BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang€¦ · adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang€¦ · adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Butler, 1987 dalam Principles of Ecotoxicology, ekotoksikologi
adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada mahluk hidup, khususnya
populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan masuknya agen dan
interaksi dengan lingkungan . Sedangkan menurut Andhika Puspito Nugroho, M.Si
dalam buku ajar Ekotoksikologi , ekotoksikologi mempelajari efek toksik substansi
(substances) pada non human species dalam suatu kompleks sistem (system).
Gambar 1. 1 Ekotoksikologi merupakan studi multidisipliner mengenai efek toksik substansi pada
species dalam kompleks system (Leuween 1995 dalam Buku Ajar Andhika Puspito Nugroho,
M.Si).
Adanya polutan dalam suatu lingkungan (ekosistem), dalam waktu
singkat, dapat menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya
perubahan tersebut dapat mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon
organisme, perubahan populasi, komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem.
Perubahan biokimiawi sampai dengan ekosistem menunjukkan adanya peningkatan
waktu respon terhadap bahan kimia, peningkatan kesulitan untuk mengetahui
hubungan respon dengan bahan kimia spesifik, dan increasing importance.
2
Gambar 1. 2 Sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan serta respon terhadap polutan
pada organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem (Francis 1994 dalam Buku Ajar Andhika
Puspito Nugroho, M.Si).
Berdasarkan gambar 1.2 di atas, polutan dilepaskan dari sumber polutan
ke dalam ekosistem, selanjutnya mengalami proses distribusi dan transpor melalui
daur atau siklus biogeokimia serta mengalami transformasi, balk secara fisik atau
biologis. Polutan tersebut kemudian dapat diuptake oleh organisme dan dapat
menyebabkan efek lethal (kematian) dan sublethal. Dalam tubuh organisme,
polutan dapat mengalami biotransformasi dan bioakumulasi. Selanjutnya, terjadi
perubahan karakteristik dan dinamika populasi (reproduksi, imigrasi, recruitment,
mortalitas), struktur dan fungsi komunitas (diversitas spesies, perubahan hubungan
predator — prey), dan fungsi ekosistem (respirasi terhadap rasio fotosintesis, laju
siklus nutrien, dan pola aliran nutrien).
Masuknya polutan ke dalam lingkungan terbagi 2 yaitu secara alami dan
sumber dari aktivitas manusia. Secara alami dapat dari daur biogeokimia dan
pelapukan batuan, sedangkan yang disebabkan aktivitas manusia dapat dari
pelepasan unintended (kecelakaan nuklir, penambangan, kecelakaan kapal),
3
pembuangan berbagai jenis limbah ke lingkungan secara sengaja maupun tidak
sengaja dan aplikasi biocide dalam penanganan hama dan vector (Nugroho,2004).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan ekotoksikologi dalam penetapan baku mutu kualitas
lingkungan ?
2. Bagaimana penerapan ekotoksikologi pada rekayasa teknologi dalam
lingkungan ?
3. Bagaimana penerapan ekotoksikologi dalam biomonitoring ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui penerapan ekotoksikologi dalam penetapan baku mutu kualitas
lingkungan.
2. Mengetahui penerapan ekotoksikologi pada rekayasa teknologi dalam
lingkungan.
3. Mengetahui penerapan ekotoksikologi dalam biomonitoring .
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penerapan Ekotoksikologi dalam Penetapan Baku mutu Kualitas
Lingkungan.
Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik
pada mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem,
termasuk jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan. Pengaruh
pengaruh racun dapat berupa letalitas (mortalitas) serta pengaruh subletal seperti
gangguan pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, tanggapan farmakokinetik,
patologi, biokimia, fisiologi, dan tingkah laku (Butler, 1987).
Dengan mempelajari ekotoksikologi dapat diketahui keberadaan
polutan dalam suatu lingkungan (ekosistem) yang dalam waktu singkat, dapat
menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya perubahan
tersebut dapat mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon organisme,
perubahan populasi, komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem. Perubahan
biokimiawi sampai dengan ekosistem menunjukkan adanya peningkatan waktu
respon terhadap bahan kimia, peningkatan kesulitan untuk mengetahui hubungan
respon dengan bahan kimia spesifik, dan increasing importance (Puspito,2004).
Pengangkutan dan perubahan bentuk bahan toksik di lingkungan baik
di udara, air, tanah maupun dalam tubuh organisme (merupakan bagian utama
penyususn ekosfer bumi) sangat dipengaruhi oleh sifat fisika-kimia bahan tersebut.
Perilaku serta pengaruh bahan toksik di lingkungan berhubungan dengan dinamika
keempat bagian utama penyusun ekosfer tersebut. Bahan toksik yang ada di
lingkungan pada umumnya mengalami perpindahan dari satu bagian utama ekosfer
ke bagian utama ekosfer lainnya. Perpindahan atau transformasi bahan toksik di
lingkungan dapat berupa transformasi fisik, kimia dan biologik (Puspito,2004).
Transformasi atau perpindahan bahan toksik di lingkungan yang terjadi
secara fisik antara lain dapat melalui proses: perpindahan meteorologik,
pengambilan biologik, penyerapan, volatilisasi, aliran, pencucian dan jatuhan.
Transformasi kimia dapat melalui proses fotolisis, oksidasi, hidrolisis dan reduksi,
sedangkan transformasi biologik berlangsung melalui proses biotransformasi.
Penyebaran bahan toksik di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sejumlah
5
proses pengangkutan seperti evaporasi (penguapan), presipitasi, pencucian dan
aliran. Penguapan akan menurunkan konsentrasi bahan toksik dalam air, sedangkan
presipitasi, pencucian dan aliran cenderung meningkatkan konsentrasi bahan
toksik. (Connel dan Miller, 1995).
Dalam ekotosikologi diketahui bahan bahan toksik yang berupa
senyawa kimia organik yang dapat bersifat toksik atau menimbulkan pengaruh
merugikan lingkungan perairan antara lain: protein, karbohidrat, lemak dan minyak,
pewarna, asam-asam organik, fenol, deterjen dan pestisida organik. Pengaruh
negatif senyawa kimia organik terhadap organisme perairan dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti konsentrasi senyawa kimia, kualitas fisika-kimia air, jenis,
stadia dan kondisi organisme air serta lama organisme terpapar senyawa kimia
tersebut (Aryani et al., 2004).
Berikut ini adalah bahan-bahan senyawa kimia organic dan efeknya
terhadap lingkungan :
• Protein
Kehadiran senyawa protein di dalam badan perairan berasal dari
sampah domestik dan buangan industri. Beberapa jenis industri yang
mengeluarkan buangan mengandung protein antara lain: industri susu,
mentega, keju, pengolahan makanan/minuman, tekstil, penyamakan kulit dan
industri pertanian. Kehadiran protein di lingkungan perairan umumnya tidak
langsung bersifat toksik tetapi dapat menimbulkan pengaruh atau efek negatif,
antara lain terbentuknya media pertumbuhan berbagai organisme patogen,
menimbulkan bau tidak sedap dan meningkatkan kebutuhan BOD (Biological
Oxygen Demand) (Dix, 1981).
• Karbohidrat
Selain berasal dari sampah domestik, karbohidrat juga dapat berasal
dari buangan industri. Masuknya karbohidrat ke dalam air dapat menyebabkan
peningkatan BOD dan menimbulkan warna pada air.
6
• Lemak dan minyak
Buangan yang mengandung lemak dan minyak dapat berasal dari
berbagai kegiatan industri. Perairan laut juga dapat kemasukan minyak yang
berasal dari pengoperasian kapal, kilang minyak, sisa pembakaran bahan bakar
minyak di atmosfer yang jatuh bersama air hujan, buangan industri, limbah
perkotaan, kecelakaan kapal tanker serta pecah atau bocornya sumber minyak
lepas pantai (Laws, 1981).
Seperti halnya dampak masuknya senyawa protein dan karbohidrat
ke dalam lingkungan perairan, senyawa lemak dan minyak juga dapat
berpengaruh negatip terhadap kehidupan akuatik. Adanya lemak dan minyak
dalam badan air dapat menyebabkan peningkatan turbiditas air sehingga
mengurangi ketersediaan cahaya yang sangat diperlukan organisme
fotosintetik di dalam air. Disamping itu, molekul lemak dan minyak berukuran
besar akan mengendap di dasar perairan sehingga dapat mengganggu aktivitas
serta merusak kehidupan bentos dan daerah pemijahan ikan (spawning ground)
dan meningkatkan BOD.
• Pewarna
Terdapatnya pewarna dalam suatu perairan antara lain berasal dari
buangan industri (tekstil, penyamakan kulit, kertas dan industri bahan kimia).
Menurut Santaniello (1971) warna air yang Iebih dari 50 unit akan membatasi
aktivitas organisme fotosintetik sehingga akan mengurangi kandungan oksigen
terlarut atau DO (Dissolved Oxygen) serta mengganggu kehidupan berbagai
organisme air.
• Asam-asam organik
Asam-asam organik berada dalam air antara lain dapat berasal dari
buangan industri (bahan kimia dan industri pertanian). Keberadaan senyawa
asam organik dapat menyebabkan penurunan derajat keasaman (pH) air dan
pada nilai pH tertentu (acid dead point) dapat mengakibatkan kematian ikan
maupun organisme air lainnya.
7
• Fenol
Fenol dapat terkandung dalam limbah berbagai industri seperti:
industri tekstil, bahan kimia, petrokimia, minyak dan industri metalurgi.
• Deterjen
Terdapatnya deterjen dalam suatu perairan dapat berasal dari buangan
rumah tangga dan industri (susu, mentega, keju, tekstil, dan industri pertanian).
Nickless (1975) menyatakan bahwa sebagian besar deterjen dapat
menimbulkan dampak negatip terhadap ekosistem perairan yaitu dapat
menghambat aktivitas atau bahkan membunuh berbagai jenis mikroorganisme.
Selain itu, deterjen juga menyebabkan pengkayaan nutrien pada suatu badan
air sehingga dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yang sangat
merugikan lingkungan perairan.
• Pestisida organic
Pestisida organik yang masuk ke dalam lingkungan air dapat berasal
dari aktivitas pertanian, perkebunan dan dari buangan industri pengolahan
makanan/ minuman. Diantara sejumlah besar pestisida yang diproduksi dan
diperdagangkan, yang paling banyak digunakan masyarakat yaitu pestisida
yang termasuk golongan organoklorin dan organoposfat. Pestisida
organoklorin sangat berbahaya karena mempunyai toksisitas bersifat kronik,
stabil, dan tahan urai dalam lingkungan. Salah satu contoh organoklorin yang
sangat berbahaya yaitu DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloro-ethane). Jenis
pestisida yang pertama kali dibuat oleh Zeidler pada tahun 1874 tersebut
apabila berada dalam air mempunyai waktu paruh antara 2,5-5 tahun tetapi
residunya dapat bertahan hingga lebih dari 25 tahun.
Pestisida yang tahan urai seperti DDT dapat terakumulasi dalam rantai
makanan (biomagnification) sehingga dalam tubuh udang dan ikan dapat
mengandung konsentrasi pestisida sebanyak 1000-10.000 kali lebih besar
daripada yang terkandung dalam perairan di sekelilingnya. Hewan yang di
dalam rantai makanan mempunyai arcs trofik (trophic level) lebih tinggi seperti
burung, anjing laut, dan lumba-lumba dapat mengandung hingga 55 ppm DDT
8
dalam jaringan Iemaknya. Berdasarkan penelitian menunjukkan kandungan
DDT dalam jaringan lemak tubuh manusia di berbagai negara besarnya sangat
bervariasi, misalnya: di Inggris lebih kurang 1 ppm, di Amerika Serikat lebih
kurang 2 ppm, dan di India dapat lebih tinggi dari 10 ppm (Benn & McAuliffe
1975).
Selain itu, bahan-bahan anorganik juga dapat menjadi toksik dila melebihi
konsentrasi tertentu dalam lingkungan. Berikut ini adalah bahan-bahan toksik yang
berupa senyawa kimia anorganik :
• Asam dan alkali
Asam dan alkali dapat berasal dari buangan industri tekstil, bahan
kimia, rekayasa dan industri metalurgi. Asam dan alkali jika masuk ke dalam
tubuh organisme dapat mempengaruhi aktivitas berbagai enzim sehingga
menimbulkan gangguan fisiologik, membinasakan organisme serta
mempengaruhi Jaya racun atau toksisitas zat toksik lainnya.
