BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media massa, seperti halnya pesan lisan dan isyarat, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Pada hakikatnya, media adalah perpanjangan lidah dan tangan yang berjasa meningkatkan kapasitas manusia untuk mengembangkan struktur sosialnya (William 2003:27). Media komunikasi yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia adalah televisi. Sebanyak 99% orang Amerika memiliki televisi dirumahnya. Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, berita, dan iklan. Mereka menghabiskan waktu untuk menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari (Agee dikutip dari Elvinaro 2007:125) Iklan di media televisi merupakan pesan komunikasi yang bertujuan untuk memperkenalkan produk barang atau jasa. Tujuan selanjutnya adalah memotivasi dan mempersuasi para pemirsa atau audience untuk mencari, membeli, dan kemudian menjadi pelanggan tetap. Sebagai bagian dari komunikasi massa media televisi mempunyai ciri khas cepat, selintas, dan umum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang iklan. Selain itu iklan telah berfungsi sebagai roda pengatur kehidupan manusia dan mempunyai pengaruh besar baik terhadap kaum pria maupun wanita. Para pembuat iklan berusaha menciptakan image atau citra pria dan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Media massa, seperti halnya pesan lisan dan isyarat, sudah menjadi

bagian tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Pada hakikatnya, media

adalah perpanjangan lidah dan tangan yang berjasa meningkatkan kapasitas

manusia untuk mengembangkan struktur sosialnya (William 2003:27).

Media komunikasi yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia

adalah televisi. Sebanyak 99% orang Amerika memiliki televisi dirumahnya.

Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, berita, dan iklan. Mereka

menghabiskan waktu untuk menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari

(Agee dikutip dari Elvinaro 2007:125)

Iklan di media televisi merupakan pesan komunikasi yang bertujuan

untuk memperkenalkan produk barang atau jasa. Tujuan selanjutnya adalah

memotivasi dan mempersuasi para pemirsa atau audience untuk mencari,

membeli, dan kemudian menjadi pelanggan tetap. Sebagai bagian dari

komunikasi massa media televisi mempunyai ciri khas cepat, selintas, dan

umum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

iklan.

Selain itu iklan telah berfungsi sebagai roda pengatur kehidupan

manusia dan mempunyai pengaruh besar baik terhadap kaum pria maupun

wanita. Para pembuat iklan berusaha menciptakan image atau citra pria dan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

wanita yang pada akhirnya muncullah sebuah konstruksi sosial terhadap pria

dan wanita. Konstruksi sosial tersebut terus berkembang di masyarakat dan

menjadikannya suatu stereotipe kultural.

Dalam karya audio visual simbol digunakan sebagai alat atau media

penyampaian pesan yang digunakan untuk memberikan makna dari sesuatu

yang tersimpan di dalam simbol tersebut. Simbol terjadi berdasarkan

metonimi (metonymy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau

yang menjadi atributnya (misalnya si kaca mata untuk seseorang yang berkaca

mata) dan metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain

untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana,

2001:137).

Dalam penciptaan pesan dan tanda-tanda, peran wanita sebagai

komoditi media terbilang cukup besar. Banyak media-media yang menjadikan

wanita sebagai objek. Sebagai objek, wanita memperoleh perlakuan dilihat,

dinilai, diapresiasi dalam berbagai konteks wacana media. Visualisasi wanita

dalam media diwarnai oleh stereotipe dan komodifikasi sebagai pelaris

produk. Sementara peran wanita sendiri belum beranjak dari urusan-urusan

domestik, seperti mengasuh anak, mencuci, belanja, memasak, dan melayani

kebutuhan suami. Wanita tetap menjadi subkordinat laki-laki, dengan laki-laki

menjadi subjek dan sang penguasa nilai-nilai kehidupan sosial. Wacana ini ada

dalam berbagai bentuk media massa, mulai dari dongeng hikayat dan cerita

rakyat, sampai pada majalah, iklan dan film layar lebar.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Bukan hanya peran domestik wanita yang ditonjolkan dalam media,

tetapi sederetan citra kecantikan pun dibangun oleh media massa. Wanita

dianggap sebagai objek sensualitas yang harus senantiasa memperhatikan

penampilan tubuhnya. Wanita dianggap cantik apabila berbadan langsing,

berkulit putih, dan berambut panjang. Citra-citra seperti itu yang selalu

diulang-ulang dalam penayangan iklan, film, dan media massa lainnya. Pada

sekitar tahun 2000, seiring dengan suksesnya film Ayat-ayat cinta, konsep

cantik mulai sedikit bergeser. Wanita-wanita yang awalnya membentuk

rambutnya agar lurus dan panjang, pada era itu mulai mengenakan jilbab.

Model jilbab yang dikenal dengan model jilbab ayat-ayat cinta. Wanita dirasa

lebih cantik ketika menutup rambutnya dengan jilbab-jilbab yang anggun.

Citra-citra keanggunan wanita seperti itu selalu berkembang seiring

pemaknaan masyarakat tentang ikon-ikon yang dijual di media massa.

Melalui iklanya, televisi leluasa untuk memperteguh pandangan,

kepercayaan, sikap, dan norma-norma kaum wanita yang sudah ada.

Kepercayaan itu antara lain adalah pentingnya wanita menjadi cantik secara

fisik (bugar, ayu, ramping, muda, dsb.). Tidak mengherankan bila iklan sabun

tertentu menggunakan artis-artis terkenal dan cantik untuk memancing

pemirsa agar memakai sabun tersebut untuk kelihatan cantik. Sementara

pemirsa wanita sebenarnya membeli ilusi untuk menjadi cantik seperti bintang

iklan yang bersangkutan, mereka menjadi mangsa kaum kapitalis

(transnasional) bermodal besar. Yang sebenarnya terjadi, produk tidak

disesuaikan dengan kebutuhan wanita; kebutuhan wanita, disesuaikan dengan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

produk iklan tersebut. Iklan tidak sekedar menjual barang; ia juga

menginformasikan, membujuk, menawarkan status, membangun citra, dan

bahkan menjual mimpi. Pendeknya, iklan merekayasa kebutuhan dan

menciptakan ketergantungan psikologis (Hamelink, 1983:16 dikutip dari

Deddy 2008: 65).

Sang kapitalis merayu kaum wanita agar membelanjakan uang mereka,

baik untuk kepentingan mereka sendiri ataupun untuk kepentingan keluarga

mereka. Yang untuk tentu saja perusahaan yang barang atau jasanya

diiklankan. Dalam kaitan ini, teori agenda setting masih tetap relevan media

mengagendakan isu-isu sosial bagi masyarakat dan menentukan apa yang

penting dan tidak penting. Pada gilirannya hal itu juga berkorelasi positif

dengan pikiran publik mengenai penting atau tidaknya isu-isu tersebut. Media

menginformasikan, menghibur, menafsirkan dan mensosialisasikan. Hasil

akhirnya adalah pembangkitan kesadaran baru atau peneguh kesadaran lama

tentang pentingnya menjadi cantik, dan tampak bugar dan muda, bagi kaum

wanita (Deddy 2008: 83).

