BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/55246/2/BAB I.pdf · Abe...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/55246/2/BAB I.pdf · Abe...
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di masa globalisasi kini, persaingan ekonomi merupakan hal yang tidak
dapat dihindari baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Pada dasarnya,
kegiatan perekonomian di Jepang berbasis pada sistem pasar bebas dimana sektor
unggulan perdagangan yang dimiliki oleh Jepang terletak pada sektor pertanian,
perikanan, perindustrian maupun kegiatan ekspor dan impor. Jepang sebagai salah
satu negara dengan perekonomian yang terbilang maju dalam hal ini selalu
berupaya untuk meningkatkan performanya di tengah persaingan yang semakin
kompetitif.
Meski perekonomian di Jepang sempat membaik sejak krisis bubble
economy, namun pertumbuhan yang terjadi nampak berjalan lambat. Terlebih lagi,
ketika Jepang tengah dilanda oleh bencana gempa bumi yang terjadi di Fukushima
pada tanggal 11 Maret 2011. Adanya gempa tersebut memberikan dampak negatif
bagi performa ekonomi Jepang. Semisal, dalam sektor ekspor impor, yang mana
meski sejak tahun 1981 perekonomian Jepang senantiasa mengalami surplus,
namun bencana gempa di tahun 2011 tersebut mengakibatkan kerugian berupa
penurunan ekspor sebanyak 2,7% atau setara dengan 65,5 triliun yen per tahunnya.
3
1 Sementara itu, tingkat impor yang dilakukan oleh Jepang meningkat hingga
mencapai 12,1% atau setara dengan 68,1 triliun yen. 2 Berkurangnya performa
ekonomi di Jepang membuat pemerintah perlu melakukan suatu tindakan untuk
tetap bertahan dalam persaingan ekonomi yang semakin kompetitif. Persaingan
ekonomi yang semakin kompetitif tentu dapat membantu dinamika negara, namun
tentu hal itu perlu diimbangi pula dengan adanya ketersediaan dari sumber daya
manusia yang berkualitas. Kurangnya ketersediaan dari tenaga kerja tentu akan
memberikan dampak terhadap perekonomian Jepang yang hingga kini masih
mengalami stagnansi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pemerintah Jepang pada
masa pemerintahan Shinzo Abe mulai mengimplementasikan kebijakan yang
dikenal dengan womenomics. Pada mulanya, konsep dasar dari womenomics
diinisiasi oleh Kathy Matsui, wakil ketua sekaligus kepala ahli strategi Jepang
bersama rekannya yang berasal dari perusahaan investasi global bernama Goldman
Sachs.3 Kathy menyatakan bahwa Jepang dapat meningkatkan PDB yang dimiliki
hingga mencapai 15% hanya dengan memanfaatkan salah satu sumber daya yang
selama ini kurang diperhatikan yakni tenaga kerja perempuan.4
1 Statistical Research and Training Institute (ed.), 2012, Statistical Handbook of Japan 2012,
Japan: Statistic Bureau of Ministry of Internal Affairs and Communications, diakses melalui
https://www.stat.go.jp/english/data/handbook/pdf/2012all.pdf pada tanggal 28 Maret 2019 pukul
17.50 WIB, hal. 112. [Online] 2 Ibid. 3 Shinzo Abe, 2013, Shinzo Abe: Unleashing the Power of Womenomics, Wall Street Journal:
Opinion, diakses melalui https://www.wsj.com/articles/shinzo-abe-unleashing-the-power-of-
8216womenomics8217-1380149475 pada tanggal 22 Maret pukul 17.00 WIB. [Online] 4 Ibid.
4
Konsep dari womenomics tersebut kemudian direalisasikan oleh Shinzo
Abe, yang terpilih kembali untuk menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang pada
26 September 2012.5 Upaya Shinzo Abe untuk mengimplementasikan kebijakan
womenomics sempat mengejutkan forum internasional mengingat pada periode
kepemimpinan sebelumnya di tahun 2006-2007, beliau tidak menunjukkan
dukungannya terhadap isu feminis maupun kebijakan yang berkaitan dengan
kesetaraan gender. 6 Terlebih lagi, ketika Takaichi Sanae selaku Menteri yang
bertanggung jawab terhadap penurunan angka kelahiran dan kesetaraan gender
merupakan seorang konservatif, dimana selama menjabat, beliau selalu
mempertahankan model keluarga “tradisionalis” dalam pengambilan kebijakan.7
Berdasarkan hal-hal di atas, maka nampak bahwasanya isu berikut menjadi
menarik untuk diteliti. Walaupun ketenagakerjaan didominasi oleh laki-laki selaku
kepala keluarga sebagaimana yang diekspektasikan dalam tatanan keluarga oleh
masyarakat Jepang, pemerintah Jepang di masa kepemimpinan Abe nampak
menunjukkan komitmen yang tinggi untuk mengubah hal tersebut.
