Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai...

38
1 Bab I Krisis Film Indonesia Jatuh Bangun Perfilman Indonesia Film Indonesia telah berumur kurang lebih seratus tahun sejak kemunculannya yang pertama. Film ―Loetoeng Kasaroeng‖ (1926) adalah film cerita pertama yang diproduksi di Hindia Belanda berlatar legenda Sunda. Pertunjukan besar pertama tanggal 5 Desember 1960 dilakukan di Tanah Abang, dengan harga karcis 2 gulden Belanda untuk kelas 1, 1 gulden untuk kelas 2, dan 0,50 gulden untuk kelas 3. Film ―Loetoeng Kasaroeng‖ merupakan campuran pertunjukan antara wayang dan sandiwara, satu bentuk kesenian yang sudah cukup dikenal masyarakat sebelumnya. Pertunjukan film ini cukup berhasil di kala itu, karena penonton lebih suka film cerita daripada film dokumenter yang biasa diputar oleh bangsa penjajah (Biran, M.Y., 2009). Industri film di Indonesia masih belum banyak berkembang dan berubah sejak film pertamanya di era penjajahan. Perfilman nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi tahun 1998, dan era reformasi tahun 2000-an. Sampai kini, industri perfilman nasional belum memiliki fungsi yang lengkap sebagai sebuah industri. Industri film Indonesia sempat mengalami mati suri, bagaikan hidup segan, mati tak mau. Beberapa titik kritis berhasil dilalui, namun usaha dan perjuangan untuk terus bangkit dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, masih terus berlanjut. Berdasarkan studi pendahuluan tentang film Indonesia di tahun 2007 yang merangkum film-film Indonesia berdasarkan genre dari tahun 1989-2006; dan kemudian dilanjutkan kembali di tahun 2014-2015 untuk data film

Transcript of Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai...

Page 1: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

1

Bab I

Krisis Film Indonesia

Jatuh Bangun Perfilman Indonesia

Film Indonesia telah berumur kurang lebih seratus tahun sejak

kemunculannya yang pertama. Film ―Loetoeng Kasaroeng‖ (1926)

adalah film cerita pertama yang diproduksi di Hindia Belanda berlatar

legenda Sunda. Pertunjukan besar pertama tanggal 5 Desember 1960

dilakukan di Tanah Abang, dengan harga karcis 2 gulden Belanda

untuk kelas 1, 1 gulden untuk kelas 2, dan 0,50 gulden untuk kelas 3.

Film ―Loetoeng Kasaroeng‖ merupakan campuran pertunjukan antara

wayang dan sandiwara, satu bentuk kesenian yang sudah cukup

dikenal masyarakat sebelumnya. Pertunjukan film ini cukup berhasil di

kala itu, karena penonton lebih suka film cerita daripada film

dokumenter yang biasa diputar oleh bangsa penjajah (Biran, M.Y.,

2009).

Industri film di Indonesia masih belum banyak berkembang

dan berubah sejak film pertamanya di era penjajahan. Perfilman

nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di

era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi tahun 1998,

dan era reformasi tahun 2000-an. Sampai kini, industri perfilman

nasional belum memiliki fungsi yang lengkap sebagai sebuah industri.

Industri film Indonesia sempat mengalami mati suri, bagaikan

hidup segan, mati tak mau. Beberapa titik kritis berhasil dilalui, namun

usaha dan perjuangan untuk terus bangkit dan menjadi tuan rumah di

negerinya sendiri, masih terus berlanjut. Berdasarkan studi

pendahuluan tentang film Indonesia di tahun 2007 yang merangkum

film-film Indonesia berdasarkan genre dari tahun 1989-2006; dan

kemudian dilanjutkan kembali di tahun 2014-2015 untuk data film

Page 2: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

2

Indonesia Pasca Reformasi sampai tahun 2015. Kedua studi

pendahuluan tersebut dirangkum pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Produksi Film Indonesia Tahun 1989-2015

Tahun Horor Komedi Action Drama Animasi Anak Thriller Total

1989 16 22 31 34 0 1 0 104

1990 7 25 26 52 0 0 0 110

1991 2 10 19 30 0 0 0 61

1992 2 10 5 14 0 0 0 31

1993 2 4 9 11 0 0 0 26

1994 2 4 4 23 0 0 0 33

1995 0 0 2 20 0 0 0 22

1996 1 0 1 31 0 1 0 34

1997 1 0 1 30 0 0 0 32

1998 0 0 3 1 0 0 0 4

1999 0 0 1 1 0 1 1 4

2000 0 0 0 10 0 1 0 11

2001 1 0 0 1 0 0 1 3

2002 5 1 0 8 0 0 0 14

2003 1 0 1 10 0 3 0 15

2004 4 0 0 25 0 2 0 31

2005 4 0 1 18 0 2 0 25

2006 8 0 0 27 0 1 0 36

2007 21 6 0 33 0 2 0 62

2008 21 19 1 52 0 2 4 99

2009 26 16 1 42 0 1 1 87

2010 23 23 3 45 0 0 1 95

2011 16 16 2 55 0 2 2 93

2012 23 21 1 54 1 3 5 108

2013 16 6 0 70 2 2 5 101

2014 27 18 10 42 2 2 1 112

2015 29 20 0 64 2 5 2 115

Sumber: Katalog Film Indonesia Tahun 2007, dan http://filmindonesia.or.id

Ada 1.468 film Indonesia yang ditemukan datanya. Dari

keseluruhan data tersebut tidak semua film ditonton, sebagian besar

hanya dibaca sinopsisnya saja. Ketika data-data kuantitatif tersebut

dipetakan dalam bentuk grafik, maka dinamika produksi film

Indonesia sepanjang tahun 1989 sampai 2015, tampak pada Gambar 1.1.

Page 3: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

3

Gambar 1.1. Dinamika Film Indonesia Tahun 1989-2015

Penjelasan lebih detil tentang data-data perfilman di atas, dapat

dilihat di Bab tiga.

Dinamika film Indonesia sepanjang duapuluh tujuh tahun

terakhir menunjukkan posisi yang turun naik. Satu dekade sebelum

reformasi, kondisi perfilman menurun tajam. Pemerintah turut campur

dalam menentukan film mana yang boleh atau tidak boleh diputar,

ekspresi kebebasan dibatasi. Tumbangnya rezim Orde Baru

mengakibatkan industri perfilman nasional mengalami babak baru

Pasca Reformasi. Era Reformasi adalah era di mana beberapa peristiwa

besar juga menandai perubahan dalam perfilman Indonesia. Adanya

aksi protes bulan Januari tahun 2007 di Taman Ismail Marzuki yang

diinisiasi oleh pembuat film yang tergabung dalam Masyarakat Film

Indonesia (MFI)1, merupakan tonggak awal yang ditancapkan generasi

baru pembuat film Indonesia. Mereka yang tergabung dalam MFI ini –

Mira Lesmana, Riri Riza, Nia Dinata dan kawan-kawan—berorasi di

TIM, mereka protes dengan pemilihan film ―Ekskul‖ sebagai film

1Masyarakat Film Indonesia (MFI) terdiri dari para movie-maker muda yang tidak

setuju dengan keputusan dewan juri di FFI 2006 yang memilih film ―Ekskul‖ sebagai film terbaik. Film tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran hak cipta karena menggunakan ilustrasi musik dari film lain. Sebanyak 31 sineas menandatangani surat protes dan pengembalian piala Citra secara simbolik di Taman Ismail Marzuki, piala yang pernah mereka terima selama tiga tahun terakhir sejak 2007 tersebut. Selain protes terhadap kinerja penyelenggaraan festival film dalam negeri --dianggap tidak kredibel, mereka juga protes dengan kinerja Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang tidak serius menata-kelola perfilman di Indonesia (Gatra, 2007).

Page 4: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

4

terbaik FFI 2006, dan mengembalikan piala-piala Citra yang pernah

mereka dapatkan. Di kantor Miles Production Jakarta, Riri Riza

menyatakan bahwa sudah saatnya mereka (MFI) menyatakan sikap:

―Sekarang, saya dan teman-teman menyatakan sikap.

Puncaknya di 2006, Ekskul dimenangkan, sebuah film yang

jelas-jelas melakukan pelanggaran hak cipta, merendahkan

martabat kami sebagai pembuat film. Kami membuat film,

membuat musiknya satu per satu, memikirkannya baik-

baik,..‖ (Wawancara dengan Riri Riza, 11 April 2007).