Bahwa iklan TV terutama ditujukan kepada kaum wanita, sejalan

dengan temuan penelitian yang dilakukan Survey Research Indonesia (SRI),

yang menunjukan kecenderungan produk komersial yang diiklankan TV

adalah alat-alat perlengkapan kecantikan, seperti kosmetik, sabun, shampo,

pasta gigi, deodoran, dan sebagainya (Kompas, 25 Juni 1995). Kuarter

pertama tahun 2008, berdasarkan riset kepermisaan TV oleh ABG Nielsen,

kecenderungan tersebut tidak berbeda. Iklan-iklan ini jelas membujuk kaum

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

wanita agar mereka menjadi menarik dan mempesona. Pesan- pesan iklan

tersebut memperteguh mitos-mitos budaya paling kuat, yaitu pentingnya daya

tarik fisik dan usia muda bagi kaum wanita. Masuk akal bila kebanyakan

tokoh dalam iklan-iklan ini, seperti juga dalam sinetron-sinetron adalah

mereka yang cantik, menarik dan berusia muda (Deddy 2008: 84).

Barat pun memiliki andil yang besar dalam penciptaan representasi

terhadap image wanita. Menurut teori poskolonialis, negara-negara kolonialis

telah meninggalkan negara jajahannya secara formal, akan tetapi institusi dan

warisan kolonial masih mereka tinggalkan. Negara-negara barat masih setia

untuk mengawal kepentingan daerah bekas jajahannya. Sejak abad pencerahan

tampak representasi kebudayaan barat yang cenderung mengagungkan

kebudayaan dan tradisi Apolonian. Apolo adalah simbol dewa matahari dan

ilmu kedokteran. Apolonian lambang pencerahan dan serta pengendalian diri.

Mentalitas apolonian adalah mentalitas Yunani kuno yang mencari

keseimbangan, keteraturan serta pengendalian diri (Lubis 2006: 32).

Negara barat ikut andil dalam pembentukan image cantik, karena

dalam teori poskolonialis negara barat meninggalkan beberapa budaya yang

sudah terpatri dalam benak negara jajahannya. Salah satunya adalah konsep

cantik. Sering kali cantik dihubungkan dengan gestur tubuh yang putih, tinggi

semampai, berambut lurus, dan langsing. Padahal bila dilihat kembali pada

karakter orang Indonesia tidak banyak yang memiliki kulit putih dan postur

tubuh tinggi. Hal itu disebabkan karena orang barat yang telah

menanamkannya dalam benak kita.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Pemahaman ini dapat muncul karena banyaknya karya-karya barat

yang terus menampilkan konsep cantik yang mereka miliki melalui media

massa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Antara lain melalui tayangan

film yang diproduksi berulang kali mereka tunjukkan konsep cantik yang

mereka miliki sehingga hal itu melekat secara alami sebagai cara pandang.

Contohnya pada film barbie yang sudah dikenal sejak dulu dan sering kali

dikonsumsi oleh anak kecil pun sudah muncul paradigma yang ingin

dimasukkan. Film barbie selalu menggunakan tokoh wanita cantik dalam

konsep karakter barat.

Dalam pemahaman teori yang mendalam belum ada satu orang pun

yang mampu mendefinisikan dan memberi penilaian pasti dari makna cantik.

Karena kecantikan yang di resepsi setiap manusia berbeda-beda tergantung

dari bagaimanakah definisi cantik dari orang itu sendiri. Banyak makna cantik

yang dapat dipaparkan dan tidak ada harga mati untuk menilai dan mengukur

suatu kecantikan. Hal ini disebabkan dari banyaknya resepsi yang diterima

dan diolah oleh tiap manusia.

Hal inilah yang diterima oleh pihak biro iklan dan digunakan sebagai

alat komoditi agar konsumen melihat dan tertarik. Khususnya produsen

produk kecantikan yang mengadopsi konsep kecantikan barat dalam

mengiklankan produknya. Tujuannya agar konsumen melihat bagaimanakah

objek yang digunakan dalam iklan tersebut dapat menunjukkan kecantikan

yang hendak ditawarkan.

Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

menggunakan reception analysis, dimana analisis ini mencoba memberikan

sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan

memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu

yang menganalisis media melalui kajian reception memfokuskan pada

pengalaman dan pemirsaan khalayak (penonton atau pembaca), serta

bagaimana makna diciptakan melalui pengalaman tersebut. Konsep teoritik

terpenting dari reception analysis adalah bahwa teks media penonton atau

pembaca atau program televisi bukanlah makna yang melekat pada teks media

tersebut, tetapi makna diciptakan dalam interaksinya antara khalayak

(penonton atau pembaca) dan teks. Dengan kata lain, makna diciptakan karena

menonton atau membaca dan memproses teks media.

Makna sebuah teks pada dasarnya bersifat polisemi dan terbuka

sehingga memungkinkan khalayak untuk memahami dan menginterpretasikan

pesan secara berbeda. Analisis resepsi berupaya menganalisisnya dengan

mengungkap apa yang ada ataupun sesuatu yang tersembunyi di balik

penuturan-penuturan audience tersebut. Peneliti berusaha mengungkap

makna-makna terdalam dari fenomena tersebut.

Peneliti menangkap sebuah fenomena yang dianggap menarik untuk

diteliti mengenai analisis resepsi. Dalam suatu kesempatan peneliti

mengunjungi kerabat yang tinggal di asrama revolusi. Karena sudah sering

berkunjung peneliti tidak sungkan untuk ikut menonton televisi bersama di

ruang tengah bersama teman-teman asrama yang lain. Saat jeda pariwara ada

iklan Wardah yang cukup menarik perhatian teman-teman yang ada di tempat

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

tersebut. Saat iklan itu muncul beberapa kawan memberikan komentar

mengenai iklan tersebut dan berlanjut dengan komentar-komentar yang lain

hingga keadaan ruangan riuh dengan komentar masing-masing individu yang

ingin ikut andil memberikan penilaian. Fenomena tersebut cukup membuat

peneliti ingin mencari tahu bagaimanakah sebuah tayangan bisa menghadirkan

berbagai pandangan dari audience.

Dalam penelitian ini, peneliti melihat komunikasi bukan hanya sebagai

proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna. Pesan-pesan

yang dibuat, mendorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya

sendiri yang terkait dengan konteks-konteks tertentu. Iklan memiliki sejumlah

makna pesan yang disampaikan melalui sejumlah tanda dalam bentuk audio

visual. Oleh karenanya peneliti tertarik untuk meneliti makna-makna atau citra

yang ditimbulkan oleh iklan kosmetik Wardah. Selain itu peneliti ingin

mengetahui makna cantik seperti apa yang dibangun oleh Wardah yang

menggunakan objek Inneke sebagai perempuan yang sempurna. Dari segi

kajian ilmu komunikasi, peneliti ingin dapat memberikan gambaran

bagaimana reception analysis menginterpretasikan pemaknaan audience

terhadap suatu teks media. Untuk itulah penelitian ini menarik untuk

dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarakan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,

maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana makna wanita

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

cantik dalam iklan kosmetik Wardah versi Di Balik Awal Mimpi menurut

penghuni asrama Revolusi?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab rumusan masalah yang

ada, yaitu untuk mengetahui makna wanita cantik dalam iklan kosmetik

Wardah versi Di Balik Awal Mimpi menurut penghuni asrama Revolusi.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah literatur penelitian kualitatif komunikasi mengenai

pemaknaan audience atau khalayak terhadap teks media dengan

menggunakan studi resepsi.

2. Manfaat Praktis

Membantu pembaca dalam memahami pemaknaan audience atau khalayak

tentang makna cantik dalam iklan.

