BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I anggi_.pdfPada hakikatnya manusia ... (selanjutnya...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I anggi_.pdfPada hakikatnya manusia ... (selanjutnya...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia mempunyai berbagai kebutuhan yang harus
dipenuhi untuk melangsungkan kehidupannya. Kebutuhan manusia dapat
diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu:
(a) Kebutuhan ekonomi yang bersifat material, untuk kesehatan dan
keselamatan jasmani, seperti pakaian, makanan, perumahan.
(b) Kebutuhan psikhis yang bersifat immaterial, untuk kesehatan dan
keselamatan rohani, seperti pendidikan, hiburan, penghargaan, agama.
(c) Kebutuhan biologis yang bersifat seksual, untuk membentuk keluarga dan
kelangsungan hidup generasi secara turun-temurun, seperti perkawinan,
berumah tangga.
(d) Kebutuhan pekerjaan yang bersifat praktis, untuk mewujudkan ketiga jenis
kebutuhan di atas, seperti perusahaan, profesi. 1
Dari keempat jenis kebutuhan tersebut, kebutuhan akan pekerjaan merupakan
kebutuhan yang sangat kompleks karena tanpa adanya pekerjaan manusia tidak
akan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi, kebutuhan psikhis dan kebutuhan
biologis. Kebutuhan akan pekerjaan ini juga sangat penting untuk meningkatkan
harkat dan martabat serta kualitas diri manusia seutuhnya sebab pekerjaan
menentukan kredibilitas seseorang.
Hak atas pekerjaan merupakan hak setiap orang, hal ini sebagaimana yang
tertuang dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 27 ayat (2) yang menentukan
bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
1Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I), hlm. 4.
2
layak bagi kemanusiaan”. Selain itu dalam amandemen UUD 1945 Pasal 28 D ayat
(2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Dengan demikian,
dalam UUD 1945 menegaskan bahwa hak atas pekerjaan merupakan salah satu hak
asasi manusia yang tidak dapat diabaikan.
Bekerja dapat dilakukan dengan membuka usaha sendiri maupun bekerja
dengan orang lain. Bekerja pada orang lain dapat diartikan orang tersebut bekerja
di luar hubungan kerja (yang meliputi swapekerja/wiraswasta) dan mereka yang
bekerja di dalam hubungan kerja.2 Untuk mengatur agar hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan berjalan dengan harmonis dan sebagai
pelaksanaan UUD 1945 maka pemerintah berupaya membentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan di Indonesia yang
sekarang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU No. 13 Tahun 2003).
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah”. Dasar lahirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja adalah
perjanjian kerja. Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan
bahwa “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/atau buruh dengan
2Asri Wijayanti, 2014, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Cet. IV, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 4.
3
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak”.
Dewasa ini masalah mengenai ketenagakerjaan sangat kompleks dan
beragam. Hal tersebut dikarenakan kenyataan bahwa hubungan kerja antara
pengusaha/majikan dengan pekerja/buruh tidak selalu berjalan dengan harmonis.
Masalah ketenagakerjaan mengandung dimensi ekonomis, sosial kesejahteraan,
dan sosial politik.3 Salah satu masalah ketenagakerjaan yang sering terjadi hingga
saat ini adalah pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK).
Peristiwa pengakhiran hubungan kerja seringkali menimbulkan
permasalahan yang tidak mudah terselesaikan, baik mengenai pengakhiran
hubungan itu sendiri maupun utamanya akibat hukum dari pengakhiran hubungan
kerja.4 PHK merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadi khususnya bagi
pekerja/buruh, karena PHK itu akan memberikan dampak psycologis, economis-
financiil bagi pekerja/buruh dan keluarganya.5 Bagi setiap pekerja PHK merupakan
suatu keadaan yang membawa penderitaan. PHK mengakibatkan pekerja
kehilangan sumber penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari baik bagi dirinya maupun keluarganya.
PHK dapat terjadi pada perseorangan maupun dengan skala besar-besaran
(massal). Dalam Pasal 1 angka 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-
3Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 5.
