BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 2.pdf · yang terkesan saling berlawanan, ... apabila...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Begitu pula dalam proses peradilan pidana, antara tersangka atau terdakwa dengan pelapor atau saksi korban dari suatu tindak pidana diharapkan mempunyai kedudukan yang sama dalam proses hukum dalam rangka mencari keadilan. Saksi korban dari suatu tindak pidanaakan memberikan kesaksian untuk mengungkap tindak pidana disamping dukungan dari alat bukti lain. Untuk memberantas suatu kejahatan harus ada kesaksian, dan untuk mendapatkan kesaksian yang benar diperlukan saksi dan/ atau saksi korban yang berani bersaksi secara jujur dalam mengungkap kebenaran tentang apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri. Pada banyak kasus tidak gampang untuk membuat seseorang bersedia menjadi saksi, apalagi pada kasus yang menyangkut kesusilaan seperti pemerkosaan.Hal tersebut dikarenakan adanya perasaan malu, takut dikriminalisasi, rasa takut disakiti, takut dibunuh dan sederet rasa takut lainnya. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 2.pdf · yang terkesan saling berlawanan, ... apabila...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara

bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Begitu pula dalam proses peradilan pidana, antara tersangka atau terdakwa

dengan pelapor atau saksi korban dari suatu tindak pidana diharapkan mempunyai

kedudukan yang sama dalam proses hukum dalam rangka mencari keadilan. Saksi

korban dari suatu tindak pidanaakan memberikan kesaksian untuk mengungkap

tindak pidana disamping dukungan dari alat bukti lain. Untuk memberantas suatu

kejahatan harus ada kesaksian, dan untuk mendapatkan kesaksian yang benar

diperlukan saksi dan/ atau saksi korban yang berani bersaksi secara jujur dalam

mengungkap kebenaran tentang apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri.

Pada banyak kasus tidak gampang untuk membuat seseorang bersedia menjadi

saksi, apalagi pada kasus yang menyangkut kesusilaan seperti pemerkosaan.Hal

tersebut dikarenakan adanya perasaan malu, takut dikriminalisasi, rasa takut

disakiti, takut dibunuh dan sederet rasa takut lainnya.

Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana,

perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan

2

hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan

suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan

melaporkannya kepada pihak berwajib (penegak hukum) guna mendapatkan rasa

keadilan, terlebih bagi korban dari suatu tindak pidana.

Terjadinya berbagai tindak pidana dalam masyarakat merupakan suatu

indikasi pula bahwa korban demi korban dari kejahatan itu juga terus berjatuhan

dengan berbagai bentuk kerugian yang tidak terelakkan.Kerugian yang timbul itu

bisa diderita oleh korban sendiri secara langsung. Jenis kerugian yang diderita

korban bukan saja dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk

penyembuhan luka fisik serta kemungkinan hilangnya pendapatan ataupun

keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga kerugian yang bersifat

nonfisik yang susah bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya

keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup dan kepercayaan diri karena

kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu menghantui,

adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bisa timbul.

Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita

dalam suatu tindak pidana, tetapi justru tidak memperoleh perlindungan

sebagaimana yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana sesuai yang diberikan oleh

undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya pada saat pelaku kejahatan

telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti

tidak di pedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak

asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga

terhadap korban kejahatan.

3

Dalam setiap penanganan perkara pidana, aparat penegak hukum (polisi,

jaksa) sering kali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan

yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi

untuk memulihkan penderitaanya karena telah menjadi korban kejahatan (secara

mental, fisik, maupun materiil) dan kepentingan tertuduh atau tersangka sekalipun

ia bersalah, tetapi ia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak

boleh dilanggar, terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim

yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap

sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).1

Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu

mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sementara hak korban

diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut:

”Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan

hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang

berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak

korban”2

Dalam penyelesaian perkara pidana, apabila dikaji dari tujuan pemidanaan

dalam hukum pidana positif, pelaku kejahatan lebih mendapat perhatian seperti

rehabilitasi, treatment of offenders, readapsi sosial, pemasyarakatan, dan lain-

lain.3Sedangkan korban kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai,

1Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2006, UrgensiPerlindungan Korban Kejahatan

Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief

Mansur dan Elisatris Gultom II), hal. 24.

