BAB I New
-
Upload
elly-lutfiasari -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
description
Transcript of BAB I New
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam berdarah dengue atau dengue haemorrhagic fever (DHF) merupakan
suatu penyakit demam berat yang disebabkan oleh beberapa virus yang dibawa
arthropoda, ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis,
dan pada kasus berat disertai dengan sindrom syok kehilangan protein (Nelson,
Behrman, & Kliegman, 2000). DHF mempunyai bentukan yang lebih ringan, yaitu
demam dengue dan bentukan yang lebih berat yaitu dengue shock syndrome (DSS)
(WHO, 2011).
DHF merupakan suatu penyakit epidemik yang sering terjadi di daerah hutan
tropis, subtropis, dan daerah dengan suhu temperatut cukup tinggi di dunia. Data
WHO tahun 2000 – 2008 menyatakan bahwa sekitar 1.656.870 penduduk di dunia
mengalami DHF dengan negara terbanyak terdapat di wilayah Asia Tenggara, yaitu di
Thailand dan Indonesia. Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maldives,
Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste merupakan daerah yang mempunyai
angka kejadia DHF tertinggi di dunia. Angka kejadian DHF di Indonesia semakin
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, angka kejadian DHF di Indonesia
sekitar 106.425 kasus dan meningkat hingga 155.607 kasus pada tahun 2008. Angka
kematian akibat DHF juga masih tinggi di Indonesia, yaitu 1.396 kasus pada tahun
2009 (WHO, 2011).
Morbiditas dan mortalitas DHF yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,
tetapo kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-
laki. Proporsi kasus DHF terbamyak pada golongan anak <15 tahun (86 – 95%)
(IDAI, 2010).
DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh empat tipe virus dengue yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Masa inkubasi penyakit ini tergolong cepat, yaitu sekitar 2 – 5 hari
1
sesudah gigitan nyamuk. Fase pertama relatif ringan dengan demam yang muncul
secara mendadak, malaise, muntah, nyeri kepala, anoreksia, dan batuk. Pada fase
kedua, pasien mulai merasakan ekstremitas dingin, gelisah, iritabel, dan nyeri
epigastrium. Kadang-kadang dapat ditemukan adanya petekie yang tersebar pada dahi
dan tungkai. Pernapasan akan semakin cepat dan sering berat, nadi lemah, cepat, dan
kecil. Fase ketiga muncul 24 – 36 jam setelah fase kedua dimana anak merasa
semakin sehat dan sembuh. Suhu badan kembali normal (Nelson, Behrman, &
Kliegman, 2000; WHO, 2011).
Awalnya KLB penyakit DBD setiap lima tahun, selanjutnya menjadi tiga tahun,
dua tahun dan akhirnya setiap tahun. Hal ini berhubungan erat dengan adanya
perubahan iklim dan kelembaban yang terjadi di Indoensia, terjadinya migrasi
penduduk dari daerah yang jarang ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis,
meningkatnya kantong-kantong jentik nyamuk Aedes aegypti di perkotaan terutama
daerah kumuh pada bulan-bulan tertentu, urbanisasi yang tidak terencana dan
terkendali. Oleh karena itu, penyakit DBD ini menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang banyak menyerang anak-anak. Infeksi dengue termasuk dalam 10 besar infeksi
akut endemis di Indonesia sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam
diagnosis dan penatalaksanaan yang diberikan (Soegeng, 2006).
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan tutorial ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, terapi, komplikasi, dan prognosis dari
demam berdarah dengue serta membandingkannya dengan teori berdasarkan literatur.
2
BAB II
DATA PASIEN
2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : An. NF
Umur : 4 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Alamat : Jalan Asrama Brimob Samarinda Seberang
MRS : 8 Agustus 2015
Identitas Orang Tua
AYAH
Nama : Tn. E
Umur : 36 tahun
Alamat : Jalan Asrama Brimob Samarinda Seberang
Pekerjaan : Polri
Pendidikan Terakhir : SLTA
Ayah perkawinan ke : I
IBU
Nama : Ny. A
Umur : 37 tahun
Alamat : Jalan Asrama Brimob Samarinda Seberang
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir : SLTA
Ibu perkawinan ke : I
3
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2015 pukul 12.20 WITA, di
bangsal Melati RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Aloanamnesa oleh ibu kandung
pasien.
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien di bawa ke IGD dengan keluhan demam. Demam dirasakan selama kurang
lebih 7 hari, demam naik turun, tidak ada waktu tertentu demam muncul. Sudah
diberikan obat penurun demam namun tidak sembuh juga. Menurut pengakuan
orangtua pasien demam dirasakan terus-menerus tidak ada hari bebas demam.