4Edy Sutrisno Sidabatur, 2008, Pedoman Penyelesaian PHK (Prosedur PHK, Kompensasi
PHK, Akibat Hukum PHK, Contoh-contoh Kasus PHK Beserta Penghitungan Uang Pesangon,
Uang Penghargaan, dan Uang Penggantian Hak), Cet.II, Elpress, Tangerang, hlm. 2.
5F. X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, 1985, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan
Perburuhan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 88.
4
150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan
Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan
(selanjutnya disebut Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000) menentukan bahwa
“Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran (massal) adalah pemutusan
hubungan terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan
dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat
menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan
kerja secara besar-besaran”.
PHK merupakan salah satu jenis dari perselisihan hubungan industrial
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU No. 2
Tahun 2004). Perselisihan PHK dilatarbelakangi adanya tindakan pengusaha yang
melakukan PHK secara sepihak yang tidak sesuai dengan prosedur PHK
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Selain itu perselisihan PHK terjadi
karena adanya perbedaan pendapat mengenai alasan PHK yang berpengaruh
terhadap hak-hak normatif pekerja.
Tindakan pengusaha melakukan PHK secara sepihak dapat terjadi
dikarenakan 2 (dua) alasan yaitu pertama, PHK yang didasarkan pada alasan yang
terdapat pada diri pekerja/buruh dan kedua, PHK yang didasarkan pada alasan yang
terdapat pada diri pengusaha. PHK yang dilakukan oleh pengusaha karena alasan
pada diri pekerja dikarenakan terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh pekerja yang tidak dapat ditoleransi oleh pengusaha. Sedangkan PHK yang
5
dilakukan pengusaha karena alasan pada diri pengusaha disebabkan karena
perusahaan mengalami gangguan atau kesulitan sehingga perlu dilakukannya PHK.
Pada kenyataannya banyak terjadi kasus PHK yang dilakukan oleh
pengusaha secara sepihak kepada pekerja dikarenakan alasan yang terdapat pada
diri pengusaha. Perusahaan yang dijalankan oleh pengusaha tidak selalu berjalan
dengan baik, terkadang perusahaan mengalami masalah-masalah baik internal
maupun eksternal. Masalah-masalah tersebut tentu saja berdampak pada gangguan
operasional perusahaan. Akibat dari perusahaan yang mengalami gangguan
tersebut dapat menyebabkan pengusaha melakukan PHK sepihak terhadap para
pekerjanya. Namun demikian, dalam UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur alasan
PHK yang boleh dan tidak boleh dilakukan pengusaha. Dalam hal undang-undang
memperbolehkan alasan pengusaha melakukan PHK, maka alasan yang digunakan
tersebut harus dapat dibuktikan.
Salah satu kasus PHK yang dilakukan pengusaha secara sepihak terjadi pada
para pekerja dari PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional. Pada tanggal 20
Desember 2012 PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional melakukan PHK
kepada 63 (enam puluh tiga) orang pekerjanya dengan alasan bahwa perusahaan
telah berakhir operasionalnya sejak akhir Desember 2012 dan tidak mampu lagi
membayar pekerja. Tutupnya perusahaan dikarenakan adanya keadaan diluar
kemampuan perusahaan karena perusahaan ditutup paksa oleh ahli waris pemilik
hak sewa atas tanah dan bangunan tempat PT. Buana Agung Lestari Indah
Internasional berkantor. Selain itu pemilik atas tanah dan bangunan tempat PT.
Buana Agung Lestari Indah Internasional berkantor tidak ingin memperpanjang
6
lagi kontrak sewa menyewa tanah sehingga PT. Buana Agung Lestari Indah
Internasional melakukan PHK kepada pekerjanya dengan alasan keadaan memaksa
(force majeure).
