BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · 2017. 4. 1. · Nazi. Bentuk dasar Swastika yang digunakan...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · 2017. 4. 1. · Nazi. Bentuk dasar Swastika yang digunakan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Merekonstruksi pemahaman simbol Swastika di Eropa merupakan salah
satu cara yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain untuk melawan
wacana rencana pelarangan simbol Swastika di seluruh Eropa. Faktanya
pelarangan ini tak hanya sekadar wacana saja. Beberapa negara bahkan sudah
menerapkan pelarangan tampilan publik dari simbol Swastika ini karena
menganggap Swastika sebagai bagian tak terpisahkan dari kekejaman Rezim Nazi
di negaranya masing-masing.
Penempatan Hakenkreuz atau Swastika di tempat-tempat publik (kecuali
untuk alasan ilmiah) di Jerman dan Austria merupakan tindakan ilegal. Semenjak
tahun 1947 lambang Swastika Nazi (Hakenkreuz) sudah dilarang di Austria.
Meskipun demikian peraturan Austria tidak memberlakukan pelarangan pada
simbol Swastika yang sudah ada sebelum tahun 1947. Sekitar 500.000 batu nisan
di Austria yang mayoritasnya merupakan makam para tentara Nazi saat mereka
menganeksasi Austria, masih memiliki simbol Hakenkreuz di atasnya karena
peratuan pengecualian itu (www.foxnews.com). Pelarangan terhadap simbol
Swastika Nazi di Austria merupakan sebuah respon atas sejarah hitam aneksasi
Jerman terhadap Austria pada tahun 1938.
Hungarian Criminal Code pasal 269 juga menetapkan pelarangan atas
tindakan yang menampilkan simbol totaliter termasuk Swastika di ruang publik.
2
Penggunaan Swastika hanya diperbolehkan jika terkait dengan alasan pendidikan,
kesenian, ataupun jurnalistik (www.bpsz.hu). Sementara itu tahun 2008 Parlemen
Lithuania menetapkan bahwa tampilan publik dari simbol Nazi, termasuk
Swastika merupakan pelanggaran administratif dengan hukuman denda Lt. 500 -
1000 Lithuania. Sedangkan di Polandia tampilan publik dari simbol Nazi
termasuk Swastika merupakan tindak pidana yang diancam hukuman hingga
delapan tahun penjara (Day, 2009). Sebagian besar negara yang pernah
mengalami kekejaman langsung Rezim Fasisme Jerman ini mengalami semacam
fobia terhadap lambang Swastika atau Hakenkreuz. Tampilan Swastika masih
membawa trauma psikis pada mereka, sehingga pembatasan dan pelarangan
tampilan publik Swastika merupakan jalan yang pemerintah negara mereka ambil.
Pada tahun 2005 foto Pangeran Harry dari Inggris yang menggunakan
sebuah emblem di lengannya dengan lambang Hakenkreuz atau Swastika Nazi
dalam sebuah pesta kostum menjadi headline diberbagai surat kabar dan majalah
seluruh dunia. Kejadian ini memicu kemarahan politisi konservatif di Jerman yang
kemudian mengusulkan pelarangan Swastika di seluruh Eropa pada EU‟s Justice
and home affairs commissioner (news.bbc.co.uk).
Pelarangan ini jelas menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat Hindu di
Eropa. Maka dari itu gelombang protes atas pelarangan Swastika di seluruh Eropa
mulai bermunculan. The Hindu Forum of Britain adalah salah satu kelompok yang
menentang keras usulan politisi konservatif Jerman tersebut. Serangkaian
tindakan kemudian dilakukan sehingga pada akhirnya usulan pelarangan Swastika
3
di seluruh Eropa pada tahun 2005 ini gagal. Namun pada tahun 2007, wacana
tentang pelarangan ini kembali mencuat.
Simbol dan interpretasinya merupakan dua hal yang tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan manusia. Setiap simbol memiliki makna tersendiri tergantung dari
interprestasi yang diberikan atas simbol tersebut oleh subjek yang menilainya. Hal
inilah yang kemudian membuat suatu simbol memiliki arti yang bisa saja sama,
namun di satu sisi juga bisa memiliki artian yang berbeda atau bahkan bertolak
belakang, tergantung pada pengalaman subjek kelompok masyarakat terhadap
simbol yang bersangkutan.
Swastika merupakan salah satu simbol yang memiliki artian berbeda pada
beberapa subjek kelompok masyarakat. Khususnya bagi subjek kelompok
masyarakat Hindu di Eropa dan kelompok masyarakat Eropa yang memiliki
trauma atas fasisme Nazi. Bagi peradaban Hindu, tidak hanya Hindu di Eropa,
bahkan Hindu di seluruh dunia, Swastika merupakan sebuah simbol yang tidak
dapat dilepaskan dalam praktek spiritual-keagamaan sehari-hari. Swastika
memiliki artian simbol yang membawa keberuntungan, kesejahteraan, dan
kebaikan lainnya. Dengan kata lain bagi peradaban Hindu simbol Swastika
memiliki interpretasi nilai makna yang positif. Namun disatu sisi, Swastika bagi
sebagian masyarakat Eropa yang mengalami luka sejarah rezim fasisme Nazi,
mengasosiasikan lambang Swastika dengan lambang Hakenkreuz milik Nazi
sebagai sebuah simbol yang mengerikan, yang mengingatkan mereka akan
kekejaman dan kebengisan rezim fasisme Nazi. Dengan kata lain simbol Swastika
4
memiliki interpretasi nilai makna yang negatif di kalangan masyarakat Eropa yang
mengalami luka sejarah rezim fasisme Nazi.
Swastika memang menjadi simbol yang tak terpisahkan pula dalam
perjalanan Rezim Fasisme Jerman utamanya Nazi. Swastika ditemukan hampir
disetiap lencana, emblem, bendera, dan berbagai barang yang digunakan oleh
Nazi. Bentuk dasar Swastika yang digunakan sama dengan simbol swastika yang
digunakan oleh masyarakat Hindu. Namun diantara beberapa lambang swastika
yang digunakan oleh Nazi yang paling poluler adalah Hakenkreuz, Swastika yang
diputar ke kiri sekitar 45 derajat atau sinestrovere, (Bishop dan Warner, 2002).
