BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/38805/2/BAB I.pdfMobilitas sirkuler...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/38805/2/BAB I.pdfMobilitas sirkuler...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Berkembangnya komunikasi dan pembangunan sarana transportasi
mengakibatkan mobilitas penduduk non permanen meningkat (Ananta dalam
Mantra, 2003). Peningkatan mobilitas non permanen terjadi di berbagai negara
seperti Australia, Canada, United States, dan United Kingdom (Samuk, 2015;
Skeldon, n.d). Peningkatan mobilitas non permanen juga terjadi di Indonesia. Data
dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2014 menyatakan pada tahun 2010 tercatat
persentase pekerja pelaku mobilitas non permanen sebanyak 7% meningkat
menjadi 8,1% pada tahun 2014 (http://www.bps.go.id).
Mobilitas penduduk non permanen adalah pergerakan penduduk ke daerah
atau wilayah lain tanpa ada keinginan untuk menetap (Mantra, 2003). Mobilitas
non permanen ini oleh Mantra (2003) dibagi menjadi dua yaitu, sirkuler (mondok)
dan commuting (ulang-alik). Mobilitas sirkuler adalah mobilitas yang dilakukan
seseorang dengan bepergian ke daerah tujuan dan menginap dalam batas waktu
tertentu baru setelah itu kembali ke daerah asal. Sedangkan mobilitas commuting
adalah mobilitas yang dilakukan seseorang dengan bepergian ke daerah tujuan
untuk melakukan kegiatan tertentu kemudian kembali lagi ke daerah asal pada
hari yang sama. Jika dibandingkan jumlah pekerja yang melakukan commuting
dengan sirkuler, pekerja yang melakukaan commuting lebih banyak
(http://www.bps.go.id).
Orang-orang yang melakukan commuting lebih dikenal dengan istilah
commuter. Nivelainen (dalam Sandow, 2011) menjelaskan bahwa commuter
adalah seseorang yang melintasi batas wilayah administratif untuk bekerja hampir
setiap hari dan kembali lagi pada hari yang sama. Terkait dengan hal tersebut,
Mantra (2003) juga menjelaskan commuter adalah orang yang hampir setiap hari
meninggalkan tempat tinggalnya dengan pergi ke kota atau daerah lain namun
pulang pada sore harinya atau hari yang sama.
Secara khusus, ada beberapa batasan seseorang bisa dikatakan sebagai
commuter. Sandow (2011) menjelaskan bahwa seseorang bisa dikatakan sebagai
commuter jika ia melakukan perjalanan melewati batas wilayah administratif
dengan waktu perjalanan satu arah minimal 45 menit. Sementara Mantra (2003)
mengatakan commuter pada konsep waktunya diukur dengan enam jam atau lebih
meninggalkan daerah asal dan kembali pada hari yang sama. Sedangkan dalam
Badan Pusat Statistik Survei Angkatan Kerja Nasional (BPS SAKERNAS) 2014,
batasan seseorang dikatakan commuter di Indonesia adalah menempuh perjalanan
sekitar satu jam ke tempat kerja.
Sekarang ini, commuter telah menjadi hal yang umum terjadi di kota-kota
besar Indonesia. Data BPS SAKERNAS 2014 menunjukkan bahwa hampir 81,1%
commuter Indonesia berasal dari provinsi di pulau Jawa. Hal ini karena kota-kota
besar Indonesia kebanyakan berada di pulau Jawa. Provinsi di pulau Jawa
berdasarkan urutan commuter terbanyak yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Selain di pulau Jawa, ada
beberapa provinsi di luar pulau Jawa dengan commuter yang cukup besar
diantaranya Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Selatan dan Lampung
(http://www.bps.go.id).
Meskipun tidak sebanyak di sepuluh provinsi tersebut, provinsi Sumatera
Barat juga memiliki tenaga kerja yang menjadi commuter dengan jumlah yang
tidak sedikit. Berdasarkan data dari BPS SAKERNAS 2014 diketahui bahwa
1,2% dari seluruh commuter di Indonesia berada di Sumatera Barat, yaitu
sebanyak 83.264 orang (http://www.bps.go.id).
