BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Media massa, seperti halnya pesan lisan dan isyarat, sudah menjadi
bagian tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Pada hakikatnya, media
adalah perpanjangan lidah dan tangan yang berjasa meningkatkan kapasitas
manusia untuk mengembangkan struktur sosialnya (William 2003:27).
Media komunikasi yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia
adalah televisi. Sebanyak 99% orang Amerika memiliki televisi dirumahnya.
Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, berita, dan iklan. Mereka
menghabiskan waktu untuk menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari
(Agee dikutip dari Elvinaro 2007:125)
Iklan di media televisi merupakan pesan komunikasi yang bertujuan
untuk memperkenalkan produk barang atau jasa. Tujuan selanjutnya adalah
memotivasi dan mempersuasi para pemirsa atau audience untuk mencari,
membeli, dan kemudian menjadi pelanggan tetap. Sebagai bagian dari
komunikasi massa media televisi mempunyai ciri khas cepat, selintas, dan
umum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang
iklan.
Selain itu iklan telah berfungsi sebagai roda pengatur kehidupan
manusia dan mempunyai pengaruh besar baik terhadap kaum pria maupun
wanita. Para pembuat iklan berusaha menciptakan image atau citra pria dan
wanita yang pada akhirnya muncullah sebuah konstruksi sosial terhadap pria
dan wanita. Konstruksi sosial tersebut terus berkembang di masyarakat dan
menjadikannya suatu stereotipe kultural.
Dalam karya audio visual simbol digunakan sebagai alat atau media
penyampaian pesan yang digunakan untuk memberikan makna dari sesuatu
yang tersimpan di dalam simbol tersebut. Simbol terjadi berdasarkan
metonimi (metonymy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau
yang menjadi atributnya (misalnya si kaca mata untuk seseorang yang berkaca
mata) dan metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain
untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana,
2001:137).
Dalam penciptaan pesan dan tanda-tanda, peran wanita sebagai
komoditi media terbilang cukup besar. Banyak media-media yang menjadikan
wanita sebagai objek. Sebagai objek, wanita memperoleh perlakuan dilihat,
dinilai, diapresiasi dalam berbagai konteks wacana media. Visualisasi wanita
dalam media diwarnai oleh stereotipe dan komodifikasi sebagai pelaris
produk. Sementara peran wanita sendiri belum beranjak dari urusan-urusan
domestik, seperti mengasuh anak, mencuci, belanja, memasak, dan melayani
kebutuhan suami. Wanita tetap menjadi subkordinat laki-laki, dengan laki-laki
menjadi subjek dan sang penguasa nilai-nilai kehidupan sosial. Wacana ini ada
dalam berbagai bentuk media massa, mulai dari dongeng hikayat dan cerita
rakyat, sampai pada majalah, iklan dan film layar lebar.
Bukan hanya peran domestik wanita yang ditonjolkan dalam media,
tetapi sederetan citra kecantikan pun dibangun oleh media massa. Wanita
dianggap sebagai objek sensualitas yang harus senantiasa memperhatikan
penampilan tubuhnya. Wanita dianggap cantik apabila berbadan langsing,
berkulit putih, dan berambut panjang. Citra-citra seperti itu yang selalu
diulang-ulang dalam penayangan iklan, film, dan media massa lainnya. Pada
sekitar tahun 2000, seiring dengan suksesnya film Ayat-ayat cinta, konsep
cantik mulai sedikit bergeser. Wanita-wanita yang awalnya membentuk
rambutnya agar lurus dan panjang, pada era itu mulai mengenakan jilbab.
Model jilbab yang dikenal dengan model jilbab ayat-ayat cinta. Wanita dirasa
lebih cantik ketika menutup rambutnya dengan jilbab-jilbab yang anggun.
Citra-citra keanggunan wanita seperti itu selalu berkembang seiring
pemaknaan masyarakat tentang ikon-ikon yang dijual di media massa.
Melalui iklanya, televisi leluasa untuk memperteguh pandangan,
kepercayaan, sikap, dan norma-norma kaum wanita yang sudah ada.
Kepercayaan itu antara lain adalah pentingnya wanita menjadi cantik secara
fisik (bugar, ayu, ramping, muda, dsb.). Tidak mengherankan bila iklan sabun
tertentu menggunakan artis-artis terkenal dan cantik untuk memancing
pemirsa agar memakai sabun tersebut untuk kelihatan cantik. Sementara
pemirsa wanita sebenarnya membeli ilusi untuk menjadi cantik seperti bintang
iklan yang bersangkutan, mereka menjadi mangsa kaum kapitalis
(transnasional) bermodal besar. Yang sebenarnya terjadi, produk tidak
disesuaikan dengan kebutuhan wanita; kebutuhan wanita, disesuaikan dengan
produk iklan tersebut. Iklan tidak sekedar menjual barang; ia juga
menginformasikan, membujuk, menawarkan status, membangun citra, dan
bahkan menjual mimpi. Pendeknya, iklan merekayasa kebutuhan dan
menciptakan ketergantungan psikologis (Hamelink, 1983:16 dikutip dari
Deddy 2008: 65).
Sang kapitalis merayu kaum wanita agar membelanjakan uang mereka,
baik untuk kepentingan mereka sendiri ataupun untuk kepentingan keluarga
mereka. Yang untuk tentu saja perusahaan yang barang atau jasanya
diiklankan. Dalam kaitan ini, teori agenda setting masih tetap relevan media
mengagendakan isu-isu sosial bagi masyarakat dan menentukan apa yang
penting dan tidak penting. Pada gilirannya hal itu juga berkorelasi positif
dengan pikiran publik mengenai penting atau tidaknya isu-isu tersebut. Media
menginformasikan, menghibur, menafsirkan dan mensosialisasikan. Hasil
akhirnya adalah pembangkitan kesadaran baru atau peneguh kesadaran lama
tentang pentingnya menjadi cantik, dan tampak bugar dan muda, bagi kaum
wanita (Deddy 2008: 83).
Bahwa iklan TV terutama ditujukan kepada kaum wanita, sejalan
dengan temuan penelitian yang dilakukan Survey Research Indonesia (SRI),
yang menunjukan kecenderungan produk komersial yang diiklankan TV
adalah alat-alat perlengkapan kecantikan, seperti kosmetik, sabun, shampo,
pasta gigi, deodoran, dan sebagainya (Kompas, 25 Juni 1995). Kuarter
pertama tahun 2008, berdasarkan riset kepermisaan TV oleh ABG Nielsen,
kecenderungan tersebut tidak berbeda. Iklan-iklan ini jelas membujuk kaum
wanita agar mereka menjadi menarik dan mempesona. Pesan- pesan iklan
tersebut memperteguh mitos-mitos budaya paling kuat, yaitu pentingnya daya
tarik fisik dan usia muda bagi kaum wanita. Masuk akal bila kebanyakan
tokoh dalam iklan-iklan ini, seperti juga dalam sinetron-sinetron adalah
mereka yang cantik, menarik dan berusia muda (Deddy 2008: 84).