5 Chico Harlan, 2012, Former Japanese PM Shinzo Abe Eyes Return to Power, The Washington
Post, diakses melalui https://www.washingtonpost.com/world/former-pm-abe-wins-vote-to-head-
japans-main-opposition-party-eyes-winning-back-power/2012/09/26/72613a78-07c0-11e2-a10c-
fa5a255a9258_story.html?noredirect=on&utm_term=.0c2b8709b35a pada tanggal 22 Maret 2012
pukul 18.00 WIB. [Online] 6 Linda Hasunuma, Political Targets: Womenomics as an Economic and Foreign Relations
Strategy dalam Asie Vision, No. 92, April 2017, Paris: The Institute Français des Relations
Internationales (Ifri), diakses melalui https://www.ifri.org/en/publications/notes-de-lifri/asie-
visions/political-targets-womenomics-economic-and-foreign-relations pada tanggal 16 Mei 2019
pukul 09.20 WIB, hal. 15. [Online] 7 Hiroko Takeda, 2015, Between Reproduction and Production: Womenomics and the Japanese
Government’s Approach to Women and Gender Policies dalam Journal of Gender Studies, No. 21,
Japan: University of Nagoya, diakses melalui http://www2.igs.ocha.ac.jp/wp-
content/uploads/2018/07/5-Takeda.pdf pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 18.44 WIB, hal. 50.
[Online]
5
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan perihal di atas, maka permasalahan yang dirumuskan
dalam penelitian berikut antara lain mengapa Jepang di masa pemerintahan Shinzo
Abe memberlakukan kebijakan womenomics sebagai strategi proteksi ekonomi
melalui peningkatan partisipasi pekerja perempuan di Jepang?
1.3 Tujuan & Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian berikut ialah untuk mengetahui alasan dari
diimplementasikannya kebijakan womenomics sebagai strategi proteksi ekonomi
Jepang pada masa pemerintahan Shinzo Abe melalui peningkatan partisipasi
pekerja perempuan di Jepang.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Praktis
Penelitian yang dilakukan berikut diharap mampu memberi manfaat praktis,
dimana hasil penelitian selain dapat memperluas wawasan baik bagi penulis melalui
penerapan pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di jurusan
ilmu Hubungan Internasional selama menyusun penelitian berikut, juga dapat
bermanfaat pula bagi para pembaca dalam memahami pengetahuan lebih mendalam
terkait strategi proteksi ekonomi Jepang di masa pemerintahan Shinzo Abe melalui
kebijakan womenomics.
6
b. Manfaat Akademis
Manfaat akademis yang diharapkan dari hasil penelitian berikut ialah
diperolehnya pengetahuan secara umum terkait terkait perekonomian Jepang
khususnya mengenai ketenagakerjaan serta pengaruh dari gender dalam
ketenagakerjaan bagi perekonomian negara baik bagi pembaca maupun peneliti.
Penelitian yang dilakukan diharap dapat pula memberikan pemahaman menyeluruh
sekaligus menjadi sumber informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya dalam
melakukan penelitian akan perekonomian Jepang khususnya terkait dengan
ketenagakerjaan.
1.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu atau literature review merupakan aspek yang penting
dalam suatu penelitian dan dalam hal ini juga menjadi salah satu acuan bagi penulis
dalam melakukan penelitian. Beberapa penelitian terdahulu yang digunakan oleh
penulis sebagai referensi dalam penelitian antara lain:
Penelitian pertama yakni “The Abenomics Difference: Three Arrows of
Roosevelt Resolve in Japan” yang ditulis oleh Peter T. Choi. 8 Pada penelitian
berikut, dijelaskan bahwa Ben Bernanke sebagai ketua US Federal Bank Reserve
menyatakan bahwa Jepang membutuhkan “Roosevelt Resolve” untuk mengatasi
permasalahan stagnansi ekonomi di Jepang, “Roosevelt Resolve” yang dimaksud
ialah bentuk mentalitas dari Presiden A. Franklin Roosevelt untuk mengeluarkan
Amerika Serikat dari the Great Depression setelah pelantikan beliau pada bulan
8 Peter T, Choi, 2015, The Abenomics Difference: Three Arrows of Roosevelt Resolve in Japan,
Tesis, USA: Harvard Extension School.
7
Maret 1933. Dengan mewujudkan ketiga panah yang terkandung dalam kebijakan
abenomics, maka Jepang memiliki peluang tinggi untuk mengangkat perekonomian
nasionalnya. Persamaan yang ada dalam penelitian berikut dengan skripsi terletak
pada pembahasan dari kebijakan abenomics yang dikeluarkan oleh Shinzo Abe
untuk memajukan perekonomian di Jepang beserta dengan pembahasan akan ketiga
panah dalam abenomics secara umum. Adapun pembeda dari kedua penelitian
mengarah kepada fokus bahasan dimana Choi mendeskripsikan tentang perbedaan
dari kebijakan-kebijakan yang sebelumnya diimplementasikan di Jepang sebelum
periode Shinzo Abe dengan abenomics, sementara skripsi berfokus pada
perekonomian pada Jepang di masa Shinzo Abe serta beberapa dampak yang
ditimbulkan oleh krisis yang ada di Jepang.
