BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan mencakup segala bidang. Pelaksanaan pembangunan diupayakan berjalan seimbang, selaras, dan saling menunjang antara satu bidang dengan bidang yang lainnya, sehingga tidak terjadi kesenjangan antar bidang. Pembangunan secara umum bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Pembangunan tersebut tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja, tetapi juga menjadi kewajiban dari tiap warga negara Indonesia untuk ikut andil dalam mensukseskannya. Seiring dengan semakin meningkatnya laju pembangunan nasional, pemerintah terus berupaya untuk menggali sumber-sumber pendapatan nasional. Salah satu sumber pendapatan nasional tersebut adalah dari sektor pajak. Dalam stuktur penerimaan negara, penerimaan pajak mempunyai peranan strategis dan merupakan komponen terbesar serta sumber utama penerimaan dalam negeri untuk menopang dana penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan nasional. Selama krisis ekonomi berkepanjangan yang mulai melanda Indonesia sejak tahun 1997/1998 hingga saat ini memberi gambaran bahwa penerimaan pajak telah dapat memberi peranan dan sumbangan yang sangat berarti melalui penyediaan sumber dana bagi pembiayaan berbagai program penanggulangan dampak

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah.

Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan

mencakup segala bidang. Pelaksanaan pembangunan diupayakan berjalan

seimbang, selaras, dan saling menunjang antara satu bidang dengan bidang

yang lainnya, sehingga tidak terjadi kesenjangan antar bidang. Pembangunan

secara umum bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat

seluruhnya. Pembangunan tersebut tidak hanya menjadi kewajiban

pemerintah saja, tetapi juga menjadi kewajiban dari tiap warga negara

Indonesia untuk ikut andil dalam mensukseskannya.

Seiring dengan semakin meningkatnya laju pembangunan nasional,

pemerintah terus berupaya untuk menggali sumber-sumber pendapatan

nasional. Salah satu sumber pendapatan nasional tersebut adalah dari sektor

pajak. Dalam stuktur penerimaan negara, penerimaan pajak mempunyai

peranan strategis dan merupakan komponen terbesar serta sumber utama

penerimaan dalam negeri untuk menopang dana penyelenggaraan

pemerintah dan pembangunan nasional. Selama krisis ekonomi

berkepanjangan yang mulai melanda Indonesia sejak tahun 1997/1998

hingga saat ini memberi gambaran bahwa penerimaan pajak telah dapat

memberi peranan dan sumbangan yang sangat berarti melalui penyediaan

sumber dana bagi pembiayaan berbagai program penanggulangan dampak

2

krisis ekonomi. Oleh karena itu, berbagai kebijakan-kebijakan pokok

pemerintah dibidang penerimaan negara yang telah dan sedang dilakukan

diarahkan pada upaya untuk meningkatkan penerimaan perpajakan melalui

langkah-langkah antara lain ekstensifikasi dan intensifikasi pajak,

perbaikkan struktur pajak, penyempurnaan sistem administrasi pajak dan

administrasi pemungutan pajak serta memperbaiki dan menyempurnakan

peraturan-peraturan perpajakan.

Dalam satu dasawarsa terakhir, peranan penerimaan perpajakan

menunjukkan perkembangan yang meningkat dari Rp 22.010,9 milyar pada

tahun 1990/1991 menjadi Rp 125.951,0 milyar pada tahun 1999/2000 atau

mengalami peningkatan rata-rata 20.3 % setiap tahun. Semakin menurunnya

peranan penerimaan minyak dan gas menyebabkan semakin dominannya

penerimaan pajak dalam penerimaan dalam negeri menggambarkan arah

kebijakan keuangan pemerintah yang terus menggali sumber-sumber

penerimaan dalam negeri dari sektor non migas, khususnya dari pajak. Pada

dasarnya peranan penerimaan minyak dan gas masih memegang peranan

cukup penting dalam stuktur penerimaan dalam negeri, namun diperkirakan

jumlahnya tidak dapat mencukupi kebutuhan yang semakin meningkat.