Barat pun memiliki andil yang besar dalam penciptaan representasi
terhadap image wanita. Menurut teori poskolonialis, negara-negara kolonialis
telah meninggalkan negara jajahannya secara formal, akan tetapi institusi dan
warisan kolonial masih mereka tinggalkan. Negara-negara barat masih setia
untuk mengawal kepentingan daerah bekas jajahannya. Sejak abad pencerahan
tampak representasi kebudayaan barat yang cenderung mengagungkan
kebudayaan dan tradisi Apolonian. Apolo adalah simbol dewa matahari dan
ilmu kedokteran. Apolonian lambang pencerahan dan serta pengendalian diri.
Mentalitas apolonian adalah mentalitas Yunani kuno yang mencari
keseimbangan, keteraturan serta pengendalian diri (Lubis 2006: 32).
Negara barat ikut andil dalam pembentukan image cantik, karena
dalam teori poskolonialis negara barat meninggalkan beberapa budaya yang
sudah terpatri dalam benak negara jajahannya. Salah satunya adalah konsep
cantik. Sering kali cantik dihubungkan dengan gestur tubuh yang putih, tinggi
semampai, berambut lurus, dan langsing. Padahal bila dilihat kembali pada
karakter orang Indonesia tidak banyak yang memiliki kulit putih dan postur
tubuh tinggi. Hal itu disebabkan karena orang barat yang telah
menanamkannya dalam benak kita.
Pemahaman ini dapat muncul karena banyaknya karya-karya barat
yang terus menampilkan konsep cantik yang mereka miliki melalui media
massa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Antara lain melalui tayangan
film yang diproduksi berulang kali mereka tunjukkan konsep cantik yang
mereka miliki sehingga hal itu melekat secara alami sebagai cara pandang.
Contohnya pada film barbie yang sudah dikenal sejak dulu dan sering kali
dikonsumsi oleh anak kecil pun sudah muncul paradigma yang ingin
dimasukkan. Film barbie selalu menggunakan tokoh wanita cantik dalam
konsep karakter barat.
Dalam pemahaman teori yang mendalam belum ada satu orang pun
yang mampu mendefinisikan dan memberi penilaian pasti dari makna cantik.
Karena kecantikan yang di resepsi setiap manusia berbeda-beda tergantung
dari bagaimanakah definisi cantik dari orang itu sendiri. Banyak makna cantik
yang dapat dipaparkan dan tidak ada harga mati untuk menilai dan mengukur
suatu kecantikan. Hal ini disebabkan dari banyaknya resepsi yang diterima
dan diolah oleh tiap manusia.
Hal inilah yang diterima oleh pihak biro iklan dan digunakan sebagai
alat komoditi agar konsumen melihat dan tertarik. Khususnya produsen
produk kecantikan yang mengadopsi konsep kecantikan barat dalam
mengiklankan produknya. Tujuannya agar konsumen melihat bagaimanakah
objek yang digunakan dalam iklan tersebut dapat menunjukkan kecantikan
yang hendak ditawarkan.
Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah
menggunakan reception analysis, dimana analisis ini mencoba memberikan
sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan
memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu
yang menganalisis media melalui kajian reception memfokuskan pada
pengalaman dan pemirsaan khalayak (penonton atau pembaca), serta
bagaimana makna diciptakan melalui pengalaman tersebut. Konsep teoritik
terpenting dari reception analysis adalah bahwa teks media penonton atau
pembaca atau program televisi bukanlah makna yang melekat pada teks media
tersebut, tetapi makna diciptakan dalam interaksinya antara khalayak
(penonton atau pembaca) dan teks. Dengan kata lain, makna diciptakan karena
menonton atau membaca dan memproses teks media.
Makna sebuah teks pada dasarnya bersifat polisemi dan terbuka
sehingga memungkinkan khalayak untuk memahami dan menginterpretasikan
pesan secara berbeda. Analisis resepsi berupaya menganalisisnya dengan
mengungkap apa yang ada ataupun sesuatu yang tersembunyi di balik
penuturan-penuturan audience tersebut. Peneliti berusaha mengungkap
makna-makna terdalam dari fenomena tersebut.
Peneliti menangkap sebuah fenomena yang dianggap menarik untuk
diteliti mengenai analisis resepsi. Dalam suatu kesempatan peneliti
mengunjungi kerabat yang tinggal di asrama revolusi. Karena sudah sering
berkunjung peneliti tidak sungkan untuk ikut menonton televisi bersama di
ruang tengah bersama teman-teman asrama yang lain. Saat jeda pariwara ada
iklan Wardah yang cukup menarik perhatian teman-teman yang ada di tempat
tersebut. Saat iklan itu muncul beberapa kawan memberikan komentar
mengenai iklan tersebut dan berlanjut dengan komentar-komentar yang lain
hingga keadaan ruangan riuh dengan komentar masing-masing individu yang
ingin ikut andil memberikan penilaian. Fenomena tersebut cukup membuat
peneliti ingin mencari tahu bagaimanakah sebuah tayangan bisa menghadirkan
berbagai pandangan dari audience.
Dalam penelitian ini, peneliti melihat komunikasi bukan hanya sebagai
proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna. Pesan-pesan
yang dibuat, mendorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya
sendiri yang terkait dengan konteks-konteks tertentu. Iklan memiliki sejumlah
makna pesan yang disampaikan melalui sejumlah tanda dalam bentuk audio
visual. Oleh karenanya peneliti tertarik untuk meneliti makna-makna atau citra
yang ditimbulkan oleh iklan kosmetik Wardah. Selain itu peneliti ingin
mengetahui makna cantik seperti apa yang dibangun oleh Wardah yang
menggunakan objek Inneke sebagai perempuan yang sempurna. Dari segi
kajian ilmu komunikasi, peneliti ingin dapat memberikan gambaran
bagaimana reception analysis menginterpretasikan pemaknaan audience
terhadap suatu teks media. Untuk itulah penelitian ini menarik untuk
dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana makna wanita
cantik dalam iklan kosmetik Wardah versi Di Balik Awal Mimpi menurut
penghuni asrama Revolusi?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab rumusan masalah yang
ada, yaitu untuk mengetahui makna wanita cantik dalam iklan kosmetik
Wardah versi Di Balik Awal Mimpi menurut penghuni asrama Revolusi.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah literatur penelitian kualitatif komunikasi mengenai
pemaknaan audience atau khalayak terhadap teks media dengan
menggunakan studi resepsi.
2. Manfaat Praktis
Membantu pembaca dalam memahami pemaknaan audience atau khalayak
tentang makna cantik dalam iklan.
\
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa
Televisi merupakan bagian dari media komunikasi massa yang
mampu menyediakan berbagai informasi yang aktual dan menyebarkan
ke masyarakat umum. Yang dimaksudkan dengan televisi disini adalah
televisi siaran (televition broadcast) yang merupakan media dari jaringan
komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa antara lain:
komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya
menimbulkan keserempakan, dan komunikannya heterogen (Effendy,
1993:21).
Pernyataan Harold Lasswell tentang definisi komunikasi yakni
Who Says What In Which Channel to Whom With What Effect? Telah bisa
mewakili bahwa televisi siaran merupakan media komunikasi massa
karena memenuhi unsur-unsur yang terdiri dari sumber (source), pesan
(message), saluran (channel), penerima (receiver), serta efek (effect).