Bukan hanya tenaga kerja laki-laki, sebagian tenaga kerja perempuan juga
menjadi commuter. Berdasarkan data commuter dengan membedakan jenis
kelamin, diketahui bahwa 30% commuter di Indonesia adalah perempuan (BPS
SAKERNAS 2014). Sementara di Sumatra Barat, commuter perempuan
berdasarkan penelitian Marcelia (2017) adalah sekitar 47,3%.
Lebih lanjut, jika diamati berdasarkan usia, commuter banyak yang berada
pada rentang usia 20-40 tahun. Commuting ini sendiri banyak dilakukan oleh
orang yang berstatus menikah dibandingkan yang belum menikah (Data survei
Antar Sensus (SUPAS), 2015). Setio (2010) dalam penelitiannya juga
menemukan bahwa orang yang berstatus menikah memiliki kecenderungan lebih
tinggi melakukan commuting untuk bekerja dibandingkan yang tidak berstatus
menikah. Tingginya kecendrungan orang yang menikah melakukan commuting
karena tuntutan keluarga lebih tinggi sehingga mengharuskan orang yang menikah
untuk memperoleh penghasilan yang juga tinggi (Setio, 2010).
Bagi orang yang sudah berumah tangga dan melakukan commuting untuk
bekerja, commuting tentunya menimbulkan konsekuensi baik terhadap individu
maupun terhadap keluarga. Terkait dengan konsekuensi bagi individu, Kluger
(1998) kemudian juga Evans, Wener dan Philips (2002) mengatakan bahwa
perjalanan jauh akan mempengaruhi kondisi fisik maupun mental, yang dapat
menyebabkan stres dan kelelahan. Kemudian Hansson, Lindgren dan Jakobsson
(dalam Sandow 2011) berdasarkan sebuah studi di Swedia menemukan bahwa
commuter dengan waktu perjalanan lebih dari satu jam lebih akan mengalami sulit
tidur, stres, kesehatan dan kesejahteraan mental lebih negatif dibanding dengan
commuter berjarak lebih pendek.
Secara khusus, pada pekerja yang melakukan commuting, dampak
commuting ini dirasakan lebih negatif oleh perempuan. Berdasarkan penelitian
Novaco (1991) mengenai dampak commuting terhadap keadaan seseorang di
rumah dengan menggunakan gender sebagai variabel moderator menemukan
dampak dari commuting dirasakan lebih negatif oleh perempuan. Hal ini
menyebabkan perempuan yang melakukan perjalanan jauh lebih dysphoria
(kurang senang) dan memiliki general spirits (semangat umum) lebih rendah
dibanding laki-laki (Novaco, 1991).
Sementara itu, perempuan bekerja yang menikah dan telah memiliki anak
tentunya menjalani dua peran sekaligus, yaitu peran keluarga (family role) dan
peran pekerja (work role). Tuntutan peran pekerjaan dan peran keluarga yang
dihadapi secara bersamaan sering kali menimbulkan konflik. Hal ini terjadi karena
setiap orang mempunyai waktu dan energi yang terbatas. Tambahan peran akan
meningkatkan tekanan terhadap tugas yang saling menuntut, sehingga dapat
menyebabkan perasaan tumpang tindih dan konflik peran (work family conflict)
(Fu dan Shaffer, 2011).
Perempuan cenderung lebih mengalami work family conflict karena
tuntutan peran keluarga pada perempuan lebih besar, sementara di sisi lain mereka
juga harus melakukan tuntutan pekerjaan. Sejalan dengan itu Kussudyarsana dan
Soepatini (2008) mengatakan perempuan memiliki tuntutan merawat anak lebih
besar dibanding laki-laki karena perempuan secara alamiah mengandung dan
melahirkan. Kemudian Demo dan Acock (dalam Ahmad, & Skitmore, 2003)
menemukan bahwa terlepas dari status pekerjaannya, perempuan melakukan
pekerjaan rumah tangga dua atau tiga kali lebih banyak dari pada pasangan
mereka. Di sisi lain tuntutan pekerjaan dan karir, mengharapkan perempuan untuk
mengembangkan kemampuan dirinya sehingga memungkinkan untuk
memperoleh jabatan (posisi) yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih besar
(Kussudyarsana dan Seopatini, 2008).