Kemudian, penelitian kedua dengan judul “New Aspects of Japan’s
Immigration Policies: Is Population Decline Opening the Doors?” oleh Junichi
Akashi. Penelitian berikut menjelaskan mengenai pemerintah yang cenderung
menghindari isu imigrasi meski permasalahan demografi sudah terlihat jelas dan
bahkan menjadi topik perhatian publik. Kebijakan imigrasi di Jepang dalam hal ini
bersifat ketat terlebih lagi jika berkaitan dengan ketenagakerjaan dimana
pemerintah hanya mengakui tenaga kerja profesional atau kerah putih serta hanya
memberikan ijin tinggal sementara kepada para imigran yang bekerja di Jepang. Di
sisi lain, isu penerimaan imigran merupakan isu yang mudah dipolitisasi dan
tentunya kebijakan mengenai hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh pemerintah
8
saja.9 Penelitian berikut memiliki persamaan berupa dibahasnya isu demografi dan
ketenagakerjaan di Jepang namun yang menjadi pembeda dengan penelitian ini
ialah peneliti akan berfokus kepada sikap proteksi dari pemerintah Jepang dalam
perekonomian melalui peningkatan partisipasi pekerja perempuan.
Lalu, penelitian ketiga berjudul “Women and Work in Contemporary
Japan: Deconstructing the “Crisis” of the Gender Order” yang ditulis oleh Lillian
Mai. 10 Dalam penelitian ini, Lillian berfokus kepada sistem patriarki dalam
keluarga samurai pada era Meiji di Jepang dimana laki–laki sebagai kepala keluarga
dan anggota keluarga sebagai bawahan dari kaisar. Kemudian pada tahun 1990-an,
terdapat perubahan situasi di Jepang yang ditandai dengan meningkatnya jumlah
pengangguran, berkurangnya angka kelahiran, peningkatan pencapaian pendidikan
oleh perempuan serta peningkatan jumlah perempuan yang bekerja. Beberapa hal
berikut menunjukkan bahwasanya terjadi redefinisi dari tatanan gender yang
berlaku di masyarakat Jepang pada tahun 1990–an. Penelitian berikut memiliki
persamaan dimana keduanya akan membahas pula mengenai kondisi kesetaraan
gender serta pembagian peran di Jepang. Adapun yang menjadi pembeda dengan
penelitian ini ialah peneliti akan menjelaskan sekilas mengenai konsep gender dan
pembagian peran di Jepang beserta mengapa dilibatkannya perempuan ke dalam
ketenagakerjaan dipandang sebagai kunci utama dari pemerintah Jepang pada masa
jabatan Shinzo Abe dalam memajukan perekonomian Jepang.
9 Junichi Akashi, 2014, New Aspects of Japan’s Immigration Policies: Is Population Decline
Opening the Doors? dalam Contemporary Japan Vol. 26, London: Routledge. 10 Lillian Mai, 2007, Woman and Work in Contemporary Japan: Deconstructing the “Crisis” of the
Gender Order, Tesis, Australia: Department of Government and International Relations Honours
Program, The University of Sydney.
9
Penelitian terdahulu yang keempat ialah “When Do We Start? Pension
Reform in Aging Japan” yang ditulis oleh Kitao Sagiri. 11 Penelitian berikut
mendeskripsikan tentang permasalahan demografi di Jepang dimana angka
kelahiran mengalami penurunan sementara angka harapan hidup meningkat hingga
30 tahun sejak tahun 1950. Peningkatan harapan hidup dalam hal ini perlu
diimbangi pula dengan penundaan usia pensiun mengingat batas pensiun yang
diberlakukan di Jepang yakni 65 tahun akan menimbulkan dampak negatif bagi
Jepang di kemudian hari. Adapun dampak tersebut berupa pengurangan hasil
produksi sebanyak 4% yang kemudian akan diikuti pula dengan peningkatan pajak
8% dari total konsumsi di Jepang. Persamaan dari penelitian ini terletak pada
dideskripsikannya perihal dampak dari permasalahan demografi terhadap
perekonomian Jepang. Namun yang menjadi pembeda ialah Kitao menjelaskan
mengenai keterlibatan pemerintah melalui reformasi pensiun sementara peneliti
dalam skripsinya akan memaparkan keterlibatan pemerintah Jepang melalui
reformasi struktur sosial bagi perempuan dalam ketenagakerjaan sebagai strategi
ekonomi peningkatan partisipasi kerja pada masa pemerintahan Shinzo Abe.
Penelitian terdahulu yang kelima ialah penelitian berjudul “Abenomics:
Prelimary Analysis and Outlook" oleh Joshua K. Hausman & Johannes F.
Wieland.12 Diketahui jika perekonomian di Jepang mengalami stagnansi dimana di
antara 1993 dan 2012, rata–rata pertumbuhan GDP hanya sejumlah 0,8%.
11Kitao Sagiri, When Do We Start? Pension Reform in Aging Japan, RIETI Discussion Paper Series
16-E-077, Juli 2016, Japan: The Research Institute of Economy, Trade and Industry. 12 Joshua K. Hausman dan Johannes F. Wieland, Abenomics: Prelimary Analysis and Outlook,
Working Papers on Economic Activity, Vol. 45 Issue 1, Spring 2014, Washington DC: The
Brooking Institutions.