• Logam dan garam-garam logam
Berbagai unsur logam dan garam logam yang ada dapat berasal dari
pelapukan tanah atau batuan, letusan volkanik, penambangan dan industri
(penyamakan kulit, kertas, bahan kimia, rekayasa, metalurgi dan industri
pertanian). Dalam jumlah kecil beberapa jenis logam tertentu memang
diperlukan organisme tetapi dalam konsentrasi tinggi semua jenis logam
bersifat toksik. Logam-logam berat, yaitu unsur logam yang mempunyai massa
atom lebih dari 20 seperti: besi (Fe), timbal (Pb), merkuri (Hg), kadmium (Cd),
seng (Zn), tembaga (Cu), nikel (Ni) dan arsen (As) umumnya berpengaruh
buruk terhadap proses-proses biologi.
Beberapa dampak keracunan logam berat antara lain:
1) Bereaksinya kation logam berat dengan fraksi tertentu pada mukosa insang
sehingga insang terselaputi oleh gumpalan lendir-logam berat dan hal
tersebut dapat mengakibatkan organisme air mati lemas.
2) Keracunan fisiologik karena logam berat berikatan dengan enzim yang
berperanan penting dalam metabolisme.
9
3) Merkuri (Hg) dan timbal (Pb) dapat berikatan dengan gugus sulfhidril (-
SH) dalam protein sehingga akan mengubah bagian-bagian katalitik suatu
enzim.
4) Merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd) dan tembaga (Cu) dapat
menghambat pembentukan ATP dalam mitokondria serta dapat berikatan
dengan membran sel sehingga mengganggu proses transpor ion antar sel.
5) Seng (Zn) dapat menghambat kerja sistem sitokrom dalam mitokondria
karena terganggunya transpor elektron antar sitokrom-b dan sitokrom-c.
6) Timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dapat menggantikan kedudukan Ca dalam
tulang sehingga menyebabkan terjadinya kerapuhan tulang
7) Timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg) dan krom (Cr) dapat
terakumulasi dalam hati (hepar) dan ginjal (ren) sehingga dapat
menyebabkan kerusakan dan gangguan fungsi kedua organ tersebut
8) Merkuri (Hg), timbal (Pb) dan tembaga (Cu) dapat mengakibatkan
kerusakan otak dan sistem saraf tepi (Dix, 1981).
• Posfat dan nitrat
Posfat dan nitrat dapat berasal dari erosi dan dekomposisi sisa-sisa
bahan organik serta industri (susu/mentega/keju, bahan kimia, tungku kokas,
rekayasa, metalurgi, dan industri pertanian). Akibat masuknya posfat dan nitrat
ke dalam lingkungan perairan antara lain:
1) Eutrofikasi yang dicirikan oleh tingginya produksi biologik antara lain
berupa ledakan komunitas alga (algal blooms). Jika suatu perairan
dipenuhi oleh tumbuhan air baik makrofita maupun mikrofita (plankton),
maka hal tersebut akan mengurangi penetrasi cahaya dan menghalangi
proses difusi oksigen dari udara ke dalam air. Kematian massal algae yang
diikuti dengan perombakan biologik akan menyebabkan terjadinya
defisiensi oksigen terlarut dan menimbulkan bau tidak sedap.
2) Dalam usus manusia beberapa jenis bakteri dapat mereduksi nitrat menjadi
nitrit yang dapat berikatan dengan haemoglobin (Hb) membentuk
methaemoglobin. Dengan terbentuknya methaemoglobin dalam darah
akan menyebabkan penurunan kapasitas angkut 02 oleh darah. Jika
10
penurunan kemampuan darah mengangkut oksigen tersebut terus berlanjut
dan makin parch, maka dapat menyebabkan anoksia (methaemoglobin
anemia atau penyakit blue baby).
3) Dalam tubuh manusia nitrit dapat mengalami perubahan lebih lanjut
menjadi amin atau nitrosamin yang dapat merangsang timbulnya kanker
perut.
• Garam-garam lain
Berbagai senyawa garam yang masuk ke dalam air dapat berasal dari
buangan industri (susu/mentega/keju, tekstil, penyamakan kulit, kertas dan
industri bahan kimia).
• Obat pengelantang (bleaches)
Obat pengelantang dengan rumus kimia Ca (C10)2 banyak terkandung
dalam buangan industri tekstil, kertas dan laundry.
• Sianida dan sianat
Sianida dan sianat di suatu perairan dapat berasal dari buangan
industri. Sianida dan sianat bersifat sangat toksik, terutama pada pH rendah dan
merupakan racun pernafasan yang sangat mematikan. Reaksi CN dengan
logam akan menghasilkan senyawa yang sangat beracun.
• Kromat
Masuknya kromat ke dalam lingkungan perairan dapat berasal dari
buangan berbagai jenis industri seperti penyamakan kulit, petrokimia,
metalurgi dan industri rekayasa. Toksisitas kromat umumnya tidak setoksik
kation logam berat lainnya. Kromium (Cr) bervalensi 6 (kromat atau dikromat)
toksisitasnya tidak seakut kromium bervalensi 3 (garam-garam kromium).
• Mineral (lempung dan tanah)
11
Mineral yang terkandung dalam partikel-partikel lempung dan tanah
yang masuk ke dalam perairan dapat berasal dari buangan industri seperti
industri pengolahan makanan/minuman, kertas dan industri pertanian.
Berdasarkan uraian diatas diketahui zat-zat yang dapat menimbulkan
dampak negative apabila jumlah atau konsentrasinya di lingkungan telah melebihi
baku mutu. Salah satu upaya untuk menanggulangi pencemaran lingkungan perlu
baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan adalah ambang batas atau batas
kadar maksimum suatu zat atau komponen yang diperbolehkan berada di
lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negative. UU RI No. 23 tahun 1997
tentang pengelolaan lingkungan hidup mendefinisikan baku mutu lingkungan
sebagai ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energy, atau komponen yang
ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Menurut pengertian secara pokok, baku mutu adalah peraturan pemerintah
yang harus dilaksanakan yang berisi spesifikasi dari jumlah bahan pencemar yang
boleh dibuang atau jumlah kandungan yang boleh berada dalam media ambien.
Secara objektif, baku mutu merupakan sasaran ke arah mana suatu pengelolaan
lingkungan ditujukan. Kriteria baku mutu adalah kompilasi atau hasil dari suatu
pengolahan data ilmiah yang akan digunakan untuk menentukan apakah suatu
kualitas air atau udara yang ada dapat digunakan sesuai objektif penggunaan
tertentu.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh
berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian
terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan. Salah
satu cara penetapan baku mutu lingkungan dilakukan melalui uji toksisitas. Adanya
peraturan perundangan (nasional maupun daerah) yang mengatur baku mutu serta
peruntukan lingkungan memungkinkan pengendalian pencemaran lebih efektif
karena toleransi dan atau keberadaan unsur pencemar dalam media (maupun
limbah) dapat ditentukan apakah masih dalam batas toleransi di bawah nilai ambang
batas (NAB) atau telah melampaui.
12
2.1.1 Prosedur Penetapan Baku Mutu Kualitas Lingkungan
Apabila pada suatu saat ada industri yang membuang limbahnya ke
lingkungan dan telah memenuhi baku mutu lingkungan, tetapi kualitas lingkungan
tersebut mengganggu kehidupan manusia, maka yang dipersalahkan bukan
industrinya. Apabila hal tersebut terjadi, maka baku mutu lingkungannya yang
perlu dilihat kembali, hal ini mengingat penjelasan dari Undang-undang No. 4
Tahun 1984 Pasal 15, seperti tersebut di atas.
Adapun langkah-langkah penyusunan baku mutu lingkungan:
1) Identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang harus
dilindungi (objektif sumber daya tersebut tercapai).
2) Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan
pengolahan dari berbagai informasi ilmiah.
3) Merumuskan baku mutu ambien dari hasil penyusunan kriteria.
4) Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dilepas ke dalam lingkungan yang
akan menghasilkan keadaan kualitas baku mutu ambien yang telah ditetapkan.
5) Membentuk program pemantauan dan penyempurnaan untuk menilai apakah
objektif yang telah ditetapkan tercapai.
2.1.2 Jenis-Jenis Baku Mutu Lingkungan
Sehubungan dengan fungsi baku mutu lingkungan maka dalam hal
menentukan apakah telah terjadi pencemaran dari kegiatan industri atau pabrik
dipergunakan dua buah sistem baku mutu lingkungan yaitu:
• Effluent Standard, merupakan kadar maksimum limbah yang diperbolehkan
untuk dibuang ke lingkungan.
• Stream Standard, merupakan batas kadar untuk sumberdaya tertentu, seperti
sungai, waduk, dan danau. Kadar yang diterapkan ini didasarkan pada
kemampuan sumberdaya beserta sifat peruntukannya. Misalnya batas kadar
badan air untuk air minum akan berlainan dengan batas kadar bagi badan air
untuk pertanian.
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam
keputusannya No. KEP-03/MENKLH/II/1991 telah menetapkan baku mutu air
13
pada sumber air, baku mutu limbah cair, baku mutu udara ambien, baku mutu udara
emisi dan baku mutu air laut.
Dalam keputusan tersebut yang dimaksud dengan:
• Baku mutu air pada sumber air, disingkat baku mutu air, adalah batas kadar
yang diperolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam air, namun air
tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
• Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada
sumber air, sehingga tidak menyebabkan dilampauinya baku mutu air.
• Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan
terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan benda.
• Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara, sehingga
tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien.
• Baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain yang ada atau harus ada, dan zat atau bahan pencemar yang
ditenggang adanya dalam air laut.
2.1.3. Baku Mutu Air dan Limbah Cair
Baku mutu air telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Kriteria mutu
air diterapkan untuk menentukan kebijaksanaan perlindungan sumberdaya air
dalam jangka panjang, sedangkan baku mutu air limbah (effluent standard)
dipergunakan untuk perencanaan, perizinan, dan pengawasan mutu air limbah dan
pelbagai sektor seperti pertambangan dan lain-lain. Kriteria kualitas sumber air di
Indonesia ditetapkan berdasarkan pemanfaatan sumber-sumber air tersebut dan
mutu yang ditetapkan berdasarkan karakteristik suatu sumber air penampungan
tersebut dan pemanfaatannya. Badan air dapat digolongkan menjadi 5, yaitu:
• Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara
langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.
14
• Golongan B, yaitu air baku yang baik untuk air minum dan rumah tangga dan
dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk golongan
A.
• Golongan C, yaitu air yang baik untuk keperluan perikanan dan peternakan,
dan dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk
keperluan tersebut pada golongan A dan B.
• Golongan D, yaitu air yang baik untuk keperluan pertanian dan dapat
dipergunakan untuk perkantoran, industri, listrik tenaga air, dan untuk
keperluan lainnya, tetapi tidak sesuai untuk keperluan A, B, dan C.
• Golongan E, yaitu air yang tidak sesuai untuk keperluan tersebut dalam
golongan A, B, C, dan D.
Untuk melindungi sumber air sesuai dengan kegunaannya, maka perlu
ditetapkan baku mutu limbah cair dengan berpedoman kepada alternatif baku mutu
limbah cair yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENKLH/II/1991. Baku mutu limbah cair
tersebut ditetapkan oleh gubernur dengan memperhitungkan beban maksimum
yang dapat diterima air pada sumber air.
Baku mutu air dan baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan oleh
gubernur dimaksudkan untuk melindungi peruntukan air di daerahnya. Dengan
demikian harus diperhatikan dalam setiap kegiatan yang menghasilkan limbah cair
dan yang membuang limbah cair tersebut ke dalam air pada sumber air. Limbah
cair harus memenuhi persyaratan:
1) Mutu limbah cair yang dibuang ke dalam air pada sumber air tidak boleh
melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan.
2) Tidak mengakibatkan turunnya kualitas air pada sumber air penerima limbah.
Hal tersebut mengharuskan agar setiap pembuangan limbah cair ke dalam air pada
sumber air, mencantumkan kuantitas dan kualitas limbah.
