BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1 ... · perekonomian di negara berkembang. Jika...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1 ... · perekonomian di negara berkembang. Jika...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Komersialisasi Ekonomi di Pedesaan Jawa
Arus modernisasi, globalisasi dan bahkan liberalisasi
ekonomi memang telah memberikan dampak nyata pada transformasi
struktur dan kultur masyarakat, khususnya di pedesaan. Meluasnya
kemiskinan, ketimpangan hingga memudarnya nilai-nilai dan ikatan
tradisional masyarakat desa adalah kondisi yang paling sering
dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut. Dengan
kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-sistem
ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan (pedesaan) juga
semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin lebar
(Tjondronegoro, 2008:167). Selain itu, hubungan sosial menjadi
bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan diri sendiri
(self fulfillment) serta determinasi manusia sebagai homo economicus
(Somantri, 2006:466). Dalam konteks memahami transformasi sosial,
institusional dan kebudayaan dalam arti luas inilah kemudian
sosiologi pedesaan berkembang.
Seberapa jauh dan dalam dampak modernisasi, globalisasi
dan liberalisasi ekonomi tersebut terhadap keterbukaan1 dan
transformasi kebudayaan masyarakat desa-tradisional merupakan
ranah penelitian yang menarik dan penting untuk dikaji. Mengingat,
1 Popkin (1986:1) menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desa-desa yang terbuka (open villages), yaitu desa dengan tanggung jawab individual terhadap pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia luarnya, tiadanya pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian kewargadesaan (village citizenship) dan pemilikan tanah secara pribadi.
seperti yang dikemukakan oleh Prof Sajogjo (1982), bahwasanya
untuk memahami sistem ekonomi masyarakat, kita harus
mempelajari budayanya dan untuk mempelajari budaya masyarakat,
haruslah memahami perilaku ekonominya. Salah satu kajian terkait
dampak sistem ekonomi pasar terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat pedesaan pernah dilakukan oleh D.H. Penny (1990),
dimana ia menyimpulkan bahwa kerawanan pangan dan kemiskinan
di pedesaan adalah akibat dari sistem ekonomi pasar (yang kini
bahkan diperkuat oleh gelombang modernisasi, globalisasi dan
liberalisasi).
Gambar 1. Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan (Peny, 1990:81-85).
Dalam kajiannya, D.H. Peny (1982) menyimpulkan bahwa
liberalisasi ekonomi telah gagal memberikan kemakmuran bagi
masyarakat petani di pedesaan Jawa. Liberalisme juga gagal
memberikan penjelasan serta petunjuk tentang langkah-langkah yang
Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Budaya
1. Cara (moda) ekonomi yang dominan
2. Peranan harga dalam alokasi sumber daya
3. Pasar tenaga kerja 4. Persewaan tanah/lahan 5. Peminjaman dan gadai
tanah serta pemilikan yang lainnya
6. Kemiskinan absolut dan relatif
1. Frekuensi Gotong royong 2. Partisipasi dalam
acara/upacara sosial 3. Tingkat perceraian 4. Tingkat migrasi terpaksa 5. Tingkat apatisme individu
dan sosial 6. Tingkat
kejahatan/kriminalitas
Komersialisasi
harus diambil dalam memecahkan persoalan kemiskinan yang
membelenggu petani di pedesaan. Paham dan teori liberalisme - yang
diwujudkan dalam proses komersialisasi atau pasarisasi
(marketization) – ini tidak cocok untuk masyarakat pedesaan di
Indonesia2. Buktinya, proses komersialisasi yang sama persis terjadi
di Barat dengan di Jawa, ternyata membawa hasil akhir yang bertolak
belakang.
Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010
Gambar 2. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya (Kiri). Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat
(2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi penyebab perceraian di Kab. Subang adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan ekonomi.
2 Liberalisme ekonomi yang diadopsi dan kemudian melahirkan pemiskinan dan kemiskinan bagi petani juga diungkapkan dalam catatan Mohamad Sadly (1965) tentang “pemiskinan ilmu ekonomi” dimana ilmu ekonomi yang diajarkan di UI mengikuti kelazimanan yang ada di Belanda (ekonomi pemerintahan). Berbeda dengan di UI, ilmu ekonomi di UGM lebih bercorak sosial ekonomi (ekonomi pertanian). Hal ini penting untuk dipahami, sebab jika dilacak secara genealogi pengetahuan, di UI inilah kemudian lahir para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia yang biasa disebut sebagai The Berkeley Mafia yaitu para murid dari Soemitro (seorang sosialis) yang sepulang dari menempuh pendidikan di Amerika justru menjadi pembela utama ekonomi pasar di tanah air, seperti Widjojo, Suhadi, Subroto, Emil Salim, Sumarlin dan Ali Wardhana (Nugroho, 2010:249-254). Sementara itu, dari UGM lahir pemikir yang lebih sosialis, seperti Mubyarto dengan ekonomi pancasila-nya yang terinspirasi pemikiran James C. Scott. Todaro (1987) dalam Nugroho (2010:272) juga mengatakan bahwa teori ekonomi tradisional (neoklasik dan keynesian) terbatas relevansinya untuk memahami segi-segi khusus perekonomian di negara berkembang.
Jika masyarakat Barat mendapatkan kemakmuran melalui
proses komersialisasi, maka masyarakat di pedesaan Jawa – dan Asia
Tenggara pada umumnya - justru semakin kehilangan keterampilan-
keterampilan non-pertanian dan laju kemiskinan serta kemelaratan
jauh lebih cepat daripada sebelumnya (Soedjatmoko, 1980:46).
Ditandai dengan terjadi erosi bertahap dari berbagai bentuk hubungan
produksi lama dan meningkatnya dominasi buruh serabutan seiring
berkembangnya kapitalisme agraria (Pincus, 1994;38). Ditambah
dengan gejala pengasingan (alienasi), kemerosotan dalam hidup
bermasyarakat serta tidak adanya perhatian terhadap kepentingan
bersama telah melanda sebagian besar kehidupan wong cilik di
pedesaan Jawa.
Secara sosiologis, beberapa kelemahan dan dampak dari
komersialisasi telah secara nyata muncul ditengah masyarakat
pedesaan di Jawa. Sebagian pihak mungkin mengatakan fenomena
ini sebagai bentuk transisi masyarakat menuju “kemajuan”. Mereka
yang menganggap bahwa komersialisasi merupakan wujud transisi
masyarakat menuju kemajuan setidaknya memiliki lima dasar
argumentasi tentang keuntungan komersialisasi, yakni (1) mendorong
peningkatan produksi, kesejahteraan jasmani, bertambahnya pilihan
jenis pekerjaan, teman hidup dan paham-paham politik (2)
memungkinkan suatu bangsa melakukan spesialisasi (keuntungan
komparatif) (3) meningkatkan mobilitas bangsa-bangsa, terobosan-
terobosan baru yang berani di bidang intelektual (4) orang menjadi
lebih rasional dalam tindakan dan perilaku ekonomi, politik, dan
sosial lainnya serta (5) perbaikan komunikasi dan berkurangnya
kepercayaan kepada takhayul (Peny dalam Sajogyo, 1982:167-168).
Namun di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa
komersialisasi merupakan penyebab “kemunduran”. Sebab,
komersialisasi dianggap telah melahirkan ketidakseimbangan antara
“kekayaan untuk diri sendiri” dan “kesejahteraan umum”,
merosotnya “perasaan bermasyarakat”, lunturnya kemampuan
memperoleh teman, polusi, kerusakan lingkungan dan lain
sebagainya. Selain itu, kebanyakan rumah di kota maupun desa di
jawa kini berjeruji besi dan berpagar tinggi karena banyaknya
pencurian dan kriminalitas lainnya, ijon kerja diganti dengan upah,
upacara-upacara adat menjadi tidak lagi dihargai, ada beberapa petani
yang menjadi lebih kaya dan berkuasa daripada sebagian besar petani
lain di kampungnya, meningkatnya kebiasaan berhutang dalam
masyarakat, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, desa-desa yang
dulunya makmur dan aman dengan lumbung-lumbung pangan
mereka, kini bahkan tidak mampu lagi untuk berswasembada.
Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010:115
Gambar 3. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya. Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus
meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan.
Meskipun demikian drastis perubahan sosial di pedesaan,
namun masyarakat desa terkadang memiliki cara penyelesaian dan
adaptasi terhadap perubahan yang unik. Sebagai contoh, ketika
involusi pertanian terjadi di pedesaan - sebagai akibat dari tekanan
penduduk dan sumber daya yang semakin menurun - maka struktur
sosial di pedesaan Jawa tidak lantas terpolarisasi3, melainkan
cenderung tetap berusaha untuk menjaga homogenisasi sosial dan
ekonomi diantara mereka. Dalam istilah Geertz (1983:102) fenomena
ini disebut sebagai “berbagi kemiskinan” atau “kemiskinan yang
dibagi rata” (shared poverty). Dalam konteks “memiskinkan
bersama” ini, masyarakat desa membagi-bagi rezeki yang mereka
punya bersama-sama, hingga lama-kelamaan makin sedikit bagian
yang diterima oleh setiap orang atau rumah tangga. Pola inilah yang
barangkali juga menular pada hubungan-hubungan sosial lainnya,
dimana aturan-aturan (rules) dalam masyarakat juga turut berubah
sedemikian hingga mengikuti semangat berbagi kemiskinan. Lebih-
lebih dengan makin kencangnya arus globalisasi-modernisasi-
liberalisasi ekonomi seperti saat ini, maka tidak menutup
kemungkinan pola-pola berbagi kemiskinan ini telah berkembang,
bermutasi dan bahkan menghilang mengikuti semangat
individualisme dan komersialisme yang menjadi ruh masyarakat hari
ini.
3 Meskipun mekanisasi atau modernisasi teknologi pertanian berlangsung, struktur masyarakat di pedesaan Jawa tidak lantas juga terpolarisasi, melainkan yang terjadi adalah masih dalam taraf stratifikasi. Hal inilah yang ditemukan dalam kajian Hayami & Kikuchi (1981). Memang diakui kecenderungaan perubahan ke arah polarisasi dapat saja terjadi, namun selama interaksi sosial dalam komunitas petani yang diikat oleh prinsip moral tradisional bisa dijaga dan dipertahankan tentu saja akan menghambat adanya polarisasi. Masalahnya adalah seberapa kuat dan seberapa lama nilai moral tersebut mengikat dan dapat menghambat sifat “personal/individualistik” dan menjaga dari pasar bebas (marketisasi)? Jika institusi atau kelembagaan sosial gagal menjaga ikatan solidaritas antar anggotanya, maka yang terjadi di pedesaan tidak hanya stratifikasi atau polarisasi akibat masuknya teknologi saja, melainkan juga akan mengarah pada individualisme yang meluas dan berakibat pada memudarnya ikatan tradisional komunitas, khususnya yang selama ini bersifat altruistik, seperti gotong royong dan adat-istiadat.
1.1.2. Gejala Komersialisasi Sosial di Pedesaan Jawa
Kondisi pedesaan - di Pulau Jawa khususnya – yang timpang
secara struktural, baik dari segi kepemilikan, penguasaan, pendapatan
hingga distribusi sumber daya, ternyata juga diiringi dengan
perubahan sikap dan perilaku warganya yang semakin berwatak
“modern” yang ditandai dengan sikap komersil4, individualistik,
rasional, dan berorientasi material5. Pandangan kita tentang
masyarakat desa yang guyub, memiliki rasa solidaritas tinggi, gotong
royong, egaliter dan berorientasi nilai (ideal) hampir-hampir musnah
akibat terpaan modernisasi, globalisasi dan liberalisasi pasar ini.
Salah satu indikasi paling mencolok dari berubahnya pola relasi dan
mindset warga desa adalah makin terpinggirkannya tradisi-tradisi dan
ritual-ritual tertentu yang menjadi warisan nenek moyang mereka
secara turun menurun. Sebagian tradisi itu hilang, namun ada juga
yang masih bertahan, seperti misalnya tradisi nyumbang yang dapat
ditemui di hampir setiap etnis dan wilayah di Nusantara. Tradisi
nyumbang ini memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya
dapat bertahan meski ditempa oleh arus modernisasi yang demikian
kencang.
Beberapa alasan yang menyebabkan tradisi nyumbang ini
tetap eksis ditengah masyarakat adalah, pertama, tradisi ini
merepresentasikan sifat dan kepribadian asli orang Indonesia yang
terbiasa hidup secara komunal (extended family) dan oleh karena itu
bersifat suka menolong. Kedua, tradisi ini sangat terkait dengan 4 Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas, maka golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung individualistik (Peny, 1990:xvviii). 5 Yuniarto, 2009:197
pranata sosial lainnya seperti perkawinan, yang merupakan institusi
yang sangat dihargai di dalam kehidupan sosial. Ketiga, tradisi ini
disadari oleh setiap anggota masyarakat bersifat timbal balik
(resiprokal), sehingga orang tidak ragu melakukannya karena pada
suatu saat ia juga akan mendapatkan balasan pertolongan serupa dari
anggota masyarakat lainnya. Menariknya adalah, bagaimana tradisi
nyumbang ini beradaptasi dengan arus perubahan yang melanda desa
tersebut? Bagaimana orang desa menilai tradisi nyumbang ini
ditengah kondisi kehidupan (living condition) yang menurut para ahli
dikonstruksikan sebagai kondisi kemiskinan dan disharmonisasi
sosial pedesaan? Sebelum sampai kesana, barangkali dapat kita
simak sebagian contoh atau bentuk tradisi sosial (nyumbang) yang
ada di Pulau Jawa, antara lain :
Jagong : Tradisi Nyumbang di Jawa Tengah
Tradisi mendatangani undangan pernikahan di Jawa Tengah
biasa disebut Jagong. Masyarakat yang mengadakan upacara
pernikahan atau resepsi biasanya mengundang kerabat, tetangga, dan
teman-temannya. Orang-orang berdatangan ke acara resepsi dengan
membawa amplop berisi uang sumbangan maupun membawa kado.
Namun, pada beberapa acara pernikahan ada peraturan untuk tidak
menyumbang berupa barang ataupun karangan bunga. Ketentuan
tersebut dicantumkan dalam undangan, biasanya digambarkan
dengan gambar “kendi” atau “celengan” yang biasa digunakan untuk
menyimpan uang. Jika dalam undangan tertera gambar tersebut,
masyarakat sudah paham bahwa yang mempunyai hajat
menginginkan sumbangannya berupa uang. Besarnya sumbangan
juga disesuaikan dengan mewah atau tidaknya acara, jadi jumlah
sumbangan yang harus diberikan akan berbeda ketika acara tersebut
diselenggarakan di rumah atau di gedung pertemuan. Pada
masyarakat pedesaan, banyak yang masih memberikan bahan
makanan seperti beras, telur, gula, teh, sayuran, buah-buahan dan
sebagainya. Akan tetapi saat ini untuk kepentingan praktis,
masyarakat pedesaan pun mulai memilih nyumbang dalam bentuk
uang. Hanya anggota keluarga saja yang biasanya nyumbang dalam
bentuk bahan makanan. Jika yang mempunyai hajatan tersebut masih
ada hubungan saudara, maka jumlah sumbangan yang diberikan pun
semakin besar. Belakangan, di beberapa daerah muncul gejala
“standarisasi” jumlah sumbangan yang berupa uang.
De’-Nyande’ : Tradisi Nyumbang di Madura
Tidak jauh berbeda dengan tradisi nyumbang di Jawa Tengah,
pada umumnya, masyarakat Madura juga mengenal tradisi
nyumbang. Yang membedakan adalah, ketika mengisi buku tamu,
para tamu undangan juga dicatat jumlah sumbangannya dan
disebutkan namanya melalui pengeras suara beserta jumlah
sumbangannya. Sehingga para tamu undangan mengetahui besar
sumbangan dari masing-masing tamu. Kemudian catatan tersebut
akan disimpan orang yang mempunyai hajatan dan dipakai acuan
untuk mengembalikan sumbangan dengan jumlah yang sama dengan
yang diterimanya.
Mbecek : Tradisi Nyumbang di Jawa Timur
Tradisi mbecek atau buwuh sering kali diartikan sebagai
pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak
yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk
sumbangannya dapat berupa barang (beras, gula, kentang, mie, roti,
pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya) yang bisanya akan
dibawa oleh kaum perempuan disamping uang, Sedangkan untuk
laki-laki sumbangan tersebut biasanya berupa uang saja. Tradisi
mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang
memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu
keluarga yang menggelar hajatan (saudara dan tetangga) dan ada
yang berperan sebagai penyumbang (tetangga, saudara, sahabat,
teman dan kenalan). Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan
yang ada di desa seringkali aktivitas mbecek ini merupakan kebiasaan
yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat
yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena
keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya
keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari
usaha yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan tradisi hajatan
pada umumnya, tradisi mbecek bisa berlangsung beberapa hari. Dari
mulai persiapan (rewang), ketika berlangsungnya acara, hingga
selesainya acara. Selama itulah anggota masyarakat akan membantu.
Tradisi ini melibatkan semua orang dewasa, sehingga waktu yang
sedianya digunakan untuk bekerja terkuras untuk tradisi mbecek atau
buwuh ini.
Gantangan : Tradisi Nyumbang di Subang-Jawa Barat
Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Telitian”,
atau “Talitihan” adalah salah satu contoh kebiasaan yang
berkembang di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sistem hajat6
gantangan seperti ini dijalankan dengan kuat di Subang wilayah 6 Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti perhitungan kalender/bulan “baik” dan “tidak baik/dilarang” untuk melakukan hajatan. Bulan yang dijauhi untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid (2), Muharram/Sura(4), dan Sapar (5). Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal (1), Raya Agung (3), maulud (6), Silih Mulud (7), Jumadil Awal (8), Jumadil Akhir (9), Rajab (10), Ruwah (11), dan Puasa (12).
tengah dan utara yang juga dikenal sebagai salah satu daerah
lumbung padi nasional. Nuansa pertukaran ekonomi dalam tradisi ini
terasa sangat kuat. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan
menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun
jauh, teman kerja, atau para tamu undangan bisa “menyimpan” beras
atau uang dalam jumlah tertentu. Sejumlah uang atau beras yang
diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang sifatnya
“pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat. Jika kelak
si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang serupa, maka
si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan sumbangan itu
dengan nilai yang sama (Prasetyo, 2010).
Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras (5
gantang) dan uang Rp. 200.000,- kepada tuan B yang sedang hajatan
menikahkan anaknya, maka ketika tuan B membuat hajatan untuk
mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik kembali beras dan
uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan nilai yang sama
ditambah dengan sejumlah simpanan yang ingin diinvestasikan oleh
tuan A. Sedangkan tuan A, mau tidak mau, punya tidak punya, harus
mengembalikan beras dan uang tuan B, bagaimanapun caranya.
Padahal, bisa jadi harga beras sudah naik beberapa kali lipat dari saat
menerimanya dulu. Akibat sistem “tabungan” seperti ini, maka orang
yang memiliki uang atau modal, berbondong-bondong untuk
menyimpan uang atau beras dalam jumlah yang besar. Dengan
harapan, kelak ketika dia hajat, dia akan memanen semua
“tabungannya” tadi.
Menurut kesimpulan dari hasil penelitian Ari Prasetiyo
(2003), tradisi nyumbang yang menunjukkan nilai-nilai solidaritas
dan gotong royong ini, ternyata belakangan sistem timbal baliknya
(resiprositi) semakin dirasa memberatkan oleh sebagian rumah
tangga atau anggota masyarakatnya. Namun mereka juga tidak dapat
serta merta meninggalkannya karena kontrol sosial yang masih kuat
berupa gunjingan dan juga karena faktor status, gengsi atau martabat.
Tradisi nyumbang diatas, menurut Wolf, sebenarnya dapat
dikategorikan sebagai “biaya sosial” yang harus ditanggung oleh
rumah tangga di pedesaan atau disebut juga sebagai dana seremonial
(ceremonial fund) (Wolf, 1966:10). Beragam bentuk dan pola tradisi
nyumbang di atas menunjukkan ada banyaknya variasi tata cara
dalam tradisi nyumbang, tergantung pada kebiasaan dan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakatnya. Akan tetapi, semua tradisi sosial
diatas menunjukkan gejala perubahan ke arah yang hampir sama,
yaitu komersialisasi. Sebagai contoh dari gejala komersialisasi tradisi
nyumbang ini ada pada pola dan sifat-sifat dalam tradisi gantangan
di pedesaan Subang, Jawa Barat, antara lain :
a. Tidak Sukarela (Sumbangan = hutang). Sumbangan tidak
dianggap sebagai bantuan sukarela, melainkan dimaknai sebagai
hutang bagi penerima dan simpanan bagi si penyumbang.
b. Terbuka, siapapun boleh masuk dalam sistem gantangan ini
meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Namun jika
sudah masuk ke dalam sistem gantangan, maka seseorang tidak
dapat keluar sebelum semua hutang-hutangnya terlunasi.
c. Mengikat, karena tercatat hitam di atas putih. Baik penyumbang
maupun yang disumbang memegang catatannya masing-masing
dan diharapkan setiap orang memiliki komitmen yang kuat dan
kejujuran untuk saling menyimpan dan mengembalikan.
d. Memaksa, ada kewajiban untuk membalas/mengembalikan
sumbangan jika tiba pada waktunya. Seandainya tidak datang,
maka pemilik hajat akan mendatangi langsung untuk menarik
semua simpanannya.
e. Akumulatif, jumlah sumbangan terus bertambah dan pada kasus
tertentu dikenakan bunga dalam pengembaliannya (hutang yang
belum terlunasi, khususnya kepada Bandar)
f. Turun-menurun, karena hutang gantangan tersebut dapat
diwariskan/dialihkan pada anak, istri, atau keluarga lainnya
(misalnya ketika yang bersangkutan meninggal dunia atau menjadi
TKI/TKW di luar negeri)
g. In-elastis terhadap naik turunnya pendapatan rumah tangga. Tidak
peduli sedang susah ataupun banyak rejeki, sedang panen atau
gagal panen, jumlah hutang dan simpanan tidak dapat
dikurangi/disesuaikan dengan pendapatan saat itu.
h. Negosiatif, dalam beberapa kasus terjadi tawar menawar besarnya
sumbangan antara tuan rumah/pemilik hajat dengan penyumbang.
Biasanya pemilik hajat akan melihat kemampuan dia dalam
membayar kembali setelah hajat selesai. Sebab, jumlah
sumbangan yang terlalu besar jika diterima begitu saja dapat
menjadi hutang yang menakutkan dan merugikan di kemudian
hari.
i. Sistem Bandar, bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki
modal untuk menyelenggarakan hajat, maka selain berharap
sumbangan dari tetangga, ia juga dapat meminjam (berhutang)
kepada Bandar (beras, daging, telur, gula, dan sebagainya).
Kemudian setelah hajatan usai, ia akan membayarnya kembali
dengan harga atau jumlah yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam kondisi dan relasi seperti yang digambarkan diatas,
tindakan sosial dapat dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomi
(Damsar, 2006:13). Sebagaimana teori pertukaran yang dikemukakan
oleh George C. Homans, bahwa suatu tindakan adalah rasional
berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dengan kata lain, interaksi
sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Meskipun, tidak semua
pertukaran sosial dapat diukur dengan uang (Poloma, 2004:52).
Manusia, dalam interaksi sosial senantiasa dihadapkan pada pilihan-
pilihan yang mencerminkan cost dan reward yang membuat manusia
selalu mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio).
Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi
kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai kemiskinan
ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana masyarakat desa
yang “dipandang miskin” itu justru memelihara tradisi yang nampak
“mahal” tersebut? Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit,
bagaimana harus menolong dan berbagi dengan orang lain? Apakah
tesis dan proposisi yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa
“orang makin miskin makin bersikap komersil dan individualistik”
menjadi tidak berlaku? Atau justru tesis tersebut benar adanya,
mengingat pola tradisi nyumbang ini telah berubah sedemikian rupa
menjadi medan akumulasi keuntungan sebagian anggota
masyarakatnya? Atau sejarah dan kultur masyarakat tertentulah yang
membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah dan derajat
komersialisasi yang berbeda-beda?
1.2. Rumusan Masalah
Serupa dengan tradisi nyumbang di tempat lain, pada mulanya
modal sosial Gantangan ini merupakan bentuk bantuan sosial untuk
meringankan beban orang-orang yang masih dalam kelompok primer
(ikatan keluarga dan tetangga dekat). Biasanya diberikan ketika si
penerima akan menjalankan hajatan, ketika dalam kesulitan atau
seremonial tradisi lainnya. Namun lambat laut, tradisi gantangan ini makin
meluas hingga melibatkan keluarga besar7 dan mereka yang berada di luar
kelompok primer (non-family) dan bahkan melintas batas desa. Orientasi
tradisi ini pun bergeser menjadi semakin bersifat ekonomi daripada sebagai
sebuah kebiasaan tolong-menolong biasa. Dari sisi budaya, jika dahulu
Gantangan adalah sebuah kebiasaan (folkways), maka kini ia telah menjadi
adat istiadat (custom) dengan beragam peran (roles), aturan (rules),
prosedur (procedures), dan sanksi (sanction) yang melingkupinya.
Perubahan ini juga membawa konsekuensi pada munculnya berbagai gejala
perilaku yang berbeda dari tujuan “sosial”8 dari tradisi ini semula. Gejala
ini ditandai oleh resiprositas yang bersifat makin mengikat, memaksa,
formal (tercatat hitam di atas putih) serta dalam kondisi tertentu cenderung
memberatkan dan merugikan.
Namun yang lebih menarik dari itu adalah bagaimana persoalan
tradisi ini ketika dikaitkan dengan konsep kemiskinan di pedesaan. Sebab, 7 Enam ciri dan fungsi potensial dari keluarga besar antara lain (1) tinggal bersama (2) rumah tangga bersama (3) produksi bersama (4) pembagiaan alat-alat produksi (5) penopang solidaritas dan jaminan sosial (6) wewenang membuat keputusan ekonomi yang sangat penting (Planck, 1990:32-33) 8 Kata “sosial” adalah salah satu kata sifat yang paling luas digunakan dalam bahasa Inggris. Ini terkait dengan kata benda “masyarakat” yang berasal dari bahasa Latin “socius” yang berarti “teman atau kawan”. Hal ini mengindikasikan bahwa apa itu “sosial” aslinya diturunkan dari fenomena “pertemanan”, yang menyiratkan makna kerjasama, solidaritas, saling respek/menghargai, dan kepekaan terhadap kepentingan umum (Uphoff, 2000:222)
subjek atau pelaku-pelaku dalam tradisi gantangan ini notabene adalah
rumah tangga di pedesaan yang seringkali didefinisikan “miskin”, baik
oleh institusi negara maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi internasional. Bahkan dalam banyak kajian di perguruan tinggi
juga ditemukan kecenderungan fakta bahwa kehidupan rumah tangga di
pedesaan ini semakin sulit dan menderita. Bagi penulis, fenomena
gantangan yang semakin komersil di satu sisi, dengan fakta-fakta objektif
tentang kemiskinan di sisi lain adalah gejala yang menarik untuk dicari
kaitan atau benang merahnya.
Apakah fenomena tersebut sebenarnya mengindikasikan fenomena
terkikisnya solidaritas sosial yang telah tertanam dan mengakar di dalam
masyarakat selama bertahun-tahun? Jika ini benar, maka wacana tentang
kehancuran institusi-institusi di pedesaan itu semakin benar adanya. Atau
jangan-jangan letak permasalahan utamanya adalah pada konstruksi sosial
kita tentang kemiskinan itulah yang berbeda dengan konstruksi masyarakat
(perspektif emik)? Ibarat peribahasa “what we measures, affect what we
do”. Oleh karena itu, setelah memperhatikan berbagai permasalah diatas,
maka penelitian ini hadir untuk menjawab beberapa pertanyaan utama
sebagai berikut:
a) Bagaimana bentuk dan pola (relasi antar aktor) dalam sistem pertukaran
sosial gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda ?
b) Bagaimana transformasi pola hubungan dalam sistem pertukaran sosial
gantangan tersebut berlangsung (komersialisasi sosial) ?
c) Bagaimana model strategi dan pengambilan keputusan para aktor dan
kelompok dalam pertukaran sosial gantangan ini?
1.3. Tujuan Penelitian
a) Menganalisis bentuk-bentuk pertukaran sosial gantangan di tiga tipe
agroekologi desa miskin yang berbeda
b) Menjelaskan sejarah dan proses komersialisasi sosial Gantangan di
pedesaan Subang
c) Membuat suatu model strategi dan pengambilan keputusan para aktor
dan kelompok dalam pertukaran sosial gantangan melalui pendekatan
analisi teori permainan evolusioner
1.4. Manfaat Penelitian
Studi tentang pertukaran sosial gantangan di tiga desa miskin di
pedesaan Subang ini akan dapat memberikan penjelasan historis maupun
sosiologis terkait peran dan keberadaan modal sosial terkini yang masih
tersisa di tengah masyarakat pedesaan, khususnya di Kabupaten Subang.
Dengan diperolehnya gambaran serta penjelasan tersebut, maka dapat
dibuat suatu model jaminan sosial informal berbasis modal sosial
gantangan yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat di pedesaan.