia tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan

sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945

yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan nasional negara Indonesia, yakni

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial.

Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, tugas pemerintah (eksekutif)

tidak semata-mata hanya bergelut di bidang pemerintahan saja atau untuk

menjalankan undang-undang, tetapi negara juga turut campur tangan dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari dalam batas-batas yang diperkenankan oleh

2. Ridwan HR., 2014, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta,

h. 5. 3. Ibid, h. 18.

3

hukum. Pemerintah juga dibebani kewajiban untuk mengupayakan kesejateraan

umum (bestuurzorg) atau kesejahteraan sosial.4 E. Utrecht menambahkan bahwa

sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, maka

sejak itu pula lapangan pekerjaan pemerintahan makin lama makin luas.5 Bidang

kehidupan tersebut yaitu bidang politik, ekonomi, sosial budaya (kehidupan

keluarga, perkawinan, organisasi kemasyarakatan dan pendidikan), kehidupan

beragama, dan bidang teknologi. Dengan perkataan lain, bahwa tugas pemerintah

tidak hanya terbatas melaksanakan undang-undang.

Untuk melaksanakan tugas-tugas dan kewajibannya, pemerintah

malakukan tindakan-tindakan yang disebut dengan tindakan pemerintah

(bestuurshandeling).6 Secara teoritis, terdapat dua bentuk tindakan pemerintah,

yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan

fakta/nyata atau bukan berdasarkan hukum (feitelijkhandeling).7 Sebagai

aktualisasi dianutnya konsep negara hukum, maka semua campur tangan

pemerintah dalam kehidupan masyarakat tersebut diberikan bentuk hukum demi

memberikan kepastian hukum kepada semua pihak.

Hal terpenting bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas

pemerintahan ialah terletak pada ada atau tidaknya wewenang untuk bertindak.

Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) merupakan unsur utama dalam setiap

penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Wewenang pemerintahan

(bestuurbevoegdheid) bersumber pada peraturan perundang-undangan. Setiap

4. Ibid, h. 133.

5. Ibid, h. 15

6. Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Edisi II, LaksBang,

Yogyakarta, h. 84. 7. Ibid.

4

penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yakni keabsahan

tindakan pemerintah berdasarkan atas wewenang atau kewenangan yang diberikan

oleh peraturan perundang-undangan atau asas legalitas (legalitiet beginsel). Asas

legalitas sangat erat kaitannya dengan gagasan negara hukum, terutama konsep

negara hukum rechtstaat yang dianut oleh negara-negara sistem Eropa

Kontinental (civil law system). Asas legalitas dalam Hukum Administrasi Negara

mengandung makna bahwa pemerintah tunduk pada undang-undang, dan semua

yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang.8 Secara lebih

sederhana dapat dipahami bahwa setiap tindakan pemerintah harus mempunyai

dasar hukum sebagai landasan wewenang bertindak yakni berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur).

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, tindakan pemerintah yang

paling banyak digunakan dalam hal pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan ini

adalah dalam bentuk penetapan9 atau Keputusan Tata Usaha Negara

(beschikking).10

Menurut H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking

merupakan keputusan pemerintahan yang bersifat konkret dan individual (tidak

ditujukan untuk umum) dan sejak dulu dijadikan instrumen yuridis pemerintahan

yang utama.11

Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN)

merupakan tindakan pemerintah yang bersifat sepihak atau bersegi satu dalam

8. Ridwan HR, op.cit, h. 82.

9. S. Prajudi Atmosudirdjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cet. X, Ghalia Indonesia,

Jakarta, h. 94. 10.

Sadjijono, op.cit, h. 90. 11.

Ridwan HR., op.cit, h. 141, dikutip dari H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1995,

Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, s’Gravenhage, h. 202.

5

ranah hukum publik (eenzijdige publiekrechtelijke handeling).12

KTUN

merupakan salah satu instrumen yuridis dari tindakan pemerintah yang memiliki

konsekuensi menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Akibat hukum yang

dimaksud yang lahir dari suatu KTUN adalah muncul dan lenyapnya hak,

kewajiban, dan kewenangan atau status tertentu.