Seiring berkembangnya jaman, saat ini televisi telah menjelma menjadi
salah satu media massa yang paling banyak diminati masyarakat. Hal ini
bisa dilihat, hampir semua rumah di Indonesia memiliki televisi, bahkan
televisi bisa dikatakan telah menjadi kebutuhan primer masyarakat.
Sifat televisi yang serempak dimanfaatkan untuk membuat
masyarakat secara bersamaan menaruh perhatian kepada pesan yang
disampaikan komunikator. Selain sifat televisi yang cepat memungkinkan
pesan dapat disampaikan begitu banyak orang dalam waktu yang singkat.
Daya tarik televisi juga demikian besar, sehingga pola-pola kehidupan
rutinitas manusia sebelum munculnya televisi, berubah total sama sekali.
Inilah yang membuat media televisi menjadi bahan konsumsi masyarakat
yang utama sejajar dengan kebutuhan pokok yang lainnya.
Bisa dikatakan televisi telah mampu meniadakan ruang dan
waktu bagi siapapun yang menontonnya. Serta menghilangkan perbedaan
suku, ras, dan gender dalam pemanfaatannya untuk memperoleh
informasi, pendidikan, dan hiburan. Pesan-pesan yang disampaikan juga
dapat mempengaruhi dan memberikan interpretasi yang berbeda-beda
pada setiap individu.
1.5.2 Komunikan Komunikasi Massa
Dalam strategi komunikasi, komunikan merupakan komponen
yang paling banyak meminta perhatian. Karena jumlahnya banyak serta
sifatnya yang heterogen dan anonim, sedangkan mereka harus dapat
dicapai seraya menerima setiap pesan secara inderawi dan secara rohani.
Yang dimaksudkan dengan inderawi ialah diterimanya suatu pesan jelas
bagi indera mata dan terang untuk indera telinga. Yang dimaksud dengan
rohani adalah sebagai terjemahan dari bahasa asing “accepted”, yaitu
diterimanya suatu pesan yang sesuai dengan kerangka referensinya (frame
of reference), paduan dari usia, agama, pendidikan, kebudayaan, dan
nilai-nilai kehidupan lainnya. Kerangka referensi tertentu menimbulkan
kepentingan dan minat (interest) tertentu.
Berdasarkan hal-hal tersebut ada suatu pesan dari media massa
yang diminati oleh seluruh khalayak, ada juga yang disenangi oleh
kelompok tertentu, misalnya kelompok usia, anak-anak, remaja, dewasa,
kelompok agama, kelompok etnis, dan sebagainya.
Dengan demikian, dalam menyusun strategi komunikasi harus
ditentukan, rubrik atau cara mana untuk sasaran khalayak (target
audience) dan yang mana untuk sasaran kelompok (target groups).
Penentuan ini menimbulkan konsekuensi lain yang berkaitan dengan
aspek sosiologis atau psikologis, yang kesemuanya itu demi efektivitas
komunikasi.
Individual Differences Theory menyebutkan bahwa khalayak
yang secara selektif memperhatikan suatu pesan komunikasi, khususnya
jika berkaitan dengan kepentingannya, akan sesuai dengan sikapnya,
kepercayaannya dan nilai-nilainya. Tanggapannya terhadap pesan
komunikasi itu akan diubah oleh tatanan psikologisnya.
Jika pandangan Individual Differences Theory mengenai proses
komunikasi sesuai dengan penemuan-penemuan psikologi umum, maka
teori yang kedua yakni Social Categories Theory tampaknya bersumber
pada teori sosiologi umum mengenai massa. Asumsi dasar yang kedua ini
ialah bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, orang-
orang yang mempunyai sejumlah sifat yang sama akan memiliki pola
hidup tradisional yang sama. Kesamaan orientasi dan perilaku ini akan
mempunyai kaitan dengan gejala yang diakibatkan media massa. Suatu
kelompok dari khalayak akan memiliki pesan komunikasi yang kira-kira
sama dan akan memberikan tanggapan yang kira-kira sama pula.
Teori yang ketiga, Social Relationships Theory sebuah pesan
komunikasi massa mula-mula disiarkan melalui media massa kepada
pemuka pendapat. Pada gilirannya oleh pemuka pendapat ini pesan
komunikasi tersebut diteruskan secara komunikasi antar pribadi kepada
orang-orang yang kurang keterbukaannya terhadap media massa, atau
dengan perkataan lain orang-orang yang tidak berlangganan surat kabar,
tidak memiliki pesawat radio, atau tidak memiliki pesawat televise.
Dalam hubungan social yang informal seperti itu, si pemuka pendapat
tadi bukan saja meneruskan informasi, tapi juga menginterpretasikannya.
Di sini tampak adanya pengaruh pribadi (personal influence) yang
merupakan mekanisme penting yang bisa mengubah pesan komunikasi.
Cultural Norms Theory sebagai teori keempat merupakan
anggapan yang mendasar bahwa melalui penyajian yang selektif dan
penekanan pada tema tertentu; media massa menciptakan kesan-kesan
pada khalayak bahwa norma-norma budaya yang sama mengenai topik-
topik tertentu dibentuk dengan cara-cara yang khusus. Ada tiga cara
dimana media massa secara potensial mempengaruhi norma-norma dan
batas-batas situasi perorangan.
Pertama, pesan komunikasi bisa memperkuat pola-pola yang
sudah ada (reinforce existing patterns) dan mengarahkan orang-orang
untuk percaya bahwa suatu bentuk sosial dipelihara oleh masyarakat.
Kedua, media massa bisa menciptakan keyakinan baru (create
new shared convictions) mengenai topik, dengan topik mana khalayak
kurang berpengalaman sebelumnya.
Ketiga, media massa bisa mengubah norma-norma yang sudah
ada (change existing norms) dan karenanya mengubah orang-orang dari
bentuk tingkah laku yang stu menjadi tingkah laku yang lain. (Onong
2003: 315-318)
1.5.3 Citra Perempuan dalam Media
Dalam banyak kajian feminis banyak ditemukan kritikan
mengenai representasi citra perempuan di masyarakat. Representasi
perempuan mencerminkan sikap laki-laki terhadap perempuan dan
merupakan misinterpretasi perempuan sejati. Konsep stereotipe
menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Stereotip
terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang
dilebih-lebihkan, dan biasanya negatif (Barker, 2000:23).
Meehan dalam (Barker, 2000: 25) mengidetinfikasikan beberapa
stereotipe perempuan yang umumnya ditemukan sebagai berikut:
Nakal: Memberontak, aseksual, tomboy
Istri yang baik: Domestik, menarik, terpusat di rumah
Tamak: Agresif, lajang
Korban: Pasif, menderita, kekerasan atau kecelakaan
Bak umpan: Kelihatan lemah padahal kuat
Genit: Secara seksual memancing laki-laki untuk tujuan yang buruk
Pelacur kelas tinggi: Tinggal di salon, pertunjukkan kabaret, prostitusi
Penyihir: Kekutan ekstra, namun tersubordinasi oleh laki-laki
Selain itu, Krishnan dan Dighe juga melakukan studi di India.
Dalam penelusurannya, Krishnan dan Dighe menjumpai bahwa
perempuan distereotipkan kedalam dua hal, yaitu ideal dan menyimpang.
