BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas...

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas konflik dan Permasalahannya Konflik yang terjadi di Maluku sejak Januari 1999 telah menimbulkan kehancuran dan penderitaan yang berkepanjangan. 1 Konflik tersebut dibagi dalam 4 tahapan yakni : Januari 1999, Juli 1999, Desember 1999 dan Juni 2000-2002. 2 Korban jiwa yang ditimbulkan selama konflik lebih dari 10.000 orang, 500.000 pengungsi yang tersebar, 500 gedung ibadah dan 60.000 rumah yang musnah, ratusan sekolah, rumah sakit, fasilitas pendidikan, perkantoran pemerintahan dan pusat perekonomian yang hancur. 3 Konflik tersebut bukan saja menimbulkan korban jiwa dan harta benda tetapi juga mengakibatkan tekanan psikologis yakni rasa takut, trauma dan kesedihan akibat berbagai tindakan kekerasan yang terekam dalam ingatan dan sulit dilupakan. Dalam kenyataannya para ahli mencoba mengkaji tentang latar belakang terjadinya konflik di Maluku. Berbagai pendapat yang dikemukakan juga berbeda- beda bergantung dari sudut pandang/analisa mereka terhadap konflik yang terjadi. Dari berbagai pemaparan terhadap konflik dan analisanya menurut para ahli, 1 Menurut Lambang Trijono konflik di Maluku merupakan konflik terburuk bila dibandingkan dengan konflik yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yakni Posso, Kalimantan Barat dan Timur, Aceh dan Papua. Lambang Trijono & P.Tanamal (ed), The Making of Ethnic and Religious Conflicts in Southeast Asia : Case and Resolutions, CSPS , Yogyakarta; 2004, p. 231. 2 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h.109-121. Bdk. Lambang Triyono, Keluar dari Kemelut Maluku, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 37-63. 3 Ibid, p. 108.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

1.1.1. Realitas konflik dan Permasalahannya

Konflik yang terjadi di Maluku sejak Januari 1999 telah menimbulkan

kehancuran dan penderitaan yang berkepanjangan.1 Konflik tersebut dibagi dalam

4 tahapan yakni : Januari 1999, Juli 1999, Desember 1999 dan Juni 2000-2002.2

Korban jiwa yang ditimbulkan selama konflik lebih dari 10.000 orang, 500.000

pengungsi yang tersebar, 500 gedung ibadah dan 60.000 rumah yang musnah,

ratusan sekolah, rumah sakit, fasilitas pendidikan, perkantoran pemerintahan dan

pusat perekonomian yang hancur.3 Konflik tersebut bukan saja menimbulkan

korban jiwa dan harta benda tetapi juga mengakibatkan tekanan psikologis yakni

rasa takut, trauma dan kesedihan akibat berbagai tindakan kekerasan yang terekam

dalam ingatan dan sulit dilupakan.

Dalam kenyataannya para ahli mencoba mengkaji tentang latar belakang

terjadinya konflik di Maluku. Berbagai pendapat yang dikemukakan juga berbeda-

beda bergantung dari sudut pandang/analisa mereka terhadap konflik yang terjadi.

Dari berbagai pemaparan terhadap konflik dan analisanya menurut para ahli,

1 Menurut Lambang Trijono konflik di Maluku merupakan konflik terburuk bila dibandingkan dengan konflik yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yakni Posso, Kalimantan Barat dan Timur, Aceh dan Papua. Lambang Trijono & P.Tanamal (ed), The Making of Ethnic and Religious Conflicts in Southeast Asia : Case and Resolutions, CSPS , Yogyakarta; 2004, p. 231. 2 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h.109-121. Bdk. Lambang Triyono, Keluar dari Kemelut Maluku, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 37-63. 3 Ibid, p. 108.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

2

paling tidak dipetakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik antara Salam dan

Sarani4 di Maluku.

Pertama, penyebab konflik adalah faktor politik. Pandangan tersebut

menyatakan bahwa konflik yang terjadi antara Muslim dan Kristen di Maluku erat

kaitannya dengan kepentingan atau rekayasa elit politik baik di tingkat pusat

maupun di tingkat lokal.5 Bahwa kerusuhan yang terjadi di Maluku termasuk di

beberapa daerah lainnya seperti Aceh dan Timor tidak dapat dipisahkan dari

situasi dan pengaruh perpolitikan pada tataran elit politik di tingkat pusat maupun

di daerah.

Kedua, konflik Maluku terkait dengan faktor ekonomi. Pandangan ini

salah satunya dikemukakan oleh J. Manuputty.6 Menurutnya, tidak merata proses

pembangunan dari pemerintah pusat menyebabkan sebagian besar masyarakat

hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Tingginya angka ketergantungan

dari pemerintah lokal terhadap pemerintah pusat yang bersifat sentralistik

menimbulkan kesenjangan ekonomi antar wilayah dan masyarakat semakin

melebar.7 Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1999 dan kerusuhan semakin

mempertajam kesenjangan ini. 8

4 Salam menunjuk kepada masyarakat yang beragama Muslim sedangkan Sarani menunjuk kepada masyarakat yang beragama Kristen. 5 Stokhof dan Murni Jamal (ed), Konflik Komunal di Indonesia Saat ini, Jakarta : INIS, 2003, h 71. Bdk. John Piris, Tragedi Maluku : Sebuah Krisis Peradaban, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 154. 6 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h 78-79. 7 Ibid. Bdk. Lambang Triyono, Keluar dari Kemelut Maluku, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 26. 8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon pendatang saat dibakarnya pasar Batu Merah (lokasi Muslim) turut juga berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi. Lambang Trijono, Keluar dari Kemelut Maluku, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 43

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

3

Ketiga, faktor budaya. Hal ini terkait dengan kebijakan pembangunan

yakni pemberlakuan UU No 4 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan

Daerah dan UU No 5 tahun 1979 tentang sistim Pemerintahan Desa turut

menciptakan guncangan kebudayaan akibat perubahan radikal dan struktur dan

tatanan masyarakat adat.9 Hal ini didukung pula oleh pesatnya perkembangan

Ilmu dan teknologi sehingga melemahnya sistim adat dan terjadi pergeseran nilai

dan perilaku sehingga masyarakat teralienasi dari budayanya.

