BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 4 Aksi ini semakin marak terjadi. Tercatat...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 4 Aksi ini semakin marak terjadi. Tercatat...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang semakin maju atau yang lebih kita kenal dengan
era globalisasi seperti sekarang ini ternyata mampu mengubah kehidupan manusia.
Dilihat dari berkembangnya ilmu teknologi dan informasi yang semakin pesat
nampaknya telah menghipnotis sebagian besar penduduk di muka bumi ini. Mereka
dengan mudah mendapatkan berbagai informasi yang diinginkan dengan cepat tanpa
membutuhkan waktu yang lama. Untuk berkomunikasi pun dengan mudahnya
mereka lakukan walaupun berada dalam tempat yang jauh. Kecanggihan alat
informasi dan komunikasi setidaknya dapat mempermudah pekerjaan manusia.
Banyak teknologi baru dengan berbagai inovasi bermunculan dengan harga yang
semakin murah dan mudah didapatkan masyarakat seperti ponsel pintar, laptop, tablet
yang semakin memudahkan masyarakat untuk saling berkomunikasi.
Perkembangan teknologi saat ini menyebabkan manusia sangat membutuhkan
segala jenis pelayanan teknologi tertutama dalam bidang telekomunikasi untuk
mempermudah setiap orang untuk bertelekomunikasi. Namun seringkali teknologi
tersebut disalahgunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menimbulkan
persoalan yang rumit.1.
1 Maskun, 2013,Kejahatan Siber Cybercrime : Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta, h.17
2
Akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi dan
informatika ini memberikan pelayanan dalam bentuk media baru dengan berbagai
kemudahan yang diberikan. Mulai dari hal yang kecil seperti tidak perlu lagi membeli
koran dipagi hari untuk membaca berita terkini, melalui media internet hal-hal terkini
yang ada didunia yang ingin diketahui cukup hanya sekali sentuhan ditambah lagi
tidak ada ruang batasan mengenai tempat dan waktu internet bias diakses dimana saja
tanpa perlu menghabiskan biaya yang banyak mulai dari kalangan masyarakat kelas
sosial atas hingga masyarakat kelas bawah dapat menikmati kemudahan yang
diberikan media internet ini.
Negara Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang sedang mengalami
perkembangan. Salah satu ciri perkembangan ini adalah dengan banyaknya program
pembangunan di berbagai bidang kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat. Perkembangan tersebut diatas misalnya dapat dilihat dari
perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi atau yang kita kenal dengan
istilah IPTEK, serta perkembangan di bidang informasi dan komunikasi yang sangat
pesat dan tidak terbendung, dewasa ini yang sudah tentu berdampak pada seluruh
aspek atau seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, tidaklah
berlebihan apabila dikatakan bahwa perkembangan yang salah satunya dicirikan
dengan banyaknya pembangunan senantiasa akan menimbulkan perubahan.2
2 Kristian dan Yopi Gunawan, 2013, Penyadapan Dalam Hukum Positif di Indonesia, Bandung,
h.1
3
Fenomena ini menunjukan bahwa kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial
yang membutuhkan satu sama lain dimana informasi inilah yang menjadi jembatan
penghubung antara satu dan lainnya yang memiliki keterkaitan seperti hubungan
keluarga, persahabatan hingga koneksi kerja dimana informasi berbentuk internet
yang memberikan banyak kemudahan. Maka manusia bergantung pada kemampuan
internet ,sehingga perkembangan teknologi informatika menjadi kebutuhan yang
setara dengan kebutuhan pokok manusia di era globalisasi saat ini.
Perkembangan dan kemajuan teknologi komputer dan telekomunikasi berupa
media internet sebagai salah satu penyebaran informasi dalam kehidupan sehari-hari
membawa dampak buruk berupa penyalahgunaan media internet sebagai salah satu
sarana untuk melakukan perbuatan memperoleh data identitas diri seperti user id dan
password dengan menggunakan teknik phising.