Swastika Hindu. Dasar simbol Hakenkreuz memanglah swastika, namun
Hakenkreuz tidak sama persis dengan swastika yang digunakan dalam simbol-
simbol Hindu. Hakenkruez merupakan simbol Swastika yang sinistrovere atau
berputar kiri sekitar 45 derajat. Lazimnya dalam tradisi Hindu, Swastika
berbentuk tegak dengan putaran ke kanan, seperti pada gambar kiri di atas. Akan
tetapi dalam berbagai ornamen dan benda-benda seni, lambang Swastika kerap
juga dijumpai dengan posisi berputar ke kiri sehingga mirip Hakenkreuz Nazi
(Quinn, 1994).
Gambar 1.1 Swastika Hindu dan Hakenkreuz
5
Tidak dapat dipungkiri bahwa realitas suatu hal akan berbeda tergantung
dari pengalaman masing-masing subjek terhadap sebuah objek realitas. Seperti
yang diungkapkan George Ritzer dan Barry Smart dalam Handbook Teori Sosial
(2011:354):
“Analisis Kritis mengungkap bahwa realitas itu sendiri tidak hanya
persoalan penampilan luar saja, tetapi juga menyangkut sebab dan
kondisi yang ada di dalam, yang tidak mungkin dipahami secara
memadai dengan generalisasi empiris1. Untuk memahami mengapa
benda-benda berfungsi seperti ini atau itu dibutuhkan analisis teoritis.
Dalam hal masyarakat, perspektif kritis ini penting, sebab
mengungkapkan bahwa perubahan selalu ada dimana-mana, sehingga
dunia sosial berpotensi dapat dibentuk ulang oleh tindakan sosial.”
Potensi pembentukan ulang ini pula yang terjadi pada nilai makna simbol
Swastika di Eropa. Fakta menunjukkan bahwa simbol Swastika sudah digunakan
oleh berbagai kebudayaan di berbagai belahan dunia, jauh sebelum akirnya di
adopsi sebagai simbol dari Nazi. Seperti yang dikatakan oleh Barbara G. Walker
dalam “The Woman‟s Encyclopaedia of Myths and Secrets” (dikutip dalam
Malcom, 1994):
“Those who know the Swastika only as the Nazi Hakenkreuz (hook
cross) may be surprised to learn that it is the one of the oldest most
widely distributed religious symbols in the world. Swastikas appear on
Palaeolithic carvings on mammoth ivory from the Ukraine, dated ca.
10.000 bc. Swastika figure on the oldest coinage in india….. Sanskrit
Svastika meant “So be it” or “amen”.
Sejarah panjang penggunaan Swastika sebelum Nazi serta potensi
rekonsruksi makna simbol inilah yang dilihat oleh The Hindu Forum of Britain
yang menurut mereka dapat diaplikasikan pada makna Swastika di Eropa. The
1 Generalisasi empiris adalah hipotesis berdasarkan pengamatan terhadap kenyataan tertentu
dan spesifik
6
Hindu Forum of Britain menyadari bahwa salah satu cara yang harus mereka
lakukan untuk menghentikan bentuk bentuk penolakan dan pelarangan terhadap
simbol Swastika adalah dengan melakukan upaya-upaya rekonstruksi terhadap
pemahaman masyarakat Eropa mengenai makna simbol Swastika itu sendiri.
Merekonstruksi pemahaman nilai makna Swastika, bahwa Swastika memiliki nilai
makna yang positif, bukan negatif seperti Hakenkreuz milik Nazi. Upaya
merekonstruksi makna ini diperlukan agar Swastika dapat lebih diterima, sehingga
tidak lagi ada usaha untuk melarang penggunaan Swastika.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mendeskripsikan tindakan strategis yang dilakukan oleh The Hindu
Forum of Britain dalam merekonstruksi pemahaman mengenai simbol Swastika di
Eropa, maka penulis mengangkat permasalahan ”Bagaimana upaya The Hindu
Forum of Britain dalam merekonstruksi pemahaman mengenai simbol Swastika di
Eropa?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai tindakan
strategis yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain sebagai upaya dalam
merekonstruksi pemahaman simbol Swastika di Eropa.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Memberikan gambaran secara umum upaya rekontruksi pemahaman
simbol Swastika di Eropa yang dilakukan oleh The Hindu Forum of
Britain.
7
2. Memberikan gambaran tindakan strategis melalui kampanye, artikel-
artikel jurnalistik serta peluncuran Film Dokumenter “The Story of The
Swastika”.
3. Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu Hubungan
Internasional, relasi antar komunitas dan kesepahaman guna
menciptakan upaya damai dan saling penghargaan.
4. Bagi peneliti (researcher), agamawan, cendikiawan, hasil penelitian ini
dapat dijadikan bahan kajian dan rujukan guna menciptakan upaya
penghargaan ditengah ragam pemikiran dan tradisi antar peradaban.
5. Memberikan informasi yang berguna bagi para pembaca mengenai
konsep-konsep yang digunakan dalam menelaah tindakan strategis oleh
The Hindu Forum of Britain dalam upaya merekonstruksi pemahaman
mengenai simbol Swastika di Eropa.
1.5 Kajian Pustaka
Di dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti
menggunakan beberapa tulisan yang dijadikan referensi di dalam kajian pustaka.
Penelitian pertama yang digunakan sebagai rujukan penulis adalah penelitian yang
dilakukan oleh Wentiza Fadhlia dan Yusnarida Eka Nizmi pada tahun 2014
dengan judul “Upaya ICNA (Islamic Circle of North America) dalam melawan
Islamophopia di Amerika Serikat”. Penelitian kedua yang digunakan sebagai
rujukan penulis adalah penelitian yang dilakukan oleh Edwar Andiko Heri pada
tahun 2012 dengan judul “Strategi Image Restoration pasca kebijakan war on
terrorism; studi kasus penggunaan program @america oleh Kedutaan Besar
8
Amerika Serikat di Indonesia”. Penelitian ketiga yang digunakan sebagai rujukan
penulis adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahmat Haryama dan Indra
Pahlawan pada tahun 2013 dengan judul “Peranan Majalah The New York Times
dalam Membentuk Opini Publik terhadap Wilayah Timur Tengah Pasca Kejadian
9/11 dalam Konteks Propaganda Internasional 2001-2007”.