Demam kemudian disusul muntah 2 hari SMRS, muntah ≤ 5x, berisi makanan yang
dimakan. Nafsu makan pasien menurun, serta ada tanda perdarahan berupa gusi
berdarah. BAB dan BAK dbn.
Pasien juga mengeluhkan batuk dan pilek sejak 2 hari SMRS, batuk berdahak (+).
Pasien juga mengeluhkan perutnya membesar semenjak 1 minggu SMRS. Menurut
pengakuan ibu pasien perut membesar setelah pengobatan jantungnya di stop.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Sindrom Down dan VSD
Riwayat Penyakit Keluarga
a. Ayah : sehat, tidak pernah menderita keluhan serupa
b. Ibu : sehat, tidak pernah menderita keluhan serupa
c. Keluarga dekat : sehat, tidak pernah menderita keluhan serupa
4
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah berobat 1 kali di IGD dan disarankan untuk berobat jalan oleh dokter
karena hasil pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal. Pasien hanya
diberikan obat penurun panas.
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
a. Berat badan lahir : 3.100 gram
b. Panjang badan lahir : 49 cm
c. Tersenyum : 5 bulan
d. Miring : 12 bulan
e. Tengkurap : 14 bulan
f. Duduk : 18 bulan
g. Gigi keluar : 12 bulan
h. Merangkak : 2 tahun
i. Berdiri : 2 tahun 5 bulan
j. Berjalan : 2 tahun 8 bulan
k. Berbicara dua suku kata : 3 tahun
l. Sekolah : -
Makan Minum Anak
Makan dan minum anak
ASI : 0 bulan - 10 bulan
Susu sapi : 6 bulan
Bubur susu : 6 bulan
Tim saring : -
Buah : 2 tahun
Lauk dan makan padat : 3 tahun
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Dokter
Penyakit Kehamilan : -
Obat-obatan yang sering diminum : Tablet asam folat dan zat besi
5
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : RS
Persalinan ditolong oleh : Dokter
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan (aterm)
Jenis partus : Spontan
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Dokter
Keadaan anak : Sindrom Down + PJB
Keluarga berencana : Ya
Jenis kontrasepsi : Suntik 3 bulan
Jadwal Imunisasi
ImunisasiUsia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio + + + + - -
Campak + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT + + + //////////// - -
Hepatitis B + + + + - -
2.3 Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2015 pukul 12.20 WITA.
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6
Tanda Vital
a. Tekanan darah : 90/60 mmHg
b. Nadi : 88 x/menit, reguler, kuat angkat
c. RR : 34 x/menit, reguler
d. Suhu (axila) : 37,1C
Antropometri
6
a. Berat Badan : 14,5 kg
b. Panjang Badan : 89 cm
c. Lingkar Kepala : 48 cm
d. Lingkar Lengan Atas : 15 cm
e. Status Gizi : Gizi baik
7
8
9
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tipis, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cowong (-/-),
kornea tampak suram (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm)
Telinga : Sekret (-), darah (-)
Hidung : Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir normal, sianosis (-), lidah bersih
Tonsil : Normal, hiperemis (-/-), membesar (-/-)
Faring : Normal, hiperemis (-)
Gigi : Normal, karies (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax
Paru Inspeksi : Bentuk dada normal, tidak tampak simetris D = S,
retraksi intercosta (-)
Palpasi : Pergerakan simetris D = S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+) , rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kiri = ICS V MCL Sinistra
Batas jantung kanan = ICS IV PSL Dextra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat, tidak terlihat kontur usus, kembung (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (+) daerah epigastrium, defens muskular (-),
organomegali (+), turgor kulit baik
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
10
Alat Kelamin
Normal, gatal (-), sekret abnormal (-), perdarahan (-), luka (-)
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-),tidak ada pembengkakan sendi atau
tulang
Posterior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-),tidak ada pembengkakan sendi atau
tulang,
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan08 Agus
2015
10 Agus
2015
12 Agus
2015
13 Agus
2015
Leukosit 3.300 4.210 6.090 6.090
Hemoglobin 12,1 13,2 14 13,1