Keempat, faktor agama. Pandangan ini mengatakan konflik Maluku

sebagai konflik agama. Salah satunya Suedy Marasabessy yang mengatakan

bahwa pada saat konflik, agama sangat berperan menjadi pemicu dalam

melanggengkan terjadinya konflik yang berkepanjangan.10 Bahkan jika

dibandingkan dengan isu-isu lainnya, isu konflik agama merupakan salah satu isu

yang dominan sehingga mengkondisikan masyarakat berhadap-hadapan dan saling

membantai.11 Simbol-simbol agama digunakan sebagai alat untuk saling

menyerang satu dengan yang lainnya. Militansi pembelaan terhadap agama

dikedepankan sebagai justifikasi untuk membantai komunitas yang beragama lain

bahkan penafsiran-penafsiran Kitab Suci digunakan secara bebas untuk

membangun klaim-klaim pembenaran terhadap keharusan perang suci.12

Dari realitas konflik dan permasalahannya yang telah penulis paparkan

secara umum di atas, maka fokus perhatian penulisan ini akan dibatasi pada

9 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h. 83-85. 10 Suedy Marasabessy (ed), Maluku Baru, Jakarta: 2002, h. 29-33. 11 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h. 130. 12 Ibid.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

4

pembacaan teks-teks Kitab Suci selama konflik. Hal ini disebabkan karena

pembacaan tersebut menimbulkan problematik secara etis maupun teologis.

Bertolak dari problematik tersebut maka dibutuhkan suatu kajian yang lebih

mendalam terhadapnya.

1.1.2. Pembacaan Teks-teks Kitab Suci selama Konflik dan Rekonsiliasi

Selama konflik, teks-teks Alkitab yang bernuansa kekerasan sering

dibaca untuk melegitimasi tindakan kekerasan terhadap komunitas lain ketika

diserang. Teks-teks tersebut di antaranya teks-teks perang (Perjanjian Lama) yang

mengisahkan peperangan bangsa Israel melawan bangsa sekitarnya, teks-teks

yang berisi gambaran Allah sebagai divine warrior atau pahlawan perang. Teks-

teks tersebut sangat diminati oleh pembaca selama konflik. Sedangkan dalam

Perjanjian Baru, salah satu teks yang biasa digunakan yakni teks kematian dan

kebangkitan/kemenangan Yesus. Teks-teks tersebut mendorong mereka untuk

berjuang melawan musuh mereka (komunitas Muslim). Terkait dengannya

terkadang simbol-simbol agama digunakan untuk melegitimasi berbagai tindakan

peperangan yakni Kitab Suci13, lagu-lagu/nyanyian14, lambang/gambar dan

pakaian.15 Sebelum terjadinya konflik, teks-teks tersebut jarang bahkan tidak

pernah dimaknai secara demikian. Tetapi selama konflik, teks-teks tersebut

digunakan untuk membenarkan berbagai tindakan mereka. Dalam kenyataannya

pembacaan dan pemaknaan terhadap teks-teks tersebut hanya bersifat fungsional

yakni berlangsung selama konflik. Setelah konflik, pembacaan terhadap teks-teks 13 Hal ini nampak dari penggunaan Kitab Suci selama konflik di saku-saku kemeja, celana, dll. 14 Salah satu lagu yang dinyanyikan selama konflik adalah lagu Laskar Kristen Maju. 15 Pakaian yang digunakan menunjuk kepada identitas masing-masing. Putih adalah simbol dari komunitas Muslim sedangkan hitam, merah atau ungu menunjuk komunitas Kristen.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

5

perang untuk melegitimasi kekerasan juga mengalami perubahan. Terhadap cara

membaca teks-teks Alkitab yang dilakukan selama konflik, membutuhkan adanya

suatu tanggapan kritis.

Penulis beranggapan bahwa pembacaan dan pemaknaan terhadap teks-

teks Kitab Suci selama konflik tidak dapat dipisahkan dari situasi sosial mereka

yakni situasi konflik dan penderitaan. Berdasarkan kesadaran inilah, penulis

mendalami tesis ini yakni pembacaan teks-teks Alkitab selama konflik dan

rekonsiliasi. Perhatian penulis ini didasarkan atas : 1) Kesadaran akan

situasi/konteks pembaca yakni konteks kekerasan dan penderitaan; 2) Realitas

keberadaan Muslim-Kristen di Maluku; 3) Adanya keprihatinan terhadap

persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi; 4) Perhatian penulis terhadap

pembacaan Alkitab terkait dengan perbaikan kehidupan bersama antar umat

beragama.

Asumsi yang dimunculkan yakni adanya hubungan erat antara

pembacaan teks-teks Kitab Suci selama konflik dan rekonsiliasi. Pembacaan teks-

teks Kitab Suci selama konflik tak dapat dipisahkan dari pengalaman, nilai,

tradisi/budaya pembaca yakni masyarakat Maluku. Lewat suatu pendalaman

terhadap konteks pembaca, penulis akan melakukan suatu analisis terhadap

pembacaan teks-teks Alkitab yang dilakukan oleh pembaca.

1.1.3. Sekelumit tentang Rekonsiliasi

Dalam penulisan ini penulis akan menggunakan ilmu sosial (sosiologi)

sebagai salah satu pendekatan untuk tafsir teks-teks Alkitab. Dengan mengacu

pada sumbangan teori rekonsiliasi, penulis berupaya mendalami dan menganalisa

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

6

gejala sosial dan perilaku manusia dalam teks-teks yang akan ditafsir maupun

dalam konteks sosial pembaca sekarang. Membicarakan tentang rekonsiliasi

mencakup suatu pengertian yang sangat luas sebab ada banyak defenisi yang

diungkapkan oleh para ahli. Oleh sebab itu penulis akan memberikan pembatasan

tentang pengertian rekonsiliasi dan cakupannya menurut para ahli.