2.1.4. Baku Mutu Udara
Baku mutu udara ambien dan emisi ditetapkan dengan maksud untuk
melindungi kualitas udara di suatu daerah. Baku mutu udara ambien dan emisi
limbah gas yang dibuang ke udara harus mencantumkan secara jelas dalam izin
15
pembuangan gas. Semua kegiatan yang membuang limbah gas ke udara ditetapkan
mutu emisinya dalam pengertian:
1. Mutu emisi dari limbah gas yang dibuang ke udara tidak melampaui baku mutu
udara emisi yang telah ditetapkan.
2. Tidak menyebabkan turunnya kualitas udara.
Tabel 2. 1 Baku Mutu Udara Ambien Nasional
No
.
Parameter Waktu
Pengukura
n
Baku Mutu Metode
Analisis
Peralatan
1 SO2 1 Jam 900 ug/Nm3 Pararosanilin Spektrofotomete
r
(Sulfur
Dioksida)
24 Jam 365 ug/Nm3
1 Thn 60 ug/Nm3
2 CO 1 Jam 30.000
ug/Nm3
NDIR NDIR Analyzer
(Karbon
Monoksida)
24 Jam 10.000
ug/Nm3
1 Thn -
3 NO2 1 Jam 400 ug/Nm3 Saltzman Spektrofotomete
r
(Nitrogen
Dioksida)
24 Jam 150 ug/Nm3
1 Thn 100 ug/Nm3
4 O3 1 Jam 235 ug/Nm3 Chemilumines
cent
Spektrofotomete
r
(Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm3
5 HC 3 Jam 160 ug/Nm3 Flame
Ionization
Gas
(Hidro Karbon)
Chromatogarfi
6 PM10 24 Jam 150 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
16
(Partikel < 10
um )
PM2,5 (*) 24 Jam 65 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Partikel < 2,5
um )
1 Thn 15 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
7 TSP 24 Jam 230 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Debu) 1 Thn 90 ug/Nm3
8 Pb 24 Jam 2 ug/Nm3 Gravimetric Hi � Vol
(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm3 Ekstraktif
Pengabuan AAS
9. Dustfall 30 hari
(Debu Jatuh )
10
Ton/km2/Bul
an
(Pemukiman)
Gravimetric Cannister
20
Ton/km2/Bul
an
(Industri)
10 Total Fluorides
(as F)
24 Jam 3 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau
90 hari 0,5 ug/Nm3 Electrode Countinous
Analyzer
11. Fluor Indeks 30 hari 40 u g/100
cm2 dari
kertas limed
filter
Colourimetric Limed Filter
Paper
12. Khlorine & 24 Jam 150 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau
Khlorine
Dioksida
Electrode Countinous
Analyzer
17
13. Sulphat Indeks 30 hari 1 mg SO3/100
cm3
Colourimetric Lead
Dari Lead
Peroksida
Peroxida Candle
Sumber : PP No. 41/199 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.Catatan : Nomor
10 s/d 13 Hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar Contoh
: - Industri Petro Kimia - Industri Pembuatan Asam Sulfat.
2.2 Penerapan Ekotoksikologi Pada Rekayasa Teknologi dalam Lingkungan
Teknologi dapat didefinisikan teknik yang bersumber dari keadaan
pengetahuan manusia saat ini tentang bagaimana cara untuk memadukan sumber-
sumber, guna menghasilkan produk-produk yang dikehendaki, menyelesaikan
masalah, memenuhi kebutuhan, atau memuaskan keinginan , meliputi metode
teknis, keterampilan, proses, teknik, perangkat dan bahan mentah. Rekayasa adalah
proses berorientasi tujuan dari perancangan dan pembuatan peralatan dan sistem
untuk mengeksploitasi fenomena alam dalam konteks praktis bagi manusia,
seringkali menggunakan hasil-hasil dan teknik-teknik dari ilmu. Teknologi
seringkali merupakan konsekuensi dari ilmu dan rekayasa.
Salah satu contoh rekayasa teknologi dalam lingkungan yaitu fitoremediasi,
fitotoksikologi, bioremediasi dan lain-lain.
Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation. Kata ini
sendiri tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani
phyton yaitu tumbuhan dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium
yang berarti menyembuhkan. Fitoremediasi berarti juga menyelesaikan masalah
dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan. Dengan demikian
fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk
meminimalisasi dan mendetoksifikasi bahan pencemar, karena tanaman
mempunyai kemampuan menyerap logam-logam berat dan mineral yang tinggi atau
sebagai fitoakumulator dan fotochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan dan
mikroorganisme untuk meremediasi tanah terkontaminasi bahan pencemar adalah
pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat
18
diaplikasikan pada limbah organik maupun anorganik juga unsur logam
(As,Cd,Cr,Hg,Pb,Zn,Ni dan Cu) dalam bentuk padat, cair dan gas (Darliana,2009).
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik
dengan cara biokimia dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritive
organik yang dilakukan pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan
dimetabolisme atau diimobolisasi melalui sejumlah proses termasuk reaksi
oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis. Mekanisme fisiologi fitoremediasi dibagi
menjadi :
1. Fitoekstraksi : pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi bahan pencemar
untuk memindahkan logam berat atau senyawa organik dari tanah dengan
cara mengakumulasikannya di bagian tumbuhan yang dapat dipanen.
2. Fitodegradasi : pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme untuk
mendegradasi senyawa organik.
3. Rhizofiltrasi : pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap bahan
pencemar, terutama logam berat, dari air dan aliran limbah.
4. Fitostabilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi bahan pencemar
dalam lingkungan.
5. Fitovolatilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan bahan
pencemar, atau pemanfaatan tumbuhan untuk memindahkan bahan
pencemar dari udara (Darliana,2009).
Menurut Corseuil & Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam
menghadapi bahan pencemar beracun adalah :
1. Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada
tanaman musiman, tanaman dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada
musim yang cocok.
2. Ekslusi, yaitu tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan
mencegah penyerapan sehingga tidak mengalami keracunan.
3. Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi
berusaha meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukan
khelat (chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
4. Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat
berfungsi pada konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim
19
Tingkat pencemaran logam berat dalam tanah sebagai akibat kegiatan
manusia yang tidak terkendali tampak pula dari hasil penelitian di sekitar kawasan
industri. Di daerah yang kegiatan industrinya menonjol dan telah berlangsung
dalam jangka lama tingkat pencemaran timbal dan kromium di tanah masingmasing
mencapai 206-449 mg/kg dan 56-266 mg/kg. Sebaliknya, di wilayah suburban yang
jauh dari kegiatan industri kadar timbal dan kromium di tanah hanya sebesar 24 dan
1 mg/kg. Konsentrasi logam berat yang tinggi di dalam tanah dapat masuk ke dalam
rantai makanan dan berpengaruh buruk pada organism (Darliana,2009).
Di kawasan industri, kadar Cd setinggi 10 mg/kg ditemukan di dalam ginjal
tikus, sedangkan kadar Cd di dalam ginjal dan hati rusa adalah 5 kali lebih tinggi
daripada yang ditemukan di tubuh rusa yang hidup di daerah 180 km kawasan
industri. Demikian pula ditemukan, bahwa kadar seng yang tinggi di tanah bekas
penambangan logam mengakibatkan reduksi produksi kedelai hingga 40%.
Tindakan pemulihan (remediasi) perlu dilakukan agar lahan yang tercemar dapat
digunakan kembali untuk berbagai kegiatan secara aman. Di samping metode
remediasi yang biasa digunakan yang berbasis pada rekayasa fisik dan kimia, pada
satu atau dua dasawarsa terakhir ini perhatian peneliti dan perusahaan komersial
serta industri terhadap penggunaan tumbuhan sebagai agensia pembersih
lingkungan tercemar telah meningkat, diharapkan pemulihan dengan menggunakan
organisme hidup dapat dijadikan alternatif teknologi untuk pemulihan lingkungan
(Darliana,2009).
Untuk prosfek dari fitoremediasi ,walaupun teknologi fitoremediasi masih
dalam tahap perkembangan dan banyak hal belum terjawab, penerapan teknologi
fitoremediasi untuk pemulihan lingkungan merupakan alternatif terbaik saat ini
karena biaya yang relatif murah dibanding dengan teknologi berbasis fisika dan
kimia.Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan dan mikroorganisme
yang besar. Dalam suatu pertemuan yang diadakan di LIPI, Bandung, sebuah tim
peneliti dari Inggris mengungkapkan bahwa mereka berhasil mengisolasi >120
jenis mikroorganisme dari segumpal tanah yang mereka peroleh dari lantai hutan di
Ujung Kulon. Dan beberapa di antara mikroorganisme tersebut mempunyai
kemampuan untuk mendegradasi xenobiotika seperti senyawa organik aromatik
20
berkhlor. Hal ini menunjukkan potensi alam Indonesia yang perlu dimanfaatkan
(Darlina,2009).
Dalam hubungannya dengan pemanfaatan tumbuhan sebagai agensia
pemulihan lingkungan tercemar, yaitu :
(1) laju akumulasi harus tinggi.
(2) Mempunyai kemampuan mengakumulasi beberapa macam logam.
(3) Mempunyai kemampuan tumbuh cepat dengan produksi biomassa tinggi
(4) Tanaman harus tahan hama dan penyakit.
Pemilihan tumbuhan yang mempunyai daya serap dan akumulasi tinggi
terhadap logam berat merupakan priorotas yang sangat penting. Karena walaupun
telah disebutkan sebelumnya bahwa beberapa tumbuhan bersifat hiperakumulator,
namun kebanyakan tumbuhan tersebut berasal dari wilayah beriklim sedang.
Sehingga perlu dicari tumbuhan asli yang tentunya sudah beradaptasi baik dengan
iklim Indonesia (Darliana,2009).
Sedangkan Fitotoksikologi merupakan kajian terhadap potensi efek negatif
zat terhadap tumbuhan. Peranan penting dari fitotoksikologi menentukan batasan
dari kontaminan yang ditentukan oleh jumlah (konsentrasi) dan waktu (durasi)
paparan kontaminan serta kondisi lingkungan lainnya dimana kontaminan tersebut
dapat memberikan efek negative bagi tumbuhan dan menjadi berkualitas sebagai
pencemar atau toksikan tumbuhan.
2.2.1 Penerapan Fitoremidasi
Penerapan teknologi fitoremediasi menggunakan tumbuhan sebagai agensia
pembersih lingkungan bukanlah hal yang baru. Sejak lama kita telah mengenal
manfaat tumbuhan sebagai pengusir zat beracun dari udara, sehingga adanya
tumbuhan dianggap sebagai penyegar udara di sekitarnya. Dengan semakin
dipahami fisiologi dan genetika dari tumbuhan, maka pemanfaatan tumbuhan
sebagai agensia pembersih lingkungan dapat makin diperluas cakupannya dan
diperhitungkan manfaatnya dari segi rekayasa serta nilai ekonominya. Pemanfaatan
tumbuhan untuk remediasi lingkungan sangat ditentukan oleh pemahaman tentang
penyerapan logam serta penyerapan dan atau degradasi senyawa organik oleh
tumbuhan. Tumbuhan harus bersifat hipertoleran agar dapat mengakumulasi
21
sejumlah besar logam berat di dalam batang serta daun. Tumbuhan harus mampu
menyerap logam berat dari dalam larutan tanah dengan laju penyerapan yang
tinggi.Tumbuhan harus mempunyai kemampuan untuk mentranslokasi logam berat
yang diserap akar ke bagian batang serta daun (Darliana,2009).
Beberapa jenis tumbuhan mempunyai sifat hiperakumulator yang luar biasa.
Namun biasanya tumbuhan yang teradaptasi di tanah berkadar logam tinggi dan
toleran terhadap logam mempunyai sifat tumbuh lambat. Penggunaan tumbuhan
hiperakumulator juga lebih menguntungkan bila kita harus mendaur ulang logam
yang telah dihimpun di dalam biomassa tumbuhan, karena dengan kadar akumulasi
tinggi biomassa yang harus ditangani jelas jauh lebih sedikit. Usaha untuk
meningkatkan akumulasi logam berat, khususnya timbal, telah dilakukan di
beberapa laboratorium. AgBiotech Center berusaha menaikkan tingkat akumulasi
Pb oleh Brassica juncea dengan memberikan zat pengkhelat ke dalam tanah
hasilnya menunjukkan, bahwa dengan memberikan khelator EDTA ke dalam tanah
yang mengandung 600 mg Pb/kg, tumbuhan Brassica juncea mampu
mengakumulasi Pb hingga 1,5% biomassanya (Darliana,2009).