Ibu yang melakukan commuting untuk bekerja akan mengalami konflik
ketika harus menyesuaikan tuntutan keluarga (pekerjaan rumah tangga &
perawatan anak) dengan tuntutan pekerjaan di antara sebagian waktu yang juga
dihabiskan untuk perjalanan (Rosenbloom dalam Novaco, 1991). Konflik-konflik
yang dialami oleh ibu tergambar dalam komunikasi personal personal tanggal 1
April dan 13 Oktober 2017 dengan empat orang ibu yang melakukan commuting,
diketahui bahwa mereka cukup kesulitan menjalankan perannya dikeluarga dan di
tempat kerja, terutama ketika mereka bekerja pada pagi hari. Mereka harus
bersiap-siap berangkat kerja lebih pagi bersamaan dengan menyiapkan kebutuhan
anak dan suami. Dua diantara narasumber yang memiliki anak usia sekolah dasar
mengatakan ketika akan berangkat ke tempat kerja pagi hari, mereka juga
menyiapkan anak pergi sekolah hal ini tidak jarang menyebabkan narasumber
terlambat di tempat kerja. Kemudian jika mereka memilih untuk berangkat kerja
lebih cepat agar tidak terlambat, maka pekerjaan rumah dan mengurus anak untuk
berangkat ke sekolah harus dilakukan oleh pasangan.
Work family conflict oleh Greenhaus dan Beutell (1985) didefinisikan
sebagai tekanan atau ketidakseimbangan peran, antara peran pekerjaan dan peran
keluarga. Kemudian Arinta dan Azwar (dalam Kusumawati & Thobagus, 2007)
menjelaskan bahwa work family conflict bersifat psikologis dengan gejala antara
lain, rasa bersalah, gelisah, tergantung, dan frustrasi. Work family conflict yang
dinyatakan oleh Greenhaus dan Beutell memiliki tiga bentuk yaitu; 1) time based
work family conflict, 2) strain based work family conflict dan, 3) behavior based
work family conflict.
Pertama, time based work family conflict merupakan konflik yang terjadi
karena tuntutan waktu pada satu peran mempengaruhi keterlibatan diperan
lainnya. Pada ibu bekerja, time based work family conflict terjadi dalam situasi
ketika ingin pekerjaannya baik dan sukses, maka keberadaannya ditengah
keluarga akan lebih sedikit dan akan membuat perannya dalam keluarga tidak
maksimal. Begitu pula sebaliknya, bila ibu berperan maksimal dalam keluarga,
maka keberadaannya dalam keluarga akan lebih banyak dan hal tersebut
menyebabkan karirnya terganggu (Andreas dalam Wulandari, 2012). Greenhaus
dan Beutell (1985) mencontohkan waktu pekerja yang digunakan untuk lembur
dan rapat di luar jam kerja akan mengurangi waktu pekerja bersama keluarga
sehingga tidak dapat menjalankan tuntutan perannya dikeluarga.
Kondisi tekanan waktu tentu dialami oleh ibu yang melakukan commuting.
Sandow (2011) menjelaskan bahwa commuting yang cukup banyak menghabiskan
waktu untuk pulang pergi bekerja menimbulkan konsekuensi semakin terbatasnya
waktu seseorang bersama anak-anak dan juga menyebabkan pasangan lebih
banyak melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini diperkuat dengan komunikasi
personal dengan empat orang narasumber ibu bekerja yang melakukan commuting
tanggal 1 April dan 13 Oktober 2017, mereka mengatakan meskipun pekerjaan
rumah tangga seperti berbelanja kebutuhan harian dan memasak mereka yang
melakukan. Namun karena keterbatasan waktu, pekerjaan rumah tangga lainnya
seperti mengurus anak dan membersihkan rumah sering kali dibantu oleh suami.
Kedua, strain based work family conflict yaitu konflik yang terjadi karena
stres yang ditimbulkan dari salah satu peran mempengaruhi peran yang lain
sehingga mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Sandow (2011)
mengatakan perempuan mengalami lebih banyak stres yang disebabkan oleh
commuting dibanding laki-laki, stres pada perempuan commuter ditemukan
menjadi konsekuensi dari terlalu banyak tugas untuk dipenuhi dan keprihatinan
terhadap anak-anak adalah yang paling menimbulkan stres. Kemudian pada
pasangan dual earner besarnya keterlibatan pasangan dalam rumah tangga akan
menimbulkan perasaan bersalah pada ibu yang melakukan commuting (Sandow,
2011). Berdasarkan komunikasi personal tanggal 1 April dan 13 Oktober 2017
dengan empat orang narasumber, diketahui bahwa mereka merasa khawatir
meninggalkan rumah pada situasi tertentu seperti anak sakit, orang tua sakit atau
ketika ada tamu yang menginap. Dua dari empat narasumber mengatakan kadang
merasa bersalah kepada suami dan anak-anak karena tidak bisa terlibat maksimal
dalam keluarga.
