BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh...

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan masih banyaknya jumlah pengangguran di negara Indonesia, merupakan bukti bahwa belum tersedianya lapangan kerja yang cukup bagi para pekerja yang ingin mencari pekerjaan di negara sendiri. Hal ini sungguh memperihatinkan, karena banyak diantara para penganggur tersebut yang merupakan orang-orang yang masih dan atau sedang produktif untuk mencari pekerjaan. Pengangguran sendiri merupakan fenomena sosial yang akan terus bertambah jumlahnya jika pemerintah tidak mencari solusi yang tepat bagi para penganggur tersebut. Menurut Sukirno, pengangguran adalah jumlah tenaga kerja dalam perekonomian yang secara aktif mencari pekerjaan tetapi belum memperolehnya. 1 Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan penyebaran penduduk yang kurang seimbang, merupakan faktor yang sangat mempengaruhi masalah pengangguran di Tanah Air. Kebutuhan-kebutuhan kerja bagi para tenaga kerja yang telah mencapai usia kerja produktif terlihat sangat besar didaerah-daerah yang sangat padat penduduknya, sedangkan di daerah-daerah yang masih kurang padat penduduknya dapat dikatakan kekurangan tenaga kerja yang berusia muda, yang cakap dan trampil. 2 1 Sukirno Sadono, 2004, Makro Ekonomi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 28. 2 G. Kartasapoetra, Rg Kartasapoetra, A. G. Kartasapoetra, 1986, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta, Bina Aksara, h. 1.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan masih banyaknya jumlah pengangguran di negara Indonesia,

merupakan bukti bahwa belum tersedianya lapangan kerja yang cukup bagi para

pekerja yang ingin mencari pekerjaan di negara sendiri. Hal ini sungguh

memperihatinkan, karena banyak diantara para penganggur tersebut yang

merupakan orang-orang yang masih dan atau sedang produktif untuk mencari

pekerjaan. Pengangguran sendiri merupakan fenomena sosial yang akan terus

bertambah jumlahnya jika pemerintah tidak mencari solusi yang tepat bagi para

penganggur tersebut. Menurut Sukirno, pengangguran adalah jumlah tenaga kerja

dalam perekonomian yang secara aktif mencari pekerjaan tetapi belum

memperolehnya.1

Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan penyebaran penduduk yang kurang

seimbang, merupakan faktor yang sangat mempengaruhi masalah pengangguran

di Tanah Air. Kebutuhan-kebutuhan kerja bagi para tenaga kerja yang telah

mencapai usia kerja produktif terlihat sangat besar didaerah-daerah yang sangat

padat penduduknya, sedangkan di daerah-daerah yang masih kurang padat

penduduknya dapat dikatakan kekurangan tenaga kerja yang berusia muda, yang

cakap dan trampil.2

1 Sukirno Sadono, 2004, Makro Ekonomi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 28.

2 G. Kartasapoetra, Rg Kartasapoetra, A. G. Kartasapoetra, 1986, Hukum Perburuhan Di

Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta, Bina Aksara, h. 1.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

Pemerintah telah mengupayakan setiap penduduk Indonesia mendapatkan

pekerjaan. Hal ini diatur dalam konstitusi, yakni pada Pasal 27 ayat (2) dan Pasal

28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Isi dari

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi : “setiap warga negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal ini menekankan

kepada setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang

layak, sedangkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 berbunyi : “setiap orang berhak

untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dalam

hubungan kerja.” Pasal ini mengatur agar para pekerja mendapatkan imbalan dan

perlakuan yang adil dalam hubungan kerja.

Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, maka seharusnya setiap warga Indonesia

terjamin untuk mendapatkan pekerjaan. Namun,fakta yang terjadi saat ini berbeda

dengan apa yang telah diatur di dalam Undang-undang Dasar 1945.Tingginya

angka para pencari kerja tidak berbanding lurus dengan tersedianya lapangan

pekerjaan yang ada di Indonesia, sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah

pengangguran di Indonesia.Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi jumlah

pengangguran yang terus menerus bertambah adalah dengan caramengirimkan

tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Melalui upaya ini, pemerintah

mengusahakan seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan di

luar negeri.