Selain mempunyai kemampuan menyerap logam berat, tumbuhan mampu
menyerap dan mendegradasi zat organik serta hara. Kemampuan ini dimanfaatkan
dalam pengendalian serta pemulihan lingkungan yang tercemar.dengan
memadukan berbagai jenis tumbuhan mengingat keunggulan yang dipunyai oleh
masing-masing jenis tanaman. Pemilihan jenis tanaman adalah yang toleran dan
mampu mengolah limbah. Untuk mengetahui tingkat toleransi tanaman terhadap
limbah maka perlu diketahui konsentrasi nutrisi dalam limbah. Kemampuan dalam
mengolah limbah meliputi kapasitas filtrasi dan efisiensi serapan nutrisi. Salah satu
contoh tanaman yang digunakan pada proses fitoremediasi lahan perairan adalah
tumbuhan timbul dan tumbuhan mengapung seperti Scirpus californicus,
Zizaniopsis miliaceae, Panicum helitomom, Pontederia cordata, Sagittaria
lancifolia, dan Typha latifolia adalah yang terbaik digunakan pada ekosistim
perairan untuk mengolah limbah. Spesies tumbuhan mengapung digunakan karena
tingkat pertumbuhannya yang tinggi, dan kemampuannya untuk langsung
menyerap hara langsung dari kolom air. Akarnya menjadi tempat filtrasi dan
adsorpsi padatan tersuspensi dan pertumbuhan mikroba yang menghilangkan
22
unsur-unsur hara dari kolom air.Tanaman tenggelam tidak direkomendasikan pada
pengolah limbah, karena produksinya rendah, banyak spesies yang tidak tahan
terhadap kondisi eutrofik dan memiliki efek yang merugikan bagi alga dalam kolom
air. Namun tumbuhan tenggelam mungkin memiliki peran yang penting bila
dikombinasikan dengan jenis tanaman lain dalam sistem pengolah limbah
(Darliana,2009).
2.2.2 Penerapan Biomonitoring
Biomonitoring merupakan "slat" untuk mempelajari dinamika suatu
ekosistem, balk secara meruang maupun mewaktu, sebagai usaha melindungi
ekosistem dan kepentingan manusia. Kegiatan pemantauan tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan parameter fisik, kimiawi, dan biologis. Usaha
pemantauan secara fisik dan kimiawi, relatif lebih mudah dan cepat diketahui, tetapi
kurang memberikan keakuratan mengenai kondisi atau masalah ekosistem yang
sebenarnya. Penggunaan organisme dalam pemantauan tersebut (biomonitoring)
mempunyai kelebihan dibandingkan jenis pemantauan yang lain, yaitu organisme
sungai tertentu dapat memberikan respon biologis, dari tingkat molekuler —
komunitas, terhadap perubahan yang terjadi dalam ekosistem. Dalam kegiatan
biomonitoring, respon biologis pada tingkat populasi dan komunitas paling mudah
dipelajari dibandingkan respon biokimiawi dan fisiologis, meskipun respon pada
tingkat tersebut merupakan respon yang diperoleh dalam jangka waktu yang lebih
lama dibandingkan respon biokimiawi atau fisiologis. Respon tingkat komunitas,
yaitu kekayaan taksa, jumlah genus dominan, jumlah total individu, kesamaan dan
keanekaragaman komunitas, merupakan jenis respon atau parameter biologis yang
umum digunakan dalam menilai atau merefleksikan kondisi suatu ekosistem.
Usaha biomonitoring diawali dengan pemilihan jenis parameter/respon
biologis (metrik), dengan mempelajari respon biologis tingkat komunitas, pada
berbagai kondisi ekosistem. Jenis parameter biologis yang dipilih berdasarkan
adanya perubahan respon signifikan sejalan dengan perubahan kondisi ekosistem.
Pemilihan tersebut melibatkan pemilihan bioindikator yang tepat, yang dapat
merefleksikan dinamika kondisi ekosistem.
23
2.2.3 Penerapan Ekotoksikologi pada Konservasi Terumbu Karang
Penyebab pencemaran pada terumbu karang antara lain adalah minyak yang
tertumpah dilaut yang mengalami absorbs, pertukaran ion, penguapan dan
pengendapan. Tumpahan minyak akan tersebar dipermukaan air laut, sebagian
tumpahan minyak dipermukaan akan terseret ke pantai saat ada arus angina
sedangkan yang melekat pada sedimen akan tenggelam ke dasar laut dan mengenai
karang. Tumpahan minyak tidak melekat begitu saja pada karang, tetapi tergantung
efektifitas reaksi pembersihan karang (jenis karang) dan jenis pencemar.
Bahan pencemar lain yang dikenal berpengaruh terhadap kehidupan
terumbu karang adalah tailing. Limbah tailing berasal dari batu-batuan dalam tanah
yang telah dihancurkan hingga menyerupai bubur kental. Proes ini dikenal dengan
sebutan penggerusan. Batuan yang mengandung mineral seperti emas, perak,
tembaga dan lainnya diangkut dari lokasi galian menuju tempat pengolahan yang
disebut processing plant. Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian adalah
logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya yang masuk
dalam kategori limbah B3. Tailing yang menyebar ke daerah yang lebih dangkal
dan produktif secara biologis dapat mendatangkan lebih banyak masalah dari yang
diperkirakan yaitu mengusir spesies ikan , menyebabkan kerusakan permanen di
dasar laut, memusnahkan spesies asli, menghilangkan organisme langka dan
mengurangi keanekaragaman organisme termasuk terumbu karang.
Untuk memulihkan terumbu karang dibutuhkan waktu yang cukup lama,
yaitu antara 50 hingga 100 tahun, tergantung dari kualitas perairan, tingkat tekanan
terhadap lingkungan, letak terumbu karang yang akan menjadi individu kerang baru
dan lain lain. Keberadaan herbivora dan vertebrata laut mempengaruhi kesehatan
terumbu karang. Vertebrata laut sangat penting dalam hal pendegradasian biomassa
suatu spesies.
2.2.4 Fitotoksikologi Dan Ekotosikologi Dalam Teknologi Pengolahan
Sampah Menjadi Kompos
Sampah adalah bahan baku kompos. Secara ekoteknis penggunaan sampah
sebagai bahan baku kompos adalah sebagai upaya memperpanjang waktu
operasional tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, secara sosio ekonomi upaya
24
ini mendorong peran masyarakat, terutama pengusaha kompos yang telah ada untuk
meningkatkan skala usahanya sehingga lebih ekonomis. Kompos adalah zat organik
hasil proses aerobik secara terkontrol (temperatur, pH, kadar air, rasio C/N, dan
kaya oksigen). Dengan sendirinya bahan baku sampah adalah yang dapat
dikomposkan (compostable materials) seperti daun, sisa potongan sayur dan buah,
dan semacamnya.
Dalam praktek proses aerasi pengomposan dapat diklasifikasikan
berdasarkan perlakuan terhadap massa sampah, yaitu perlakuan massa bergerak
(movable treatment) dan perlakuan massa diam (static treatment). Perlakuan massa
bergerak terdapat banyak turunan seperti in-vessel treatment, turned windrows dan
pengembangan lainnya. Untuk program sektor swasta digunakan desain operasi
aerasi dengan pembalikan massa sampah (turned windrows) mengikuti praktek
yang telah berjalan. Desain operasi tersebut juga dipraktekkan untuk pengelola
kebersihan kabupaten Bandung dan kota Cirebon dengan penempatan instalasi di
lahan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan cukup tersedia lahan. Khusus
untuk kabupaten Serang dipraktekkan desain operasi aerasi mekanis ke dalam
massa statik sampah (static aerated piles), karena luas lahan TPA sampah yang ada
tidak mencukupi untuk penerapan desain turned windrows (Pranoto,2013).
BAB III
ISI
25
3.1 Desain Operasi Pengomposan dibeberapa Wilayah Provinsi
Contoh kompos matang diambil secara acak dari pengomposan sekunder
untuk 8 kota, salah satu operasi pengomposan yang ada, terdapat dalam komposisi
fisik sampah kota di wilayah provinsi-provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten
terdapat 55 % sampah compostable dan 45 % sampah non-kompos. Secara kimiawi
komposisi C/N sampah kota adalah berkisar 35/1 sehingga cukup layak untuk
proses pengomposan tanpa penambahan limbah hewani (CN = 20). Sehingga dibuat
desain operasi pengomposan secara diagram alir (Gambar 3.1).
Kajian kualitas kompos ini terkendala belum ada standar kualitas kompos
untuk Indonesia. Standar internasional kualitas kompos tersedia untuk negara-
negara industri maju, namun standar tersebut tidak dapat sepenuhnya diadopsi oleh
karena terdapat perbedaan struktur tanah antara negaranegara subtropik dan tropik.
Oleh karena itu, kualitas kompos kajian di sini digunakan kriteria kematangan
kompos, dimana kadar air < 45 %, C/N < 22, dan kandungan zat-zat anorganik <
1,5 % berat kering.
Berdasarkan kriteria 3 kematangan kompos dan untuk menilai kualitas
kompos menurut kandungan zat-zat anorganik maka kompos perlu dianalisis
tingkat keasaman (pH) dan beberapa zat-zat mikronutrien yaitu kalsium,
magnesium, besi dan mangan. Kualitas kompos terdapat dalam (tabel 3.1) yang
sesuai dengan hasil penelitian laboratorium (Pranoto,2013).
26
Gambar 3. 1 Diagram Alir Operasi Pengomposan (Pranoto,2013).
Tabel 3. 1 Kualitas Kompos Bahan Baku Sampah
27
Sumber : (Pranoto,2013)
3.2 Ekotoksikologi Sebagai Teknologi Produksi Kompos
Ekotoksikologi adalah kajian efek destruktif zat terhadap suprabiota
(individu, populasi dan komunitas) dalam suatu ekosistem. Kajian ini dapat
diterapkan dalam skala kecil laborat, misalnya menggunakan serial pot uji (dalam
hal ini media uji adalah kompos), mikrokosmos, dan skala lapangan mesokosmos.
Dalam skala besar dapat diterapkan menggunakan skala lapangan mesokosmos,
makrokosmos dan sistem pemantauan ekosistem (survey, surveillance dan
pemantauan). Kajian skala kecil pada umumnya digunakan untuk waktu pendek,
mulai dari skala waktu jam sampai minggu. Kajian efek zat dalam waktu pendek (<
10 % waktu siklus hidup biota uji) digunakan untuk uji toksisitas akut (segera
menampakkan hasil efek). Kajian skala besar digunakan untuk jangka waktu
panjang, mulai dari skala bulan hingga berkelanjutan. Kajian efek zat dalam waktu
panjang (> 10 % waktu siklus hidup biota uji) digunakan untuk uji toksisitas kronik
(hasil efek muncul dalam jangka panjang) (Pranoto,2013).
Biota uji dipilih berdasarkan kualitas kompos yang diinginkan misalnya
produk kompos tidak ditumbuhi gulma, tidak mengandung bakteri patogen, dan
lain-lain, atau penggunaan kompos misalnya kompos untuk kondisi tanah, media
tanam tanaman, dan lain-lain. Dalam hal inipun sekaligus dapat ditetapkan kriteria
efek kompos apakah untuk kematian biota ataukah untuk mendukung kehidupan
28
biota. Secara umum biota akan memberikan respon struktur dan fungsi biologisnya
terhadap paparan zat. Perubahan struktur biota misalnya jumlah
Gambar 3. 2 Ekotoksikologi Kompos Mesokosmos (Pranoto,2013).
biomass dalam individu tumbuhan. Perubahan fungsional misalnya perubahan laju
fotosintesis dan respirasi. Terma suk dalam kajian ekotoksikologi ini adalah kajian
bioakumulasi zat (terminologi umum akumulasi zat dalam biota) terkandung
kompos yang dapat diakumulasi oleh biota uji tanpa kematian biota itu sendiri.