\

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa

Televisi merupakan bagian dari media komunikasi massa yang

mampu menyediakan berbagai informasi yang aktual dan menyebarkan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

ke masyarakat umum. Yang dimaksudkan dengan televisi disini adalah

televisi siaran (televition broadcast) yang merupakan media dari jaringan

komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa antara lain:

komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya

menimbulkan keserempakan, dan komunikannya heterogen (Effendy,

1993:21).

Pernyataan Harold Lasswell tentang definisi komunikasi yakni

Who Says What In Which Channel to Whom With What Effect? Telah bisa

mewakili bahwa televisi siaran merupakan media komunikasi massa

karena memenuhi unsur-unsur yang terdiri dari sumber (source), pesan

(message), saluran (channel), penerima (receiver), serta efek (effect).

Seiring berkembangnya jaman, saat ini televisi telah menjelma menjadi

salah satu media massa yang paling banyak diminati masyarakat. Hal ini

bisa dilihat, hampir semua rumah di Indonesia memiliki televisi, bahkan

televisi bisa dikatakan telah menjadi kebutuhan primer masyarakat.

Sifat televisi yang serempak dimanfaatkan untuk membuat

masyarakat secara bersamaan menaruh perhatian kepada pesan yang

disampaikan komunikator. Selain sifat televisi yang cepat memungkinkan

pesan dapat disampaikan begitu banyak orang dalam waktu yang singkat.

Daya tarik televisi juga demikian besar, sehingga pola-pola kehidupan

rutinitas manusia sebelum munculnya televisi, berubah total sama sekali.

Inilah yang membuat media televisi menjadi bahan konsumsi masyarakat

yang utama sejajar dengan kebutuhan pokok yang lainnya.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Bisa dikatakan televisi telah mampu meniadakan ruang dan

waktu bagi siapapun yang menontonnya. Serta menghilangkan perbedaan

suku, ras, dan gender dalam pemanfaatannya untuk memperoleh

informasi, pendidikan, dan hiburan. Pesan-pesan yang disampaikan juga

dapat mempengaruhi dan memberikan interpretasi yang berbeda-beda

pada setiap individu.

1.5.2 Komunikan Komunikasi Massa

Dalam strategi komunikasi, komunikan merupakan komponen

yang paling banyak meminta perhatian. Karena jumlahnya banyak serta

sifatnya yang heterogen dan anonim, sedangkan mereka harus dapat

dicapai seraya menerima setiap pesan secara inderawi dan secara rohani.

Yang dimaksudkan dengan inderawi ialah diterimanya suatu pesan jelas

bagi indera mata dan terang untuk indera telinga. Yang dimaksud dengan

rohani adalah sebagai terjemahan dari bahasa asing “accepted”, yaitu

diterimanya suatu pesan yang sesuai dengan kerangka referensinya (frame

of reference), paduan dari usia, agama, pendidikan, kebudayaan, dan

nilai-nilai kehidupan lainnya. Kerangka referensi tertentu menimbulkan

kepentingan dan minat (interest) tertentu.

Berdasarkan hal-hal tersebut ada suatu pesan dari media massa

yang diminati oleh seluruh khalayak, ada juga yang disenangi oleh

kelompok tertentu, misalnya kelompok usia, anak-anak, remaja, dewasa,

kelompok agama, kelompok etnis, dan sebagainya.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Dengan demikian, dalam menyusun strategi komunikasi harus

ditentukan, rubrik atau cara mana untuk sasaran khalayak (target

audience) dan yang mana untuk sasaran kelompok (target groups).

Penentuan ini menimbulkan konsekuensi lain yang berkaitan dengan

aspek sosiologis atau psikologis, yang kesemuanya itu demi efektivitas

komunikasi.

Individual Differences Theory menyebutkan bahwa khalayak

yang secara selektif memperhatikan suatu pesan komunikasi, khususnya

jika berkaitan dengan kepentingannya, akan sesuai dengan sikapnya,

kepercayaannya dan nilai-nilainya. Tanggapannya terhadap pesan

komunikasi itu akan diubah oleh tatanan psikologisnya.

Jika pandangan Individual Differences Theory mengenai proses

komunikasi sesuai dengan penemuan-penemuan psikologi umum, maka

teori yang kedua yakni Social Categories Theory tampaknya bersumber

pada teori sosiologi umum mengenai massa. Asumsi dasar yang kedua ini

ialah bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, orang-

orang yang mempunyai sejumlah sifat yang sama akan memiliki pola

hidup tradisional yang sama. Kesamaan orientasi dan perilaku ini akan

mempunyai kaitan dengan gejala yang diakibatkan media massa. Suatu

kelompok dari khalayak akan memiliki pesan komunikasi yang kira-kira

sama dan akan memberikan tanggapan yang kira-kira sama pula.

Teori yang ketiga, Social Relationships Theory sebuah pesan

komunikasi massa mula-mula disiarkan melalui media massa kepada

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

pemuka pendapat. Pada gilirannya oleh pemuka pendapat ini pesan

komunikasi tersebut diteruskan secara komunikasi antar pribadi kepada

orang-orang yang kurang keterbukaannya terhadap media massa, atau

dengan perkataan lain orang-orang yang tidak berlangganan surat kabar,

tidak memiliki pesawat radio, atau tidak memiliki pesawat televise.

Dalam hubungan social yang informal seperti itu, si pemuka pendapat

tadi bukan saja meneruskan informasi, tapi juga menginterpretasikannya.

Di sini tampak adanya pengaruh pribadi (personal influence) yang

merupakan mekanisme penting yang bisa mengubah pesan komunikasi.

Cultural Norms Theory sebagai teori keempat merupakan

anggapan yang mendasar bahwa melalui penyajian yang selektif dan

penekanan pada tema tertentu; media massa menciptakan kesan-kesan

pada khalayak bahwa norma-norma budaya yang sama mengenai topik-

topik tertentu dibentuk dengan cara-cara yang khusus. Ada tiga cara

dimana media massa secara potensial mempengaruhi norma-norma dan

batas-batas situasi perorangan.

Pertama, pesan komunikasi bisa memperkuat pola-pola yang

sudah ada (reinforce existing patterns) dan mengarahkan orang-orang

untuk percaya bahwa suatu bentuk sosial dipelihara oleh masyarakat.

Kedua, media massa bisa menciptakan keyakinan baru (create

new shared convictions) mengenai topik, dengan topik mana khalayak

kurang berpengalaman sebelumnya.

Ketiga, media massa bisa mengubah norma-norma yang sudah

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

ada (change existing norms) dan karenanya mengubah orang-orang dari

bentuk tingkah laku yang stu menjadi tingkah laku yang lain. (Onong

2003: 315-318)

1.5.3 Citra Perempuan dalam Media

Dalam banyak kajian feminis banyak ditemukan kritikan

mengenai representasi citra perempuan di masyarakat. Representasi

perempuan mencerminkan sikap laki-laki terhadap perempuan dan

merupakan misinterpretasi perempuan sejati. Konsep stereotipe

menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Stereotip

terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang

dilebih-lebihkan, dan biasanya negatif (Barker, 2000:23).