2 Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, Hal. 33.

3 C. Maya Indah S., 2014, Perlindungan Korban: Suatu persektif Viktimologi dan Kriminologi,

Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hal. 97.

4

baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun imateriil, sebagaimana Geis

berpendapat :”Too much attention has been paid to offenders and their rights, to

neglect of the victims.” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang

memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban

untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.4

Korban tidak diberi kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam

proses penyidikan maupun dipersidangan sehingga ia kehilangan kesempatan

untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu

kejahatan.5

Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, sering kali korban hanya

diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan

dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.6

Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai saksi

dipersidangan, ia dikenakan sanksi.

Jika disimak pasal demi pasal yang tertera pada Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya

disebut KUHAP), hanya mengatur tentang hak-hak tersangka, dan sangat tidak

seimbang dengan hak-hak korban dari suatu tindak pidana, atau tidak diatur secara

jelas apa yang menjadi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Pada KUHAP

disana hanya mengatur tentang hak-hak tersangka sejak dalam proses

4 Chaerudin Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum

Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, hal. 47.

5Ibid, hal. 49.

6Ibid, hal. 51.

5

penyidikanhingga sampai dilakukan pemeriksaan ditingkat pengadilan. Ditingkat

penyidikan, hak tersangka adalah untuk mendapatkan pendampingan dari

penasehat hukum hingga hak tersangka untuk menuntut aparat penegak

hukum(penyidik) melalui lembaga praperadilan ketika terjadi kesalahan atau

ketidaksahan dalam hal adanya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan, sedangkan hak tersangka ditingkat pengadilan adalah berhak

mendapatkan pendampingan penasehat hukum, apalagi ancaman pidana bagi

tersangka diatas 5 (lima) tahun menjadi kewajiban bagi negara untuk

menyediakan Penasehat Hukum bagi tersangka secara cuma-cuma apabila

tersangkanya tidak mampu membayar penasehat hukum. Selama ini keadilan

dalam hukum pidana sudah dianggap ditegakkan apabila pelaku tindak pidana

sudah dijatuhi sanksi pidana melalui putusan hakim di Pengadilan. Dengan kata

lain, kerugian atau penderitaan korban dari suatu tindak pidana dianggap sudah

diimpaskan, dibayar atau dipulihkan oleh pelaku tindak pidana apabila pelaku

tindak pidana telah menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan.Sanksi

pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan” kesalahan pelaku kepada

negara daripada wujud pertanggungjawaban pelaku atas perbuatan jahatnya

kepada korban.

Mengenai kepentingan korban, apakah dengan di pidananya si pelaku,

kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya. Belum tentu hal

itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Korban

kejahatan adalah merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan atau

kerugian akibat dari suatu tindak pidana, sedangkan pelaku adalah pihak yang

6

mendapatkan atau berusaha mendapatkan keuntungan dari kejahatannya, sebagai

pihak yang mengalami penderitaan, korban justru sering dilupakan oleh aparat

penegak hukum, khususnya polisi, jaksa dan hakim. Fokus perhatian dan energi

aparat penegak hukum hampir selalu terkonsentrasi pada pelaku. Meskipun

demikian apabila hal ini dianggap suatu kesalahan, maka kesalahan tersebut tidak

seluruhnya dapat ditimpakan kepada aparat penegak hukum karena aparat

penegak hukum dalam proses peradilan pidana menerapkan aturan hukum pidana

yang selama ini menjadi acuan yang dipegang yaitu Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Selebihnya hak korban dari suatu tindak pidana yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya ada dalam

hal untuk menuntut adanya penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan

melalui lembaga praperadilan.

