BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tentunya memiliki...

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tentunya memiliki hukum yang berlaku untuk mengatur warga negaranya, termasuk di Indonesia yang merupakan negara hukum. Pengertian hukum secara umum adalah sebuah peraturan yang terbentuk dari adanya norma dan sanksi yang dibuat dan ditujukan untuk dipergunakan dalam mengatur tingkah laku manusia. Selain itu, hukum juga digunakan untuk menjaga keadilan, ketertiban dan mencegah terjadinya sebuah kekacauan yang tidak diinginkan. Setiap hukum yang berlaku tentunya memiliki tujuan dimana tujuan tersebut bersifat universal, yaitu terwujudnya ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum beberapa tujuan dari hukum antara lain: 1. Memberikan jaminan keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan bagi setiap anggota masyarakat. 2. Mengupayakan kemakmuran bagi seluruh masyarakat. 3. Melaksanakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. 4. Sebagai sarana penegakan dalam proses pembangunan. Sebuah hukum dapat dikatakan baik bila sudah memenuhi semua kriteria- kriteria tersebut. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum bertujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan serta untuk

Transcript of BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tentunya memiliki...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap negara tentunya memiliki hukum yang berlaku untuk mengatur warga

negaranya, termasuk di Indonesia yang merupakan negara hukum. Pengertian

hukum secara umum adalah sebuah peraturan yang terbentuk dari adanya norma

dan sanksi yang dibuat dan ditujukan untuk dipergunakan dalam mengatur tingkah

laku manusia. Selain itu, hukum juga digunakan untuk menjaga keadilan,

ketertiban dan mencegah terjadinya sebuah kekacauan yang tidak diinginkan.

Setiap hukum yang berlaku tentunya memiliki tujuan dimana tujuan tersebut

bersifat universal, yaitu terwujudnya ketertiban, ketentraman, kedamaian,

kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum beberapa tujuan dari

hukum antara lain:

1. Memberikan jaminan keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan bagi

setiap anggota masyarakat.

2. Mengupayakan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.

3. Melaksanakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.

4. Sebagai sarana penegakan dalam proses pembangunan.

Sebuah hukum dapat dikatakan baik bila sudah memenuhi semua kriteria-

kriteria tersebut. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum bertujuan untuk

melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan serta untuk

2

menegakkan keadilan, dengan demikian diperlukannya yang mengatur mengenai

Perlindungan Hukum. Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak

dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau

korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan

masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian

restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum1. Perlindungan

hukum yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik

yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun

yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum

sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri. Pengertian ini

mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai

pengertian dari perlindungan hukum diantaranya:

1. Satjipto Raharjo

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak

asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut

diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua

hak-hak yang diberikan oleh hukum2.

2. Setiono

Perlindungan Hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi

masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang

tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan

ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati

martabatnya sebagai manusia3.

3. Muchsin

Perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu

dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang

1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 133

2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53

3 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3

3

menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya

ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia4.

Sehingga secara konseptual perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat

Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan

terhadap terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila

sebagai prinsip dari negara hukum. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum, maka perlu adanya Perlindungan hukum, perlindungan hukum

diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik bersifat

preventif (pencegahan) maupun bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara

tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakan peraturan hukum. Menurut

Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum bagi masyarakat meliputi dua hal,

yakni:

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum dimana kepada masyarakat diberi kesempatan untuk

mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan

pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah

terjadinya sengketa5.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian

sengketa6.

4 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta: Magister

Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14

5 Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 4

6 Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 5

4

Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari

hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari

hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian

banyak jenis dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya

yang cukup populer dan telah akrab di telinga kita yang menjadi pembahasan

penulis, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen. Perlindungan hukum

terhadap konsumen ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen yang pengaturannya mencakup segala hal yang menjadi hak dan

kewajiban antara produsen dan konsumen. Perlindungan hukum konsumen

terdapat didalam beberapa aspek, dalam penulisan ini penulis akan membahas

tentang perlindungan hukum konsumen pengangkutan udara, dimana

pengangkutan udara melibatkan konsumen atau pengguna jasa dan juga produsen

atau penyelenggara jasa.