Phising atau Identity theft adalah tindakan memperoleh informasi pribadi
seperti User ID, PIN, nomor rekening, nomor kartu kredit Anda secara tidak sah
melalui e-mail palsu kepada seseorang atau suatu perusahaan atau suatu organisasi
dengan menyatakan bahwa pengirim adalah suatu entitas bisnis yang sah.3 Informasi
ini kemudian akan dimanfaatkan oleh pihak phiser untuk mengakses rekening,
melakukan penipuan kartu kredit atau memandu nasabah untuk melakukan transfer ke
rekening tertentu dengan iming-iming hadiah.
3 Sutan Remy Syahdeini, 2009, Kejahatan & Tindak Pidana Komputer, Grafiti, Jakarta, h. 63-64
4
Aksi ini semakin marak terjadi. Tercatat secara global, jumlah penipuan
bermodus phising selama Januari 2005 melonjak 42% dari bulan sebelumnya. Anti-
Phishing Working Group (APWG) dalam laporan bulanannya, mencatat ada 12.845 e-
mail baru dan unik serta 2.560 situs palsu dan Selama tahun 2014 Anti-Phishing
Working Group (APWG) dalam laporannya, mencatat ada 123.972 e-mail baru dan
unik serta 95.321 situs palsu yang digunakan sebagai sarana phishing dan diketahui
27.253 situs palsu diyakini dibuat oleh phiser.4 Selain terjadi peningkatan kuantitas,
kualitas seranganpun juga mengalami kenaikan. Artinya, situs-situs palsu itu
ditempatkan pada server yang tidak menggunakan protokol standar sehingga
terhindar dari pendeteksian. Teknik ini bisa saja dilakukan melalui vuln xss dengan
membuat halaman fake login atau login palsu.5
Kehadiran website palsu sebuah bank nasional pernah menjadi berita yang
cukup menjadi perhatian masyarakat karena telah banyak memakan korban. Kasus
phising yang pernah menjadi pembicaraaan itu adalah Klikbca.com tetapi situs ini
sekarang sudah tidak aktif, pada saat ramai terjadinya phising klikbca ini, Jika anda
masuk ke lima situs ( wwwklikbca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickbca.com dan
klikbac.com.), anda akan mendapatkan situs internet yang sama persis dengan situs
klikbca.com. Hanya saja saat melakukan login, anda tidak akan masuk ke fasilitas
internet banking BCA, namun akan tertera pesan "The page cannot be displayed".
4 antiphising.org, (cited 30 December 2015), Available from URL :
http://www.antiphishing.org/apwg-news-center/
5 Kiddo, 2010, Hacking Website, Media Kita, Jakarta, h.81
5
Fatalnya, dengan melakukan login di situs-situs itu, username dan PIN internet anda
akan terkirim pada sang pemilik situs. Jebakan website palsu menjadi penghambat
bank untuk memberikan fasilitas yang semakin baik kepada nasabahnya. Di satu sisi
bank memberikan kemudahan transaksi bagi nasabahnya cukup dengan internet
banking namun di sisi lainnya terdapat pihak jahat yang memanfaatkan kelengahan
nasabah untuk mengambil informasi penting nasabah seperti nomor pin rekening
tabungan di bank dengan menggunakan website palsu yang memiliki tampilan sama
persis dengan website bank yang aslinya.
Satu lagi contoh yang pernah terjadi dalam sebuah situs web game online
yaitu milik Gemscool.com yaitu untuk mendapatkan id atau user serta password
pemain game online lainnya dengan tujuan untuk mengambil item dalam game
tersebut maka beberapa oknum menggunakan teknik phising untuk menjerat korban
ke dalam web palsu tersebut. Berikut adalah contoh tampilan web asli Gemscool.com
dan web palsu nya :
Gambar 1. 1 Web Gemscool.com yang asli
6
Gambar 1. 2 Web Gemscool Palsu
Dalam negara-negara berkembang khususnya kepolisian sangat susah untuk
menanggulangi dan menangkal karena terbatasnya sumber daya manusia, sarana dan
prasarana teknologi yang dimiliki. Saat ini pemerintah belum menganggap kejahatan
komputer belum sebagai prioritas utama dalam penegakan kebijakan hukum
dibandingkan terorisme dan korupsi padahal pada dasarnya terorisme pun bisa
dimulai hanya cukup diam didepan komputer.