Pemerintah mempunyai peranan penting dalam program penempatan

Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya disebut TKI) ke luar negeri, yang

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

dititikberatkan pada aspek pembinaan, perlindungan serta memberikan berbagai

kemudahan bagi para TKI untuk mencari kerja di luar negeri.Program ini

bermanfaat untuk mengurangi tekanan pengangguran.Program penempatan TKI

juga memberikan manfaat lain, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarganya

melalui gaji yang diterima atau remitansi. Selain itu, program penempatan TKI ke

luar negeri dapat meningkatkan keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman

bekerja di luar negeri. Bagi negara, manfaat yang diterima adalah berupa

peningkatan penerimaan devisa, karena para TKI yang bekerja tentu memperoleh

imbalan dalam bentuk valuta asing.3

Seperti yang diketahui bahwa TKI merupakan salah satu aset negara yang

sering memberikan banyak devisa bagi negara Indonesia. Kontribusi devisa yang

mereka hasilkan bagi negara sangat berperan penting dalam pembangunan

ekonomi bangsa Indonesia. Hal ini tidak dapat disanggah,karena para TKI sering

disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai

“pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan yang mereka dapatkan,

baik di dalam negeri sendiri bahkan di negara tempat mereka bekerja.Salah satu

permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia sehubungan dengan

penempatan TKI ke luar negeri adalah masalah TKI ilegal pada masa perekrutan

atau pada masa pra penempatan.

TKI ilegal ini sering didefinisikan sebagai suatu perpindahan yang terjadi di

luar norma aturan di negara asal, transit dan tujuan.4 Dari perspektif negara tujuan,

3 Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 236.

4 International Organization for Migration (IOM), 2010, Migrasi Tenaga Kerja Dari

Indonesia, Gambaran Umum Migrasi Tenaga Kerja Indonesia di Beberapa Negara Tujuan di Asia

dan Timur Tengah, Jakarta, h. 16.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

perpindahan termasuk: datang, tinggal atau bekerja di suatu negara secara ilegal.

Artinya, migran tidak mempunyai dokumen yang diperlukan sesuai peraturan

imigrasi untuk masuk, tinggal dan bekerja di suatu negara pada saat itu. Dari

perspektif negara asal, migrasi ilegal terjadi pada saat seorang warga negara dari

suatu negara menyeberang ke perbatasan internasional tanpa dokumen perjalanan

yang sah atau tidak memenuhi persyaratan administrasi untuk berangkat ke negara

tersebut.5

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4445 Tahun 2004) sebagai dasar hukum untuk mengirimkan

TKI ke luar negeri, telah menetapkan aturan yang melarang kegiatan aktifitas

pengiriman TKI secara non prosedur ini. Salah satu contohnya adalah Pasal 4 UU

No. 39 Tahun 2004 yang berbunyi, orang perseorangan dilarang menempatkan

warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Aturan yang

memperbolehkan pelaksana penempatan TKI secara resmi diatur pada Pasal 10

UU No. 39 Tahun 2004 yang berbunyi, “pelaksana penempatan TKI di luar negeri

terdiri dari : a. Pemerintah; dan b. Pelaksana penempatan TKI swasta”. Sedangkan

mengenai penempatan TKI oleh pihak swasta diatur pada Pasal 12 UU No. 39

Tahun 2004 yang berbunyi, “Perusahaan yang akan menjadi pelaksana

penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib

mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri.”

5 ibid, h. 18.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

Meskipun telah diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, sejumlah pelanggaran

masih saja terjadi. Salah satu contohnya adalah adanya sejumlah oknum penyalur

TKI secara non prosedural yang tidak memiliki perusahaan resmi,berhasil

melakukan perekrutansejumlah TKI ke luar negeri. Hal ini menunjukkan adanya

sejumlah pelanggaran yang menimbulkan korban dari pihak calon TKI. Beberapa

contoh kasus yang pernah menimpa TKI di Bali menurut Buku Register Pidana

Biasa Tahun 2011 di Pengadilan NegeriDenpasar adalah sebagai berikut :