Perempuan ideal adalah perempuan yang mengasuh dan maternal.
Perempuan hanya difungsikan sebagai pendukung laki-laki. Lebih lanjut,
mereka memaparkan beberapa atribut yang melekat pada maskulinitas
dan feminitas di televisi india sebagai berikut:
Tabel 1.2 Karakter Laki-laki dan Perempuan
Karakter Laki-laki Karakter perempuan
Terpusat pada diri
Tegas
Percaya diri
Melihat suatu tempat pada
dunia yang lebih luas
Rasional dan berkelompok
Dominan
Paternal
Berkorban
Tergantung
Ragu untuk bersenang-senang
Mendefinisikan dunia melalui
hubungan keluarga
Emosional dan sentimental
Tersubordinasi
Matenal
Stereotip serupa bukan hanya dirasakan di India. Stereotip
semacam itu juga berkembang di Indonesia. Dalam buku Bingkai Sosial
Gender, dikatakan bahwa stereotip telah membentuk alam bawah sadar
laki-laki dan perempuan bahwa haltersebut dianggap wajar. Dengan kata
lain, stereotip hanya merupakan pemikiran sebuah kelompok sosial, yang
mungkin tidak berkaitan dengan realitas, namun diakui kebenarannya.
Dalam dunia perfilman baik dari dalam maupun luar negeri, citra
perempuan masih cenderung sebagai subjek eksploitasi atau hanya
sebagai pelengkap danpenambah unsur estetika film. Lantas, bagaimana
nasib film yang mengupas eksistensi kehidupan perempuan? Film yang
bertema perempuan atau mengekplorasi posisi, kondisi, keinginan, dan
kepentingan perempuan dalam telaah psikologis bias dibedakan menjadi
beberapa hal. Pertama, tema egokolektif perempuan remaja dengan
beragam harapan dan "tingkah laku" romantika percintaan. Kedua, tema
simbolis politik yang menggambarkan rendahnya penghargaan terhadap
martabat perempuan. Hal ini dikonstruksi dalam berbagai film horor,
dimana para tokoh antagionis yang menjadi "setan" adalah sosok
perempuan. Ketiga, tema kemuliaan keluarga, dimana perempuan
mendapat porsi untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan dalam
pembabakan jalan cerita serta klimaks penarasian.
1.5.4 Citra Perempuan dalam Iklan
Iklan sebagai salah satu perwujudan kebudayaan massa tidak
hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk
membeli barang atau jasa, tetapi juga turut mendedahkan nilai tertentu
yang secara terpendam terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, iklan
yang sehari-hari kita temukan di berbagai media massa cetak maupun
elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Artinya, iklan dapat menjadi
simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan
nilai hakiki.
Perempuan dalam iklan yang sering kali dibahas, acap kali
menimbulkan polemik pro-kontra. Karena keindahannya, tidak bisa
dimungkiri perempuan sering ditampilkan dalam iklan, meskipun
terkadang kehadirannya terasa agak diada-adakan.
Karena keindahannya pula, untuk iklan sebuah produk yang
bobot kehadiran tokohnya sama antara pria dan perempuan, biasanya
perempuanlah yang dipilih. Kriterianya antara lain karena keindahannya,
perempuan sering menjadi sumber inspirasi, termasuk dalam melahirkan
sebuah produk.
Keindahan yang dimiliki perempuan dalam kesehariannya,
membentuk stereotype (keseragaman) dan membawa mereka kepada
sifat-sifat di sekitar keindahan itu. Antara lain, perempuan harus tampil
menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak tampil prima untuk
menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara, cerdas dan
menjadi sumber pengetahuan dan moral keluarga, " penjaga nilai halus
dan adiluhung" di rumah. Perempuan juga sering disebut sebagai
penyambung keturunan, lemah lembut, anggun, pandai memasak, lebih
emosional, fisik kurang kuat, lincah, keibuan, manja, tidak bernalar,
bergantung, pasif, lemah, penakut, digambarkan sebagai objek seksual,
dengan menekankan pada figur dan pakaian cantik.
Tampaknya penggambaran yang stereotype dan cenderung
mengambarkan perbedaan gender seperti yang diuraikan di atas yang
sering kali menjadi ide sentral dan citra perempuan dalam berbagai iklan.
Sedemikian kuatnya citra perempuan dalam konstruksi tradisional,
sehingga dikatakan perempuan adalah mahluk yang dimaksudkan untuk
dilihat, bukan untuk didengar. Berbeda dengan pria, perempuan
kebanyakan ditandai dengan gaya rambut, mode pakaian, make up wajah
dan aksesoris lain. Setiap aspek fisik dalam diri perempuan membawa
maknanya sendiri. Tetapi tidak demikian dengan pria. Umumnya pria
mempunyai gaya yang standar contohnya, seperti mengenakan celana
gelap dengan pakaian yang lebih terang dan gaya rambut standar.
Perempuan selalu ditampilkan menarik secara visual, padahal
belum tentu demikian kebenarannya. Hal-hal yang berkaitan dengan
visual inilah yang menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda-beda
pula terhadap citra seorang perempuan. Berdasarkan berbagai alasan di
atas, maka iklan pun banyak yang menggunakan perempuan sebagai
modelnya, karena tampaknya iklan dipercaya akan mampu mendapatkan
pengaruh bila menggunakan wanita sebagai salah satu ilustrasi atau
modelnya, bahkan sekalipun produk tersebut bukan dimaksudkan untuk
digunakan oleh perempuan. Dalam disertasinya yang menganalisa sekitar
300-an iklan cetak, Tamrin Amal Tomagola menyimpulkan bahwa
perempuan dalam iklan Indonesia lebih banyak digambarkan dalam sosok
tradisional. Iklan yang mengetengahkan keseteraan gender masih terlalu
sedikit. Bias gender masih lebih mendominasi. Dalam penelitiannya,
Tomagola menyimpulkan bahwa wanita dalam iklan dikelompokkan
dalam 5 kategori citra, yaitu citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra
pinggan, dan citra pergaulan.
Standar kecantikan adalah merupakan salah satu contoh nyata
sistem nilai yang berubah karena iklan. Pada era tahun 1960 hingga tahun
1970-an, perempuan cantik adalah sosok yang memiliki tubuh kurus,
dengan kulit hitam dan rambut berombak. Ida Royani merupakan salah
satu ikon yang pas untuk menggambarkan perempuan cantik pada era itu.
Standar kecantikan kemudian berubah. Pada tahun 1980 dengan
dipelopori oleh iklan, kecantikan diubah dalam standar baru. Mereka
yang disebut cantik adalah perempuan yang memiliki kulit halus dan
lembut. Pembangunan standar baru kecantikan tersebut sedemikian rupa
sangat impresif, sehingga membuat kaum perempuan mengikuti anjuran
iklan. Atas rayuan iklan tersebut, masyarakat pun menganut standar
kecantikan yang baru, hal inilah yang dimaksud oleh penulis bahwa
mitos/ standar kecantikan lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi,
dibandingkan oleh faktor kultural, dan hal ini pulalah yang menjadikan
standar kecantikan terus berubah dari waktu ke waktu.
