BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1 ... · perekonomian di negara berkembang. Jika...

17
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Komersialisasi Ekonomi di Pedesaan Jawa Arus modernisasi, globalisasi dan bahkan liberalisasi ekonomi memang telah memberikan dampak nyata pada transformasi struktur dan kultur masyarakat, khususnya di pedesaan. Meluasnya kemiskinan, ketimpangan hingga memudarnya nilai-nilai dan ikatan tradisional masyarakat desa adalah kondisi yang paling sering dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut. Dengan kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-sistem ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan (pedesaan) juga semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin lebar (Tjondronegoro, 2008:167). Selain itu, hubungan sosial menjadi bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan diri sendiri (self fulfillment) serta determinasi manusia sebagai homo economicus (Somantri, 2006:466). Dalam konteks memahami transformasi sosial, institusional dan kebudayaan dalam arti luas inilah kemudian sosiologi pedesaan berkembang. Seberapa jauh dan dalam dampak modernisasi, globalisasi dan liberalisasi ekonomi tersebut terhadap keterbukaan 1 dan transformasi kebudayaan masyarakat desa-tradisional merupakan ranah penelitian yang menarik dan penting untuk dikaji. Mengingat, 1 Popkin (1986:1) menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desa- desa yang terbuka (open villages), yaitu desa dengan tanggung jawab individual terhadap pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia luarnya, tiadanya pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian kewargadesaan (village citizenship) dan pemilikan tanah secara pribadi.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1 ... · perekonomian di negara berkembang. Jika...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Komersialisasi Ekonomi di Pedesaan Jawa

Arus modernisasi, globalisasi dan bahkan liberalisasi

ekonomi memang telah memberikan dampak nyata pada transformasi

struktur dan kultur masyarakat, khususnya di pedesaan. Meluasnya

kemiskinan, ketimpangan hingga memudarnya nilai-nilai dan ikatan

tradisional masyarakat desa adalah kondisi yang paling sering

dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut. Dengan

kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-sistem

ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan (pedesaan) juga

semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin lebar

(Tjondronegoro, 2008:167). Selain itu, hubungan sosial menjadi

bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan diri sendiri

(self fulfillment) serta determinasi manusia sebagai homo economicus

(Somantri, 2006:466). Dalam konteks memahami transformasi sosial,

institusional dan kebudayaan dalam arti luas inilah kemudian

sosiologi pedesaan berkembang.

Seberapa jauh dan dalam dampak modernisasi, globalisasi

dan liberalisasi ekonomi tersebut terhadap keterbukaan1 dan

transformasi kebudayaan masyarakat desa-tradisional merupakan

ranah penelitian yang menarik dan penting untuk dikaji. Mengingat,

1 Popkin (1986:1) menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desa-desa yang terbuka (open villages), yaitu desa dengan tanggung jawab individual terhadap pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia luarnya, tiadanya pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian kewargadesaan (village citizenship) dan pemilikan tanah secara pribadi.

seperti yang dikemukakan oleh Prof Sajogjo (1982), bahwasanya

untuk memahami sistem ekonomi masyarakat, kita harus

mempelajari budayanya dan untuk mempelajari budaya masyarakat,

haruslah memahami perilaku ekonominya. Salah satu kajian terkait

dampak sistem ekonomi pasar terhadap kondisi sosial ekonomi

masyarakat pedesaan pernah dilakukan oleh D.H. Penny (1990),

dimana ia menyimpulkan bahwa kerawanan pangan dan kemiskinan

di pedesaan adalah akibat dari sistem ekonomi pasar (yang kini

bahkan diperkuat oleh gelombang modernisasi, globalisasi dan

liberalisasi).

Gambar 1. Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan (Peny, 1990:81-85).

Dalam kajiannya, D.H. Peny (1982) menyimpulkan bahwa

liberalisasi ekonomi telah gagal memberikan kemakmuran bagi

masyarakat petani di pedesaan Jawa. Liberalisme juga gagal

memberikan penjelasan serta petunjuk tentang langkah-langkah yang

Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Budaya

1. Cara (moda) ekonomi yang dominan

2. Peranan harga dalam alokasi sumber daya

3. Pasar tenaga kerja 4. Persewaan tanah/lahan 5. Peminjaman dan gadai

tanah serta pemilikan yang lainnya

6. Kemiskinan absolut dan relatif

1. Frekuensi Gotong royong 2. Partisipasi dalam

acara/upacara sosial 3. Tingkat perceraian 4. Tingkat migrasi terpaksa 5. Tingkat apatisme individu

dan sosial 6. Tingkat

kejahatan/kriminalitas

Komersialisasi

harus diambil dalam memecahkan persoalan kemiskinan yang

membelenggu petani di pedesaan. Paham dan teori liberalisme - yang

diwujudkan dalam proses komersialisasi atau pasarisasi

(marketization) – ini tidak cocok untuk masyarakat pedesaan di

Indonesia2. Buktinya, proses komersialisasi yang sama persis terjadi

di Barat dengan di Jawa, ternyata membawa hasil akhir yang bertolak

belakang.

Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010

Gambar 2. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya (Kiri). Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat

(2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi penyebab perceraian di Kab. Subang adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan ekonomi.

2 Liberalisme ekonomi yang diadopsi dan kemudian melahirkan pemiskinan dan kemiskinan bagi petani juga diungkapkan dalam catatan Mohamad Sadly (1965) tentang “pemiskinan ilmu ekonomi” dimana ilmu ekonomi yang diajarkan di UI mengikuti kelazimanan yang ada di Belanda (ekonomi pemerintahan). Berbeda dengan di UI, ilmu ekonomi di UGM lebih bercorak sosial ekonomi (ekonomi pertanian). Hal ini penting untuk dipahami, sebab jika dilacak secara genealogi pengetahuan, di UI inilah kemudian lahir para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia yang biasa disebut sebagai The Berkeley Mafia yaitu para murid dari Soemitro (seorang sosialis) yang sepulang dari menempuh pendidikan di Amerika justru menjadi pembela utama ekonomi pasar di tanah air, seperti Widjojo, Suhadi, Subroto, Emil Salim, Sumarlin dan Ali Wardhana (Nugroho, 2010:249-254). Sementara itu, dari UGM lahir pemikir yang lebih sosialis, seperti Mubyarto dengan ekonomi pancasila-nya yang terinspirasi pemikiran James C. Scott. Todaro (1987) dalam Nugroho (2010:272) juga mengatakan bahwa teori ekonomi tradisional (neoklasik dan keynesian) terbatas relevansinya untuk memahami segi-segi khusus perekonomian di negara berkembang.

Jika masyarakat Barat mendapatkan kemakmuran melalui

proses komersialisasi, maka masyarakat di pedesaan Jawa – dan Asia

Tenggara pada umumnya - justru semakin kehilangan keterampilan-

keterampilan non-pertanian dan laju kemiskinan serta kemelaratan

jauh lebih cepat daripada sebelumnya (Soedjatmoko, 1980:46).

Ditandai dengan terjadi erosi bertahap dari berbagai bentuk hubungan

produksi lama dan meningkatnya dominasi buruh serabutan seiring

berkembangnya kapitalisme agraria (Pincus, 1994;38). Ditambah

dengan gejala pengasingan (alienasi), kemerosotan dalam hidup

bermasyarakat serta tidak adanya perhatian terhadap kepentingan

bersama telah melanda sebagian besar kehidupan wong cilik di

pedesaan Jawa.

Secara sosiologis, beberapa kelemahan dan dampak dari

komersialisasi telah secara nyata muncul ditengah masyarakat

pedesaan di Jawa. Sebagian pihak mungkin mengatakan fenomena

ini sebagai bentuk transisi masyarakat menuju “kemajuan”. Mereka

yang menganggap bahwa komersialisasi merupakan wujud transisi

masyarakat menuju kemajuan setidaknya memiliki lima dasar

argumentasi tentang keuntungan komersialisasi, yakni (1) mendorong

peningkatan produksi, kesejahteraan jasmani, bertambahnya pilihan

jenis pekerjaan, teman hidup dan paham-paham politik (2)

memungkinkan suatu bangsa melakukan spesialisasi (keuntungan

komparatif) (3) meningkatkan mobilitas bangsa-bangsa, terobosan-

terobosan baru yang berani di bidang intelektual (4) orang menjadi

lebih rasional dalam tindakan dan perilaku ekonomi, politik, dan

sosial lainnya serta (5) perbaikan komunikasi dan berkurangnya

kepercayaan kepada takhayul (Peny dalam Sajogyo, 1982:167-168).

Namun di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa

komersialisasi merupakan penyebab “kemunduran”. Sebab,

komersialisasi dianggap telah melahirkan ketidakseimbangan antara

“kekayaan untuk diri sendiri” dan “kesejahteraan umum”,

merosotnya “perasaan bermasyarakat”, lunturnya kemampuan

memperoleh teman, polusi, kerusakan lingkungan dan lain

sebagainya. Selain itu, kebanyakan rumah di kota maupun desa di

jawa kini berjeruji besi dan berpagar tinggi karena banyaknya

pencurian dan kriminalitas lainnya, ijon kerja diganti dengan upah,

upacara-upacara adat menjadi tidak lagi dihargai, ada beberapa petani

yang menjadi lebih kaya dan berkuasa daripada sebagian besar petani

lain di kampungnya, meningkatnya kebiasaan berhutang dalam

masyarakat, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, desa-desa yang

dulunya makmur dan aman dengan lumbung-lumbung pangan

mereka, kini bahkan tidak mampu lagi untuk berswasembada.

Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010:115

Gambar 3. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya. Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus

meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan.

Meskipun demikian drastis perubahan sosial di pedesaan,

namun masyarakat desa terkadang memiliki cara penyelesaian dan

adaptasi terhadap perubahan yang unik. Sebagai contoh, ketika

involusi pertanian terjadi di pedesaan - sebagai akibat dari tekanan

penduduk dan sumber daya yang semakin menurun - maka struktur

sosial di pedesaan Jawa tidak lantas terpolarisasi3, melainkan

cenderung tetap berusaha untuk menjaga homogenisasi sosial dan

ekonomi diantara mereka. Dalam istilah Geertz (1983:102) fenomena

ini disebut sebagai “berbagi kemiskinan” atau “kemiskinan yang

dibagi rata” (shared poverty). Dalam konteks “memiskinkan

bersama” ini, masyarakat desa membagi-bagi rezeki yang mereka

punya bersama-sama, hingga lama-kelamaan makin sedikit bagian

yang diterima oleh setiap orang atau rumah tangga. Pola inilah yang

barangkali juga menular pada hubungan-hubungan sosial lainnya,

dimana aturan-aturan (rules) dalam masyarakat juga turut berubah

sedemikian hingga mengikuti semangat berbagi kemiskinan. Lebih-

lebih dengan makin kencangnya arus globalisasi-modernisasi-

liberalisasi ekonomi seperti saat ini, maka tidak menutup

kemungkinan pola-pola berbagi kemiskinan ini telah berkembang,

bermutasi dan bahkan menghilang mengikuti semangat

individualisme dan komersialisme yang menjadi ruh masyarakat hari

ini.

3 Meskipun mekanisasi atau modernisasi teknologi pertanian berlangsung, struktur masyarakat di pedesaan Jawa tidak lantas juga terpolarisasi, melainkan yang terjadi adalah masih dalam taraf stratifikasi. Hal inilah yang ditemukan dalam kajian Hayami & Kikuchi (1981). Memang diakui kecenderungaan perubahan ke arah polarisasi dapat saja terjadi, namun selama interaksi sosial dalam komunitas petani yang diikat oleh prinsip moral tradisional bisa dijaga dan dipertahankan tentu saja akan menghambat adanya polarisasi. Masalahnya adalah seberapa kuat dan seberapa lama nilai moral tersebut mengikat dan dapat menghambat sifat “personal/individualistik” dan menjaga dari pasar bebas (marketisasi)? Jika institusi atau kelembagaan sosial gagal menjaga ikatan solidaritas antar anggotanya, maka yang terjadi di pedesaan tidak hanya stratifikasi atau polarisasi akibat masuknya teknologi saja, melainkan juga akan mengarah pada individualisme yang meluas dan berakibat pada memudarnya ikatan tradisional komunitas, khususnya yang selama ini bersifat altruistik, seperti gotong royong dan adat-istiadat.

1.1.2. Gejala Komersialisasi Sosial di Pedesaan Jawa

Kondisi pedesaan - di Pulau Jawa khususnya – yang timpang

secara struktural, baik dari segi kepemilikan, penguasaan, pendapatan

hingga distribusi sumber daya, ternyata juga diiringi dengan

perubahan sikap dan perilaku warganya yang semakin berwatak

“modern” yang ditandai dengan sikap komersil4, individualistik,

rasional, dan berorientasi material5. Pandangan kita tentang

masyarakat desa yang guyub, memiliki rasa solidaritas tinggi, gotong

royong, egaliter dan berorientasi nilai (ideal) hampir-hampir musnah

akibat terpaan modernisasi, globalisasi dan liberalisasi pasar ini.

Salah satu indikasi paling mencolok dari berubahnya pola relasi dan

mindset warga desa adalah makin terpinggirkannya tradisi-tradisi dan

ritual-ritual tertentu yang menjadi warisan nenek moyang mereka

secara turun menurun. Sebagian tradisi itu hilang, namun ada juga

yang masih bertahan, seperti misalnya tradisi nyumbang yang dapat

ditemui di hampir setiap etnis dan wilayah di Nusantara. Tradisi

nyumbang ini memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya

dapat bertahan meski ditempa oleh arus modernisasi yang demikian

kencang.

Beberapa alasan yang menyebabkan tradisi nyumbang ini

tetap eksis ditengah masyarakat adalah, pertama, tradisi ini

merepresentasikan sifat dan kepribadian asli orang Indonesia yang

terbiasa hidup secara komunal (extended family) dan oleh karena itu

bersifat suka menolong. Kedua, tradisi ini sangat terkait dengan 4 Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas, maka golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung individualistik (Peny, 1990:xvviii). 5 Yuniarto, 2009:197

pranata sosial lainnya seperti perkawinan, yang merupakan institusi

yang sangat dihargai di dalam kehidupan sosial. Ketiga, tradisi ini

disadari oleh setiap anggota masyarakat bersifat timbal balik

(resiprokal), sehingga orang tidak ragu melakukannya karena pada

suatu saat ia juga akan mendapatkan balasan pertolongan serupa dari

anggota masyarakat lainnya. Menariknya adalah, bagaimana tradisi

nyumbang ini beradaptasi dengan arus perubahan yang melanda desa

tersebut? Bagaimana orang desa menilai tradisi nyumbang ini

ditengah kondisi kehidupan (living condition) yang menurut para ahli

dikonstruksikan sebagai kondisi kemiskinan dan disharmonisasi

sosial pedesaan? Sebelum sampai kesana, barangkali dapat kita

simak sebagian contoh atau bentuk tradisi sosial (nyumbang) yang

ada di Pulau Jawa, antara lain :

Jagong : Tradisi Nyumbang di Jawa Tengah

Tradisi mendatangani undangan pernikahan di Jawa Tengah

biasa disebut Jagong. Masyarakat yang mengadakan upacara

pernikahan atau resepsi biasanya mengundang kerabat, tetangga, dan

teman-temannya. Orang-orang berdatangan ke acara resepsi dengan

membawa amplop berisi uang sumbangan maupun membawa kado.

Namun, pada beberapa acara pernikahan ada peraturan untuk tidak

menyumbang berupa barang ataupun karangan bunga. Ketentuan

tersebut dicantumkan dalam undangan, biasanya digambarkan

dengan gambar “kendi” atau “celengan” yang biasa digunakan untuk

menyimpan uang. Jika dalam undangan tertera gambar tersebut,

masyarakat sudah paham bahwa yang mempunyai hajat

menginginkan sumbangannya berupa uang. Besarnya sumbangan

juga disesuaikan dengan mewah atau tidaknya acara, jadi jumlah

sumbangan yang harus diberikan akan berbeda ketika acara tersebut

diselenggarakan di rumah atau di gedung pertemuan. Pada

masyarakat pedesaan, banyak yang masih memberikan bahan

makanan seperti beras, telur, gula, teh, sayuran, buah-buahan dan

sebagainya. Akan tetapi saat ini untuk kepentingan praktis,

masyarakat pedesaan pun mulai memilih nyumbang dalam bentuk

uang. Hanya anggota keluarga saja yang biasanya nyumbang dalam

bentuk bahan makanan. Jika yang mempunyai hajatan tersebut masih

ada hubungan saudara, maka jumlah sumbangan yang diberikan pun

semakin besar. Belakangan, di beberapa daerah muncul gejala

“standarisasi” jumlah sumbangan yang berupa uang.

De’-Nyande’ : Tradisi Nyumbang di Madura

Tidak jauh berbeda dengan tradisi nyumbang di Jawa Tengah,

pada umumnya, masyarakat Madura juga mengenal tradisi

nyumbang. Yang membedakan adalah, ketika mengisi buku tamu,

para tamu undangan juga dicatat jumlah sumbangannya dan

disebutkan namanya melalui pengeras suara beserta jumlah

sumbangannya. Sehingga para tamu undangan mengetahui besar

sumbangan dari masing-masing tamu. Kemudian catatan tersebut

akan disimpan orang yang mempunyai hajatan dan dipakai acuan

untuk mengembalikan sumbangan dengan jumlah yang sama dengan

yang diterimanya.

Mbecek : Tradisi Nyumbang di Jawa Timur

Tradisi mbecek atau buwuh sering kali diartikan sebagai

pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak

yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk

sumbangannya dapat berupa barang (beras, gula, kentang, mie, roti,

pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya) yang bisanya akan

dibawa oleh kaum perempuan disamping uang, Sedangkan untuk

laki-laki sumbangan tersebut biasanya berupa uang saja. Tradisi

mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang

memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu

keluarga yang menggelar hajatan (saudara dan tetangga) dan ada

yang berperan sebagai penyumbang (tetangga, saudara, sahabat,

teman dan kenalan). Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan

yang ada di desa seringkali aktivitas mbecek ini merupakan kebiasaan

yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat

yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena

keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya

keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari

usaha yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan tradisi hajatan

pada umumnya, tradisi mbecek bisa berlangsung beberapa hari. Dari

mulai persiapan (rewang), ketika berlangsungnya acara, hingga

selesainya acara. Selama itulah anggota masyarakat akan membantu.

Tradisi ini melibatkan semua orang dewasa, sehingga waktu yang

sedianya digunakan untuk bekerja terkuras untuk tradisi mbecek atau

buwuh ini.

Gantangan : Tradisi Nyumbang di Subang-Jawa Barat

Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Telitian”,

atau “Talitihan” adalah salah satu contoh kebiasaan yang

berkembang di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sistem hajat6

gantangan seperti ini dijalankan dengan kuat di Subang wilayah 6 Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti perhitungan kalender/bulan “baik” dan “tidak baik/dilarang” untuk melakukan hajatan. Bulan yang dijauhi untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid (2), Muharram/Sura(4), dan Sapar (5). Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal (1), Raya Agung (3), maulud (6), Silih Mulud (7), Jumadil Awal (8), Jumadil Akhir (9), Rajab (10), Ruwah (11), dan Puasa (12).

tengah dan utara yang juga dikenal sebagai salah satu daerah

lumbung padi nasional. Nuansa pertukaran ekonomi dalam tradisi ini

terasa sangat kuat. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan

menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun

jauh, teman kerja, atau para tamu undangan bisa “menyimpan” beras

atau uang dalam jumlah tertentu. Sejumlah uang atau beras yang

diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang sifatnya

“pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat. Jika kelak

si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang serupa, maka

si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan sumbangan itu

dengan nilai yang sama (Prasetyo, 2010).

Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras (5

gantang) dan uang Rp. 200.000,- kepada tuan B yang sedang hajatan

menikahkan anaknya, maka ketika tuan B membuat hajatan untuk

mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik kembali beras dan

uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan nilai yang sama

ditambah dengan sejumlah simpanan yang ingin diinvestasikan oleh

tuan A. Sedangkan tuan A, mau tidak mau, punya tidak punya, harus

mengembalikan beras dan uang tuan B, bagaimanapun caranya.

Padahal, bisa jadi harga beras sudah naik beberapa kali lipat dari saat

menerimanya dulu. Akibat sistem “tabungan” seperti ini, maka orang

yang memiliki uang atau modal, berbondong-bondong untuk

menyimpan uang atau beras dalam jumlah yang besar. Dengan

harapan, kelak ketika dia hajat, dia akan memanen semua

“tabungannya” tadi.

Menurut kesimpulan dari hasil penelitian Ari Prasetiyo

(2003), tradisi nyumbang yang menunjukkan nilai-nilai solidaritas

dan gotong royong ini, ternyata belakangan sistem timbal baliknya

(resiprositi) semakin dirasa memberatkan oleh sebagian rumah

tangga atau anggota masyarakatnya. Namun mereka juga tidak dapat

serta merta meninggalkannya karena kontrol sosial yang masih kuat

berupa gunjingan dan juga karena faktor status, gengsi atau martabat.

Tradisi nyumbang diatas, menurut Wolf, sebenarnya dapat

dikategorikan sebagai “biaya sosial” yang harus ditanggung oleh

rumah tangga di pedesaan atau disebut juga sebagai dana seremonial

(ceremonial fund) (Wolf, 1966:10). Beragam bentuk dan pola tradisi

nyumbang di atas menunjukkan ada banyaknya variasi tata cara

dalam tradisi nyumbang, tergantung pada kebiasaan dan nilai-nilai

yang dianut oleh masyarakatnya. Akan tetapi, semua tradisi sosial

diatas menunjukkan gejala perubahan ke arah yang hampir sama,

yaitu komersialisasi. Sebagai contoh dari gejala komersialisasi tradisi

nyumbang ini ada pada pola dan sifat-sifat dalam tradisi gantangan

di pedesaan Subang, Jawa Barat, antara lain :

a. Tidak Sukarela (Sumbangan = hutang). Sumbangan tidak

dianggap sebagai bantuan sukarela, melainkan dimaknai sebagai

hutang bagi penerima dan simpanan bagi si penyumbang.

b. Terbuka, siapapun boleh masuk dalam sistem gantangan ini

meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Namun jika

sudah masuk ke dalam sistem gantangan, maka seseorang tidak

dapat keluar sebelum semua hutang-hutangnya terlunasi.

c. Mengikat, karena tercatat hitam di atas putih. Baik penyumbang

maupun yang disumbang memegang catatannya masing-masing

dan diharapkan setiap orang memiliki komitmen yang kuat dan

kejujuran untuk saling menyimpan dan mengembalikan.

d. Memaksa, ada kewajiban untuk membalas/mengembalikan

sumbangan jika tiba pada waktunya. Seandainya tidak datang,

maka pemilik hajat akan mendatangi langsung untuk menarik

semua simpanannya.

e. Akumulatif, jumlah sumbangan terus bertambah dan pada kasus

tertentu dikenakan bunga dalam pengembaliannya (hutang yang

belum terlunasi, khususnya kepada Bandar)

f. Turun-menurun, karena hutang gantangan tersebut dapat

diwariskan/dialihkan pada anak, istri, atau keluarga lainnya

(misalnya ketika yang bersangkutan meninggal dunia atau menjadi

TKI/TKW di luar negeri)

g. In-elastis terhadap naik turunnya pendapatan rumah tangga. Tidak

peduli sedang susah ataupun banyak rejeki, sedang panen atau

gagal panen, jumlah hutang dan simpanan tidak dapat

dikurangi/disesuaikan dengan pendapatan saat itu.

h. Negosiatif, dalam beberapa kasus terjadi tawar menawar besarnya

sumbangan antara tuan rumah/pemilik hajat dengan penyumbang.

Biasanya pemilik hajat akan melihat kemampuan dia dalam

membayar kembali setelah hajat selesai. Sebab, jumlah

sumbangan yang terlalu besar jika diterima begitu saja dapat

menjadi hutang yang menakutkan dan merugikan di kemudian

hari.

i. Sistem Bandar, bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki

modal untuk menyelenggarakan hajat, maka selain berharap

sumbangan dari tetangga, ia juga dapat meminjam (berhutang)

kepada Bandar (beras, daging, telur, gula, dan sebagainya).

Kemudian setelah hajatan usai, ia akan membayarnya kembali

dengan harga atau jumlah yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam kondisi dan relasi seperti yang digambarkan diatas,

tindakan sosial dapat dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomi

(Damsar, 2006:13). Sebagaimana teori pertukaran yang dikemukakan

oleh George C. Homans, bahwa suatu tindakan adalah rasional

berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dengan kata lain, interaksi

sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Meskipun, tidak semua

pertukaran sosial dapat diukur dengan uang (Poloma, 2004:52).

Manusia, dalam interaksi sosial senantiasa dihadapkan pada pilihan-

pilihan yang mencerminkan cost dan reward yang membuat manusia

selalu mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada

biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio).

Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi

kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai kemiskinan

ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana masyarakat desa

yang “dipandang miskin” itu justru memelihara tradisi yang nampak

“mahal” tersebut? Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit,

bagaimana harus menolong dan berbagi dengan orang lain? Apakah

tesis dan proposisi yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa

“orang makin miskin makin bersikap komersil dan individualistik”

menjadi tidak berlaku? Atau justru tesis tersebut benar adanya,

mengingat pola tradisi nyumbang ini telah berubah sedemikian rupa

menjadi medan akumulasi keuntungan sebagian anggota

masyarakatnya? Atau sejarah dan kultur masyarakat tertentulah yang

membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah dan derajat

komersialisasi yang berbeda-beda?

1.2. Rumusan Masalah

Serupa dengan tradisi nyumbang di tempat lain, pada mulanya

modal sosial Gantangan ini merupakan bentuk bantuan sosial untuk

meringankan beban orang-orang yang masih dalam kelompok primer

(ikatan keluarga dan tetangga dekat). Biasanya diberikan ketika si

penerima akan menjalankan hajatan, ketika dalam kesulitan atau

seremonial tradisi lainnya. Namun lambat laut, tradisi gantangan ini makin

meluas hingga melibatkan keluarga besar7 dan mereka yang berada di luar

kelompok primer (non-family) dan bahkan melintas batas desa. Orientasi

tradisi ini pun bergeser menjadi semakin bersifat ekonomi daripada sebagai

sebuah kebiasaan tolong-menolong biasa. Dari sisi budaya, jika dahulu

Gantangan adalah sebuah kebiasaan (folkways), maka kini ia telah menjadi

adat istiadat (custom) dengan beragam peran (roles), aturan (rules),

prosedur (procedures), dan sanksi (sanction) yang melingkupinya.

Perubahan ini juga membawa konsekuensi pada munculnya berbagai gejala

perilaku yang berbeda dari tujuan “sosial”8 dari tradisi ini semula. Gejala

ini ditandai oleh resiprositas yang bersifat makin mengikat, memaksa,

formal (tercatat hitam di atas putih) serta dalam kondisi tertentu cenderung

memberatkan dan merugikan.

Namun yang lebih menarik dari itu adalah bagaimana persoalan

tradisi ini ketika dikaitkan dengan konsep kemiskinan di pedesaan. Sebab, 7 Enam ciri dan fungsi potensial dari keluarga besar antara lain (1) tinggal bersama (2) rumah tangga bersama (3) produksi bersama (4) pembagiaan alat-alat produksi (5) penopang solidaritas dan jaminan sosial (6) wewenang membuat keputusan ekonomi yang sangat penting (Planck, 1990:32-33) 8 Kata “sosial” adalah salah satu kata sifat yang paling luas digunakan dalam bahasa Inggris. Ini terkait dengan kata benda “masyarakat” yang berasal dari bahasa Latin “socius” yang berarti “teman atau kawan”. Hal ini mengindikasikan bahwa apa itu “sosial” aslinya diturunkan dari fenomena “pertemanan”, yang menyiratkan makna kerjasama, solidaritas, saling respek/menghargai, dan kepekaan terhadap kepentingan umum (Uphoff, 2000:222)

subjek atau pelaku-pelaku dalam tradisi gantangan ini notabene adalah

rumah tangga di pedesaan yang seringkali didefinisikan “miskin”, baik

oleh institusi negara maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan

organisasi internasional. Bahkan dalam banyak kajian di perguruan tinggi

juga ditemukan kecenderungan fakta bahwa kehidupan rumah tangga di

pedesaan ini semakin sulit dan menderita. Bagi penulis, fenomena

gantangan yang semakin komersil di satu sisi, dengan fakta-fakta objektif

tentang kemiskinan di sisi lain adalah gejala yang menarik untuk dicari

kaitan atau benang merahnya.

Apakah fenomena tersebut sebenarnya mengindikasikan fenomena

terkikisnya solidaritas sosial yang telah tertanam dan mengakar di dalam

masyarakat selama bertahun-tahun? Jika ini benar, maka wacana tentang

kehancuran institusi-institusi di pedesaan itu semakin benar adanya. Atau

jangan-jangan letak permasalahan utamanya adalah pada konstruksi sosial

kita tentang kemiskinan itulah yang berbeda dengan konstruksi masyarakat

(perspektif emik)? Ibarat peribahasa “what we measures, affect what we

do”. Oleh karena itu, setelah memperhatikan berbagai permasalah diatas,

maka penelitian ini hadir untuk menjawab beberapa pertanyaan utama

sebagai berikut:

a) Bagaimana bentuk dan pola (relasi antar aktor) dalam sistem pertukaran

sosial gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda ?

b) Bagaimana transformasi pola hubungan dalam sistem pertukaran sosial

gantangan tersebut berlangsung (komersialisasi sosial) ?

c) Bagaimana model strategi dan pengambilan keputusan para aktor dan

kelompok dalam pertukaran sosial gantangan ini?

1.3. Tujuan Penelitian

a) Menganalisis bentuk-bentuk pertukaran sosial gantangan di tiga tipe

agroekologi desa miskin yang berbeda

b) Menjelaskan sejarah dan proses komersialisasi sosial Gantangan di

pedesaan Subang

c) Membuat suatu model strategi dan pengambilan keputusan para aktor

dan kelompok dalam pertukaran sosial gantangan melalui pendekatan

analisi teori permainan evolusioner

1.4. Manfaat Penelitian

Studi tentang pertukaran sosial gantangan di tiga desa miskin di

pedesaan Subang ini akan dapat memberikan penjelasan historis maupun

sosiologis terkait peran dan keberadaan modal sosial terkini yang masih

tersisa di tengah masyarakat pedesaan, khususnya di Kabupaten Subang.

Dengan diperolehnya gambaran serta penjelasan tersebut, maka dapat

dibuat suatu model jaminan sosial informal berbasis modal sosial

gantangan yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat di pedesaan.