Meehan dalam (Barker, 2000: 25) mengidetinfikasikan beberapa

stereotipe perempuan yang umumnya ditemukan sebagai berikut:

Nakal: Memberontak, aseksual, tomboy

Istri yang baik: Domestik, menarik, terpusat di rumah

Tamak: Agresif, lajang

Korban: Pasif, menderita, kekerasan atau kecelakaan

Bak umpan: Kelihatan lemah padahal kuat

Genit: Secara seksual memancing laki-laki untuk tujuan yang buruk

Pelacur kelas tinggi: Tinggal di salon, pertunjukkan kabaret, prostitusi

Penyihir: Kekutan ekstra, namun tersubordinasi oleh laki-laki

Selain itu, Krishnan dan Dighe juga melakukan studi di India.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Dalam penelusurannya, Krishnan dan Dighe menjumpai bahwa

perempuan distereotipkan kedalam dua hal, yaitu ideal dan menyimpang.

Perempuan ideal adalah perempuan yang mengasuh dan maternal.

Perempuan hanya difungsikan sebagai pendukung laki-laki. Lebih lanjut,

mereka memaparkan beberapa atribut yang melekat pada maskulinitas

dan feminitas di televisi india sebagai berikut:

Tabel 1.2 Karakter Laki-laki dan Perempuan

Karakter Laki-laki Karakter perempuan

Terpusat pada diri

Tegas

Percaya diri

Melihat suatu tempat pada

dunia yang lebih luas

Rasional dan berkelompok

Dominan

Paternal

Berkorban

Tergantung

Ragu untuk bersenang-senang

Mendefinisikan dunia melalui

hubungan keluarga

Emosional dan sentimental

Tersubordinasi

Matenal

Stereotip serupa bukan hanya dirasakan di India. Stereotip

semacam itu juga berkembang di Indonesia. Dalam buku Bingkai Sosial

Gender, dikatakan bahwa stereotip telah membentuk alam bawah sadar

laki-laki dan perempuan bahwa haltersebut dianggap wajar. Dengan kata

lain, stereotip hanya merupakan pemikiran sebuah kelompok sosial, yang

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

mungkin tidak berkaitan dengan realitas, namun diakui kebenarannya.

Dalam dunia perfilman baik dari dalam maupun luar negeri, citra

perempuan masih cenderung sebagai subjek eksploitasi atau hanya

sebagai pelengkap danpenambah unsur estetika film. Lantas, bagaimana

nasib film yang mengupas eksistensi kehidupan perempuan? Film yang

bertema perempuan atau mengekplorasi posisi, kondisi, keinginan, dan

kepentingan perempuan dalam telaah psikologis bias dibedakan menjadi

beberapa hal. Pertama, tema egokolektif perempuan remaja dengan

beragam harapan dan "tingkah laku" romantika percintaan. Kedua, tema

simbolis politik yang menggambarkan rendahnya penghargaan terhadap

martabat perempuan. Hal ini dikonstruksi dalam berbagai film horor,

dimana para tokoh antagionis yang menjadi "setan" adalah sosok

perempuan. Ketiga, tema kemuliaan keluarga, dimana perempuan

mendapat porsi untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan dalam

pembabakan jalan cerita serta klimaks penarasian.

1.5.4 Citra Perempuan dalam Iklan

Iklan sebagai salah satu perwujudan kebudayaan massa tidak

hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk

membeli barang atau jasa, tetapi juga turut mendedahkan nilai tertentu

yang secara terpendam terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, iklan

yang sehari-hari kita temukan di berbagai media massa cetak maupun

elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Artinya, iklan dapat menjadi

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan

nilai hakiki.

Perempuan dalam iklan yang sering kali dibahas, acap kali

menimbulkan polemik pro-kontra. Karena keindahannya, tidak bisa

dimungkiri perempuan sering ditampilkan dalam iklan, meskipun

terkadang kehadirannya terasa agak diada-adakan.

Karena keindahannya pula, untuk iklan sebuah produk yang

bobot kehadiran tokohnya sama antara pria dan perempuan, biasanya

perempuanlah yang dipilih. Kriterianya antara lain karena keindahannya,

perempuan sering menjadi sumber inspirasi, termasuk dalam melahirkan

sebuah produk.

Keindahan yang dimiliki perempuan dalam kesehariannya,

membentuk stereotype (keseragaman) dan membawa mereka kepada

sifat-sifat di sekitar keindahan itu. Antara lain, perempuan harus tampil

menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak tampil prima untuk

menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara, cerdas dan

menjadi sumber pengetahuan dan moral keluarga, " penjaga nilai halus

dan adiluhung" di rumah. Perempuan juga sering disebut sebagai

penyambung keturunan, lemah lembut, anggun, pandai memasak, lebih

emosional, fisik kurang kuat, lincah, keibuan, manja, tidak bernalar,

bergantung, pasif, lemah, penakut, digambarkan sebagai objek seksual,

dengan menekankan pada figur dan pakaian cantik.

Tampaknya penggambaran yang stereotype dan cenderung

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

mengambarkan perbedaan gender seperti yang diuraikan di atas yang

sering kali menjadi ide sentral dan citra perempuan dalam berbagai iklan.

Sedemikian kuatnya citra perempuan dalam konstruksi tradisional,

sehingga dikatakan perempuan adalah mahluk yang dimaksudkan untuk

dilihat, bukan untuk didengar. Berbeda dengan pria, perempuan

kebanyakan ditandai dengan gaya rambut, mode pakaian, make up wajah

dan aksesoris lain. Setiap aspek fisik dalam diri perempuan membawa

maknanya sendiri. Tetapi tidak demikian dengan pria. Umumnya pria

mempunyai gaya yang standar contohnya, seperti mengenakan celana

gelap dengan pakaian yang lebih terang dan gaya rambut standar.

Perempuan selalu ditampilkan menarik secara visual, padahal

belum tentu demikian kebenarannya. Hal-hal yang berkaitan dengan

visual inilah yang menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda-beda

pula terhadap citra seorang perempuan. Berdasarkan berbagai alasan di

atas, maka iklan pun banyak yang menggunakan perempuan sebagai

modelnya, karena tampaknya iklan dipercaya akan mampu mendapatkan

pengaruh bila menggunakan wanita sebagai salah satu ilustrasi atau

modelnya, bahkan sekalipun produk tersebut bukan dimaksudkan untuk

digunakan oleh perempuan. Dalam disertasinya yang menganalisa sekitar

300-an iklan cetak, Tamrin Amal Tomagola menyimpulkan bahwa

perempuan dalam iklan Indonesia lebih banyak digambarkan dalam sosok

tradisional. Iklan yang mengetengahkan keseteraan gender masih terlalu

sedikit. Bias gender masih lebih mendominasi. Dalam penelitiannya,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Tomagola menyimpulkan bahwa wanita dalam iklan dikelompokkan

dalam 5 kategori citra, yaitu citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra

pinggan, dan citra pergaulan.

Standar kecantikan adalah merupakan salah satu contoh nyata

sistem nilai yang berubah karena iklan. Pada era tahun 1960 hingga tahun

1970-an, perempuan cantik adalah sosok yang memiliki tubuh kurus,

dengan kulit hitam dan rambut berombak. Ida Royani merupakan salah

satu ikon yang pas untuk menggambarkan perempuan cantik pada era itu.

Standar kecantikan kemudian berubah. Pada tahun 1980 dengan

dipelopori oleh iklan, kecantikan diubah dalam standar baru. Mereka

yang disebut cantik adalah perempuan yang memiliki kulit halus dan

lembut. Pembangunan standar baru kecantikan tersebut sedemikian rupa

sangat impresif, sehingga membuat kaum perempuan mengikuti anjuran

iklan. Atas rayuan iklan tersebut, masyarakat pun menganut standar

kecantikan yang baru, hal inilah yang dimaksud oleh penulis bahwa

mitos/ standar kecantikan lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi,

dibandingkan oleh faktor kultural, dan hal ini pulalah yang menjadikan

standar kecantikan terus berubah dari waktu ke waktu.