Terhadap PHK yang dilakukan oleh pengusaha, maka pemerintah wajib
memberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum dari kekuasaan pengusaha
atau majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang
perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan seperti dalam perundang-
undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan
hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja tetapi juga diukur secara sosiologis
dan filosofis.6 Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka
penulis tertarik melakukan penelitian untuk penulisan skripsi dengan judul
“Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri
Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Adapun
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh
PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional terhadap pekerja secara
6 Zainal Asikin et.al. 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 5.
7
sepihak (studi kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)?
2. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam
perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh PT. Buana Agung Lestari
Indah Internasional secara sepihak (studi kasus Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:
05/PHI/2013/PN.DPS)?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ketenagakerjaan memiliki ruang lingkup pembahasan yang luas. Adapun
topik permasalahan yang telah dijelaskan diatas merupakan bagian dari materi
ketenagakerjaan khususnya mengenai perselisihan PHK. Dengan demikian agar
pembahasan topik permasalahan tersebut tidak meluas maka penulis akan
membatasi ruang lingkup masalah sesuai dengan judul yang diangkat yaitu
“Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:
05/PHI/2013/PN.DPS)”. Adapun pembatasan ruang lingkup masalah dalam
penulisan ini yaitu mengenai:
1. Mengenai penyelesaian perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari
Indah Internasional terhadap pekerja secara sepihak.
2. Mengenai pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam
perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional secara
sepihak.
8
1.4 Orisinalitas Penelitian
Penelitian hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
Dalam Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari
Indah Internasional (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)” merupakan hasil
karya asli penulis. Sejauh observasi yang penulis lakukan baik di ruang koleksi
skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun internet, tidak terdapat
penelitian yang sama yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan
baik di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga di suatu perguruan tinggi
manapun kecuali yang secara tertulis diacu dalam penulisan penelitian ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka. Untuk penelitian sejenis dengan penelitian yang
diajukan, dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel I
SKRIPSI JUDUL RUMUSAN MASALAH
Pande Putu Wisnu
Saputra,
0616051143,
Program Ekstensi
Fakultas Hukum,
Universitas
Udayana, 2010.
“Perlindungan
Hukum Pekerja
Terhadap PHK
Berkaitan Dengan
Adanya Akuisisi
Pada PT.BPR Puri
Asri Bhakti Karya”
1. Bagaimana pelaksanaan
perlindungan hukum pemutusan
hubungan kerja dalam berkaitan
adanya akuisasi pada PT. BPR
Puri Asri Bhakti Karya?
9
2. Hak-hak apakah yang telah
diberikan kepada pekerja yang di
PHK akibat adanya akuisasi?
Lina Sasmiati,
10340083,
Fakultas Syari’ah
dan Hukum,
Universitas Islam
Negeri Sunan
Kalijaga
Yogyakarta, 2014.
“Perlindungan
Hukum Terhadap
Karyawan Atas
Pemutusan
Hubungan Kerja di
PT. Jogja Tugu
Trans”
1. Apa saja hak-hak karyawan
yang tercantum dalam perjanjian
kerja jika karyawan mengalami
pemutusan hubungan kerja?
2. Bagaimana perlindungan hukum
terhadap karyawan atas
pemutusan hubungan kerja di
PT.Jogja Tugu Trans?
3. Apa upaya hukum yang
dilakukan karyawan atas
pemutusan hubungan kerja
terhadap PT. Jogja Tugu Trans?
Dari dua jenis penelitian diatas terdapat perbedaan substansi dengan
penelitian ini. Adapun letak perbedaan antara penelitian ini dengan kedua penelitian
di atas adalah pada permasalahan yang diteliti, dan pada lokasi penelitian sehingga
kajian dari penelitian ini dengan penelitian di atas akan berbeda.
1.5 Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah:
10
1. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan PHK oleh PT. Buana
Agung Lestari Indah Internasional terhadap pekerja secara sepihak.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja
dalam perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari Indah
Internasional secara sepihak.
b. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk memahami penyelesaian perselisihan PHK oleh PT. Buana
Agung Lestari Indah Internasional terhadap pekerja secara sepihak.
2. Untuk memahami pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja
dalam perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari Indah
Internasional secara sepihak.