Penelitian dari Wentiza Fadhlia dan Yusnarida Eka Nizmi (2014)
membahas tentang Islamophopia yang terjadi di Amerika Serikat pasca peristiwa
9/11, bentuk-bentuk Islamophopia serta jaringan dan pendanaan Islamophopia di
Amerika Serikat. Fadhlia dan Nizmi juga membahas lebih jauh mengenai upaya
yang dilakukan oleh ICNA (Islamic Circle of North America) sebagai salah satu
komunitas muslim di Amerika Serikat dalam memerangi Islamophopia di
Amerika Serikat. Mereka menjabarkan upaya-upaya konstruksi ulang pemahaman
Islam melalui media. Bentuk propaganda Islamophopia yang juga dilawan oleh
ICNA dengan propaganda menggunakan publikasi media masa.
Penelitian Fadhlia dan Nizmi ini membantu penulis untuk lebih memahami
bagaimana penggunaan propaganda melalui media dalam merekonstruksi
pemahaman mengenai suatu hal yang krusial bagi sebuah komunitas kepada
masyarakat secara luas. Tulisan Wentiza Fadhlia dan Yusnarida Eka Nizmi
menggunakan teori konstruktivisme dalam membedah tindakan pembangunan
sosial yang dilakukan oleh ICNA (Islamic Circle of North America) untuk
membendung propaganda mengenai Islamophopia yang cukup gencar dilakukan
oleh beberapa media di Amerika Serikat. Jika penelitian Fadhila Nizmi
menggunakan Konstruktivism sebagai pisau analisinya, Penulis menggunakan
9
konsep makna dalam HI, dimana sebuah simbol ataupun suatu hal yang sama bisa
saja memiliki pengertian makna yang berbeda bagi masing-masing orang. Fadhila
dan Nizmi menggunakan konsep propaganda media masa untuk menganalisis
upaya publikasi dalam memerangi islamophobia di Amerika Serikat, sementara
penulis menggunakan konsep tindakan strategis untuk menganalisis salah satu
upaya yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain dalam merekonstruksi
pemahaman simbol Swastika di Eropa yang berupa publikasi artikel jurnalistik
dan film dokumenter.
Penelitian yang dilakukan oleh Edwar Andiko Heri (2012) menjabarkan
mengenai strategi image restoration yang dilakukan oleh Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Indonesia pasca menururnnya pamor Amerika Serikat karena
tagline “war on terrorism” dan beberapa kebijakan yang dianggap kurang populer
bagi penduduk muslim dunia, melalui program @america. Serangkaian upaya
propaganda untuk merestorasi citra Amerika Serikat ini membantu penulis untuk
lebih memahami bentuk bentuk upaya propaganda dalam merestorasi citra suatu
hal yang awalnya baik, kemudian memburuk, lalu berusaha dipulihkan kembali.
Tulisan Edwar Andiko Heri membahas mengenai citra Amerika Serikat yang
baik di mata penduduk muslim dunia sebelum adanya tagline war on terrorism,
lalu memburuk pasca dijalankannya war on terrorism, lalu sekarang berusaha
untuk dipulihkan kembali. Edwar menggunakan konsep public relation, public
diplomacy dan juga konsep restorasi citra untuk melihat bagaimana program
@america ini menjadi sebuah bentuk diplomasi publik yang dapat digunakan
untuk mencapai sebuah pemahaman pada subjek yang dituju sehingga dapat
10
memulihkan citra Amerika Serikat pasca kebijakan “war on terrorism”.
Sementara itu penulis mengedepankan konsep tindakan strategis dan juga
discursive struggle untuk menjelaskan upaya The Hindu Forum of Britain dalam
merekonstruksi pemahaman simbol Swastika di Eropa. Edwar menjabarkan
bahwa program @america yang diluncurkan oleh Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Indonesia untuk memperbaiki citra AS pasca kebijakan “war on
Terrorism” merupakan sebuah strategi diplomasi publik dengan restorasi citra
sebagai tindakan eksekusinya. Sementara itu penulis menjabarkan bahwa upaya-
upaya yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain untuk memperbaiki
pemahaman mengenai Simbol Swastika di Eropa merupakan sebuah perjuangan
diskursif dengan tindakna strategis sebagai pisau eksekusinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmat Haryama dan Indra Pahlawan
(2013) menitik beratkan pada peranan dari majalah The New York Times dalam
membentuk opini publik terhadap Wilayah Timur Tengah pasca kejadian 9/11.
Haryama dan Pahlawan membahas lebih jauh mengenai media sebagai subjek
yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsirannya dan definisinya untuk
kemudian disebarkan kepada khalayak umum. Bentuk propaganda internasional
dalam mengkonstruksi realitas Wilayah Timur Tengah pasca kejadian 9/11.
Haryama dan Pahlawan menggunakan konsep propaganda media masa yang
dikemukakan oleh Chomsky, di mana media menjadi subjek yang ikut
mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri. Penelitian
Haryama dan Pahlawan melihat media sebagai subjek utama yang melakukan
Propaganda secara langsung. Dalam upaya merekonstruksi simbol Swastika, The
11
Hindu Forum of Britain publikasi media masa yang dilakukan meruupakan bentuk
strategic action, yang tidak menempatkan media masa sebagai aktor langsung
yang mengkonstruksi realitas berdasar penafsiran dan definisinya sendiri,
melainkan hanya sebatas menyebarkan informasi “jadi” yang dikonstruksi oleh
The Hindu Forum of Britain.
1.6 Kerangka Konseptual
Penulis akan menggunakan beberapa konsep yang sesuai dengan
penelitian ini diantaranya konsep makna dalam hubungan internasional, konsep
tindakan strategis (concept of strategic action), serta konsep pergulatan
kewacanaan (concept of discursive struggle). Konsep makna dalam hubungan
internasional merupakan sebuah konsep yang menjadi landasan besar penelitian
ini. Konsep makna dalam hubungan internasional dipilih karena memiliki andil
yang besar dalam menjabarkan upaya rekonstruksi pemaknaan simbol Swastika di
Eropa yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain. Sementara itu konsep
tindakan strategis (concept of strategic action) merupakan pisau analisis dalam
membedah upaya yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain dalam
merekonstruksi simbol Swastika di Eropa. Pembangunan kembali atas suatu hal
(rekonstruksi) memerlukan sebuah pemahaman yang holistik yang sedianya
memerlukan sebuah tindakan strategis dalam pelaksanaannya. Sementara itu,
discursive strugggle merupakan keadaan yang sedang dihadapi dan dilakukan
oleh The Hindu Forum of Britain.