Sejalan dengan kebijakan keuangan tersebut, untuk mengantisipasi

perkembangan ekonomi yang pesat dalam era globalisasi, pemerintah telah

melakukan reformasi kebutuhan dibidang perpajakan berturut-turut pada

tahun 1994, tahun 1997 dan tahun 2000. Pada tahun 1997 pemerintah telah

mengeluarkan empat undang-undang dibidang perpajakan, yaitu: Undang-

3

Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan retribusi Daerah,

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan Surat

Paksa dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan. Pada Tahun 2000 telah mengeluarkan lima

paket undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang

perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 17

tahun 1998 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2000 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983

tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah,

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat

Paksa dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan.

Penerimaan perpajakan pada dasarnya terdiri dari penerimaan pajak

dalam negeri dan penerimaan pajak atas perdagangan internasional.

Penerimaan pajak dalam negeri meliputi lima jenis pajak yang mencakup

penerimaan yaitu: (i) Pajak Penghasilan, (ii) Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah, (iii) Cukai, (iv) Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, (v)

4

Pajak Lainnya. Sedangkan penerimaan pajak atas transaksi perdagangan

internasional meliputi 2 (dua) jenis pajak yang mencakup (i) Bea Masuk dan

(ii) Pajak Ekspor.

Pada dasarnya pemunggutan PBB lebih diarahkan pada fungsi

distributive yaitu untuk menciptakan pemerataan dengan tetap

memperhatikan potensi daerah masing-masing. Hal ini sejalan dengan

otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

Agar hasil penerimaan daerah meningkat, pemerintah memberikan instruksi

kepada semua pemerintah daerah untuk lebih terlibat dalam tata usaha PBB.

Pemerintah memacu seluruh pemerintah daerah untuk menggali sumber-

sumber penerimaan tersebut sebesar-besarnya, karena PBB merupakan suatu

pajak pusat sumbernya berasal dari daerahnya sendiri, sehingga merupakan

suatu sumber penerimaan yang potensial bagi daerah itu. Hal ini merupakan

suatu landasan yang baik bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan

sumber-sumber dana daerah guna pembiayaan pembangunan di daerahnya

masing-masing. Sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran pemerintah

pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten yang akan digunakan

untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber-sumber penerimaan

daerah meliputi:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD).

5

2. Dana Perimbangan.

3. Pinjaman Daerah.

4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan yang

berasal dari pajak daerah, retribusi, laba BUMN, pajak hiburan, pajak reklame

dan pendapatan dari dinas-dinas lainnya. Dana perimbangan sebagai salah satu

sumber penerimaan daerah merupakan penerimaan daerah dari bagi hasil

pajak dan bagi hasil bukan pajak, sedangkan untuk pemerintah Propinsi DIY

bagi hasil pajak merupakan penerimaan yang berasal dari PBB dan pajak

lainnya (BPS, 2001 : xiv). Dana perimbangan merupakan penerimaan daerah

dari hasil bagi pajak khususnya PBB, sumber daya alam, iuran hasil hutan

dan iuran hak pengusahaan hutan. Dana alokasi umum adalah dana yang

disediakan dalam APBN untuk dialokasikan kepada daerah yang

penggunaannya menjadi wewenang daerah. Dana alokasi khusus merupakan

dana yang disediakan oleh pemerintah pusat untuk pemerintah daerah yang

penggunakannya telah ditentukan.

Hasil penerimaan PBB yang didalam penerimaan daerah masuk

ketegori dana perimbangan merupakan penerimaan negara yang dibagi antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pembagian pemerintah pusat

10 %, pemerintah daerah propinsi 16,2 %, pemerintah daerah kabupaten/kota

64,8 % dan 9 % untuk biaya operasional pemunggutan PBB. Sejak

diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah diberikan

beban untuk mengelola sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran

6

daerahnya masing-masing. Persoalan yang muncul berkaitan dengan kebijakan

tersebut adalah bagi daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang

memadai akan mengalami kesulitan memperoleh sumber-sumber penerimaan

anggaran dan dana pembangunan daerah. Salah satu jalan yang dapat

ditempuh daerah adalah meningkatkan sumber penerimaan dari pajak

khususnya PBB.