Sesudah peristiwa itu, gelombang pemain-pemain baru dalam

industri perfilman nasional makin banyak muncul. Mereka tergolong

ke dalam generasi muda movie-maker sesudah Mira Lesmana, Riri

Riza, dan Nia Dinata; antara lain adalah Rizal Mantovani, Hanung

Bramantyo, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnain, Sheila (Lala) Timothy,

Atid Sammaria, Joko Anwar, dan lain-lain. Pemain-pemain baru

tersebut memberi dinamika, warna baru dalam perfilman Indonesia.

Perubahan dimulai dari film ―Kuldesak‖ (1998-1999) sebuah film

independen yang diproduseri oleh Mira Lesmana, Rizal Mantovani,

Riri Riza, dan Nan Achnas. Film lain sesudahnya seperti ―Petualangan

Sherina‖, ―Ada Apa Dengan Cinta‖ (AADC), dan ―Denias: Senandung

di Atas Awan‖ memberi kesegaran, cerita dan warna yang baru dalam

film Indonesia. Film ―Petualangan Sherina‖ dan ―AADC‖ bahkan

berhasil memperoleh apresiasi yang tinggi dari penonton. Fenomena

tersebut membuat peta perfilman Indonesia berubah (Manurung, E.

M., 2008).

Perubahan yang diinisiasi oleh generasi muda pembuat film itu

tidak berjalan mulus, satu dekade sesudah Reformasi industri film

mengalami penurunan kembali, baik dari segi variasi, namun terutama

dari segi penontonnya. Film Indonesia seperti kehilangan daya tarik.

Slamet Rahardjo, dalam sebuah wawancara di Institut Kesenian

Jakarta, mengemukakan bahwa secara konten film Indonesia belum

banyak berubah:

―kalo saya boleh jujur, udara bebas ini membuat anak-anak muda itu memiliki bandingan-bandingan yang banyak, sehingga secara teknis mereka bagus. Tetapi secara content-

Page 5: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

5

wise, tunggu dulu! Banyak juga yang mengeluh bahwa film Indonesia kehilangan sukma…temanya maksud saya, dari dulu surealis itu ada, Pak Asrul Sani dengan ‗Jam Malam‘-nya, saya membuat ‗Rembulan dan Matahari‘, Bachtiar Siagian dengan dialog-dialog intelektualnya, semuanya ngga kalah‖ (Rahardjo, S., 3 Mei 2007).

Perfilman Indonesia kembali dihadapkan pada suatu kondisi

yang dilematis, tegangan-tegangan yang menaik atau menurun, dari

segi peningkatan jumlah produksi, variasi tema cerita dan genre,

dengan jumlah penonton yang malah turun; demikian juga dengan

pendapat sineas muda dan seniornya yang tampak bertentangan.

Temuan senada tentang naik turunnya film Indonesia dalam dinamika

perfilman sepanjang tahun 1926-2010 diungkapkan oleh Barker,

Thomas (2011) pada Gambar 1.2.

Sumber: Barker, T.A.C., 2011

Gambar 1.2. Dinamika Film Indonesia Tahun 1926-2010

Sebelas tahun sesudah reformasi, yaitu tahun 2009-2013, di

saat era kebebasan dan berekspresi terbuka lebar, film Indonesia

Page 6: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

6

sempat mengalami penurunan dan stagnasi kembali. Data

menunjukkan bahwa sekalipun jumlah film dan jumlah bioskop

bertambah, penonton film Indonesia justru menurun, terutama di

tahun 2012 ke 2013, seperti tampak di Gambar 1.3. Film Indonesia di

setiap masa/era senantiasa mengalami kondisi yang jatuh bangun.

Sumber: filmindonesia.or.id, 2014

Gambar 1.3. Grafik Data Penonton Film Indonesia Tahun 2010-2013

Fenomena FFI 2015

Tanggal 28 November tahun 2015, Festival Film Indonesia

(FFI) telah diselenggarakan kembali. Festival tersebut menunjukkan

hasil yang berbeda dari FFI-FFI sebelumnya karena para pemenangnya

sejalan dengan kategori pemenang di festival film yang sama di negara

lain. Film ―Siti‖ terpilih sebagai film terbaik pada FFI 2015. Ketua

dewan juri FFI 2015, Olga Lydia, menjelaskan penjurian dilaksanakan

secara terpisah. Masing-masing juri bebas memilih filmnya sendiri dan

memasukkan pilihannya secara online pada basis data tanpa ada diskusi

dan tekanan dari pihak tertentu. Selain seratus orang juri yang kredibel

di bidangnya, dipilih juga limabelas juri yang memiliki pengetahuan di

luar film, seperti pakar budaya, pakar musik, dan kritikus film (Antara

News, 13 November 2015).

Salah seorang juri, Garin Nugroho2 mengatakan, Festival Film

Indonesia kali ini menjadi peta baru sinema Indonesia. Di saat

2Garin Nugroho adalah seorang produser dan sutradara yang mumpuni di bidangnya. Garin adalah pelopor avant-grade yang menjadi ruang tumbuh bagi bibit-bibit baru movie-maker Indonesia, generasi pasca 1998. Karya-karyanya yang beragam

Page 7: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

7

organisasi film baik dari aspek profesi, produksi, maupun distribusi,

belum menumbuhkan sistem yang memberi hidup sinema Indonesia

Pasca Reformasi, FFI 2015 menjadi peta baru yang menunjukkan

bahwa sinema Indonesia diselamatkan oleh kreator-kreator (movie-maker)-nya, bukan oleh sistem. Terpilihnya film terbaik ―Siti‖ dan

sutradara terbaik yaitu Joko Anwar, membuktikan bahwa apresiasi film

saat ini berada dalam pemahaman apresiasi yang sama dengan festival

film dunia. Sudah terlalu lama pilihan FFI bertolak-belakang dengan

pilihan festival film dunia. Film ―Siti‖ karya Ifa Isfansyah meraih Arte Award di Busan Film Festival, sebuah penghargaan bergengsi dari

rumah produksi dan distributor di Perancis, di samping juga menembus

festival Telluride Amerika. Sementara Joko Anwar telah berhasil

membawa filmnya ―A Copy of My Mind‖ ke beberapa deret festival

bergengsi di Venesia, Toronto, serta Busan. Awal Desember 2015, Joko

Anwar juga berhasil menggandeng rumah produksi di Korea untuk

menyiarkan serial terbaru garapannya di saluran HBO Asia, sebuah

serial dark-thriller yang diberi judul ―Halfworlds‖.

Film ―Siti‖ merupakan film independen yang diproduseri oleh

Ifa Isfansyah di tahun 2014. Film ini dibuat dengan anggaran rendah

sebesar Rp 150 juta (seratus limapuluh juta rupiah) dan memang tidak

ditujukan untuk konsumsi penonton layar lebar di dalam negeri. Ifa

mengatakan, produksi film ―Siti‖ adalah suatu keharusan berkarya bagi

ia dan teman-temannya. Mereka tergabung dalam komunitas ―Four Colours‖ selalu ingin berkreasi menciptakan sesuatau yang baru dalam

perfilman Indonesia. Tujuan Ifa dan teman-temannya membuat film

―Siti‖ yang hitam-putih adalah untuk pasar khusus di negara lain yang

mendorong kebangkitan film di tahun 1990-an. Ia lahir tanggal 6 Juni 1961 di Yogyakarta dari keluarga penulis dan penerbit novel berbahasa Jawa, Garin Nugroho lulus dari Fakultas Film dan Televisi IKJ dan Fakultas Hukum UI. Karya-karyanya dikenal sangat luas mulai dari film, iklan, dokumenter, video musik, teater, seni instalasi art, dan sudah dipamerkan di Espace Culturel Louis Vuitton Paris,Haus der Kuns Munchen, hingga museum Quai Branly Paris. Garin turut merintis JAFF (Jogja NETPAC Asian Film Festival) dan LA Indie Movie, serta membangun komunitas film dan seni di sejumlah kota besar di Indonesia. Film-filmnya telah menembus berbagai festival internasional, seperti Cannes, Venisia, dan Berlin. Film Garin banyak menekankan persoalan sosial-politik-budaya di daerah marjinal di Indonesia antara lain di Papua, Aceh, Sumba, dan Jawa (Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).

Page 8: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

8

punya ruang apresiasi bagi film-film macam itu, misalnya di Perancis

dan negara lain yang memiliki penikmat film berseni (Wawancara

dengan Ifa, tanggal 10 Agustus 2016).

Di samping bersifat ―art‖ dan belum tentu bisa diterima oleh

penonton di dalam negeri –ada anggapan bahwa film-film yang art-house tidak akan laku dijual di dalam negeri3, Ifa juga mengatakan

untuk diputar di layar lebar harus lolos sensor oleh Lembaga Sensor

Film (LSF) dulu. Ini disebabkan, LSF di Indonesia masih lebih

mengedepankan norma-norma yang bertumpu pada kesopanan dan

kesusilaan, sedangkan adegan-adegan yang mengedepankan ―art‖ belum tentu sesuai dengan kriteria LSF.