Dalam kamus Bahasa Indonesia, istilah rekonsiliasi menunjuk kepada

suatu tindakan untuk memulihkan persahabatan pada keadaan semula atau suatu

upaya untuk menyelesaikan perbedaan.16 A.Yewangoe mengungkapkan

rekonsiliasi mencakup 3 (tiga) dimensi yakni pemulihan hubungan dengan Allah,

pemulihan relasi dengan sesama dan pemulihan hubungan dengan

lingkungan/alam.17

Membicarakan rekonsiliasi tidak dapat dipisahkan dari situasi konflik

sebab dari situlah rekonsiliasi berawal. Rekonsiliasi tercakup di dalamnya

resolution conflict yakni suatu penyelesaikan konflik dengan memusatkan

perhatian kepada sumber atau akar konflik.18 Dalam resolusi konflik perhatian

kita terarah kepada masalah keadilan, masalah persamaan dan harkat

16 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, h.942. Pengertian tersebut identik dengan kata perdamaian yang diterjemahkan dari kata Inggris reconciliation artinya suatu upaya untuk menyatukan 2 atau lebih gagasan/ide, situasi, dengan pihak lain atau menunjuk kepada akhir perpecahan. Lht.Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Edisi ke 5, New York : Oxford University Press, 1995, p. 974. Dalam bahasa Yunani, istilah yang digunakan untuk rekonsiliasi yakni kattalasso yang artinya menukar, yang menunjuk kepada suatu pemulihan antara manusia dengan Tuhan. H.G. Link & C. Brown (ed) dalam The International Dictionary of New Testament Theology, Vol 3, Grand Rapids: Pateroster Press, 1987, p. 166. Sedangkan Alan Richardson & John Bowden mendefenisikan rekonsiliasi sebagai suatu perubahan yang dicapai lewat tindakan atau pembayaran jaminan dari partner-partner yang sedang dalam persoalan untuk mencapai suatu keharmonisan. Alan Richardson & John Bowden, The International Dictionary of New Testament Theology, Vol 3, Grand Rapids: Pateroster Press, 1987, p. 166. 17 A.Yewangoe, Pendamaian, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983, h. 3. 18 Hugh Miall (dkk), Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h 31.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

7

kemanusiaan, masalah penyelesaian konflik bagi keseimbangan dan pengendalian

ekologis.19 Terkait dengan permasalahan tersebut langkah-langkah resolusi

konflik mencakup de-eskalasi konflik, proses negosiasi sampai kepada

pembangunan damai (peace building).20

Mencari de-eskalasi konflik adalah langkah awal dari tahapan

penyelesaian konflik. Upaya tersebut dilakukan karena adanya konflik bersenjata

memakan korban jiwa sehingga proses resolusi konflik terpaksa bergandengan

dengan militer. Sedangkan proses negosiasi adalah tahapan dalam resolusi konflik

yang melibatkan, baik pihak-pihak yang bersengketa maupun pihak ketiga untuk

mencari kesepakatan antar aktor-aktor konflik. 21 Para ahli membedakan ada dua

pendekatan dalam negosiasi yakni pendekatan integratif atau positive-sum dan

pendekatan tawar menawar atau zero-sum. Pendekatan integratif menunjuk

kepada suatu upaya merekonsiliasi posisi sengketa kemudian memenuhi

kepentingan, nilai dan keperluan mendasar sedangkan pendekatan tawar menawar

terkait dengan pemberian kompensasi (ganti rugi).22 Menurut Hugh Miall proses

negosiasi adalah suatu titik balik/titik perekat menuju proses damai, tidak akan

19 Ibid, p. 59. 20 Ibid, h.191-297. Bdk Komnas HAM, “Empat Tahapan Resolusi Konflik menurut Komnas HAM”, http://www.komnasham.or.id.publikasiwacana/no 09 thn II.htm.17 Juni 2004. 21 Proses negosiasi mencakup 4 (empat) model yakni represi, arbitrasi, mediasi dan negosiasi. Istilah represi menunjuk kepada peranan salah satu pihak yang menentukan di antara ke dua belah pihak yang terlibat dalam konflik; arbitrase yakni adanya pihak ketiga yang tiba-tiba muncul dan menentukan dalam penyelesaian konflik di antara ke dua belah pihak yang bertikai; mediasi terjadi jika adanya campur tangan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik di antara dua belah pihak yang berkonflik dan proses penyelesaiannnya ditentukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; sedangkan istilah negosiasi sendiri menunjuk adanya keterlibatan langsung antara pihak-pihak yang terlibat konflik dalam proses penyelesaian konflik. Bdk. Hasil Lokakarya Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP), Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1999. 22 Hugh Miall (dkk), Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 268.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

8

berjalan dengan baik jika tidak ada respons timbal balik di antara ke dua belah

pihak yang bertikai. Itulah sebabnya mengawali proses tersebut, mesti ada

tawaran kepada ke dua belah pihak yang terlibat yakni melakukan gencatan

senjata atau melanjutkan kekerasan. Menolak gencatan senjata maka kekerasan

akan terus berlanjut sebaliknya memilih gencatan senjata adalah suatu titik balik

menuju proses damai.23

John Paul Lederach24 mengatakan bahwa rekonsiliasi mencakup suatu

upaya transformasi konflik yang mencakup aspek personal yakni spiritual,

emosional, psikis dan persepsi; aspek relasional yakni menyangkut

relasi/hubungan; aspek struktural yakni menemukan akar konflik dan situasi sosial

serta mengupayakan mekanisme non kekerasan sehingga mengurangi terjadinya

konfrontasi dan menemukan kebutuhan dasar manusia (kebenaran dan keadilan);

aspek kultural (tradisi/budaya yang dimulai dari masyarakat).