Pada tahun 1990-an, disampaikan standar kecantikan baru
perempuan. Dikatakan oleh iklan, seseorang yang cantik adalah mereka
yang memiliki tubuh ideal dengan lekuk tubuh yang jelas, kulit putih,
tidak sekedar halus dan lembut. Melalui berbagai media iklan,
disampaikan bahwa kulit yang lebut dan halus tidak cukup untuk disebut
sebagai perempuan yang cantik. Iklan - iklan produk pemutih wajah
ramai membujuk perempuan agar memutihkan kulit, khususnya wajah.
Melalui iklan pula digambarkan perempuan cantik adalah perempuan
yang memiliki kulit yang putih, tidak lagi hitam. Perempuan yang berkulit
coklat apalagi yang berkulit hitam dibangkitkan perasaan akan
kekurangan dirinya, sehingga mau mengikuti saran iklan, yakni
memutihkan kulit mereka, tentu saja dengan menggunakan produk yang
diiklankan.
Dan akhirnya, pada awal tahun 2000-an hingga saat ini,
perempuan sudah terkonstruksi pada standar kecantikan baru bahwa
perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kulit putih, inilah
salah satu contoh iklan kembali membangun standar baru kecantikan bagi
perempuan. Diteriakkan berulang - ulang melalui iklan, bahwa
perempuan yang cantik adalah perempuan yang memiliki tidak sekedar
kulit putih, namun kulit yang " bersinar". Standar kecantikan menjadi
lebih rumit, penuh dengan imanjinasi yang kompleks. Standar kulit tidak
lagi hanya perubahan warna secara fisik dari hitam atau coklat menjadi
putih. Tetapi dari putih biasa menjadi putih bersinar.
Pada akhirnya, sebaiknya iklan secara umum dan iklan kosmetik
khususnya tidak hanya mengekploitasi tubuh kaum perempuan saja, atau
hanya dijadikan sebagai objek. Iklan seharusnya dapat memberikan
inspirasi kepada kaum perempuan mengenai hal- hal lain yang tidak
bersifat kepada persoalan fisik saja, seperti masalah pendidikan, masalah
sosial dan lain sebagainya.
1.5.5 Analisis Resepsi
Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah
menggunakan reception analysis, dimana analisis ini mencoba
memberikan sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak,
elektronik, internet) dengan memahami bagaimana karakter teks media
dibaca oleh khalayak. Individu yang menganalisis media melalui kajian
reception memfokuskan pada pengalaman dan pemirsaan khalayak
(penonton atau pembaca), serta bagaimana makna diciptakan melalui
pengalaman tersebut. Konsep teoritik terpenting dari reception analysis
adalah bahwa teks media penonton atau pembaca atau program televisi
bukanlah makna yang melekat pada teks media tersebut, tetapi makna
diciptakan dalam interaksinya antara khalayak (penonton atau pembaca)
dan teks. Dengan kata lain, makna diciptakan karena menonton atau
membaca dan memproses teks media.
Teori reception mempunyai argumen bahwa faktor kontekstual
mempengaruhi cara khalayak memirsa atau membaca media, misalnya
film atau program televisi. Faktor kontekstual termasuk elemen identitas
khalayak, persepsi penonton atas film atau genre program televisi dan
produksi, bahkan termasuk latar belakang sosial, sejarah dan isu politik.
Singkatnya, teori reception menempatkan penonton atau pembaca dalam
konteks berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi bagaimana
menonton atau membaca serta menciptakan makna dari teks.
Menurut Stuart Hall (1974), riset khalayak seperti dikutip dari
Baran (2003), mempunyai perhatian langsung terhadap analisis dalam
konteks sosial dan politik dimana isi media diproduksi (encoding), serta
konsumsi isi media dalam konteks kehidupan sehari-hari (decoding).
"Analisis resepsi memfokuskan pada perhatian individu dalam proses
komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan
pemahaman yang mendalam atas media teks, dan bagaimana individu
menginterpretasikan isu media" (Baran, 2003:269). Hal ini bisa diartikan
individu secara aktif menginterpretasikan teks media dengan cara
memberikan makna atas pemahamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam
kehidupan sehari-hari. Tahapan decoding terjadi pada proses
memproduksi makna dan membagikan kepada orang lain. Dalam konteks
sosial konsumen media cenderung mengkonseptualisasikan media sebagai
sebuah representasi daripada sebagai sebuah sumber informasi.
Dalam tradisi studi audience, setidaknya pernah berkembang
beberapa varian diantaranya disebut secara berurutan berdasar perjalanan
sejarah lahirnya efect research, uses and gratification research, literary
criticism, cultural studies, reception analysis (Jensen dan Rosengen,
1995:174). Reception analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru
dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi (Jensen, 1995:135).
Sebagai respon terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception
analysis menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak
media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada
teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan
operasionalisasi seperti penggunaan skala dan kategori semantik.
Sebaliknya, sebagai respon terhadap studi teks humansitik reception
analysis menyarankan baik audience maupun konteks komunikasi massa
perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek
analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (sosial dan perspektif
diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial
terhadap makna (the social production of meaning). Analisis resepsi
kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara
mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media
diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik kultural audiencenya
(Jensen, 1995:137).
Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam
kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak
tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent)
yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari
berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu
bisa bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara
oposisif oleh khalayak.
Menurut Stuart Hall (dikutip dari Baran, 2003: 269-270) ,
terdapat tiga tipe decoding yang bisa dilakukan oleh khalayak, yaitu
Dominant, Negotiated, dan Oppositional :
1. Dominant/Preferred reading
Khalayak memaknai berdasarkan kode yang dominan. Media
memproduksi pesan dan khalayak mengkonsumsinya. Khalayak
menyetujui, menikmati, dan mengkonsumsi apa ditawarkan oleh media
tanpa ada protes dan perlawanan. Sehingga khalayak akan memaknai
teks sesuai dengan apa yang diinginkan oleh media.
2. Negotiated reading
Khalayak memaknai teks berdasarkan nilai budaya yang dominan
tetapi menolak penerapannya dalam kasus yang spesifik. Khalayak
mempertanyakan kode tersebut dan menggunakan keyakinannya untuk
mengkompromikan kode dominan yang ada.
3. Oppositional reading
Khalayak memaknai secara oposisi apa yang disampaikan oleh media.
Khalayak memaknai pesan secara kritis dan menemukan adanya bias
dalam penyampaian pesan serta berusaha untuk tidak menerimanya
secara mentah-mentah. Dalam hal ini khalayak berusaha untuk
menggunakan kerangka kodenya sendiri.
Dalam buku Mass Communication Theory, Foundation,
Ferment, and Future 3rd Edition oleh Baran, reception theory memiliki
kekuatan dan kelemahan seperti berikut.
Tabel 1.1. Tabel kekuatan dan kelemahan Reception Theories
RECEPTION THEORY
Kekuatan:
1. Memfokuskan perhatian pada
individu dalam proses
komunikasi massa
2. Menghormati kecerdasan dan
kemampuan konsumen media.
3. Mengakui berbagai makna dalam
teks media.
4. Mencari pemahaman mendalam
tentang bagaimana orang
menafsirkan isi media.
5. Dapat memberikan analisis
mendalam tentang cara media
digunakan dalam konteks sosial
sehari-hari.