10
Dikarenakan hal berikut maka Shinzo Abe menuntut Bank of Japan untuk
menetapkan inflasi sebesar 2% yang mana tuntutan tersebut baru disetujui pada 22
Januari 2013 setelah Shinzo Abe mengancam akan melakukan revisi terhadap UU
terkait independensi dari Bank of Japan. Penelitian berikut memiliki persamaan
berupa dideskripsikannya kebijakan abenomics sebagai salah satu strategi untuk
memajukan perekonomian di Jepang. Namun yang menjadi pembeda dengan
skripsi ini ialah fokus pembahasan yang dikaji mengingat penelitian dari Joshua
dan Johannes hanya berfokus pada aspek kebijakan moneter sementara peneliti
akan membahas womenomics sebagai panah ketiga dalam kebijakan abenomics
dimana peneliti akan mendeskripsikan keterlibatan perempuan dalam
ketenagakerjaan sebagai alternatif dari pemerintah Jepang untuk memajukan
perekonomian nasional.
1.4.1 Tabel Posisi Penelitian
No. Judul dan Nama
Peneliti
Jenis Penelitian dan
Pendekatan
Hasil Penelitian
1. The Abenomics
Difference: Three
Arrows of Roosevelt
Resolve in Japan
Oleh: Peter T. Choi
Eksplanatif
Pendekatan:
Macroeconomic
Policy
- Kebijakan abenomics
diimplementasikan guna
menyelesaikan dua periode
inflasi yang berjalan di
Jepang melalui tiga aspek
yakni kebijakan moneter,
stimulus fiskal dan
reformasi struktural.
- Langkah yang dilakukan
oleh Jepang untuk
memajukan perekonomian
melalui abenomics
dipandang sejalan dengan
Roosevelt Resolve yang
merupakan mentalitas dari
presiden A. Franklin
Roosevelt dalam
11
melepaskan Amerika dari
the Great Depression.
2. New Aspects of Japan’s
Immigration Policies:
Is Population Decline
Opening the Doors?
Oleh: Junichi Akashi
Deskriptif
Pendekatan :
Immigration Policies
- Pada dasarnya, kebijakan
imigrasi di Jepang sangatlah
ketat dimana pemerintah
Jepang sangat membatasi
kedatangan orang asing
sebagai tenaga kerja di
Jepang
- Adanya perbedaan
pendapat serta kepentingan
dari partai-partai di Jepang
menjadi salah satu faktor
dari sikap negatif
pemerintah Jepang terhadap
isu imigrasi.
3. Women and Work in
Contemporary Japan:
Deconstructing the
“Crisis” of the Gender
Order
Oleh : Lillian Mai
Deskriptif
Pendekatan :
Sex Role Theory
Feminist
Constructivist
The norm “life cycle”
concept
- Ideologi sarariiman
(salary man) and
daikokubashira (male
breadwinner) merupakan
identitas di Jepang yang
membedakan definisi antara
maskulinitas dan feminitas.
- Dalam masyarakat Jepang,
terdapat dua
pengelompokan kehidupan
yakni kehidupan keluarga
serta kehidupan perusahaan
dimana pembagian tersebut
diadakan dengan maksud
untuk menunjukkan
pembagian peranan dari
laki–laki maupun
perempuan dalam
bertingkah laku.
4. When Do We Start?
Pension Reform in
Aging Japan
Oleh: Kitao Sagiri
Deskriptif
Pendekatan:
Equilibrium model
- Permasalahan aging
population yang terjadi di
Jepang membuat
pemerintah perlu
mempertimbangkan
reformasi pensiun untuk
meningkatkan
perekonomiannya.
- Meski reformasi pensiun
yang dilakukan pada tahun
2014 diharap dapat
12
mengurangi pergantian
pekerja, namun adanya
ketidakpastian bahwa
penyesuaian dapat
dilakukan secara tuntas.
5. Abenomics: Prelimary
Analysis and Outlook
Oleh: Joshua K.
Hausman & Johannes
F. Wieland
Deskriptif
Pendekatan :
Monetary Regime
- Dalam meningkatkan
perekonomian Jepang, The
Bank of Japan mulai
menetapkan target inflasi
sebesar 2% dan tindakan
nyata untuk mencapai hal
tersebut pada tahun 2015.
- Kebijakan abenomics
dipandang berhasil
mengakhiri deflasi pada
tahun 2013 dan
meningkatkan pertumbuhan
PDB dari 0,9% menjadi
1,8%.
6. Womenomics: Strategi
Proteksi Ekonomi
Shinzo Abe melalui
Peningkatan
Partisipasi Pekerja
Perempuan di Jepang
Oleh: Atika Triana
Putri
Eksplanatif
Pendekatan :
Keynesianisme
- Permasalahan demografi
disertai dengan krisis
ketenagakerjaan yang
berimbas pada
perekonomian nasional
membuat pemerintah
Jepang perlu melakukan
suatu upaya dalam
memajukan perekonomian..