Bagi Daan Bronkhost upaya rekonsiliasi mesti berorientasi pada victims

serta upaya-upaya rehabilitasi hak dan martabat mereka.25 Berbagai tindak

kekerasan dan kejahatan telah melahirkan kehancuran dan penderitaan yang

mendalam. Sehingga lewatnya para korban diberikan kesempatan untuk

23 Ibid. p.263-268. 24 John Paul Lederach, The Little Book of Conflict Transformation, Intercourse: Good Books, 2003, p.14, 27. Menurutnya transformasi konflik sebagai suatu upaya mengimpikan dan respon untuk menyurutkan dan mengelola konflik sosial sebagai peluang yang memberikan kehidupan demi menciptakan suatu perubahan konstruktif yang mereduksikan kekerasan, menambah keadilan dalam interaksi langsung dengan struktur sosial dan jawaban untuk persoalan-persoalan yang riil dalam relasi manusia. Bdk. Carolyn Schrock-Shenk (Ed.), Mediation and Facilitation Training Manual-Foundation and Skills for Constructive Conflict Transformatiuon, fourth edition, Pennsylvania: Mennonite Conciliation Service, 2000, p. 51-83. 25 Daan Bronkhorst, Truth and Reconciliation, Obstacle and Opportunities for Human Rights, Trans by. Tim Penerjemah ELSAM, Amsterdam: Amnesty Internasional Dutch Section, 1995, p. 126-129. Bdk Geiko Muller-Fahrenholz, Pengampunan Membebaskan : Pengampunan dan Rekonsiliasi dalam Masyarakat,, trans by. Yosef Florisan & Georg Kichberger, Maumere : Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnold Jansen, 1999, h.117.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

9

menceritakan pengalaman-pengalaman pahit (luka, benci/marah, dukacita)

mereka yang selanjutnya akan membawa kepada pengampuan. Oleh sebab itu

bagi R. J. Schreiter, rekonsiliasi tanpa pengampunan bukanlah rekonsiliasi, sebab

pengampunan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi.26 Menurut Geiko F.

Muller, pengampunan bukan berarti melupakan pengalaman pahit masa lalu

sebab pengalaman-pengalaman pahit tersebut tidak dapat sekejap hilang dalam

lubang pelupaan kita.27 Sehingga berbicara tentang pengampunan erat kaitannya

dengan proses mengingat.28 Artinya relasi antara pengampunan dan perihal

mengingat akan memancarkan cahaya baru tentang pengampuan sebagai suatu

proses yang membebaskan orang dari rantai rasa bersalah dan rasa malu masa

lampau, supaya memulai jalan yang lebih konstruktif menunju masa depan.

Menurut Paulus S. Widjaja, komitmen untuk rekonsiliasi tak akan

pernah terwujud jika proses pengampunan diabaikan.29 Terkait dengannya Paulus

S. Widjaya membagi pengampunan dan rekonsiliasi menurut Donald W. Shriver

dalam 4 (empat) elemen penting yakni : 1) Penilaian moral yakni proses

pengampunan yang diawali dengan tindakan mengingat kejahatan yang telah

terjadi dan memberikan penilaian moral atas kejahatan tersebut secara tegas dan

gamblang. Hal ini bertujuan dalam rangka meyakinkan para korban bahwa pelaku

telah benar-benar bercerai dengan masa lalu dan diikuti dengan pengakuan akan

26 Robert J.Schreiter, “Reconciliation and Forgiveness in Twenty-First Century Mission”, dalam Rein Fernhout dkk (ed), Fullness of Life For All, Challenges for Mission in Early 21st Century, Amsterdam-New York: NY, 2003, p. 191-216. 27 Geiko Muller-Fahrenholz, Pengampunan Membebaskan,Pengampunan dan Rekonsiliasi dalam Masyarakat, Maumere : Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnoldus Janssen, 1999, h. 54-58. 28 Ibid. 29 Paulus S. Widjaja, “Rekonsiliasi Antar Umat Beragama, Refleksi Pengalaman Lapangan”, dalam Basilica Dyah Putranti & Asnath N. Natar (ed), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi, Perspektif Teologi dan Praktis, Yokyakarta: Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana, 2004. h.69-71.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

10

kesalahan serta permohonan pengampunan; 2) Penolakan upaya balas dendam; 3)

Empati, yakni suatu sikap mengakui dan turut merasakan apa yang di alami oleh

pihak lain baik terhadap pelaku maupun korban. Sikap tersebut didasarkan oleh

kasih yang membuka jalan bagi proses pengampunan; 4) Rekonsiliasi dan

restorasi hubungan yang rusak.

C. Villa Vicencio mengungkapkan bahwa rekonsiliasi merupakan

Telling One Another Stories yakni suatu proses saling bercerita satu dengan yang

lainnya.30 Cerita/kisah tersebut adalah cerita yang benar (true stories), cerita

tentang rahasia kehidupan yakni tentang peristiwa-peristiwa yang melukai dan

menyembuhkan, cerita yang memberikan kehidupan dan kematian. Lewat proses

saling bercerita maka kita dapat belajar untuk mengerti kisah atau cerita orang

lain, untuk belajar mengasihi orang lain dan untuk memaafkan mereka yang

melakukan kejahatan sehingga rekonsiliasi dapat dimulai. Proses mana menurut

Vicencio erat kaitannya dengan persoalan spiritualitas.31

Menurut R. Schreiter, membicarakan warta rekonsiliasi Kristen tidak

dapat dipisahkan dari karya/Anugerah Allah sehingga lewatNya para korban

memperoleh kekuatan untuk bergiat dalam upaya rekonsiliasi.32 Bertolak dari

pemikiran inilah menurut Schreiter rekonsiliasi merupakan sebuah spiritualitas

yang mencakup suatu panggilan atau cara hidup yang mendorong sesorang untuk

terlibat dalam kegiatan/upaya rekonsiliasi. Bagi Schreiter, sebagai suatu

30 Charles Villa-Vicencio, “Telling One Another Stories”, dalam Gregory Baum & Harold Wells (ed), The Reconciliation of Peoples, Challenge to the Churches, New York: Orbis Books, 1997, p. 30-40. 31 Ibid, p.37-38. 32 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, NTT: Nusa Indah, 2000, h. 47-49.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