Pengangkutan udara yang merupakan bagian dari pengangkutan, dimana

pengangkutan itu sendiri sebagai perjanjian yang selalu didahului oleh

kesepakatan antara pihak pengangkut yang merupakan produsen dan pihak

penumpang atau pengirim yang merupakan konsumen. Kesepakatan tersebut pada

dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang maupun

pengirim7. Perjanjian pengangkutan itu sendiri berisikan di mana satu pihak

menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat

ke lain tempat, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar

7 Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan, (Bandung: ITB, 1990), hlm. 4

5

ongkosnya8. Pihak-pihak yang yang terlibat di dalam perjanjian pengangkutan

antara lain9:

1. Pihak pengangkut

Secara umum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang

(KUHD) tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam

pengangkutan laut. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian

pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri

untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau

barang.

2. Pihak Penumpang

Peraturan pengangkutan di Indonesia menggunakan istilah “orang”

untuk pengangkutan penumpang. Akan tetapi, rumusan mengenai

“orang” secara umum tidak diatur. Dilihat dari pihak dalam

perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang

mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas

dasar ini dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan.

3. Pihak Pengirim

Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) Indonesia juga tidak

mengatur defenisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari

pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang

mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang dan

atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan

barang dari pengangkut.

4. Pihak Penerima

Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin saja pengirim

itu sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam

hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam

perjanjian pengangkutan. Tetapi dalam hal penerima adalah pihak

ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam perjanjian

pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan

atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum

pengangkutan. Adapun kriteria penerima menurut perjanjian, yaitu:

a) perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak dari pengirim

barang;

b) dibuktikan dengan penguasaan dokumen pengangkutan;

c) membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan10

.

8 Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), hlm. 221

9 Suwardjoko Warpani, op. Cit., hlm. 60

6

Dalam perjanjian ini ada kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya

yang memang harus dipenuhi antara lain adalah:

1. Mengangkut penumpang atau barang-barang ketempat tujuan yang telah

ditentukan.

2. Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan

sebaik-baiknya.

3. Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.

4. Menjamin pengangkutan tepat pada waktunya.

5. Mentaati ketentuan-ketentuan penerbangan yang berlaku

Berdasarkan penjelasan diatas maka jelas perjanjian harus dilaksanakan dan

ditepati sesuai dengan kewajiban yang ada agar terlaksananya perlindungan

terhadap konsumen. Akan tetapi sampai saat ini, konsumen pengangkutan udara

di Indonesia belum mendapat perlindungan yang memadai. Meskipun Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah

memberikan pijakan yang kuat. Dalam hubungan hak dan kewajiban antara

konsumen pengangkutan udara dengan pelaku usaha pihak pengangkut di

Indonesia sering muncul permasalahan, dan dimana tanggung jawab yang

diberikan pihak pengangkut tersebut tidak sesuai dengan besarnya kerugian yang

dialami oleh konsumen pengangkutan udara, sehingga perlindungan konsumen

dirasa tidak terpenuhi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan:

10

Abdul Kadir Muhammad, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di

Indonesia Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi, (Yogyakarta: Genta Press,

2007), hlm. 15

7

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

tersebut suda cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk

meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan11

. Kesewenang-

wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar

segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara

kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen12

. Menurut

Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen yang bersangkutan antara lain13

:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/ atau jasa;

4. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

Memperhatikan substansi tersebut, bila diperhatikan bahwa Undang-Undang

Perlindungan Konsumen membagi 3 (tiga) bentuk asas yaitu14

:

11

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2008), hlm. 1

12 Ibid., hlm. 2

13 Citra Umbara, Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999, (Bandung: Citra

Umbara, 2007), hlm. 5

14 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. Cit., hlm. 26

8

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen;

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; dan

3. Asas kepastian hukum.

Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai

“tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”15

. Sebagai asas hukum,

dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik

dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang

berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang

terlibat didalamnya. Sehingga dari asas tersebut dapat ditarik tujuan-tujuan dari

adanya Perlindungan Konsumen ini, seperti yang dikemukakan dalam Pasal 3

Undang-Undang Perlindungan Konsumen:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan infomasi serta akses untuk mendapatkan

informasi;

15

Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin,

Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, hlm. 107

9

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan konsumen.

Dari pemaparan diatas kita sadar bahwa perlindungan konsumen merupakan

bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Lingkup kegiatan bisnis

pun tidak lepas dari pembangunan dan perkembangan perekonomian baik

dibidang perindustrian maupun perdagangan nasional, ditambah dengan

globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi yang

kiranya dapat memperluas ruang gerak arus pembangunan dan perkembangan

perekonomian. Demi terpenuhinya kebutuhan ini pasti diperlukan transportasi

untuk berpindah dari satu tempat ketempat yang lain. Transportasi udara (yang

kemudian disebut pesawat udara) salah satu jenis yang sangat dibutuhkan oleh

manusia dalam pemenuhan kebutuhannya. Pesawat udara merupakan alat yang

mutakhir dan tercepat dengan jangkauan yang luar biasa karena memiliki

beberapa kelebihan, antara lain yaitu faktor kecepatan. Terlebih bagi Negara

Republik Indonesia yang notabene sebagai Negara Kepulauan, Indonesia

memiliki ribuan pulau serta terhubung oleh selat dan laut, akan lebih

menguntungkan dengan pesawat udara terlebih dengan adanya keteraturan jadwal

dan frekuensi di penerbangan16.