Ketiga, behavior based work family conflict yaitu konflik yang terjadi
ketika tingkah laku yang efektif untuk satu peran tidak efektif digunakan dalam
peran yang lain. Asvita (2015) menjelaskan adanya kebiasaan dan peran
ekspektasi (harapan peran menurut orang lain) di suatu domain
(keluarga/pekerjaan) yang menghalangi domain lainnya. Misalnya, ketika gaya
perilaku yang ditunjukkan seorang karyawan di tempat kerja tidak disukai oleh
pasangan dan anak-anaknya di rumah, hal itu akan mempengaruhi kehidupan
keluarga (Edward & Rothbard, dalam Asvita 2015).
Work family conflict dapat menimbulkan beberapa dampak negatif baik
terhadap individu itu sendiri, keluarganya maupun bagi organisasi tempat bekerja
(Higgins, Duxbury & Lyons, 2007). Dampak negatif terhadap individu ada dua
yaitu psikologis dan fisik. Dampak psikologis bagi individu yaitu berkurangnya
kepuasan kerja (Erdwins, Buffardi & Casper, 2001; Kim & Ling, 2001; Noor,
2002; Noor, 2004), menimbulkan ketegangan dan stress (Parasuraman &
Simmers, 2001). Beberapa penelitian menemukan bahwa work family conflict
berhubungan negatif dengan kepuasan kerja seseorang. Semakin tinggi work
family conflict yang dialami maka kepuasan kerja cenderung rendah. Individu
yang mengalami work family conflict juga cenderung mengalami ketengan dan
stress, baik ketika di keluarga maupun ketika bekerja yang disebabkan tuntutan
peran yang tidak bisa dilakukan secara bersamaan (Parasuraman & Simmers,
2001).
Selain itu dampak psikologis yang dialami individu, juga akan
mengarahkan individu pada perilaku tidak sehat seperti penggunaan obat-obatan,
makan berlebihan, diet yang tidak sehat dan melewatkan waktu makan (Bellavia
& Frone, 2005). Disamping dampak psikologis, individu juga akan menghadapi
dampak fisik berupa gangguan kesehatan (Aycan & Eskin, 2005; Major Klein, &
Ehrhart, 2002). Gangguan kesehatan yang dapat dialami individu diantaranya
hipertensi dan kolesterol tinggi.
Sementara itu dampak negatif terhadap keluarga, diantaranya
menyebabkan kepuasan dalam kehidupan keluarga yang berkurang (Aycan &
Eskin, 2005; Huang, Hammer, Nael &Perrin, 2004; Parasuraman & Simmers,
2001). Tingginya level work family conflict dialami individu yang bersumber dari
pekerjaan akan mengurangi kepuasan kehidupan keluarga. Kepuasan kehidupan
keluarga dapat dilihat dari terbangunnya komunikasi dan hubungan yang dekat
dengan semua anggota keluarga. Terlalu banyaknya tuntutan pekerjaan sehingga
banyak waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk pekerjaan akan menyulitkan hal
tersebut terjadi.
Setelah itu dampak negatif bagi organisasi tempat bekerja, yaitu
berkurangnya komitmen karyawan pada pekerjaan (Poelmans, 2001). Tingginya
level work family conflict yang bersumber dari keluarga dapat menyebabkan
karyawan memiliki komitmen kerja yang rendah. Penelitian Hammer dkk (2003)
menemukan bahwa waktu yang dihabiskan karyawan untuk memenuhi tuntutan
keluarga akan mempengaruhi tingginya tingkat absensi karyawan. Rendahnya
komitmen kerja ini dapat mendorong perputaran tenaga kerja yang tinggi (high
turnover) pada organisasi (Poelmans, 2001).
Perempuan bekerja memiliki kecenderungan work family conflict dalam
level yang berbeda-beda, hal tersebut karena beberapa faktor. Bellavia dan Frone
(2005), mengatakan faktor-faktor tersebut secara umum dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu; 1) faktor individu, 2) faktor keluarga dan, 3) faktor pekerjaan.
Faktor individu yaitu usia individu (Andreassi &Thomson dalam Allen, Ryan,
Kaitlin & Kristen, 2013). Kemudian faktor keluarga seperti, usia anak bungsu
(Ahmad; Lu et al dalam Ahmad, 2008), adanya bantuan untuk mengasuh anak
(Greenberger & O’Neal; Ahmad dalam ahmad 2008), jam kerja pasangan
(Akinjide & Poele, dalam Dartey 2015), dan besarnya keluarga (Yang, Chen,&
Choi, 2000; Stoner et al dalam Ruslina, 2014). Selanjutnya faktor pekerjaan yaitu,
jam kerja perminggu (Akinboye, dalam Dartey 2015; Devries 2011 dalam asvita
2015), karakteristik pekerjaan (Bellavia & Frone, 2005), dan beban kerja
(Bellavia & Frone 2005; Devries, dalam asvita 2015; Frone, Russell, & Cooper,
1992).
Berdasarkan kajian peneliti, banyak berkembang penelitian mengenai work
family conflict pada perempuan bekerja. Diantaranya penelitian Apperson,
Hesther, Sarah dan Leon (2002) mengenai work family conflict pada manager
wanita. Penelitia Apperson dkk (2002) menemukan manager wanita mengalami
work family conflict pada level tinggi. Kemudian Fadhillah (2015) meneliti work
family conflict PNS wanita jabatan eselon IV di Pemda kota Pariaman hampir
setengahnya mengalami work family conflict pada kategori tinggi dan sedang.
Selanjutnya Melni (2016) melakukan penelitian work family conflict pada perawat
yang sudah menikah di RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi, dimana rata-rata
perawat mengalami work family conflict dalam kategori sedang. Sudah banyak
penelitian sebelumnya yang mengkaji work family conflict, namun belum ada
yang mengaitkan work family conflict dengan waktu perjalanan dan jauhnya tepat
kerja. Sementara diketahui bahwa time (waktu) merupakan suatu aspek work
family conflict itu sendiri.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa sebagian ibu bekerja
di Sumatera Barat melakukan commuting untuk bekerja. Ibu bekerja sendiri rentan
mengalami work family conflict. Work family conflict yang dialami oleh ibu
bekerja ini dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap ibu bekerja sendiri,
keluarga maupun organisasi tempat bekerja. Penelitian mengenai work family
conflict pada ibu bekerja telah banyak dilakukan, namun belum ada penelitian
work family conflict yang secara khusus meneliti ibu bekerja yang melakukan
commuting terutama di Sumatera Barat. Oleh karena itu, peneliti menganggap
penting untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Work Family Conflict
pada Ibu Bekerja yang Melakukan Commuting”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dari
penelitian ini yaitu, bagaimana gambaran work family conflict pada ibu bekerja
yang melakukan commuting?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini yaitu, untuk mengetahui bagaimana gambaran work family
conflict pada ibu bekerja yang melakukan commuting.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini dapat memperkaya penggalian informasi mengenai
gambaran work family conflict pada ibu bekerja yang melakukan
commuting.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai penambah wawasan bagi
stakeholder instansi tempat bekerja mengenai bagaimana gambaran work
family conflict pada ibu bekerja yang melakukan commuting.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran pada keluarga dimana ibu
yang bekerja melakukan commuting, mengenai permasalahan work family
conflict yang terjadi pada ibu sehingga anggota keluarga dapat lebih
memahami.
1.5 Sistematika Penulisan
Sub bab ini berisi penjelasan mengenai sistematika penulisan yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab satu berisikan uraian singkat mengenai latar belakang,
permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini merupakan bagian yang menjelaskan teori-teori tentang
work family conflict, ibu bekerja, dan commuting, serta
menjelaskan tentang kerangka pemikiran dari penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan dalam penelitian,
identifikasi variable, definisi oprasional variable penelitian,
populasi dan metode pengambilan sample, instrumen dan alat
ukur digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode
analisis data.
BAB IV : Analisis dan Pembahasan
Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum subjek penelitian,
hasil penelitian, gambaran variabel penelitian dan pembahasan.
BAB V : Penutup
Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian
yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, dan juga saran terkait
dengan hasil penelitian ataupun untuk penelitian berikutnya.