Film ―Siti‖ menurut Ifa mengalami pemotongan beberapa

adegan, seperti ketika anak Siti sedang mandi, kemudian adegan Siti

berganti pakaian sebelum berangkat ke karaoke, dan adegan ciuman

antara Siti dengan Gatot di kamar mandi (seorang pelanggannya di

kareoke). Ifa mengatakan bahwa film ―Siti‖ pada awalnya memang

tidak ditujukan untuk diputar di layar lebar, karena film yang tayang di

layar lebar harus bebas sensor dulu sedangkan film ―Siti‖ ini justru

berbeda perspektif dalam menghadirkan setiap adegan-adegannya.

Kreatifitas sang sutradara ketika mengambil adegan Siti hendak ganti

baju misalnya, dijelaskan, ingin menunjukan pergulatan batin –

sehingga di-shoot cukup lama—bagaimana Siti harus mengenakan

pakaian karaokenya di malam hari, meninggalkan suaminya yang

sedang sakit dan anaknya yang sedang tidur. Adegan-adegan yang sarat

filosofis atau art memang bukan kriteria utama LSF.

Film ―Siti‖ merupakan film hitam-putih tentang orang

pinggiran. Film itu dibuat hitam-putih karena keterbatasan dana ketika

3 Ada dua istilah yang kerap digunakan para sineas dan pengamat film tentang film Indonesia, yang pertama adalah film komersil, sedangkan yang kedua film berjenis ―art-house‖. Film bagus dan tidak laku di pasaran dianggap sebagai film idealis yang dikategorikan sebagai film ―art-house‖, dan film-film yang laku namun kurang bermutu dikategorikan sebagai film komersil. Eric Sasono, dalam buku Sejarah Film 1900-1950, Bikin Film di Jawa karya Misbach Yusa Biran (Komunitas Bambu, 2009) menuliskan pengantar yang mempertanyakan asumsi tentang ―film idealis‖ dan ―film komersial‖.(www.kompas.com, diunduh 23 November 2015).

Page 9: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

9

membuatnya, malah memberi kesan artistik dan menuai pujian dari

kritikus film. Didukung oleh dialog-dialog ringan keseharian, yang

didominasi bahasa Jawa, film ―Siti‖ sarat makna dan pesan tentang

masyarakat yang terpinggirkan. Realitas kehidupan yang dirasakan

oleh orang-orang ―kecil‖ yang kurang berpendidikan dan tidak punya

banyak pilihan. Ketika penulis menyaksikan film ini, pesan dan makna

disampaikan secara indah dan mengharukan. Seorang perempuan

bernama ―Siti‖ mewakili perempuan Indonesia kebanyakan. Pergulatan

batinnya untuk berjuang melawan ketidakadilan dan kondisi ekonomi

keluarga yang sulit, lebih banyak ditunjukkan dalam diam. Suatu sikap

perempuan yang terkungkung oleh norma-norma kepatuhan dan

tanggung jawab. Kepatuhan terhadap suaminya yang terbaring sakit,

terhadap ibu mertuanya yang tak lelah berjualan keripik, dan rasa

tanggung jawabnya terhadap anak lelaki satu-satunya yang ia sayangi.

Siti mewakili kebanyakan perempuan dengan latar budaya

timur yang terpaksa bekerja membanting-tulang, melupakan cita-cita

dan impiannya, untuk memenuhi kodratnya sebagai perempuan yang

telah menikah dan memiliki anak. Sebuah film khas perempuan

Indonesia yang dikemas apik dan menarik. Sayangnya, tidak semua

penonton bisa mengapresiasi film seperti ini. Di tengah-tengah

pemutaran film, misalnya, ada sebagian penonton yang keluar dari

studio XXI tempat penulis menonton. Mereka mengeluhkan filmnya

tidak menarik, dialognya membosankan. Penulis melihat bahwa

kebanyakan penonton berusia remaja memang lebih menyukai film-

film ringan, mudah dicerna.

Pada tanggal 28 Januari 2016, film ―Siti‖ akhirnya ditayangkan

di bioskop ―Grup XXI‖. Menurut berita yang dipublikasikan oleh

theatersatudotcom, sesudah empat hari diputar di bioskop, film ―Siti‖

memperoleh penonton sebanyak 4.771 orang, tidak termasuk ke dalam

10 film Indonesia yang laris di periode tersebut. Film ―Siti‖ termasuk

yang paling rendah penontonnya dari semua film Indonesia yang rilis

di waktu yang hampir bersamaan. Informasi dari website yang sama,

menunjukan bahwa film ―Single‖ yang rilis sejak pertengahan

Desember 2015 berhasil memperoleh 1.086.808 penonton, diikuti oleh

Page 10: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

10

film ―Ngenest‖ di akhir Desember 2015 dengan jumlah 639.117

penonton, dan ―London Love Story‖ dengan jumlah 610.977 penonton.

Berikutnya ada film ―Petualangan Singa Pemberani Atlantos‖ dengan

124.466 penonton, ―Surat dari Praha‖ dengan 55.032 penonton, dan ―A Copy of My Mind‖ film Joko Anwar yang rilis belakangan dengan

jumlah 18.657 penonton. Di saat yang sama, film ―Star Wars: The Force Awakens‖ dari Hollywood yang rilis bersamaan dengan film ―Single‖

berhasil memperoleh penjualan tiket sebesar Rp 39 miliar, atau setara

dengan jumlah 1.300.000 penonton hanya dalam jangka waktu 5 hari

pemutaran di bioskop-bioskop Indonesia (www.theatersatu.com,

diunduh tanggal 9 Maret 2016).

Saat melakukan wawancara dengan Ifa, penulis memperoleh

informasi tentang perolehan pendapatan dari penjualan tiket bersih

sesudah dipotong pajak, dibagi rata (50:50) antara pengusaha bioskop

dengan produser. Jika diambil harga tiket terendah adalah Rp

30.000,00 maka pendapatan yang diperoleh dari penjualan tiket selama

empat hari atas film ―Siti‖ sebanyak 4.771 tiket adalah harga tiket dikali

jumlah tiket yang terjual, dipotong pajak, lalu dibagi dua, kurang-lebih

sebesar Rp 64.000.000,-.Ifa sendiri mengatakan bahwa pengembalian

dari total pendapatan dari film ―Siti‖ saat wawancara, sudah mencapai

200% dari total biayanya. Ini dimungkinkan karena adanya pendapatan

lain dari pemutaran film ―Siti‖ di luar negari (Perancis dan lain-lain),

dan hadiah-hadiah yang ia peroleh dan menangkan melalui beberapa

festival film di luar negeri.

Problematika

Terpilihnya film ―Siti‖ sebagai film terbaik pada FFI 2015

merupakan fenomena yang menandakan bahwa industri film Indonesia

mulai berubah. Seperti halnya FFI 2006 yang menuai aksi protes

sineas-sineas muda Indonesia–demi menyelamatkan perfilman

Indonesia yang dianggap ―rusak‖ oleh para kreator yang tidak

memahami orisinalitas, FFI 2015 ini pun diakui oleh Garin Nugroho

sebagai FFI yang ‗diselamatkan oleh movie-maker‘-nya, bukan oleh

Page 11: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

11

sistem. Secara industri perfilman, sebenarnya kondisi FFI 2015 tak

banyak berubah dari FFI 2006 dan FFI-FFI sebelumnya. Industri

perfilman Indonesia masih tetap pada kondisi yang sama: hidup segan

mati tak mau-jika tak ingin dibilang mati suri. Film Indonesia yang

memenangkan penghargaan sebagai film terbaik malah kurang

penonton di negerinya sendiri. Film Indonesia senantiasa mengalami

posisi yang aneh dan dilematis di negerinya sendiri.

Di satu sisi, perfilman nasional banyak memunculkan ide-ide

baru yang segar dan kreatif oleh movie-maker-nya, terbukti dari

banyaknya film Indonesia yang memenangkan berbagai penghargaan

bergengsi festival film internasional. Namun di sisi yang lain, industri

film di dalam negeri masih tetap tidak berpihak pada perfilman

nasional, baik dari segi penontonnya maupun dari segi tatanan dan

aturan tentang perfilman. Ada masalah ketika ide-ide baru yang segar

dan kreatif ini bermunculan, sepertinya tidak mendapat tempat yang

layak, tidak disediakan tatanan yang sesuai seperti yang diinginkan

para pembuatnya supaya film-film mereka diapresiasi.