Pada tahun 1990-an, disampaikan standar kecantikan baru

perempuan. Dikatakan oleh iklan, seseorang yang cantik adalah mereka

yang memiliki tubuh ideal dengan lekuk tubuh yang jelas, kulit putih,

tidak sekedar halus dan lembut. Melalui berbagai media iklan,

disampaikan bahwa kulit yang lebut dan halus tidak cukup untuk disebut

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

sebagai perempuan yang cantik. Iklan - iklan produk pemutih wajah

ramai membujuk perempuan agar memutihkan kulit, khususnya wajah.

Melalui iklan pula digambarkan perempuan cantik adalah perempuan

yang memiliki kulit yang putih, tidak lagi hitam. Perempuan yang berkulit

coklat apalagi yang berkulit hitam dibangkitkan perasaan akan

kekurangan dirinya, sehingga mau mengikuti saran iklan, yakni

memutihkan kulit mereka, tentu saja dengan menggunakan produk yang

diiklankan.

Dan akhirnya, pada awal tahun 2000-an hingga saat ini,

perempuan sudah terkonstruksi pada standar kecantikan baru bahwa

perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kulit putih, inilah

salah satu contoh iklan kembali membangun standar baru kecantikan bagi

perempuan. Diteriakkan berulang - ulang melalui iklan, bahwa

perempuan yang cantik adalah perempuan yang memiliki tidak sekedar

kulit putih, namun kulit yang " bersinar". Standar kecantikan menjadi

lebih rumit, penuh dengan imanjinasi yang kompleks. Standar kulit tidak

lagi hanya perubahan warna secara fisik dari hitam atau coklat menjadi

putih. Tetapi dari putih biasa menjadi putih bersinar.

Pada akhirnya, sebaiknya iklan secara umum dan iklan kosmetik

khususnya tidak hanya mengekploitasi tubuh kaum perempuan saja, atau

hanya dijadikan sebagai objek. Iklan seharusnya dapat memberikan

inspirasi kepada kaum perempuan mengenai hal- hal lain yang tidak

bersifat kepada persoalan fisik saja, seperti masalah pendidikan, masalah

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

sosial dan lain sebagainya.

1.5.5 Analisis Resepsi

Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah

menggunakan reception analysis, dimana analisis ini mencoba

memberikan sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak,

elektronik, internet) dengan memahami bagaimana karakter teks media

dibaca oleh khalayak. Individu yang menganalisis media melalui kajian

reception memfokuskan pada pengalaman dan pemirsaan khalayak

(penonton atau pembaca), serta bagaimana makna diciptakan melalui

pengalaman tersebut. Konsep teoritik terpenting dari reception analysis

adalah bahwa teks media penonton atau pembaca atau program televisi

bukanlah makna yang melekat pada teks media tersebut, tetapi makna

diciptakan dalam interaksinya antara khalayak (penonton atau pembaca)

dan teks. Dengan kata lain, makna diciptakan karena menonton atau

membaca dan memproses teks media.

Teori reception mempunyai argumen bahwa faktor kontekstual

mempengaruhi cara khalayak memirsa atau membaca media, misalnya

film atau program televisi. Faktor kontekstual termasuk elemen identitas

khalayak, persepsi penonton atas film atau genre program televisi dan

produksi, bahkan termasuk latar belakang sosial, sejarah dan isu politik.

Singkatnya, teori reception menempatkan penonton atau pembaca dalam

konteks berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi bagaimana

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

menonton atau membaca serta menciptakan makna dari teks.

Menurut Stuart Hall (1974), riset khalayak seperti dikutip dari

Baran (2003), mempunyai perhatian langsung terhadap analisis dalam

konteks sosial dan politik dimana isi media diproduksi (encoding), serta

konsumsi isi media dalam konteks kehidupan sehari-hari (decoding).

"Analisis resepsi memfokuskan pada perhatian individu dalam proses

komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan

pemahaman yang mendalam atas media teks, dan bagaimana individu

menginterpretasikan isu media" (Baran, 2003:269). Hal ini bisa diartikan

individu secara aktif menginterpretasikan teks media dengan cara

memberikan makna atas pemahamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam

kehidupan sehari-hari. Tahapan decoding terjadi pada proses

memproduksi makna dan membagikan kepada orang lain. Dalam konteks

sosial konsumen media cenderung mengkonseptualisasikan media sebagai

sebuah representasi daripada sebagai sebuah sumber informasi.

Dalam tradisi studi audience, setidaknya pernah berkembang

beberapa varian diantaranya disebut secara berurutan berdasar perjalanan

sejarah lahirnya efect research, uses and gratification research, literary

criticism, cultural studies, reception analysis (Jensen dan Rosengen,

1995:174). Reception analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru

dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi (Jensen, 1995:135).

Sebagai respon terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception

analysis menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada

teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan

operasionalisasi seperti penggunaan skala dan kategori semantik.

Sebaliknya, sebagai respon terhadap studi teks humansitik reception

analysis menyarankan baik audience maupun konteks komunikasi massa

perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek

analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (sosial dan perspektif

diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial

terhadap makna (the social production of meaning). Analisis resepsi

kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara

mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media

diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik kultural audiencenya

(Jensen, 1995:137).

Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam

kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak

tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent)

yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari

berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu

bisa bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara

oposisif oleh khalayak.

Menurut Stuart Hall (dikutip dari Baran, 2003: 269-270) ,

terdapat tiga tipe decoding yang bisa dilakukan oleh khalayak, yaitu

Dominant, Negotiated, dan Oppositional :

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

1. Dominant/Preferred reading

Khalayak memaknai berdasarkan kode yang dominan. Media

memproduksi pesan dan khalayak mengkonsumsinya. Khalayak

menyetujui, menikmati, dan mengkonsumsi apa ditawarkan oleh media

tanpa ada protes dan perlawanan. Sehingga khalayak akan memaknai

teks sesuai dengan apa yang diinginkan oleh media.

2. Negotiated reading

Khalayak memaknai teks berdasarkan nilai budaya yang dominan

tetapi menolak penerapannya dalam kasus yang spesifik. Khalayak

mempertanyakan kode tersebut dan menggunakan keyakinannya untuk

mengkompromikan kode dominan yang ada.

3. Oppositional reading

Khalayak memaknai secara oposisi apa yang disampaikan oleh media.

Khalayak memaknai pesan secara kritis dan menemukan adanya bias

dalam penyampaian pesan serta berusaha untuk tidak menerimanya

secara mentah-mentah. Dalam hal ini khalayak berusaha untuk

menggunakan kerangka kodenya sendiri.

Dalam buku Mass Communication Theory, Foundation,

Ferment, and Future 3rd Edition oleh Baran, reception theory memiliki

kekuatan dan kelemahan seperti berikut.

Tabel 1.1. Tabel kekuatan dan kelemahan Reception Theories

RECEPTION THEORY

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Kekuatan:

1. Memfokuskan perhatian pada

individu dalam proses

komunikasi massa

2. Menghormati kecerdasan dan

kemampuan konsumen media.

3. Mengakui berbagai makna dalam

teks media.