12
1.6.1 Makna dalam Hubungan Internasional
Konsep makna dalam hubungan internasional merupakan sebuah
bagian yang tak terpisahkan dari teori-teori mengenai pos-
strukturalisme serta diskursus. Dalam karyanya Poststructuralism
Campbell (2007) mengatakan bahwa setiap pembicaraan dan
pemahaman mengenai politik internasional itu bergantung pada
abstraksi, representasi, serta interpretasi dari subjek yang mencoba
untuk berbicara dan memahami hal tersebut. “Dunia” tidaklah
menampilkan dirinya dihadapan kita dalam bentuk kategori, teori
maupun statement yang sudah siap-jadi. Ini berarti bahwa kapanpun
kita menulis ataupun „berbicara‟ mengenai suatu istilah, saat kita
berusaha memahami arti sebuah kejadian itu kita terikat dalam sebuah
abstraksi, representasi dan juga interpretasi (Campbell: 2007).
Sehingga dengan kata lain interpretasi, abstraksi, maupun representasi
ini tidak bisa dilepaskan dari pemaknaan. Maka kemudian makna
itupun tidak dapat dilepaskan dari subjektivitas si subjek yang
berusaha untuk memahami makna tersebut. Dan dalam
mengeskpresikan pemahaman tersebut maka subjek tak bisa lepas dari
penggunaan bahasa.
Bahasa sendiri telah lama digunakan sebagai sebuah alat
komunikasi bagi manusia. Bahasa juga digunakan sebagai sebuah
cermin dalam merefleksikan dunia luar secara objektif. Pada mulanya
studi bahasa ataupun diskursus serta pemaknaannya belum menjadi
13
sebuah pembelajaran yang didalami oleh para sarjana Hubungan
Internasional. Namun pada perkembangannya, studi bahasa ataupun
diskursus serta pemaknaannya ini mulai dilirik sebagai bahan
pembelajaran, karena berbagai macam alasan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Liu Yongtao dalam “Discourse, Meanings and IR
Studies: Taking the Rhetoric of “Axis of Evil” As a Case”:
However, it has increasingly become a given assumption
in many fields of social sciences that discourse and the
meanings produced by it, have certain social features
and power effects. Besides the function as a mirror and a
tool for representation and communication, language can
also be used instrumentally to perform various social
acts and (re)construct social “realities”. In fact, there has
been in recent years an increasing awareness among IR
students that language has played an indispensable and
powerful role in world politics (Yongtao, 2010:86).
Sebagai sebuah komponen yang tak terpisahkan dari budaya,
bahasa tidak hanya mampu merepresentasikan makna, namun juga
mampu memproduksi makna. Dalam kasus ini, bahasa dinilai sebagai
sebuah sistem simbolis, sistem yang menjabarkan berbagai simbol dan
sekaligus sebagai sebuah bentuk dari social power (kuasa sosial),
khususnya kuasa dalam membentuk sebuah wacana.
Isu mengenai makna juga menjadi salah satu isu yang sering
dibahas ketika membicarakan tentang fingsi wacana sebagai sebuah
praktek social di masyarakat. Sebuah makna dihasilkan oleh tanda-
tanda linguistik (kebahasaan). Makna ini tidak secara alami „given‟
(sudah seperti itu semenjak diberikan) atau „fixed‟ (tetap dan tidak
14
mengalami perubahan. Makna merupakan sebuah produk dari
kebiasaan sosial dan norma-norma.
Para teoritisi strukturalis berargumen bahwa segera setelah makna
sebuah kata dihasilkan, makna ini berada dalam struktur yang stabil
dan tidak dapat diubah. Dengan kata lain, makna sebuah simbol yang
telah dihasilkan memiliki stabilitas (ketetapan) dan fiksasi (pendapat
yang mendalam). Hal ini disebabkan karena makna dari sebuah simbol
itu tidak diperoleh melalui hubungannya dengan realitas eksternal atau
dengan kata lain makna ini tidak dibagikan keluar. Sebaliknya makna
ini diperoleh melalui hubungan internal antar struktur tanda-tanda
yang berbeda. Hal inilah yang membuat makna itu bisa stabil, tetap
dan lengkap segera setelah mereka „given‟ secara sosial. (Yongtao,
2010)
Salah seorang strukturalis, Ferdinand de Soussaure (dalam Hoed,
2003) memastikan bahwa ada hubungan yang jelas antara signified
(petanda) dan signifier (penanda) dari segala teks, wacana, simbol,
bahkan makna. Ferdinand deSaussure dan Levi-Strauss menjelaskan
bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam sebuah
bahasa (Hoed, 2003). Mereka juga menjelaskan bahwa kebudayaan itu
bersifat analog atau serupa dengan struktur bahasa yang
diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner (dua hal yang
bertolak-belakang) seperti hitam-putih, lelaki-perempuan, siang-
malam, gelap-terang, baik-buruk, dan lain sebagainya.
15
Sementara itu para post-strukturalis seperti Michell Foucault dan
Jaques Derrida berseberangan pendapat dengan para strukturalis.
Foucault (1992) dalam The Subject and Power menegaskan bahwa
makna tidaklah stabil, maka dari itulah makna selalu berada dalam
sebuah proses. Makna tidak bisa dibatasi dalam satu kata, kalimat atau
teks khusus. Namun makna itu merupakan hasil dari hubungan
antarteks: atau intertektualitas. Derrida (1972) menyatakan bahwa
manusia berpikir hanya dengan tanda-tanda saja, tanpa sebuah makna
asli yang bersikulasi di luar representasi dari makna tersebut. Dengan
kata lain simbol yang difikirkan sebenarnya tak selalu merujuk pada
satu representasi makna tertentu saja. Namun bisa merujuk pada
representasi makna yang lainnya lagi, sehingga makna dari simbol itu
selalu berubah-ubah.
Dalam karyanya Of Grammatology Jacques Derrida menjelaskan
mengapa makna sebuah simbol itu dapat mengalami perubahan.