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
1. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menambah wawasan
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum
khususnya dalam hukum ketenagakerjaan yang berkaitan dengan
penyelesaian perselisihan PHK dan perlindungan hukum dalam
perselisihan PHK.
2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan atau bahan hukum untuk
penelitian-penelitian selanjutnya khususnya bagi civitas akademika
Universitas Udayana.
11
b. Manfaat praktis
1. Diharapkan mahasiswa dapat mengimplementasikan teori-teori hukum
khususnya dalam hukum ketenagakerjaan ke dalam masalah nyata yang
ada dilapangan.
2. Diharapkan mahasiswa dapat membandingkan antara teori yang
didapatkan dengan praktek di lapangan hukum ketenagakerjaan
khususnya dalam penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap
pekerja dalam perselisihan PHK secara sepihak. Dengan
membandingkan antara teori dengan praktek diharapkan mahasiswa
dapat memecahkan masalah yang terjadi di lapangan.
3. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman
bagi mahasiswa maupun praktisi hukum dalam menyelesaikan
permasalahan yang sejenis.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan teoritis merupakan dasar pemikiran teoritis yang digunakan untuk
menjelaskan fenomena hukum yang sedang terjadi. Landasan teoritis dapat
memberikan petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada suatu pengetahuan
ilmiah.7
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
7 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm.12.
12
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.8 Sejalan dengan tujuan
pembangunan nasional maka untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja,
pemerintah menetapkan UU No. 13 Tahun 2003 untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja.
Menurut Dosen bagian hukum perdata Fakultas Hukum Universitas
Udayana I Nyoman Darmadha, yang dimaksud dengan perlindungan hukum tenaga
kerja adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap
hak-hak dari pekerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.9 Menurut
Soepomo perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi tiga macam yaitu perlindungan
ekonomis, perlindungan sosial dan perlindungan teknis.10 Dalam beberapa pasal
yang terdapat dalam UU No. 13 Tahun 2003 memuat aturan mengenai perlindungan
tenaga kerja diantaranya:
1. Dalam Pasal 4 huruf c menentukan bahwa salah satu tujuan
pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
2. Dalam Pasal 5 menentukan bahwa setiap tenaga kerja memiliki
kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan.
3. Dalam Pasal 6 menentukan bahwa setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
4. Dalam Pasal 86 ayat (1) menentukan bahwa setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan
kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat
dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
5. Dalam Pasal 88 ayat (1) menentukan bahwa setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
8Asri Wijayanti, op.cit. hlm.6.
9Made Dita Widyantari, 2015, “Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Pekerja Kedi di Lapangan Golf Bali Beach”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, hlm. 10.
10Zainal Asikin et.al, op.cit. hlm.76.
13
Adapun maksud dan tujuan dari ketentuan pasal-pasal tersebut adalah untuk
meningkatkan taraf kehidupan pekerja dan melindungi pekerja dari adanya
kesewenang-wenangan tindakan pengusaha.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan
bahwa “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”. Peraturan-peraturan yang
mengatur tentang ketenagakerjaan disebut dengan hukum ketenagakerjaan. Dahulu
hukum ketenagakerjaan disebut dengan hukum perburuhan atau dalam bahasa
Belanda disebut arbeidsrechts.
Menurut Abdul Khakim, hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum
yang mengatur mengenai hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya.11 Imam Soepomo memberikan
batasan pengertian hukum perburuhan sebagai suatu himpunan peraturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah.12
Berdasarkan pengertian tersebut, dalam hukum ketenagakerjaan mengatur
mengenai hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja. Adapun subjek hukum
dalam hubungan kerja adalah pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh.
Halim memberikan pengertian buruh/pegawai adalah:
1. Bekerja pada atau untuk majikan/perusahaan.
2. Imbalan kerjanya dibayar oleh majikan/perusahaan.
11Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Cet.II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 6.
12Imam Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hlm. 1.