11

spiritualitas, rekonsiliasi mencakup sikap mendengar dan menunggu, sikap

perhatian dan keprihatinan serta sikap mental pasca pembuangan. 33

1.1.4. Teks-Teks Yang Dibaca Selama Konflik, Sebuah Acuan

Ada 2 bagian teks yang digunakan sebagai ajuan dalam penulisan ini

yakni : teks perang dalam Ulangan 20 :1-20 dan teks kebangkitan Yesus dalam

Lukas 24:1-35. Penulis akan melakukan telaah terhadap teks-teks tersebut dengan

masukan ilmu sosial yang menurut penulis mengandung nilai-nilai rekonsiliasi

dan perlu digali secara mendalam dari konteks pembaca. Teks-teks tersebut

memang belum pernah dikaji secara mendalam oleh para penafsir dari perspektif

pembaca yakni rekonsiliasi.

Yongki Karman34 dalam tulisan tentang teks-teks perang mengusulkan

adanya dua tahapan dalam penafsiran teks-teks tersebut, pertama yakni menafsir

teks-teks perang dalam kerangka kerajaan Allah; kedua menafsirkannya dari

tuntutan hak-hak asasi modern di mana visi damainya dikembangkan. Apa yang

dipaparkan oleh Karman (point kedua) dapat dijadikan sebagai ajuan dalam

mendalami teks-teks perang dari perspektif pembaca yakni rekonsiliasi.

Sedangkan upaya mendalami teks kebangkitan/kemenangan dalam Lukas 24:1-35 33 (1) Sikap mendengar dan menunggu, suatu sikap di mana para korban menceritakan kisah hidup mereka dalam membangun suatu kisah hidup yang baru. Sikap menunggu menunjuk kepada suatu sikap aktif untuk menjadi tenang dan memberkan kesempatan untuk kenangan masa lalu muncul sambil menantikan rahmat pendamaian Allah; (2) Sikap perhatian dan keprihatinan. Sikap perhatian menunjuk kepada suatu sikap yang diarahkan kepada Allah tetapi juga menyembuhkan kenangan yang sakit. Sedangkan sikap keprihatinan atau compassio yakni merasakan dan menderita bersama. Sikap ini bertumbuh dari sikap menunggu dan berada bersama untuk berjalan berdampingan dengan korban dalam derap langkahnya; (3) Sikap mental pasca pembuangan, terkait erat dengan tulisan-tulisan Alkitab pasca pembuangan yang perlu direnungkan sehingga memberikan spiritualitas rekonsiliasi makanan rohani. Sehingga lewatnya rekonsiliasi mengalir dari dalam hati dan jiwa setiap orang. Ibid, p. 74-77. 34 Yongki Karman, “Perang: Problem Teologis dan Reinterpretasi” dalam Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, h.161.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

12

memang pernah didalami secara khusus oleh Robert Schreiter.35 Apa yang

dipaparkan oleh Schreiter ini memberikan peluang dalam mendalami pembacaan

teks-teks Kitab Suci dari pengalaman pembaca di Maluku.

Adapun alasan sehingga penulis mengangkat ke 2 teks ini yakni : 1)

Teks-teks tersebut bernuansa kekerasan yang digunakan oleh para pembaca dalam

konteks konflik. Ulangan 20 :1-20 berisi hukum-hukum perang yang dibaca oleh

para pembaca untuk memberikan spirit dalam berperang. Demikian juga Lukas 24

:1-35 yakni teks pengorbanan Yesus (peristiwa kebangkitan/kemenanganNya

dalam menghadapi kematian/maut; 2) Teks-teks tersebut jika dikaitkan dengan

konteks pembaca dpat memberi masukan bukan saja dalam konteks

konflik/perang tetapi juga penderitaan sebagai akibat yang ditimbulkan

konflik/perang; 3) Ke dua teks tersebut saling melengkapi satu dengan yang

lainnya jika dibaca dari perspektif rekonsiliasi dengan mempertibangkan konteks

pembaca dan keprihatinannya. Teks PL, Ulangan 20:1-20 mencakup realitas

konflik dan penyebabnya sebagai konteks rekonsiliasi, upaya-upaya

menghentikan konflik (resolusi konflik) sampai proses negosiasi, upaya

perlindungan terhadap hak-hak manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sedangkan

teka PB, berfokus pada upaya pembangunan damai/rekonsiliasi yang mencakup

dimensi personal dan relasional yang mana saling melengkapi dan memberikan

masukan bagi konteks pembaca.

Upaya mendalami teks-teks Kitab Suci dari pengalaman pembaca

setidaknya turut didukung oleh adanya diskursus penafsiran Alkitab yang

35 Robert J. Schreiter, Pelayanan Rekonsiliasi : Spiritualitas dan Strategi, Flores : Nusa Indah, 2001, h.40-81.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

13

mengacu pada perspektif pembaca. Di bawah ini penulis akan memberikan

gambaran sekilas menyangkut signifikansi dari penafsiran tersebut.

1.1.5. Signifikansi Metode atau Pendekatan Tafsir dan Tujuan

1.1.5.1. Sekilas Tentang Pendekatan Tafsir

Dalam proses penafsiran dikenal berbagai metode atau pendekatan tafsir.