Begitu pula yang terjadi di propinsi DIY yang tidak mempunyai

sumber daya alam yang cukup, maka penerimaan PBB memberikan arti yang

sangat besar dalam menopang anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Adapun sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari:

1. Bagian sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu.

2. Bagian Pendapatan Asli Daerah.

3. Dana Perimbangan.

- Bagi Hasil Pajak.

a. PBB.

b. Bagi hasil pajak lainnya.

- Bagi Hasil Bukan Kena Pajak.

5. Bagian Penerimaan Pembangunan.

Untuk sub-sub penerimaan selain sub penerimaan pada nomor tiga (Dana

Perimbangan) dapat dilihat secara lengkap pada lampiran IV. Berdasar dari

uraian di atas, maka penulis mengambil judul: “ANALISIS POTENSI

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI PROPINSI DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1998–2003“.

7

1.2. Tinjauan Pustaka.

Camat Nglipar Widagdo S.Sos, pada awal tahun 2005 ini membuat

gebrakan dengan membuat intruksi agar seluruh warga di wilayah ini

membudidayakan tanaman pisang (KR, 03 Februari 2005). Instruksi tersebut

sudah dituangkan dalam surat keputusan camat dan disosialisasikan kepada

seluruh masyarakat lewat lurah desa. Gerakan penanaman pisang di lahan

pekarangan ini dicanangkan, setelah melihat lahan pekarangan di seluruh

wilayah yang luasnya 1.444 hektar sebagian masih kosong belum

dimanfaatkan. Untuk memulai gerakan tersebut, setiap keluarga minimal harus

menanam empat batang pisang, dengan catatan dua batang diharapkan untuk

cadangan pembayaran PBB. Tanaman tersebut sudah menjadi hak milik

pemerintah kecamatan, meskipun setelah panen tetap menjadi hak warga,

hanya saja hasil penjualannya khusus untuk pembayaran PBB. Diharapkan

Camat Nglipar, dengan hasil panen pisang yang ditanam 2004/2005 ini, sudah

bisa untuk melunasi tagihan PBB 2005 nanti, sehingga begitu Surat

Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB dibagikan kepada warga, warga

sudah siap untuk melunasi dari hasil penjualan pisang. Dengan hal ini

diharapkan dapat meningkatkan realisasi penerimaan PBB tiap tahunnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Eni Kurniawati pada bulan September

2004 terhadap potensi PBB di Kabupaten Klaten mengalami peningkatan di

Tahun 2000 hingga 2003. Sebelum tahun 2000 mengalami penurunan ynag

disebabkan karena meningkatnya jumlah tunggakan PBB.

8

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD) Kota Yogyakarta Heru

Pria Warjaka SE menyebutkan hingga akhir Agustus 2004, penerimaan pajak

yang dikelola KPPD Kota Yogyakarta mencapai Rp 38.047.967.633. Jumlah

ini mencapai 69.12 persen dari target penerimaan pajak tahun 2004 sebesar

Rp. 56.496.796.000 (KR, 22 September 2004). Kepala KPPD mengemukakan,

penerimaan pajak daerah berasal dari pajak hotel, pajak restoran, pajak

hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir, biaya

penggantian cetak karcis bioskop, pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air

permukaan serta bagi hasil PBB dan Bea Perolehan hak atas Tanah dan

Bangunan sebesar Rp 8.033.723.858. Sementara untuk PBB, pihaknya terus

aktif melakukan sosialisasi, supaya wajib pajak sadar dan membayar tidak

memet-mepet waktunya. Memang ada wajib pajak yang cukup potensial,

membayar pajak memet-mepet waktu. Namun tidak semuanya. Pada dasarnya

mereka memiliki itikad baik, kalaupun ada yang belum bisa melunasi,

biasanya dicicil dulu. Bila masih ada yang membandel, akan dilakukan operasi

sisir.

1.3. Rumusan Masalah.

Berdasar latar belakang di atas bahwa otonomi daerah menuntut

pemerintah daerah untuk memaksimalkan PAD. Persoalan yang muncul

berkaitan dengan kebijakan tersebut adalah bagi daerah yang tidak memiliki

sumber daya alam yang memadai akan mengalami kesulitan memperoleh

sumber-sumber penerimaan anggaran dan dana pembangunan daerah. Khusus

untuk DIY, karena adanya keterbatasan sumber daya alam, maka pemerintah

9

akan menggali sumber-sumber pendapatan seperti menggali potensi PBB.