Hematokrit 35,3 38,6 39,9 37,8
Trombosit 155.000 115.000 126.000 125.000
Na 134 - - -
K 5,4 - - -
Cl 106 - - -
Ureum 113,3 93,9 - -
Creatinin 0,8 0,7 - -
Albumin 4,4 - - -
SGOT 126 - - -
SGPT 97 - - -
11
Pemeriksaan Serologi
Tanggal Pemeriksaan Hasil
10 Agustus 2015 Tubex test (+) Skala 6
Dengue Ig G (+)
Dengue Ig M (-)
12
2.5 Lembar Follow Up
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
10
Agustus
2015
Demam (+) H-6,
Batuk (+),
Pilek (+),
Muntah (+),
Perdarahan gusi
(+)
BAB cair (-)
Kesadaran : cm
N : 90 x/menit,
kuat angkat
RR : 24 x/menit
T : 36,6o C
Down
Syndrome
+ VSD +
Observasi
febris
1. Inj. Transamin 3 x 125 mg
2. Inj. Cefotaxime 3 x 400 mg
3. Cek DL, Tubex, Ig G Ig M
Anti dengue, Ur/Cr, PT
APTT
11
Agustus
2015
Demam (+) H-7,
Muntah (-),
Batuk (+),
Pilek (+),
Perdarahan (-),
BAB Cair (-)
Kesadaran : cm
N :110 x/menit,
kuat angkat
RR : 28 x/menit
T : 37,8o C
Down
Syndrome
+ VSD +
Demam
Tifoid +
DHF
1. IVFD Futrolit 8 tpm
2. Inj. Transamin 3 x 125 mg
3. Inj. Cefotaxime 3 x 400 mg
4. Nebu 2x/hr
5. Observasi ketat vital sign
6. Cek DL/hari
12
Agustus
2015
Demam (-) H-8,
Muntah (-),
Batuk (+),
Pilek (+)
Kesadaran : cm
N : 100 x/menit,
kuat angkat
RR : 30 x/menit
T : 36,3o C
Down
Syndrome
+ VSD +
Demam
Tifoid +
DHF
1. IVFD Futrolit 8 tpm
2. Inj. Transamin 3 x 125 mg
3. Inj. Cefotaxime 3 x 400 mg
4. Nebu 2x/hr
5. Cek DL/hari
13
Agustus
2015
Demam (+) H-9,
Muntah (+)
darah (+),
Kesadaran : cm
N : 88 x/menit,
kuat angkat
RR : 34 x/menit
T : 37,1o C
Down
Syndrome
+ VSD +
Demam
Tifoid +
DHF
1. IVFD D5 ½ 500 cc/24 jam
2. Inj. Cefotaxime 2x 400 mg
(stop)
3. Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg
4. Inj. PCT 4 x 150 mg iv
5. Inj. Transamin 3 x 180 mg
6. Inj. Ranitidin 2 x 13 mg
7. Ambroxol 3 x ½ cth
13
8. Obat jantung lanjut
14
Agustus
2015
Demam (-),
Muntah (-),
Batuk (+),
Pilek (+)
Kesadaran : cm
N : 80 x/menit,
kuat angkat
RR : 30 x/menit
T : 36,6o C
Down
Syndrome
+ VSD +
Demam
Tifoid +
DHF
1. IVFD D5 ½ 500 cc/24 jam
2. Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg
3. Inj. PCT 4 x 150 mg iv
4. Inj. Transamin 3 x 180 mg
5. Inj. Ranitidin 2 x 13 mg
6. Ambroxol 3 x ½ cth
7. Obat jantung lanjut
2.6 Diagnosis Kerja
Down Syndrome + VSD + Dengue Haemorrhagic Fever Grade II + Demam
Tifoid
2.7 Penatalaksanaan
Terapi pada pasien ini adalah:
1. IVFD D5 ½ 500 cc/24 jam
2. Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg
3. Inj. PCT 4 x 150 mg iv
4. Inj. Transamin 3 x 180 mg
5. Inj. Ranitidin 2 x 13 mg
6. Ambroxol 3 x ½ cth
7. Obat jantung lanjut
2.8 Prognosis
Dubia
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Demam berdarah dengue atau dengue haemorrhagic fever (DHF) merupakan
suatu penyakit demam berat yang disebabkan oleh beberapa virus yang dibawa
arthropoda, ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis,
dan pada kasus berat disertai dengan sindrom syok kehilangan protein (Nelson,
Behrman, & Kliegman, 2000). DHF mempunyai bentukan yang lebih ringan, yaitu
demam dengue dan bentukan yang lebih berat yaitu dengue shock syndrome (DSS)
(WHO, 2011).
3.2 Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina
pada tahun 1953 dimana telah terjadi epidemi di Bangkok. Di Indonesia, DHF
pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 dan konfirmasi virologis
ditemukan pada tahun 1970 (IDAI, 2010). DHF merupakan suatu penyakit epidemik
yang sering terjadi di daerah hutan tropis, subtropis, dan daerah dengan suhu
temperatut cukup tinggi di dunia. Data WHO tahun 2000 – 2008 menyatakan bahwa
sekitar 1.656.870 penduduk di dunia mengalami DHF dengan negara terbanyak
terdapat di wilayah Asia Tenggara, yaitu di Thailand dan Indonesia. Indonesia
bersama dengan Bangladesh, India, Maldives, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan
Timor Leste merupakan daerah yang mempunyai angka kejadia DHF tertinggi di
dunia. Angka kejadian DHF di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada
tahun 2006, angka kejadian DHF di Indonesia sekitar 106.425 kasus dan meningkat
hingga 155.607 kasus pada tahun 2008. Angka kematian akibat DHF juga masih
tinggi di Indonesia, yaitu 1.396 kasus pada tahun 2009 (WHO, 2011).