14
3. Secara resmi terang-terangan dan kontinu mengadakan hubungan kerja
dengan majikan/perusahaan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk
jangka waktu tidak tertentu.13
Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003 memberikan definisi
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat”. Pengertian tenaga kerja ruang lingkupnya lebih luas
daripada pekerja atau buruh karena tenaga kerja dapat meliputi pegawai negeri,
karyawan swasta, buruh, maupun pengangguran. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3
UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa “Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pengertian
pemberi kerja dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003
menyatakan bahwa “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan
hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Dasar terbentuknya hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Tanpa adanya
perjanjian kerja maka antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja tidak
mempunyai ikatan kerja sah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata) tidak mengenal sebutan perjanjian melainkan
persetujuan (overeenkomst). Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan
bahwa “Persetujuan adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau lebih
13A. Ridwan Halim, 1990, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Cet II, Gahlia
Indonesia, Jakarta hlm.11.
15
mengikatkan diri pada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal”. Agar suatu
perjanjian dapat dikatakan sah maka antara pekerja dengan pengusaha harus
memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Hubungan kerja antara pengusaha/majikan dengan pekerja/buruh tidak
selalu berjalan dengan baik. Hubungan kerja yang tidak berjalan dengan baik dapat
terjadi dikarenakan adanya gangguan pada perusahaan sehingga tidak jarang
pengusaha/majikan harus melakukan PHK terhadap pekerja/buruhnya. Ketentuan
Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa “Pemutusan hubungan
kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha”.
PHK merupakan salah satu perselisihan hubungan industrial. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004
yang menentukan “Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.
Berdasarkan rumusan tersebut, terdapat empat jenis perselisihan hubungan
industrial yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa “Perselisihan
pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya
16
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak”. Dalam melakukan PHK, pengusaha wajib memperhatikan
ketentuan serta prosedur PHK yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengusaha tidak dapat melakukan PHK secara sepihak namun harus melalui
perundingan terlebih dahulu. Dalam ketentuan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003
menentukan bahwa:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya yang telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-
benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pengusaha dalam melakukan PHK terhadap pekerjanya harus
memperhatikan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003. Dalam ketentuan Pasal 153 UU
No. 13 Tahun 2003 telah menentukan alasan yang dilarang untuk pengusaha
melakukan PHK terhadap pekerjanya. Apabila pengusaha melakukan PHK dengan
alasan sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan tersebut maka PHK tersebut
batal demi hukum. Selain alasan yang dilarang, dalam UU No. 13 Tahun 2003
menentukan alasan-alasan yang diperbolehkan untuk pengusaha melakukan PHK
terhadap para pekerjanya. Salah satunya adalah dalam ketentuan Pasal 164 ayat (1)
UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa “Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua)
17
tahun, atau keadaan memaksa (force majeure) dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, pengusaha dapat melakukan PHK
dengan alasan bahwa perusahaan tutup yang disebabkan oleh keadaan memaksa
(force majeure). Agar rumusan pasal tersebut terpenuhi maka perlu dibuktikan
mengenai kebenaran perusahaan tutup dikarenakan alasan keadaan memaksa (force
majeure). Pengaturan mengenai keadaan memaksa (force majeure) dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Debitur harus
dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila tak dapat membuktikan
bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya walaupun, tidak ada iktikad buruk
padanya”. Dari rumusan tersebut dapat ditarik pengertian keadaan memaksa yakni
suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur
yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya seperti karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.
PHK secara sepihak sering kali menyebabkan perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan antara pengusaha dengan pekerja. Menurut
Charles D Drake dalam buku Lalu Husni mengemukakan bahwa yang dapat
menyebabkan terjadinya perselisihan hubungan industrial adalah karena didahului
oleh pelanggaran hukum seperti terjadi perbedaan paham dalam pelaksanaan
18
hukum perburuhan dan tindakan pengusaha yang diskriminatif.14 Untuk itu
pemerintah memberikan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial
sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 Tahun 2004. Penyelesaian hubungan
industrial dapat diupayakan melalui 2 (dua) penyelesaian yaitu melalui
penyelesaian non litigasi yaitu perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi atau
arbitrase dan penyelesaian litigasi yaitu Pengadilan Hubungan Industrial.