Efisiensi, pertumbuhan dan konturibusi PBB sangat mempengaruhi PAD

Propinsi DIY yang berasal dari bagi hasil pajak. Maka dapat dirumuskan

rumusan permasalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana efisiensi PBB di Propinsi DIY ?

2. Bagaimana pertumbuhan penerimaan PBB di Propinsi DIY ?

3. Bagaimana kontribusi PBB di Propinsi DIY terhadap sumber penerimaan

daerah dari bagi hasil pajak ?

1.4. Batasan Masalah.

1.4.1. Tempat penelitian.

Penelitian dilakukan di Propinsi DIY yang meliputi lima wilayah

kabupaten/kota antara lain:

1. Kabupaten Bantul.

2. Kabupaten Kulon Progo.

3. Kabupaten Sleman.

4. Kabupaten Gunung Kidul.

5. Kota Yogyakarta.

1.4.2. Objek Penelitian.

Penelitian dilakukan terhadap PBB yang tercantum dalam

peraturan Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Daerah (Pemda).

Data yang diambil berupa data yang berhubungan dengan PBB.

10

1.4.3. Penelitian dibatasi dari tahun anggaran PBB 1998 hingga tahun anggaran

2003 dan penerimaan daerah dari bagi hasil pajak tahun anggaran 1998-

2003.

1.4.4 Penulisan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang

PBB terbaru.

1.4.5 Potensi adalah kemampuan dan kesanggupan untuk menghasilkan

penerimaan dalam keadaan 100 persen sesuai dengan rencana anggaran

PBB yang akan dipunggut tiap kabupaten/kota dibandingkan dengan

realisasi penerimaan PBB yang berhasil dipunggut. Potensi dihitung

melalui tingkat efisiensi.

1.4.6 Pertumbuhan adalah perkembangan PBB dari tahun ke tahun.

Pertumbuhan dihitung melalui perubahan realisasi PBB dari tahun

1998 hingga tahun 2003.

1.4.7 Kontribusi adalah rata-rata perubahan realisasi PBB dari tahun ke tahun

dibandingkan dengan total bagi hasil pajak. Kontribusi dihitung dengan

analisis kontribusi dan analisis Location Quotient/LQ. Analisis

kontribusi merupakan analisis yang menggambarkan besarnya

sumbangan PBB terhadap total penerimaan daerah kabupaten yang

berasal dari bagi hasil pajak. Analisis Location Quitient/LQ adalah

analisis yang digunakan untuk mengetahui potensi dan keunggulan suatu

daerah. Analisis LQ berguna untuk mengetahui suatu daerah bila

dibandingkan dengan daerah yang lebih luas, yaitu kabupaten/kota

dengan propinsi.

11

1.5. Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui besarnya efisiensi PBB di Propinsi DIY tahun 1998-2003.

2. Mengetahui seberapa besar kontribusi penerimaan PBB terhadap

sumber penerimaan yang berasal dari bagi hasil pajak di Propinsi DIY

tahun 1998-2003.

3. Mengetahui besarnya pertumbuhan penerimaan PBB tahun 1998-2003

di Propinsi DIY.

1.6. Manfaat Penelitian.

Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah:

1.6.1. Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan

pertimbangan Pemda DIY dalam pengambilan keputusan untuk

melaksanakan pemunggutan PBB sebagai salah satu sumber penerimaan

daerah dan perencanaan serta kebijakan keuangan daerah. Dengan

diketahuinya potensi PBB Propinsi DIY diharapkan dapat berpengaruh

untuk peningkatan penerimaan PBB sebagai salah satu sumber

penerimaan daerah yang berasal dari dana bagi hasil pajak.

1.6.2. Penulis.

Penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi penulis

tentang keterkaitan antara teori-teori yang diperoleh dengan kenyataan-

kenyataan yang ada dalam penelitian.