Hukum pidana yang dibangun atas dasar fiksi hukum, negara mengambil

alih peranan penuntutan yang menjadi hak korban dengan alasan untuk

meminimalkan potensi pembalasan yang bersifat personal dan untuk pemidanaan

yang tepat atas dasar pertimbangan rasional demi korban dan masyarakat secara

keseluruhan.7Hak dari korban tindak pidana hanya diwakili oleh negara, pada

tingkat pemeriksaan hak korban telah diwakili oleh penyidik (Polri), pada tingkat

penuntutan hak korban diwakili oleh penuntut umum (Jaksa) dan pada tingkat

persidangan hak korban telah diwakili oleh pengadilan (Hakim).Seperti halnya

7G. Widiartana, 2014, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, Cahaya

Atma Pustaka, Yogyakarta, hal 139.

7

peran jaksa penuntut umum untuk melakukan upaya hukum apabila putusan yang

dijatuhi oleh hakim terhadap terdakwa dirasa tidak memenuhi rasa

keadilan.Kadangkala peranan negara untuk memperjuangkan hak korban dari

suatu tindak pidana dirasa kurang memuaskan, karena kemungkinan-

kemungkinan adanya ketidakseriusan dari aparat negara dalam hal ini jaksa

penuntut umum untuk memperjuangkan hak korban tindak pidana baik melalui

upaya hukum banding, upaya hukum kasasi maupun upaya hukum peninjauan

kembali.Substansi maupun prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur

hukum pidana yang selama ini dijalankan hampir tidak membawa manfaat apapun

bagi pemulihan penderitaan korban.

Menurut G. Widiartana, ada 2 (dua) alasan penyelesaian tindak pidana

melalui jalur hukum pidana tidak membawa manfaat bagi pemulihan penderitaan

korban yaitu :

Pertama, yaitu orientasi dalam pemidanaan lebih terfokus pada pelaku

(offender oriented) sehingga penderitaan atau kerugian korban diabaikan;

kedua, prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana

yang selama ini dijalankan tidak memungkinkan bagi korban untuk turut

serta secara aktif menentukan cara bagaimana konflik itu diselesaikan.

Bahkan sikap dan tindakan aparat penegak hukum yang menjalankan

prosedur penyelesaian perkara pidana seringkali justru menimbulkan

penderitaan lain pada korban (secondary victimization).8

Berpegang pada alasan yang dikemukakan oleh G. Widiartana, kiranya

pemerintah perlu membuat suatu kebijakan dibidang penegakan hukum pidana

untuk memberikan solusi mendapatkan keadilan bagi korban suatu tindak pidana.

Menurut Muladi, penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan

penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:

8Ibid, Hal. 135.

8

1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum oleh badan pembuat

undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif.

2. Tahap aplikasi yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat

penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini

dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.

3. Tahap ekskusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit

oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap

kebijakan ekskutif atau administratif.9

Kebijakan dibidang penegakan hukum pidana dalam rangka memperoleh

keadilan bagi korban tindak pidana hendaknya dimulai dari tahap formulasi atau

tahap legislatif yang nantinya dapat dijadikan payung hukum bagi penegak hukum

melaksanakan tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi atau tahap yudikatifmulai dari

kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Tidak dapat dipungkiri, kedepannya nanti

konflik atau pertikaian dalam kehidupan masyarakat akan terus menjadi fenomena

biasa dalam masyarakat, baik yang terkait antara dua individu maupun lebih.

Situasi ini akan semakin mempersulit dunia hukum dan peradilan apabila semua

konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Oleh

karena itu, perlu dicari upaya-upaya lain dalam prosedur peradilan pidana yang

sudah ada, agar masyarakat tidak hanya tergantung pada prosedur yang ada saat

ini, namun tetap mendapatkan keadilan dan penyelesaian masalah terutama untuk

korban sebagai pihak yang paling dirugikan atau menderita.