Penerbitan KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata

Usaha Negara) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya untuk menjalankan

fungsi pemerintahan (eksekutif). Hal senada juga dikemukakan oleh W.B Lane

dan Simon Young bahwa, “Essentially however, decision of government bodies

and officials exercising statutory power in pursuit of executive function of

government”.13

Dalam praktik pemerintahan di Indonesia bentuk Keputusan Tata

Usaha Negara sangat beraneka ragam, misalnya sertifikat hak milik atas tanah,

surat keputusan pengangkatan atau pemberhentian pegawai, surat perintah

pembongkaran bangunan, penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin

usaha perdagangan (SIUP), dan sebagainya.14

Oleh F.A.M. Stroink dan J.G.

Steenbeek menganggapnya (beschikking) sebagai konsep inti dari Hukum

Administrasi Negara (een kernbegrip in het administratief recht).15

Sebagian

besar bidang kehidupan masyarakat telah diatur oleh pemerintah melalui

penetapan KTUN.

12.

Sadjijono, op.cit, h. 86. 13.

W. B Lane dan Simon Young, 2007, Administrative Law in Australia, Lawbook Co.,

New South Wales, h. 73. 14.

Philipus M. Hadjon et. al., 2011, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia

(Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cet. XI, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, h. 125. 15.

Ridwan HR., op.cit, h. 141, dikutip dari F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, 1985,

Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den

Rijn, h. 17.

6

Sejalan dengan pendapat H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dan

pendapat F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, bahwa KTUN memegang peranan

yang sangat vital dalam lalu lintas penyelenggaran pemerintahan untuk mengatur

hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara pemerintah (penguasa) dan

masyarakat (warga negara) dalam bingkai Hukum Administrasi Negara (hukum

publik), terutama ketika menghadapi peristiwa konkret dan bersifat individual.

KTUN digunakan untuk melengkapi keterbatasan dari undang-undang (regeling)

yang tidak mampu menjangkau pengaturan sampai pada peristiwa konkret dan

individual yang disebabkan karena perubahan dan kebutuhan masyarakat yang

begitu cepat.

Sejarah mencatat bahwa pembentukan hukum sebelumnya dilakukan

melalui suatu kodifikasi. A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa untuk

menghadapi perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin

cepat, sudah bukan saatnya untuk membentuk hukum melalui kodifikasi sebab hal

ini menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan bukan tidak mungkin

selalu ketinggalan zaman.16

Maka dari itu dibentuklah hukum dalam bentuk

undang-undang yang notabene mekanisme pembentukannya lebih mudah dan

lebih cepat dibandingkan dengan bentuk kodifikasi.

Secara prinsip, undang-undang merupakan produk hukum yang bersifat

pengaturan (regeling) dan memiliki norma yang bersifat umum-abstrak

(algemeen-abstract). Sehingga, ketika menghadapi peristiwa konkret, norma yang

16.

Maria Farida Indrati S., 2013, Ilmu Perundang – undangan 1 (Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan), Cet. XVI, Kasinius, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Maria I), h. 3, dikutip

dari A. Hamid S. Attamimi, “Kodifikasi Sebabkan Hukum Selalu Berjalan di Belakang”, Kompas,

17 Februari 1988, h. XII.

7

bersifat umum-abstrak tersebut membutuhkan istrumen yuridis yang bersifat

individual-konkret (individueel-concreet). 17

Oleh karena itulah diperlukan produk

hukum dalam bentuk KTUN untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan

dengan peristiwa yang bersifat konkret dan individual tersebut.

Seiring dengan adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari mengakibatkan masyarakat semakin lama semakin sangat

tergantung dengan keberadaan KTUN tersebut. Mengingat pendapat dari E.

Utrecht, maka semakin lama semakin luas lapangan pekerjaan pemerintahan yang

berakibat semakin banyak pula urusan yang diikat oleh suatu persetujuan

pemerintah melalui penetapan KTUN.