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan
secara sistematis yang bertujuan untuk mempelajari suatu gejala hukum dan
menganalisa serta memecahkan masalah hukum tersebut. Adapun metode
penelitian yang akan digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.8.1 Jenis penelitian
Dari segi fokus kajiannya penelitan hukum dapat dibedakan menjadi tiga
tipe yaitu:
1. Penelitian hukum normatif (normative law research);
2. Penelitian hukum normatif-empiris, yang disebut juga penelitian
hukum normatif terapan (applied law research); dan
3. Penelitian hukum empiris (empirical law research). 15
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris. Penelitian hukum
14Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
dan Diluar Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 35.
15Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II) hlm. 52.
19
yang bersifat yuridis empiris merupakan suatu usaha mendekati masalah yang
diteliti dengan sifat hukum yang nyata.16 Dalam penelitian yang bersifat yuridis
empiris ini permasalahan yang terjadi didasarkan adanya kesenjangan yang terjadi
antara das solen (teori) dengan das sein (praktek atau kenyataan). Dalam penelitian
ini terdapat kesenjangan dimana PHK sepihak yang dilakukan oleh PT. Buana
Agung Lestari Indah Internasional terhadap para pekerjanya bertentangan dengan
prosedur PHK yang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 151 UU No. 13
Tahun 2003. Selain itu, pelaksanaan perlindungan hukum terhadap para pekerja
yang berkaitan dengan pemberian hak-hak normatif pekerja sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tidak dilaksanakan
oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional.
1.8.2 Jenis pendekatan
Penelitian hukum mengenal adanya 7 (tujuh) jenis pendekatan. Adapun
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah:
a. Pendekatan Perundang-undangan (the statute approach);
b. Pendekatan Kasus (the case approach);
c. Pendekatan Fakta (the fact approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan
perundang-undangan dan peraturan pelaksana terkait khususnya yang bersangkutan
dengan permasalahan PHK yang terjadi di lapangan. Pendekatan perundang-
16Hilman Adikusuma, 1995, Kertas Kerja dan Skripsi Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju,
Bandung, hlm. 62.
20
undangan ini didasarkan atas hukum positif di Indonesia khususnya hukum yang
mengatur tentang ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Pendekatan kasus dilakukan dengan menelaah kasus-kasus yang terjadi di
lapangan yang telah menjadi putusan yang mempunyai kekuataan hukum tetap.
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah
ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk
sampai kepada putusannya.17 Kemudian, pendekatan fakta didasarkan atas fakta-
fakta diperoleh dari data yang didapatkan di lapangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang di angkat.
1.8.3 Sifat penelitian
Dikaji dari segi sifatnya, penelitian hukum empiris dibedakan menjadi 3
(tiga) kategori yang menurut Soerjono Soekanto yaitu:
a. Penelitian hukum eksploratori (penjajakan atau penjelajahan);
b. Penelitian hukum deskriptif; dan
c. Penelitian hukum yang bersifat eksplanatori. 18
Adapun sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian hukum yang bersifat deskriptif yakni penelitian yang bersifat pemaparan
dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan
hukum yang berlaku di tempat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.19
17Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet.IV, Kencana, Jakarta, hlm.119.
18Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 50.
19Abdulkadir Muhammad II, op.cit, hlm. 50.
21
Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan akan dipaparkan
berdasarkan hasil yang telah didapatkan di lapangan secara konkrit dan juga
berdasarkan pengkajian bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam meneliti
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:
05/PHI/2013/PN.DPS).
1.8.4 Data dan sumber data
Terdapat dua jenis data yang pada umumnya digunakan dalam penelitian
hukum yaitu data primer dan data sekunder. Adapun sumber data dari data primer
dan data sekunder yang akan digunakan sebagai bahan untuk menyusun skripsi ini
sebagai berikut:
1. Data primer
Data primer bersumber dari penelitian yang dilakukan di lapangan (field
research) atau dengan kata lain data yang didapatkan langsung dari hasil
wawancara yang dilakukan peneliti kepada responden dan informan yang
merupakan narasumber. Data primer tersebut didapatkan melalui studi kasus
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar dimana
putusan yang diteliti adalah Putusan Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS, wawancara
dengan Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Badung, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Bali dan wawancara dengan beberapa pekerja.