Secara khusus mengenai jalur dan tingkat akumulasi zat dikaji dalam
biokonsentrasi dan biomagnifikasi. Demikian pula kajian biokonsentrasi zat yaitu
zat-zat kompos diakumulasi biota sebagai fungsi dari sifat kesukaan biota terhadap
air (hidrofilik) atau kesukaan terhadap lemak (lipofilik). Selain itu kajian
biomagnifikasi yaitu akumulasi zat kompos melalui rantai makanan biota mulai dari
alga sampai dengan pemakan di atasnya (Pranoto,2013).
Sejalan dengan fitoteknologi maka ekotoksikologi kompos didesain untuk
penilaian efek kompos terhadap tanaman konsumsi/ekonomis. Metode uji
ekotoksisitas adalah mesokosmos yaitu di lapangan di mana instalasi pengomposan
berada sehingga sekaligus menjadi percontohan bagi pengguna kompos. Selain uji
kualitas, ekotoksisitas kompos terhadap tanaman juga dimaksudkan untuk
menetapkan beban (kuantitas dan kualitas), dalam hal ini kuantitas kompos relatif
terhadap media tanam. Beberapa plot lahan (mesokosmos) disiapkan dengan
perbedaan proporsi kompos dan media tanam dan kemudian ditumbuhkan tanaman.
Ilustrasi ekotoksikologi kompos diketengahkan pada Gambar 2.2 . Selain uji
kualitas dan beban kompos, ekotoksikologi ini juga diterapkan untuk pengolahan
lindi. Untuk ekotoksikologi lindi, tumbuhan bukanlah faktor pembatas, artinya
29
tumbuhan yang digunakan bisa mati. Tujuan utama ekotoksikologi lindi ini adalah
dekontaminasi polutan lindi yang dapat diambil oleh tumbuhan. Penerapan
ekotoksikologi lindi adalah penggunaan proses rizofiltrasi sesuai Gambar 2.3
(Pranoto,2013).
Gambar 3. 3 Proses rizofiltrasi kontaminan (Sumber: ITRC, 2001).
3.3 Rekonstruksi Desain Operasi Pengomposan
Memperhatikan kembali Gambar 2.1 tentang desain operasi yang ada maka
desain operasi pengomposan dapat direkonstruksi sesuai tinjauan fitoteknologi dan
ekotoksikologi. Rekonstruksi desain operasi kompos diketengahkan pada Gambar
2.4. Satuan instalasi pengomposan sekunder dan juga lindi adalah tepat untuk
30
digantikan intalasi fitoteknologi dan ekotoksikologi. Produk fitoteknologi dan
ekotoksikologi inilah yang kemudian diambil untuk dipilah menjadi kompos siap
pasar (Pranoto,2013).
Gambar 3. 4 Rekonstruksi diagram alir desain operasi pengomposan sampah untuk produk
kompos dengan jaminan kualitas (Pranoto,2013).
3.4 Fitoremidasi Sebagai Teknologi Alternative Perbaikan Lingkungan
Perkembangan berbagai macam industri saat ini selain memberikan dampak
positif juga memberikan pengaruh negatif yaitu dihasilkan bahan pencemar dalam
jumlah yang tidak sedikit setiap kali proses. Jenis bahan pencemar yang dibuang ke
31
lingkungan merupakan senyawa organik dan anorganik yang sukar teruari di
lingkungan. Selain itu unsur logam berbahaya masuk ke lingkungan air dan tanah
dari sisa proses industri. Pengolahan limbah yang ada saat ini dilakukan secara
fisika dan kimia, pengolahan cara ini selain mahal juga menghasilkan senyawa baru
yang membutuhkan penanganan lebih lanjut. Senyawa organik masuk ke
lingkungan melalui air dan tanah, kondisi ini bila dibiarkan dalam waktu yang lama
akan memberikan pengaruh yang berbahaya bagi lingkungan disekitarnya
(Darliana,2009).
3.5 Biomonitoring Degradasi Ekosistem Akibat Limbah CPO di Muara
Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan Metode Elektromorf Isozim
Esterase.
Pembangunan dermaga CPO (crude palm oil) minyak kelapa sawit di
muara sungai mentaya, kalimantan tengah memberikan dampak negatif terhadap
keberadaan komunitas mangrove maupun makrozoobentos. Sungai Mentaya,
Kalimantan Tengah yang saat ini dijadikan pusat transportasi perairan serta industri
hulu sangat rawan terhadap proses degradasi ekosistem akibat pencemaran
tumpahan minyak CPO, sehingga perlu penelitian untuk mencegah sedini mungkin
terjadinya degradasi ekosistem tersebut.
Keberadaan mangrove yang paling menonjol dan tidak dapat digantikan
oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang
menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan ekosistem daratan. Makrozoobentos
merupakan salah satu bagian dari mata rantai tersebut. Mangrove maupun
makrozoobentos merupakan komponen biotik estuarin yang sangat strategis untuk
dijadikan bioindikator pencemaran karena memiliki daya adaptasi terhadap dampak
pencemaran tumpahan CPO yang terjadi.
Secara umum limbah dari pabrik kelapa sawit terdiri atas tiga macam yaitu
limbah cair, padat dan gas. Limbah cair pabrik kelapa sawit berasal dari unit proses
pengukusan (sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan dari hidrosiklon. Pada
umumnya, limbah cair industri kelapa sawit mengandung bahan organik yang tinggi
32
sehingga berpotensi mencemari air tanah dan badan air, sedangkan limbah padat
pabrik kelapa sawit dikelompokan menjadi dua yaitu limbah yang berasal dari
proses pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair. Limbah
padat yang berasal dari proses pengolahan berupa Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS), cangkang atau tempurung, serabut atau serat, sludge atau lumpur, dan
bungkil. TKKS dan lumpur yang tidak tertangani menyebabkan bau busuk, tempat
bersarangnya serangga lalat dan potensial menghasilkan air lindi (leachate).
Limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa lumpur aktif yang
terbawa oleh hasil pengolahan air limbah.
CPO berasal dari pengolahan Tandan Buah Segar (TBS). Setiap ton TBS
yang diolah dapat menghasilkan 140 200 kg CPO dan limbah/produk samping,
antara lain: limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah cair yang dihasilkan cukup
banyak, yaitu berkisar antara 600 700 kg. Bilamana limbah/produk samping ini
tidak diolah akan menimbulkan masalah berupa; penumpukan limbah dan resiko
cairan dan gas.
Peningkatan produksi dan konsumsi dunia terhadap minyak sawit secara
langsung dapat meningkatkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada proses
produksi minyak sawit limbah berwujud padat, cair, dan gas dihasilkan dari
berbagai stasiun kerja dari pabrik. Setiap ton tandan buah segar (TBS) yang diolah
menjadi efluen sebanyak 600 liter. Limbah tersebut berdampak negatif terhadap
lingkungan jika tidak dikelola dengan baik
Minyak sawit merupakan bahan baku oleokimia karena mengandung lemak
alkohol, metil ester, dan asam lemak. Minyak CPO terdiri dari fraksi padat yang
merupakan asam lemak jenuh (miristat 1%; palmitat 45%, stearat 4%) serta fraksi
cair merupakan asam lemak tidak jenuh (oleat 39%; linoleat 11%). CPO Indonesia
mempunyai kualitas rendah karena hampir 90% tidak mengandung β karoten
C40H56 BM:536,85) yang larut dalam minyak dan menyebabkan warna
kuning/jingga. CPO diekstrak dari daging buah (mesokarp). Sifat fisik CPO adalah
warna orange/jingga, bau khas, bentuk pasta, kadar air: 3,7589x10-3 mL/g CPO,
indeks bias 1,4692, massa jenis 0,8948 g/mL dengan kelarutan pada eter dan cukup
larut dalam aseton, sedikit larut dalam etanol dan tidak larut dalam air payau akan
33
mengalami proses adaptasi dengan lingkungan estuarin. (Deffense, 1985 dalam
Jurnal Setyono, 2008)
Dinamika sedimen akibat terjadi akumulasi material yang terbawa oleh
aliran sungai juga secara tidak langsung mempengaruhi pola adaptasi mangrove itu
sendiri. Hal inilah yang dapat diasumsikan timbulnya variasi alloenzim sehingga
pada tingkat degradasi ekosistem dapat dideteksi dari dinamika isoenzimnya.
Struktur komunitas organisme perairan dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia air,
antara lain: kecepatan arus, padatan tersuspensi, suhu air, DO, pH, BOD dan
amoniak. Biomonitoring dengan menggunakan parameter kualitas air dan dinamika
struktur komunitas mangrove dan makrozoobentos melalui kajian elektromorf
isozim sangat efektif apabila dilakukan secara sinergis.
Cara penelitian kasus ini meliputi tahap persiapan; pengamatan kualitas air,
faktor fisik, dan faktor klimatik; dan pengujian elektromorf isozim esterase.
1. Tahap persiapan
Penentuan lokasi pengambilan sampel bersifat purposive random sampling.
Penetapan untuk peletakan area kajian dan pencuplikan sampel menggunakan
metode transek. Setiap transek berjarak 1 km mulai dari lokasi daerah yang
tercemar sampai muara sungai. Tiap transek berjarak 5 km dengan jarak titik
sampling tiap 0,5 km mulai dari lokasi daerah yang tercemar sampai 10 km menuju
muara sungai dan 10 km ke hulu menuju daerah kontrol. Sampel diambil di daerah
muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah pada saat air surut maksimal. Dibuat
garis transek yang berupa plot kuadrat ukuran 20 x 20 meter untuk golongan
mangrove baik yang berupa pohon (diameter batang > 10 cm) dan diukur sekitar
1,3 meter dari pangkal batang. Lokasi penentuan plot untuk sampel
makrozoobenthos juga 20 x 20 meter dari batas mangrove menuju ke arah pantai.
Sampel makrozoobenthos dikumpulkan dalam “keramba” hingga waktu
pengambilan sampel untuk dibawa ke laboratorium tiba. Tiap sampel dengan
ulangan 3 kali.
2. Pengamatan kualitas air, faktor fisik, dan faktor klimatik
Kualitas air yang diamati meliputi: suhu, kelembaban udara dan intensitas
cahaya, DO, BOD, pH, padatan tersuspensi, potensial redoks dan NH3. Faktor fisik
34
yang diamati berdasarkan zonasi relief, air, dan substrat. Faktor klimatik diamati
meliputi curah hujan dan kelembaban.
3. Pengujian elektromorf isozim esterase.
Material biologi yang diuji adalah sampel daun dan akar tumbuhan
mangrove S. caseolaris serta hepatopankreas udang M. rosenbergii. Metode uji
isozim yang digunakan mengikuti Widmer et al. (1986) dengan bahan gel
polyacrylamid.
Hasil dari penelitian tersebut:
Tabel 3. 2 Data parameter kualitas perairan sungai Mentaya, Kalimantan Tengah
pada bulan Januari 2007.
Parameter Satuan Rerata kontrol Rerata terpapar
DO (dissolved
oxygen)
ppm 4,4 2,7
pH 3,5 4,7
Suhu oC 30,1 32,6
Daya hantar listrik
air (water
electric
conductifity)
μS 52 98
TDS (total
dissolved solid)
ppm 58 26
BOD (biological
oxygen demand)
ppm 5 16
COD (chemical
oxygen demand)
ppm 20 65
Potensial redoks
sedimen
mV 101 42
pH tanah 5,96 6,49
Sumber: Jurnal Setyono, 2008
35
Berdasarkan data Tabel 1 terlihat bahwa air yang terpapar limbah tumpahan
CPO akan menurunkan daya hantar listrik, DO (oksigen terlarut), potensial redoks
serta TDS (bahan terlarutnya). Disisi lain terjadi kenaikan BOD, COD, pH tanah
sedimen suhu serta pH air. Bahan cemaran tumpahan minyak CPO mengandung
lemak alkohol, metil ester, asam lemak jenuh dan tidak jenuh relatif seimbang.
Berat jenis pada suhu kamar 0,8948 gr/ml lebih kecil dibandingkan dengan berat
jenis air sehingga berada di atas permukaan air.