Morbiditas dan mortalitas DHF yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,
tetapo kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-
15
laki. Proporsi kasus DHF terbamyak pada golongan anak <15 tahun (86 – 95%)
(IDAI, 2010).
Gambar 3.1 Data Penyebaran Risiko Transmisi Virus Dengue di Dunia (WHO, 2011)
3.3 Etiologi
Virus dengue termasuk grup B arthropod borne virus (arboviruses) dan
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae, yang mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi
tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Seseorang yang tinggal di daerah
epidemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan sering dihubungkan dengan
kasus DHF yang berat (IDAI, 2010).
Virus dengue berukuran kecil yaitu 50 nm dan terdiri dari RNA rantai tunggal
dengan berat molekul 4x106. Virion terdiri dari nukleokapsid dengan simetrisitas
16
berbentuk kubus yang ditutupi oleh lapisan lipoprotein. Amplop glikoprotein, NS1,
merupakan bagian diagnostik yang penting untuk diagnosis DHF (WHO, 2011).
Vektor dari virus dengue adalah Aedes aedypti dan Aedes albopictus. Aedes
aedypti banyak ditemukan di daerah Afrika dan mulai menyebar ke Asia Tenggara
pada abad ke 19 sepanjang perang dunia II. Aedes albopictus merupakan subgenus
Stegomyia yang banyak ditemukan di daerah Asia Tenggara dan Samudera Hindia.
Sifat nyamuk ini adalah antropofilik dan menggigit berulang yaitu menggigit
beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat dan mempermudah
pemindahan virus, aktivitas menggigit pagi sampai dengan petang dengan puncak
aktivitas 09.00-10.00 dan 16.00-17.00, kemampuan terbang nyamuk betina 40-100
meter, kebiasaan istirahat serta menggigit dalam rumah, dan tempat hinggap dalam
rumah adalah barang-barang bergantungan seperti baju, gorden, kabel, peci dan lain-
lain. Hal-hal yang mempengaruhi transmisi dan perkembangan nyamuk jenis ini
adalah musim penghujan dan daerah kumuh yang terdiri dari banyak tempat
penampungan air (WHO, 2011).
Gambar 3.2 Distribusi nyamuk Aedes aedypti di dunia (WHO, 2011)
17
Gambar 3.3 Distribusi nyamuk Aedes albopictus di dunia (WHO, 2011)
3.4 Klasifikasi
Pembagian derajat DHF menurut WHO pada tahun 1975 adalah sebagai berikut
(IDAI, 2010).
1. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah
tes torniquet yang positif atau mudah memar.
2. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan
bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
3. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan
penderita gelisah.
4. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.
Sedangkan pembagian DHF menurut WHO pada tahun 2012 sangat berbeda
apabila dibandingkan dengan pembagian WHO pada tahun 1975 (WHO, 2011).
18
Gambar 3.4 Klasifikasi Dengue Berdasarkan Derajat Berat Penyakit (WHO, 2012)
3.5 Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi
DHF belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang
percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DHF pada
manusia. Hingga kini sebagian besar literatur masih menganut the secondary
heterologus infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang
menyatakan bahwa DHF dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus
dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain
dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun (IDAI, 2010).
The Immunological Enhancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi
menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan
neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu kelompok
monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisir tetapi memacu replikasi
19
virus dan antibodi yang dapat menetralisir secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity.
Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi
virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue
oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar
utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological
enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut (IDAI, 2010).
1. Sel fagosit mononuklear, yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel Kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer
2. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut sebagai
mekanisme aferen
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang
telah terinfeksi
4. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, limpa, dan sum-sum tulang. Mekanisme ini disebut sebagai
mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DHF dengan atau tanpa
renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi
5. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem
humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dna mengaktivasi sistem koagulasi.
Mekanisme ini disebut sebagai mekanisme efektor
Aktivasi Limfosit T
Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogensis DHF. Akibat
rangsangan monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit
dapat mengeluarkan interferon (INF- dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus
dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan
menghasilkan INF-. INF- selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue
dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8
+
20
spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator
yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Hipotesis kedua patogenesis DHF mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotipe
virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai
akibat serotipe atau galur serotipe virus dengue yang paling virulen.
3.6 Patofisiologi
Beberapa hal penting yang terjadi pada pasien dengan infeksi virus dengue
adalah perubahan volume plasma, trombositopenia, perubahan pada sistem koagulasi
dan fibrinolisis, perubahan pada sistem komplemen, dan respon leukosit (IDAI,
2010).