- Salah satu upaya yang
menjadi alternatif
permasalahan berikut ialah
peningkatan partisipasi
ketenagakerjaan dengan
melibatkan perempuan
sebagaimana dengan yang
ditetapkan oleh pemerintah
Jepang khususnya Shinzo
Abe melalui kebijakan
womenomics.
- Selain difungsikan untuk
mengatasi permasalahan
ketenagakerjaan, kebijakan
womenomics juga ditujukan
untuk memperbaiki citra
Jepang akan kesetaraan
gender pada lingkup
13
internasional dimana kedua
hal berikut akan berdampak
pada terjaganya atau bahkan
meningkatnya citra
stabilitas perekonomian di
Jepang.
1.5 Teori / Kerangka Konsep
Teori Keynesianisme
Istilah dari keynesianisme diambil dari seorang ekonom asal Inggris yakni
John M. Keynes. Melalui bukunya yang berjudul General Theory of Employment,
Interest, and Money, beliau menggeser fokus utama ekonomi yang semula
berorientasi pada ekonomi mikro untuk kembali ke ekonomi makro.13 Fokus dari
keynesianisme terletak pada faktor – faktor yang menentukan tingkat aktivitas
ekonomi.14 Sebelumnya perlu diketahui jika pemikiran dari Keynes terinspirasi dari
Friedrich List, seorang ekonom asal Jerman pada abad ke-19. Pada dasarnya, List
berargumen bahwa beliau tidak menolak urgensi dari praktik ekonomi pada masa-
masa sebelumnya yang didominasi oleh pemikiran Adam Smith akan pembagian
kerja maupun pentingnya perdagangan serta modal sebagai instrumen dalam
pembangunan ekonomi.15 Namun yang List kritik dari pemikiran Adam Smith ialah
pandangan bahwasanya hasil output atau materi lebih penting dibandingkan sumber
13 Richard D. Wolff dan Stephen A. Resnick, 2012, Contending Economic Theories: Neoclassical,
Keynesian, and Marxian ̧USA: Massachusetts Institute of Technology, hal. 17. 14 Harry Landreth dan David C. Collander, 2002, History of Economic Thought: Fourth Edition,
Boston: Houghton Mifflin Company, diunduh melalui
https://pdfs.semanticscholar.org/d402/5ed1acc9ccd1ce64733a0c275bd6d6fb291c.pdf pada tanggal
22 Maret 2019 pukul 20.00 WIB, hal. 77. [Online] 15David Levi-Faur, Friedrich List and the Political Economy of the Nation-State dalam Review of
International Political Economy, Vol. 4 Issue 1, Spring 1997, diakses melalui
https://www.researchgate.net/publication/233153408_Friedrich_List_and_the_political_economy_
of_the_nation-state pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 20.00 WIB, hal 159. [Online]
14
daya manusia atau tenaga kerja yang berperan dalam proses produksi tersebut.
Beliau mengklaim bahwa jika suatu negara ingin mencapai pembangunan ekonomi,
maka ia perlu meningkatkan kapabilitas produktifitas yang dilakukan oleh tenaga
kerja.16
Tentunya pembangunan ekonomi memerlukan faktor pendukung berupa
teknologi dan pendidikan. Pendidikan dalam hal ini menjadi hal yang sangat
ditekankan oleh List dalam pembangunan ekonomi. Globalisasi yang terjadi kini
dalam pandangan List bukan didasari oleh adanya kegiatan ekspor dan impor yang
berorientasi pada materi melainkan didasari oleh produk ilmu pengetahuan yang
didapat dari proses pembelajaran manusia. Dikarenakan hal tersebut, maka peran
dari tenaga kerja kerah putih dalam perekonomian yang semula dipandang sebelah
mata oleh Adam Smith tidak lagi dapat dijadikan acuan mengingat tenaga kerja
merupakan kunci utama bagi suatu negara dalam membangun perekonomian
nasional.17
Jika menurut pemikiran ekonom di masa sebelumnya pemerintah perlu
mendorong ekspor serta mengurangi impor melalui serangkaian kebijakan
proteksionis berupa penetapan tarif, kuota, pajak, pemberian subsidi dan
sebagainya untuk mendukung perekonomian nasional, maka Friedrich dalam hal
16Bogang Jun, Alexander Gerybadze dan Tai-Yoo Kim, The Legacy of Friedrich List: The
Expansive Reproduction System and the Korean Hostory of Industrialization dalam Hohenheim
Discussion Papers in Business, Economics and Social Sciences, Working Paper No. 02, Februari
2016, University Hohenheim: Faculty of Business, Economics and Social Sciences, diakses
melalui https://www.econstor.eu/bitstream/10419/129791/1/853877254.pdf pada tanggal 22 Maret
2019 pukul 20.05 WIB, hal. 5. [Online] 17 Ibid., hal. 7.