Kejahatan-kejahatan cyber seperti phising cukup meresahkan masyarakat pada
umumnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur hubungan-
hubungan hukum tentang kejahatan yang berkaitan dengan komputer yang
berkembang menjadai cyber crime atau dalam bahasa Indonesia disebut kejahatan
mayantara atau kejahatan dunia siber. Akan tetapi di Indonesia tidak ada peraturan
atau undang-undang yang mengatur tentang phising.
7
Di Indonesia sendiri setidaknya sudah terdapat UU No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ketentuan hukum yang mengatur tentang
phising (pencurian identitas) sampai saat ini belum diatur, akan tetapi beberapa
unsur-unsur perbuatan phising tersebut terdapat dalam beberapa pasal dalam beberapa
pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008,
yaitu Pasal 28 ayat 1 yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik, dan Pasal 35 yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengerusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang otentik.
Jika dilihat dari uraian diatas maka perbuatan phising ini dalam dimasukan
dalam kategori kekosongan norma. Kekosongan norma dapat diartikan sebagai “suatu
keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang
mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum
dalam hukum positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-
undang/peraturan Perundang-undangan”. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya
kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu
dapat terjadi ketidakpastian hukum atau ketidakpastian peraturan perundang-
undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum
(rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama belum
8
ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah yang
menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang
harus dipakai atau diterapkan.
Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk
mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi. Maka daripada itu perbuatan
mendapatkan data identitas diri menggunakan teknik phising perlu dikriminalisasi.
Melihat dari permasalahan di atas tentang tindak pidana phising, hal inilah
yang menjadi dasar pemikiran untuk mengangakat Skripsi dengan judul
“KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN MEMPEROLEH DATA
IDENTITAS DIRI DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PHISING”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka dalam skripsi ini
akan ditulis beberapa permasalahan yang dianggap perlu diketemukan
penyelesaiannya. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Hukum Positif di Indonesia mengatur perbuatan
memperoleh data identitas diri dengan menggunakan teknik phising?
2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan perbuatan memperoleh data identitas
diri dengan menggunakan teknik phising kedepannya dalam hukum positif
di Indonesia?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak terjadi suatu pembahasan yang berlebihan dan agar pembahasan
sesuai dengan rumusan masalah yang dibuat, maka perlu untuk memberikan batasan-
9
batasan terhadap permasalahan tersebut di atas. Terhadap permasalahan pertama akan
dibahas mengenai Hukum positif di Indonesia mengatur perbuatan memperoleh data
identitas diri dengan menggunakan tekning phising.
Dengan melihat rumusan permasalahan yang di angkat sebelumnya, maka
penulis menaruh suatu objek kajian dalam penulisan karya tulis ini yaitu akan
membahas bagaimana kriminalisasi tentang perbuatan memperoleh data identitas diri
dengan menggunakan tekning phising. Dimana kita ketahui tidak ada peraturan
khusus yang mengatur tentang perbuatan memperoleh data identitas diri
menggunakan phising tersebut.
1.4. Orisinalitas
Skripsi ini merupakan karya tulis asli penulis, sehingga skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan penulis sangat terbuka atas
saran dan kririk yang membangun bagi penyempurnaannya. Untuk memperlihatkan
orisinalitas dari skripsi ini, maka dapat dibandingkan dengan skripsi-skripsi yang
pernah ada sebelumnya. Adapun skripsi-skripsi sebelumnya yang menyangkut
tentang kebijakan hukum pidana dan/atau kejahatan terhadap data identitas diri
adalah sebagai berikut.