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis
hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131
Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma
merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan
mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai
hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel
dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok
menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah
ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak.
Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya
cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan
perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,
dan terdapatnya edema.
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan
cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis
terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan
21
dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga
menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya
disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran
mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan
kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka
bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin
atau dibuat keadaan trombositopenia.
Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian
besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai
nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa
konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam
sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi
megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran
trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan
destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab
yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan
aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut
fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan
gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan
pada DBD.
Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi
memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X
dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation
Products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya
22
penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa
menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti
fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar
fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi,
tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD
dibuktikan dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas
plasminogen. Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa :
1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis
2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi
juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol
dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga
perannya akan mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit
akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-
organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.
3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif
ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia,
gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama
pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi
asidosis metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan
kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang.
Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3
proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat
hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan
ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik
melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung
pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem
komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi
23
komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai
kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator
kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan
syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel,
permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit
memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga
merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF),
interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1).
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah
ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, adanya kompleks
imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan
maupun berat, dan adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit.
Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit
atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru
secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi
dengue mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa
diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna
proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi
disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T.
3.7 Manifestasi Klinis
DHF ditandai dengan 4 manifestasi klinis yang khas, yaitu demam tinggi,
perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
DHF dengan demam dengue adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada
DHF terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada
tempat pengambulan darah vena. Petekie halus yang tersebar di seluruh anggota
gerak, muka, dan aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan
24
perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran cerna hebat lebih
jarang lagi ditemukan dan biasanya timbul setelah syok tidak dapat diatasi (IDAI,
2010).
Infeksi virus dengue mempunyai gejala sistemik. Gejala yang hampir muncul
pada semua pasien dengan DHF adalah demam. Tiga fase terpenting pada infeksi
virus dengue adalah sebagai berikut (Nelson, Behrman, & Kliegman, 2000; WHO,
2012).
1. Fase demam
Demam pada pasien DHF biasanya langsung meningkat secara mendadak dan
berlangsung selama 2 – 7 hari disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema
pada kulit, nyeri pada seluruh tulang dan sendi, arthralgia, nyeri retro orbita,
fotofobia, eksantema rubeliform, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien
biasanya disertai pula dengan nyeri tenggorokan, kemerahan pada mata (injeksi
konjungtiva), anoreksia, mual, dan muntah. Uji tourniquet yang positif
mengindikasikan adanya infeksi virus dengue. Pada beberapa kasus biasanya
terjadi perdarahan terutama pada perdarahan mukosa seperti perdarahan vagina
pada wanita dan perdarahan gastrointestinal. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan adanya penurunan jumlah sel darah putih.
2. Fase kritis
Selama perubahan dari fase demam ke fase kritis, pasien biasanya tidak
mengalami demam namun hal yang harus diperhatikan adalah terjadinya
peningkatan permeabilitas kapiler yang akan berefek pada penurunan trombosit
dan peningkatan hematokrit. Fase ini berlangsung selama 24 – 48 jam. Keadaan
ini dapat menyebabkan pasien mengalami syok akibat peningkatan volume
plasma.
3. Fase recovery
Setelah pasien melewati fase kritis, pasien akan memasuki fase perbaikan yang
berlangsung selama 48 – 72 jam. Hemodinamik pasien akan semakin membaik
dan keluhan-keluhan pasien akan berkurang.
25
Gambar 3.5 Perjalanan Penyakit DHF (WHO, 2012)
3.8 Diagnosis
Diagnosis DHF berdasarkan kriteria WHO tahun 1975 dibagi berdasarkan
gejalka klinis dan laboratorium (IDAI, 2010; WHO, 2011).
A. Klinis
1. Demam
DHF didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak
spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi, dan kepala.
Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus. Lama demam
sebelum dirawat berkisar antara 2 – 7 hari. Alasan mengapa orangtua
membawa anaknya berobat karena khawatir akan keadaan anak yang demam,
menjadi gelisah, dan teraba dingin pada kaki dan tangan. Gejala ini
menggambarkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan manifestasi
perdarahan di kulit menjadi nyata.
2. Manifestasi perdarahan
Manifestasi perdarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk
perdarahan lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
26
hematemesis dan atau melena. Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan
kulit paling ringan dan dapat dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini
positif pada hari-hari pertama demam. Di daerah endemis DHF, uji tourniquet
merupakan pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DHF apabila
dilakukan pada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang
jelas. Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan
darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolik pada
alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku, tekanan ini diusahakan
menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit,
perhatikan timbulnya petekie di bagian volar lengan bawah. Uji dinyatakan
positif apabila satu inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapatkan lebih dari 20
petekie. Pada DHF, uji tourniquet pada umumnya memberikan hasil positif.
Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif atau positif lemah selama
masa syok. Apabila pemeriksaan diulangi setelah syok ditanggulangi, pada
umumnya akan didapatkan hasil positif, bahkan positif kuat.
3. Hepatomegali
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit
dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit. Nyeri tekan
seringkali ditemukan tanpa disertai dengan ikterus. Hati anak berumur 4
tahun dan/atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba.
Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semua hati tidak teraba kemudian
selama perawatan membesar dan/atau pada saat masuk rumah sakit hati sudah
teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal. Hal ini
merupakan tanda terjadinya syok.
4. Syok
Manifestasi syok pada anak terdiri dari :
a. Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan,
hidung. Kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang
insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara
refleks
27
b. Anak yang semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral
c. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi
cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba karena kolaps sirkulasi
d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
e. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang
f. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusid arah yang meliputi
arteri renalis
B. Laboratorium
1. Trombositopenia
Nilai trombosit 100.000/ul biasanya ditemukan pada hari sakit ke 3 – 7 hari
2. Hemokonsentrasi
Hemokonsentrasi yang ditandai dengan peningkatan nilai hematokrit 20%
dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa
konvalesen. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya
kebocoran plasma
Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai dua patokan
laboratorium menandakan klinis DHF.
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti
oleh pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relatif
singkat dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG. Pada kira-kira hari kelima
infeksi terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisir virus (neutralizing antibody =
NT). Titer antibbodi NT akan naik dengan cepat kemudian menurun secara lambat
untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup. Setelah antibodi NT, akan timbul
antibodi yang mempunyai sifat menghambat hemaglutinasi sel darah merah
(haemaglutination inhibiting antibodi = HI). Titer antibodi HI itu naik sejajar dengan
antibodi NT, kemudian turun secara perlahan-lahan, tetapi lebih cepat daripada
antibodi NT. Antibodi yang terakhir terbentuk adalah antibodi yang mengikat
komplemen (complement fixing antibody = CF) yang timbul pada hari sekitar hari ke
duapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan penyakit mencapai maksimum
28
dalam waktu 1 – 2 bulan, kemudian turun secara cepat dan menghilang setelah 1 – 2
tahun. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil
pemeriksaan serologik atau hasil isolasi virus. Dasar pemeriksaan serologis adalah
membandingkan titer antibodi pada masa akut dengan konvalesen. Teknik
pemeriksaan serologi yang dianjurkan WHO adalah pemeriksaan HI dan CF. Kedua
cara itu membutuhkan 2 contoh darah. Contoh darah pertama diambil pada waktu
demam akut, sedangkan yang kedua pada masa konvalesen sekitar 1 – 4 minggu
dalam perjalanan penyakit (IDAI, 2010).
3.9 Diagnosis Banding
Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang luas.
Pada hari pertama diagnosis DHF sulit dibedakan dari morbili dan idiopathic
thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari demam ke 3 – 4
kemungkinan diagnosis DHF akan lebih besar apabila gejala klinis seperti manifestasi
perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami
dalam membedakan syok pada DHF dengan sepsis, dalam hal ini trombositopenia
dan hemokonsentrasi disamping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama
demam dapat membantu (IDAI, 2010).
3.10 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DHF bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler sebagai akibat
perdarahan. Pasien DHF dirawat di ruang perawatan biasa tetapi pada DHF dengan
komplikasi diperlukan perawatan intensif. Kunci keberhasilan tatalaksana DHF
terletak pada keterampilan untuk mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu dalam fase kritis dan fase syok dengan baik (IDAI, 2010).
Penderita yang sianosis atau mengalami nafas berat harus diberi oksigen.
Penggantian cepat cairan dan elektrolit intravena sering dapat mempertahankan
penderita sampai terjadi penyembuhan secara spontan. Bila kenaikan hematokrit
menetap sesudah pemberian cairan, pemberian plasma atau preparat koloid plasma
terindikasi. Harus hati-hati dilakukan agat tidak terjadi overhidrasi yang mungkin
turut menyebabkan gagal jantung. Transfusi darah segar atau suspensi trombosit
29
dalam plasma mungkin diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. Transfusi ini
tidak boleh diberikan selama hemokonsentrasi tetapi hanya sesudah evaluasi harga
hemoglobin atau hematokrit (Nelson, Behrman, & Kliegman, 2000). Pemberian
cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonik
atau ringer laktat yang kemudian dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit. .
Jenis kristaloid yang direkomendasikan WHO adalah laritan Ringer Laktat (RL),
dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA), atau dekstrosa
5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9%, atau dekstrosa 5% dalam larutan
garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah. Cairan
intravena diperlukan apabila anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, dan nilai hematokrit yang
cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala (IDAI, 2010).