Lapisan minyak CPO menghambat proses difusi oksigen bebas ke
permukaan air sehingga kandungan oksigen terlarut berkurang secara drastis. Sifat
polar dari bahan cemaran tumpahan minyak CPO menyebabkan nilai DHL
bertambah. Pada kondisi perairan yang terpapar tumpahan minyak CPO maka
lapisan minyak menutupi ujung akar mangrove Soneratia caseolaris L. yang
menyebabkan proses respirasi dan meristematis sel ujung akar terhambat. Proses
penghambatan metabolisme yang terjadi di akar dapat dideteksi dengan
teridentifikasinya isoenzim baru yang berupa Esterase.
Tumpahan CPO di muara sungai mengakibatkan buangan yang
mengandung lemak dan minyak. Senyawa lemak dan minyak juga dapat
berpengaruh negatif terhadap kehidupan akuatik. Adanya lemak dan minyak dalam
badan air dapat menyebabkan peningkatan turbiditas air sehingga mengurangi
ketersediaan cahaya yang sangat diperlukan organisme fotosintetik di dalam air.
Disamping itu, molekul lemak dan minyak berukuran besar akan mengendap di
dasar perairan sehingga dapat mengganggu aktivitas serta merusak kehidupan
bentos dan daerah pemijahan ikan (spawning ground) dan meningkatkan BOD.
Nilai BOD dan COD yang naik serta DO yang turun drastis tersebut akan
mempengaruhi proses adaptasi udang Macrobrachium rosenbergii dengan
mekanisme mengeluarkan isoenzim Esterase. Jadi, isozim esterase dari bioindikator
komunitas mangrove Soneratia caseolaris dan makrozoobentos Macrobrachium
Rosenbergii digunakan pada metode biomonitoring degradasi ekosistem di muara
sungai. Tumpahan minyak CPO yang menutupi permukaan air akan menurunkan
DO dan menaikkan COD dan BOD serta menaikkan daya hantar listrik. Hal ini
36
mempengaruhi proses adaptasi mangrove Soneratia caseolaris L. dan udang
Macrobrachium rosenbergii dengan mengeluarkan isoenzim Esterase.
3.6 Studi Kualitas Air Sungai Bone (Gorontalo) Dengan Metode
Biomonitoring.
Salah satu sungai terbesar di Provinsi Gorontalo adalah Sungai Bone.
Sungai tersebut memiliki fungsi penting dalam berbagai aspek kehidupan yaitu
sebagai sumber bahan baku air minum, mandi, pengairan, daerah wisata. Oleh
karena peranannya yang begitu banyak kepada masyarakat, dilakukan penelitian
untuk menguji tingkat pencemaran pada sungai tersebut. Pada penelitian ini yang
akan diukur untuk parameter fisik adalah suhu, dan kekeruhan, serta pH untuk
pengukuran parameter kimia, sedangkan untuk parameter biologis dilakukan
dengan metode biomonitoring. Bioindikator pada penelitian ini adalah
makroinvertebrata. Makroinvertebrata ini merupakan komponen biotik. indeks
biotik yang akan diguanakan sebagai dasar dalam penentuan kualitas air dengan
metode biomonitoring, adalah sebagai berikut:
Tabel 3. 3 Interpretasi FBI Untuk Menilai Kualitas Air
FAMILI BIOTIK
INDEKS KUALITAS AIR
TINGKAT
PENCEMARAN
0,00 – 3,75 Sangat baik Tidak terpolusi bahan
organik
3,76 – 4,25 Baik sekali Sedikit terpolusi bahan
organik
4, 26 – 5,00 Baik Terpolusi beberapa
bahan organik
5,01 – 5,75 Cukup Terpolusi agak banyak
5,76 – 6,50 Agak buruk Terpolusi banyak
6,51 – 7,25 Buruk Terpolusi sangat banyak
7,26 – 10,00 Buruk sekali Terpolusi berat bahan
organik
Sumber: Hilsenhoff (1987) dalam Jurnal Maruru, 2012
37
Tabel 3. 4 Klasifikasi Kualitas Air Berdasarkan Bisel Biotik Indeks.
Kelas Biotik Indeks Kode Warna Tingkat Pencemaran
I 10 – 9 Biru Terpolusi ringan atau
tidak terpolusi
II 8 – 7 Hijau Sedikit terpolusi
III 6 – 5 Kuning Terpolusi dalam jumlah
sedang
IV 4 – 3 Jingga Terpolusi berat
V 2 – 1 Merah Terpolusi sangat berat
0 Hitam Mati secara biologi
Sumber : Biotic Index Manual For Secondary School,University Gent,
Belgium(1999) dalam Jurnal Maruru, 2012
Perhitungan indeks biotik ini sampai sekarang masih digunakan dan dapat
dijadikan pendugaan awal terhadap status kualitas air sungai.
Hasil dan pembahasan dari penelitian kasus ini adalah:
1. Pengamatan fisik dan kimia
Hasil pengamatan dengan parameter fisik dan kimia, yaitu dengan
mengukur suhu, pH, dan kekeruhan.
Tabel 3. 5 Tabel Hasil Pengamatan Fisik dan Kimia.
Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Standar kualitas Air Bersih
Menurut PerMenKes RI No.
416/MenKes/PER/IX/ 1990
Date 24 Maret
2012
7 April
2012
14 April 2012
Location Suwawa Kabila Jembatan Talumolo (Kota Gorontalo)
Turbidity
(NTU)
12 13 80 25
Water
Temperature
(°C)
24 24 25 20-26
Ph 8,09 7,86 7,78 6,5-9,0
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
38
Apabila memperhatikan hasil pengamatan suhu dan pH, relatif kondisi
Sungai Bone masih normal. Sungai Bone juga masih terlihat jernih, kecuali pada
bagian hilir dimana kekeruhan meningkat menjadi 80 NTU, hal ini disebabkan
aktivitas penambangan galian C, yang menyebabkan tingkat kekeruhan untuk
stasiun meningkat dan melebihi batas PerMenKes. Meskipun nilai pH, suhu, dan
kekeruhan (kecuali stasiun 3), masih menunjukkan kondisi yang tidak melebihi
batas PerMenKes 1990, tetapi aktivitas masyarakat disekitaran aliran Sungai Bone
baik dari hulu maupun ke hilir, yang menjadi faktor penyebab hilangnya beberapa
makroinvertebrata dan menurunnya kualitas air Sungai Bone.
2. Pengamatan Makroinvertebrata
Hasil pengamatan makroinvertebrata di lokasi penelitian, yaitu Sungai
Bone untuk setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. 6 Hasil Pengamatan Makroinvertebrata Pada Stasiun 1 Berdasarkan
Famili Biotik Indeks.
No Nama
Famili
Ordo Jumlah (Xi) Nilai
Toleransi
(Ti)
Xi.Ti
1 Nepidae Hemiptera 8 8 64
2 Gerridae Hemiptera 3 8 24
3 Parathelphu
sidae
Decapoda 3 6 18
4 Palaemonid
ae
Decapoda 8 6 48
5 Thiaridae Gastropoda 230 6 1380
6 Viviparidae Gastropoda 20 6 120
7 Libellulida
e
Odonata 3 7 28
8 Aeshnidae Odonata 27 3 81
JUMLAH 303 1763
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
39
Tabel 3. 7 Hasil Pengamatan Makroinvertebrata Pada Stasiun 1 Berdasarkan
BISEL Biotik Indeks.
Kelompok
Makroinve
rtebrata
Indikator
Skor Jumlah
Taksa
Frekuensi
Ditemukan
Nilai Biotik
Indeks
Keterangan
Hemiptera 5 2 >2 3 Ditemukan 2 taksa
famili Hemiptera
lebih dari 2 kali
selama
pengamatan.
Berarti Hemiptera
memiliki nilai
indeks 3
Decapoda 4 2 >2 4 Ditemukan 2 taksa
famili Decapoda
lebih dari 2 kali
selama
pengamatan.
Berarti Decapoda
memiliki nilai
indeks 4
Gastropoda 4 2 >2 4 Ditemukan 2 taksa
famili Gastropoda
lebih dari 2 kali
selama
pengamatan.
Berarti Gastropoda
memiliki nilai
indeks 4
Odonata 4 2 >2 4 Ditemukan 2 taksa
famili Odonata
40
lebih dari 2 kali
selama
pengamatan.
Berarti Odonata
memiliki nilai
indeks 4
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Berdasarkan tabel standar BBI, disimpulkan bahwa nilai biotik stasiun
1 yang didapatkan berkisar antara 3-4, kemudian diambil nilai maksimumnya, yaitu
4 dan termasuk dalam kategori terpolusi berat atau agak buruk.
Tabel 3. 8 Hasil Pengamatan Makroinvertebrat Pada Stasiun 2 Berdasarkan
Famili Biotik Indeks.
No Nama
Famili
Ordo Jumlah
(Xi)
Nilai
Toleransi
(Ti)
Xi.Ti
1 Gerridae Hemiptera 17 8 136
2 Thiaridae Gastropod
a
200 6 1200
3 Viviparida
e
Gastropod
a
159 6 954
4 Sundathel
pusidae
Decapoda 20 6 120
5 Aeshnidae Odonata 14 3 42
6 Tipulidae Diptera 1 3 3
7 Dytiscidae Coleoptera 5 5 25
JUMLAH 416 2480
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Jadi, untuk stasiun 2 termasuk dalam kategori agak buruk, dengan
tingkat pencemaran terpolusi banyak.
41
Tabel 3. 9 Hasil Pengamatan Makroinvertebrata Pada Stasiun 2 Berdasarkan
BISEL Biotik Indeks.
Kelompok
Makroinver
tebrata
Indikator
Skor Jumlah
Taksa
Frekuensi
Ditemukan
Nilai Biotik
Indeks
Keterangan
Hemiptera 5 1 >2 3 Ditemukan 1 taksa
famili Hemiptera
lebih dari 2 kali
selama pengamatan.
Berarti Hemiptera
memiliki nilai indeks
3
Decapoda 4 1 >2 4 Ditemukan 1 taksa
famili Decapoda
lebih dari 2 kali
selama pengamatan.
Berarti Decapoda
memiliki nilai indeks
4
Gastropoda 4 2 >2 4 Ditemukan 2 taksa
famili Gastropoda
lebih dari 2 kali
selama pengamatan.
Berarti Gastropoda
memiliki nilai indeks
4
Odonata 4 1 >2 4 Ditemukan 1 taksa
famili Odonata lebih
dari 2 kali selama
pengamatan. Berarti
42
Odonata memiliki
nilai indeks 4
Coleoptera 5 1 >2 3 Ditemukan 1 taksa
famili Coleoptera
lebih dari 2 kali
selama pengamatan.
Berarti Coleoptera
memiliki nilai indeks
3
Diptera 4 1 1 3 Ditemukan 1 taksa
famili Diptera 1 kali
selama pengamatan.
Berarti Diptera
memiliki nilai indeks
3
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Berdasarkan tabel standar BBI, disimpulkan bahwa nilai biotik stasiun
2 yang didapatkan berkisar antara 3-4, kemudian diambil nilai maksimumnya, yaitu
4 dan termasuk dalam kategori terpolusi berat atau agak buruk.
Tabel 3. 10 Hasil Pengamatan Makroinvertebrata Pada Stasiun 3 Berdasarkan
Famili Biotik Indeks.
No Nama
Famili
Ordo Jumlah (Xi) Nilai
Toleransi
(Ti)
Xi.Ti
1 Nepidae Hemiptera 10 8 80
2 Scirtidae Coleoptera 5 7 35
3 Sundathelp
usidae
Decapoda 10 6 60
4 Palaemonid
ae
Decapoda 10 6 60
5 Thiaridae Gastropoda 320 6 1920
43
6 Viviparidae Gastropoda 12 6 72
7 Lymnaeida
e
Gastropoda 5 6 30
JUMLAH 372 2257
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Jadi, untuk stasiun 3 termasuk dalam kategori agak buruk, dengan
tingkat pencemaran terpolusi banyak.
Tabel 3. 11 Hasil Pengamatan Makroinvertebrata Pada Stasiun 3 Berdasarkan
BISEL Biotik Indeks.
Kelompok
Makroinvert
ebrata
Indikator
Skor Jumlah
Taksa
Frekuensi
Ditemukan
Nilai Biotik
Indeks
Keterangan
Hemiptera 5 1 >2 3 Ditemukan 1
taksa famili
Hemiptera
lebih dari 2
kali selama
pengamatan.