1. Putusan Nomor : 813/Pid.B/2011/PN.DPS yang menyatakan bahwa

Terdakwa Gheo Sugiharto, Muhammad Safii, Mustakim telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Menempatkan TKI diluar negeri yang tidak memiliki KTKLN (Kartu

Tenaga Kerja Luar Negeri) kepada sepuluh orang calon TKI atas nama

SUHERMAN, JUMAWARDI, WARDI, SAHNAN, PAJARUDIN,

MAJRUN, HUSNARDI, SUKRIADI, AHMAD, dan MULIADI

sehingga terdakwa melanggar Pasal 104 ayat (1) d jo. Pasal 64 UU RI

No. 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Indonesia jo. Pasal 55 ayat (1)

ke 1 KUHP dengan pidana masing-masing 6 (enam) bulan kurungan.

2. Putusan Nomor : 820/Pid.B/2011/PN.DPS yang menyatakan bahwa

Terdakwa IIN RIANY FUJI telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana PENIPUAN terhadap empat calon

TKI yang bernama TOLBOK HAMONANGAN PARDEDE,

VINSESIUS KASE, MELKY SEDEKSOLE dan SEBY SEUBELAN,

sehingga diancam dengan Pasal 378 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP,

dengan pidana selama 1 tahun dan 8 bulan penjara.

Kedua kasus tersebut menunjukkan adanya pelanggaran yang dilakukan

oleh oknum orang perseorangan yang ingin memberangkatkan TKI ke luar negeri

secara non prosedural.Walaupun putusan hakim telah dibacakan, akan tetapi

masih banyak terdapat sejumlah kasus yang menimpa para TKI yang akan bekerja

keluar negeri. Ini terbukti dengan adanya beberapa puluh kasus yang terjadi setiap

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

tahunnya dalam proses penyaluran TKI secara non prosedural ke luar negeri yang

penulis dapat dari Dinas Tenaga Kerja Indonesia dan Transmigrasi Provinsi Bali.

oleh karena itu penerapan sanksi bagi penyalur TKI secara non prosedural dapat

dikatakan tidak efektif, karena masih banyaknya tindak pidana penyalur TKI yang

dilakukan oleh beberapa oknum penyalur TKI.

Pelanggaran pada masa pra penempatan atau masa perekrutan TKI ini, pada

umumnya terjadi dikarenakan korban membutuhkan pekerjaan untuk

meningkatkan perekonomian di keluarganya. Situasi ini menjadi kesempatan bagi

para oknum perekrut TKI, untuk ambil bagian dalam mengakomodasi kebutuhan

dari tenaga kerja tersebut. Namun pada kenyataannya, TKI sering mendapatkan

bantuan dari para oknum perekrut untuk mengirimkan mereka bekerja ke luar

negeri. Bekerja dengan regulasi yang tidak resmi berpotensi menimbulkan

kerugian terhadap TKI itu sendiri, seperti contohnya rentan terhadap kekerasan

yang dapatmereka alami ketika bekerja di luar negeri, tanpa mereka dapat prediksi

sebelumnya.Hal ini dikarenakanmereka tidak mempunyai dokumen yang resmi

ketika berangkat ke luar negeri.

Menanggulangi aktifitas penyaluran TKI secara non prosedur melalui

produk hukum berupa undang-undang ini pada dasarnya merupakan salah satu

wujud dari kebijakan penanggulangan kejahatan atau bagian dari politik/kebijakan

kriminal.6 Undang-undang dalam hal ini UU No. 39 Tahun 2004 mengamanatkan

kepada pemerintah untuk menerapkan sanksi bagi para pelanggar perekrut

6 Henny Nuraeny, 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana

dan Pencegahannya), Sinar Grafika, Jakarta, h. 28.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

maupun penyalur TKI. Penerapan sanksi perlu diterapkan sebagai upaya untuk

mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi didalam masyarakat.

Sebagai bentuk upaya menanggulangi kasus penyalur TKI secara non

prosedural ini,dibutuhkan kerja sama antara berbagai lembaga yang saling terkait.

Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana penerapan sanksi pidana dalam

menanggulangi tindak pidana penyalur TKI yang tidak memiliki izin yang

dilakukan oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Tidak hanya terbatas pada ruang

lingkup pengadilan saja, tetapi juga aparat terkait yakni pihak kepolisian dalam

hal ini Kepolisian Daerah Bali (POLDA Bali) sebagai aparat penegak hukum dan

juga pihak Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia (BP3TKI) Provinsi Bali sebagai pihak yang bertugas untuk melindungi

TKI.Ketiga lembaga ini harus saling berkoordinasi agar dapat mengetahui

hambatan dan upaya yang tepat untuk mencegah terjadinya pelanggaran penyalur

TKI di Bali. Sehingga, proses penegakan hukum ini dapat berjalan optimal

gunamencegah terjadinya pelanggaran penyalur TKI di masa mendatang.

Berdasarkan dari pemaparan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk

meneliti dan memilih skripsi dengan judul “Penerapan Sanksi Terhadap

Pelanggaran Penyalur Tenaga Kerja Indonesia (Studi Kasus Putusan

Nomor. 813/Pid.B/2011 PN.Dps)”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat

beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun

permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

1. Bagaimanakah proses penerapan sanksi pidana terhadap perusahaan

penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memiliki izin ?

2. Apakah hambatan dalam penerapan sanksi terhadap penyalur Tenaga Kerja

Indonesia yang tidak memiliki izin ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk membatasi pembahasan dalam skripsi ini, diperlukan rumusan ruang

lingkup masalahnya, karena tanpa adanya ruang lingkup yang jelas maka masalah

tersebut sulit untuk dikaji. Oleh karena itu didalam penulisan skripsi ini batasan

masalahnya terkait dengan proses penerapan sanksi pidana terhadap perusahaan

penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memiliki izin dan hambatan dalam

proses penerapan sanksi terhadap penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak

memiliki izin.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terkait dengan penerapan sanksi terhadap pelanggaran

penyalur tenaga kerja Indonesia adalah sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami

tentang bagaimana proses penerapan sanksi terhadap pelanggaran penyalur

Tenaga Kerja Indonesia.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana proses penerapan sanksi terhadap perusahaan

penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memiliki izin;

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

2. Untuk mengetahui hambatan serta upaya dalam proses penerapan sanksi

terhadap penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memiliki izin.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan kontribusi

pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang ilmu

hukum khususnya hukum pidana dibidang penerapan sanksi terhadap pelanggaran

penyalur TKI serta untuk mengetahui hambatan dan upaya dalam proses

penerapan sanksi terhadap pelanggaran penyaluran TKI yang tidak memiliki izin.

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan kontribusi pemikiran serta solusi kongkrit bagi para lembaga

penegak hukum terutama di Kepolisian dan Pengadilan guna menerapkan sanksi

terhadap pelanggaran penyaluran TKI yang tidak memiliki izin.

1.6. Landasan Teoritis

1.6.1. Teori Sifat Melawan Hukum

Sifat melawan hukum dalam berbagai istilah berbeda-beda, contohnya

dalam bahasa Belanda, sebagian besar pakar menggunakan istilah

onrechtmatigedaad, sebagian lagi memakai istilah wederrechtelijk. Sedangkan

dalam istilah bahasa Inggris digunakan kata unlawfulness yang dapat

disinonimkan dengan illegal. Para pakar menggunakan istilah-istilahnya sendiri.

Lamintang memakai istilah “tidak sah”, Hazewinkel-Suringa memakai istilah

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

zonder bevoegheid (tanpa kewenangan), sedang Hoge Raad memakai istilah

zonder eigenrecht (tanpa hak).7

Pendapat Hoge Raad terhadap arti Onrechtmatigdaad (melawan hukum)

dapat dilihat dari putusannya pada tanggal 31 Januari 1919, N.J. 1919, W.10365

yang berbunyi, Onrechtmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan

dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum bagi si pelaku,

melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan

dalam pergaulan masyarakat.8

Sejak perubahan pendapat Hoge Raad tersebut, doktrin membedakan

wederrechtelijk (melawan hukum) atas :

1. Melawan hukum dalam arti materiil;

2. Melawan hukum dalam arti formil.9

Sementara itu, Lamintang menjelaskan sebagai berikut,

Menurut ajaran wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya

dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut

memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik menurut undang-

undang. Menurut ajaran wederrechtelijk dalam arti materiil, apakah suatu

perbuatan itu dapat dipandang sebagai wederrechtelijk atau tidak, masalahnya

bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan hukum yang tertulis melainkan

juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.10

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam

hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat

melawan hukum yang formal dan materiil. Adapun akan diuraikan sebagai

berikut:

7 Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 44.