1. Skripsi dengan judul “PENENTUAN TEMPUS DAN LOCUS DELICTI
DALAM KEJAHATAN CYBER CRIME (Studi Kasus Reskrimsus Polda
10
Jateng)”, ditulis oleh Martini Puji Astuti tahun 2013 dari Universitas Negeri
Semarang, dengan rumusan masalahnya adalah :
1) Bagaimanakah penentuan tempus dan locus delicti dalam kejahatan
cyber crime?
2) Bagaimanakah pengaturan kewenangan pengadilan yang berhak
mengadili kasus cyber crime?
2. Skripsi dengan judul “KEJAHATAN PEMBOBOLAN WEBSITE
(CRACKING) DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK” ditulis oleh Alberth M. Rumahorbo tahun 2010 dari
Universitas Sumatera Utara, dengan rumusan masalahnya adalah :
1) Bagaimana kejahatan pembobolan website sebagai bentuk kejahatan di
bidang informasi dan transaksi elektronik?
2) Apa faktor penyebab dan modus kejahatan pembobolan website?
Bertolak dari beberapa skripsi diatas, maka dapat dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penulis menekankan kepada kekosongan
norma sehingga perbuatan pencurian identitas harus diatur kedepannya dalam hukum
positif di Indonesia (Ius Constituendum).
Sehingga dapat dilihat dan dibandingkan, bahwa 2 skripsi yang disebutkan diatas
berbeda penulisannya dari karya tulis yang dibuat oleh penulis (baik dilihat dari
judul, fokus penelitian, dan rumusan masalah).
11
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus.
1.5.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah yakni untuk mengetahui
perkembangan hukum di Indonesia dan menambah pengetahuan hukum pidana
mengenai kriminalisasi perbuatan yang memperoleh data sensitif menggunakan
teknik phising dalam RUU KUHP Pidana.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan terhadap pencurian identitas diri
menggunakan teknik phising dalam hukum positif di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana sebaiknya kedepannya pengaturan perbuatan
memperoleh data identitas diri dengan menggunakan teknik phising dalam
hukum positif di Indonesia.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat
praktis, yaitu:
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya
pemahaman teoritis mengenai konsep perumusan tentang perbuatan memperoleh data
12
identitas diri menggunakan teknik phising dalam RUU-KUHP. Adapun manfaat
teoritis dari penelitian ini adalah penulis dapat memperoleh pencerahan mengenai
permasalahan yang penulis hadapi sehingga menjadi dasar pemikiran yang teoritis
bahwa suatu RUU-KUHP perlu dikaji dalam perumusan konsepnya agar penerapan
tersebut nantinya bisa memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi pembentuk undang-undang khususnya
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), sebagai badan legislatif pembuat undang-undang
di Indonesia terkait dengan RUU-KUHP mengenai perbuatan memperoleh data
identitas diri menggunakan teknik phising yang merupakan suatu hal yang baru
sebagai perbuatan pidana.
1.7 Landasan Teoritis
Pembahasan ini akan menjelaskan suatu landasan teoritis yang menjadi
landasan berpikir dan yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas
mengenai kriminalisasi perbuatan memperoleh data identitas diri dengan
menggunakan tekning phising.