4. Mencari pemahaman mendalam

tentang bagaimana orang

menafsirkan isi media.

5. Dapat memberikan analisis

mendalam tentang cara media

digunakan dalam konteks sosial

sehari-hari.

Kelemahan:

1. Biasanya didasarkan pada

interpretasi subjektif laporan

penonton.

2. Tidak dapat menetapkan ada atau

tidaknya efek.

3. Metode penelitian kualitatif

menghalangi penjelasan kausal.

4. Telah terlalu berorientasi tingkat

mikro (tetapi berusaha untuk

menjadi lebih makroskopik).

Sumber : Mass Communication Theory

Secara metodologi, reception analysis termasuk dalam

paradigma interpretive konstruktivis, pendekatan interpretive “is the

systematic analysis of socially meaningful action through the direct

detailed observation of people in natural settings in order to arrive at

understandings and interpretations of how people create and maintain

their worlds”. Artinya paradigma interpretif dalam konteks penelitian

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

sosial digunakan untuk melakukan interpretasi dan memahami alasan-

alasan dari para pelaku terhadap tindakan sosial yang mereka lakukan,

yaitu cara-cara dari para pelaku untuk mengkonstruksikan kehidupan

mereka dan makna yang mereka berikan kepada kehidupan tersebut

(Neuman dikutip dari http://puslit.petra.ac.id/journalscommunication/

diakses tanggal 25/09/12 jam 12:45).

1.5.6 Audience (Khalayak) Aktif dalam Media Massa

Audience (khalayak) merupakan pengkonsumsi media apapun

itu. Paradigma terdahulu, khalayak dipandang sebagai individu pasif,

namun sekarang tidak lagi. Audience (khalayak) dipandang sebagai

individu yang secara aktif menyerap informasi, memproses dalam

pemahamannya, serta memaknai konteks yang ada dalam teks media

tersebut. Penerimaan setiap individu dapat berbeda-beda, sesuai dengan

latar belakang budaya, pengetahuan, dan pengalaman masing-masing

individu. "Dalam konstruksi penelitian khalayak, penonton sebagai agen

aktif, mampu menolak dan merekonstruksi teks media"

(http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/ diakses 25 September

:12.45).

Menurut Hadi, khalayak mengkonsumsi media dalam berbagai

cara dan kebutuhan, merujuk pada pemikiran interpretif yang

menekankan pada pengalaman subjektif (meaning-construction)

seseorang dalam memahami suatu fenomena

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

(http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/ diakses 25 September

:12.45). Tradisi khalayak dalam komunikasi massa mempunyai dua

pandangan arus besar, yaitu khalayak yang pasif dan khalayak yang aktif.

Khalayak yang pasif adalah khalayak yang hanya bereaksi pada apa yang

mereka lihat dan dengar dalam media. Khalayak tidak ambil bagian

dalam diskusi-diskusi publik. Sementara pandangan kedua adalah

khalayak aktif, yaitu kelompok orang yang terbentuk atas isu-isu tertentu

dan aktif mengambil bagian dalam diskusi atas isu-isu yang mengemuka.

"Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam memprsepsi pesan dan memproduksi makna,

tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja

makna yang diproduksi oleh media massa" (McQuail, 1997:19).

Studi resepsi menilai bahwa audience atau khalayak dari media

massa itu bukanlah merupakan individu yang bodoh, melainkan secara

cultural adalah produsen makna aktif pada budaya mereka sendiri.

Audience membawa kompetensi budaya yang telah mereka dapatkan

untuk dikemukakan dalam teks media, sehingga audience yang terbentuk

dengan cara yang berbeda akan menginterpretasikan makna yang

berlainan satu sama lain. Menurut studi resepsi ini audience dengan aktif

menerima, membaca, mengkonsumsi, dan berinteraksi dengan teks

media.

1.5.7 Karakteristik Audience Aktif

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Adapun krakteristik audience aktif tersebut sebagai berikut:

1. Selektifitas (seletivity).

Audience secara selektif dalam proses konsumsi media yang mereka

pilih untuk digunakan. Yang didasari oleh alasan dan tujuan tertentu.

2. Utilitarianisme (utilitarianism).

Audience dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu

kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang

mereka miliki.

3. Intensionalitas (intentionality).

Yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari sisi media.

4. Keikutsertaan (involvement).

Audience secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam

mengkonsumsi media.

5. Audience aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam

menghadapi pengaruh media (impervious to influence) atau tidak

mudah dibujuk oleh media itu sendiri.

6. Audience yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi

bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media

yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan

khalayak yang tidak terdidik.

( Menurut frank Biocca dalam Fajar 2007 : 83).

1.6 Fokus Penelitian

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Menurut Spradley dalam Sugiyono fokus adalah domain tunggal atau

beberapa domain yang terkait dari situasi sosial. Fokus penelitian digunakan

untuk membatasi studi bagi peneliti dan menentukan sasaran penelitian. Maka

kemudian peneliti dapat mengklasifikasikan data yang dikumpulkan, diolah,

dan dianalisis dalam suatu penelitian. (Sugiyono 2008:208)

Penelitian ini akan difokuskan kepada pemaknaan audience atau

khalayak dalam hal ini adalah penghuni asrama Revolusi tentang makna

cantik dalam iklan kosmetik Wardah. Pemaknaan tersebut didasarkan pada

latar belakang dari audience , yakni umur, pendidikan, etnis, agama,dll.

Iklan yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah kosmetik

Wardah versi Di Balik Awal Mimpi.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu yang disebut

informan yang akan dipilih berdasarkan kriteria sasaran penelitian,

informan adalah Penghuni Asrama Revolusi yang memiliki syarat-syarat

yang sudah ditentukan sebelumnya.

1.7.2 Jenis dan Sumber Data

Data penelitian ini bersumber dari dua jenis data, yaitu:

1. Data primer

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Data primer yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah

hasil pengamatan dan wawancara (in depth interview) langsung dengan

subjek penelitian ini.

2. Data sekunder

Data sekunder didapatkan dari sumber tidak langsung, yaitu

melalui literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini seperti

buku, jurnal, dan internet mengenai konsep wanita cantik dalam iklan.

1.7.2 Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah semua penghuni asrama

Revolusi yang pernah mengetahui dan memperhatikan iklan produk

kosmetik Wardah selanjutnya disebut informan. Dalam penelitian ini,

informan dipilih secara purposive sampling yang merupakan pengambilan

sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan.

Adapun syarat-syarat sebagai informan adalah:

1. Semua penghuni asrama Revolusi dari berbagai etnis, agama, dan usia.

2. Wanita yang menggunakan dan tidak menggunakan produk Wardah

3. Pernah mengetahui dan memperhatikan iklan produk kosmetik Wardah

versi di Balik Awal Mimpi.