Saat ini proses peradilan pidana merupakan konsep yang tidak

memberikan perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan korban tindak

pidana maupun pelaku tindak pidana.

Robert Reif mengemukakan asumsi bahwa:

9Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro,

Semarang, hal. 13.

9

“The problem of crime, always gets reduced to “what can be done about

criminal”. No body asks, “what can be done about victims?” everyone

assume the best way to help the victim is to catch the criminal as though

the offender is the only souce of the victim trouble”. (suatu masalah dalam

hukum pidana, selalu mereduksi “apa yang dapat dilakukan terhadap

penjahat” tidak seorangpun bertanya “apa yang dapat dilakukan terhadap

korban”. Setiap orang berasumsi cara yang paling baik untuk membantu

korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku

adalah sumber penderitaan korban).10

Konteks diatas, menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan

penting eksistensinya.Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat

suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya hukuman

kepada pelaku. Oleh karena itu, maka sistem peradilan pidana hendaknya

menyesuaikan, menserasikan kualitas dan kuantitas penderitaan serta kerugian

yang diderita korban, sehingga perlu diterapkan konsep keadilan restoratif dalam

proses peradilan pidana di Indonesia.

Konsep pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang

lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi

pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.Pendekatan keadilan restoratif

diasumsikan sebagai pergeseran paling mutahir dari berbagai model dan

mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani

perkara-perkara pidana.Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Basic

Principles yang telah digariskannya menilai bahwa, pendekatan keadilan restoratif

adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang

rasional.

10

Parman Soeparman, 2007, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, hal. 69.

10

Menurut Dr. Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep

pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik

beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan

dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat

ini.11

Dengan demikian, menurut penulis terkait dengan keadilan yang bisa

diperoleh korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional dalam

proses penegakan hukum di Indonesia belum diatur secara jelas dalam undang-

undang tersendiri sehingga disini ditemukan adanya kekosongan hukum dalam

rangka mencari keadilan bagi korban suatu tindak pidana. Hak-hak korban dari

suatu tindak pidana yang ada saat ini tersebar dalam berbagai undang-undang

seperti ada pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban. Seharusnya hak-hak korban dari suatu tindak

pidana sudah mendapat perhatian yang sama dengan hak-hak tersangka, seperti

hak untuk mendapatkan bantuan hukum baik diminta maupun tidak oleh korban.

Hal ini penting mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari

sebagian besar korban yang menderita akibat kejahatan, sikap membiarkan korban

kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat mengakibatkan

pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan.

11

Eva Achjani Zulfa, 2009, “Definisi Keadilan Restoratif”, Restorative Center, URL:

http://evacentre.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html, diakses tanggal 20 Februari 2016.

11

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, penulis tertarik untuk

mengangkat tentang hak-hak korban dari suatu tindak pidana khususnya tindak

pidana yang bersifat konvensional dalam judul penelitian tentang “KEADILAN

RESTORATIF BAGI KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA DALAM

PROSES PERADILAN PIDANA”

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah ini penting dilakukan untuk dapat memfokuskan

permasalahan tersebut sehingga sasaran dan tujuan diharapkan dapat tercapai.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik isu hukum atau

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran negara dalam proses peradilan pidana untuk memenuhi

hak-hak korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional?

2. Bagaimana wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana yang

bersifat konvensional dalam proses peradilan pidana?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Setiap penulisan karya ilmiah perlu ditegaskan mengenai ruang lingkup

masalah tentang materi yang diuraikan sehingga jelas batasannya.Hal ini

dimaksudkan untuk mencegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari

pokok permasalahan. Pada permasalahanpertama akan dibahas mengenai peran

negara dalam hal ini Polisi selaku penyidik, Jaksa selaku jaksa penuntut umum,

dan Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara atau kasus di

12

pengadilan dalam memenuhi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Tindak

pidana yang dimaksud disini adalah tindak pidana yang bersifat konvensional

(tindak pidana yang tercantum dalam KUHP), bukan tindak pidana

khusus.Sedangkan dalam permasalahan kedua dibatasi dalam hal seperti apa

wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana dalam proses peradilan

pidana.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan ini adalah:

1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya

pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha mengungkapkan pemikiran

secara ilmiah melalui tulisan.