Pandangan yang dikemukakan oleh para ahli juga berbeda-beda menyangkut

metode atau pendekatan tafsir terhadap Kitab Suci.36 Robert Setio mengemukakan

pembagian penafsiran menurut M.H. Abrams dalam 4 (empat) tipe sebagai

berikut37 : 1) Mimetic yakni teks Alkitab dipahami sebagai representasi dari suatu

realitas; 2) Expressive yang menjadikan pengarang atau penulis sebagai pusat atau

fokus perhatian; 3) Objective yang memusatkan perhatian kepada teksnya sebagai

dirinya sendiri secara objektif yakni nilai teks apa adanya; 4) Pragmatic yakni tipe

penafsiran yang memusatkan perhatian kepada pembaca. Dalam pendekatan

pragmatis, yang dibahas adalah bagaimana efek cerita bagi pembaca, bagaimana

pikiran pembaca dibentuk dan diarahkan oleh narator sehingga akhirnya pembaca

akan menyetujui pemikiran tertentu atau mendukung serta mau mempraktekkan

nilai tertentu atau sebaliknya menolak bahkan membenci pemikiran atau nilai

yang bertentangan. Bertolak dari tipe-tipe penafsiran di atas maka dalam

36 George Aichele dkk mengemukakan setidaknya ada 7 pendekatan yakni kritik respon pembaca, kritik strukturalis dan narratologis, kritik post-strukturalis, kritik retoris, kritik psikoanalisis, kritik feminis dan kritik ideologis. George Aichele (ed), The Postmodern Bible, The Bible And Culture Collective, London: Yale University Press, 1995. Sedangkan Sandra Schneiders menyebutkan pendekatan historis, pendekatan literer, pendekatan psikologis dan sosiologis, pendekatan kritik ideologis, pendekatan theologis, religius dan spiritualitas. 37 Robert Setio, “Membaca Alkitab Secara Pragmatis”, dalam Forum Biblika No 11, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000, h.52-54.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

14

penulisan ini, penulis akan menggunakan pendekatan hermeneutik yang

berorientasi kepada pembaca (point 4).

Pendekatan hermeneutik yang mengacu kepada pembaca (reader-

oriented) juga memiliki berbagai keragaman menurut para ahli. John Hayes

menjelaskan kritik respon pembaca sebagai suatu pendekatan dalam penafsiran

yang memberikan penekanan pada pembaca beserta nilai-nilai mereka, sifat,

respon yang dimiliki oleh pembaca. 38

Dalam kenyataannya ada berbagai keragaman pemikiran para ahli dalam

kritik respon pembaca sehingga dalam penulisan ini penulis akan mengacu kepada

pemetaan yang dilakukan oleh Steven Mailloux.39 S. Mailloux berupaya

memetakan kritik respons pembaca dalam tiga model yakni model psikologi atau

subjektif dengan tokohnya David Bleich dan Norman Holland; model interaktif

atau penomenologis dengan tokohnya Wolfgang Iser; dan model sosial atau

model struktural dengan tokohnya Stanley Fish. Dengan mengacu pada

pandangan di atas, penulis akan mengfokuskan perhatian pada model sosial.

1.1.5.2. Makna Dalam Pembaca dan Komunitas Interpretatif

Salah satu tokoh yang dikenal dalam teori respon pembaca dengan

pandangannya yang sangat kontroversial yakni Stanley Fish yang memberikan 38 John Hayes memperhadapkan berbagai variasi yang terdapat pada kritik respon pembaca dengan beragam penekanan, ada yang menekankan pada pembaca otonom, pembaca tersirat, kritik penerimaan pembaca, kritik respon-estetis, ada yang menekankan pendekatan psikologis bahkan ada pandangan yang radikal pada respon pembaca. John H.Hayes (ed), Dictionary of Biblical Interpretation, USA: Abingdon Press, 1999, p.372-373. Sedangkan J.Tompkins membagi kritik respon pembaca atas beberapa bagian yakni kritik baru, strukturalis, phenemenologi, subjektif, psikoanalisis dan dekonstruksi. Bdk. Jane Tompkins , “An Introduction to Reader-Response Criticism” dalam Jane Tompkins (Ed.), Reader Response, From Formalism to Post Structuralism Criticism”, London : The Johns Hopkins University Press, 1980, p.ix-x. 39 George Aichele (ed), The Postmodern Bible: The Bible And Cuture Collective, London: Yale University Press, 1995, p. 27.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

15

penekanan terhadap meaning dalam proses atau tindakan membaca. Bagi Fish

makna tidak berada dalam teks sebagai objek, makna juga tidak eksis di luar (out

there), melainkan di dalam diri pembaca atau komunitas baca (within). 40

Dengan dilatarbelakangi oleh pemikirannya bahwa tidak ada basis yang

stabil untuk makna, Fish mengatakan tidak ada suatu interpretasi yang selalu

benar dan absolut. Konteks pembacalah yang mempengaruhi apa yang ia

lakukan/kerjakan. Teks-teks yang ditulis merupakan suatu tabularasa, suatu

kertas kosong yang diatasnya pembaca saat membaca dengan preunderstanding

atau prapemahamannya benar-benar menulis teks.41

Menurut Stanley Fish, teks merupakan suatu titik tempat pembaca

memproyeksikan pemahaman dirinya dan berfungsi sebagai “kaca” atau “cermin”

di mana di dalamnya pembaca berefleksi berdasarkan pengalaman-pengalaman

hidup mereka.42 Pandangan Fish ini didasarkan atas epistemiknya bahwa tidak

mungkin kita dapat mengakses suatu maksud sedangkan maksud itu sendiri tidak

eksis dalam lingkup objektif.43 Menurut Fish, aktifitas membaca berada pada

tahap pusat dalam menghasilkan makna. Hal senada ditekankan juga oleh

Wolfgang Iser yang memberikan penekanan terhadap proses hermeneutik sebagai

The Act of Reading dalam rangka menghasilkan makna.44 Bahwa dalam

penafsiran pembaca terlibat secara aktif dalam memberikan makna terhadap

sebuah teks lewat proses pembacaan yang terjadi secara terus menerus sebagai

40 Stanley Fish dalam Chris Lang, “A Brief History of Literary Theory III : Reader-Response Theory of Stanley Fish,”: http://www.xenos.org/essays/litthry4.html, Maret, 2006. 41 Ibid 42 Ibid. 43 Ibid. 44 Bdk. Wolfgang Iser, The Act of Reading, A Theory of Aesthetic Response, London: The Johns Hopkins University Press, 1972.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

16

hasil bentukan dari interaksi antara teks dan pembaca. Pandangan S. Fish dan W.