Penetapan suatu KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan

(Tata Usaha Negara) dalam jangka waktu atau batas waktu sebagaimana

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Adanya penentuan batas waktu

secara normatif ini bertujuan untuk memberikan kepastian kepada semua pihak,

baik pemohon maupun badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara)

yang bersangkutan. Pemohon yang merasa kepentingannya dirugikan atas

dikeluarkannya suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan

Tata Usaha Negara yang berwenang agar KTUN yang disengketakan tersebut

dinyatakan batal atau tidak sah sesuai dengan mekanisme sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

17.

Ridwan HR., op.cit, h. 136.

8

Tata Usaha Negara dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN).

Badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang tidak

menetapakan KTUN yang dimohon sedangkan batas waktu penetapan

sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan telah lewat,

berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU PTUN, maka badan atau pejabat

pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang berwenang dianggap menolak

menetapkan permohonan KTUN yang dimaksud. Badan atau pejabat

pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang menolak menetapkan KTUN disamakan

dengan suatu KTUN (Pasal 3 ayat (1) UU PTUN).

Sedangkan dalam hal peraturan perundang-undangan tidak menentukan

batas waktu penetapan, Pasal 3 ayat (3) UU PTUN menyebutkan bahwa : “Dalam

hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka

waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu

empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”

Ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN mengandung arti, bahwa apabila

peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu penetapan, maka

badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) memilki batas waktu

selama 4 bulan sejak diterimanya permohonan untuk menetapkan KTUN yang

dimohon. Namun, apabila telah lewat waktu 4 bulan tidak juga menetapkan

KTUN yang dimohon maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha

9

Negara) yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan

terhadap permohonan KTUN tersebut. Dalam berbagai literatur, KTUN

sebagaimana diuraikan di atas disebut sebagai KTUN “fiktif negatif”.

Namun, ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN tersebut tampaknya

kontradiktif dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU

Administrasi Pemerintahan). Dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Administrasi

Pemerintahan menyatakan bahwa:

Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas

waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan

Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari

kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (3) UU Administrasi

Pemerintahan menentukan bahwa: “Apabila dalam batas waktu sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan

dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut

dianggap dikabulkan secara hukum.”

Ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan

mengandung arti bahwa jika peraturan perundang – perundang tidak menetapakan

batas waktu penetapan suatu KTUN, maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata

Usaha Negara) dalam jangka waktu atau batas waktu paling lama 10 (sepuluh)

hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap wajib menetapakan

KTUN yang dimohon. Namun, apabila telah lewat waktu 10 hari kerja tidak juga

menetapkan KTUN yang dimohon maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata

10

Usaha Negara) yang bersangkutan dianggap mengabulkan permohonan penetapan

KTUN yang diajukan oleh pemohon (fiktif-positif).

Dengan demikian keberadaan kententuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan

ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan menunjukkan

bahwa telah terjadi pertentangan norma atau norma yang konflik (conflict of

norm, geschijld van normen) antara kedua undang-undang tersebut. Pertentangan

norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan keragu-raguan dalam

penerapannya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas disertai dengan alasan-

alasan yang ada, maka penulisan skripsi ini mengambil judul “Pengaturan

Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang Batas Waktu

Penetapannya Tidak Ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, penulis mengangkat

beberapa permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan penetapan KTUN yang batas waktu

penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam

hukum positif Indonesia?

2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan

pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan

ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan?

11

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah perlu ditentukan secara tegas

batasan materi yang dibahas dalam tulisan agar pembahasan yang diuraikan

nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang

diinginkan. Hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari

pokok permasalahan. Adapun ruang lingkup masalah atau pembatasan dalam

penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan penetapan KTUN

yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia, dalam hal ini

dibatasi pada tataran undang-undang (dalam arti formal).

2. Kedua akan dibahas mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan untuk

menyelesaikan pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU

PTUN dan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi

Pemerintahan.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut:

a. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan

secara ilmiah terkait pengembangan hukum administrasi negara dan juga terkait

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia melalui penetapan Keputusan Tata

Usaha Negara (KTUN).