That the meanings of signs are always uncertain and
unstable, and that words do not carry universal meanings,
which are, on the contrary, taken as something that is
subject to change. One can give multiple meanings to a
sign through the device of deconstruction, a strategy of
double reading of texts, which aims to unsettle the root
of freezing or fixing meanings (Derrida, 1972: 50)
Seperti yang ditegaskan oleh Derrida di atas, bahwa seseorang
dapat memberikan berbagai pengertian pada sebuah simbol melalui
alat yang disebut dengan dekonstruksi. Dekonstruksi dipandang
sebagai sebuah strategi “double reading” pada sebuah teks atau
16
simbol, yang bertujuan untuk menggoyahkan akar dari makna simbol
atau teks yang telah ditetapkan. Sehingga ketika akar makna yang
telah ditetapkan ini goyah makna simbol atau teks ini dapat dialihkan
ke pemaknaan lain tentang teks ataupun simbol tersebut. Hal ini jelas
mengindikasikan bahwa makna tidak selalu bersifat sama atau tetap,
melainkan makna itu dapat dirubah, atau dengan kata lain dapat di
dekonstruksi.
Michel Foucault (1995) dalam karyanya Discipline and Punish:
The Birth of the Prison juga menjelaskan bahwa makna itu dapat
dirubah bahkan diatur.
Discourse can be regulated; and in the realm of power
social relations, it can affect and create the object of
knowledge, and determine what a “truth claim” is.
Therefore, in social reality, meanings of a sign are not
fluid all the time but can be controlled and even
manipulated in the context of power social relations. Social power determines what can be said, what cannot be
said in a certain social and cultural context; it also
regulates who can say things and when and where to say
them. The speaker is always standing in a specific
position, and is restrained by social relations of power
which regulate and affect his/her discursive practice. A
discourse under the social relations of power can help
construct and maintain certain social order, which is re-
garded as one that is most suitable to power holder‟s
interests, and silence and downplay other social orders
that may threaten the power holders. Therefore, there is a
constitutive relationship between discourse as a form of
knowledge and social power (Foucault, 1995: 194)
Analisis wacana memperingatkan bahwa setiap teks sesungguhnya
tanpa makna. Sebuah teks itu memperoleh maknanya hanya ketika
teks itu berinteraksi dengan teks-teks lain lalu dimasukkan ke dalam
17
konteks sosial dan historis yang luas saat teks-teks tersebut
diproduksi, disebarluaskan dan dikonsumsi.
Menurut poststrukturalisme, wacana yang lebih relevan biasanya
tergantung dari seberapa dekat hubungan wacana ini dengan kekuatan
sosialnya. Dengan kata lain arti suatu hal tertentu itu tergantung pada
bagaimana masyarakat mengkategorikan dan memilah nilai-nilai
tersebut. Apakah nilai makna itu akan bisa dipertahankan atau
digulingkan maupun diperkuat atau justru dihancurkan, itu semua
tergantung pada masyarakat itu sendiri. Analogi sederhananya adalah
ketika ada sebuah negara yang berada dalam posisi dominan (kuat,
paling atas) dalam tatanan politik dunia, maka negara tersebut akan
memiliki lebih banyak kesempatan dan akses untuk memberikan
makna pada sebuah peristiwa tertentu dibandingkan dengan negara-
negara yang kurang kuat posisinya dalam tatanan politik dunia.
Namun kembali lagi apakah makna yang diberikan itu dapat diterima
oleh orang lain, serta bagaimana makna itu mungkin saja
menimbulkan kontroversi atau bahkan resistensi, semua ini pada
gilirannya akan berdampak pada wewenang serta leverage (pengaruh)
makna yang diberikan (Yongtao: 2010).
Dalam konteks di atas, maka pemberian makna juga tidak dapat
dilepaskan dari kuasa si pembuat makna serta alat yang digunakannya.
Seberapa besar kuasa yang dimiliki untuk kemudian menciptakan
sebuah wacana, seberapa kuat rekonstruksi makna sebuah simbol
18
dapat di sebar-luaskan akan menentukan seberapa besar dampak dari
wacana dan rekonstruksi makna tersebut. Sehingga semakin besar
kuasa si pembuat dan penyebar wacana, maka wacana itu berpotensi
menjadi dominan discource (wacana yang paling dominan dan
merupakan wacana utama di masyarakat). Demikian pula sebaliknya,
jika kuasa si pembuat dan penyebar maknanya lemah, wacana tersebut
hanya akan menjadi other discourse (wacana lain yang belum mampu
masuk sebagai wacana utama dan dominan di masyarakat).
Jika dihubungkan dengan konteks penelitian ini, konsep makna
dalam hubungan internasional merupakan basis penting dalam
menjelaskan upaya merekonstruksi pemahaman atas simbol Swastika
di Eropa yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain pasca
digunakan oleh Nazi Jerman. Karena konsep makna dalam hubungan
internasional dapat menjabarkan dan menganalisis proses penciptaan
dan penerimaan diskursus mengenai makna simbol Swastika di Eropa.
1.6.2 Concept of Strategic Action (Konsep Tindakan Strategis)
Teori komunikasi yang dikemukakan oleh Habermas mengacu
pada ide bahwa identitas pribadi dibangun secara intersubjektif
melalui interaksi simbolik, berupa komunikasi (Brown dan Goodman,
2011). Citra diri seseorang terhadap dirinya itu dibentuk saat pribadi
ini berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain. Saat
komunikasi berlangsung, terjadi pertukaran simbol yang telah diberi
makna, kemudian diterima oleh subjek sebagai sebuah pengalaman
19
yang membentuk citra diri mereka. Teori komunikasi menurut
Habermas (1984) bisa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu komunikasi
strategis dan tindakan komunikatif.
Tindakan komunikatif menurut Habermas (1984) bertujuan
untuk mencapai sebuah pengertian yang dikatakan sebagai „telos
inheren‟ dalam percakapan manusia‟. „Telos inheren‟ ini merupakan
bentuk judgement atau kesepakatan penilaian terhadap sesuatu hal
yang ada pada hasil akhir dari hal tersebut. Contoh sederhananya
adalah seseorang membeli bibit lele karena ada telos inheren
(kesepakatan akhir) bahwa bibit lele itu nantinya akan tumbuh dan
hasil akhirnya adalah lele dewasa yang bisa di jual ataupun di
konsumsi. Habermas menganggap mencapai sebuah pengertian
(Verstāndigung) merupakan sebuah proses mencapai suatu mufakat
(Einigung) yang terjadi diantara para subjek-subjek yang berbicara
dan bertindak (Habermas, 1984:286). Tindakan komunikatif dalam
prosesnya juga melibatkan tindakan koordinasi yang digunakan untuk
mencapai suatu tujuan. Dalam tindakan komunikatif relasi antara
bahasa dan tujuan bukanlah sebuah relasi dimana bahasa direduksi
menjadi sebatas alat untuk mencapai tujuan tertentu yang telah
ditetapkan. Dalam tindakan komunikatif yang dijadikan sasaran akhir
bukanlah tujuan tertentu yang sudah ditetapkan diawal melainkan
lebih kepada pencapaian sebuah pengertian atau kesepahaman.