Terdapat dua puluh sembilan orang anak penghuni Asrama

Revolusi. Dari dua puluh sembilan orang tersebut terseleksi lima orang

yang memenuhi syarat menjadi informan penelitian. Berikut tabel hasil

pemilihan informan.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Tabel 1.3 Penentuan Informan

Kategori /

Nama

Mengetahui

iklan

Wardah di

televisi

yang

dijadikan

acuan

penelitian

Memperhati

kan iklan

produk

Wardah

tersebut

Bersedia

terlibat

dalam

wawancara

mendalam

(in dept

interview)

Memberikan

persetujuan

mempublikasikan

hasil penelitian

Wanda Aprilia V X X X

Dewi Arisandi V X V V

Lut Farida V V V V

Shelly Farnelis X X X X

Salsa Indria V X V X

Ellya Ardani V X V X

Siti Farida V X X X

Erna

Kurniawan

V X V V

Erni Susanti V V V V

Arlistya

Arum

V V V V

Anna Anggia X X X X

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Alfia

Damayanti

V V X X

Meigia

Hapsari

V X X X

Dona Kartika V X V X

Luh Putu Eko X X X X

Meffi

Yodianita

V X X X

Alvina Yohana X X X X

Rice Aurelia V X V X

Onevi Captius V X X X

Anisa Balkis V V V V

Deasy

Ranindita

X X X X

Trisnawati V X X X

Amalia

Kristina

V V V X

Andini Fitria V X V X

Tika Andayani X X X X

Galuh Ragil V V X X

Nike

Setianawati

V X X X

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Ratna

Anabella

V V V V

Fenny Anti V X X X

Sumber : Olahan data peneliti

Keterangan :

V = Memenuhi kategori

X = Tidak memenuhi kategori

Sesuai dengan tabel penentuan informan di atas, maka berikut ini

adalah daftar nama informan yang berpartisipasi dalam proses penelitian

ini.

1. Lut Farida

2. Erni Susanti

3. Arlistya Arum

4. Anisa Balkis

5. Ratna Anabella

Berikut latar belakang dari kelima informan di atas.

Informan 1

Lut Farida yang biasa dipanggil Lut adalah mahasiswi aktif

semester 7 jurusan psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Lut

lahir di Lamongan pada tanggal 23 Agustus 1991. Ia memiliki ciri tinggi

badan 165 cm, dengan tubuh yang kurus dan kulit sawo matang. Selain

itu memiliki rambut panjang sebatas pinggang.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Lut merupakan pribadi yang periang serta tidak sombong. Hal ini

terlihat dari saat wawancara ia sering tersenyum di sela-sela memberikan

jawaban. Lut beragama Islam dan kurang aktif dalam mengikuti kegiatan

organisasi. Hal ini terbukti dengan tidak adanya organisasi yang ia terjuni.

Meskipun begitu ia tetap memiliki banyak teman.

Lut memiliki hobby shopping dan memasak. Ia sering

melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hobby-nya bersama

dengan teman-teman sejawatnya, baik teman asrama maupun teman

kuliahnya. Berhubungan dengan hobby shoppingnya ia pun lebih

cenderung membeli majalah yang banyak memberikan informasi

mengenai kehidupan wnita dan trend yang sedang marak saat ini.

Peneliti sangat terbantu sekali dengan informan 1 karena

informan 1 banyak memaparkan tentang dunia wanita dan kecantikan.

Banyak sekali hal-hal baru yang peneliti temui dalam pemaparan

informan 1 dan hal itu semua sangat membantu peneliti dalam menggali

dan mencari pemaknaan mengenai makna cantik yang ada di dalam iklan

Wardah.

Informan 2

Erni Susanti yang akrab disapa Erni adalah mahasiswa

Universitas Widya Karya Malang jurusan Ekonomi Akuntansi. Erni lahir

20 tahun yang di kota Banyuwangi pada tanggal 7 Oktober 1992. Ia

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

keturunan Tionghoa beragama Kristen dengan ciri-ciri tubuh kurus,

dengan tinggi badan 156 cm, berambut lurus sebahu, mata sipit, berkulit

putih, berwajah oriental dan bibir kecil.

Erni adalah gadis yang ceria dan aktif. Ia aktif mengikuti

kegiatan UKM Pecinta Alam di kampusnya. Dengan kegiatan yang

terbilang padat Erni merupakan anak yang cukup tangguh karena dalam

UKM yang ia ikuti, ia harus dapat melewati berbagai rintangan yang

diberikan.

Kesehariannya Erni sering menggunakan media televisi dan

internet sebagai penunjang kebutuhannya. Dalam hal ini kebutuhan yang

dimaksudkan adalah kebutuhan akan informasi bagi penunjang kegiatan

akademik dan sumber hiburan.

Berdasarkan pemaparan yang diberikan oleh informan 2, peneliti

sangat terbantu karena ada perbedaan antara penerimaan media oleh

informan 2 dengan informan yang lain. Hal ini dapat menunjukkan

bagaimana penilaian makna cantik diterima berbeda oleh individu yang

berbeda pula.

Informan 3

Arlistya Arum adalah mahasiswi Universitas Negeri Malang

jurusan Sastra Inggris. Ia lahir pada tanggal 9 Januari 1990 di Batu dan

beragama Islam. Arum merupakan kakak dari dua bersaudara, ia memiliki

adik laki-laki bernama Bintang. Ciri-ciri Arum adalah tinggi, langsing,

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

berkulit sawo matang, dengan rambut bergelombang, dan berkacamata.

Arum memiliki hobby menulis yang membawa dia terjun dalam

UKM penulis dan teater. Dari hobby yang ia geluti didapat hasil karya

berupa cerpen yang sering menghiasi mading kampus. Selain itu dia juga

aktif dalam kepengurusan teater sebelum memutuskan untuk fokus dalam

pengerjaan skripsinya.

Sekarang ia telah berada pada tahap akhir penyelesaian skripsi

dan ia juga sibuk dengan kegiatan barunya, yaitu bekerja. Ia bekerja

sebagai tutor Bahasa Inggris dan CS di Bimbingan Belajar WLC. Karena

kebutuhannya maka ia menggunakan media internet dan televisi sebagai

bahan penggalian informasi bagi kelancaran skripsi serta hiburan.

Informan 4

Informan 4 dalam penelitian kali ini adalah Gadis kelahiran

Malang tanggal 25 Mei 1988 yang bernama lengkap Anisa Balkis. Nisa

sapaan akrab dari Anisa Balkis, ini merupakan Mahasiswi jurusan

Ekonomi akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2007.

Gadis cantik ini memiiliki ciri yakni, berambut hitam panjang dengan

hidung yang sedikit mancung serta senyum yang manis.

Sekarang Nisa bekerja di PT Araya Bumi Megah bagian

Departemen keuangan khususnya pajak. Dalam kesehariannya Nisa

menggunakan media televisi dan koran sebagai pemuas kebutuhannya

akan informasi. Selain sebagai media sumber informasi, Nisa juga

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

memilih media sebagai hiburan karena setelah seharian bekerja ia

memerlukan media yang dapat mengurangi rasa kepenatannya.

Dalam proses pencarian informasi, peneliti sangat terbantu

dengan informasi yang dipaparkan oleh informan 4. Hal ini tidak terlepas

dari pengetahuan informan 4 sendiri tentang dunia wanita dan perawatan

tubuh yang cukup baik, serta ditunjang dengan sikap dari informan 4 yang

sangat terbuka dengan berbagai pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Sehingga proses wawancara tidak menemui kendala yang cukup

menghambat proses penelitian.

Informan 5

Informan terakhir adalah Ratna Anabella, yang akrab disapa

Ratna. Ia adalah penghuni termuda dalam asrama ini. Ratna mahasiswi

semester 1 di Universitas Muhammadiyah Malang jurusan Ekonomi

Manajemen. Gadis yang lahir di Kalimantan pada tanggal 15 Juni 1994

ini, memiliki ciri sedikit berisi, dengan tinggi badan 150 cm, berkulit

kuning langsat, berambut pendek sebahu bergelombang, dan mengenakan

jilbab.