3. Untuk dapat mengetahui batasan serta wujud keadilan restoratif

bagi korban dari suatu tindak pidana dalam proses peradilan

pidana.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan Khusus dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui peran negara dalam proses peradilan pidana

dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana.

2. Untuk mengetahui wujud keadilan restoratif bagi korban suatu

tindak pidana dalam proses peradilan pidana.

13

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Seluruh hasil penelitian ini dibuat untuk memperolehgelar sarjana srata

satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Udayanadan dapat dijadikan

sebagai bahan laporan bagi lembaga Fakultas HukumUniversitas Udayana

serta dapat digunakan sebagai bahan refrensi pada perpustakaan.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dijadikan pedoman

dalam pembuatan skripsi untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Udayana di tahun-tahun berikutnya dan

memberikan pengalaman belajar dan bekerja bagi mahasiswa sehingga

mahasiswa mengetahui cara pembuatan skripsi dalam masalah hukum.

1.6 Landasan Teoritis

Pemikiran-pemikiran revolusioner menghendaki perhatian terhadap korban

dalam suatu tindak pidana lebih proporsional, tidak saja mengenai peranannya

dalam suatu tindak pidana tetapi juga tentang akibat tindak pidana tersebut bagi

korban.12

Pemikiran-pemikiran revolusioner akhirnya memunculkan adanya ilmu

baru yang mempelajari tentang korban yang disebut dengan Viktimologi.

Terpinggirkannya kepentingan korban dari suatu tindak pidana dalam

penyelesaian perkara pidana melalui jalur hukum pidana (penal) tersebut tidak

12

Ibid, hal 142.

14

terlepas dari dominasi paradigma retributif dalam pembentukan dan penerapan

hukum pidana.

Dalam paradigma retributif, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan

melanggar aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh negara untuk menjaga

ketertiban, ketentraman, dan keamanan kehidupan masyarakat.13

Konsep utama

dari teori keadilan retributif adalah ganjaran atau hukuman balasan setimpal yang

menunjukan prinsip bahwa pidana harus dijatuhkan kepada orang yang menurut

rasa keadilan layak dipidana sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya,

bukan tentang apa yang dianggap perlu untuk tujuan pencegahan atau rehabilitasi.

Sedangkan paradigma restoratif memandang kejahatan bukan hanya

sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga

sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban

(viktimisasi).14

Persepsi tentang kejahatan menurut paradigma restoratif,

mengandung konsekuensi harus dipertimbangkan juga aspek korban dalam

penanggulangan kejahatan, sehingga sanksi pidana yang dirumuskan dan

kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi

juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban.

Muladi, memberikan argumentasi untuk mengedepankan perlindungan

hukum terhadap korban kejahatan berdasarkan argumen kontrak sosial (social

contract argument) dan argumen solidaritas sosial (social solidarity argument).

“Yang pertama menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli

seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan

13

Ibid, hal 136.

14

Ibid, hal 138.

15

yang bersifat pribadi.Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan

membawa korban, maka negara juga harus bertanggungjawab untuk

memperhatikan kebutuhan para korban tersebut.Argumen yang kedua

menyatakan bahwa, negara harus menjaga warganegaranya dalam

memenuhi kebutuhannya apabila warganegaranya mengalami kesukaran,

melalui kerjasama dalam masyarakat menggunakan sarana-sarana yang

disediakan oleh negara.Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan

pelayanan maupun melalui pengaturan hak”.15

Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana,

Muladi secara mendasar memperkenalkan dua model, yakni Model Hak-hak

Prosedural (the procedural rights model) dan Model Pelayanan (the services

model).