12

b. Tujuan Khusus

Terdapat beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan

hukum ini, yakni:

1. Untuk mengetahui pengaturan terkait penetapan KTUN yang batas waktu

penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perudang-undangan dalam

hukum positif Indonesia.

2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan

pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal

53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan.

1.5 Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum administrasi

negara, khususnya pemahaman mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik agar antara peraturan

perundangan-undangan yang satu dengan yang lainnya tidak saling bertentangan

(conflict of norm, geschijld van normen), terdapat kekosongan norma (vacuum of

norm, leemeten van normen) bahkan juga terjadi norma yang tumpang tindih

sehingga menimbulkan kekaburan norma (vague van normen) yang dalam

penerapannya dapat menimbulkan berbagai interpretasi.

13

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan

solusi konkret kepada pihak-pihak terkait penetapan suatu KTUN terutama bagi

badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dalam penyelenggaraan

pemerintahan, khususnya terkait penetapan KTUN yang batas waktu

penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Penulisan ini

juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat terkait

pengajuan permohonan penetapan KTUN. Selain itu, penulisan ini diharapkan

dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang nantinya

agar dapat membentuk undang-undang yang baik, sitematis dan tidak

menimbulkan berbagai interpretasi.

1.6 Landasan Teoritis

a. Konsep Wewenang

Wewenang menurut S.F. Marbun mengandung arti kemampuan untuk

melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan

bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan

hubungan-hubungan hukum.18

Sedangkan menurut H.D. Stout yang dikutip oleh

Ridwan H.R., wewenang adalah “het geheel van rechten en plichten dat hetzij

explixiet door de wetgever aan publiekrechtelijke rechtssubjecten is toegekend”

(keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit diberikan oleh pembuat

18.

Sadjijono, op. cit, h. 57 dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan

Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, h. 154-155

14

undang-undang kepada subjek hukum publik). 19

Wewenang (bevoegheid)

merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi,

karena pemerintah baru dapat melaksanakan fungsinya atas dasar wewenang yang

diperolehnya. Wewenang menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindak

pemerintahan. Kebasahan tindakan pemerintah didasarkan pada wewenang yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan atau wewenang yang diperoleh dari

peraturan perundang-undangan (legalitiet beginsel).20

Wewenang (bevoegheid) merupakan dasar bagi pemerintah untuk

melakukan perbuatan hukum publik yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt).

Sedangkan dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat bagi pemerintah ialah

adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) yang berkaitan dengan kedudukan

pemerintah sebagai subyek hukum (badan hukum).21

Dalam berbagai kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat

wewenang pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni :

a) Wewenang pemerintahan bersifat terikat, berarti bahwa wewenang

harus sesuai dengan peraturan dasarnya yang menentukan waktu dan

dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan,

termasuk ketentuan isi dan keputusan yang harus diambil, dengan kata

lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan

yang harus diambil secara terinci, maka wewenang pemerintahan

semacam itu merupakan wewenang yang terikat;

b) Wewenang pemerintahan yang bersifat fakultatif, berarti bahwa

wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara

yang bersangkutan tidak wajib atau tidak ada keharusan untuk

menggunakan wewenang tersebut atau sedikit banyak masih ada pilihan

lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal-hal dan

keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya;

c) Wewenang pemerintahan yang bersifat bebas, berarti bahwa wewenang

yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat

19.

Ridwan H.R. op. cit, h. 98. 20.

Sadjijono, op. cit, h. 56. 21.

Philipus M. Hadjon, op. cit, h. 139-140.