Ia tergabung dengan komunitas hijabers Malang sebagai anggota

yang baru terdaftar. Dengan karakternya yang sedikit idealism aka

pemilihan segala yang berhubungan dengannya maka akan diseleksi

dengan ketat termasuk jenis make up. Dalam penggunaan media, ia hanya

menggunakan media televisi yang ada di asrama sebagai sumber

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

informasi dan hiburan yang utama.

Informan 5 ini memiliki keunikan dan pola pikir yang idealis.

Dan peneliti cukup terbantu dalam proses wawancara karena ia adalah

pribadi yang cukup menyenangkan dengan senyuman hangat yang sering

ia berikan dan kemauannya untuk berbagi mengenai penilaian pribadinya

tentang makna cantik.

1.7.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah iklan kosmetik Wardah

Versi Di Balik Awal Mimpi. Yang akan menjadi pokok bahasan dan objek

dari penelitian yang dilakukan.

1.7.5 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Artinya data

yang digunakan merupakan data kualitatif (data yang tidak terdiri dari

angka-angka) melainkan berupa kata-kata dari subjek penelitian. Dan

semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap

apa yang sudah diteliti, dimana penelitian ini akan mengembangkan

pertanyaan-pertanyaan (wawancara) kepada subjek penelitian melalui in-

depth interview hingga peneliti mendapatkan hasil yang diharapkan.

Sementara itu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah paradigma interpretatif melalui metode reception analysis.

Analisis resepsi berupaya untuk mengetahui bagaimana audience

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

memahami dan menginterpretasikan isi pesan (memproduksi makna)

berdasarkan pengalaman (story of life) dan pandangannya selama

berinteraksi dengan media.

Reception analysis merupakan studi yang mendalam terhadap

proses aktual dimana wacana dalam media diasimilasikan ke dalam

wacana dan praktik-praktik budaya khalayak. Reception analysis

menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial

budaya dan sebagai proses dari pemberian makna melalui persepsi

khalayak atas pengalamannya dengan media (McQuail, 1997:47).

1.7.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian berupa wawancara mendalam dilakukan di kamar

informan seperti yang disepakati untuk memperoleh data hasil wawancara

dengan informan sebelumnya. Asrama Revolusi terletak di jalan Raya

Tlogomas no. 15 B, Malang. Waktu penelitian ini dilakukan dengan

pertimbangan penyesuaian terhadap kesediaan subjek penelitian.

1.7.7 Teknik Pengumpulaan Data

Dalam melakukan penelitian ini diperlukan subjek yang nantinya

akan membantu peneliti dalam penelitiannya. subjek adalah orang yang

dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi

latar penelitian (Moleong, 2002: 90).

Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka data yang

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui:

- In depth interview

Merupakan cara bagi peneliti untuk memperoleh data

dengan melakukan wawancara secara langsung dengan sumber data,

sehingga data yang diperoleh akan lebih akurat. Cara ini digunakan

agar peneliti dapat memperoleh gambaran yang lengkap mengenai

konsep wanita cantik dalam iklan kosmetik Wardah menurut penghuni

asrama Revolusi.

1.7.8 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti melakukan banyak

analisis data yang dilakukan setelah pengumpulan data yang dilakukan

pada setiap periodenya. Hasil analisis tiap periode ini, selanjutnya yang

menjadi pertimbangan peneliti apakah data yang didapat sudah cukup

atau belum memuaskan.

Jika data yang didapat dianggap cukup, maka wawancara dapat

dihentikan. Namun, ketika jawaban yang diberikan tidak memuaskan,

maka peneliti melanjutkan pertanyaan lagi dan terus menerus hingga

mencapai suatu kondisi tertentu dan diperoleh data yang dianggap

kredibel.

Adapun beberapa aktifitas dalam analisis data menurut model

Miles dan Huberman (dikutip dari Sugiyono 2008: 246) antara lain:

a. Reduksi Data

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dianggap sangat

banyak. Oleh karenanya, perlu diadakan pencatatan secara teliti dan

rinci. Semakin sering peneliti mendatangi 'lapangan', semakin banyak

pula data yang diperoleh. Untuk memudahkannya, peneliti melakukan

analisis segera setelah penelitian dilakukan melalui reduksi data.

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang

pokok, memfokuskan pada hal-hal yang dianggap penting, mencari

tema dan pola yang didapat dalam tiap hasil penelitian sementara (hasil

wawancara). Dengan cara ini, data yang diperoleh lebih dipahami

melalui suatu konsep yang juga akan memudahkan peneliti melakukan

pengumpulan data selanjutnya.

Suatu hal yang perlu peneliti ingat dalam proses mereduksi

data ini adalah peneliti harus dipandu oleh tujuan utama dari penelitian

kualitatif adalah temuan, dan agar penelitian tidak lepas dari fokus

yang diinginkan.

b. Penyajian Data

Setelah mereduksi data, langkah selanjutnya adalah

menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penelitian dapat

dilakukan dalam bentuk teks, tabel, grafik, bagan, hubungan antar

kategori dan sejenisnya. Dalam hal ini, Miles dan Huberman

menyatakan bahwa dari sekian banyak cara penyajian, yang paling

sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah penyajian data

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

dengan menggunakan teks yang bersifat naratif. Demikian pula pada

penelitian ini, penyajian data dilakukan secara naratif untuk

memudahkan peneliti menentukan kinerja selanjutnya berdasarkan

data sementara yang telah dipahami dan disajikan tersebut.

c. Penarikan kesimpulan

Aktifitas terakhir dalam analisis data kualitatif menurut Miles

dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan yang didapat pada awal penelitian merupakan kesimpulan

yang bersifat sementara. Kesimpulan ini dapat berubah jika tidak

didukung dengan data-data yang kuat. Sebaliknya, jika kesimpulan-

kesimpulan tersebut terus mendapat bukti kuat dari kesimpulan-

kesimpulan selanjutnya, yakni dengan didukung oleh bukti-bukti yang

valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan, maka

kesimpulan yang dikemukakan dikatakan kredibel.

1.7.9 Uji Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif peneliti menyadari bahwa realitas

obyektif sesungguhnya tidak pernah bisa ditangkap, maka penggunaan

metode jamak atau yang lazim lebih disebut triangulasi. Triangulasi

merupakan upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam

mengenai fenomena yang sedang diteliti. Triangulasi bukanlah alat atau

strategi pembuktian, melainkan suatu alternatif pembuktian. Sementara

ada yang menyatakan bahwa triangulasi adalah teknik pemeriksaan

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/26636/2/jiptummpp-gdl-arifanurul-31653-2-babi.pdfumum, hal inilah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemasang

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Beberapa jenis

teknik triangulasi yaitu triangulasi data (sering kali disebut dengan

triangulasi sumber), triangulasi metode, triangulasi teori, dan triangulasi

peneliti.

Dalam penelitian ini peneliti memilih menggunakan triangulasi

data. Triangulasi dengan data menurut Pawito berarti “menunjuk pada

upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi

guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama” (Pawito,

2007:47).. Hal ini berarti peneliti bermaksud menguji data yang diperoleh

dari satu sumber untuk dibandingkan dengan data dari sumber lain.

Dengan cara begini peneliti kemudian dapat mengungkapkan gambaran

yang lebih memadai (beragam perspektif) mengenai gejala yang diteliti.