Situasi dilematis juga muncul ketika film dihadapkan dengan

aturan sensor misalnya, atau aturan harus terjual minimal sekian tiket

jika ingin filmnya tetap diputar di layar lebar. Hal yang sama terjadi

ketika ada penonton dalam negeri yang secara ekonomi mampu

membeli tiket bioskop, namun tidak ingin menonton film Indonesia

yang sedang diputar, mereka lebih suka menikmati film-film

Hollywood. Tatanan dan aturan perfilman dalam negeri dan selera

penonton, terlihat seperti membatasi ide-ide kreatif para pembuat film.

Ada kontradiksi di sana, chaos dan order berjalan beriringan.

Kreativitas yang seringkali bersifat divergen terkesan harus sejalan dan

diusahakan untuk konvergen, apalagi ketika berhadapan dengan selera

mayoritas penonton.

Film ―Siti‖ bukanlah satu-satunya yang membuat prihatin

karena kurang diapresiasi di negeri sendiri. Ada banyak film Indonesia

lain yang kondisinya sama, antara lain misalnya, film ―Denias

Senandung di Atas Awan‖ produksi Nia Zulkarnaen, film ―Tabula Rasa‖

karya Lala Timothy, atau ―Toba Dreams‖ karya sutradara Benni

Page 12: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

12

Setiawan. Film-film tersebut bukanlah film yang dibuat asal jadi,

namun justru menampilkan keindahan dan kekayaan/beragamnya

budaya Indonesia, akan tetapi tidak mendapat apresiasi yang cukup

baik di dalam negeri. Kondisi ini membuat miris mengingat Indonesia

justru sangat kaya dengan budayanya, dan film adalah produk budaya

sekaligus salah satu sektor industri kreatif yang paling menonjol dari

segi kreativitas dan inovasinya.

Pertanyaan besar di atas telah mengawali penelitian ini yakni

jatuh bangunnya perfilman Indonesia. Penulis ingin tahu bagaimana

perkembangan film Indonesia sejak pertama kali muncul. Dengan

demikian ada dua pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam

penelitian ini, yaitu:

1. Mengapa film-film Indonesia selalu mengalami jatuh-bangun

di setiap masa/rezim?

2. Film Indonesia bisa unggul dan diapresiasi secara artistik di

luar negeri, namun secara ekonomi tidak laku di dalam negeri.

Apa yang terjadi dengan industri film Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan besar di atas, telah

dikembangkan beberapa pertanyaan pendukung sebagai

berikut:

a. Bagaimana riwayat perjalanan atau trayektori industri film

Indonesia?

b. Bagaimana produksi sebuah film berjalan, mulai dari tema

atau ide cerita, penulisan skrip, penyutradaraan, dan

negosiasi-negosiasi yang terjadi di sepanjang prosesnya?

c. Bagaimana pemasaran dan distribusinya?

d. Dari segi pasar dan konsumen, bagaimana apresiasi

penonton terhadap film Indonesia?

e. Bagaimana film Indonesia sebagai sebuah industri kreatif

dikelola dan ditata sehingga tumbuh menjadi industri

kreatif yang unggul dan kompetitif?

Page 13: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

13

Metodologi Penelitian

Penelitian dilaksanakan secara induktif menggunakan metode

kualitatif yang dinamakan Grounded. Penelitian Grounded mula-mula

diperkenalkan oleh Glaser dan Strauss tahun 1967. Pada awalnya

metodologi ini hanya diperuntukkan bagi para sosiolog yang terlatih

secara profesional. Namun dalam perkembangannya, metode

Grounded dikembangkan untuk aplikasi dalam ilmu politik,

kesejahteraan sosial, kesehatan masyarakat, sosiologi pendidikan,

keperawatan, perencanaan kota, bisnis dan administrasi, serta

antropologi. Adaptabilitas penelitian Grounded yang semakin luas

dikemukakan oleh Straus dan Corbin (1998) sebagai satu set

metodologi penelitian untuk bidang-bidang lain seperti komunikasi,

psikologi, dan pekerjaan sosial yang lain (Sudira, P., 2009).

Langkah-langkah penelitian dilakukan sistematis untuk

mengumpulkan data dan melakukan analisis secara mendalam dari

wawancara, serta membangun konsep-konsep yang dapat menjelaskan

data tersebut. Secara umum, penelitian Grounded bertujuan untuk

mengkonstruksi teori dalam memahami suatu fenomena, sebagaimana

kutipan definisi dari Glaser dan Strauss sebagai berikut:

―Grounded Theory is an inductive theory discovery methodology that allow researcher to develop a theoritical account of the general features of the topics while simultaneously grounding account in empirical observations of data... GT is a methodology that seeks to construct theory about issues of importance in people‘s lives‖ (Glaser and Strauss, 1976; Glaser, 1978; Strauss and Corbin, 1998).

Namun demikian, pada perkembangannya metode ini

mengalami beberapa perubahan dan gagasan-gagasan baru. Dimulai

dengan Classical Grounded Theory (CGT) yang diinisiasi oleh Glaser

dan Strauss, ini disebut Glaserian; pendekatan GT kemudian

dikembangkan ke dalam apa yang disebut dengan Qualitative Data Analysis ala Straussian. Selanjutnya, metode ini dikembangkan oleh

para konstruktivis menjadi Constructivist Grounded Theory (Charmaz,

2000) dan pendekatan berikutnya dari metodologi ini dinamakan

Feminist Grounded Theory.

Page 14: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

14

Alih-alih mengikuti metode klasik ala Glaserian, peneliti

melihat bahwa sebuah temuan atas pengetahuan seharusnya didapat

melalui sebuah proses membangun ide-ide dan gagasan di sepanjang

perjalanan penelitian. Ada proses menginterpretasikan sejumlah

fenomena menjadi makna-makna. Peneliti tidak menampik bahwa di

awal penelitian, sudah ada kerangka pengetahuan dasar yang berasal

dari studi literatur sebelumnya tentang fenomena yang akan dia teliti--

dibawa masuk ke dalam penelitian. Penulis berkeyakinan bahwa suatu

konsep ada dan muncul dari sebuah proses konstruksi, bukan

ditemukan begitu saja seperti yang diinisiasi oleh Glaser.

Penulis juga menyakini bahwa pengetahuan diproduksi dari

pengalaman atas dunia dan pengamatannya, yang disusun dalam

bentuk skema, kategori-kategori, dan tertuang dalam konsep-konsep.

Adalah Gimbatissta Vico (1970) dari Italia yang awalnya mencetuskan

filsafat konstruktivisme secara epistemologi. Epistemologi berarti

mempelajari asal mula pengetahuan, sumber, struktur, metode, dan

sahnya (validitas) ilmu pengetahuan. Dia menjelaskan bahwa

pengetahuan mengindikasikan atau berarti mengetahui bagaimana

sesuatu dibentuk. Sekian lama gagasan Vico tersebut digunakan dan

diperdebatkan, akhirnya Jean Piaget-lah (2008) yang kemudian

menyempurnakan gagasan konstruktivisme ini khususnya dalam cara

pembelajaran. Termasuk di dalamnya, membedakan antara

pengetahuan a priori dengan a posteriori.

Sejarah Penelitian Grounded

Teori Grounded dikembangkan oleh Barney Glaser dan Anselm

Strauss di awal tahun 1960-an. Penemuan ini merupakan sebuah

metodologi kualitatif untuk menghasilkan teori. Definisi Glaser

mengenai grounded theory (GT) adalah metodologi umum tentang

analisis atas koleksi data yang berhubungan, yang menggunakan

sekumpulan metode secara sistematis untuk menghasilkan teori secara

induktif di area yang penting (Glaser, 1992).

Page 15: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

15

GT memilliki kemampuan menginterpretasi fenomena-

fenomena kompleks dan isu-isu sosial. GT penting untuk munculnya

pengalaman yang dikonstruksi secara sosial, dan tidak melibatkan

pengetahuan tendensius (tanpa asumsi awal). Kemampuan metode ini

bermanfaat untuk berbagai tipe peneliti. Penelitian Grounded

menolong peneliti untuk berurusan dengan lingkungan yang kompleks

sehingga bisa mendapatkan konsep-konsep yang muncul belakangan,

yaitu konsep-konsep baru yang bermakna.

Menurut Glaser dan Corbin Strauss, keunikan GT terletak pada 2

unsur:

a. Kemunculan teori didasarkan pada pola data empiris, bukan

dari penyimpulan prasangka, atau pengkaitan ide-ide.

b. Mengulang sebelumnya: ada perbandingan tiada henti antara

teori yang muncul (codes and construct) dengan data baru.