30
Gambar 3.6 Algoritma Penatalaksanaan Kasus Infeksi Dengue (WHO, 2012)
Gambar 3.6 Algoritma Penatalaksanaan Kasus Infeksi Dengue (WHO, 2012)
31
Gambar 3.7 Tatalaksana Kasus Tersangka DHF (IDAI, 2010)
32
Gambar 3.8 Tatalaksana Kasus DHF Derajat I dan Derajat II (IDAI, 2010)
33
Gambar 3.9 Tatalaksana Kasus DHF Derajat II dengan Peningkatan Hemokonsentrasi
20% (IDAI, 2010)
34
Gambar 3.10 Tatalaksana Kasus DHF Derajat III dan IV (IDAI, 2010)
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15 – 30
menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi. Kadar hematokrit harus diperiksa
setiap 4 – 6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien harus mempunyai
lembar pemantauan mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan
35
apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi, jumlah serta frekuensi diuresis.
Kriteria memulangkan pasien dengan DHF adalah sebagai berikut (IDAI, 2010).
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit >50.000/ul dan cenderung meningkat
7. Tidak dijumpai distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
3.11 Komplikasi
Pada pasien DHF yang terlambat mendapatkan penanganan, syok merupakan
komplikasi terbesar yang dapat terjadi pada pasien disertai dengan asidosis metabolik
dan perdarahan hebat akibat kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal.
Akibat hemokonsentrasi dapat terjadi akumulasi cairan plasma yang berlebihan
seperti efusi pleura dan gagal jantung kongestif. Syok yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kegagalan terapi cairan dan gangguan pada elektrolit. Gangguan
metabolik yang umumnya terjadi adalah hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia,
dan kadang-kadang terjadi hiperglikemia. Gangguan yang terus menerus terjadi ini
dapat menyebabkan ensefalopati dengue (WHO, 2011). Pada pasien di daerah
endemis yang mengalami demam disertai kejang dan disertai manifestasi perdarahan
harus dipikirkan terjadi ensefalopati dengue (IDAI, 2010).
3.12 Prognosis
Kematian telah terjadi pada 40 – 50% kasus dengan syok, tetapi dengan
perawatan intensif yang cukup, kematian akan kurang dari 2%. Ketahanan hidup
secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif (Nelson, Behrman, &
Kliegman, 2000).
36
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Fakta Teori
Pasien di bawa ke IGD dengan
keluhan demam. Demam dirasakan
selama kurang lebih 7 hari, demam
naik turun, tidak ada waktu tertentu
demam muncul. Sudah diberikan
obat penurun demam namun tidak
sembuh juga. Menurut pengakuan
orangtua pasien demam dirasakan
terus-menerus tidak ada hari bebas
demam.
DHF ditandai dengan 4 manifestasi klinis yang
khas, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama
perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan
peredaran darah. Demam pada pasien DHF biasanya
langsung meningkat secara mendadak dan
berlangsung selama 2 – 7 hari.
Pada hari pertama SMRS didapatkan
adanya perdarahan gusi.
Petekie (-)
Uji Tourniquet (-)
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan
derajat penyakit dan membedakan DHF dengan
demam dengue adalah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, menurunnya volume
plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.
Pada DHF terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet
positif, memar, dan perdarahan pada tempat
pengambulan darah vena. Petekie halus yang
tersebar di seluruh anggota gerak, muka, dan aksila
seringkali ditemukan pada masa dini demam. Uji
tourniquet yang positif mengindikasikan adanya
infeksi virus dengue. Pada beberapa kasus biasanya
terjadi perdarahan terutama pada perdarahan
mukosa seperti perdarahan vagina pada wanita dan
perdarahan gastrointestinal
Demam kemudian disusul muntah 2 Demam biasanya disertai dengan kemerahan pada
37
hari SMRS, muntah ≤ 5x, berisi
makanan yang dimakan. Nafsu
makan pasien menurun, serta ada
tanda perdarahan berupa gusi
berdarah. BAB dan BAK dbn.
wajah, eritema pada kulit, nyeri pada seluruh tulang
dan sendi, arthralgia, nyeri retro orbita, fotofobia,
eksantema rubeliform, dan sakit kepala. Pada
beberapa pasien biasanya disertai pula dengan nyeri
tenggorokan, kemerahan pada mata (injeksi
konjungtiva), anoreksia, mual, dan muntah
Pasien juga mengeluhkan batuk dan
pilek sejak 2 hari SMRS, batuk
berdahak (+). Pasien juga
mengeluhkan perutnya membesar
semenjak 1 minggu SMRS. Menurut
pengakuan ibu pasien perut
membesar setelah pengobatan
jantungnya di stop.