15
ini memiliki pemikiran tersendiri mengenai peranan negara tersebut. 18 List
menyatakan bahwa negara dapat melakukan investasi kekayaan/modal ke
pendidikan, infrastruktur dan beberapa faktor lain yang dapat mendukung
peningkatan daya produktifas dan mendorong kemajuan ekonomi nasionalnya.19
Semisal, dalam periode transisi suatu negara dari agraris menuju industrialisasi,
tentunya pemerintah negara tersebut perlu melakukan beberapa upaya untuk
meningkatkan perekonomiannya baik dengan memberikan bantuan modal bagi
pengusaha kecil, melakukan perbaikan fasilitas transportasi, mendirikan sekolah-
sekolah/universitas dan mengundang para investor untuk melakukan investasi di
negaranya.20
Pemikiran dari Friedrich List yang menyatakan bahwasanya pemerintah
memiliki andil penting dalam perekonomian negara berikut inilah yang kemudian
menginspirasi pemikiran ekonomi John M. Keynes. Sebagaimana dengan yang
dinyatakan oleh List berikut21:
“… For similar reasons the State is not merely justified in imposing, but
bound to impose, certain regulations and restrictions on commerce (which
is in itself harmless) for the best interests of the nation.”
18 Harry Landreth dan David C. Collander, Op. Cit., hal. 48. 19 Bogang Jun, Alexander Gerybadze dan Tai-Yoo Kim, Op.Cit., hal. 9. 20 Ibid. 21 Arno MongDaastøl, 2011, Friedrich List’s Heart, Wit and Will: Mental Capital as the
Productive Force of Progress, Disertasi, Jerman: Jurusan Ekonomi, Universität Erfurt, diakses
melalui http://www.db-thueringen.de/servlets/DerivateServlet/Derivate-
29684/Dissertation_Daastoel_a.pdf pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 20.11 WIB, hal. 161.
[Online]
16
Argumen dari List memiliki kesamaan dengan argumen yang dimiliki oleh
Keynes, dimana melalui bukunya yang berjudul The End of Laissez-Faire, beliau
menyatakan bahwa penguasa politik (pemerintah) dapat mempengaruhi ekonomi
melalui implementasi kebijakan. Aspek ekonomi seperti penghasilan, konsumsi dan
investasi pada dasarnya memiliki kaitan erat dengan variabel politik.22 Pengaruh
dari penguasa politik tidak dijalankan melalui praktik kekuasaan politik melainkan
melalui pengaturan beberapa variabel ekonomi serta penetapan regulasi
pemerintahan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa timbulnya Great Depression di tahun
1930 mengubah perspektif dari masyarakat serta para ekonom dalam memandang
pasar, dimana sebelumnya banyak yang mendukung adanya laissez-faire dalam
perekonomian negara.23 Banyak pihak dalam hal ini mulai mempertimbangkan
alternatif lain yang dapat digunakan untuk mengatasi tekanan ekonomi khususnya
terkait masalah pengangguran sebagai salah satu bentuk di masa Great Depression.
Krisis ekonomi dengan pengangguran sebagai masalah utama pada tahun
1930 dalam pandangan Keynes, disebabkan oleh kurangnya permintaan.
Kurangnya permintaan dalam hal ini tentu berdampak pula pada menurunnya
jumlah lapangan pekerjaan serta pendapatan yang diterima oleh masyarakat. 24
22 Yunus Handoko, Pemikiran Ekonomi Politik Taylor, Smith, Marx dan Keynes dalam Jurnal
JIBEKA, Vol. 7 No. 2, Agustus 2013, diakses melalui https://lp2m.asia.ac.id/wp-
content/uploads/2013/08/Yunus-Handoko_Pemikiran-ekonomi-politik-Tyalor_Smith_Marx-dan-
Keynes..pdf pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 20.20 WIB, hal. 65. [Online] 23 Harry Landreth dan David C. Collander, Op.Cit., hal. 437. 24 John Maynard Keynes, 1935, The General Theory of Employment, Interest and Money, United
Kingdom: Palgrave Macmillan, hal. 146-147.
17
Sebagaimana yang tergambar pada gambar 1, dipahami bahwa krisis ekonomi yang
terjadi pada akhirnya membuat pemerintah perlu melakukan intervensi.
Pada kenyataannya, meski sistem kapitalisme berlangsung di suatu negara,
namun ketika timbul krisis perekonomian maka pihak pemerintah akan turun
tangan dalam kegiatan ekonomi. Konsep dari laissez-faire pada akhirnya tidak
dapat dibilang efektif untuk diimplementasikan lebih lanjut, mengingat pemerintah
tentu memiliki pemahaman lebih mengenai beberapa hal yang harus dilakukan
untuk keluar dari krisis perekonomian.
Gambar 1. Skema keterlibatan pemerintah dalam perekonomian negara menurut
Keynes.25
Bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah ialah menciptakan
permintaan melalui anggaran defisit yang besar untuk meningkatkan pinjaman
maupun membiayai pekerjaan umum secara luas seperti pembangunan jalan, jalur
kereta atau pun investasi infrastruktur lain yang mana tidak hanya dapat
menciptakan lapangan pekerjaan, melainkan dapat pula memberikan manfaat bagi
perusahaan swasta di kemudian hari.