Perbandingan yang konstan ini menyatakan bahwa construct theoritical ditemukan di antara data, yang mendorong

pengumpulan data tambahan/baru sampai peneliti merasa teori

sudah jenuh.

Sementara definisi ini diterima oleh para peneliti, kekuatan

koleksi data, penanganan dan analisis atas data tersebut menggunakan

pendekatan yang berbeda antara Glaser and Strauss. Strauss mengem-

bangkan metodologi riset yang lebih linear (Strauss & Corbin 1990).

Seiring penggunaan GT yang makin populer di antara para

peneliti, perbedaan substansi di antara penciptanya muncul. Kedua

pembuat aslinya mencapai perbedaan yang tajam atas tujuan, prinsip

dan prosedur yang berhubungan dengan implementasi metodenya. Hal

ini ditandai oleh Strauss and Corbin‘s (1990) dalam publikasi mereka:

Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques. Publikasi ini direspon Glaser secara keras dengan dakwaan

penyimpangan atas tujuan inti dan kemunculan teoritis. Pandangan

Glaser didukung oleh peneliti lain yang setuju bahwa publikasi Strauss

tersebut adalah erosi atau penyimpangan dari metodologi dan publikasi

asli tahun 1967 (Stern, 1994). Selama bertahun-tahun setelah debat

Page 16: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

16

awal GT, sejumlah peneliti dengan teguh mendukung metode GT yang

klasik (Bowen, 2005; Clark and Lang, 2002; Davis, 1996; Efinger,

Maldonado and Mc Ardie, 2004; Holton, 2007; and, Schreiber, 2001).

Berbagai akademisi telah mengedepankan sebuah strategi dan

pedoman untuk proses coding (Charmaz, 2006; Goulding, 2005;

Partington, 2002; Patton, 2002; Strauss and Corbin, 1990, 1998). Proses

dan metode coding telah menciptakan debat tingkat tinggi bagi

pengguna GT , beberapa peneliti mengkombinasikan bentuk-bentuk

kuantitatif dan kualitatif ketika mengumpulkan data menggunakan GT.

Meskipun tidak ada yang melarang kombinasi tersebut, tujuannya

haruslah jelas, jika tidak kekacauan metodologi akan terjadi (Baker,

West and Stern, 1992; Wells, 1995). Meskipun proses coding itu

penting dalam GT, struktur yang terlalu kaku akan membuat blok yang

membatasi kemampuan peneliti untuk merampungkan analisis

(Glaser, 1978; Katz, 1983).

Fernandez (2012) mengidentifikasi empat model GT yang

berbeda, yaitu: Classic Grounded Theory (Glaser, 1978), The Strauss

and Corbin (1990) Qualitative Data Analysis/QDA yang sering disebut

Straussian Grounded Theory, berikutnya adalah The Constructivist Grounded Theory (Charmaz, 2000), dan yang terakhir adalah Feminist Grounded Theory (Wuest, 1995). Meskipun ada varian-varian lain di

luar itu yang kurang terkenal, namun keempat metode GT ini

merupakan metode-metode utama yang secara luas telah digunakan di

dalam penelitian akademik.

Perkembangan Penelitian Grounded

Penulis akan menjelaskan tiga pemikiran utama dari empat

aliran GT yang dikemukakan Fernandez (2000) yaitu (i) Glaserian, (ii)

Straussian, dan (iii) Constructivist. Ketiga aliran tersebut, diuraikan di

bawah ini.

Page 17: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

17

Classic Grounded TheoryVersus Qualitative Data Analysis

Metodologi CGT berawal dari pekerjaan Glaser dan Straus (1965-1967).

Mereka membuat pedoman evaluasi atas sebuah GT yang empiris,

yang diringkas sebagai berikut :

1. Kesesuaian (Fit): Apakah teori cocok dengan area substantif

yang akan digunakan?

2. Dapat dipahami (Understandability): Apakah non-profesional

yang tertatir dengan area substantif akan mengerti teori ini?

3. Dapat diperlebar ke hal yang umum (Generalizability): Apakah

teori masih aplikatif, jika diperlebar situasinya?

4. Pengendalian (Control): Apakah teori mengijinkan pengguna

untuk mengendalikan struktur dan proses keseharian situasi

dengan berjalannya waktu? (Glaser dan Strauss, 1967)

Ada dua tipe coding dalam CGT, yaitu coding substantif dan teoritis.

Pengkodean yang substantif mendahului yang teoritis. Holton (2007)

menyarikan proses coding substantif sebagai berikut:

1. Dalam coding substantif, peneliti bekerja secara langsung,

memecah–mecah dan menganalisis, diawali dengan coding

terbuka untuk kemunculan sebuah kategori inti, dan konsep–

konsep terkait, kemudian diakhiri melalui sampling teoritis dan

coding selektif. Coding selektif data bertujuan untuk secara

teoritis menjenuhkan inti dalam konsep terkait,

2. Proses perbandingan terus–menerus menyangkut 3 tipe

perbandingan :

a. Insiden ke insiden untuk kemunculan konsep – konsep

b. Konsep–konsep ke lebih banyak insiden untuk elaborasi

penjenuhan dan densifikasi konsep–konsep teoritis

c. Konsep–konsep ke konsep–konsep untuk kemunculan

integrasi teoritikal, dan melalui coding teoritis (Glaser dan

Strauss, 1967; Holton, 2007).

Page 18: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

18

―Semua adalah data‖ merupakan sebuah ucapan Glaser yang

terkenal, artinya semua penelitian dilihat sebagai data, tidak seperti

QDA yang punya struktur deskriptif yang spesifik. Peneliti GT perlu

membandingkan data pada dimensi yang sebanyak mungkin. Peneliti

GT mempertimbangakan semua data termasuk artikel di koran, hasil

kuesioner, pengamatan sosial, struktur dan interaksi, interview,

komentar–komentar, pernyataan–pernyataan global maupun kultural,

dokumen–dokumen historis, serta apa saja yang tersedia yang

memungkinkan peneliti untuk menggali semua aspek teori. Jadi

grounded theory menghasilkan abstraksi, bukan deskripsi.

Proses memoing membantu peneliti dalam menentukan kode

teoritis mana yang memberi model relasional terbaik untuk

mengintegrasikan kode–kode substantif dengan kode–kode teoritis.

Memo–memo teoritis menangkap arti dan ide untuk teori yang muncul

(Glaser, 1998). Glaser tidak mendukung jenis catatan yang berbeda.

Penggunaan catatan lapangan dan kebebasan coding, adalah elemen–

elemen kunci CGT. Catatan–catatan lapangan, mengijinkan peneliti

untuk fokus pada apa yang benar–benar terjadi, dan memfasilitasi

coding pada tingkat konseptual yang tinggi tanpa distraksi deskripsi

yang panjang dan detil berlebihan (Glaser, 2011).

Perbandingan atau komparasi yang berkelanjutan

memungkinkan kategori utama muncul, tidak seperti Straussian dan

konstruktivis, CGT memandang bahwa inti inilah yang menjadi sebuah

fokus untuk tinjauan literatur dan koleksi data selektif selanjutnya

(Glaser, 2011). Dalam CGT, catatan–catatan lapangan menjadi dasar

konstruksi memo, memo berperan dalam pengembangan teori

(Mongomery dan Bailey, 2007). Dalam menggunakan CGT tidak ada

format set tunggal dalam catatan lapangan. Bisa saja formatnya berubah

sepanjang penelitian.

Coding teoritis muncul atau terjadi sebagai tahap terakhir

untuk mengkonseptualisasikan bagaimana kode–kode substantif

mungkin berhubungan satu sama lain, sebagaimana hipotesa

diintegrasikan ke dalam teori (Holton, 2007). Bagi banyak peneliti,

tantangan dalam GT adalah mendapatkan konsep dengan ―dekat‖

Page 19: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

19

terhadap data (Scott,2009). Kode–kode teoritis mengkonseptualisasikan

bagaimana kode–kode substantif bisa berhubungan satu sama lain,

sebagaimana hipotesa diintegrasikan ke dalam teori (Glaser, 1978).

Kode–kode substantif merinci data, sementara kode–kode teoritis

menggabungkannya sebagai suatu teori yang komplit (Glaser, 1978).

Kode–kode teoritis adalah implisit sekaligus eksplisit.

Aliran Glaserian menganut paham bahwa peneliti berangkat

dengan kepala kosong dan membawa pertanyaan-pertanyaan netral.