“Pada model yang pertama penekanan diberikan pada dimungkinkannya si

korban untuk memainkan peranan aktif didalam proses kriminal atau

didalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan

diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk dihadirkan dan

didengar disetiap tingkatan sidang pengadilan dimana kepentingannya

terkait didalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga

pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak

untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata”.16

“Selanjutnya pada model pelayanan (service model), penekanan diletakkan

pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban

kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk

pedoman dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan

dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasisebagai

sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan

korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban

kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan

polisi dan para penegak hukum yang lain”.17

Mirian Liebman menyebutkan lima hal yang merupakan pendekatan dalam

keadilan restoratif, yaitu:

15

Muladi, Op. Cit., hal 66.

16

Ibid, hal 67.

17

Ibid.

16

a. Prioritas utama merupakan dukungan dari korban dan pemulihan

keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sistem peradilan

pidana secara umum merupakan rangkaian tindakan seperti

mengidentifikasi pelaku, menangkap pelaku, menahan pelaku,

mengadili dan lalu menghukum mereka. Padahal setelah Mirian

melakukan riset kecil terhadap orang yang pernah menjadi korban dari

suatu tindak pidana dan apa yang mereka inginkan, apa yang telah

diambil oleh para pelaku tindak pidana dikembalikan kepada korban.

Hal ini menandakan bahwa hukuman yang dijatuhi kepada pelaku

tindak pidana tidak serta merta memulihkan perasaan para korban

karena pada dasarnya yang diinginkan para korban dari penegak

hukum adalah mendapat informasi dan pengertian apa yang

sebenarnya terjadi, mendapat jawaban dari pertanyaan pertanyaan para

korban dan mendapat barangnya kembali daripada penjatuhan

hukuman kepada pelaku.

b. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab atas apa yang telah

dilakukannya. Pelaku tindak pidana telah mendapatkan sanksi atas apa

yang telah diperbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang

menjadi tanggungjawab atas perbuatannya. Sering terdengar bahwa

para pelaku merasa telah selesai dengan hukuman yang telah

dijalaninya, padahal dalam kenyataan dampak perbuatannya telah

mengakibatkan kerugian materiil terhadap masyarakat atas perbuatan

pidana yang telah dilakukannya.Hal yang patut ditanamkan dalam

17

konsep keadilan restoratif adalah “Ya, saya telah melanggar hukum

dan saya bertanggung jawab atas kerugian akibat perbuatan

saya”.Itulah pandangan awal dari keadilan restoratif.

c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu

kesepahaman. Sejatinya, korban tindak pidana selalu dikelilingi oleh

pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan perbuatan ini?apa

tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? apakah pelaku

akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitu pula dengan pelaku tindak

pidana yang dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan ini.

d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat

dilakukan untuk bertanggung jawab atas kejahatan adalah dengan

memulihkan kerugian yang di derita korban.

e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak

melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas

ada dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya

adalah salah dan sangat merugikan orang lain sehingga ia akan

mempertimbangkan untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi.18

Terkait dengan permasalahan yang diajukan diatas, maka landasan teoritis

yang digunakan untuk menjawab permasalahan diatas adalah dengan melihat

kejahatan dari paradigma restoratif.Paradigma restoratif memandang kejahatan

bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara,

tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban

18

Miriam Liebman, 2007, Restorative justice: How It Works, Jessica Kingsley Publishers, London,

hal. 27 .

18

(viktimisasi).Sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja

berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna bagi pemulihan

penderitaan atau kerugian korban.

Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana, lebih

ditekankan pada Model Pelayanan (the services model) yang diperkenalkan oleh

Muladi. Pada Model Pelayanan (service model), penekanan diletakkan pada

perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang

dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman aturan tersendiri

dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka

penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang

bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana

dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk

dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain.