Ungkapan klasik “ ubi societas ibi ius’’ hingga sekarang masih relevan untuk
menggambarkan hukum yang tidak sslepas dari kehidupan manusia. Bahwa
13
manusia hidup bermasyarakat membutuhkan peraturan-peraturan yang disebut
hukum, yaitu suatu norma yang mengatur perilaku hidup manusia.6
Indonesia adalah Negara hukum, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(selanjutnya
disebut UUD NRI Tahun 1945) merupakan suatu pedoman dasar yang menjadikan
hukum sebagai kaidah dalam berperilaku di masyarakat.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa hukum berlaku sebagai kaidah yang
merupakan patokan berprilaku atau sikap yang sepantasnya bagi masyarakat. Patokan
hukum tersebut memberikan pedoman, bagaimana seharusnya manusia
berperikelakuan atau bersikap tindak dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
terciptanya suatu keselarasan kehidupan dan kedamaian di dalam kehidupan
bermasyarakat.7 Berdasarkan penjelasan Soerjono Soekanto tersebut, maka dapat
diartikan bahwa Soerjono Soekanto memberikan pemahaman bahwa hukum di dalam
masyarakat memiliki tujuan yang jelas.
Hukum pidana dihubungkan dengan negara hukum berarti berbicara mengenai
asas legalitas, asas legalitas menjelaskan haruslah ada suatu perumusan undang-
undang yang tegas mengenai tindak pidana dan perbuatan pidana, yang menurut para
ahli terbentuk dari terjemahan kata “strafbarfeit”, dan setelah adanya perumusan
undang-undang yang tegas terhadap suatu tindak pidana, maka perlulah dipahami
6 Roni Wiyanto,2012, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Surakarta, h.1
7 Soerjono Soekanto, 1983, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung, h.40
14
mengenai asas “lex spesialis derogat legi generalis”yang artinya apabila suatu negara
di dalam suatu sengketa atau masalah memiliki dua undang-undang yang dapat
diterapkan, maka yang harus diterapkan adalah undang-undang yang secara khusus
mengatur perkara tersebut.8
Berikut beberapa teori yang akan digunakan untuk membahas rumusan masalah
diatas:
a. Teori Negara Hukum
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Djokosutomo
mengatakan, bahwa negara hukum menurut UUD 1945 adalah berdasarkan pada
kedaulatan hukum.9 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Oleh karena itu, negara tidak boleh
melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka,tetapi harus berdasarkan
pada hukum.
Secara teori, negara hukum (rechstaat) adalah negara bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan
8 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Peter Mahmud Marzuki I), h.260.
9 C.S.T Kansil dan Christine S.T., 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Pengertian
Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945
Hingga Kini), cetakan I, PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 86.
15
hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum
supaya jangan terganggu, dan agar semua berjalan menurut hukum.10
Seiring dengan perkembangan negara hukum itu sendiri, kini suatu
negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum asalkan memenuhi dua belas
prinsip, yakni:
1. Supremasi Hukum (supremacy of law);
2. Persamaan dalam Hukum (equality before The Law);
3. Asas legalitas (due process of law);
4. Pembatasan kekuasaan;
5. Organ-organ eksekutif independen;
6. Peradilan bebas dan tidak memihak;
7. Peradilan tata usaha negara;
8. Peradilan tata negara;
9. Perlindungan hak asasi manusia;
10. Bersifat demokratis (democratische rechtstaat);
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare
rechtstaat);
12. Transparansi dan kontrol sosial.11
10 Hans Kelsen, 2006, Teori Tentang Hukum dan Negara, cetakan I, Penerbit Nusamedia dan
Penerbit Nuansa, Bandung, h. 382.
11 Jimly Assiddhiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitualisme, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, h.124.
16
Utrecht dan Rachmat Soemitro memberikan dua macam asas yang
merupakan ciri negara hukum, yaitu asas legalitas dan asas perlindungan terhadap
kebebasan setiap orang dan terhadap hak-hak asasi manusia lainnya.12
Philipus M. Hadjon memberikan ciri-ciri negara hukum sebagai berikut:
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat;
2. Hubungan fungsional yang proposional di antara kekuasaan negara;
3. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, peradilan sarana
terakhir;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.13
Sejarah kelahiran, perkembangan, maupun pelaksanaannya di berbagai
negara, konsep negara hukum sangat dipengaruhi dan tidak dapat dipisahkan dari
asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi, serta asas konstitusional.14 Hukum yang
hendak ditegakkan dalam negara hukum agar hak-hak asasi warganya benar-benar
terlindungi hendaklah hukum yang benar dan adil, yaitu hukum yang bersumber
dari aspirasi rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang
dibuat secara konstitusional tertentu. Dengan demikian, elemen-elemen yang
penting dari sebuah negara hukum, yang merupakan ciri khas dan merupakan
syarat mutlak adalah:
12 E. Utrecht, 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan IX, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta, h. 305.