15

menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri

mengenai isi dari suatu keputusan yang akan dikeluarkannya karena

peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenang

tersebut atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan

kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. 22

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge dalam wewenang yang bersifat

bebas ini dibagi dalam dua kategori, yakni:

kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian

(beoordelingsvrijheid). Kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi

dalam arti sempit) yakni apabila peraturan perundang-undangan

memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan namun

organ pemerintahan tersebut bebas untuk (tidak) menggunakan

wewenang yang diberikan tersebut meskipun syarat-syarat

penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian

(wewenang diskresi yang tidak sesungguhnya ada), yakni wewenang

menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai

secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi penggunaanya

secara sah telah dipenuhi. 23

Beranjak dari penjelasan tersebut di atas, Philipus M. Hadjon kemudian

menyimpulkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi,

yakni:24

1) kewenangan untuk memutus secara mandiri;

2) kewenangan interpretasi terhadap norma yang kabur (vague

norm).

Secara teoritis terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang

pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni atribusi, delegasi dan mandat.

Wewenang atribusi adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan

22.

Ridwan H.R., op. cit, h. 107. 23.

Sadjijono, op. cit, h. 60-61, dikutip dari Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut

Hukum (wet-en rechtmatigheid van bestuur), makalah tidak dipublikasikan, h. 4-5. 24.

Sadjijono, loc.cit.

16

perundang-undangan. Wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.25

Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh berdasarkan pelimpahan

wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi

merupakan pelimpahan dari wewenang atribusi yang diberikan oleh pemberi

wewenang (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris). Setelah terjadi

pelimpahan maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan bersifat tidak

dapat ditarik kembali oleh delegans.26

Wewenang mandat adalah pelimpahan

wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan dengan

bawahannya. Setelah terjadi pelimpahan kepada penerima mandat (mandataris),

tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat (mandans) dan sewaktu-waktu

dapat ditarik dan digunakan kembali oleh mandans.27

Ketiga cara dalam memperoleh wewenang ini sangat penting untuk

diketahui oleh setiap badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara)

sebelum melakukan tindakan atau mengeluarkan keputusan. Ketiga jenis

wewenang tersebut berkaitan dengan pertanggungjawaban apabila kelak timbul

sengketa yang disebabkan oleh tindakan atau keputusan dari badan atau pejabat

pemerintahan (Tata Usaha Negara).

b. Konsep Keputusan Tata Usaha Negara

Pada asasnya semua keputusan (pemerintahan) diambil atas dasar

permintaan melalui permohonan tertulis baik dilakukan oleh orang perseorangan

(naturlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon). Keputusan tanpa

25.

Sadjijono, op. cit, h. 66. 26.

Sadjijono, loc.cit. 27.

Sadjijono, loc.cit.

17

adanya (surat) permintaan adalah batal karena hukum.28

Keputusan Tata Usaha

Negara (KTUN) merupakan salah satu keputusan pemerintahan yang diambil atas

dasar permintaan.

Menurut S. Prajudi Atmosudirjo, keputusan-keputusan tersebut terikat

kepada tiga asas hukum, yakni :

1) asas yuridikitas (rechtmatigheid), artinya, keputusan pemeritahan

maupun administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechtmatige

overheidsdaad);

2) asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil

berdasarkan suatu ketentuan undang-undang;

3) asas diskresi (discretie, freies ermessen), artinya, pejabat penguasa

tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada

peraturannya”, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil

keputusan menurut pendapatnya asalkan tidak melanggar asas

yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas. Ada dua macam diskresi,

yaitu: “diskresi bebas” bilamana undang-undang hanya menentukan

batas-batasnya, dan “diskresi terikat” bilamana udang-undang

menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh

pejabat administrasi dianggap paling dekat.29

Keputusan yang diambil dalam suatu penetapan KTUN dapat bersifat

positif dan dapat bersifat negatif. Bersifat positif artinya permohonan penetapan

KTUN tersebut dikabulkan, sedangkan bersifat negatif artinya permohanan

penetapan KTUN tersebut ditolak. Pemohon yang permohonannya ditolak dapat

mengajukan kembali permohonannya setelah memperbaikai atau

menyempurnakan (substansi dan syarat) permohonannya itu.

c. Teori Tujuan Hukum

Menurut E. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan

larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya

ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu,

28.