8 ibid, h. 44.

9 ibid, h. 45.

10 PAF Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h.

445.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik

undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat

dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu

perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak

pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar

maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-

undang.

b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil

Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum

yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus

dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum

itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan

yang tidak tertulis.11

Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan

pandangan yang materiil, maka perbedannya yaitu :

1. Mengakui adanya pengecualiaan / penghapusan dari sifat melawan

hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis,

sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang

tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai

kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48

KUHP, mengenai overmacht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa

(noodweer);

2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana,

juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut,

sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi

unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik

disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.12

Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum

merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau

tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan

hukum ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

11

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 31. 12

Moelijatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 134.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah

sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan

secara eksplisit;

2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar

atau bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku baginya, oleh karena

itu dengan sendirinya berarti bahwa mempidana orang yang tidak

melakukan perbuatan pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat

melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan.13

Bagi hukum pidana mengingat luasnya sifat melawan hukum dalam bidang

hukum perdata, terjadi suatu keadaan yang tidak menguntungkan terutama

terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut pergaulan masyarakat tidak tertulis

sebagai perbuatan yang tidak patut. Padahal dengan adanya asas legalitas, arti sifat

melawan hukum dalam hukum pidana menjadi sempit.

1.6.2. Teori Pemidanaan

Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan

individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu

pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga

keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan bersama. Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana

adalah dengan cara menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan

suatu tindak pidana.

Ada beberapa teori-teori tujuan pemidanaan yang pada umumnya dibagi

dalam tiga golongan (teori) yaitu:

1. Teori Absolut (Pembalasan)

Teori ini merupakan teori tertua (klasik) yang berpendapat bahwa pidana

itu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu

13

Andi Zainal Abidin, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), Alumni,

Bandung, h. 269.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Menurut teori ini,

oleh karena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi yang terkena kejahatan,

maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa

pidana kepada seseorang yang melakukan kejahatan itu. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Muladi yakni,

Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan

atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan

terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan

bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus

ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan

sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.14

Demikian seperti yang dikemukakan oleh Hegel seorang filosof yang

berpendapat bahwa,

Hukum atau keadilan itu merupakan kenyataan kemerdekaan.

Sehubungan dengan itu, maka kejahatan merupakan ketidakadilan (onrecht)

yang berarti merupakan tantangan terhadap hukum dari keadilan. Oleh karena

itu, keadaan tantangan terhadap hukum atau keadilan itu harus dilenyapkan

dengan ketidakadilan pula, yaitu dengan pidana, karena pidana itu merupakan

ketidakadilan pula.15

Selain itu, Stahl juga berpendapat bahwa,

Tuhan menciptakan negara sebagai wakil-Nya di dunia untuk

menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Hukum itu merupakan tata

tertib yang diciptakan di dunia. Kejahatan berarti pelanggaran terhadap tata

tertib yang diciptakan Tuhan itu. Untuk meniadakan kejahatan itu, maka

kepada negara kekuasaan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku

kejahatan.16

Dari beberapa pendapat diatas, maka teori pembalasan atau Teori

Absolut ini merupakan sebuah teori yang berlandaskan bahwa apapun

14

Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta, h. 11. 15

Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,

h. 53. 16

ibid, h. 54.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

kejahatan yang diperbuat oleh si pelaku tindak pidana, harus dibalas sesuai

apa yang telah diperbuat oleh si pelaku tindak pidana kepada korban.

2. Teori Relatif (Teori Tujuan)

Menurut Teori Relatif ini, pidana itu bukanlah untuk melakukan

pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan

tertentu yang bermanfaat. Teori ini mengemukakan bahwa penjatuhan pidana

bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan.

Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana

melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan

bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:

1. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-

nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik

terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif

umum).

2. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan

mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang

baik dalam masyarakat (preventif khusus).17

Maksud dari General Preventie (Pencegahan umum) dijelaskan olehAndi

Hamzah sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady yang mengatakan bahwa

nemo prudens punit quia peccatum, sed net peccetur (tidak layak orang

mempidana karena telah terjadinya perbuatan salah, tetapi dengan maksud

agar tidak terjadi lagi perbuatan salah). Menjatuhkan pidana dan

melaksanakan pidana yang dilakukan dengan cara yang kejam serta

dipertontonkan kepada khalayak umum, sehingga setiap orang akan merasa

17

Ruslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, h. 26.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

takut untuk melakukan kejahatan.18

Kemudian Speciale Preventie diungkapkan oleh Van Hamel menurut

Teorinya yaitu :

1. Pidana harus memuat unsur-unsur menakutkan supaya mencegah

penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat

buruknya.

2. Pidana harus mempunyai unsur membinasakan untuk memperbaiki

terpidana.

3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin

diperbaiki.

4. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib

hukum.19

Dengan berbagai pendapat diatas, maka teori relatif atau teori tujuan ini

menjadi dasar pembenar pidana untuk menjamin ketertiban hukum (rechts

orde). Teori ini berpokok pangkal kepada susunan Negara oleh karena sifat

hakikat serta tujuan dari negara adalah untuk menjamin ketertiban hukum di

wilayahnya.

3. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen)

Teori ini merupakan gabungan dari Teori Absolut (Pembalasan) dengan

Teori Relatif (Tujuan). Tokoh yang pertama kali mengajukan teori gabungan

ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1848). Menurutnya pidana itu

menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh

melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban

masyarakat dan tidak boleh lebih berat dari beratnya penderitaan

yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana. Teori ini juga melihat

kemasa depan dalam pelaksanaan pidana atau pembalasaanya, yakni dengan

18

Tolib Setiady, op cit., h. 57. 19

Tolib Setiady, loc. cit.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

melakukan pencegahan-pencegahan agar tidak terjadinya tindak pidana

sebagaimana dalam teori relatif.20

1.6.3. Teori Penegakan Hukum

Salah satu hubungan hukum dengan masyarakat ialah sistem penegakan

hukum, di mana hukum bekerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku sosial

masyarakat. Black’s Law Dictionary mendefinisikan Law Enforcement

(penegakan hukum), sebagai The Detention and punishment of violation of the

law. This term is not limited to the enforcement of criminal law. For example, the

freedom of Information Act contain an exemption from disclosure for information

complied for law enforcement purpose and furnished in confidence. The

examption of a variety of noncriminal (such as national security term).21

Menurut Soerjono Soekanto, inti dari penegakan hukum adalah keserasian

hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap

dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir

untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata

berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun kenyataan di Indonesia

kecenderungannya adalah demikian.22

Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan hukum

adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum

menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan

20

Tolib Setiady, op. cit., h. 58. 21

Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul

Minesota, h. 891. 22

Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja

Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 5.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

pembentuk undang-undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan

hukum itu.23

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep,

yaitu sebagai berikut :

a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)

yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum

tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.

b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)

yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara

dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual.

c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang

muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena

keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana,

kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan

kurangnya partisipasi masyarakat.24

Apabila ketiga konsep penegakan hukum tersebut dijalankan, maka proses

penegakan hukum akan dapat menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan

hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana. Hal ini juga

sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam

rangka mencapai tujuan,sebagai keharusan untuk melihat penegakan hukum

pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.

Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Siswanto Sunarso

dalam bukunya Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, mengemukakan bahwa

kualifikasi terhadap perilaku yang melanggar hukum dirumuskan oleh warga-

warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang. Hal ini merupakan

23

Satjipto Rahardjo, Tt, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar

Baru, h. 15. 24

Mardjono Reksodipuro, 1997, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan

Karangan, Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi

Universitas Indonesia, Jakarta, h. 7.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

titik tolak yang penting oleh karena perilaku melanggar hukum dibuat oleh warga

negara tertentu sebagai suatu takaran terhadap perilaku warga lainnya.25

Berdasarkan hal ini maka ada suatu anggapan bahwa hukum yang baik

adalah hukum yang mendatangkan keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat.