Kemunculan teori ada dan bisa terjadi karena teori tertanam dalam

data. Sementara itu, penganut Straussian berpendapat peneliti tidak

berangkat dengan kepala yang benar-benar kosong, ada penjelasan

konseptual dari situasi awal sehingga pertanyaan-pertanyaan penelitian

lebih terstruktur. Secara singkat, perbedaan antara Glaserian dan

Straussian ditunjukkan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Perbedaan Aliran Glaserian dan Straussian

Glasserian Straussian

Pengembangan teori secara konseptual, ada sensitifitas teoritikal

Sensitifitas datang dari metode dan alat yang digunakan (kemampuan untuk melihat variabel dan hubungan)

Mulai dengan pikiran kosong, dengan pertanyaan-pertanyaan netral

Dimulai dengan penjelasan konseptual dari situasi/fenomena awal. Ada ide untuk mulai, pertanyaan-pertanyaan lebih terstruktur

Teori tertanam dalam data, kredibilitas teori merupakan verifikasi dari ‘grounding’-nya data

Teori diinterpretasi oleh peneliti, kredibilitas teori datang dari metode yang digunakan

Proses dasar harus diidentifikasi Proses dasar tidak perlu diidentifikasi

Ada 2 fase coding: (i) simpel : data dipecah dan

dikumpulkan, (ii) substantif: terbuka dan selektif

dalam menghasilkan kategori

Ada 3 fasecoding: (i) open:tahap mengidentifikasi,

memberi nama dan mengelompokkan, serta menjelaskan fenomena,

(ii) axial: proses merelasikan kode-kode,

(iii) selektif: pilih satu kategori inti, lalu kaitkan kategori yang lain pada kategori inti

Dipandang sebagai GT sejati Dipandang sebagai QDA (qualitative data analysis)

Page 20: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

20

Constructivist Grounded Theory

Aliran kontruksivis diawali di bidang sosiologi--bagaimana

observasi membentuk refleksi dunia secara akurat—dan akhir-akhir ini

memiliki dampak yang besar bagi peneliti yang memilih GT sebagai

metodologinya. Andrew (2012) mengkritisi Charmaz (2000, 2006) yang

memimpin debat mengenai penggunaan konstruktivisionisme dan

menyatakan bahwa ia menggunakan istilah tersebut yaitu social constructivism tanpa penjelasan yang cukup. Kata yang pertama fokus

pada yang tunggal, sedangkan kata yang lain fokus pada dunia.

Di dasar/akar teori konstruktivis ada keyakinan bahwa konsep

itu muncul karena dibangun, bukan ditemukan –seperti kata Glaser.

Bagi para konstruktivis, peneliti akan mulai dengan pertanyaan spesifik

pada area penting tertentu. Kontras sekali jika CGT mulai dengan

keinginan untuk mengetahui tentang area substantif tetapi tanpa ada

pertanyaan awal. Mirip dengan Straussian, konstruktivis akan mulai

dengan studi literatur untuk mengetahui apa yang telah dilakukan

sebelumnya di area yang akan diteliti. Perbedaan dalam waktu dan

pendekatan literatur adalah kunci perbedaan kedua pendekatan

Straussian dan konstruktivis.

Proses coding untuk Constructivist GT, menggunakan tiga jenis

coding, yaitu: coding (i) terbuka, (ii) terfokus, dan (iii) teoritis. Ini

dibandingkan dalam dua tingkat: substantif dan teoritis. Seperti coding

aksial dan selektifnya dalam aliran Straussian. Meskipun istilahnya

mirip, tetapi pengertian coding teoritisnya sangat berbeda. Untuk

pendekatan konstrutivis, coding teoritis adalah penggabungan konsep–

konsep ke dalam kelompok–kelompok. Ini terjadi di seluruh proses,

sementara untuk CGT, coding teoritis adalah bagian dari proses selektif

yang digunakan untuk mengintegrasikan grounded theory.

Bringer dkk. (2006) mengemukakan bahwa, Constructivist GT

dan menjelaskan dengan detil bagaimana menggunakan metode

konstruktivis untuk pengkodean variabel–variabel ke dalam software

NVivo. Dalam perkembangannya, Bringer merujuk secara selektif

kepada Glaser (1978), Straus dan Corbin (1990), dan Charmaz (2000) –

Page 21: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

21

yang mencoba mengilustrasikan penggunaan GT. Seperti

dikemukakan sebelumnya, kombinasi metode yang berbeda–beda ini,

cenderung mengurangi kualitas riset, dan bukan meningkatkannya.

Cupchik (2001) mengemukakan bahwa, realisme konstruktivis

menunjukkan peran membantu yang dilakukan oleh metode

kuantitatif dan kualitiatif, dalam menganalisa fenomena sosial. Glaser

(2012) menyatakan bahwa Charmaz dan lainnya melakukan QDA dan

penggunaan metodologi dengan sempurna, namun membalikkan

semua prinsip GT. Dia berargumen bahwa peneliti–peneliti yang

menggunakan pendekatan konstruktivis melakukan QDA, bukan

grounded theory (Glaser, 2012). Hernandez dan Andrew (2012) masih

lebih murah hati dalam analisisnya, mereka menjelaskan bahwa

perbedaan akhir dalam produk/hasil, ialah Constructivist GT

menciptakan sebuah teori deskriptif, yang merupakan sebuah teori

eksplanatori.

Jika peneliti–peneliti menerima, bahwa Straussian dan

konstruktivis adalah bentuk QDA, maka tidaklah heran, bahwa bentuk

gorunded theory ini punya hubungan yang dekat dengan program

komputer (software) yang lebih terstruktur sifatnya.Glaser (1978, 2012)

menunjukkan bahwa ClassicGT mengijinkan data dikembangkan

tanpa ide awal, dan akan mengintegrasikan penelitian sebelumnya

selama analisis perbandingan (komparatif). Andrew (2012) menge-

depankan bahwa argumen inti terhadap konstruksivionis adalah dalam

konseptualisasi awal realisme dan relativisme, dan bahwa argumennya

memiliki sebuah perspektif yang epistemologis, bukan ontologis.

Bryan, seorang pendukung dan rekan pengurus Charmaz

melihat metodologi konstruktivisme sebagai usaha untuk mengatasi

konflik bias potensial peneliti, dan bukan serangan terhadap filosofi

GT. Konstruktivis melihat Glaser sebagai seorang objectivist dan CGT

sebagai sebuah ontologi post-positivist tentang realisme kritikal.

Hallberg (2006) melihat perkembangan konstruktivis GT lebih sebagai

perkembangan evolusioner dari GT. Mulai dari CGT 1960 sampai

Straussian di 1990 dan constructivist model di tahun 2000-an, dan

pendekatan antara positivism dan post-modernism.

Page 22: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

22

Howell (2013) menunjukkan bahwa bagi konstruktivis

―pengetahuan, kebenaran, realitas, dan teori dipandang sebagai

kontingen (tergantung waktu) dan didasarkan pada persepsi

pengalaman manusia.‖ Setiap metodologi datang dengan sebuah

filosofi yang memengaruhi mindset dan seluruh aspek bagaimana

sebuah metodologi digunakan.

Secara umum, penerapan GT dalam penelitian dijelaskan pada

Gambar 1.4.

Sumber: Lowe (1995), Pigeon & Henwood (1976), Dey (1999) dalam Whitman, M.E.,

and Woszczynski, A. B., 2004

Gambar 1.4. Skema Pendekatan Grounded Theory

Page 23: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

23

Skema tersebut mempelihatkan bahwa metodologi ini juga

memiliki keterbatasan. Sebagai penelitian interpretif yang memiliki

fokus pada refleksi kesadaran diri sang peneliti, selalu ada

kemungkinan bias, tidak netral. Ini disebabkan peneliti sangat dekat

dengan subyek yang diteliti, dan peneliti dipengaruhi nilai-nilai diri

yang subyektif dan bahkan mengeksplorasi ide atas nilai-nilai tersebut.

Peneliti memutuskan sendiri kapan data sudah jenuh (saturation has been reached) sebelum interpretasi final dibuat. Namun demikian,

pada proses open coding dan analisis, terjadi proses berulang (bolak-

balik) pada saat menyaring kategori inti, dan antara pengumpulan data

dengan sintesis dan penyusunan bakal teori. Ini menunjukkan

terjadinya constant comparison antara konsep-konsep (bakal teori)

yang muncul dengan data baru.

Aplikasi Grounded Theory pada Area Bisnis

Grounded Theory bukan hal yang baru untuk penlitian bisnis.

Mintzberg menekankan pentingnya grounded research untuk

pengambilan data kualitatif di dalam konteks organisasi:

―measuring in real organizational terms means first of all getting out, into real organizations. Questionnaires often won‘t do. Nor will laboratory simulations… The qualitative research designs, on the other hand, permit the researcher to get close to the data, to know well all the individuals involved and observe and record what they do and say‖ (Mintzberg, 1979).