Iser dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan dunia dan kultur yang kita miliki

dengan masa lalu sehingga ada gap atau jarak antara dunia para penafsir dengan

dunia penulis.

S. Fish mengatakan pengetahuan itu tidak objektif tetapi selalu

terkonstruksi atau terkondisi secara sosial.45 Makna yang dihasilkan oleh

seseorang selalu terkait erat dengan konteks sosial atau komunitas tempat mereka

hidup dan bukan di luar kultur atau konteks sosial tersebut. Kultur ini ditunjuk

oleh Fish sebagai suatu komunitas interpretatif sehingga strategi interpreter

merupakan bagian dari suatu komunitas lewat suatu kesepakatan berdasarkan

suatu konstruksi.46 Demikian juga dengan cara komunitas hidup bukanlah suatu

refleksi terhadap realitas di luar komunitas tersebut tapi suatu konstruksi yang

dihasilkan berdasarkan suatu konsensus atas realitas yang mereka miliki dan

menjadi kekuatan hanya selama komunitas pembaca terus meyakininya.

Proses hermeneutik yang memberikan penekanan pada respons pembaca

bukan saja berkembang di Barat tetapi juga di Asia. Archie Lee mengatakan

bahwa konteks atau lokasi sosial dari pembaca/penafsir masuk dalam proses

penafsiran secara langsung.47 Menurutnya dalam upaya penafsiran atau

pembacaan teks-teks Akitab, para penafsir mesti memberikan tekanan yang lebih

besar kepada respon pembaca dan tindakan pembacaan terhadap teks-teks Kitab

Suci yang dibentuk oleh interaksi antara teks dan pembaca. Hal mana

45 Stanley Fish dalam Chris Lang, “A Brief History of Literary Theory III : Reader-Response Theory of Stanley Fish”,: http://www.xenos.org/essays/litthry4.html, 2006. 46 Ibid. 47 Archie C.C.Lee, “Biblical Interpretation in Asia Perspectives”, The Asia Journal of Theology, Volume 7, 1993, p.35-39.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

17

diungkapkan juga oleh Robert Setio bahwa penafsiran yang berorientasi pada

pembaca mengingatkan kita akan semakin terbukanya muatan-muatan budaya

yang membentuk diri kita sebagai pembaca untuk ikut berperan dalam proses

penafsiran.48

Wacana yang dipaparkan di atas setidaknya dapat menjadi acuan dalam

mendalami pembacaan teks-teks Alkitab selama konflik sehingga lewatnya ada

jalan terbuka bagi penulis untuk melakukan upaya tafsir yang mempertimbangkan

perspektif rekonsiliasi.

1.1.6. Membaca Teks-teks Kitab Suci Dari Perspektif Rekonsiliasi

Memperhatikan teks-teks yang dibaca selama konflik dan metode

penafsiran yang berorientasi kepada pembaca maka penulis menduga bahwa teks-

teks tersebut dapat dibaca secara berbeda dari perspektif rekonsiliasi. Dengan

mempertimbangkan 3 unsur yakni konteks pembaca, teks-teks Kitab Suci dan

ilmu sosial tentang rekonsiliasi maka penulis akan melakukan suatu proses

hermeneutis dalam rangka menghasilkan makna yang berbeda dan baru.

Teks-teks Kitab Suci yang penulis tafsir yakni Ulangan 20 :1-20, diduga

memuat aspek rekonsiliasi mencakup realitas sosial dan penyebabnya, upaya

resolusi konflik yakni penyelesaian konflik dengan cara mengurangi terjadinya

eskalasi konflik, proses negosiasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam

perang, hambatan dalam proses tersebut dan perlindungan terhadap sesama

manusia dan makhluk hidup lainnya ketika konflik. Sedangkan teks kebangkitan

48 Robert Setio, “Membaca Alkitab Secara Pragmatis,” dalam Forum Biblika, No 11, Jakarta: LAI, 2000, h.52-54.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

18

Yesus dapat diperjumpakan dan dibaca dengan mempertimbangkan teori dan

konteks pembaca beserta nilai-nilai yang dimiliki. Pengalaman perjumpaan

dengan Tuhan, proses transformasi baik secara personal maupun relasional lewat

media dialog, pengayaan tradisi/budaya setempat terhadap rekonsiliasi yang

melibatkan pihak-pihak yang berekonsiliasi yang memberikan masukan dalam

memahami upaya pemulihaan atau rekonsiliasi. Penulis akan menggambarkan

proses hermeneutik tersebut dalam diagram di bawah ini :

MEMBACA KITAB SUCI DARI PERSPEKTIF REKONSILIASI

PENAFSIR/PEMBACA

SOSIAL KITAB MASYARAKAT

TEORI

TEKS- TEKS KONTEKS/

SUCI LOKAL

MAKNA AKSI 1.2. PERUMUSAN MASALAH

Tesis ini akan membahas pokok- pokok permasalahan yakni :

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

19

1. Bagaimana pembaca menggunakan teks-teks Kitab Suci untuk melegitimasi

kekerasan, alasan-alasan yang mendorong pembaca membaca teks-teks

tersebut dan makna teks-teks tersebut bagi pembaca?

2. Bagaimana pembaca menggunakan teks-teks damai selama konflik, alasan-

alasan yang mendorong pembaca membaca teks-teks tersebut dan maknanya

bagi pembaca?