20
Pada tindakan komunikatif, manusia bukanlah objek yang
dimanfaatkan untuk memajukan tujuan-tujuan dari si pembicara yang
sudah ditentukan sebelumnya. Justru sebaliknya, dalam tindakan
komunikatif tujuan disepakati secara timbal balik melalui suatu proses
komunikasi yang mengakui humanitas otonom (hak serta kekuasaan
penuh seseorang untuk menentukan pilihan / tindakann) dari semua
orang yang terlibat (Brown dan Goodman, 2011). Dalam Tindakan
Komunikatif sebuah tindakan sosial dikoordinasikan melalui sebuah
proses pengertian. Proses tercapainya pengertian ini menghasilkan
tujuan-tujuan dan kesepakatan-kesepakatan yang kooperatif. Sehingga
dapat dikatakan komunikasi yang diharapkan terjadi pada tindakan
komunikatif ini merupakan komunikasi dua arah yang menjembatani
subjek maupun objek dalam mencapai sebuah kesepakatan atau
kesepahaman bersama.
Jenis kedua dalam teori komunikasi Habermas adalah tindakan
strategis. Pada tindakan strategis, tujuan dari sebuah tindakan sosial
itu sudah ditentukan terlebih dahulu dan sering kali tersembunyi.
Maksud dari tindakan ini bukanlah untuk mencapai kesepakatan
ataupun kesepahaman bersama melalui komunikasi dua arah
mengenai tujuan mengapa suatu hal perlu di lakukan. Maksud dari
tindakan strategis ini hanya sebatas pada melaksanakan rencana si
subjek secara efektif, utamanya jika para objeknya tidak menyetujui /
21
tidak sepaham dengan maksud dari si pembicara (Brown dan
Goodman, 2011).
Habermas (1982) dalam karyanya A Reply to My Critics
menjelaskan lebih rinci mengenai tindakan strategis:
Walaupun tindakan strategis mempergunakan bahasa dan
mengikutsertakan orang lain, tujuannya tidak inheren
dengan penggunaan bahasa itu dan orang lain diperlakukan
seakan-akan mereka adalah objek. Norma sosial, bahkan
ekspresi subjektif pembicara sendiri, menjadi alat yang
dipergunakan untuk memajukan tujuan-tujuan pembicara
yang sudah lebih dulu ditetapkan. Rasionalitas komunikasi
ini dinilai dalam hubungannya dengan efisiensinya
memerintahkan orang lain untuk melakukan apa yang
dikehendaki pembicara dari mereka (Habermas, 1982: 264).
Pernyataan Habermas menegaskan bahwa subjek berusaha
menggunakan kuasanya utnuk membuat objek dapat menerima tujuan
dan keinginan dari subjek tersebut, tanpa membangun sebuah
kesepahaman yang diperoleh dari komunikasi dua arah. Habermas
(1991) menjabarkan perbedaan antara tindakan strategis dan tindakan
komunikatif lebih rinci dalam karyanya, A Reply:
Perbedaan antara tindakan strategis dan tindakan
komunikatif bukan terletak pada yang satu diorientasikan
pada tujuan dan yang lain tidak. Kedua bentuk tindakan itu
sama-sama melibatkan tindakan koordinasi untuk
mencapai tujuan. Perbedaannya terletak pada relasi antara
tujuan yang dikejar dengan bahasa yang dipergunakan.
Dalam tindakan strategis relasi antara bahasa dan tujuan
merupakan relasi sarana menuju tujuan, dengan bahasa
direduksi menjadi instrumen belaka untuk mencapai
tujuan yang sudah ditetapkan. Tetapi dalam tindakan
komunikatif, tujuannya ialah pengertian, dan sifat tujuan
itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari proses-proses
penggunaan bahasa untuk mencapai tujuan (Habermas,
1991: 241).
22
Perbedaan antara tindakan komunikatif dan tindakan strategis dapat
diringkas sebagai perbedaan antara pengertian timbal-balik (mutual
understanding) dan mempengaruhi timbal-balik (mutual influencing).
Tindakan komunikatif memerlukan struktur praduga yang secara
kualitatif berbeda dengan interaksi-interaksi bahasa yang notabenenya
hanya memanipulasi orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang
sudah ditentukan sebelumnya, seperti yang digunakan pada tindakan
strategis. Pada tindakan komunikatif, individu dikoordinasikan dengan
membangun consensus (kesepakatan bersama) yang daya
koordinasinya diperoleh dari “energi pengikat dan penyatu bahasa itu
sendiri” (Habermas, 1998). Sementara itu tindakan strategis
dikoordinaskan dengan menambah situasi-situasi kepentingan. Pada
tindakan strategis sarana nonbahasa digunakan untuk memanipulasi
situasi, sehingga orang lain menjadi merasa “berkepentingan” untuk
bekerjasama. Tujuan-tujuan egosentris (berpusat pada ego) dari
tindakan strategis bisa dicapai tanpa komunikasi. Dengan kata lain
bahasa hanya digunakan untuk meneruskan informasi atau
mengungkapkan kekuatan, bukan untuk membentuk kesepahaman
antar subjek dan objek (Brown dan Goodman, 2011).
Karena tatacara untuk mengkoordinasikan sebuah tindakan itu sudah
terkandung dalam setiap percakapan pada tindakan komunikatif,
Habermas (1987) dalam The Phylosophical Discource of Modernity:
Twelve Lectures menyatakan:
23
Tindakan strategis menggunakan bahasa hanya sebagai
satu diantara banyak sarana lain untuk koordinasi sosial,
sehingga yang terjadi adalah parasitis (pemanfaatan
sepihak) atas bahasa normal lantaran mempradugakan
normalitas komunikasi demi efektivitas manipulasi-
manipulasinya (Habermas, 1987: 196).