Adapun dengan pemberian pinjaman yang telah disebutkan sebelumnya,
terdapat skeptisme bahwa memberikan pinjaman bukan merupakan tindakan yang
25 Ibid.
Krisis Ekonomi Intervensi Pemerintah
18
dapat menyelesaikan krisis perekonomian yang tengah berlangsung. Pemikiran
Keynes yang dikenal sebagai Multiplier Effect dalam hal ini menjawab
permasalahan tersebut.26 Beliau menyatakan bahwa pemerintah dapat menghemat
lebih banyak uang dengan berfokus pada penyediaan lapangan kerja dimana hal
tersebut akan berdampak pula pada peningkatan daya konsumsi masyarakat ke
depannya. Peningkatan daya konsumsi disertai dengan kegiatan ekonomi bisnis
yang kembali makmur dalam hal ini dapat meningkatkan pendapatan negara
melalui pajak. Pendapatan yang didapat inilah yang nantinya dapat mengganti
hutang yang semula tercipta dari defisit yang dianggarkan oleh pemerintah dalam
membangun infrastruktur.
Sehubungan dengan penelitian yang dikaji, peneliti akan menggunakan
keynesianisme untuk menganalisa keterlibatan pemerintah Jepang dalam
menghadapi krisis perekonomian di Jepang melalui strategi proteksi ekonomi yang
dikenal dengan kebijakan womenomics. Pada teori keynesianisme terdapat dua
indikator utama, yakni fluktuasi perekonomian dan intervensi pemerintah. Pada
indikator fluktuasi ekonomi, diketahui bahwasanya pertumbuhan ekonomi Jepang
mengalami resesi yang mana salah satu faktor penyebab resesi tersebut didasari
oleh aging population yang cukup mempengaruhi ekonomi di Jepang.
Permasalahan ini kemudian diikuti dengan munculnya krisis ketenagakerjaan yang
ada di Jepang.
26 Ibid., hal. 177.
19
Dalam merespon indikator fluktuasi ekonomi tersebut, maka muncul
indikator kedua berupa intervensi pemerintah. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, intervensi pemerintah dalam hal ini mengarah kepada dibangunnya
fasilitas yang dapat mendukung proses ketenagakerjaan di Jepang. Pemerintah di
Jepang memahami bahwasanya tenaga kerja merupakan faktor utama yang perlu
diperhatikan bilamana ia ingin memajukan perekonomian. Terlepas dari
mendominasinya partisipasi laki-laki dalam ketenagakerjaan di Jepang, pemerintah
memandang bahwasanya tenaga kerja perempuan juga merupakan kunci utama
yang dapat memajukan perekonomian di Jepang mengingat kualitas sumber daya
manusianya yang yang tidak kalah bagus dengan laki-laki. Oleh karenanya
pemerintah mulai membangun infrastruktur berupa fasilitas childcare dengan
harapan hal ini dapat mewujudkan terbentuknya lingkungan kerja yang kondusif
bagi tenaga kerja perempuan. Tidak hanya demikian, pemerintah juga menetapkan
serangkaian peraturan bagi pihak swasta maupun dalam kabinet kepemerintahan
untuk menjamin keefektifan dari implementasi kebijakan womenomics.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian
berikut ialah tipe penelitian eksplanatif. Penelitian eksplanatif merupakan
metode penelitian yang digunakan untuk menjelaskan alasan dari terjadinya
suatu peristiwa dengan menggambarkan hubungan sebab akibat yang ada
dimana dalam penelitian berikut mengarah kepada strategi yang dilakukan
20
oleh Jepang di masa Shinzo Abe dalam mengimplementasikan kebijakan
womenomics dalam meningkatkan peran perempuan.
1.6.2 Tingkat Analisa dan Variabel Penelitian
Terdapat dua variabel yang digunakan dalam menjelaskan hubungan
kausalitas atau sebab akibat pada penelitian eksplanatif yakni variabel
dependen (unit analisa) dan variabel independen (unit eksplanasi). Dalam
penelitian berikut, yang menjadi variabel dependen ialah kebijakan
womenomics sebagai strategi proteksi ekonomi melalui peningkatan
partisipasi pekerja perempuan di Jepang dengan variabel independen yakni
Jepang di masa pemerintahan Shinzo Abe. Berdasarkan kajian penelitian
berikut, maka tingkat analisa yang digunakan bersifat korelasionis
mengingat posisi unit analisa setara dengan unit eksplanasi yang sama-sama
berada pada level negara-bangsa.
1.6.3 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan ialah teknik analisa data
kualitatif dimana penulis akan menggambarkan permasalahan dengan
mengacu pada berbagai fakta–fakta yang dihubungkan untuk ditarik suatu
kesimpulan.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian berikut dalam hal ini diperoleh dari studi literatur
dengan mencari berbagai data yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian berikut untuk dibahas dan dianalisa. Adapun data–data penelitian
21
dalam hal ini diperoleh dari berbagai sumber seperti buku–buku, jurnal,
artikel, surat kabar maupun laporan penelitian yang ada dan berkaitan
dengan penelitian berikut.
1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.5.1 Batasan Materi
Sehubungan dengan permasalahan yang dianalisa, peneliti
menetapkan batasan agar penelitian dapat dilakukan secara fokus serta
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Mengingat kebijakan
abenomics merupakan kebijakan utama yang diberlakukan oleh Jepang
pada masa kepemimpinan Shinzo Abe, maka batasan materi dalam
penelitian berikut terletak pada poin ketiga terkait reformasi struktural
yang berfokus pada reformasi dari ketenagakerjaan yakni womenomics.