16

Rustian Kamaluddin, Ekonomi Transportasi: Karakteristik, Teori dan Kebijakan, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 75

10

Seperti yang telah dijelaskan diawal, apabila perlindungan konsumen tidak

terpenuhi maka harus ada tanggung jawab oleh pihak pengangkut terhadap pihak

konsumen yang dirugikan. Pengertian dari tanggung jawab pengangkut adalah

kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita

oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Tanggung jawab

dapat diketahui dari kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian atau

undang-undang. Kewajiban pengangkutan adalah menyelenggarakan

pengangkutan. Kewajiban ini mengikat sejak penumpang atau pengirim melunasi

biaya angkutan17

. Jenis-jenis tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang

ialah sebagai berikut:

1. Tanggung Jawab Berdasarkan Atas Unsur Kesalahan (Liability Based On

Fault Principle), adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat

dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan

yang dilakukannya.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab (Presumption Of

Liability Principle), prinsip dimana pengangkut harus selalu bertanggung

jawab atas setiap kerugian yang ditanggung penumpang, sampai ia dapat

membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si

tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van

bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (Presumption Of

Non Liability Principle), prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi

17

Komar Kanta A, Tanggung Jawab Profesional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm .3.

11

konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara

common sense (perasaan yang dirasakan oleh masyarakat umum) dapat

dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum

pengangkutan kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi

tangan yang biasanya dibawa dan diawasi sipenumpang (konsumen)

adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut

(pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggung jawabannya.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability Principle), prinsip ini

sering di identikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute

liability principle). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan

kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability

principle adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak

sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian

yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya

dalam keadaan memaksa (force majeure). Sebaliknya, absolute liability

principle adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak

sebagai faktor yang menentukan. Absolute liability principle adalah

prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya

selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan

keduannya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subyek

yang bertanggung jawab dan kesalahanannya. Pada strict liability

principle, hubungan itu harus ada sementara pada absloute liability

principle hubungan itu tidak selalu ada maksudnya, pada absolute liability

12

principle dapat saja si tergugat yang diminta pertanggungjawaban itu

bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut.

Setiap perusahaan penerbangan harus bertanggungjawab terhadap

penumpangnya sebagai perwujudan untuk melindungi konsumennya sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Hal terpenting adalah penyediaan sarana keselamatan dalam penerbangan yang

bermanfaat untuk melindungi pemakai jasa angkutan dan juga menghindari

terjadinya hal-hal yang berdampak negatif atau hal-hal yang tidak diharapkan oleh

perusahaan itu sendiri yang kemudian menimbulkan kerugian besar baginya18

.

Namun dalam praktiknya pelaku usaha sendiri sering kali melakukan kelalaian,

beberapa contoh kasus yang termuat di media masa:

1. Pesawat Delay

Salah seorang penumpang maskapai penerbangan Wings Air, anak

perusahaan PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), David Tobing,

berjuang menuntut ganti rugi karena penundaan jadwal yang

dialaminya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No.

309/PDT.G/2007/PN.Jkt.Pst.

David yang berprofesi sebagai advokat dan kerap menangani kasus-

kasus perlindungan konsumen, pada 16 Agustus 2007 hendak

melakukan perjalanan ke Surabaya untuk menghadiri persidangan

menggunakan Wings Air IW 8985 keberangkatan pukul 08.35 WIB.

Setelah sejam menunggu, David diberitahu petugas bahwa

keberangkatan pesawatnya akan terlambat selama 90 menit karena

pesawat masih berada di Yogyakarta. Namun, pegawai kantor tidak

dapat memastikan jadwal tersebut. Ia hanya meminta maaf dan

mengatakan kepada David bahwa keterlambatan adalah hal lumrah

dan harus diterima semua penumpang. Merasa tidak dilayani dengan

baik, David langsung mencari penerbangan lain menuju Surabaya.

Dalam persidangannya melawan perusahaan penyedia jasa

penerbangan yang berlogokan singa dengan warna merah ini, majelis

hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memenangkan

18

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan Dan Perkembangannya, (Yogyakarta:

Seksi Hukum Dagang Fak. Hukum UGM, 1990), hlm.151.

13

David. “Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” sebut

hakim dalam putusannya.

Hakim menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar

Rp718.500,00 dan biaya perkara Rp234.000,00. Hakim juga

menyatakan klausula baku mengenai pengalihan tanggung jawab

atas kerugian yang ditimbulkan karena pembatalan dan/atau

keterlambatan pengangkutan, batal demi hukum dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat19

.

2. Bawaan Hilang dari Bagasi Pesawat

Kasus ini merupakan kasus barang bawaan penumpang yang hilang

di bagasi pesawat. Awalnya, kasus ini diselesaikan di Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menghukum PT

Lion Menteri Airlines (Lion Air) untuk membayar ganti rugi atas

hilangnya koper seberat 12 kilogram milik salah seorang

penumpang, Herlina Sunarti dalam penerbangan rute Jakarta –

Semarang pada 4 Agustus 2011.

Berdasarkan putusan BPSK No.

12/BPSK/Smg/Put/Arbitrase/X/2011, Lion Air harus membayar

ganti rugi sejumlah Rp25.000.000,00. Namun, Lion Air enggan

membayar ganti rugi senilai jumlah tersebut. Lion Air mendalilkan

kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan

Udara. Bila merujuk ke ketentuan tersebut, Lion Air hanya

mengganti kerugian dengan nilai barang per kilogram sebesar

Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah), sehingga total yang dibayarkan

kepada Herlina sebesar Rp1.200.000,00. Sebelumnya, BPSK hanya

mendasarkan kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Majelis Hakim PN Semarang memutus

untuk menolak permohonan Lion Air. Begitu pula upaya kasasi yang

diajukan oleh Lion Air dalam perkara No. 605 K/Pdt.Sus-

BPSK/2012 ditolak oleh hakim20

.

3. Kecelakaan Pesawat Sebab Pilot Lalai

Kelalaian pilot Singapore Airlines yang melaju di landasan pacu

yang sedang dalam perbaikan membuat perusahaan penerbangan

milik negara tetangga itu harus menanggung ganti kerugian yang

besar di samping asuransi yang wajib menjadi tanggung jawab atas

kecelakaan.

19

RIA, “Lima Kasus Maskapai Penerbangan yang Dibawa ke Pengadilan”, diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d046d9261ac/lima-kasus-maskapai-penerbangan-

yang-dibawa-ke-pengadilan, pada tanggal 12 September 2018 pukul 05.20

20 Ibid.

14

Sigit Suciptoyono merupakan salah satu penumpang yang selamat

dari kecelakaan penerbangan rute Singapura – Los Angeles ini.

Meski begitu, cacat akibat kecelakaan harus dipikul Sigit seumur

hidup. Kecelakaan terjadi saat pesawat No. SQ-006 ini hendak lepas

landas di Bandara Chiang Kai Sek (CKS), Taipei, Taiwan, menuju

Los Angeles, Amerika. Pada malam 31 Oktober 2000, dalam kondisi

hujan, pilot Singapore Airlines menerbangkan pesawat

menggunakan landasan pacu yang ditutup. Akibat salah

menggunakan landasan pacu tersebut, pesawat terjerembab, terbakar

dan terpotong menjadi tiga bagian sehingga menyebabkan 82 orang,

termasuk 4 orang awak pesawatmeninggal dunia.

Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, melalui Putusan No.

908/PDT.G/2007/PN.Jak.Sel menghukum Singapore Airlines

membayar ganti kerugian kepada Sigit sebesar Rp1 miliar. Putusan

PN dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam putusan

banding, Singapore Airlines harus bayar ganti rugi Rp1.5 miliar. Tak

puas dengan putusan tersebut, Singapore Airlines mengajukan kasasi

ke Mahkamah Agung, hal ini juga diikuti oleh Sigit. Setelah

mempertimbangkan memori kasasi dari kedua belah pihak, dalam

putusan No. 1517K/Pdt/2009, majelis hakim agung yang memeriksa

dan mengadili persidangan ini menolak seluruh permohonan

kasasi21

.

4. Pesawat Tak Sesuai Tiket

Tiket bukanlah sekadar alat check in. Tiket pesawat merupakan

bentuk perjanjian yang mengikat antara penumpang dengan

maskapai penerbangan yang dipilihnya. Pesawat dan jadwal

keberangkatan yang dipilih merupakan bagian prestasi yang harus

dipenuhi oleh maskapai. Namun, cerita berbeda dialami oleh

Mauliate Sitompul.

Cerita ini bermula ketika Mauliate membeli tiket perjalanan

Denpasar – Lombok - Denpasar dengan menggunakan pesawat Lion

Air. Saat check in tidak ada pemberitahuan apa pun mengenai

pesawat yang akan ditumpanginya. Hingga setelah menunggu cukup

lama Mauliate bertanya kepada petugas soal waktu keberangkatan

pesawat dengan nomor penerbangan JT 1852. Jawaban yang

diterima Mauliate justru mengejutkannya. Petugas berkata bahwa

tidak ada penerbangan Lion Air tujuan Lombok. Tiket pesawat

tersebut berlaku untuk penerbangan Wings Air. “Pesawat Lion Air

(Tergugat) dengan Wings Air satu grup usaha dan sama saja pak,”

dalih petugas ketika Mauliate menuntut penjelasan.

Hal serupa terjadi kembali ketika dirinya hendak kembali ke Bali.

Tiket Lion Air yang sudah dibelinya dicoret dan ditulis tangan

menjadi penerbangan Pesawat Wings Air. Kadung alami cukup

banyak kerugian karena Mauliate harus mengambil penerbangan lain

21

Ibid.

15

menuju Lombok dan kesepakatan bernilai Rp500 juta tidak dapat

dibuat dengan calon kliennya karena terlambat, pria yang berprofesi

sebagai advokat ini menggugat Lion Air ke PN Jakarta Pusat. Hakim

PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 441/PDT.G/2013/PN.Jkt.Pst

menyatakan Lion Air bersalah melakukan perbuatan melawan

hukum dan menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar

Rp702,300 kepada Mauliate22

.

5. Perlakuan Diskriminatif Terhadap Penyandang Cacat

Pasal 134 ayat (1) UU Penerbangan memberikan hak kepada

penyandang cacat, orang lanjut usia, serta anak-anak di bawah usia

12 (dua belas) tahun agar memperoleh pelayanan berupa perlakuan

dan fasilitas khusus.

Seorang pengguna kursi roda, Ridwan Sumantri, berkali-kali

diacuhkan kebutuhannya oleh Lion Air. Ketika hendak melakukan

perjalanan ke Bali dari Jakarta, Ridwan yang menggunakan jasa

angkutan udara dari PT Lion Mentari Airlines ini datang lebih awal

untuk memohonkan nomor kursi yang mudah diaksesnya. Sekali pun

sudah diajukan dari awal dan petugas telah mengiyakan, Ridwan

tetap mendapatkan kursi yang letaknya di tengah.

Tidak hanya itu, ketika hendak masuk ke kabin pesawat, penumpang

pesawat yang awalnya diminta menunggu di Gate A-1 dipindahkan

keberangkatannya melalui pintu keberangkatan Gate A-5. Saat itu

petugas sibuk mengurusi penumpang yang dengan buru-buru menuju

Gate A-5 dan tidak ada yang melayaninya. Ridwan yang saat itu

berangkat dengan satu rekannya terpaksa menyusul yang lain.

Namun jalur yang harus ditempuhnya tidak menyediakan lift dan

saat itu hanya ada satu petugas yang berjaga dan membantunya

menuruni tangga.

Tidak hanya itu, setibanya di kursi penumpang dengan cara

digendong oleh petugas Lion Air dan disaksikan banyak mata,

Ridwan kembali mendapat sorotan sebab ia berdebat dengan

pramugari yang menyodorkannya formulir persetujuan penghilangan

tanggung jawab Lion Air atas kemungkinan yang terjadi selama

penerbangan pada orang sakit. Ridwan yang awalnya tidak bersedia

menandatangani formulir karena dia bukan orang sakit, akhirnya

menyetujui hal tersebut dibandingkan harus berlama-lama menjadi

pusat perhatian penumpang lain.

Atas diskriminasi yang terjadi pada Ridwan, Hakim menghukum

Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp25.000.000,00 (tanggung

renteng dengan PT (Persero) Angkasa Pura II sebagai Tergugat II

dan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Tergugat

III). Putusan ini dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi

22

Ibid.

16

DKI Jakarta No. 61/PDT/2014/PT.DKI. PT DKI menaikkan nilai

ganti rugi menjadi Rp50.000.000,0023

.

Menurut Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban pelaku usaha antara lain sebagai

berikut24

:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

a) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

b) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

c) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

dengan perjanjian;

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, maka sudah seharusnyalah konsumen yang dalam hal

ini adalah para penumpang pesawat udara, dilindungi hak-haknya dan tidak

dirugikan. Seelain itu juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan dijelaskan secara rinci:

“Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai hak, kewajiban, serta

tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan

tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga

sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta kepentingan

internasional atas objek pesawat udara udara yang telah mempunyai

tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Di samping itu, dalam

rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan

perwujudan kepastian hukum Undang-Undang ini juga memberikan

23

Ibid.

24 Citra Umbara, op.cit., hlm. 6

17

perlindungan konsumen tanpa mengorbankan kelangsungan hidup

penyedia jasa transportasi …”25

Bila dibaca dengan teliti, perlindungan konsumen sendiri merupakan tujuan

dari dibentuknya undang-undang penerbangan ini. Untuk mengatur lebih rinci lagi

mengenai tanggung gugat pelaku usaha dalam bidang pengangkutan udara, maka

dibentuklah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang

Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang meliputi tanggung gugat

mengenai hilang, musnah, dan rusaknya barang di bagasi milik penumpang,

dengan maksud agar semua maskapai penerbangan lebih hati-hati dan tidak

sewenang-wenang dalam memenuhi kewajibannya.

Penelitian sebelumnya yang telah diangkat oleh Tetty (2005) Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen Jasa Pengangkutan udara menyatakan penumpang selaku

konsumen seringkali menderita kerugian, tetapi tidak hanya itu karena pihak

pengangkut pun merasakan kerugian dari ganti rugi terhadap pihak konsumen.

Maka hal ini membuktikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen

bahwasannya memberikan keseimbangan antara para pihak.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk

mematikan usaha pihak pengangkut, tetapi justru sebaliknya perlindungan

konsumen dapat mendorong iklim usaha yang sehat dan meningkatkan kualitas

pihak pengangkut udara. Penulis menggunakan bahan ini sebagai wacana bagi

perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia khususnya dalam

pengangkutan udara.

25

Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Alinea ke VIII

18

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pemilihan judul sebagaimana

tersebut diatas maka pembahasan selanjutnya akan bertumpu pada rumusan

masalah yaitu:

1. Bagaimana Prinsip Pertanggungjawaban Pengangkut Terhadap

Penumpang Pengangkutan Udara?

2. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Orang dan Barang dalam

Pengangkutan Udara?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami tentang perlindungan hukum terhadap

konsumen pengangkutan udara.

2. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap orang

dan barang dalam pengangkutan udara.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penulisan yang dapat diambil:

1. Manfaat Teoritis

Penulis dapat memberikan wawasan atau pemikiran dalam perkembangan

yang terjadi di Indonesia terkhusus untuk Ilmu Hukum di bagian Hukum

Perdata dalam bidang perlindungan hukum konsumen dalam

pengangkutan udara.

19

2. Manfaat Praktis

Memberikan saran bagi warga atau pihak lain.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses berfikir untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawa isu hukum

yang dihadapi26

. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,

teori atau konsep baru sebagai prespeksi dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

hukum normatif, yang menitik beratkan pada data sekunder sebagai data

utama yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara

sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya

dengan masalah yang diteliti yang ditulis secara deduktif, dalam bentuk

deskriptif analisis.

2. Pendekatan Penelitian Hukum

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Pendekatan Undang-Undang (statute approach), yaitu pendekatan

dengan menggunakan legislasi dan regulasi27

. Pendekatan yang

26

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),

hlm. 35

27 Ibid., hlm. 137

20

dilakukan penulis adalah dengan cara menelaah Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

b) Pendekatan Konseptual (conceptual approach), yaitu pendekatan yang

dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari peraturan hukum yang

ada28

. Pendekatan ini digunakan untuk menjawab argumentasi hukum

dalam penelitian ini.

3. Bahan Hukum Penelitian

Penelitian hukum tidak hanya mengenal adanya data, diperlukan pula

sumber-sumber data untuk memecahkan isu hukum29

:

a) Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer dalam

penelitian ini antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

b) Bahan hukum sekunder, yang terutama adalah buku-buku dan artikel-

artikel hukum yang mempunyai relevansi dengan apa yang hendak

diteliti30

.

c) Bahan hukum tersier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum promer dan sekunder, yaitu kamus hukum.

28

Ibid., hlm. 177

29 Ibid., hlm. 181

30 Ibid., hlm. 196