13 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih, Surabaya, h. 45.
14 Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, cetakan I, Penerbit Total Media,
Yogyakarta h. 44.
17
1. Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Asas legalitas;
3. Asas pembagian kekuasaan negara;
4. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak.15
5. Asas kedaulatan rakyat
6. Asas demokrasi, dan
7. Asas konstitusionalitas
Teori negara hukum menggambarkan bahwasanya Negara Hukum adalah
adanya kegiatan-kegiatan ketatanegaraan yang bertumpu pada keadilan.
b. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)
Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy)
merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas yang seluruhnya
merupakan bagian dari politik sosial, yaitu suatu usaha dari masyarakat atau
negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.16
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan
kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan
sosial” (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan
sosial dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.17 Sudarto
pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :
15 Ibid.
16 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h. 1.
17 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi
Arief I), h. 77.
18
a) Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode
yang menjadi dasar darireaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
b) Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c) Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen) ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-
badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dalam
masyarakat.
Menutut G. Peter Hoefnagels dalam bukunya Barda Nawawi Arief yang
berjudul “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru)” mendefinisikan kebijakan kriminal yakni :
1. Kebijakan kriminal adalah ilmu tanggapan (Criminal policy is the
science of responses);
2. Kebijakan kriminal adalah ilmu pencegahan kejahatan (Criminal
policy is the science of crime prevention);
3. Kebijakan kriminal adalah kebijakan menunjuk perilaku manusia
sebagai kejahatan (Criminal policy is a policy of designating human
behavior as crime);
4. Kebijakan kriminal adalah total rasional tanggapan terhadap kejahatan
(Criminal policy is a rational total of the responses to crime).18
dalam arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik
sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan “penal” dan “non penal”.19
Pelaksanaan kebijakan kriminal dengan demikian harus menunjang tujuan
kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan
18 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II),
h. 4
19Ibid, h.5-6
19
dengan pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal
untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan.
c. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal
(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana
yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy).20
Kebijakan Hukum Pidana (politik hukum pidana/penal policy) dikaji
konteks bagian dari politik hukum yang dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan
dan fungsi hukum dalam masyarakat. Politik hukum ini ditempatkan sebagai alat
yang bekerja dalam sistem sosial dan sistem hukum tertentu untuk mencapai suatu
tujuan masyarakat atau negara,21
20 Ibid, h.24.
21 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum:Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, ( Alumni,
Bandung ), h. 1-2
20
Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana
mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana
yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik,
dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.22
Menurut A. Mulder dalam bukunya Barda Nawawi Arief “Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum
pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah
atau diperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.23
Kebijakan hukum pidana jika dilihat dari kedua pengertian diatas pada
dasarnya adalah suatu usaha dalam penanggulangan kejahatan dengan
merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik atau memperbaharui
undang-undang yang telah ada agar dapat mencegah terjadinya tidak pidana yang
terjadi dalam masyarakat. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan
sarana penal dapat dilakukan dengan cara yang fungsionalisasi atau
operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu :
1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
22 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto
II), h. 153.