GT adalah suatu metode riset yang penting untuk karakter-

karakter atau topik-topik sosial, yang dalam lingkup tertentu –seperti

sistem informasi-- disebut socio-technique. Ada kalanya pengetahuan

yang dikonstruksi secara sosial memerlukan pendekatan mendasar

sehingga GT cocok digunakan. Dalam fenomena socio-technique, data

ada dalam bentuk konstruksi berbentuk bilangan yang memiliki orde-

orde. Ada orde yang dianggap sebagai fakta, ada orde lain yang

dikonstruksi oleh peneliti yang mengarah pada teori untuk fenomena

yang diteliti. Penelitian grounded telah berhasil dilaksanakan dalam

Page 24: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

24

lingkup sistem informasi sebuah industri film di Australia (Jones, M,

dan Alony, I., 2011).

Semua modifikasi GT untuk konteks bisnis, adalah untuk

menemukan konsep dan gagasan-gagasan, bukan untuk menguji atau

menduplikasinya. Peneliti terus-menerus melakukan coding,

perbandingan, analisis, mencatat sambil mempertanyakan kategori

data. Riset bisnis biasanya dilaksanakan untuk merespon kebutuhan

sebuah bisnis atau organisasi. Ini disebut masalah yang dipersepsikan.

Orang bisa saja berargumen bahwa menggunakan nomenklatur

penelitian kualitatif akan memotong sejumlah persoalan yang muncul

dengan penggunaan GT dalam konteks bisnis. Biasanya penelitian

kualitatif lebih sederhana.

Penelitian kualitatif khususnya dalam kategori fenomenologi,

interaksi simbolik, etnometodologi, perspektif teoritis, masih akan

mempertahankan karakteristik kemunculan GT. Bukan hanya GT yang

sering memunculkan persoalan riset, selain persoalan yang sudah

dirumuskan peneliti di awal. Data kualitatif juga mengalami hal yang

sama, contohnya organisasi yang memandang keterlambatan secara

terus-menerus sebagai persoalan yang serius. Metode riset interpretif

yang baik bisa memunculkan persoalan lain yang lebih relevan.

Melalui data grounded, persoalan awal tadi ternyata hanyalah sebuah

gejala (symptom) ketimbang masalah. Masalah yang sejatinya adalah

iklim organisasi yang memunculkan keterlambatan.

Penelitian interpretatif didisain dengan baik juga akan

menggunakan pendekatan sistimatik, transparan dan peniruan yang

menggunakan teknik analisis konten yang sesuai dengan teorinya.

Semua itu masih memerlukan coding. Definisi coding bisa bermacam-

macam. Peneliti kualitatif dalam berurusan dengan tipe-tipe spesifik

analisis juga akan melakukan pengkodean dan mengkategorisasi.

Perbandingan akan dibuat dengan mengkaitkan kategori dengan teori

dan model yang ada. Dalam kerangka struktural, ada banyak kategori

―meaning‖ yang berfungsi sebagai lensa bagi responden. Jika riset ingin

menjawab isu dalam bisnis, pengurangan pembatasan perlu

Page 25: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

25

dipertimbangkan. Menurunkan atau menaikkan kategori-kategori lain

menjadi gejala ketimbang persoalan adalah ciri GT dan riset kualitatif.

Jika prinsip dan prosedur hanya bisa dipenuhi secara parsial,

maka pertimbangan (judgement) harus dibuat dengan mengacu kepada

Glaser dan Strauss dengan alasan mengacu atau tidak ke teori. Solusi

yang diusulkan adalah jika pertimbangan tidak terpenuhi, alternatifnya

adalah Grounded Research.

Ada beberapa pedoman dalam menjalankan GT pada penelitian

kualitatif:

1. Buatlah proses pengumpulan data dan analisis yang eksplisit,

jelas, untuk diri sendiri dan orang lain melalui tulisan.

Sediakan informasi yang cukup agar pembaca dapat melihat

temuan-temuan penelitian, dan mengikuti analisis data.

2. Buat/sediakan sebuah jejak audit dengan menyusun jurnal

penelitian dan dengan menyimpan semua dokumen analisis

(termasuk analisis awal).

3. Secara eksplisit, ungkapkan dan integrasikan pengaruh dari

sumber-sumber literatur, pemahaman awal diri sendiri, dan

inspirasi teoritis (insight) yang muncul kebetulan.

4. Tuliskan di dalam memo-memo formal, pertanyaan-pertanyaan

konstruksi dan bangunan teori. Terapkan diagram jaringan

kategori dan pembenaran teori secara tertulis agar yang implisit

menjadi eksplisit.

5. Secara kontinyu, definisikan dan ulang-ulang lagi sasaran teori

secara detil. Contoh, gambaran awal bisa dituliskan seperti ini:

―saya mau menghasilkan sebuah teori yang menjelaskan

apa/mengapa/bagaimana a/b/c karena saya percaya bahwa d/e/f

adalah penting dalam situasi ini‖

6. Hendaklah dipahami bahwa akan ada kebutuhan yang konstan

untuk perbandingan dan kejenuhan teori, untuk memastikan

adanya iterasi (siklus, pengulangan) yang cukup kuat antara

pengumpulan data, analisis dan seleksi data, dan untuk

Page 26: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

26

menghindari kesimpulan yang supervisial dan induktif (tidak

harus sama dengan teori sebelumnya)

7. Secara teratur menilai bersama teman atau kolega yang kritis

atas konstruksi-konstuksi yang muncul

8. Secara terus-menerus menggunakan jurnal penelitian dan

bertanya secara eksplisit pada diri sendiri (reflektivitas diri

yang eksplisit)

9. Bisa menerima atau memahami terbatasnya validitas dan

kemampuan men-generalisasi yang bisa dibuat ketika

menggunakan GT

10. Kenalilah, bahwa proses penelitian tidak akan pernah seperti

yang dirancang sebagaimana literatur sering menggiring

peneliti untuk mempercayainya. Bebaskan dari memper-

tahankan penelitian sesuai rencana.

Klaine mengusulkan bahwa pengetahuan justru didapat dalam

pergumulan antara positivism dan anti-positivism. Teori didapat dari

pendukung kedua pendekatan tersebut (klaim-klaim yang

bertentangan). Sebuah sintesa muncul dari pertentangan-pertentangan

tersebut yang menghasilkan sebuah pendekatan dominan yang baru,

yang nanti akan memunculkan oposisi baru dan seterusnya. GT tidak

disarankan jika peneliti tidak benar-benar antusias dengan topiknya.

Peneliti harus kritis dan realistis. Untuk dapat menggunakan GT secara

efektif, harus mengadopsi cara berpikir non tradisional (modern) yang

mengandung 7 prinsip Glaser, yaitu:

1. Toleransi/terbuka dengan kebingungan adalah hal yang biasa,

tidak perlu tahu semuanya, tidak perlu apriori (menyimpulkan

dari awal)

2. Toleransi dengan regression (sebentar-sebentar bisa tersesat)

karena justru tidak ada pola, dapat menimbulkan kebingungan

3. Percaya data yang muncul tanpa mengkhawatirkan justifikasi

(kebenarannya) jika si peneliti kuat metodenya

Page 27: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

27

4. Di dalam GT ini harus ada seseorang untuk diskusi dan ada

momen untuk tenggelam (kontemplasi), salah satu caranya

adalah diskusi dengan pakar

5. Terbuka dengan bukti yang muncul yang mengubah pikiran

peneliti tentang subyek dan bertindak dengan bukti baru itu

6. Membangun abstraksi untuk membangun teori dari data

7. Jadilah kreatif, khususnya dalam cara baru mencari data.

Kritik yang paling sering dilontarkan terhadap GT adalah,

yang pertama adalah kuatnya pengaruh positivism/objectivism

(metode ini menghasilkan teori namun berasal dari pemikiran

obyektif); kedua, induksi dalam GT cenderung naif, tanpa kontrol.

Apriori pengetahuan sangat dibatasi; dan yang ketiga, berhubungan

dengan fenomenologi dan paradoks teori, serta yang keempat, generalisasi secara teoritis terbatas.

Tahapan Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti selama

penelitian menggunakan metode grounded ini, dilakukan secara garis

besar meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Codes, yaitu tahap mengidentifikasi keywords dan key points dari hasil wawancara,

2. Concepts, yaitu mengumpulkan kode-kode (key points) yang

serupa atas hasil wawancara tersebut, untuk dimasukkan ke

dalam grup,

3. Categories, yaitu tahap memberi makna dan memperluas

konsep-konsep dalam grup yang sama, untuk dijadikan dasar

teori, dan

4. Theory, yang merupakan hasil dari kumpulan konsep-konsep

dan kategori-kategori yang telah dimaknai, diinterpretasi, dan

mengacu pada teori tertentu.

