BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I.pdfketenagakerjaan bersumber pada Undang-Undang...

29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tenaga kerja memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Hal ini karena tenaga kerja adalah sebagai pelaku dan subyek pembangunan sekaligus juga sebagai tujuan atau obyek pembangunan nasional yang akan menentukan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Oleh karna itu diharapkan tenaga kerja dapat melaksanakan fungsinya dengan baik melalui pemberian kesempatan kerja yang merata, perlindungan terhadap hak-haknya dalam menjalankan pekerjaan, pemberian jaminan kesejahteraan, kesehatan, keselamatan dan semua aspek ketenagakerjaan. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan struktural dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa indonesia menyebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal ini menunjukkan bahwa setiap warga negara Indonesia tanpa memandang suku, ras, jenis kelamin, dan lain-lain, mempunyai hak yang sama untuk mendapat pekerjaan atau melaksanakan pekerjaan. Sampai saat ini Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan bersumber pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan). Dalam undang-undang ini hubungan kerja dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu hubungan kerja tetap, hubungan kerja kontrak dan hubungan kerja melalui pihak ketiga. Hubungan kerja tetap didasari oleh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT) dan mensyaratkan adanya masa percobaan selama 3

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I.pdfketenagakerjaan bersumber pada Undang-Undang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tenaga kerja memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan

nasional. Hal ini karena tenaga kerja adalah sebagai pelaku dan subyek

pembangunan sekaligus juga sebagai tujuan atau obyek pembangunan nasional

yang akan menentukan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Oleh karna itu

diharapkan tenaga kerja dapat melaksanakan fungsinya dengan baik melalui

pemberian kesempatan kerja yang merata, perlindungan terhadap hak-haknya

dalam menjalankan pekerjaan, pemberian jaminan kesejahteraan, kesehatan,

keselamatan dan semua aspek ketenagakerjaan.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan struktural dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara bagi bangsa indonesia menyebutkan dalam Pasal 27 ayat

(2) bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan”. Hal ini menunjukkan bahwa setiap warga negara

Indonesia tanpa memandang suku, ras, jenis kelamin, dan lain-lain, mempunyai

hak yang sama untuk mendapat pekerjaan atau melaksanakan pekerjaan.

Sampai saat ini Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai

ketenagakerjaan bersumber pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan). Dalam

undang-undang ini hubungan kerja dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu hubungan

kerja tetap, hubungan kerja kontrak dan hubungan kerja melalui pihak ketiga.

Hubungan kerja tetap didasari oleh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

(selanjutnya disebut PKWTT) dan mensyaratkan adanya masa percobaan selama 3

2

(tiga) bulan (Pasal 56 dan Pasal 60 Undang-Undang Ketenagakerjaan). Sedangkan

hubungan kerja kontrak didasari oleh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(selanjutnya disebut PKWT) dan tidak boleh mensyaratkan adanya masa

percobaan selama 3 (tiga) bulan (Pasal 56 dan Pasal 58 Undang-Undang

Ketenagakerjaan). Sementara itu hubungan kerja melalui pihak ketiga didasarkan

pada ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan

bahwa “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan

jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja kontrak

dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu tenaga kerja yang diperoleh melalui

pihak ketiga yang biasa disebut sebagai tenaga outsourcing dan tenaga kontrak

yang langsung diupayakan oleh perusahaan atau instansi sendiri.

Mempekerjakan karyawan dalam ikatan kerja outsoucing nampaknya

sedang menjadi trend atau model bagi pemilik atau pemimpin perusahaan baik itu

perusahaan milik negara maupun perusahaan milik swasta. Banyak perusahaan

outsourcing yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyedia tenaga kerja aktif

menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, sehingga perusahaan yang

memerlukan tenaga tidak perlu susah-susah mencari, menyeleksi dan melatih

tenaga kerja yang dibutuhkan1.

Fenomena memilih kebijakan untuk menggunakan tenaga kerja

outsourcing semakin bertambah saat terjadinya krisis ekonomi global yang

melanda dunia termasuk Indonesia. Banyak perusahaan yang mengalami

1 S. Gunarto, 2006, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing,

Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 27.