1.7 Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif.Penelitian

hukum normatif bertujuan melakukan penelitian hukum dengan menelaah suatu

perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

19

Penelitian hukum normatif mencoba menemukan kebenaran berdasarkan

logika keilmuan hukum dari sisi normatif.19

Menurut Abdulkadir Muhammad,

penelitian hukum normatif sering juga disebut penelitian hukum dogmatik atau

penelitian hukum teoritis (dogmatic or theoretical law research), yaitu penelitian

hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu; aspek teori, aspek

sejarah, aspek filosofi, aspek perbandingan, struktur, dan komposisi.20

Dari

perspektif tujuannya, penelitian hukum normatif dibagi menjadi tujuh jenis, yaitu:

1. Penelitian inventarisasi hukum positif

2. Penelitian hukum klinis

3. Penelitian asas-asas hukum

4. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika perundang-undangan

5. Penelitian yang menelaah sinkronisasi suatu perundang-

undangan

6. Penelitian perbandingan hukum

7. Penelitian sejarah hukum.21

b. Jenis Pendekatan

Berdasarkan buku pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana,

penelitian normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, antara lain:

a. Pendekatan Kasus (the case approach);

b Pendekatan Perundang-undangan (the statute approach);

c. Pendekatan Fakta (the fact approach);

19

Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Hukum Normatif, Bayu Medik Publishing, Malang,

hal. 57.

20

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bahakti, Bandung,

hal. 101.

21

Amiruddin, H. Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, P.T. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal. 123.

20

d. Pendekatan Analisa Konsep Hukum (analitycal &conseptual

approach);

e. Pendekatan Frasa (words & phrase approach);

f. Pendekatan Sejarah (historical approach);

g. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

Adapun pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) yang

dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani.22

Disamping itu juga dalam membahas permasalahan ini digunakan

pendekatan analisa konsep hukum (analitycal conceptualapproach).Pendekatan

analisa konsep hukumdilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan

hukum yang ada.23

Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan

hukum untuk masalah yang dihadapi.Dalam menggunakan pendekatan analisa

konsep hukum, peneliti perlu merujukprinsip-prinsip hukum.Prinsip-prinsip ini

dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin

hukum.Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga ditemukan

didalam undang-undang.Disamping dalam perundang-undangan, konsep hukum

dapat juga ditemukan didalam putusan-putusan pengadilan.24

22

Ibid.

23

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal

137.

24

Ibid, hal. 139.

21

c. Sumber Bahan Hukum

Penulisan ini menggunakan penelitian normatif, sehingga bahan hukum

yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat authoritative,

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.25

2. Bahan hukum sekunder terdiri dari; buku-buku teks (literature), kamus

hukum, jurnal hukum, karya tulis dalam bentuk artikel yang berkaitan

dengan hukum, serta bahan jurnal non hukum, seperti buku-buku ilmu

politik, filsafat, dan jurnal non hukum lainnya sepanjang mempunyai

relevansi dengan topik penelitian ini, serta internet.26

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/ Data

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan penelitian ini adalah

mencatat melalui sistem kartu terhadap data kepustakaan, yaitu berupa undang-

undang, artikel-artikel, putusan hakim, dan buku-buku referensi yang akan

dibahas dalam penulisan skripsi ini.

e. Teknik Analisis

Sebagaimana sifat penelitian hukum normatif karena yang dianalisis

bukanlah data tetapi bahan hukum yang diperoleh lewat penelusuran dengan

25

Ibid, hal. 144.

26

Ibid, hal. 141.

22

metode sebagaimana tersebut di atas, maka analisis bahan hukum dalam penelitian

ini dilakukan dengan:

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat

dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya

terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum

atau non hukum.

2. Teknik evaluasi adalah penelitian berupa tepat atau tidak tepat,

setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah

terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,

keputusan baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam

bahan hukum sekunder.

3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi

karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat

penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin

banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.

4. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan

suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan

perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.