Kelemahan:
1. Biasanya didasarkan pada
interpretasi subjektif laporan
penonton.
2. Tidak dapat menetapkan ada atau
tidaknya efek.
3. Metode penelitian kualitatif
menghalangi penjelasan kausal.
4. Telah terlalu berorientasi tingkat
mikro (tetapi berusaha untuk
menjadi lebih makroskopik).
Sumber : Mass Communication Theory
Secara metodologi, reception analysis termasuk dalam
paradigma interpretive konstruktivis, pendekatan interpretive “is the
systematic analysis of socially meaningful action through the direct
detailed observation of people in natural settings in order to arrive at
understandings and interpretations of how people create and maintain
their worlds”. Artinya paradigma interpretif dalam konteks penelitian
sosial digunakan untuk melakukan interpretasi dan memahami alasan-
alasan dari para pelaku terhadap tindakan sosial yang mereka lakukan,
yaitu cara-cara dari para pelaku untuk mengkonstruksikan kehidupan
mereka dan makna yang mereka berikan kepada kehidupan tersebut
(Neuman dikutip dari http://puslit.petra.ac.id/journalscommunication/
diakses tanggal 25/09/12 jam 12:45).
1.5.6 Audience (Khalayak) Aktif dalam Media Massa
Audience (khalayak) merupakan pengkonsumsi media apapun
itu. Paradigma terdahulu, khalayak dipandang sebagai individu pasif,
namun sekarang tidak lagi. Audience (khalayak) dipandang sebagai
individu yang secara aktif menyerap informasi, memproses dalam
pemahamannya, serta memaknai konteks yang ada dalam teks media
tersebut. Penerimaan setiap individu dapat berbeda-beda, sesuai dengan
latar belakang budaya, pengetahuan, dan pengalaman masing-masing
individu. "Dalam konstruksi penelitian khalayak, penonton sebagai agen
aktif, mampu menolak dan merekonstruksi teks media"
(http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/ diakses 25 September
:12.45).
Menurut Hadi, khalayak mengkonsumsi media dalam berbagai
cara dan kebutuhan, merujuk pada pemikiran interpretif yang
menekankan pada pengalaman subjektif (meaning-construction)
seseorang dalam memahami suatu fenomena
(http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/ diakses 25 September
:12.45). Tradisi khalayak dalam komunikasi massa mempunyai dua
pandangan arus besar, yaitu khalayak yang pasif dan khalayak yang aktif.
Khalayak yang pasif adalah khalayak yang hanya bereaksi pada apa yang
mereka lihat dan dengar dalam media. Khalayak tidak ambil bagian
dalam diskusi-diskusi publik. Sementara pandangan kedua adalah
khalayak aktif, yaitu kelompok orang yang terbentuk atas isu-isu tertentu
dan aktif mengambil bagian dalam diskusi atas isu-isu yang mengemuka.
"Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam memprsepsi pesan dan memproduksi makna,
tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja
makna yang diproduksi oleh media massa" (McQuail, 1997:19).
Studi resepsi menilai bahwa audience atau khalayak dari media
massa itu bukanlah merupakan individu yang bodoh, melainkan secara
cultural adalah produsen makna aktif pada budaya mereka sendiri.
Audience membawa kompetensi budaya yang telah mereka dapatkan
untuk dikemukakan dalam teks media, sehingga audience yang terbentuk
dengan cara yang berbeda akan menginterpretasikan makna yang
berlainan satu sama lain. Menurut studi resepsi ini audience dengan aktif
menerima, membaca, mengkonsumsi, dan berinteraksi dengan teks
media.
1.5.7 Karakteristik Audience Aktif
Adapun krakteristik audience aktif tersebut sebagai berikut:
1. Selektifitas (seletivity).
Audience secara selektif dalam proses konsumsi media yang mereka
pilih untuk digunakan. Yang didasari oleh alasan dan tujuan tertentu.
2. Utilitarianisme (utilitarianism).
Audience dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu
kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang
mereka miliki.
3. Intensionalitas (intentionality).
Yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari sisi media.
4. Keikutsertaan (involvement).
Audience secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam
mengkonsumsi media.
5. Audience aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam
menghadapi pengaruh media (impervious to influence) atau tidak
mudah dibujuk oleh media itu sendiri.
6. Audience yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi
bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media
yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan
khalayak yang tidak terdidik.
( Menurut frank Biocca dalam Fajar 2007 : 83).
1.6 Fokus Penelitian
Menurut Spradley dalam Sugiyono fokus adalah domain tunggal atau
beberapa domain yang terkait dari situasi sosial. Fokus penelitian digunakan
untuk membatasi studi bagi peneliti dan menentukan sasaran penelitian. Maka
kemudian peneliti dapat mengklasifikasikan data yang dikumpulkan, diolah,
dan dianalisis dalam suatu penelitian. (Sugiyono 2008:208)
Penelitian ini akan difokuskan kepada pemaknaan audience atau
khalayak dalam hal ini adalah penghuni asrama Revolusi tentang makna
cantik dalam iklan kosmetik Wardah. Pemaknaan tersebut didasarkan pada
latar belakang dari audience , yakni umur, pendidikan, etnis, agama,dll.
Iklan yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah kosmetik
Wardah versi Di Balik Awal Mimpi.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu yang disebut
informan yang akan dipilih berdasarkan kriteria sasaran penelitian,
informan adalah Penghuni Asrama Revolusi yang memiliki syarat-syarat
yang sudah ditentukan sebelumnya.
1.7.2 Jenis dan Sumber Data
Data penelitian ini bersumber dari dua jenis data, yaitu:
1. Data primer
Data primer yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
hasil pengamatan dan wawancara (in depth interview) langsung dengan
subjek penelitian ini.
2. Data sekunder
Data sekunder didapatkan dari sumber tidak langsung, yaitu
melalui literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini seperti
buku, jurnal, dan internet mengenai konsep wanita cantik dalam iklan.
1.7.2 Subjek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah semua penghuni asrama
Revolusi yang pernah mengetahui dan memperhatikan iklan produk
kosmetik Wardah selanjutnya disebut informan. Dalam penelitian ini,
informan dipilih secara purposive sampling yang merupakan pengambilan
sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan.
Adapun syarat-syarat sebagai informan adalah:
1. Semua penghuni asrama Revolusi dari berbagai etnis, agama, dan usia.
2. Wanita yang menggunakan dan tidak menggunakan produk Wardah
3. Pernah mengetahui dan memperhatikan iklan produk kosmetik Wardah
versi di Balik Awal Mimpi.
Terdapat dua puluh sembilan orang anak penghuni Asrama
Revolusi. Dari dua puluh sembilan orang tersebut terseleksi lima orang
yang memenuhi syarat menjadi informan penelitian. Berikut tabel hasil
pemilihan informan.