Berarti
Hemiptera
memiliki
nilai indeks 3
Decapoda 4 2 >2 4 Ditemukan 2
taksa famili
Decapoda
lebih dari 2
kali selama
pengamatan.
Berarti
Decapoda
44
memiliki
nilai indeks 4
Gastropoda 4 3 >2 4 Ditemukan 3
taksa famili
Gastropoda
lebih dari 2
kali selama
pengamatan.
Berarti
Gastropoda
memiliki
nilai indeks 4
Coleoptera 5 1 >2 3 Ditemukan 1
taksa famili
Coleoptera
lebih dari 2
kali selama
pengamatan.
Berarti
Coleoptera
memiliki
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Berdasarkan tabel standar BBI, disimpulkan bahwa nilai biotik stasiun
3 yang didapatkan berkisar antara 3-4, kemudian diambil nilai maksimumnya, yaitu
4 dan termasuk dalam kategori terpolusi berat atau agak buruk. Memperhatikan
hasil pengamatan makroinvertebrata, terlihat bahwa makin ke hilir, kondisi kualitas
air semakin menurun. Ini terlihat dari nilai FBI (family biotic index) lebih besar
pada bagian hilir dibandingkan di hulu. Ini menandakan bahwa aktivitas di
sepanjang aliran sungai semakin mempengaruhi kondisi kualitas air di hilir.
Berdasarkan hasil pengamatan, keadaan aliran sungai di daerah hulu memang relatif
lebih baik. Pemukiman yang berbatasan langsung dengan tepi sungai tidak
45
sebanyak di hilir. Di hilir, selain pemukiman yang sangat dekat dengan badan air,
aktivitas MCK dari penduduk dan pemukiman juga semakin padat, dan beragam.
Selain itu faktor lain yang mempengaruhi keberadaan
makroinvertebrata, dan penurunan kualitas air Sungai Bone, adalah aliran air
Sungai Bone yang banyak melewati daerah perkebunan dan pemukiman, sehingga
hampir sebagian besar kegiatan masyarakat dan limbah yang dihasilkan berdampak
pada Sungai Bone baik dampak yang secara langsung ataupun tidak langsung dari
setiap kegiatan masyarakat disekitaran Sungai Bone.
Limbah domestik maupun non domestik banyak berasal dari
pemukiman dan perkebunan. Contohnya saja seperti limbah deterjen dan pestisida
organik. Pada deterjen, dapat menimbulkan dampak negatip terhadap ekosistem
perairan yaitu dapat menghambat aktivitas atau bahkan membunuh berbagai jenis
mikroorganisme. Selain itu, deterjen juga menyebabkan pengkayaan nutrien pada
suatu badan air sehingga dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yang sangat
merugikan lingkungan perairan. Kemudian pada pestisida organik yang masuk ke
dalam lingkungan air dapat berasal dari aktivitas pertanian, perkebunan dan dari
buangan industri pengolahan makanan/ minuman. Diantara sejumlah besar
pestisida yang diproduksi dan diperdagangkan, yang paling banyak digunakan
masyarakat yaitu pestisida yang termasuk golongan organoklorin dan organoposfat.
Pestisida organoklorin sangat berbahaya karena mempunyai toksisitas bersifat
kronik, stabil, dan tahan urai dalam lingkungan. Salah satu contoh organoklorin
yang sangat berbahaya yaitu DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloro-ethane). Jenis
pestisida yang pertama kali dibuat oleh Zeidler pada tahun 1874 tersebut apabila
berada dalam air mempunyai waktu paruh antara 2,5-5 tahun tetapi residunya dapat
bertahan hingga lebih dari 25 tahun.
Pestisida yang tahan urai seperti DDT dapat terakumulasi dalam rantai
makanan (biomagnification), contohnya saja pada udang dan ikan, sehingga dalam
tubuh udang dan ikan dapat mengandung konsentrasi pestisida sebanyak 1000-
10.000 kali lebih besar daripada yang terkandung dalam perairan di sekelilingnya.
Hewan yang di dalam rantai makanan mempunyai arcs trofik (trophic level) lebih
tinggi seperti burung, anjing laut, dan lumba-lumba dapat mengandung hingga 55
ppm DDT dalam jaringan Iemaknya. Berdasarkan penelitian menunjukkan
46
kandungan DDT dalam jaringan lemak tubuh manusia di berbagai negara besarnya
sangat bervariasi, misalnya: di Inggris lebih kurang 1 ppm, di Amerika Serikat lebih
kurang 2 ppm, dan di India dapat lebih tinggi dari 10 ppm.
Keberadaan dan jumlah dari setiap makroinvertebrata yang ditemukan,
mempunyai tingkat kepekaan terhadap bahan pencemar, karena jenis-jenis tertentu
sangat peka terhadap pencemaran. Apabila terdapat bahan pencemar dalam
perairan, maka biota yang sangat peka akan hilang karena tidak mampu bertahan
hidup. Sebaliknya biota yang sangat toleran, akan tetap dapat hidup pada kualitas
air yang buruk. Semakin baik kualitas perairan, akan semakin tampak
keanekaragaman hewan tersebut, sebaliknya penurunan kualitas perairan akan
tampak jelas dominansi suatu jenis hewan makroinvertebrata yang ditemukan.
Selain berdampak pada keberadaan makroinvertebrata, penurunan kualitas air
sungai juga dapat berdampak langsung maupun tidak langsung bagi kesehatan
manusia. Selain itu dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi
semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air. Oleh karena itu,
diperlukan pengelolaan dan perlindungan sumber daya air secara saksama.
Sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan menurunkan
tingkat kesakitan bahkan kematian.
3.7 Konsentrasi Logam Berat Kadmium Pada Air, Sedimen dan Deadema
setosum (Echinodermata, Echinoidea) di Perairan Pulau Ambon.
Biomonitoring telah banyak digunakan sebagai indikator pencemaran di
laut dengan menganalisis konsentrasi logam berat pada berbagai jenis hewan laut
seperti ikan Tinca tinca L, Asteria rubens, Cyprinus carpio, dan Paracentrotus
lividus. Selain itu, hewan laut lain juga dipakai sebagai biomonitoring seperti bulu
babi. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa akumulasi logam berat dalam bulu
babi dapat mencerminkan kelimpahan dan bioavailabilitas dalam perairan laut yang
terkontaminasi.
Bulu babi yang banyak digunakan sebagai bioindikator pencemaran laut
adalah P. lividus, Deadema setosum, dan D. antillarum. Bulu babi jenis D. setosum
telah digunakan untuk menentukan status kontaminasi logam berat pada ekosistem
47
coral reefs di perairan Singapore, di laut Pasifik Hindia Barat, dan bagian barat laut
Mediterania.
Mengingat efek logam berat Cd bagi organisme yang hidup di perairan
maka tujuan dilakukan penelitian untuk mengetahui konsentrasi logam berat Cd
pada air laut, sedimen, dan bagian-bagian tubuh D. setosum (cangkang, daging, duri
dan gonad) di laut sekitar pulau Ambon yang akan dipakai dan dikembangkan
sebagai bioindikator pencemaran logam berat di perairan laut.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Pengambilan air laut di
dasar perairan pada kedalaman 10 m dilakukan dengan cara menyelam, dimana
botol kaca ukuran 1 liter dimasukan ke dalam air laut sampai airnya penuh dan
botolnya ditutup kemudian botolnya dikeluarkan dari dalam air. Sampel D. setosum
dan sedimen diambil menggunakan eckman dredge. Pengambilan sampel D.
setosum sebanyak 4 individu tiap stasiun dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari
karena waktu pengambilan sampel dipengaruhi oleh pola arus perairan pulau
Ambon sehingga mempengaruhi logam berat yang terdapat pada air, sedimen, dan
bagian tubuh D. setosum. Sehingga secara keseluruhan diperoleh 12 sampel untuk
sampel air, sedimen, dan Deadema setosum untuk tiap stasiun penelitian dengan
waktu pengambilan sampel pada pagi, siang, dan sore hari. Dari 12 individu D.
setosum.
Analisis data secara deskriptif menggunakan metoda kuantitatif dalam
bentuk persentase untuk menggambarkan konsentrasi logam berat Cd dalam Air
laut, sedimen dan bagian tubuh D. Setosum. Analisis statistic inferensial regresi satu
jalur digunakan untuk menjelaskan hubungan antara logam berat Cd pad air,
sedimen dan D. Setosum. Penggunaan analisis regresi ganda didasarkan pada
jumlah unit analisis mengikuti rumus (t-1)(r-1) ≥ 15, dimana t adalah jumlah lokasi
penelitian dan r adalah jumlah sampel (Hanafiah, 2010 dalam jurnal Rumahlatu,
2011).
Hasil dan pembahasan yang didapat pada penelitian tersebut adalah:
1. Konsentrasi logam berat Cd dalam air laut dan sedimen
Hasil analisa sampel air pada 4 stasiun penelitian di perairan pantai pulau
Ambon menunjukan bahwa konsentrasi logam berat Cd dalam air laut relatif sama.
48
Konsentrasi Cd pada air laut (0,01-0,03 ppm) lebih rendah dari pada di sedimen
(0,17-0,32 ppm). Rendahnya konsentrasi Cd dalam air dibandingkan sedimen
disebabkan sebagian besar logam berat termasuk Cd yang berasal dari lingkungan
umumnya terendapkan dalam sedimen sehingga sedimen sangat representatif untuk
merekam akumulasi logam berat di perairan. Menurut Amin et al., 2009 dalam
jurnal Rumahlatu, 2011, 90% logam berat yang mengontaminasi lingkungan
perairan akan terendap di dalam sedimen. Logam berat mempunyai sifat yang
mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu
dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding
dalam air.
Sumber-sumber logam berat Cd di laut, berasal dari sumber yang bersifat
alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang berasal dari
sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang, masukan dari laut
dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut dalam, dan masukan
dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-partikel debu. Logam berat
Cd juga dapat berasal dari aktifitas manusia, seperti limbah pasar dan limbah rumah
tangga, aktivitas transportasi laut dan aktivitas perbaikan kapal laut.
Diduga bahwa aktivitas penduduk di dekat perairan pantai pulau Ambon
menyumbangkan mayoritas logam ini dalam sedimen seperti transportasi laut,
perbaikan kapal, sampah rumah tangga, aktivitas pertanian, emisi industri dan
peleburan Zn dan Pb. Konsentrasi logam berat Cd pada bagian tubuh D.setosum.
Keberadaan Cd pada tubuh D. setosum didapat melalui proses penyerapan dari
rantai makanan. Logam berat yang masuk ke perairan akan mengalami
pengendapan, pengenceran dan dispersi kemudian diserap oleh organisme di
perairan tersebut. Konsentrasi Cd pada usus lebih tinggi daripada gonad, duri, dan
cangkang karena penyerapan (absorbsi) logam berat pada D. setosum umumnya
terkonsentrasi dan terakumulasi pada usus. Konsentrasi logam berat Cd pada bagian
tubuh P. lividus bervariasi, dan terjadi peningkatan berturut-turut dinding sistem
pencernaan, gonad, Aristotle's lantern, dan cairan coelom dan berhubungan dengan
unsur-unsur dari air dan makanan. Penelitian yang dilakukan oleh Temara et al.,
1998 dalam jurnal Rumahlatu, 2011, menemukan bahwa akumulasi logam berat Cd
pada Asterias terjadi relatif lebih cepat dibanding Pb dan Zn.