3. Bagaimana perspektif pembaca tentang rekonsiliasi?

4. Bagaimana membaca atau menafsir teks-teks Alkitab yang dibaca selama

konflik dari perspektif rekonsiliasi (Ulangan 20:1-20 dan Lukas 24:1-35).

1. 3. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan tesis ini adalah :

1. Mengetahui tentang bagaimana pembaca membaca teks-teks Kitab Suci untuk

melegitimasi peperangan, alasan-alasan yang melatarbelakangi pembacaan

tersebut dan makna pembacaan teks-teks Kitab Suci bagi pembaca.

2. Mengetahui pembaca menggunakan teks-teks damai selama konflik, alasan-

alasan yang mendorong pembaca membaca teks-teks tersebut dan maknanya

bagi pembaca.

3. Mengetahui perspektif pembaca tentang rekonsiliasi.

4. Membaca atau menafsir Kitab Suci dari perspektif rekonsiliasi (Ulangan 20:1-

20 dan Lukas 24:1-35).

1.4. HIPOTESA

Hipotesis yang ingin dibuktikan adalah :

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

20

1. Teks-teks Kitab Suci yang digunakan selama konflik dapat dibaca dari

perspektif rekonsiliasi dengan mempertimbangkan konteks pembaca dengan

keragaman pengalaman, tradisi, budaya dan keprihatinannya.

2. Teks Ulangan 20:1-20 dan Lukas 24:1-35 memiliki makna yang mendalam

dan baru jika dibaca dari perspektif rekonsiliasi.

3. Penafsiran dari perspektif rekonsiliasi dapat memberikan sumbangsih bagi

upaya rekonsiliasi.

1.5. JUDUL

Penulisan tesis ini diberi judul :

MEMBACA KITAB SUCI DARI PERSPEKTIF REKONSILIASI Proses Hermeneutik yang Mengacu pada Pengalaman Pembaca

yakni Konteks Konflik dan Penderitaan di Maluku

1.6. METODE PENELITIAN

Berdasarkan metode tafsir yang penulis gunakan yakni kritik respons

pembaca, maka penulis akan melakukan proses tafsir terhadap teks Alkitab

dengan mempertimbangkan konteks pembaca. Lewat proses penelitian, penulis

akan memperoleh data-data terkait dengan problematik yang dihadapi yakni

bagaimana pembaca membaca teks-teks Kitab Suci selama konflik untuk

melegitimasi kekerasan, latar belakang pembacaan teks-teks tersebut dan

maknanya bagi pembaca. Selain itu penulis akan juga meneliti tentang perspektif

pembaca tentang rekonsiliasi. Dalam proses penelitian, penulis juga

memperhatikan beberapa hal di bawah ini.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

21

1.6.1. Jenis Metode/Pendekatan Analisa

Penulis mengfokuskan penelitian ini pada desa Waai dengan

pertimbangan sebagai berikut : 1) Masyarakat Waai terlibat dalam konflik dengan

menggunakan teks-teks Kitab Suci untuk melegitimasi kekerasan; 2) Masyarakat

Waai adalah korban konflik yakni mengalami penderitaan dan kehancuran akibat

terjadinya konflik; 3) Masyarakat Waai telah kembali ke pemukimannya sehingga

proses damai telah berjalan; 4) Masyarakat Waai adalah masyarakat adat yang

memiliki budaya/tradisi yang terkait dengan rekonsiliasi.

Penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif49 dengan metode

observasi partisipatif, di mana penulis akan mengadakan wawancara yang juga

menggunakan data-data dokumenter dan pustaka sebagai sumber sekunder.

Untuk menganalisa data tersebut, penulis akan menggunakan juga tabel atau

angka-angka. Karena terkait dengan tabel atau angka-angka pendekatan kuantitatif

dipakai dalam rangka menunjang perolehan data-data kualitatif.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data

Data-data tersebut akan penulis peroleh lewat : 1)Wawancara dengan

informan kunci untuk mengetahui tentang cara membaca teks-teks kitab Suci

selama konflik, latarbelakang pembacaan dan maknanya. Informan kunci adalah

tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat dan beberapa anggota

masyarakat/jemaat ; 2) Untuk mendukung data-data tersebut, penulis juga

menyebar kuestioner kepada 75 responden dengan kategori: yang terlibat dan

49 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 4-5.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Realitas ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030159/92813d...8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon

22

tidak terlibat dalam konflik, usia, jenis kelamin/gender, tingkat pendidikan dan

pekerjaan.

Dari data tersebut, penulis akan mengumpulkan, mengatur dan

menganalisanya. Penulis akan melakukan pengecekan kembali data yang

diperoleh kemudian membandingkannya dengan pendapat pribadi, masyarakat

maupun dengan menggunakan juga literatur lainnya. Setelah melakukan

pengumpulan dan penyeleksian data, penulis akan memaparkannya dalam bentuk

deskripsi dan melakukan analisis dan tanggapan terhadap pembacaan teks-teks

tersebut berdasarkan respon pembaca. Akhirnya dengan mempertimbangkan

masukan-masukan dari pengalaman pembaca (konteks), teks-teks Alkitab dan

ilmu sosial maka penulis akan melakukan tafsir secara kritis terhadap teks-teks

Kitab Suci dari perspektif rekonsiliasi.

1.7. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I yakni pendahuluan yang memuat latar belakang, perumusan masalah,

tujuan penulisan, hipotesa, metodologi serta sistimatika penulisan.

Bab II memuat deskripsi dan analisa terhadap pembacaan teks-teks Alkitab oleh

masyarakat Waai serta perspektif lokal tentang rekonsiliasi.

Bab III yakni upaya menafsir 2 teks Alkitab dari perspektif rekonsiliasi yakni

Ulangan 20:1-20 dan Lukas 24:1-35.

Bab IV berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan, sumbangan penafsiran dan

beberapa pikiran rekomendatif.