S. Prajudi Atmosudirjo, op.cit, h.89. 29.

S. Prajudi Atmosudirjo, loc. cit.

18

pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh penguasa

itu.30

Ada hukum yang bersifat mengatur (fakultatif, aanvuilend recht) dan

bersifat memaksa (imperative, dwingend recht).31

Adapun tujuan hukum menurut para sarjana diantaranya adalah sebagai

berikut:

1) Menurut Subekti, tujuan hukum adalah untuk mengabdi pada tujuan

negara yang dalam pokoknya adalah untuk mendatangkan kemakmuran

dan kebahagiaan pada rakyatnya.

2) Menurut L.J. van Apeldoorn, tujuan hukum ialah mengatur pergaulan

hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.

3) Menurut teori etis, hukum bertujuan semata-mata menghedaki keadilan.

4) Menurut Geny, hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai

keadilan. Dan sebagai unsur daripada keadilan disebutkannya

“kepentingan daya guna dan kemanfaatan”.

5) Menurut teori utilities (Bentham), hukum bertujuan untuk mewujudkan

semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. 32

Sarjana lain juga memberikan pandangan mengenai tujuan hukum itu,

diantaranya :

1) Menrut J. van Kant, hukum bertujuan untuk menjaga kepentingan tiap-

tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.

2) Menurut Soedjono Dirdjosisworo, tujuan hukum adalah melindungi

individu dalam hubungannya dengan masyarakat, sehingga dengan

demikian dapat diharapkan terwujudnya keadaan aman, tertib, dan adil.

3) Menurut Roscoe Pound, hukum bertujuan untuk merekayasa

masyarakat (law as tool of social engineering). 33

Secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan hukum itu ialah untuk

memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.

30.

Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 3. 31.

Ibid, h. 36. 32.

J.B. Daliyo, et. al., 1994, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, cet. III,

Sinar Grafika, Jakarta, h. 40. 33.

C.S.T. Kansil, 1991, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, h. 40-44.

19

d. Asas Preferensi Hukum

Asas preferensi hukum merupakan asas yang berlaku dalam perundang-

undangan. Adapun asas-asas preferensi hukum tersebut yaitu: 34

1) Asas lex superior derogat legi inferiori, artinya undang-undang yang

lebih tinggi mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang lebih

rendah;

2) Asas lex specialis derogat legi generali, artinya undang-undang yang

bersifat khusus mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum;

3) Asas lex posteriori derogat legi priori, artinya undang-undang yang baru

mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang lama.

e. Tipe Penyelesaian Konflik Norma

Peraturan perundang-undangan memuat berbagai ketentuan norma hukum

di dalamnya. Seringkali terdapat pertentangan antara norma hukum yang satu

dengan norma hukum yang lainnya, baik pertentangan norma diantara peraturan

perundang-undangan (pertentangan vertikal dan pertentangan horizontal) maupun

pertentangan norma dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Maka perlu

ditetapkan norma yang mana yang harus diterapkan. Langkah yang ditempuh

adalah melalui penyelesaian konflik norma atau pertentangan norma.

Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, terdapat beberapa

tipe penyelsaian konflik norma atau pertentangan norma berkaitan dengan

penerapan asas preferensi hukum, yaitu :

34.

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-

Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press,

Denpasar, h. 187.

20

1) Pengingkaran (disavowal)

Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan

mempertahankan bahwa tidak terjadi konflik norma. Seringkali konflik

itu terjadi berkenaan dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis

atau konflik logika diintepretasi sebagai pragmatis. Tipe ini

beranggapan bahwa tidak terdapat konflik norma, meskipun dirasakan

bahwa sesungguhnya terdapat konflik norma.

2) Reinterpretasi (reinterpretation)

Dalam kaitan penerapan ketiga asas preferensi hukum harus dibedakan,

yang pertama adalah reinterpretasi yaitu dengan mengikuti asas-asas

preferensi hukum, menginterpretasi kembali norma yang utama dengan

cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua yakni menginterpretasi

norma preferensi, dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan

menyampingkan norma yang lain.