Tabel 1.3 Penentuan Informan
Kategori /
Nama
Mengetahui
iklan
Wardah di
televisi
yang
dijadikan
acuan
penelitian
Memperhati
kan iklan
produk
Wardah
tersebut
Bersedia
terlibat
dalam
wawancara
mendalam
(in dept
interview)
Memberikan
persetujuan
mempublikasikan
hasil penelitian
Wanda Aprilia V X X X
Dewi Arisandi V X V V
Lut Farida V V V V
Shelly Farnelis X X X X
Salsa Indria V X V X
Ellya Ardani V X V X
Siti Farida V X X X
Erna
Kurniawan
V X V V
Erni Susanti V V V V
Arlistya
Arum
V V V V
Anna Anggia X X X X
Alfia
Damayanti
V V X X
Meigia
Hapsari
V X X X
Dona Kartika V X V X
Luh Putu Eko X X X X
Meffi
Yodianita
V X X X
Alvina Yohana X X X X
Rice Aurelia V X V X
Onevi Captius V X X X
Anisa Balkis V V V V
Deasy
Ranindita
X X X X
Trisnawati V X X X
Amalia
Kristina
V V V X
Andini Fitria V X V X
Tika Andayani X X X X
Galuh Ragil V V X X
Nike
Setianawati
V X X X
Ratna
Anabella
V V V V
Fenny Anti V X X X
Sumber : Olahan data peneliti
Keterangan :
V = Memenuhi kategori
X = Tidak memenuhi kategori
Sesuai dengan tabel penentuan informan di atas, maka berikut ini
adalah daftar nama informan yang berpartisipasi dalam proses penelitian
ini.
1. Lut Farida
2. Erni Susanti
3. Arlistya Arum
4. Anisa Balkis
5. Ratna Anabella
Berikut latar belakang dari kelima informan di atas.
Informan 1
Lut Farida yang biasa dipanggil Lut adalah mahasiswi aktif
semester 7 jurusan psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Lut
lahir di Lamongan pada tanggal 23 Agustus 1991. Ia memiliki ciri tinggi
badan 165 cm, dengan tubuh yang kurus dan kulit sawo matang. Selain
itu memiliki rambut panjang sebatas pinggang.
Lut merupakan pribadi yang periang serta tidak sombong. Hal ini
terlihat dari saat wawancara ia sering tersenyum di sela-sela memberikan
jawaban. Lut beragama Islam dan kurang aktif dalam mengikuti kegiatan
organisasi. Hal ini terbukti dengan tidak adanya organisasi yang ia terjuni.
Meskipun begitu ia tetap memiliki banyak teman.
Lut memiliki hobby shopping dan memasak. Ia sering
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hobby-nya bersama
dengan teman-teman sejawatnya, baik teman asrama maupun teman
kuliahnya. Berhubungan dengan hobby shoppingnya ia pun lebih
cenderung membeli majalah yang banyak memberikan informasi
mengenai kehidupan wnita dan trend yang sedang marak saat ini.
Peneliti sangat terbantu sekali dengan informan 1 karena
informan 1 banyak memaparkan tentang dunia wanita dan kecantikan.
Banyak sekali hal-hal baru yang peneliti temui dalam pemaparan
informan 1 dan hal itu semua sangat membantu peneliti dalam menggali
dan mencari pemaknaan mengenai makna cantik yang ada di dalam iklan
Wardah.
Informan 2
Erni Susanti yang akrab disapa Erni adalah mahasiswa
Universitas Widya Karya Malang jurusan Ekonomi Akuntansi. Erni lahir
20 tahun yang di kota Banyuwangi pada tanggal 7 Oktober 1992. Ia
keturunan Tionghoa beragama Kristen dengan ciri-ciri tubuh kurus,
dengan tinggi badan 156 cm, berambut lurus sebahu, mata sipit, berkulit
putih, berwajah oriental dan bibir kecil.
Erni adalah gadis yang ceria dan aktif. Ia aktif mengikuti
kegiatan UKM Pecinta Alam di kampusnya. Dengan kegiatan yang
terbilang padat Erni merupakan anak yang cukup tangguh karena dalam
UKM yang ia ikuti, ia harus dapat melewati berbagai rintangan yang
diberikan.
Kesehariannya Erni sering menggunakan media televisi dan
internet sebagai penunjang kebutuhannya. Dalam hal ini kebutuhan yang
dimaksudkan adalah kebutuhan akan informasi bagi penunjang kegiatan
akademik dan sumber hiburan.
Berdasarkan pemaparan yang diberikan oleh informan 2, peneliti
sangat terbantu karena ada perbedaan antara penerimaan media oleh
informan 2 dengan informan yang lain. Hal ini dapat menunjukkan
bagaimana penilaian makna cantik diterima berbeda oleh individu yang
berbeda pula.
Informan 3
Arlistya Arum adalah mahasiswi Universitas Negeri Malang
jurusan Sastra Inggris. Ia lahir pada tanggal 9 Januari 1990 di Batu dan
beragama Islam. Arum merupakan kakak dari dua bersaudara, ia memiliki
adik laki-laki bernama Bintang. Ciri-ciri Arum adalah tinggi, langsing,
berkulit sawo matang, dengan rambut bergelombang, dan berkacamata.
Arum memiliki hobby menulis yang membawa dia terjun dalam
UKM penulis dan teater. Dari hobby yang ia geluti didapat hasil karya
berupa cerpen yang sering menghiasi mading kampus. Selain itu dia juga
aktif dalam kepengurusan teater sebelum memutuskan untuk fokus dalam
pengerjaan skripsinya.
Sekarang ia telah berada pada tahap akhir penyelesaian skripsi
dan ia juga sibuk dengan kegiatan barunya, yaitu bekerja. Ia bekerja
sebagai tutor Bahasa Inggris dan CS di Bimbingan Belajar WLC. Karena
kebutuhannya maka ia menggunakan media internet dan televisi sebagai
bahan penggalian informasi bagi kelancaran skripsi serta hiburan.
Informan 4
Informan 4 dalam penelitian kali ini adalah Gadis kelahiran
Malang tanggal 25 Mei 1988 yang bernama lengkap Anisa Balkis. Nisa
sapaan akrab dari Anisa Balkis, ini merupakan Mahasiswi jurusan
Ekonomi akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2007.
Gadis cantik ini memiiliki ciri yakni, berambut hitam panjang dengan
hidung yang sedikit mancung serta senyum yang manis.
Sekarang Nisa bekerja di PT Araya Bumi Megah bagian
Departemen keuangan khususnya pajak. Dalam kesehariannya Nisa
menggunakan media televisi dan koran sebagai pemuas kebutuhannya
akan informasi. Selain sebagai media sumber informasi, Nisa juga
memilih media sebagai hiburan karena setelah seharian bekerja ia
memerlukan media yang dapat mengurangi rasa kepenatannya.
Dalam proses pencarian informasi, peneliti sangat terbantu
dengan informasi yang dipaparkan oleh informan 4. Hal ini tidak terlepas
dari pengetahuan informan 4 sendiri tentang dunia wanita dan perawatan
tubuh yang cukup baik, serta ditunjang dengan sikap dari informan 4 yang
sangat terbuka dengan berbagai pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
Sehingga proses wawancara tidak menemui kendala yang cukup
menghambat proses penelitian.
Informan 5
Informan terakhir adalah Ratna Anabella, yang akrab disapa
Ratna. Ia adalah penghuni termuda dalam asrama ini. Ratna mahasiswi
semester 1 di Universitas Muhammadiyah Malang jurusan Ekonomi
Manajemen. Gadis yang lahir di Kalimantan pada tanggal 15 Juni 1994
ini, memiliki ciri sedikit berisi, dengan tinggi badan 150 cm, berkulit
kuning langsat, berambut pendek sebahu bergelombang, dan mengenakan
jilbab.