3

penurunan tingkat penjualan, sedangkan dilain pihak kebutuhan biaya hidup

karyawan meningkat karena kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, maka

terjadilah konflik antara karyawan yang menuntut kenaikan upah tetapi

manajemen kesulitan memenuhi karena kondisi perusahaan menurun2.

Penggunaan tenaga kerja outsourcing di negara-negara maju merupakan

kebijakan perusahaan yang wajar dan memang harus dilakukan, karena besarnya

perusahaan dan banyaknya jenis pekerjaan yang tentunya membutuhkan banyak

jenis keahlian sehingga tidak memungkinkan perusahaan menyediakan tenaga

kerja secara keseluruhan.

Sementara itu perhatian perusahaan atas core competence yang dimilikinya

telah membuka jalan untuk outsourcing terhadap tugas-tugas yang bersifat bukan

tugas utama (non core activities), yang menantang para pimpinan perusahaan

untuk mengevaluasi kembali niat tradisional untuk melakukan integrasi vertical

dan memenuhi segala keperluan perusahaan dari satu atap (perusahaan sendiri).

Potensi keuntungan dari outsourcing adalah memperoleh kesempatan mengatur

organisasi yang lebih fleksibel untuk melakukan core activitiesnya. Pada era

globalisasi ini, menjadi makin mudah untuk memperoleh jasa dari luar atau pihak

ketiga. Apa yang membedakan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan

yang lain, adalah terutama mengenai modal intelektual, pengetahuan dan

pengalaman dan bukan lagi dari besar dan ruang lingkup sumber daya yang

mereka punyai dan kuasai. Sebagai hasilnya, banyak perusahaan dari hampir

semua jenis memilih untuk mengkontrakkan berbagai jenis pekerjaannya, dengan

2 Syibli, Mohammad, Sudarso, Indung, 2012, Analisis ”Pengaruh Faktor-Faktor

Rekrutmen Terhadap Kinerja Sdm Outsourcing Pt Telkom Dengan Pendekatan Sem (Structural Equation Modelling),” Jurnal Manajemen Teknologi, h. 2.

4

tujuan untuk memfokuskan diri para aktivitas utamanya dan memanfaatkan

kemampuan dan kemahiran mitra usahanya dalam menangani aktivitas

sampingannya. Tidak ada suatu perusahaanpun yang terlalu kecil atau terlalu

besar untuk memikirkan melakukan outsourcing ini3.

Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak pernah ditemukan kata

outsourcing secara langsung, namun Undang-undang ini merupakan tonggak baru

yang mengatur dan mendelegasi permasalahan outsourcing. Istilah yang dipakai

dalam undang-undang ini adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia

jasa pekerja atau buruh. Istilah tersebut diadopsi dari istilah yang dipakai dalam

KUHPerdata seperti sebagaimana telah dijelaskan diatas. Lebih spesifik ketentuan

yang mengatur outsourcing dapat ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal

66 Undang-Undang Ketenagakerjaan4.

Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui

perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh.5 Selanjutnya

dalam Pasal 65 yang intinya menyatakan bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan

pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pengaturan lebih lanjut mengenai peraturan

ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.

Kep. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan

3 Indrajit dan Djokopranoto. 2006. Proses Bisnis: Outsourcing. PT. Grasindo, Jakarta, h.

3-4. 4 N.L.M. Mahendrawati, 2009, ”Perjanjian Outsourcing Dalam Kegiatan Bisnis”, Kertha

Wicaksana, Vol.15. No 2, h. 151. 5 Lalu Husni, 2005, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Edisi Revisi. Cetakan Kelima,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 189.

5

Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain6. Pasal 66 mengatakan bahwa pekerjaan yang

dapat dijadikan dalam perjanjian outsourcing adalah pekerjaan-pekerjaan yang

tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pokok atau proses produksi dari

suatu perusahaan, kecuali untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung

dengan proses produksi7. Pada Pasal 66 ayat (1) dijelaskan bahwa pekerjaan yang

berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan

langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan

mempekerjakan pekerja/buruh dengan PKWT dan/atau PKWTT.

Demikian halnya dengan istilah tenaga kerja kontrak yang diupayakan oleh

perusahaan atau instansi sendiri juga tidak ditemukan istilah pekerja kontrak

dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan istilah tenaga kerja kontrak, pekerja kontrak, kontrak kerja

maupun sistem kerja kontrak. Pada Pasal 56, 57, 58 dan 59 Undang-Undang

Ketenagakerjaan disebut dengan nama PKWT.

Pengaturan lebih lanjut PKWT dijabarkan di dalam Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (selanjutnya disingkat

Kepmenakertrans): KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan

tenaga kontrak adalah tenaga kontrak jenis PKWT ini yaitu tenaga kontrak yang

direkrut oleh perusahaan atau instansi secara langsung.

6 Much. Nurachmad, 2009, Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak

(Outsourcing), Visimedia, Jakarta, h. 15. 7 Bungasan Hutapea, 2010, “Perlindungan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Outsourcing”, Jurnal Penelitian Hukum APHI, DE JURE, 1410-5632 Vol.10. No. 3, h. 297.

6

Adanya tenaga kontrak PKWT ini bisa ditemukan pada Dinas Pemadam

Kebakaran Kabupaten Badung. Saat ini Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten

Badung mempekerjakan 147 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 100 orang

tenaga PKWT yang disebut sebagai tenaga kontrak. Dinas Pemadam Kebakaran

merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang penanggulangan

kebakaran. Dinas Pemadam Kebakaran dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati melalui Sekretaris Daerah.

Dinas Pemadam Kebakaran dalam melaksanakan fungsinya di koordinasikan oleh

Asisten Tata Praja dan Aparatur.

Salah satu masalah tenaga kontrak ini adalah ketika diterbitkannya PP No.

48 Tahun 2005 pada Pasal 8 yang menyatakan : “Sejak ditetapkan Peraturan

Pemerintah ini semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di

Lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis

kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

Namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pengangkatan tenaga honorer

maupun kontrak di lingkungan pemerintahan yang diangkat oleh kepala instansi

dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Kepala instansi terkait masih saja terjadi.

Hal ini menimbulkan pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah

dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh kepala instansi terkait, salah

satunya yang terjadi pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung yang

mengangkat tenaga honorer berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pemadam

Kebakaran Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga

Kontrak Staf Operasional Pemadam Kebakaran Badung Tahun Anggaran 2015.

Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi karena seharusnya lex superior derogat legi

7

inferiori8, yang artinya undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan

undang-undang yang lebih rendah. Dengan perkataan lain seharusnya SK Kepala

Dinas tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Kondisi tersebut

menyebabkan kedudukan tenaga kontrak sangat lemah.

Terjadinya perekrutan tenaga kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran

Kabupaten Badung disebabkan karena kebutuhan yang sangat urgent. Untuk

kepetingan masyarakat umum yang di karenakan wilayah kabupaten badung yang

cukup luas, maka perlu penambahan post bantu di setiap wilayah untuk

mempercepat respon jika terjadi kebakaran. Maka dari itu di rekrutlah tenaga

kontrak untuk mengisi kekosongan pada post-post yang baru di buat.

Di dalam surat peryataan yang di tanda tangani oleh tenaga kontrak pada

Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung, yang merupakan isi dari

perjanjian lisan ,Ternyata Belum Mendapatkan Perlindungan Hukum. Contoh

perlindungan hukum yang belum diterima oleh tenaga kontrak yaitu belum adanya

jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam Pasal 3 huruf b Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menyatakan, bahwa

untuk dapat diberikan keselamatan kerja harus memenuhi persyaratan dalam hal

untuk mencegah, mengurangi memadamkan kebakaran. Tugas tenaga kontrak

pada dinas Pemadam kebakaran kabupaten badung adalah pencegahan dan

penanggulangan kebakaran. Tugas ini merupakan tanggung jawab tenaga kontrak

yang sangat beresiko9.

Jika dibandingkan dengan ketentuan pada Pasal 86 ayat (1) Undang-

Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan, bahwa “setiap pekerja/buruh

8 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, h. 6. 9 Cerita Miris Tim Damkar Badung Yang Belum Dapat Tunjangan Kesehatan, Bali Post,

tanggal 6 Mei 2015.

8

mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan

kerja”. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan

produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan

kesehatan kerja (Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan). Selanjutnya

diatur juga mengenai sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang mewajibkan

setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan

kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan (Pasal 87

Undang-Undang Ketenagakerjaan)10.

Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan

perusahaan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang

diuraikan di atas merupakan bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja.

Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar

pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa

diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan buruh dan

keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha11.

Selanjutnya sebelum diterima bekerja di dinas pemadam kebakaran

kabupaten badung terlebih dahulu tim perekrut tenaga kontrak mengumpulkan

para calon tenaga kontrak untuk duduk bersama bernegosiasi membuat perjanjian

kerja dan menyepakati perjanjian secara lisan. Untuk selanjutnya setelah diterima

bekerja tenaga kontrak harus menandatangani surat peryantaan yang merupakan

hasil dari kesepakatan tersebut dan melaksanakan perjanjian yang telah ada dalam

surat peryataan tersebut.

10 I Made Udiana, 2015, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial,

Udayana University Press, Denpasar, h. 8. 11 Ibid.

9

Sedangkan dalam pembayaran jasa tenaga kontrak Pemadam Kebakaran

Kabupaten Badung dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah

Kabupaten Badung berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran

Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga Kontrak

Staf Operasional Pemadam Kebakaran Tahun Anggaran 2015.

Sampai sekarang belum pernah ada tenaga kerja kontrak yang menggugat

sewenang-wenangan ini, sehingga perjanjian yang banyak melanggar aturan

Undang-Undang Ketenagakerjaan ini terus berlanjut hingga sekarang. Hal ini

disebabkan apabila tenaga kontrak melakukan gugatan, maka yang bersangkutan

justru takut akan kehilangan pekerjaan. Demikian juga dengan sifat hubungan

kerja juga tidak jelas apakah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ataukah

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT), mengingat hubungan kerja

antara tenaga kontrak dengan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung,

mengingat perjanjian tersebut tidak sesuai dengan pengaturan Pasal 56 hingga

Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan (pengaturan untuk PKWT) dan juga

tidak sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang Ketenagakerjaan (pengaturan untuk

PKWTT).

Mengingat pentingnya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja kontrak

pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung, maka perlu dikaji

“Eksistensi Tenaga Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung

Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”.

10

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah keberadaan tenaga kontrak sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003?

2. Apakah perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada Dinas

Pemadam Kebakaran di kabupaten Badung sudah sesuai dengan

Undang-Undang?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk mendapatkan pembahasan yang sistematis dan tidak jauh

menyimpang dari permasalahan, maka dalam pembahasan akan di batasi sesuai

dengan permasalahan yang ada. Dimana terhadap permasalahan yang pertama

yang akan di bahas adalah persoalan yang berkaitan dengan keberadaan tenaga

kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran kabupaten di Kabupaten Badung sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Selanjutnya terhadap pembahasan yang kedua yang akan di bahas hanya

perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada dinas pemadam kebakaran di

kabupaten Badung sudah sesuai dengan Undang-Undang.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil

penelitian, hingga saat ini belum ada hasil penelitian dalam bentuk skripsi ataupun

11

penelitian yang berkaitan dengan eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak

pada Dinas Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung. Adapun dari penelusuran

kepustakaan yang cukup dekat dengan topik penelitian ini yaitu :

No Judul Penelitian Penulis Rumusan Masalah 1 Pelaksanaan

Perlindungan Kerja bagi Pekerja Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram

Aditya Aprinky Heriansyah, Fakultas Hukum Universitas Mataram Tahun 2014

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan kerja dalam hal keselamatan kerja dan waktu kerja yang diberikan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram terhadap pekerja kontrak?

2. Apakah perlindungan keselamatan kerja dan waktu kerja yang diberikan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram kepada pekerja kontrak sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditinjau dari faktor efektifitas hukum?

2 Perlindungan Hukum terhadap Pegawai Non Pegawai Negeri Sipil pada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) (Studi Kasus di Rsud Pasar Rebo Jakarta)

Alam Syah, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2012

1. Bagaimana kedudukan pegawai non PNS pada BLU berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999?

2. Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap pegawai non PNS di BLUD Provinsi DKI Jakarta

12

khususnya pada RSUD Pasar Rebo, Jakarta?

3 Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer dalam Sistem Kepegawaian

Ayu Prilia Diantri, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013

1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005?

2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil?

Dapat disimpulkan bahwa originalitas penelitian ini murni, belum

dikerjakan oleh peneliti lain sehingga penulis dapat melanjutkan usulan proposal

penelitian dengan judul eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak pada Dinas

Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung.

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan umum

1. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis serta mengembangkan

ilmu pengetahuan hukum.

2. Untuk memberikan kontribusi ilmiah terkait dengan permasalahn hukum

dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu dalam

bidang hukum perdata khususnya hukum ketenagakerjaan.

3. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

13

1.5.2 Tujuan khusus

1. Untuk memahami keberadaan tenaga kontrak sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003.

2. Untuk memahami perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada dinas

pemadam kebakaran di kabupaten badung sudah sesuai dengan Undang-

Undang.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat di jadikan sebagai bahan penelitian awal bagi para

peneliti di lingkungan lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai

bahan refrensi pada perpustakaan.

1.6.2 Manfaat praktis

1. Untuk dapat di jadikan pedoman dalam pembuatan karya-karya tulis baik

itu pembuatan makalah maupun penelitian hukum lainya, dan memberikan

pengalaman belajar dan melakukan penelitian bagi mahasiswa sehingga

mahasiswa mengtahui jalanya praktek hukum di masyarakat secara

langsung.

2. Untuk dapat di jadikan pedoman dalam menyelesaikan permasalahan yang

sejenis baik oleh pemerintah, praktis dan bagi yang berkepentingan.

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Perlindungan Hukum

Dalam perspektif filsafat hukum, teori perlindungan hukum, awalnya

muncul dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh

Plato, Aristoteles, dan Zeno. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa

14

hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara

hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang

bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal

dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.

Hukum alam menurut Thomas Aquinas sebagaimana dikutip Romli

Atmasasmita12 adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan

untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk

disebarluaskan. Eksistensi dan konsep hukum alam selama ini, masih banyak

dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filosof, tetapi dalam

kanyataannya justru tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan

faham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang

mendasari penolakkan sejumlah filosof terhadap hukum alam, karena mereka

masih mengganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari hukum alam,

hanya merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat.

Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi hukum alam,

tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa pencarian

pada yang “absolut” merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan.

Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat “universal, abadi, dan berlaku mutlak”,

ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan

semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia.13

12 Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif : Rekonstruksi terhadap Teori

Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 20-21. 13 Ibid.

15

Hukum alam menurut Thomas Aquinas14 adalah cerminan dari undang-

undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum,

ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi

juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-undangan.

Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang

esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif.

Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan

keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai

anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa.

Substansi hukum, pada abad ke-17, telah menempatkan suatu asas yang berisfat

universal yang bisa disebut hak asasi manusia.

Konsep perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala

peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan

kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang

dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra

berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan

yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan

antisipatif15. Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan

14 Ibid. 15 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja

Rusdakarya, Bandung, h. 118.

16

untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik

untuk memperoleh keadilan sosial16.

Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan

oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum

yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun

pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun

haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.17

Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan

yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat

maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan

serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum

yaitu pendukung hak dan kewajiban. Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief

Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum

itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian

manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat

manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar

sesuai dengan martabatnya.18

Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah

satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga

Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar

16 Sunaryati, Hartono, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit

Alumni, Bandung, h. 29.

17 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53. 18 Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.

Remaja Rosda Karya, Bandung, h. 64.

17

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk

yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan

perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap

aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal

tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan

kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam

konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu

bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk

memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari

ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan

pada proses litigasi dan/atau non litigasi.

Dengan demikian Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan

hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:19

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam

melakukan suatu kewajiban.

2. Perlindungan Hukum Represif

19 Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, h. 30.

18

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila

sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Selanjutnya pekerja merupakan “tulang punggung perusahaan”. Pekerja

dikatakan sebagai tulang punggung, karena memang dia mempunyai peranan yang

penting. Tanpa adanya pekerja tidak akan mungkin perusahaan itu dapat berjalan,

dan berpartisipasi dalam pembangunan. Pentingnya pekerja bagi perusahaan,

pmerintah dan masyrakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat

menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaannya. Dengan demikian

maka perlindungan kerja akan mencakup;

a. Norma keselamatan kerja.

b. Norma kesehatan kerja dan Heigiene kesehatan perusahaan.

c. Norma kerja.

d. Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita

penyakit kuman akibat pekerjaan20.

Perlindungan hukum menurut Imam Soepomo membagi perlindungan

pekerja ini menjadi 3 (tiga) macam yaitu:

a. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk untuk memberikan kepada pekerja suatu

penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya

beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu

20 Kartasapoetra, G, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Cet I, Armico Bandung, h.

43-44.

19

bekerja sesuatu diluar kehedaknya. Perlindungan ini disebut jaminan

sosial.

b. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan

usaha kemasyarakatan, yang tujuannnya memungkinkan pekerja itu

mengenyam dan memperkembangkan prikehidupannya sebagai

manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota

keluarga; atau yang biasa disebut dengan kesehatan kerja.

c. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan

yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya

atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan; atau yang

biasa disebut dengan keselamatan kerja.21

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa salah satu

sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan

perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap

masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.

Selanjutnya hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam

masyarakat.

1.7.2 Konsep Tenaga Kerja Kontrak

Tenaga kerja kontrak adalah konsep perjanjian kerja antara pekerja/buruh

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam jangka waktu

21Zainal Asikin, 2002, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Pt Raja Grafindo Persada,

Jakarta. h. 76. Dikutip dari Imam Soepomo, 1983, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. VI, Djambatan.

20

berlakunya ditentukan. Bila jangka waktu telah berakhir maka dengan sendirinya

terjadi pemutusan hubungan kerja dan para pekerja tidak berhak atas konpensasi.

Selanjutnya konsep perjanjian kerja menurut Wiwiho Soedjono adalah

hubungan hukum antar seseorang yang bertindak sebagai pekerja/buruh dengan

seorang yang bertindak sebagai majikan, atau perjanjian perorangan pada suatu

pihak dengan lain pihak sebagai majikan, untuk melaksanakan suatu pekerjaan

dengan mendapat upah22.

Adapun syarat-syarat untuk melakukan kerja kontrak adalah sebagai

berikut:

1. Perjanjian Kerja Kontrak harus ditulis dan harus menggunakan bahasa

Indonesia sesuai dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja

untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan

Bahasa Indonesia dan huruf latin.”

2. Perjanjian Kerja Kontrak yang tidak dibuat tertulis dianggap sebagai

Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan

demikian pekerja menjadi pekerja tetap di perusahaan tersebut sesuai

dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sebagai berikut: perjanjian kerja untuk waktu tertentu

yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk

waktu tidak tertentu.

22 Wiwiho Soedjono, 1983, Hukum Perjanjian Kerja, Cet. I, Bima Aksara. h. 5.

21

3. Perjanjian Kerja Kontrak tidak mempersyaratkan adanya masa

percobaan sesuai dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja

untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan

kerja.”

4. Apabila dalam Perjanjian Kerja Kontrak ditetapkan masa percobaan

maka akan batal demi hukum sesuai dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai

berikut: ”dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian

kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja

yang disyaratkan batal demi hukum.”

5. Perjanjian Kerja Kontrak tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang

bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus, sesuai dalam Pasal 56

ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja dibuat untuk waktu

tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu

tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: jangka

waktu; atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.”

Adapun ciri-ciri pekerjaan yang dapat dibuat Perjanjian Kerja untuk

Kontrak adalah sebagai berikut:

1. Jangka waktu pekerjaan tersebut tertentu atau terbatas

2. Jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja/buruh adalah tertentu

bersifat, jenisnya dan kegiatanya selesai dalam jangka waktu tertentu

22

3. Pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan pokok dari suatu

perusahaan atau hanya merupakan pekerjaan penunjang atau tambahan

4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru atau kegiatan baru

atau tambahan yang dalam percobaan atau penjajakan.

Adapun masa berakhirnya Perjanjian Kerja untuk Kontrak adalah sebagai

berikut:

1. Untuk Perjanjian Kerja untuk Kontrak adalah yang sekali selesai dan

predictable maka perjanjian kerja untuk waktu tertentu diadakan untuk

paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk

jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaruan perjanjian kerja

untuk waktu tertentu hanya dapat diadakan satu kali dan paling lama

dua tahun.

2. Apabila perjanjian kerja untuk kontrak diakhiri oleh salah satu pihak

sebelum berakhirnya perjanjian kerja untuk kontrak, maka pihak yang

mengakhiri harus mengganti rugi sebesar upah pekerja sampai

berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan sebaliknya jika

kewajiban ganti rugi itu tidak terjadi apabila pekerjaan yang

diprediksikan untuk jangka waktu tertentu lebih cepat diselesaikan.

Bila demikian maka perjanjian kerja untuk kontrak dibuat akan

berakhir dengan sendirinya sesuai dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai

berikut: ”apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum

berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja

23

waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang

mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada

pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu

berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”

Jika sampai perjanjian kerja untuk kontrak itu pekerjaan belum selesai juga

selesai maka dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja untuk kontrak¸

pembaharuan perjanjian kerja untuk kontrak tersebut dapat dilakukan setelah

melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.

Konsekuensinya selama 30 hari masa tenggang waktu tidak ada hubungan kerja

antara pekerja dengan pengusaha.

Keberadaan pegawai non pegawai negeri sipil yang bekerja di instansi

pemerintah telah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Walaupun mereka bekerja

pada tempat dan pekerjaan yang sama dengan pegawai negeri sipil, namun yang

membedakan mereka terletak pada status hukumnya. Jadi seorang dikatakan

sebagai pegawai negeri atau bukan pegawai negeri tidak terletak pada jenis

pekerjaannya namun pada status hukum yang melekat pada masing-masing

pegawai.

Pengertian pegawai non Pegawai Negeri Sipil tidak ditemukan dalam

literatur hukum kepegawaian. Namun dapat ditarik suatu pengertian mengenai hal

tersebut dengan menafsirkan secara terbalik dari pengertian pegawai negeri. Bila

Logemann mengatakan bahwa pegawai negeri adalah seseorang yang

mengikatkan dirinya kepada perintah negara atau pemerintah dalam suatu

hubungan dinas publik, maka dengan demikian pegawai non pegawai negeri sipil

24

adalah seseorang yang bekerja kepada negara bukan berdasarkan hubungan dinas

publik.

Sedangkan bila kita merujuk kepada pengertian pegawai negeri yang dibuat

oleh undang-undang, maka kita juga dapat memberikan pengertian kepada

pegawai non pegawai negeri sipil sebagai seseorang yang bekerja kepada negara

atau pemerintah dalam hubungan hukum atau pengertian yang berbeda dengan

pegawai negeri sipil. Dengan kata lain, mereka yang bekerja di pemerintah dengan

dasar yang berbeda dengan pegawai negeri sipil adalah pegawai non pegawai

negeri sipil.

Dengan pengertian tersebut di atas maka pegawai non pegawai negeri sipil

bentuknya bisa bermacam-macam, tergantung dengan kebutuhan instansi tersebut.

Sastra Djatmika dan Marsono menyebutkan golongan-golongan pekerja yang

tidak termasuk pegawai negeri tersebut, yakni (a) pejabat negara, (b) pekerja, (c)

pegawai dengan ikatan dinas (lebih tepat perjanjian kerja) berdasar ketentuan-

ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil, (d) pegawai dengan ikatan

dinas untuk waktu terbatas, (e) pegawai bulanan menurut Pasal 20 ayat (2) PGPS

1968, (f) pegawai desa, dan (g) pegawai perusahaan umum23. Pegawai-pegawai

non PNS sebagaimana diatas diperkerjakan tidak secara tetap atau dalam jangka

waktu tertentu baik secara harian, bulanan atau beberapa tahun.

23 Sastra Djatmika, 1990, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Penerbit Djambatan, Cetakan Kedelapan, Jakarta, h. 15

25

1.8 Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini diperlukan ketersediaan data yang obyektif

dan ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dan untuk

memperoleh data tersebut dipergunakan metode sebagai berikut:

1.8.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah

penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan

adalah:

Penelitian hukum sosioligis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, karena bertitik tolak dari data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan. Penelitian lapangan di lakukan melalui pengamatan (observasi), wawamcara ataupun penyebaran kuesioner24.

1.8.2 Jenis pendekatan

Penelitian Hukum Empiris umumnya mengenal 7 jenis pendekatan, yaitu:

Pendekatan Kasus, Pendekatan Perundang-Undangan, Pendekatan Fakta,

Pendekatan Analisis Konsep Hukum, Pendekatan Frasa, Pendekatan Sejarah, dan

Pendekatan Perbandingan25.

Dari 7 Jenis-jenis pendekatan dalam penelitian hukum empiris seperti yang

di uraikan di atas, penulis menggunakan jenis Pendekatan Fakta dan Pendekatan

Perundang-undangan. Pendekatan fakta adalah pendekatan yang dilakukan dengan

melihat langsung kondisi Tenaga Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran di

Kabupaten Badung.

24 Bambang Wahyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16. 25 Fakultas Hukum Uiversitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas

Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 80.

26

Selain itu, dipergunakan juga pendekatan perundang-undangan adalah

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang telah ditangani. Berkaitan dengan

penelitian ini yang dijadikan acuan adalah peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak pada Dinas

Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung.

1.8.3 Sifat penelitian

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok

tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan

gejala lain dalam masyarakat26. Dalam penelitian ini memperkuat teori yang sudah

ada dan dapat menggunakan data kualitatif.

1.8.4 Data dan sumber data

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 sumber

data, yaitu:

1. Data primer (data lapangan) adalah data yang diperoleh peneliti langsung

dari sumber asalnya dan belum diolah dan diuraikan oleh orang lain.27 Data

primer ini merupakan data yang diperoleh dari lapangan, yang dalam hal

ini data dari hasil penelitian yang dilakukan di Dinas Pemadam Kebakaran

Kabupaten Badung.

26 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta h. 25. 27 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, h. 168.

27

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh metode library

research/penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berjudul

laporan dan seterusnya berhubungan dengan masalah yang dibahas28.

Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah:

a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang dapat

membantu dalam menganalisa dan memahami permasalahan dalam

penelitian ini, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4279).

4) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang

Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri

Sipil.

5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.

220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian

Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi No. Kep.

100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu.

28 Bambang Wahyo, op.cit. h. 16

28

7) Keputusan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung

Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga Kontrak Staf

Operasional Pemadam Kebakaran Tahun Anggran 2015

b. Bahan hukum sekunder yaitu sebagai bahan hukum yang tidak

mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang

merupakan hasil olahan pendapat atau pikirian para ahli. Bahan hukum

sekunder ini berupa jurnal-jurnal hukum, buku-buku hukum, dan hasil

karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang mendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan

pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum

tersier dalam penelitian ini bersumber dari Kamus besar Bahasa

Indonesia dan Kamus Hukum.

1.8.5 Teknik pengumpulan data

Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan lazim digunakan

dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah wawancara dilakukan

bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan pertanyaan-pertayaan yang

dirancang untuk memperoleh jawaban-jawabn relevan dengan masalah penelitian

kepada responden maupun informan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki

nilai validitas dan reabilitas, dalam berwanwancara peneliti menggunakan alat

berupa pedoman wawancara atau interview guide29. Wawancara dilakukan pada

Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung.

1.8.6 Teknik pengolahan dan analisis data

29 Fakultas Hukum Uiversitas Udayana, op.cit, h. 82.

29

Untuk mendapatkan hasil atau jawaban atas permasalahan yang diteliti,

maka keseluruhan data yang terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisa dari

aspek praktek dan teorinya. Analisa data yang telah dilakukan adalah analisa

kualitatif, dalam arti keseluruhan data yang terkumpul diklasifikasikan sedemikian

rupa kemudian diambil yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan

dibahas. Setelah data tersebut semua diolah, selanjutnya pembahasan disajikan

secara analisis deskriptif yaitu memaparkan secara lengkap dan mendetail aspek-

aspek tertentu yang berkaitan dengan masalah, diberikan uraian-uraian dan

memperoleh suatu kesimpulan yang ilmiah.