12

1.7. Kerangka Pemikiran.

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Otonomi Daerah

Peningkatan Pendapatan Daerah

Sumber – Sumber Pendapatan Daerah

Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Pinjaman Daerah Lain –Lain Pendapatan Daerah Yang Sah

PBB merupakan pajak yang berpotensi

PBB merupakan pajak pusat yang seluruh penerimaannya dibagikan kepada daerah dengan mekanisme yang telah ditetapkan

Variabel Penentu

1.Efisiensi 2.Pertumbuhan 3. Kontribusi 4. Analisis LQ

UU No 12 tahun 1994 10 % Pemerintah Pusat 16,2 % Pemerintah Daerah Propinsi 64,8 % Kabupaten/ Kota 9 % Biaya Operasional/Pemungutan

Kesimpulan

13

Berdasarkan gambar 1.1 dapat dijelaskan bahwa sejak diberlakukannya

otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah diberikan beban untuk

mengelola sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran daerah masing-

masing. Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk memaksimalkan

penerimaan asli daerah. Usaha memaksimalkan penerimaan daerah bagi

pemerintah daerah dilakukan dengan cara menggali potensi dari sumber

pendapatan. Sumber-sumber pendapatan daerah meliputi: PAD, Dana

Perimbangan, Pinjaman Daerah, lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dana

perimbangan merupakan penerimaan daerah dari bagi hasil pajak khususnya

PBB; bagi hasil pajak lainnya; bagi hasil bukan pajak; Dana Alokasi Umum

(DAU); Dana Alokasi Khusus (DAK) dan sebagainya. Hasil penerimaan PBB

yang didalam penerimaan daerah untuk kategori dana perimbangan

merupakan penerimaan negara yang dibagi antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dengan pembagian pemerintah pusat 10 %, pemerintah

daerah propinsi 16,2 %, pemerintah daerah kabupaten/kota 64,8% dan 9 %

untuk biaya operasional pemunggutan PBB. Persoalan yang muncul berkaitan

dengan kebijakan tersebut adalah bagi daerah yang tidak memiliki sumber

daya alam yang memadai akan mengalami kesulitan memperoleh sumber-

sumber penerimaan anggaran dan dana pembangunan daerah. Khusus untuk

DIY, karena adanya keterbatasan sumber daya alam, maka pemerintah akan

menggali sumber-sumber pendapatan seperti menggali potensi PBB. Adanya

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 yang berisi tentang

proporsi/pembagian PBB yang dibagikan ke daerah-daerah penghasil PBB

14

menyebabkan penulis membuat PBB sebagai variabel yang akan diteliti. Alat

untuk menganalisis guna mengetahui potensi PBB adalah sebagai berikut:

1) Efisiensi.

2) Pertumbuhah/growth.

3) Kontribusi.

4) Analisis Location Qutioent/LQ.

Berdasar dari empat alat analisis yang digunakan untuk mengetahui potensi di

DIY diharapkan akan menghasilkan suatu kesimpulan.

1.8. Hipotesis.

Berdasar latar belakang masalah, tinjauan pustaka, perumusan

masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran, maka dibuat dugaan

sementara sebagai berikut:

1). Diduga PBB di DIY mengalami efisien dari tahun 1998-2003.

2). Diduga PBB di DIY mengalami pertumbuhan yang positif pada tahun

1998-2003.

3). Diduga PBB di DIY memiliki kontribusi yang besar terhadap penerimaan

daerah terutama untuk penerimaan yang berasal dari bagi hasil pajak

tahun 1998-2003.

1.9. Metode penelitian.

1.9.1. Tempat Penelitian.

Lokasi penelitian adalah Propinsi DIY, yang terdiri dari

kabupaten/kota Propinsi DIY yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten

15

Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, dan Kota

Yogyakarta.

1.9.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data

primer dan data sekunder. Pemisahan dan pengelompokan data bertujuan

agar lebih mudah dalam pengambilan data menurut kebutuhan penulis.

Pengelompokan data tersebut adalah sebagai berikut:

1) Data Primer.

Terdiri dari data-data yang diambil dari observasi dan interview

(wawancara) pada Kantor Pelayanan PBB Propinsi DIY dan Kantor

Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Propinsi DIY.

2) Data Sekunder.

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari data kepustakaan yang

ada di Kantor Pelayanan PBB Bantul dan Dispenda Propinsi DIY

dan Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi DIY berupa buku, majalah,

surat kabar, modul dan peraturan-peraturan dibidang perpajakan.