49
Akumulasi Pb dan Cd pada bagian tubuh A. rubens berhubungan dengan kadar
logam berat tersebut pada air laut. Penelitian lain menggunakan echinoidea jenis P.
lividus, menemukan bahwa gonad betina dapat mengakumulasi logam berat dengan
konsentrasi yang tinggi dan berhubungan dengan konsentrasi logam berat dalam
sedimen. Hal ini mengindikasikan bahwa logam berat yang terakumulasi di dalam
bagian tubuh biota laut berbeda, tergantung pada fisiologi organ tersebut, logam
berat tidak dapat diuraikan (non degradable) oleh organisme hidup dan
terakumulasi ke lingkungan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik
dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi pada berbagai jenis biota. Hal ini
berarti bahwa logam berat memasuki lingkungan perairan akan terendap di dalam
sedimen dan dapat berpindah ke matriks lingkungan lainnya. Hubungan kadar
logam berat Cd pada air, sedimen dan bagian tubuh D. setosum. Hasil analisis
hubungan antara kadar logam berat Cd pada air dengan kadar logam berat pada
bagian tubuh D. setosum, yaiut duri, cangkang, gonad, dan usus di 4 stasiun
penelitian menunjukan hubungan yang tidak signifikan. Hasil ini menunjukan
bahwa kadar logam berat pada air laut di perairan pulau Ambon belum menunjukan
sumbangan yang berarti terhadap meningkatnya atau menurunnya kadar logam
berat Cd pada bagian tubuh D. setosum, walaupun diketahui bahwa proses
masuknya kadar logam berat Cd ke dalam bagian tubuh D. setosum dipengaruhi
proses pernapasan. Proses masuknya logam berat ke dalam tubuh organisme
perairan terjadi melalui proses penyerapan. Dengan demikian, air laut tidak
representative untuk menggambarkan akumulasi Cd pada bagian tubuh D. setosum,
karena sifat air laut yang mobile atau dipengaruhi oleh pola arus dan gelombang di
perairan pulau Ambon.
Hasil analisis hubungan antara kadar logam berat Cd pada sedimen dengan
kadar logam berat Cd pada bagian tubuh D. setosum, yaitu duri, cangkang, gonad,
dan usus di 4 stasiun penelitian menunjukan hubungan yang signifikan Hasil ini
menunjukan bahwa kadar logam berat Cd pada sedimen di perairan pulau Ambon
memberikan sumbangan yang berarti terhadap meningkatnya atau menurunnya
kadar logam berat Cd pada bagian tubuh D. setosum. Dengan demikian, sedimen
sangat representative untuk menggambarkan akumulasi Cd pada bagian tubuh D.
setosum, karena kebiasaan organisme tersebut dalam mencari makan (feeding
50
habit) di dasar perairan. Sedimen yang telah tercemar logam berat Cd, terakumulasi
di dalam kelenjar saluran pencernaan, insang, dan usus besar siput Littorina
brivicula. Bila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, maka bagian tubuh D. Setosum,
yaitu duri, cangkang, gonad, dan usus sangat representative menggambarkan
kondisi logam berat pada sedimen di laut. Penelitian lainnya yang menggunakan
echinoidea jenis Paracentrotus lividus oleh Soualili et al., 2007, dalam jurnal
Rumahlatu, 2011, menemukan bahwa gonad betina dapat mengakumulasi logam
berat dengan konsentrasi yang tinggi dan berhubungan dengan konsentrasi logam
berat dalam sedimen.
Hasil analisis data penelitian ini menunjukan bahwa Deadema setosum dapat
merepresentase kondisi ini, karena selain ikan, spesies ini juga dominan dalam
populasi hewan perairan pulau Ambon serta dapat bertahan pada semua musim.
Bulu babi berduri panjang Deadema setosum merupakan spesies kunci dalam
ekosistem perairan pulau Ambon dan secara ekologis mempengaruhi komunitas
lamun. Selain itu, Deadema setosum juga toleran terhadap polutan yang ditandai
dengan hasil analisis hubungan kadar logam berat Cd pada sedimen dengan kadar
logam berat Cd pada bagian tubuh D. setosum, yaitu duri, cangkang, gonad, dan
usus. Dibandingkan dengan perairan laut lain, Deadema setosum juga dipakai untuk
menentukan status menilai kontaminasi logam berat Zn, Pb, Cd, Fe, Cr, Cu and Ti
di perairan Singapore, laut Pasifik Hindia Barat , dan bagian barat laut Mediterania
dengan menggunakan gonad Deadema setosum Selain gonad pada Deadema
setosum, duri, cangkang, dan usus dapat digunakan sebagai alat untuk
biomonitoring kualitas perairan sekaligus sebagai spesies biomonitoring dalam
lingkungan laut yang terpolusi.
51
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dengan mempelajari ekotoksikologi dapat diketahui keberadaan polutan
dalam suatu lingkungan (ekosistem) yang dalam waktu singkat, dapat
menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya perubahan
tersebut dapat mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon organisme,
perubahan populasi, komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem. Untuk mencegah
terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas industri dan
aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap pencemaran lingkungan
dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
Salah satu contoh rekayasa teknologi dalam lingkungan yaitu fitoremediasi,
fitotoksikologi, bioremediasi dan lain-lain. Penerapan teknologi fitoremediasi
menggunakan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan. Ekotoksikologi
berperan dalam konservasi terumbu karang dan pengolahan sampah menjadi
kompos.
Biomonitoring merupakan "slat" untuk mempelajari dinamika suatu
ekosistem, balk secara meruang maupun mewaktu, sebagai usaha melindungi
ekosistem dan kepentingan manusia. Kegiatan pemantauan tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan parameter fisik, kimiawi, dan biologis. Salah satu
52
penerapan biomonitoring adalah biomonitoring degradasi ekosistem akibat limbah
CPO di muara sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan metode Elektromorf
Isozim Esterase.
4.2 Saran
Pada ekotokologi dapat diketahui toksisitas suatu bahan, sehingga dapat
dibuat baku mutu lingkungan dan teknologi konservasi lingkungan. Berdasarkan
hasil studi literature ini, penerapan dan pengembangan teknologi dalam konservasi
lingkungan masih sedikit ditemukan. Oleh karena itu disarankan untuk terus
mempelajari dan menemukan alternative konservasi lingkungan yang lebih baik
dan mudah diterapkan. Mengingat konservasi lingkungan merupakan tanggung
jawab seluruh lapisan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, Yanu, Sunarto dan Tertri. 2004. Toksisitas Akut Limbah Cair Pabrik
Batik CV. Giyant Santoso Surakarta dan Efek Sublethalnya terhadap
Struktur Mikroanatomi Branchia dan Hepar Ikan Nila (Oreochromis
niloticus T.). Jurnal Bio Smart Vol.6 No.2. ISSN: 1412-033X
Butler, G.C., ed., 1978. Principles of Ecotoxicology. Scope 12. John Wiley &
Sons, Chichester, 349 pp: New York.
Connel, D.W. and G. J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Diterjemahkan oleh Yanti Koestoer. UI Press: Jakarta.
Darliana, Ina. 2009. Fitoremediasi Sebagai Teknologi Alternatif Perbaikan
Lingkungan. Universitas Bandung Raya : Bandung
Dix, H.M. 1981. Environmental Pollution. John Willey & Sons: New York.
Laws EA. 1981. Aquatic pollution. John Willey and Sons : New York.
Maruru, Stevi Mardiani M. 2012. Studi Kualitas Air Sungai Bone Dengan Metode
Biomonitoring di Kota Gorontalo. Skripsi. Jurusan Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri
Gorontalo, Gorontalo.
Nickless, G., 1975. Detergents. In Chemistry and Pollution. F.R. Benn and C.A.
McAuliffe (eds.). The MacMillan Press: London.
Nugroho, Andika. 2004. Pengendalian Pencemaran Lingkugan. Universitas Gajah
Mada: Yogjakarta.
53
Pranoto, 2013. Fitoteknologi Dan Ekotoksikologi Dalam Pengolahan Sampah
Menjadi Kompos. Universitas Sebelas Maret : Surakarta
Puspito, Andhikan. 2004. Ekotoksikologi. Universitas Gajah Mada: Yogjakarta.
Rumahlatu, Dominggus. 2011. Konsentrasi Logam Berat Kadmium Pada Air,
Sedimen dan Deadema setosum (Echinodermata, Echinoidea) di Perairan
Pulau Ambon. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol. 16 (2) : 78-85
Setyono, Prabang, dkk. 2008. Biomonitoring Degradasi Ekosistem Akibat Limbah
CPO di Muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan Metode
Elektromorf Isozim Esterase. Jurnal Biodiversitas. Vol. 9 (3) : 232-236
Contoh Soal dan Jawaban
1. Bagaimana prosedur penetapan baku mutu lingkungan ?
Jawab:
Langkah-langkah penyusunan baku mutu lingkungan:
1) Identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang
harus dilindungi (objektif sumber daya tersebut tercapai).
2) Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan
dan pengolahan dari berbagai informasi ilmiah.
3) Merumuskan baku mutu ambien dari hasil penyusunan kriteria.
4) Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dilepas ke dalam
lingkungan yang akan menghasilkan keadaan kualitas baku mutu
ambien yang telah ditetapkan.
5) Membentuk program pemantauan dan penyempurnaan untuk menilai
apakah objektif yang telah ditetapkan tercapai.
2. Apa yang dimaksud dengan Effluent Standard dan Stream Standard ?
Jawab :
Sehubungan dengan fungsi baku mutu lingkungan maka dalam hal
menentukan apakah telah terjadi pencemaran dari kegiatan industri atau
pabrik dipergunakan dua buah sistem baku mutu lingkungan yaitu:
54
• Effluent Standard, merupakan kadar maksimum limbah yang
diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan.
• Stream Standard, merupakan batas kadar untuk sumberdaya
tertentu, seperti sungai, waduk, dan danau. Kadar yang diterapkan
ini didasarkan pada kemampuan sumberdaya beserta sifat
peruntukannya. Misalnya batas kadar badan air untuk air minum
akan berlainan dengan batas kadar bagi badan air untuk pertanian.
3. Apa yang dimaksud dengan fitoremidiasi dan bagaimana cara kerjanya ?
Jawab:
Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme
untuk meminimalisasi dan mendetoksifikasi bahan pencemar, karena
tanaman mempunyai kemampuan menyerap logam-logam berat dan
mineral yang tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fotochelator. Konsep
pemanfaatan tumbuhan dan mikroorganisme untuk meremediasi tanah
terkontaminasi bahan pencemar adalah pengembangan terbaru dalam teknik
pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada limbah organik
maupun anorganik juga unsur logam (As,Cd,Cr,Hg,Pb,Zn,Ni dan Cu) dalam
bentuk padat, cair dan gas (Darliana,2009).
Pemanfaatan tumbuhan untuk remediasi lingkungan sangat
ditentukan oleh pemahaman tentang penyerapan logam serta penyerapan
dan atau degradasi senyawa organik oleh tumbuhan. Tumbuhan harus
bersifat hipertoleran agar dapat mengakumulasi sejumlah besar logam berat
di dalam batang serta daun. Tumbuhan harus mampu menyerap logam berat
dari dalam larutan tanah dengan laju penyerapan yang tinggi.Tumbuhan
harus mempunyai kemampuan untuk mentranslokasi logam berat yang
diserap akar ke bagian batang serta daun (Darliana,2009).
4. Bagaimana pemilihan parameter dalam biomonitoring ?
55
Jawab :
Usaha biomonitoring diawali dengan pemilihan jenis parameter/respon
biologis (metrik), dengan mempelajari respon biologis tingkat komunitas,
pada berbagai kondisi ekosistem. Jenis parameter biologis yang dipilih
berdasarkan adanya perubahan respon signifikan sejalan dengan perubahan
kondisi ekosistem. Pemilihan tersebut melibatkan pemilihan bioindikator
yang tepat, yang dapat merefleksikan dinamika kondisi ekosistem.
5. Jelaskan dampak negative limbah CPO !
Jawab :
CPO (crude palm oil) minyak kelapa sawit di muara sungai mentaya,
kalimantan tengah memberikan dampak negatif terhadap keberadaan
komunitas mangrove maupun makrozoobentos. minyak sawit merupakan
bahan baku oleokimia karena mengandung lemak alkohol, metil ester, dan
asam lemak. Minyak CPO terdiri atas fraksi padat yang merupakan asam
lemak jenuh (miristat satu persen, palmitat 45 peren, stearat empat persen)
serta fraksi cair merupakan asam lemak tidak jenuh (oleat 39 persen, linoleat
11 peren). Genangan minyak pada permukaan laut dapat menghambat
cahaya matahari masuk ke dalam perairan laut tersebut hingga dapat
mengurangi takaran oksigen pada dasar laut. Selain itu, limbah CPO juga
dapat mempercepat abrasi karena terhambatnya bahkan musnahnya jenis
pepohonan seperti bakau di bibir laut.