Yang membedakan DHF dengan demam dengue
adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik Epistaksis
dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan
perdarahan saluran cerna hebat lebih jarang lagi
ditemukan. Selama perubahan dari fase demam ke
fase kritis, pasien biasanya tidak mengalami demam
namun hal yang harus diperhatikan adalah
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler yang
akan berefek pada penurunan trombosit dan
peningkatan hematokrit yang bermanifestasi sebagai
perdarahan
4.2 Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Kesadaran : komposmentis Apabila pasien memasuki keadaan syok, maka anak
yang semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat laun
kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan
koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral
Tanda vital :
1. Tekanan darah : 100/60
2. Frekuensi nadi : 88 x/menit,
kuat angkat
3. Frekuensi pernapasan : 34
Apabila pasien datang pada fase demam, maka dapat
ditemukan peningkatan suhu tubuh pasien. Nadi
menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba
karena kolaps sirkulasi, tekanan nadi menurun
menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik pada
38
x/menit
4. Temperatur : 37,1o C
anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
Pemeriksaan uji tourniquet dapat dilakukan apabila
sudah dilakukan pengukuran tekanan darah
Pada pemeriksaan fisik pasien
ditemukan hepatomegali, lain-lain
dbn.
Apabila pasien memasuki keadaan syok, maka kulit
pasien akan menjadi pucat, dingin, dan lembab
terutama pada ujung jari kaki, tangan, hidung, kuku
menjadi biru, perubahan nadi, baik frekuensi maupun
amplitudonya, oliguria sampai anuria karena
menurunnya perfusi arah yang meliputi arteri renalis.
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba
pada permulaan penyakit dan pembesaran hati ini
tidak sejajar dengan berat penyakit. Nyeri tekan
seringkali ditemukan tanpa disertai dengan ikterus.
Hati anak berumur 4 tahun dan/atau lebih dengan gizi
baik biasanya tidak dapat diraba.
4.3 Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
Leukopenia pada awal fase demam Hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya
penurunan jumlah sel darah putih pada fase demam
Trombositopenia pada fase demam
dan fase kritis (-)
Trombositopenia. Nilai trombosit 100.000/ul
biasanya ditemukan pada hari sakit ke 3 – 7 hari
Peningkatan hematokrit pada fase
demam dan fase kritis
Hemokonsentrasi. Hemokonsentrasi yang ditandai
dengan peningkatan nilai hematokrit 20%
dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa
sebelum sakit atau masa konvalesen. Peningkatan
kadar hematokrit merupakan bukti adanya
kebocoran plasma
4.4 Penatalaksanaan
39
Fakta Teori
1. IVFD D5 ½ 500 cc/24 jam
2. Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg
3. Inj. PCT 4 x 150 mg iv
4. Inj. Transamin 3 x 180 mg
5. Inj. Ranitidin 2 x 13 mg
6. Ambroxol 3 x ½ cth
7. Obat jantung lanjut
Pada dasarnya pengobatan DHF bersifat
suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler sebagai akibat perdarahan. Pasien DHF
dirawat di ruang perawatan biasa tetapi pada
DHF dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Kunci keberhasilan tatalaksana DHF
terletak pada keterampilan untuk mengatasi
masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu dalam fase kritis dan fase syok
dengan baik. Terapi lain diberikan berdasarkan
gejala yang dialamu pasien. Penderita yang
sianosis atau mengalami nafas berat harus diberi
oksigen
4.5 Prognosis
Fakta Teori
Dubia Kematian telah terjadi pada 40 – 50% kasus
dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif
yang cukup, kematian akan kurang dari 2%.
Ketahanan hidup secara langsung terkait
dengan manajemen awal dan intensif
BAB V
PENUTUP
40
4.1 Kesimpulan
DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DHF terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Menegakkan diagnosis DHF pada stadium
dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat
memastikan diagnosis DHF dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan
pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris. Infeksi dengue termasuk dalam
10 besar infeksi akut endemis di Indoensia sehingga diharapkan tidak terjadi
kesalahan dalam diagnosis dan penatalaksanaan yang diberikan. Pada pasien ini,
sebagian besar anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan sesuai dengan teori yang ada di berbagai referensi.
4.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari tutorial klinik ini, baik dari segi
diskusi, penulisan tutorial dan sebagainya, untuk itu saya mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan dari
berbagai pihak demi kesempurnaan tutorial klinik ini.
DAFTAR PUSTAKA
IDAI. (2010). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Nelson, Behrman, & Kliegman. (2000). Nelson Textbook of Pediatrics. Jakarta: EGC.
41
Soegeng, S. (2006). Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Universitas Airlangga Press.
WHO. (2011). Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. WHO , 1-212.
WHO. (2012). Handbook for Clinical Management of Dengue. WHO , 1-124.
42