Ia tergabung dengan komunitas hijabers Malang sebagai anggota
yang baru terdaftar. Dengan karakternya yang sedikit idealism aka
pemilihan segala yang berhubungan dengannya maka akan diseleksi
dengan ketat termasuk jenis make up. Dalam penggunaan media, ia hanya
menggunakan media televisi yang ada di asrama sebagai sumber
informasi dan hiburan yang utama.
Informan 5 ini memiliki keunikan dan pola pikir yang idealis.
Dan peneliti cukup terbantu dalam proses wawancara karena ia adalah
pribadi yang cukup menyenangkan dengan senyuman hangat yang sering
ia berikan dan kemauannya untuk berbagi mengenai penilaian pribadinya
tentang makna cantik.
1.7.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah iklan kosmetik Wardah
Versi Di Balik Awal Mimpi. Yang akan menjadi pokok bahasan dan objek
dari penelitian yang dilakukan.
1.7.5 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Artinya data
yang digunakan merupakan data kualitatif (data yang tidak terdiri dari
angka-angka) melainkan berupa kata-kata dari subjek penelitian. Dan
semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap
apa yang sudah diteliti, dimana penelitian ini akan mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan (wawancara) kepada subjek penelitian melalui in-
depth interview hingga peneliti mendapatkan hasil yang diharapkan.
Sementara itu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah paradigma interpretatif melalui metode reception analysis.
Analisis resepsi berupaya untuk mengetahui bagaimana audience
memahami dan menginterpretasikan isi pesan (memproduksi makna)
berdasarkan pengalaman (story of life) dan pandangannya selama
berinteraksi dengan media.
Reception analysis merupakan studi yang mendalam terhadap
proses aktual dimana wacana dalam media diasimilasikan ke dalam
wacana dan praktik-praktik budaya khalayak. Reception analysis
menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial
budaya dan sebagai proses dari pemberian makna melalui persepsi
khalayak atas pengalamannya dengan media (McQuail, 1997:47).
1.7.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian berupa wawancara mendalam dilakukan di kamar
informan seperti yang disepakati untuk memperoleh data hasil wawancara
dengan informan sebelumnya. Asrama Revolusi terletak di jalan Raya
Tlogomas no. 15 B, Malang. Waktu penelitian ini dilakukan dengan
pertimbangan penyesuaian terhadap kesediaan subjek penelitian.
1.7.7 Teknik Pengumpulaan Data
Dalam melakukan penelitian ini diperlukan subjek yang nantinya
akan membantu peneliti dalam penelitiannya. subjek adalah orang yang
dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi
latar penelitian (Moleong, 2002: 90).
Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka data yang
digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui:
- In depth interview
Merupakan cara bagi peneliti untuk memperoleh data
dengan melakukan wawancara secara langsung dengan sumber data,
sehingga data yang diperoleh akan lebih akurat. Cara ini digunakan
agar peneliti dapat memperoleh gambaran yang lengkap mengenai
konsep wanita cantik dalam iklan kosmetik Wardah menurut penghuni
asrama Revolusi.
1.7.8 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti melakukan banyak
analisis data yang dilakukan setelah pengumpulan data yang dilakukan
pada setiap periodenya. Hasil analisis tiap periode ini, selanjutnya yang
menjadi pertimbangan peneliti apakah data yang didapat sudah cukup
atau belum memuaskan.
Jika data yang didapat dianggap cukup, maka wawancara dapat
dihentikan. Namun, ketika jawaban yang diberikan tidak memuaskan,
maka peneliti melanjutkan pertanyaan lagi dan terus menerus hingga
mencapai suatu kondisi tertentu dan diperoleh data yang dianggap
kredibel.
Adapun beberapa aktifitas dalam analisis data menurut model
Miles dan Huberman (dikutip dari Sugiyono 2008: 246) antara lain:
a. Reduksi Data
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dianggap sangat
banyak. Oleh karenanya, perlu diadakan pencatatan secara teliti dan
rinci. Semakin sering peneliti mendatangi 'lapangan', semakin banyak
pula data yang diperoleh. Untuk memudahkannya, peneliti melakukan
analisis segera setelah penelitian dilakukan melalui reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang dianggap penting, mencari
tema dan pola yang didapat dalam tiap hasil penelitian sementara (hasil
wawancara). Dengan cara ini, data yang diperoleh lebih dipahami
melalui suatu konsep yang juga akan memudahkan peneliti melakukan
pengumpulan data selanjutnya.
Suatu hal yang perlu peneliti ingat dalam proses mereduksi
data ini adalah peneliti harus dipandu oleh tujuan utama dari penelitian
kualitatif adalah temuan, dan agar penelitian tidak lepas dari fokus
yang diinginkan.
b. Penyajian Data
Setelah mereduksi data, langkah selanjutnya adalah
menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penelitian dapat
dilakukan dalam bentuk teks, tabel, grafik, bagan, hubungan antar
kategori dan sejenisnya. Dalam hal ini, Miles dan Huberman
menyatakan bahwa dari sekian banyak cara penyajian, yang paling
sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah penyajian data
dengan menggunakan teks yang bersifat naratif. Demikian pula pada
penelitian ini, penyajian data dilakukan secara naratif untuk
memudahkan peneliti menentukan kinerja selanjutnya berdasarkan
data sementara yang telah dipahami dan disajikan tersebut.
c. Penarikan kesimpulan
Aktifitas terakhir dalam analisis data kualitatif menurut Miles
dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan yang didapat pada awal penelitian merupakan kesimpulan
yang bersifat sementara. Kesimpulan ini dapat berubah jika tidak
didukung dengan data-data yang kuat. Sebaliknya, jika kesimpulan-
kesimpulan tersebut terus mendapat bukti kuat dari kesimpulan-
kesimpulan selanjutnya, yakni dengan didukung oleh bukti-bukti yang
valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan, maka
kesimpulan yang dikemukakan dikatakan kredibel.
1.7.9 Uji Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif peneliti menyadari bahwa realitas
obyektif sesungguhnya tidak pernah bisa ditangkap, maka penggunaan
metode jamak atau yang lazim lebih disebut triangulasi. Triangulasi
merupakan upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
mengenai fenomena yang sedang diteliti. Triangulasi bukanlah alat atau
strategi pembuktian, melainkan suatu alternatif pembuktian. Sementara
ada yang menyatakan bahwa triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Beberapa jenis
teknik triangulasi yaitu triangulasi data (sering kali disebut dengan
triangulasi sumber), triangulasi metode, triangulasi teori, dan triangulasi
peneliti.
Dalam penelitian ini peneliti memilih menggunakan triangulasi
data. Triangulasi dengan data menurut Pawito berarti “menunjuk pada
upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi
guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama” (Pawito,
2007:47).. Hal ini berarti peneliti bermaksud menguji data yang diperoleh
dari satu sumber untuk dibandingkan dengan data dari sumber lain.
Dengan cara begini peneliti kemudian dapat mengungkapkan gambaran
yang lebih memadai (beragam perspektif) mengenai gejala yang diteliti.