Penetapan tentang perilaku yang melanggar hukum senantiasa dilengkapi dengan

pembentukan organ-organ penegakannya. Hal ini bergantung pada faktor-faktor :

1. Harapan masyarakat, yakni apakah penegakan hukum tersebut sesuai atau

tidak dengan nilai-nilai masyarakat.

2. Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan

melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum tersebut.

3. Kemampuan dan kewibawaan dari organisasi penegak hukum.26

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan

sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada

faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai

arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-

faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu faktor dari undang-undangnya;

2. Faktor penegak hukum, yakni para pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.27

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada

efektivitas penegakan hukum.

25

Siswanto Sunarso, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, h. 108. 26

ibid, h. 108. 27

Soerjono Soekanto I, op. cit., h. 8.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini termasuk ke

dalam penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris artinya di dalam

penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat

diamati dalam kehidupan nyata.28

Pada konteks ini, sesuatu yang disebutkan

sebagai hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-

literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat

atau proses di dalam masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan

menimbulkan berbagai efek dalam kehidupan sosial dengan merumuskan

kesenjangan antara das sein dan das sollen, yaitu kesenjangan antara teori dengan

realita atau fakta hukum.

1.7.2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif. Pada

penelitian deskriptif secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu

hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,

gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan

gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini dapat mencantumkan pula teori-teori,

ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam

literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu yang sudah ada

dan bahkan jumlahnya cukup memadai.

28

Nomense Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT. Bumi Intitama Sejahtera,

Jakarta, h. 59.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

1.7.3. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data primer

dan data skunder.

1. Data Primer

Data yang didapat dengan penelitian lapangan (Field Research) yakni

langsung pada obyek penelitian yang ada hubungannya dengan masalah yang

diteliti.29

Penelitian lapangan dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar, Polda

Bali, dan Balai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI)

Provinsi Bali didapat dari wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait.

2. Data Sekunder

Data yang didapat dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library

Research) yakni mengadakan penelitian terhadap bahan-bahan bacaan untuk

mendapat data secara teoritis. Data sekunder terdiri dari Bahan Hukum Primer,

Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tersier.30

a. Bahan Hukum Primer adalah peraturan perundang-undangan yang tertera

dalam tulisan ini yaitu :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

29

RomyHanitijo Soemitro, 1985, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia,

Jakarta, h.142.

30 Burhan Ashofa, 2001, Metoda Penelitian Hukum, Cet.III, PT Rineka Cipta, Jakarta,

h.103.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4445 Tahun 2004).

5. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor : 813/Pid.B/2011/PN.Dps.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah literatur yang terkait dengan permasalahan

yaitu yang tercantum dalam daftar bacaan.

c. Bahan Hukum Tersier adalah berupa kamus hukum Indonesia, kamus Besar

Bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda dan

encyclopedia yang digunakan untuk menjelaskan arti kata-kata yang

terdapat dalam skripsi.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

Teknik Studi Dokumen dan Teknik Wawancara (Interview). Teknik Studi

Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan

penelitian yaitu Putusan Nomor : 813/Pid.B/2011/PN.Dps danUndang-Undang

Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri.

Sedangkan, Teknik Wawancara (Interview) dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang yang telah

dirancang sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan

mendukung permasalahan didalam penelitian. Hasil pengumpulan data tersebut

kemudian akan dilakukan pengolahan dan analisis data.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan

1.7.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan

teknik non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik

purposive sampling.Penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu

sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti dengan cara mencari key

information (informasi kunci), yang didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah

memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri

utama populasinya.

1.7.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Analisis kualitatif adalah analisis yang digunakan ketika data yang

dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data yang

sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus

sehingga tidak dapat disusun ke dalam sturuktur klasifikasi, hubungan antara

variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data

menggunakan pedoman wawancara atau oberservasi.

Penelitian dengan teknik analisis kualitatif atau yang juga sering dikenal

dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik

dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara

menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan thema,

diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lainnya,

dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial dan

dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan

kualitas data.