Dalam kutipan diatas Habermas dengan jelas menganggap
tindakan komunikatif lebih beresiko dan kurang efisien jika
dibandingkan dengan tindakan strategis. Hal ini disebabkan karena
metode tindakan komunikatif mengedepankan pembangunan
kesepakatan bersama/ konsensus antara subjek dan objek melalui
sebuah komunikasi dua arah. Dalam komunikasi dua arah sangatlah
memungkinkan terjadi ketidak-sepahaman antara subjek dan objek
yang dapat membuat konsensus tidak bisa dicapai, sehingga cara ini
dinilai menjadi tidak efektif dan beresiko.
Menurut Habermas eksekusi tindakan strategis terletak dari
bagaimana sebuah tindakan digunakan oleh subjek untuk
mempengaruhi objek agar memiliki kesepahaman dengan tujuan yang
ditetapkan oleh subjek tanpa harus terjadi komunikasi dua arah.
Dengan demikian eksekusi tindakan strategis ini tidak mengharuskan
tatap muka antara subjek dan objeknya, sehingga seringkali tindakan
strategis dilakukan menggunakan media masa sebagai penyalur
pemikiran dan tujuan dari subjek kepada objek. Banyaknya varian
yang dimiliki media masa dalam zaman modern ini membuat corong
penyaluran juga semakin banyak, tidak hanya surat kabar dan majalah
cetak saja, bahkan berita online dan film pun bisa menjadi lahan
24
eksekusi tindakan strategis (Brown dan Goodman, 2011). Penggunaan
media masa sebagi penyalur pemikiran dan tujuan ini ditegaskan oleh
Habermas dalam The Thory of Communicative Action Vol.2 Lifeworld
and System: A Critique of Functionalist Reason (1987):
Writing, the printing press, and electronic media mark
the significant innovations in this area; by these means
speech acts are freed from spatiotemporal contextual
limitations and made available for multiple and future
contexts. The transition to civilization was accompanied
by the invention of writing; it was used at first for
administrative purposes, and later for the literary
formation of an educated class. This gives rise to the role
of the author who can direct his utterances to an
indefinite, general public, the role of the exegete who
develops a tradition through teaching and criticism. Dengan demikian cakupan tindakan strategis menjadi luas,
penggunaan media masa memudahkan penyebaran ide serta persuasi
tujuan dari subjek kepada masyarakat atau objeknya. Terlepas dari
penggunaan media sebagai penyalur, aksi langsung yang dilakukan
oleh subjek untuk menggiring objeknya agar sepaham dengan tujuan
yang telah ia tetapkan juga termasuk dalam eksekusi tindakan
strategis. Penyebaran flyer, pemberian surat maupun naskah akademik
bahkan demonstrasi serta audiensi bisa dikategorikan sebagai bentuk
tindakan strategis (Brown dan Goodman, 2011).
Adapun jika dihubungkan dengan konteks penelitian ini, tindakan
strategis ini merupakan payung besar yang menaungi segala bentuk
tindakan yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain dalam
merekonstruksi pemahaman simbol Swastika di Eropa pasca
digunakan oleh Nazi Jerman.
25
1.6.3 Konsep Pergulatan Wacana (Discursive struggle)
Konsep wacana atau diskursus (discourse) mempunyai makna
yang luas. Hal ini disebabkan karena istilah wacana sangat umum
dipakai dalam berbagai disiplin seperti teori kritis, sosiologi,
linguistik, filsafat, psikologi sosial, dan berbagai disiplin lainnya, yang
tentu memiliki definisi makna tersendiri bagi konsep wacana ini.
Michel Foucault (1992) dalam karya The Subject and Power
berpendapat bahwa pandangan tentang suatu objek dibentuk dalam
batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif, di mana
wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek serta definisi dari
persfektif yang paling dipercaya dan dipandang benar.
Persepsi mengenai suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh
praktik diskursif, dalam artian persepsi itu dibatasi oleh pandangan
yang mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain tidak.
Misalkan ketika mendengar kata film India, maka yang terbayang
adalah film dengan nyanyian sambil menari, dengan tokoh utama yang
mengalahkan musuh birokrat dan kepolisian yang korup. Wacana
telah membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran
tertentu dan mengahayati itu sebagai sesuatu yang benar.
Wacana dipandang sebagai sesuatu yang mengarahkan,
membatasi, dan mengkonstruksi realitas ke dalam narasi yang dapat
dipahami. melalui episteme. Pemikiran Foucault (1970) tentang
episteme lebih merujuk kepada makna khusus kata episteme yaitu
26
untuk menunjukkan pengandaian, prinsip, syarat, serta kemungkinan
dan cara-cara pendekatan tertentu di tiap-tiap zaman. Sehingga suatu
realitas dapat dipahami dan dimengerti dengan pernyataan dan
pandangan tertentu dan bukan dengan pernyataan serta pandangan
yang lain.
Jaques Lacan (pada karyanya, Ecrist yang dikutip dalam
Lemaire, 1977) menjelaskan bahwa bahasa sebetulnya tak pernah
mendapatkan tempat pada tataran real. Bahasa tidaklah berhubungan
ataupun direpresentasikan dalam tataran real. Bahasa yang bersifat
„menandai‟ ditujukan bukan untuk mengekspresikan pemikiran atau
menggambarkan realitas yang ada, namun lebih kepada upaya
mengonstitusi subjek sebagai suatu (thing) secara historis dan
geografis, serta secara kultural yang mengarah pada spesifikasi proses
menjadi (being something). Bahkan Lacan menegaskan bahwa Bahasa
memiliki kemampuan untuk memposisikan subjek sebagai social
being karena bahasa itu sendiri mengandung sistem yang dapat
mempredasi (memberikan serangan dan penghancuran langsung)
semua subjek dan harus diasumsikan oleh setiap subjek secara
individual (Bowie, 1991).
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (2001) mengeluarkan
teori wacana yang menjelaskan bahwa wacana dapat membangun
makna dalam dunia sosial. Karena secara mendasar bahasa itu tidak
stabil, maka dari itu makna menjadi tidak pernah bisa tetap secara
27
permanen. Wacana senantiasa mengalami transformasi-transformasi
karena adanya kontak dengan wacana-wacana lain. Inti dari teori
wacana menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe ini adalah
pergulatan wacana (discursive struggle). Berbagai wacana berbeda
yang masing-masing mewakili cara tertentu dalam membicarakan dan
memahami tentang dunia sosial, dan secara terus menerus melakukan
perjuangan satu sama lain untuk mencapai sebuah hegemoni, yakni
menetapkan makna-makna bahasa menurut caranya sendiri. Sehingga
hegemoni dalam hal ini dipahami sebagai dominasi satu prespektif
khusus terhadap perspektif lainnya.