23 Barda Nawawi Arief II, op.cit.,h.23.
21
2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).24
Tahap Formulasi merupakan upaya dalam pencegahan dan
penanggulangan kejahatan yang bukan hanya tugas dari aparatur penegak hukum,
tetapi juga tugas dari aparatur pembuat hukum yakni badan legislatif sebagai
badan untuk kebijakan dalam bentuk perundang-undangan yang nantinya jika ada
kelemahan dapat menjadi penghambat dalam penangulangan tahap aplikasi dan
eksekusi.
d. Teori Pembaharuan Hukum Pidana (Penal Reform)
Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana.
Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang
dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya
pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi
dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.25 Makna
dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah :
a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan
- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
24 Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III),hal. 75
25Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 25
22
masalah sosial dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
- Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka
mengefektifkan penegakan hukum.
b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik,
sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.
Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai
dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja
dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP
Lama atau WvS).26
e. Konsep Tindak Pidana
Istilah tindak pidana hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari
terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Beberapa perkataan yang
digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara
lain yaitu tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai
perundang-undangan digunakan berbagai istilah, antara lain: peristiwa pidana,
perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam
dengan hukum, dan tindak pidana.27
Pengertian sederhana dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
26Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 26
27 Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 40-41.
23
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.28 Unsur-unsur
tindak pidana dalam rumusan pasal peraturan perundang-undangan terdiri atas
unsur subjektif dan unsur objektif. Lamintang dalam bukunya Leden Marpaung
yang berjudul “Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana” mengemukakan bahwa:
Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di
dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang
dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku
harus dilakukan.29
Menurut teori monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur
perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang
lazimnya dinamakan unsur subjektif. Teori dualistis sebaliknya ingin memisahkan
(mengeluarkan) schuld itu dari pengertian tindak pidana.30 Teori dualistis itu
sendiri adalah teori yang memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban
pidana.
1.8 Metode Penelitian
Didalam melakukan penelitian ilmiah, tentunya menggunakan metode-metode
ilmiah dalam penelitiannya. Demikian pula pada penelitian dan penulisan skripsi ini
dilakukan dengan metode ilmiah, yaitu:
28 Ibid.
29 Ledeng Marpaung, op.cit, h. 11.
30 Chairul Huda, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 9
24
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, kaidah-
kaidah atau norma-norma sebagai patokan berperilaku manusia yang dianggap
pantas.31 Penelitian terhadap asas-asas hukum merupakan suatu penelitian hukum
yang bertujuan untuk menemukan asas hukum atau doktrin hukum piositif yang
berlaku.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini digunakan jenis pendekatan perundang-undangan (the statue
approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical &conseptual approach)
dan pendekatan perbandingkan (comparative approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang phising dan ada atau tidaknya norma yang mengatur
tindak pidana phising. Pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk
memahami konsep-konsep aturan tentang dibuatnya perbuatan phising dalam RUU
KUHP.
Pendekatan perbandingan digunakan untuk kedalaman pengkajian dengan
membandingkan RUU KUHP di Indonesia dengan Undang-Undang di Amerika
31 H. Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.24
25
Serikat yaitu “Identity Theft Penalty Enchancement Act” karena Amerika serikat
yang mengatur perbuatan phising secara jelas.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :
1. Bahan hukum primer
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat
mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Sumber
bahan hukum primer yang digunakan yakni :
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- RUU-KUHP Nasional Tahun 2013
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
- Identity Theft Penalty Enchancement Act
2. Bahan hukum sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan
adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-
literatur hukum yang berupa buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli yang
berpengaruh (de hersender leer), pendapat para sarjana, maupun literatur non hukum
dan artikel atau berita yang diperoleh via internet.
26
3. Sumber bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa
Indonesia dan kamus hukum.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research). Telaah
kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu dengan cara
mengumpulkan beberapa buku-buku yang terkait dengan penelitian ini kemudian
mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan,
kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas
dalam penulisan skripsi ini.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan
berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik
deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya,
deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-
proposisi hukum atau non-hukum. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau
tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti
27
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik
yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
Pembahasan permsalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan
kedalaman penalaran hukum.Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari
kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan
perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.