Data yang diambil berupa:

a) Data perkembangan penerimaan PBB.

b) Data perkembangan penerimaan PAD.

c) Data potensi wilayah Propinsi DIY.

d) Data rencana penerimaan dan realisasi penerimaan PBB.

e) Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi DIY.

16

f) Data tunggakan PBB.

g) Data kependudukan.

h) Data jumlah objek pajak.

i) Data Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).

1.9.3. Metode Pengumpulan Data.

Penumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara

yaitu:

a) Penelitian Lapangan.

Dalam penelitian ini penulis mengadakan penelitian secara langsung

pada obyek penelitian untuk memperoleh dan mengumpulkan data-

data yang diperlukan, serta mengadakan wawancara (interview)

secara lisan kepada beberapa karyawan di KP PBB DIY untuk

mengetahui berbagai permasalahan dalam pemunggutan pajak,

penyebab tunggakan pajak yang diperoleh di lapangan serta apa

yang mendasari hal tersebut.

b) Penelitian Pustaka.

Dalam penelitian pustaka ini penulis mengambil sumber data

dari buku-buku, literatur, majalah serta peraturan-peraturan dibidang

perpajakan khususnya PBB. Hasil penelitian kepustakaan ini sebagai

landasan teoritis dengan harapan dapat dipahami dan dimengerti

secara menyeluruh.

17

1.9.4. Metode Analisis Data.

1.9.4.1. Analisis Efisiensi.

Potensi PBB diketahui dengan melakukan perhitungan

terhadap tingkat efisiensi PBB dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

Realisas Penerimaan PBB Efisiensi = x 100 %

Anggaran /Target

Dimana:

Realisasi: anggaran yang benar-benar terjadi

Anggaran/target: anggaran yang direncanakan

Prosedur pengambilan keputusan dari analisis efisiensi

dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Apabila efisiensi kurang dari 100 %, maka PBB tidak efisien

karena relisasi kurang dari target yang telah ditentukan.

2. Apabila efisiensi lebih dari 100 %, maka PBB efisien karena

relisasi lebih dari target yang telah ditentukan.

3. Apabila terdapat efisiensi kurang 100 % dan lebih dari 100%

maka dilihat rata-rata efisiensi dari tahun 1998-2003.

1.9.4.2. Analisis Pertumbuhan.

Analisis pertumbuhan digunakan untuk mengetahui

perkembangan PBB baik dari tahun ke tahun maupun perkembangan

rata-rata selama kurun waktu 1998-2003 di Propinsi DIY.

18

Pertumbuhan atau growth dari PBB di Propinsi DIY diperoleh

dengan rumus:

Xt – (Xt – 1)

Growth = X 100 % Xt – 1

Keterangan:

Xt: Besarnya PBB pada tahun t

Xt – 1: Besarnya PBB tahun t-1(tahun sebelumnya)

Dasar pertumbuhan positif yaitu disebut potensial artinya untuk

suatu pajak harus menunjukkan pertumbuhan positif atau mengalami

kenaikan dari tahun ke tahun (Mulyanto, 2002:50). Prosedur

pengambilan keputusan dari analisis pertumbuhan dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

1. Apabila tingkat pertumbuhan PBB tahun 1998-2003 negatif

maka dikatakan tidak potensial.

2. Apabila tingkat pertumbuhan PBB tahun 1998-2003 positif maka

dikatakan potensial.

3. Apabila terdapat tingkat pertumbuhan PBB positif dan

pertumbuhan negatif maka dilihat rata-rata tingkat pertumbuhan

dari tahun 1998-2003.

1.9.4.3. Analisis Kontribusi.

Analisis kontribusi merupakan analisis yang menggambarkan

besarnya sumbangan PBB terhadap total penerimaan daerah

19

kabupaten/kota yang berasal dari bagi hasil pajak. Analisis kontribusi

PBB terhadap total PAD yang berasal dari bagi hasil pajak

kabupaten/kota dari tahun 1998-2003 diperoleh melalui persamaan

berikut ini:

Penerimaan PBB ( Kabupaten/ Kota) Kontribusi PBB = x 100 % Penerimaan Bagi Hasil Pajak (Kabupaten/Kota)

Dimana:

Penerimaan PBB: PBB dari tahun ke tahun kabupaten/kota

Penerimaan Bagi Hasil Pajak: Total penerimaan bagi hasil pajak dari

tahun ke tahun kabupaten/kota-bagi

hasil bukan pajak

Mengingat pajak merupakan sumber pendapatan daerah

yang potensil dan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin

Pemda, maka seharusnya terdapat hubungan yang elastis antara

pajak dengan pengeluaran rutin Pemda. Potensi PBB ini tercermin

dari besarnya kontribusinya terhadap pembiayaan pengeluaran

rutin pemerintah. Karena itu dipergunakan patokan kontribusi yaitu

50 persen yang artinya potensial sehingga PBB dikatakan

potensial apabila memberikan kontribusi lebih besar atau sama

dengan 50 persen. Sedangkan tidak potensial, apabila kontribusi

kurang dari 50 persen. (Mulyanto, 2002).

20

Prosedur pengambilan keputusan dari analisis kontribusi dilakukan

dengan cara sebagai berikut:

1). Apabila kontribusi lebih dari 50 persen, maka tingkat

kemampuan/keunggulan PBB tahun 1998-2003 daerah

kabupaten/kota di Propinsi DIY adalah besar.

2). Apabila kontribusi kurang dari 50 persen, maka tingkat

kemampuan/keunggulan PBB tahun 1998-2003 daerah

kabupaten/kota di Propinsi DIY adalah kecil.

3). Apabila terdapat kontribusi lebih dari 50 persen atau kurang dari

50 persen maka dilihat rata-rata kontribusi daerah kabupaten/kota

di Propinsi DIY tahun 1998-2003.

1.9.4.4. Analisis Location Quitient/ LQ.

Analisis Location Quitient/ LQ adalah analisis yang digunakan

untuk mengetahui potensi dan keunggulan suatau daerah. Analisis

Location Quitient/ LQ berguna untuk mengetahui suatu daerah bila

dibandingkan dengan daerah yang lebih luas, misal daerah kabupaten

dan propinsi (Warpani, 1984:68). Berdasarkan kegunaan dari analisis

LQ, maka penulis memutuskan PBB sebagai sektor yang akan

dianalisis. Analisis Location Quitient/LQ dihitung dengan terlebih

dahulu mencari kontribusi PBB di daerah kabupaten/kota dan

kontribusi PBB di tingkat propinsi. Secara umum analisis LQ dapat

diformulasikan sebagai berikut:

21

Kontribusi Sektor(PBB) Di tingkat Kabupaten/Kota Si/N =

Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota Kontribusi Sektor (PBB) Di tingkat Propinsi Ni/n = Bagi hasil Pajak Propinsi

Setelah mengetahui nilai Si/N dan Ni/n, maka nilai LQ dapat

dirumuskan sebagai berikut:

LQ = nNiNSi/

/

Keterangan:

Si: Besarnya kontribusi PBB di tingkat kabupaten/kota

Ni: Besarnya kontribusi PBB di tingkat propinsi

N: Besarnya bagi hasil pajak di tingkat kabupaten/kota

n: Besarnya bagi hasil pajak di tingkat propinsi

Setelah nilai LQ diketahui, maka prosedur pengujian adalah sebagai

berikut:

1). Bila LQ > 0,5 , maka tingkat kemampuan/keunggulan daerah

yang diteliti adalah besar.

2). Bila LQ < 0,5 , maka tingkat kemampuan/keunggulan daerah

yang diteliti adalah kecil.

3). Bila LQ = 0,5 , maka tingkat kemampuan/keunggulan daerah

yang diteliti adalah sama dengan daerah daerah lain.

22

Prosedur pengambilan keputusan dari analisis LQ dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

1). Apabila LQ tahun 1998-2003 lebih dari 50 persen, maka

tingkat kemampuan/keunggulan PBB daerah kabupaten/kota di

Propinsi DIY adalah besar.

2). Apabila LQ tahun 1998-2003 kurang dari 50 persen, maka

tingkat kemampuan/keunggulan PBB daerah kabupaten/kota di

Propinsi DIY adalah kecil.

3). Apabila terdapat LQ kurang dari 50 persen dan lebih dari 50

persen maka dilihat rata-rata LQ kabupaten/kota di Propinsi

DIY tahun 1998-2003.