Adapun jika dihubungkan dengan konteks penelitian ini,
serangkaian upaya merekonstruksi pemahaman makna simbol
Swastika di Eropa yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain
berupakan bentuk dari sebuah discursive struggle atas makna simbol
Swastika itu sendiri.
1.7. Metode Penelitian
Metode penelitian hakekatnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat
empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan, dan
kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian yang didasarkan pada ciri-ciri
keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti kegiatan
penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau
oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat
28
diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan
mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis artinya, proses yang digunakan
dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis
dan data yang diperoleh melalui penelitian itu adalah data empiris (teramati) yang
mempunyai kriteria tertentu yang valid (Sugiyono, 2013).
1.7.1 Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif
untuk mendapatkan data yang mendalam. Penelitian kualitatif berbeda
dengan penelitian kuantitatif karena penulisan kualitatif tidak
menekankan pada makna. Filasafat postpositivisme merupakan filsafat
yang mendasari penelitian kualitatif dimana filsafat positivisme
memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang utuh, kompleks
dinamis,penuh makna, dan memiliki hubungan yang bersifat timbal
balik, dan obyek penelitian dari penelitian kualitatif adalah obyek
yang alamiah dan instrumen penelitian ini adalah penulis itu sendiri
(human instrumen) (Sugiyono, 2013). Penelitian ini tergolong
sebagai penelitian kualitatif karena di dalam penelitian ini meskipun
terdapat hipotesa tetapi tidak menguji hipotesa tersebut. Lalu, di
dalam penelitian ini instrumen utamanya adalah penulis sendiri dan
tidak menggunakan kuesioner.
1.7.2 Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah upaya rekonstruksi pemahaman
simbol swastika yang dilakukan oleh The Hindu Forum of Britain dan
29
penulis mengambil waktu pelaksanaan kegiatan tersebut yakni 2005 -
2014. Penulis mengambil periode tersebut karena tindakan strategis
ini dilakukan selama periode tersebut.
1.7.3 Sumber Data
Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah sumber data
sekunder, yang diperoleh dari mengumpulkan data-data yang
diperlukan dalam penelitian atau mengumpulkan referensi dan
literatur yang relevan dengan penelitian, baik melalui buku, jurnal
akademik, internet, elektronik atau media massa yang memiliki
keterkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis.
1.7.4 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah community yaitu anggota The
Hindu Forum of Britain.
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah teknik
telaah pustaka (Library Research) yaitu dengan cara pengumpulan
data dengan menelaah sejumlah literatur yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan diteliti.
1.7.6 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi
dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
30
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat
kesimpulan sehingga dapat dipahami baik oleh diri sendiri maupun
orang lain (Sugiyono, 2013).
Dalam hal ini penulis akan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya
melalui buku, internet, elektronik atau media masa yang memiliki
keterkaitan yang relevan dan berhubungan dengan permasalahan yang
akan diteliti penulis yaitu, publikasi yang terkait dengan usaha
rekonstruksi makna simbol Swastika di Eropa yang dilakukan oleh
The Hindu Forum of Britain. Selain itu data diperoleh dengan
melakukan wawancara dengan sejumlah pihak terkait dan expert
schoolars seperti: pengurus The Hindu Forum of Britain, wartawan
internasional yang pernah menulis terkait masalah ini serta tokoh-
tokoh Hindu dunia yang concern dengan masalah ini. Proses analisis
data dapat dilakukan sebagai berikut :
1.7.6.1 Penyajian Data
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa
dilakukan dalam melalui media baik melalui uraian atau
essay singkat, hubungan antar kategori, bagan, dan
sejenisnya. Menurut Miles dan Huberman, di dalam
penelitian kualitatif teks yang bersifat naratif menjadi
media yang paling sering dipakai dalam menyajikan data
kualitatif (seperti yang dikutip Sugiyono, 2013).
31
1.7.6.2 Kesimpulan
Di dalam setiap kegiatan Penelitian, penarikan
kesimpulan merupakan hal terakhir yang dilakukan oleh
penulis. Di dalam penarikan kesimpulan ini, penulis hanya
akan meringkas intisari tulisan.
Dalam penyajian data ini penulis akan mengumpulkan
sebanyak-banyaknya data yang relevan dengan
permasalahan yang akan diteliti dan selanjutnya akan
melakukan pembahasan serta penarikan kesimpulan.
1.8 Asumsi Dasar
Upaya-upaya terkait usaha rekonstruksi makna simbol Swastika di Eropa
merupakan salah satu bentuk tindakan strategis yang dilakukan oleh The Hindu
Forum of Britain.
1.9 Sistematika Penelitian
Sistematika Penulisan dibutuhkan untuk memudahkan penulis dalam
memahami alur dari penelitian ini, agar sesuai dengan judul atau pertanyaan
penelitian yang sudah ditetapkan oleh penulis. Adapun sistematika penelitian
yaitu :
BAB I : Dalam bab ini Penulis akan mendeskripsikan
permasalahan yang akan diteliti yang meliputi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian pustaka, kerangka konseptual, metode
penelitian, hipotesis dan sistematika penelitian.
32
BAB II : Pada bab II, Penulis akan membahas mengenai Persebaran
Swastika di Dunia, Makna Swastika bagi Hindu, makna
Swastika bagi Nazi, dan makna Swastika pasca fasisme
Nazi.
BAB III : Pada bab III ini, Penulis akan menjelaskan mengenai
Gambaran umum The Hindu Forum of Britain,
Departemen di The Hindu Forum of Britain, Struktur
Organisasi The Hindu Forum of Britain.
BAB IV : Pada bab IV ini, Penulis akan menjelaskan mengenai
Urgensi Rekonstruksi Pemahaman Simbol Swastika di
Eropa Menurut The Hindu Forum of Britain dan Upaya
The Hindu Forum of Britain dalam Merekonstruksi
Pemahaman Simbol Swastika di Eropa
BAB IV : Kesimpulan