3) Pembatalan (invalidation)

Terdapat 2 macam pembatalan, yakni pembatalan abstrak formal dan

pembatalan praktikal. Pembatalan abstrak dan formal yaitu pembatalan

suatu norma yang dilaksnakan oleh suatu lembaga khusus, misalnya

pembatalan Peraturan Pemerintah ke bawah (dalam hierarki peraturan

perundang-undangan) dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan

pembatalan norma Undang-Undang (terhadap UUD NRI Tahun 1945)

dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatalan praktikal yaitu

pembatalan suatu norma dengan cara tidak melaksanakan norma

tersebut di dalam kasus konkrit.

4) Pemulihan (remedy)

Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan suatu ketentuan.

Misalnya dalam hal suatu norma yang unggul dalam arti overruled

norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti

membatalkan norma yang kalah, maka dengan cara memberikan

kompensasi. 35

1.7 Metode Penelitian

Skripsi merupakan salah satu karya ilmiah yang penulisannya didasarkan

pada metodelogi penelitian ilmiah dan menggunakan jenis-jenis pendekatan

tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut:

35.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi Hukum, cet. V,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 31-32.

21

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem hukum mengenai asas-asas,

norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian

serta doktrin (ajaran).36

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji memberikan

pendapat penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-

asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan

horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.37

Perlunya penelitian

normatif dilakukan dalam penulisan ini beranjak dari adanya pertentangan norma

atau norma yang konflik (conflict of norm, geschijld van normen) antara ketentuan

Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi

Pemerintahan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keragu-raguan

dalam penerapannya.

b. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan yang

dikembangkan, antara lain: 38

1. Pendekatan Kasus (the case approach),

2. Pendekatan Perundang-undangan (the statutory approach),

36.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34. 37.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif, Suatu

Tinjauan Singkat. Ed. I, Cet. XII, PT. Rajawali Pers, Jakarta. h. 12. 38.

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 75.

22

3. Pendekatan Fakta (the fact approach),

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual

approach),

5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach),

6. Pendekatan Sejarah (historical approach),

7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

Penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the

statutory approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and

conseptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach) digunakan

untuk menelaah aturan hukum terkait penetapan KTUN yang batas waktu

penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta akibat

hukumnya. Sedangkan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and

conseptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep yang

diterapkan dalam menyelesaikan pertentangan norma yang terjadi.

c. Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan sumber-sumber penelitian hukum normatif.

Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini yakni:

1) Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat

yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat

23

mengikat.39

Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini

adalah :

- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3344).

- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4359).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4380).

- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958).

39.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit, h. 34

24

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5079).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5234).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5601).

- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman

Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan

Guna Mendapat Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat

Pemerintahan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

1268).

2) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi buku-buku, literatur,

makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan

25

dengan permasalahan penelitian.40

Selain itu, bahan hukum yang diperoleh

melalui internet juga termasuk sebagai bahan hukum sekunder dengan

mencantumkan alamat situsnya.

3) Sumber bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar

bahasa Indonesia dan kamus hukum serta ensiklopedia hukum.41

Bahan hukum

tertier digunakan untuk melengkapi dan memberikan penjelasan terkait bahan

hukum primer dan sekunder yang dirasa masih kurang jelas.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan dalam

penulisan ini adalah teknik kepustakaan atau studi dokumen (study document).

Penelusuran bahan hukum dilakukan melalui proses membaca, mencatat dan

memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder secara sistematis sesuai dengan permasalahan

penelitian.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis

terhadap bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan

dalam penulisan ini, yaitu: 42

40.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta h.

141. 41.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum,

Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 119. 42.

Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit. h. 76-77.

26

1) Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum maupun

non-hukum. Teknik deskripsi digunakan untuk menganalisis dan

menggambarkan kondisi pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat

(3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi

Pemerintahan.

2) Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran hukum.

Teknik argumentasi digunakan dalam penulisan ini untuk menganalisis

kondisi pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN

dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan dan

menemukan penyelesainnya berdasarkan pada teori-teori yang terkait

melalui bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.