Reformasi yang dimaksud merujuk kepada strategi Jepang di masa Shinzo
Abe melalui peningkatkan partisipasi pekerja perempuan dimana hal
berikut akan berdampak pula pada kemajuan perekonomian Jepang.
1.6.5.2 Batasan waktu
Sebelum menuju ke fokus pembahasan yakni Jepang pada masa
pemerintahan Shinzo Abe beserta kebijakan womenomics yang
diberlakukan, penulis akan memberikan deskripsi mengenai krisis bubble
economy terlebih dahulu yang terjadi di sekitar pertengahan 1980-an
hingga awal tahun 1990-an untuk memberikan pemahaman mengenai
situasi perekonomian di Jepang. Setelah itu, pembahasan akan mulai fokus
kepada permasalahan dalam skripsi berikut terhitung dari masa jabatan
22
Shinzo Abe yang kedua dalam memimpin pemerintahan Jepang dimana
pada periode berikut pula lah kebijakan womenomics mulai
diimplementasikan yakni dari tahun 2012 hingga tahun 2014.
1.7 Hipotesa
Krisis perekonomian yang tengah dihadapi Jepang pada masa Shinzo Abe
bermula dari masalah aging population yang kemudian berdampak pada kurangnya
ketersediaan tenaga kerja di Jepang. Dalam teori keynesianisme, ketika
perekonomian suatu negara mengalami fluktuasi sebagaimana dengan yang terjadi
di Jepang dengan pertumbuhan ekonominya yang lambat, maka pemerintah perlu
melibatkan diri dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi pada negara
tersebut. Urgensi dari intervensi pemerintah tersebut didasarkan pada pandangan
bahwasanya pemerintah merupakan pihak yang memiliki pengetahuan lebih dalam
memberikan jalan keluar dari masalah perekonomian yang dihadapi oleh suatu
negara. Sehubungan dengan ini, pemerintah Jepang mengenalkan sekaligus
mengimplementasikan suatu kebijakan yang dikenal sebagai kebijakan
womenomics. Kebijakan ini timbul sebagai strategi proteksi ekonomi dari
pemerintah Jepang di masa pemerintahan Shinzo Abe dalam memperbaiki krisis
perekonomian yang ada khususnya terkait dengan maslaah ketenagakerjaan.
Peningkatan partisipasi pekerja perempuan sebagai inti dari kebijakan
womenomics dalam hal ini merupakan bentuk tindak lanjut pemerintah Jepang
dalam memajukan perekonomian. Di samping dapat meningkatkan PDB negara
sebesar 0,8% per tahunnya sebagaimana yang dinyatakan oleh OECD, kebijakan
womenomics dipandang mampu menyelesaikan beberapa masalah ekonomi penting
23
lainnya yang dialami oleh Jepang. Di samping itu, implementasi dari womenomics
secara tidak langsung dapat menunjukkan citra Jepang yang positif di lingkup
internasional mengenai isu perempuan dan kesetaraan gender, mengingat pada
masa-masa sebelumnya Jepang memiliki rekam jejak yang buruk akan kedua hal
tersebut.
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
b. Manfaat Praktis
1.4 Penelitian Terdahulu
1.5 Teori / Kerangka Konsep
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
1.6.2 Tingkat Analisa dan Variabel Penelitian
1.6.3 Teknik Analisa Data
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.5.1 Batasan Materi
1.6.5.2 Batasan Waktu
1.7 Hipotesa
1.8 Sistematika Penulisan
BAB II SEJARAH PEREKONOMIAN DI JEPANG
2.1 Krisis perekonomian di Jepang sebelum periode Shinzo Abe
2.2 Krisis perekonomian Jepang di bawah kepemimpinan Shinzo
Abe
2.2.1 Tekanan dari dalam negeri
a. Aging population di Jepang
b. Krisis ketenagakerjaan di Jepang
c. Ketenagakerjaan perempuan di Jepang
d. Gender inequality di Jepang
2.2.2 Tekanan dari luar negeri
a. Gender gaiatsu di Jepang
2.3 Visi kebijakan womenomics di Jepang
24
BAB III
STRATEGI EKONOMI KEBIJAKAN WOMENICS
SEBAGAI JALAN KELUAR DARI KRISIS
PEREKONOMIAN DI JEPANG
3.1 Womenomics dalam teori keynesianisme
3.2 Fluktuasi perekonomian Jepang
3.3 Womenomics sebagai bentuk keterlibatan pemerintah dalam
menangani krisis perekonomian Jepang
3.3.1 Womenomics sebagai solusi dari aging population
3.3.2 Womenomics sebagai solusi dari krisis ketenagakerjaan
3.3.3 Womenomics sebagai upaya membangun branding
gender yang positif di Jepang
3.4 Hasil implementasi kebijakan womenomics di Jepang pada masa
kepemimpinan Shinzo Abe (2012-2014)
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran