BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89025/potongan/...3 (a)...
-
Upload
hoanghuong -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89025/potongan/...3 (a)...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Klasifikasi data citra satelit penginderaan jauh (remote sensing), dalam
hubungannya dengan kemajuan teknologi remote sensor, menjadi suatu persoalan
yang menantang. Apalagi jika citra satelit tersebut dengan resolusi rendah, maka
yang menjadi persoalan adalah dalam hal analisis. Perubahan tingkat resolusi
dapat berpengaruh dalam pengklasifikasian suatu obyek atau citra yang diamati.
Resolusi merupakan kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk
membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral
mempunyai kemiripan (Swain dan Davis, 1978). Resolusi spasial (Richards dan
Jia, 2006) digambarkan dengan ukuran piksel, yang merupakan ukuran terkecil
obyek yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan. Semakin
halus/tinggi tingkat resolusi maka semakin jelas atau semakin kecil ukuran obyek
yang dapat terdeteksi dalam sebuah citra satelit penginderaan jauh, dan semakin
mudah membedakannya secara visual. Di samping itu, struktur-struktur yang ada
di dalam citra juga dapat dianalisis secara rinci. Ukuran ini menunjukkan bahwa
obyek yang lebih kecil dari resolusi spasial tidak akan dapat dikenali atau
direpresentasikan sebagai obyek itu sendiri secara individual. Obyek tersebut akan
tercatat sebagai satu sel penyusun citra.
2
Sedangkan resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-
elektronik untuk membedakan obyek berdasarkan pantulan atau pancaran
spektralnya. Semakin banyak dan sempit band yang digunakan maka semakin
tinggi kemungkinannya dalam mengenali obyek berdasarkan respon spektralnya,
dan jika semakin banyak jumlah bandnya, maka semakin tinggi resolusi
spektralnya.
Menurut Sutanto (1999), bahwa resolusi spasial menggambarkan rincian
data tentang obyek yang dapat dideteksi dari suatu sistem penginderaan jauh, dan
resolusi spektral menunjukkan rincian spektrum elektromagnetik yang digunakan
di dalam suatu sistem penginderaan jauh.
Gambar 1.1 menyajikan dua dataset, berturut-turut dengan resolusi spasial
rendah dan resolusi spasial tinggi. Gambar 1.1(a), Wilayah Yogyakarta, dengan
struktur kota yang tidak teridentifikasi karena tingkat resolusi rendah (30 meter).
Gambar 1.1(b) adalah bagian kecil dari Gambar 1.1(a), dengan resolusi 50 kali
lebih besar (0,6 meter). Dengan peningkatan atau penghalusan resolusi, maka
struktur-struktur kota, seperti jalan, bangunan gedung besar, rumah hunian,
lahan hijau, jembatan, mobil, dan lain-lain, sudah dapat diakses dan dibedakan
secara visual. Selanjutnya, dengan resolusi spektral yang tinggi akan
mengakibatkan analisis terhadap struktur akan lebih rinci. Sebagai contoh, data
hiperspektral citra Hyperion di atas wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, terdiri
dari 242 band spektral, dan di antaranya seperti dalam Gambar 1.2. Dengan
banyaknya band spektral ini, akan lebih memungkinkan uraian struktur setiap
dataset secara rinci.
3
(a) (b)
Gambar 1.1 Citra satelit: (a) Hyperion di atas area Yogyakarta dan sekitarnya –
resolusi spasial 30 m; (b) Data Quickbird bagian Yogyakarta –
resolusi spasial 0,6 m
(a) (b)
Gambar 1.2 Citra satelit Hyperion di atas area Yogyakarta:
(a) Band 15 (Band 3, rev), (b) Band 114 (Band 58, rev)
4
Resolusi spasial terkait dengan klasifikasi fitur, yaitu semakin besar resolusi
spasial sebuah citra remote sensing, maka semakin baik melakukan klasifikasi
terhadap obyek yang ada di dalamnya, sedangkan resolusi spektral diperlukan
untuk pereduksian dimensi. Semakin tinggi resolusi spektral dari suatu citra
remote sensing, maka semakin banyak dimensinya. Akibatnya, penggunaan
metode pereduksian fitur dari dimensi tersebut semakin diperlukan, yang
manfaatnya, terutama untuk analisis lebih lanjut, seperti klasifikasi.
Data citra remote sensing dikarakterisasi dengan data yang dapat dipandang
sebagai koleksi spektra (domain spektral) di mana setiap piksel merupakan vektor
dan komponennya adalah nilai-nilai reflektansi (pantulan) pada panjang
gelombang tertentu, dan sekaligus dapat dianggap sebagai koleksi citra (domain
citra/spasial) yang diperoleh pada panjang gelombang yang berbeda.
Upaya pertama untuk menganalisis data remote sensing dengan
menggunakan metodologi, seperti teknik pengembangan lahan, berdasarkan
pemodelan sinyal, dikemukakan Landgrebe (2003). Setiap vektor piksel
digunakan sebagai sinyal, dan sinyal itu didasarkan pada algoritma pemrosesan,
yang lebih banyak berdasarkan pemodelan statistika. Pendekatan tradisonal dalam
mengklasifikasi data remote sensing bisa diringkas seperti dalam Landgrebe
(2005), dari dataset asli, tahapan membuat seleksi/reduksi fitur sesuai kelas yang
dipelajari, kemudian melakukan klasifikasi menggunakan fitur terekstraksi ini.
Jika data sampel (data latih) yang diperoleh sedikit, maka umumnya dilakukan
prosedur iteratif, dengan menambahkan sampel yang semi-label, yaitu sampel
5
yang tidak berlabel setelah tahap klasifikasi tertentu kemudian diberi label, pada
data latih yang sesuai kriteria tertentu.
Dimensi dalam citra remote sensing dikenal dengan band (saluran); untuk
sensor hiperspektral dalam suatu wilayah, dapat mengumpulkan lebih dari ratusan
band spektral sekaligus, dengan resolusi spasial yang lebih besar, misalnya 1,5
meter, sedangkan untuk data multispektral terdapat puluhan band, serta sensor
pankromatik hanya ada satu band.
Permasalahan dimensionalitas secara tradisional (Landgrebe, 2003), dapat
diselesaikan dengan menggunakan algoritma ekstraksi fitur (FE). Di samping itu,
ada juga teknik tak terkontrol (unsupervised) standar seperti principal component
analysis atau analisis komponen utama (AKU) dan independent component
analysis (ICA), dan teknik terkontrol (supervised) di antaranya discriminant
analysis feature extraction (DAFE), decision boundary feature extraction
(DBFE), dan non-parametric weighted feature extraction (NWFE).
Kesulitan-kesulitan dalam menganalisis data citra remote sensing di
antaranya adalah, persoalan data yang berukuran besar, ketepatan permukaan
bumi yang terbatas, perlunya informasi spasial/kontekstual, dan kesulitan
mengekstraksi informasi spasial (Fauvel, 2007). Kesulitan lain adalah sifat-sifat
data itu sendiri, misalnya, resolusi spektral dan resolusi spasial yang telah
mengalami peningkatan luar biasa sejak tahun 1970-an, dan juga daerah cakupan
sensor, serta peningkatan masing-masing nilai spektral (dari 8-bit hingga 16-bit).
Hal ini berakibat kesesuaian algoritma, untuk jenis data tertentu belum dapat
dipastikan sama terhadap jenis data yang lain. Misalnya, suatu model statistika
6
tertentu dapat dilakukan dengan baik untuk suatu sensor tertentu, tetapi belum
bisa dipastikan sesuai bagi sensor lainnya.
Dalam penelitian ini dipelajari reduksi dan klasifikasi fitur. Untuk reduksi
dimensi dilakukan dengan metode analisis komponen utama kernel (AKUK),
namun, karena pada umumnya masalah dalam domain dunia nyata (real world
problem) jarang yang bersifat linear-separable, dan kebanyakan bersifat non-
linear, sedangkan kinerja AKU belum optimal untuk data non-linear, apalagi data
citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini diasumsikan berdimensi tinggi
(hiperspektral) dan non-linear. AKUK adalah AKU yang diaplikasikan pada data
input yang telah ditransformasi ke ruang fitur. Kajian AKUK ini difokuskan pada
terbentuknya matriks kernel, sebagai representasi matriks kovariansi. Penelitian
ini juga dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi terhadap citra remote sensing,
menggunakan metode pengklasifikasi dengan fungsi regresi kernel.
1.2 Tinjauan Pustaka
Studi pendahuluan yang telah dilakukan, adalah mencari berberapa literatur
sebagai bahan referensi. Dalam kaitan dengan klasifikasi citra penginderaan jauh,
kajian yang telah dilakukan adalah peranan AKU untuk mengekstraksi fitur
(obyek) dapat memberikan pemahaman klasifikasi yang memadai (Djakaria, dkk,
2010b), dan klasifikasi terhadap obyek yang berukuran kecil (Djakaria, 2012),
serta perbandingan antara hasil ekstraksi fitur melalui AKU (dan AKUK)
(Djakaria, dkk, 2011). Sehingga, untuk melihat tingkat pemahaman yang
dimaksud di atas, perlu kajian lebih lanjut, terutama menyangkut tingkat akurasi.
7
AKU, adalah suatu metode yang banyak digunakan untuk mereduksi
sejumlah dimensi, misalkan p, dari sekumpulan data (variabel) observasi, menjadi
k variabel baru, dengan k p. Setiap k variabel baru hasil reduksi merupakan
kombinasi linear dari p variabel asal, dengan variansi yang dimiliki oleh p
variabel asal, sebagian besar dapat diterangkan oleh k variabel baru. AKU telah
dipelajari sejak awal abad 20, Pearson tahun 1901 dan Hotelling tahun 1935 telah
mempelajarinya melalui metode komputasi praktis (Tipping dan Bishop, 1999).
Perkembangan AKU begitu pesat, terutama penerapannya dalam berbagai bidang,
misalnya bidang kesehatan, biologi, lingkungan, pemrosesan citra, dan lain-lain,
sehingga menjadi suatu metode yang sangat baik untuk mereduksi sejumlah
variabel yang berdimensi lebih tinggi dan nonlinear, dengan menggunakan fungsi
kernel. Metode ini dikenal dengan AKUK.
AKUK banyak dibahas para ilmuwan, seperti Schölkopf, dkk (1998), yang
membandingkan manfaat AKUK dalam ruang fitur untuk pattern recognition
dengan menggunakan sebuah pengklasifikasi linear, dan menemukan dua manfaat
AKUK. Pertama, komponen utama (KU) nonlinear memberikan evaluasi
recognition terbaik dibandingkan dengan jumlahan KU linear yang bersesuaian;
dan kedua, pembentukan komponen nonlinear dapat lebih dikembangkan dengan
menggunakan komponen yang lebih banyak daripada dalam kasus linear yang
bersesuaian. Bahasan ini masih seirama dengan Yang, dkk (2004), yang
menganggap AKUK sebagai perluasan AKU. Menurut Yang, dkk, AKU
merupakan salah satu teknik klasik untuk menguraikan fitur linear, sedangkan
AKUK adalah salah satu metode yang menguraikan fitur nonlinear.
8
Bahasan Schölkopf, dkk ini telah menjadi rujukan banyak penulis, lihat saja,
misalnya Weinberger, dkk (2004), mengaitkan AKUK dengan matriks kernel
untuk mereduksi dimensi nonlinear, dan menurut Wu, dkk (2004), AKUK dapat
digunakan untuk memperoleh representasi dimensi rendah dari input dimensi
tinggi, sedangkan Mika, dkk (1999), berpandangan bahwa AKUK baik sekali
digunakan untuk mengekstrak struktur data nonlinear, dan masih banyak lagi.
Proses ini bertujuan untuk mempertimbangkan kendala nonlinear, dan untuk
memperjelas hubungan antara perluasan ruang fitur dengan pola (pattern) yang
sangat berarti (meaningful) dalam input space. Pada awalnya, AKUK memetakan
data ke dalam ruang fitur melalui suatu fungsi yang umumnya nonlinear, dan
selanjutnya membentuk AKU linear pada data hasil pemetaan.
Seperti halnya dengan AKU, AKUK juga bertujuan untuk mereduksi
sejumlah dimensi variabel agar menjadi lebih sederhana, dengan tidak
mengurangi informasi yang ada di dalam variabel sebelumnya. Prosedur ini lebih
dikenal dengan retain variances. Zhou (2003) menyajikan suatu analisis
probabilistik dari komponen utama kernel (KUK) dengan menyatukan teori AKU
probabilistik dan AKUK. Prosedur ini ditunjukkan, selama komponen kernel
mengembangkan pemodelan fungsi power (kuasa) nonlinear yang memberikan
struktur probabilistik. Di samping itu, AKUK (Zwald dan Blanchard, 2005)
bertujuan untuk menemukan kembali suatu subruang dimensi tertentu, dari ruang
Hilbert, sehingga suatu proyeksi pada subruang tersebut mempunyai harga mutlak
rata-rata kuadrat maksimum.
9
AKU, dan varian nonlinearnya, AKUK, adalah algoritma yang digunakan
secara luas dalam analisis data. Semuanya diekstrak dari ruang vektor di mana
data itu berada, suatu basis yang disesuaikan dengan data yang bervariansi
maksimum. Penerapannya sangat bervariasi, berkisar dari reduksi dimensional,
hingga denoising. Penerapan AKU dalam suatu ruang fungsi yang dibandingkan
dengan suatu ruang vektor pertama-tama diusulkan oleh Besse pada tahun 1979,
dalam sebuah disertasi program Ph.D di Universitas Toulouse, Prancis (Zwald,
dkk, 2004). AKUK merupakan suatu contoh metode yang telah memotivasi
pemahaman tentang AKU sehingga dapat mengabaikan batasan (persyaratan)
AKU linear dengan baik (Schölkopf, dkk, 1998).
Dibandingkan dengan metode lain untuk AKU nonlinear, seperti multi-layer
perceptron (MLP) autoassosiatif dengan sebuah bottleneck layer hidden atau
kurva utama (Schölkopf, dkk, 1998; dan Schölkopf & Smola, 2002), AKUK
mempunyai keunggulan manfaat dengan tidak melibatkan optimisasi nonlinear. Di
sini hanya memerlukan penyelesaian masalah nilai eigen seperti pada kasus AKU
standar. Selain itu, jika dibandingkan dengan kebanyakan jenis neural network
AKU (Oja dalam Schölkopf , dkk, 1998; Schölkopf & Smola, 2002), maka
AKUK berfungsi untuk memberikan suatu informasi (pemahaman) yang lebih
baik dari jenis fitur nonlinear yang diekstrak, yaitu komponen-komponen utama
dalam ruang fitur yang ditetapkan sebelum pemilihan fungsi kernel. Dalam hal ini,
spesifikasi jenis nonlinearitas masih sangat luas, yang seluruhnya memilih ruang
fitur (dimensi tinggi), tetapi bukan ruang bagian yang relevan yang dilaksanakan
secara otomatis.
10
Yao, dkk (2015) mengaplikasikan AKUK aditif tergeneralisasi guna
melakukan monitoring sekumpulan proses.
Dalam aplikasi pada data remote sensing, AKU (Danoedoro, 1996)
merupakan teknik rotasi yang sangat spesifik, yang diterapkan pada sistem
koordinat multiband (saluran atau dimensi yang banyak, bahkan lebih dari 3
dimensi) sehingga menghasilkan sumbu-sumbu baru atau citra baru dengan
jumlah band yang lebih sedikit, dengan demikian AKU mampu mereduksi
dimensi data. Sedangkan menurut Fauvel (2007), AKU memerankan sebuah
aturan penting dalam pemrosesan citra remote sensing. Meskipun demikian
batasan teoritik untuk analisis data hiperspektral yang telah ditunjukkan dalam
situasi praktis pada hasil-hasil yang diperoleh menggunakan AKU, masih
kompetitif untuk tujuan klasifikasi. Keunggulan dari AKU adalah tidak terlalu
kompleks di dalam hal analisis dan tidak adanya parameter yang diperhatikan.
Namun, AKU hanya berperan di dalam statistik orde kedua, yang dapat
membatasi efektivitas metode ini. Untuk mengatasi kelemahan ini, disajikan versi
AKU nonlinear, yakni AKUK, yang dapat bekerja pada statistik order lebih tinggi.
Tan, dkk (2006), merencanakan untuk menggunakan algoritma AKUK pada
data ilmu kebumian real seperti sea surface temperature (SST) atau normalized
difference vegetation index (NDVI). Informasi yang dihasilkan dari AKUK dapat
berkorelasi dengan sinyal seperti Southern Oscilation Index (SOI) untuk
menentukan keterhubungan dengan fenomena El Nino. AKUK dapat digunakan
untuk menemukan korelasi data nonlinear yang kemungkinan tidak dapat
ditemukan menggunakan AKU standar. Informasi atau data yang dihasilkan
11
menggunakan AKUK meliputi fitur data nonlinear. Fitur-fitur ini berkorelasi
dengan sinyal spasial-temporal yang dapat menemukan hubungan nonlinear.
AKUK memberikan peningkatan analisis dataset yang memiliki struktur
nonlinear.
Bajwa, dkk (2009) dan Bajwa dan Hyder (2005) mengklasifikasi citra awan
dengan lapisan tunggal menggunakan AKU serta membandingkannya dengan
AKUK. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi, pengumpulan data,
penormalisasian citra awan, mendefinisikan kelas-kelas awan, mengklasifikasi
jenis awan, mengevaluasi tingkat akurasi, dan membandingkannya dengan
teknologi yang lain.
Manfaat aplikasi pengklasifikasian struktur wilayah perkotaan (Netzband,
dkk, 2005) adalah algoritma klasifikasi dapat digunakan untuk membuat peta
tematik, tentang evolusi pertumbuhan wilayah perkotaan. Pada tingkat resolusi
rendah, klasifikasi hanya memungkinkan untuk mengekstrak jaringan kota dalam
mengevaluasi hubungan antara setiap zona kota (pinggiran kota, tengah, dan lain-
lain). Hal ini merupakan manfaat terhadap pemetaan dan pengklasifikasian.
Manfaat terhadap manajemen risiko, yaitu, dengan mengidentifikasi daerah
perumahan (pemukiman), daerah komersial, dan daerah industri, akan
memungkinkan untuk menganalisis sensitivitas dari sebuah kota yang berisiko
alam. Analisis geofisika memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan yang
lebih akurat tentang bahaya geologi yang mungkin terjadi. Remote sensing dapat
bermanfaat, antara lain dengan menganalisis tata ruang kota, seperti wilayah
padat, daerah terbuka, dan lain-lain, maka dapat membuat pemetaan masalah
12
sosial, dan distribusi layanan kritis (misalnya rumah sakit, sekolah) dapat
dipelajari.
Di atas telah dikemukakan, bahwa modifikasi yang tidak hanya
menggunakan algoritma klasifikasi piksel, akan tetapi juga algoritma piksel
tetangganya, adalah modifikasi dengan memasukkan informasi kontekstual.
Algoritma klasifikasi ini tidak banyak memanfaatkan informasi spasial yang
terdapat pada data remote sensing, dengan alasan pada umumnya data resolusi
spasial yang rendah. Namun, data dengan resolusi spasial tinggi memuat
informasi kontekstual yang banyak, karena dengan sebuah piksel yang diberikan
maka dapat diekstrak ukuran, bentuk dan distribusi tingkat kekaburan (gray-scale)
dari strukturnya. Hal ini merupakan cara mendiskriminasi beberapa struktur yang
dibuat dari materi yang sama. Sebagai contoh, menurut Fauvel (2007), jika
informasi spektral saja yang digunakan, maka atap dari rumah pribadi dan gedung
besar akan terdeteksi sebagai jenis struktur yang sama, tetapi dengan
menggunakan informasi spasial, akan memungkinkan klasifikasi dua obyek itu ke
dalam dua kelas terpisah. Jelasnya adalah, diperlukan sebuah pengklasifikasi
spektral/spasial secara simultan untuk mengklasifikasi data satelit penginderaan
jauh daerah perkotaan dengan lebih baik. Jackson dan Landgrebe (2002) juga
telah merencanakan suatu pengklasifikasi statistik iteratif berdasarkan pemodelan
Markov random fields (MRF) konvensional. Namun, pemodelan MRF mengalami
kesulitan karena resolusi spasial yang tinggi, di mana piksel-piksel yang
berdekatan sangat berkorelasi sehingga definisi sistem standar kedekatannya tidak
memuat sampel yang cukup efektif. Kelemahannya, sistem kedekatan yang besar
13
memerlukan komputasi yang sulit, sehingga dapat mengurangi manfaat
pemodelan MRF konvensional. Demikian pula dengan algoritma-algoritma yang
berdasarkan MRF secara tradisional, memerlukan tahapan-tahapan optimasi
iteratif, yang membutuhkan waktu yang cukup lama, dan berakibat penggunaan
informasi spasial tidak menghasilkan peningkatan akurasi klasifikasi.
Tinjauan di atas merupakan kajian dari segi pereduksian fitur melalui AKU
dan AKUK, sedangkan kajian tentang pengklasifikasian dan pendeteksian fitur
diuraikan berikut.
Benediktsson, dkk (2003) menggunaan filter morfologi sebagai cara
alternatif untuk melakukan klasifikasi bersama. Filter morfologi memungkinkan
untuk menganalisis tetangga suatu piksel menurut struktur dari mana ia berasal
dibandingkan dengan mendefinisikan keteraturan tetangga yang ditetapkan untuk
setiap piksel. Pendekatan ini telah memberikan hasil yang baik untuk berbagai
data perkotaan (lihat pula Benediktsson, dkk, 2005).
Apabila data terdiri dari ruang vektor berdimensi tinggi maka akan muncul
persoalan praktis dan persoalan teoritis, dan yang paling utama adalah kesulitan
dalam estimasi statistika dan banyaknya informasi komponen vektor (Fauvel,
2007). Dalam persoalan dimensionalitas dari vektor fitur, perlu adanya kehati-
hatian karena akan lebih membuat rumitnya persyaratan serta menambah
informasi kontekstual pada informasi spektral data asli. Meskipun demikian,
pendekatan tradisional sebagaimana metode statistika dan metode neural bisa
gagal dengan data berdimensi tinggi, sehingga tidak sesuai dengan penggunaan
informasi spasial yang ada.
14
Berbagai proses pencitraan, seperti keterhubungan pola, teknik pengenalan,
dan metodologi yang digunakan adalah untuk menganalisis informasi yang
terdapat dalam citra (Bajwa, dkk, 2009). Teknologi yang digunakan dapat
dibedakan dalam dua bagian, yaitu yang digunakan untuk pendekatan statistika
dan pendekatan non statistika. Metodologi statistika, seperti Fisher discriminant
analysis (FDA) (Joo, 2003), radial basis function neural network (RBFNN)
(Hongtao, dkk, 1997), dan support vector machines (SVM) (Cao, dkk, 2004)
dapat digabungkan untuk melakukan analisis terhadap citra remote sensing.
Sedangkan untuk teknik non-statistika, pendekatan yang sering digunakan untuk
pemrosesan citra adalah neural network (Ou, dkk, 1999; Barsi dan Heipke, 2003).
Metodologi-metodologi yang digunakan mempunyai beberapa keterbatasan,
antara lain, memerlukan waktu latih yang lebih lama, lebih mengeksploitasi waktu
pemrosesan, dan keterbatasan akurasi sekitar 70% (Haykin, 1999). Penurunan
tingkat akurasi ini sering akan menurunkan klasifikasi citra remote sensing,
sehingga akan mengurangi ketelitian dalam identifikasi.
Klasifikasi data citra hiperspektral terhadap fase pertumbuhan tanaman padi
dilakukan Darmawan, dkk (2011), dengan teknik spectral angle mapper (SAM).
Dengan teknik ini, perbedaan fase pertumbuhan tanaman padi dapat dengan
mudah dilakukan sehingga untuk masa yang akan datang dapat diaplikasikan
untuk estimasi produksi pada kurun waktu tertentu.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan antara lain Fauvel (2007), tentang
metode spektral dan spasial untuk mengklasifikasi data penginderaan jauh di atas
wilayah perkotaan. Untuk mengklasifikasi fitur atau obyek-obyek pada wilayah
15
perkotaan, Fauvel menggunakan metode morphological profile (MP) dan
derivative morphological profile (DMP). MP terdiri dari profil bukaan (opening
profile, OP) dan profil tutupan (closing profile, CP), sedangkan DMP adalah
derivatif MP.
Kesimpulan dari penelitiannya, bahwa terdapat dua strategi umum, pertama,
digunakan dua langkah pendekatan, dimana pada langkah pertama, menggunakan
fakta bahwa AKU meminimalkan kesalahan rekonstruksi dalam mengekstraksi
citra representatif dari data dan melakukan analisis spasial pada fitur terekstraksi,
merupakan pendekatan yang baik untuk mencapai tujuan klasifikasi. Sedangkan
pada langkah kedua, adalah meliputi klasifikasi data menggunakan fitur spektral
dan fitur spasial terekstraksi. Penggunaan support vector machines (SVM)
memberikan solusi masalah yang berkaitan dengan dimensi data hiperspektral dan
data latih ukuran sedikit. Untuk MP, sebuah vektor dibuat menggunakan fitur
spasial yang terekstraksi, dan untuk spektro-spasial SVM, didefinisikan sebuah
kernel yang menggunakan kedua informasi, spektral dan spasial. Selain itu,
pembobotan parameter yang mengontrol pengaruh setiap jenis informasi yang ada
dalam kernel yang dipilih. Hasil eksperimen menunjukkan akurasi yang sangat
baik dan perilaku yang saling melengkapi dua pendekatan klasifikasi. Pendekatan
morfologis mengekstrak fitur geometris lebih informatif daripada yang didasarkan
pada filterisasi daerahnya sendiri. Dengan demikian pendekatan morfologis lebih
sesuai untuk daerah perkotaan, sedangkan pendekatan berdasarkan filter
komplementer diri lebih cocok untuk peri-urban.
16
Strategi kedua, adalah berdasarkan penggabungan data. Pada awalnya
diselidiki penggabungan hasil dari beberapa pengklasifikasi. Hasil yang baik
dalam hal akurasi klasifikasi yang diperoleh dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh dari masing-masing pengklasifikasi. Fitur spektral dan fitur spasial dari
daerah yang sama dianggap sebagai dua data terpisah, kemudian dilakukan
penggabungan sebelum klasifikasi, yang bertujuan untuk memasukkan lebih
banyak informasi spektral.
Di Indonesia, penelitian yang menggunakan metode AKU, terhadap data
remote sensing, antara lain Wicaksono (2008) menyelidiki tingkat kesehatan
terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa, dengan menggunakan transformasi
AKU, membandingkan kemampuan citra Landsat 7 ETM+ dan citra ASTER.
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa, dengan beberapa kombinasi KU,
ternyata citra Landsat 7 ETM+ masih lebih unggul dibandingkan dengan citra
ASTER. Serupa dengan Wicaksono, Palapa (2002) mengidentifikasi dan
memetakan terumbu karang di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, dengan
menggunakan metode AKU pada citra hiperspektral CASI 15 band, dengan
tingkat akurasi citra KU1 sebesar 57%, KU2 35,5%, dan KU3 45%.
Farda (2008), mengkaji klasifikasi obyek berdasarkan segmentasi untuk
menganalisis citra dengan resolusi spasial tinggi, tidak menggunakan metode
AKU atau AKUK, melainkan metode klasifikasi berorientasi obyek menggunakan
segmentasi, seperti, K-Means image clustering, K-Means region clusterer, fuzzy
C-Means image clustering, simple region growing, statistical region merging, dan
mean shift, dan membandingkannya dengan citra tanpa segmentasi menggunakan
17
metode klasifikasi minimum distance to mean. Dari penelitiannya, diperoleh
klasifikasi citra hasil segmentasi mampu meningkatkan akurasi dengan baik.
Berdasarkan informasi yang diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini
dilakukan pendeteksian matriks kovariansi melalui transformasi AKU dan matriks
kernel melalui transformasi AKUK, untuk kernel yang dipilih. Selanjutnya
pekerjaan difokuskan pada pengklasifikasian obyek-obyek yang ada, dengan
menggunakan metode klasifikasi fungsi RKUK.
Perbedaan dengan penelitian terdahulu, adalah penggunaan fungsi RKUK
untuk kernel RBF, sebagai fungsi pengklasifikasi dengan metode klasifikasi biner.
Di samping itu, kajian piksel-piksel dari obyek remote sensing. Kalau pada
penelitian tentang remote sensing dengan transformasi AKU, lebih
menitikberatkan pada pereduksian terhadap dimensi, maka untuk metode fungsi
regresi kernel dengan AKUK ini, lebih memperhatikan matriks kernel yang
terbentuk. Hasil pereduksian dimensi untuk AKUK tidak terlalu dipertimbangkan,
melainkan lebih memperhatikan matriks kernel yang terbentuk.
Selanjutnya, hasil ekstraksi fitur sebagai hasil transformasi piksel dengan
AKUK akan dibagi dalam piksel (data) latih dan data uji.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa permasalahan
dengan rumusan sebagai berikut:
i. Bagaimanakah peranan algoritma AKUK dalam metode fungsi RKUK untuk
klasifikasi data citra remote sensing?
18
ii. Bagaimanakah gambaran kajian sifat-sifat parameter dari model RKUK?
iii. Bagaimanakah aturan model klasifikasi biner untuk data multikelas?
iv. Seberapa besarkah tingkat akurasi klasifikasi obyek data citra remote sensing
dengan menggunakan metode fungsi RKUK melalui fungsi sgn(f(x)) dan
modifikasi, sgn(f(x) + ), sebagai aturan klasifikasi, dengan kernel RBF?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memberikan informasi tentang penerapan teknik
AKUK, terutama untuk data citra remote sensing pada penutup lahan.
Selanjutnya, diperoleh metode klasifikasi yang unggul terhadap obyek data citra
remote sensing pada penutup lahan. Tujuan penelitian meliputi, antara lain:
i. Memberikan kajian tentang algoritma AKUK dalam metode fungsi RKUK
untuk klasifikasi data citra remote sensing.
ii. Memberikan kajian sifat-sifat parameter dari model RKUK.
iii. Menemukan aturan klasifikasi biner untuk data multikelas.
iv. Menjelaskan tingkat akurasi pengklasifikasi fitur dengan metode fungsi RKUK
pada data citra remote sensing, baik dengan fungsi sgn(f(x)) maupun fungsi
modifikasi sgn(f(x) + ), secara kuantitatif menggunakan matriks confusion.
19
1.5 Pembatasan Penelitian
Permasalahan yang berhubungan dengan pereduksian (transformasi) dan
klasifikasi fitur pada data citra remote sensing merupakan pertanyaan terbuka dan
kompleks. Oleh karenya dalam penelitian ini diberikan batasan permasalahan agar
penelitian yang dilakukan lebih fokus. Batasan-batasan permasalahan dalam
penelitian ini antara lain:
i. Memformulasi model fungsi RKUK.
ii. Membentuk aturan klasifikasi biner untuk data multikelas.
iii. Analisis tingkat akurasi klasifikasi dengan metode fungsi RKUK.
Dalam penelitian ini digunakan fungsi kernel yang dipilih seperti
didefinisikan pada Bab II, yaitu kernel RBF.
1.6 Manfaat Penelitian
Terdapat dua kajian utama dalam penelitian ini, meliputi kajian teoritik dan
kajian aplikasi (terapan). Dari dua kajian ini diharapkan akan dapat memberikan
beberapa manfaat, antara lain:
i. Sebagai salah satu prosedur yang dapat memudahkan penelitian lebih lanjut
tentang analisis statistika multivariat, khususnya teknik AKUK yang
merupakan salah satu teknik pereduksian dimensi dalam teori multivariat,
sehingga terbentuk data transformasi dengan AKUK yang akan digunakan
untuk klasifikasi fungsi regresi kernel.
20
ii. Di samping itu, penelitian ini juga bermanfaat bagi pemrosesan citra remote
sensing, terutama dalam mengklasifikasi obyek-obyek atau fitur sehingga
memberikan ketepatan dalam penafsiran suatu obyek dari obyek yang lain.
1.7 Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, kajian
teoritik, dan kajian aplikasi, serta membuat contoh dengan software. Di samping
itu pula dilakukan studi lapang, untuk penyelidikan awal data aplikasi, yang
termasuk dalam preprocessing. Studi literatur yang tentu saja didahului dengan
pengumpulan literatur pokok, berupa texbook dan jurnal, meliputi kunjungan ke
perpustakaan baik fisik maupun elektronik, termasuk penelusuran bahan
penelitian dan jurnal melalui internet. Hal ini tidak hanya pada awal penelitian,
namun akan secara sporadis dilakukan pada saat diperlukan.
Penelitian akan dimulai dengan melakukan peninjauan (review) AKUK, dan
metode pengklasifikasi fungsi regresi kernel untuk kernel yang dipilih, termasuk
mendeskripsikan kelebihan dan kekurangan dari metode ini.
Beberapa aplikasi pada data real, terutama data yang akan digunakan dalam
penelitian ini, berupa citra digital remote sensing hiperion, juga akan dilakukan
untuk konfirmasi hasil teoritis yang diuraikan sebelumnya misalnya bahwa KU,
dan juga KUK tidak saling berkorelasi satu sama lain. Demikian pula akan ditinjau
tingkat akurasi metode pengklasifikasi fungsi regresi kernel, terhadap obyek-obyek
dalam data citra remote sensing yang digunakan. Dalam hal aplikasi ini akan
digunakan software antara lain Matlab.
21
Tahapan penelitian yang direncanakan untuk mencapai tujuan penelitian
diuraikan dalam dua kajian berikut, yaitu kajian teoritik dan kajian aplikatif.
Kajian teoritik antara lain:
i. Mempelajari dan mengkaji konsep dasar AKU, terutama dalam penetapan KU
yang memiliki kandungan informasi yang besar dibandingkan dengan KU
lainnya.
ii. Seperti halnya kajian AKU, dalam penelitian ini juga dilakukan kajian model
AKUK.
iii. Mempelajari model analisis yang berhubungan dengan teknik pengklasifikasi,
seperti fungsi RKUK, untuk fungsi kernel RBF, bersama kajian tentang sifat-
sifat estimator RKUK.
Sedangkan kajian aplikatif meliputi, antara lain:
i. Mempelajari dan mengkaji prosedur penetapan model AKUK melalui data
citra remote sensing hiperion.
ii. Mengembangkan suatu prosedur pengklasifikasian obyek-obyek atau fitur-fitur
yang ada pada data citra remote sensing dengan pengklasifikasi fungsi RKUK,
sgn(f(x)) serta modifikasinya sgn(f(x) + ).
Adapun road map penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.3.
22
Input: X
Regresi Regresi
Klasifikasi
Gambar 1.3: Roadmap Penelitian
(X input adalah digital number citra hiperion)
Kernel RBF
(Definisi 2.13)
KU ke-: (model), Persamaan (2.1)
Y = a1X1 + a2X2 +… + apXp
= a jXjp
j=1 = a X,
= 1, …, p,
KUK ke-k: (model),
Persamaan (2.31, 3.14, dan 3.15)
k(x) =
Variabel hasil reduksi (Y = X)
digunakan sebagai prediktor
untuk model RKU:
Persamaan (3.4)
Y = X + (Teorema 3.2
dan Teorema 3.3)
dengan estimator parameter
(3.11)
Variabel hasil reduksi (W = XV)
(3.29), digunakan sebagai prediktor
untuk model RKUK:
Persamaan (3.31)
Y = W + (Teorema 3.4
dan Teorema 3.5)
dengan estimator parameter
(3.40)
(Poggio dan Smale, 2003): Fungsi RKUK digunakan untuk membentuk
fungsi klasifikasi dari sekelompok data berlabel secara parsial, dengan
menggunakan vektor bobot (Pers. (4.8), b = ) .
Bentuk model (3.21) dan (3.22), dapat dibentuk kembali menjadi model
(3.48), Y = f(x) , dan setelah x menjadi xtr dan xts, maka
bentuk model menjadi Pers. (4.13). Dari Pers. (4.7) s.d (4.13), dilanjutkan
ke fungsi klasifikasi:
AKUK
(metode mereduksi dimensi data
secara nonlinear, ilustrasi
Gambar 2.1)
sgn(f(x) = sgn(f(x)+) = (4.15)
R , kinerja klasifikasi lebih optimal.
AKU
(metode mereduksi dimensi data
yang memiliki struktur data
linear dan berdimensi rendah)
23
1.8 Kerangka Penulisan
Tulisan ini terdiri dari enam bab, diawali dengan Bab I, yang menguraikan
latar belakang, tinjauan pustaka, perumusan masalah, tujuan penelitian,
pembatasan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan kerangka
penulisan. Selanjutnya, Bab II, akan meninjau konsep-konsep dasar teori tentang
AKU, dan AKUK. Kemudian, diuraikan beberapa metode yang digunakan untuk
menganalisis data citra digital satelit penginderaan jauh, yang dikaitkan dengan
AKU, antara lain AKUK dan informasi pendukung lainnya.
Bab III, membahas RKUK, yang meliputi pemodelan RKU, RKUK itu
sendiri, dan pemodelan RKUK untuk data remote sensing hiperion. Pada bab ini
juga dibahas beberapa teorema sebagai usulan dalam disertasi ini. Sedangkan Bab
IV meninjau klasifikasi menggunakan RKUK, yang antara lain konsep klasifikasi,
dan klasifikasi dengan metode RKUK.
Bab V membahas aplikasi RKUK pada data citra remote sensing, yang
terdiri dari analisis data citra satelit dengan komponen utama kernel (KUK), dan
analisis klasifikasi untuk kernel yang dipilih seperti didefinisikan pada Bab II.
Terakhir, dalam Bab VI akan diberikan beberapa kesimpulan pembahasan
tulisan ini, saran-saran, dan masalah terbuka, agar dapat memberikan peluang bagi
penelitian-penelitian lain berdasarkan perkembangan teknologi dan informasi
serta teknologi lainnya.