2. Data sekunder
22
Data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan (library research)
yakni penelitian yang dilakukan dengan mencari bahan hukum (legal material)
yang sudah ada. Bahan hukum tersebut terbagi menjadi 3 (dua) jenis yaitu:
a. Bahan hukum primer (primary law material)
Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari asas
dan kaidah hukum yang berlaku, baik berupa peraturan perundang-
undangan.20 Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
e) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep-
150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja
dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan
Ganti Kerugian di Perusahaan.
f) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP-
92/MEN/VI/2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Mediator Serta Tata Kerja Mediasi.
20 Amaruddin dan H. Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 31.
23
g) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: SE-
907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan
Hubungan Kerja Massal.
b. Bahan hukum sekunder (secondary law material)
Merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
atau pendapat pakar hukum.21 Dalam penelitian ini bahan hukum
sekunder diperoleh melalui bahan hukum tertulis yakni buku-buku
literatur, jurnal-jurnal serta dokumen hukum yang tidak dipublikasikan
melalui perpustakaan umum tetapi hanya dipublikasikan melalui
perpustakaan yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan lebih rinci serta istilah-istilah yang ada dalam bahan hukum
primer dan sekunder seperti kamus bahasa Indonesia, ensiklopedia,
kamus hukum dan juga bahan yang di ambil dari internet.
1.8.5 Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini
adalah:
1. Teknik Studi Dokumen
Teknik studi dokumen ini merupakan teknik yang dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.
21 Ibid.
24
Bahan-bahan hukum seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal-
jurnal maupun dokumen hukum tersebut yang kemudian dikaitkan dengan
permasalahan yang terjadi di lapangan.
2. Teknik Wawancara (interview)
Wawancara adalah kegiatan pengumpulan data primer yang bersumber
langsung dari responden penelitian di lapangan (lokasi dilakukannya penelitian).22
Teknik yang dilakukan dalam wawancara yaitu dengan menanyakan pertanyaan-
pertanyaan tentang pengalaman, pendapat, serta fakta yang terjadi dalam suatu
peristiwa hukum yang terjadi di lokasi penelitian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan relevan dengan
permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian.
1.8.6 Teknik penentuan sampel penelitian
Adapun teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dengan teknik non probability sampling. Dalam penggunaan
teknik tersebut tidak terdapat ketentuan yang pasti mengenai berapa sampel yang
harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Hal ini dikarenakan tidak
semua eleman dalam populasi mendapatkan kesempatan untuk menjadi sampel.
Dari beberapa bentuk teknik non probability sampling, yang akan digunakan adalah
bentuk purposive sampling. Dalam purpose sampling, sampel dipilih atau
ditentukan sendiri oleh peneliti. Selain itu, sampel ditarik berdasarkan tujuan
tertentu dan sampel yang dipilih sudah memenuhi kriteria dan sifat tertentu dari
populasinya.
22 Abdulkadir Muhammad II, op.cit ,hlm..86.
25
1.8.7 Teknik pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis data dilakukan dengan
menggunakan analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif artinya menguraikan data
secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang
tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman dan interpretasi data.23
Dalam penelitian ini data primer dan data sekunder yang didapatkan melalui hasil
wawancara maupun studi dokumen akan diolah secara kualitatif. Selanjutnya data
yang telah dianalisis secara kualitatif tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Analisis secara deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan secara jelas dan
sistematis yang kemudian akan diperoleh suatu kesimpulan dari permasalahan yang
dibahas mengenai penyelesaian perselisihan PHK dan perlindungan hukum
terhadap pekerja dalam perselisihan PHK secara sepihak.
23Abdulkadir Muhammad II, op.cit, hlm. 172.