Page 28: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

28

Keseluruhan tahapan penelitian tersebut dijelaskan pada Gambar 1.5.

Sumber: Manurung, E. M., 2016

Gambar 1.5. Tahap-tahap Penelitian

Inisiasi Penelitian diawali pertanyaan atas fenomena (studi

dokumen), dan mengakui pengaruh dari

literatur

Pengumpulan Data

Memilih dan melakukan wawancara dengan

nara sumber perfilman, studi dokumen,

memberi kode atas catatan wawancara

Klasifikasi Data Mengklasifikasi hasil wawancara

dan studi dokumen, ke dalam

konsep-konsep berdasarkan kode-

kode/keywords

Analisis Data

Menggabungkan konsep-konsep yang sama

ke dalam kategori yang sesuai, lakukan

konfirmasi ulang dengan nara sumber ybs

Sintesis dan Teori Interpretasi terhadap kategori-kategori dengan

cara : Menyaring kategori utama

Konstruksi memo teoritis Kejenuhan data sudah tercapai

Publikasi Penelitian

Berdasarkan pada

pemahaman peneliti

Konsep yang dihasilkan

belum tentu berhubungan

dengan topic utama

(pertanyaan awal

penelitian)

Ulasan data

sekunder dari

literatur

Page 29: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

29

Penjelasan atas tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahap I: Inisiasi Penelitian

Penelitian dimulai ketika pertanyaan awal muncul, yaitu

―mengapa film-film Indonesia selalu mengalami jatuh-bangun di setiap masa/rezim?‖ dan ―apa yang terjadi dengan industri film Indonesia?‖ Ketika pertanyaan awal ini muncul, peneliti

sudah memiliki beberapa pengetahuan tentang film Indonesia.

Studi awal telah dimulai pada tahun 2007-2008, yang

kemudian dilanjutkan di tahun 2014-2015. Studi awal

mencakup studi literatur, studi dokumen, dan wawancara

mendalam dengan narasumber terpilih pada periode yang lalu.

Di samping itu, penulis juga menambah data awal dari

perkembangan terkini tentang film Indonesia melalui tayangan

di televisi, bioskop dan media cetak.

2. Tahap II: Pengumpulan Data

Mulai akhir tahun 2014 sampai pertengahan tahun 2016,

peneliti mulai mengontak beberapa narasumber yang telah

dikenal dan diwawancarai di studi awal/pendahuluan tahun

2007-2008 untuk mengadakan janji temu wawancara. Mereka

adalah Key Simangunsong, Dewi Dee Lestari, Bapak Garin

Nugroho, Bapak Chand Parwez, dan lain-lain.

Di tahun 2015-2016 peneliti mendapatkan beberapa

narasumber utama baru –sebagai hasil perkenalan dari

narasumber lama—yang kemudian berhasil dikontak melalui

twitter dan whatsapp. Narasumber yang baru tersebut adalah:

Motulz (penata artistik), Sheila Timothy (produser), Joko

Anwar (penulis skrip, sutradara), Sammaria /Atid Simanjuntak

(produser), Nia Dicky Zulkarnaen (produser), Ardi (produser),

Ifa Isfansyah (produser), Bapak Bambang Sugiharto (pengamat

budaya dan kritikus film), Bapak Toni Masdiono (komikus,

dosen STDI Bandung), Bapak Triawan Munaf (Ketua BEKRAF),

dan Bapak Boy (Deputi Bidang Riset dan Pengembangan), Ibu

Page 30: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

30

Dian Soenardi (Program Manager CGV Blitz), dan Ibu

Catherine Keng (Corporate Secretary XXI). Beberapa kutipan

wawancara dengan narasumber lama, seperti Bapak Garin

Nugroho, Bapak Slamet Rahardjo, Riri Riza, serta Ariani

Darmawan, masih tetap digunakan untuk memperlihatkan

gambaran awal yang dimiliki penulis ketika memulai

penelitian.

Jika narasumber utama dan pertama yang diwawancarai adalah

kaum movie-maker, maka para penonton menjadi narasumber

berikutnya pada penelitian ini. Sejumlah penonton dari

berbagai rentang usia –remaja (pelajar SMA), mahasiswa,

karyawan, dan orang tua—dari beberapa kota di Indonesia

dipilih sebagai sampel yang mewakili untuk diwawancarai.

Penonton yang membaca ―teks‖ sebuah film, diharapkan dapat

menjadi pihak yang menilai secara kritis, apakah film Indonesia

baik atau buruk, apakah mereka mau/bersedia menonton film

Indonesia lagi atau tidak.

Beberapa kota dipilih mewakili pulau-pulau di Indonesia dari

barat ke timur, sesuai jaringan pertemanan yang dimiliki oleh

peneliti, yaitu Kota Bandung, Jakarta, Salatiga, Denpasar (Bali),

Lombok, Nias, serta Kabupaten Jatinangor dan Kabupaten

Sidikalang di Sumatera Utara. Responden diharapkan mencapai

jumlah lebih dari dua ratus orang, supaya komentar-komentar

yang didapatkan lebih bervariasi dan berbeda-beda.

Pengusaha bioskop adalah narasumber ketiga yang juga penting

dan berperan dalam perkembangan industri film Indonesia.

Oleh karena itu, peneliti berusaha mencari kontak dan

mewawancarai perwakilan dari dua bioskop terbesar di

Indonesia. Wawancara terhadap pemilik saluran distribusi,

yaitu pengusaha bioskop, juga perlu dilakukan untuk

memperoleh informasi tentang jumlah penonton, film

Iindonesia yang laku dan yang tidak laku (gagal).Wakil yang

pertama dari Grup XXI adalah Ibu Catherine Keng, yang

merupakan sekretaris chairman sekaligus anggota komisaris;

Page 31: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

31

dan wakil kedua dari Grup ―CGV Blitz‖ adalah Ibu Dian

Soenardi selaku pengelola program (programming manager).

Untuk melengkapi hasil wawancara terhadap ketiga

narasumber utama tadi, masih diperlukan informasi tentang

kebijakan-kebijakan oleh pemerintah dalam industri film

Indonesia. Untuk itu, perwakilan pemerintahan seperti wakil

BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) yang dibentuk di era

pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang, menjadi

narasumber terakhir yang ingin diwawancarai.

Dengan demikian, wawancara terstruktur dan semi-terstruktur

dilakukan terhadap beberapa kelompok narasumber yaitu :

a. 20 orang pembuat film (movie maker), yaitu produser,

penulis skrip, sutradara, pemain/aktor, dan kru

b. 253 orang penonton di beberapa kota di Indonesia,

c. 2 perwakilan pengusaha bioskop dari ―Grup XXI‖ dan

―CGV Blitz‖,

d. 3 orang wakil pemerintah pusat di BEKRAF/Badan

Perfilman, atau wakil pemerintah daerah.

3. Tahap III: Klasifikasi Data

Wawancara dengan para narasumber di atas kemudian dibuat

transkripnya oleh penulis, lalu dibaca dan dipelajari. Bagian-

bagian yang menurut peneliti berhubungan dengan pertanyaan

awal yang ingin dicari jawabannya, akan diberi tanda–biasanya

menggunakan warna tertentu—oleh peneliti. Bagian-bagian

lain yang tidak langsung menjawab pertanyaan besar di awal,

namun menurut penulis cukup menarik dan memberi

pengetahuan baru, juga diberi tanda. Beberapa contoh hasil

wawancara ditampilkan di bawah ini untuk menunjukkan

pemberian tanda-tanda tersebut, seperti tampak pada contoh di

bawah ini.

Page 32: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

34

Con

toh

Kla

sifi

kas

i D

ata

pad

a T

ran

skri

p W

awan

cara

den

gan

Lal

a T

imot

hy

Page 33: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

35

Con

toh

Kla

sifi

kas

i D

ata

pad

a T

ran

skri

p W

awan

cara

den

gan

Mot

ulz

dan

Key

Page 34: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

36

Con

toh

Kla

sifi

kas

i D

ata

pad

a T

ran

skri

p W

awan

cara

den

gan

Jok

o A

nw

ar

Page 35: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

37

4. Tahap IV: Analisis Data

Pada tahap ini, kategori hasil temuan-temuan akan

dianalisis. Sebagai contoh, melalui studi dokumen terhadap

film Indonesia dari masa ke masa, peneliti kemudian

membuat suatu trayektori film Indonesia (halaman 152)

dan menuliskan interpretasi atas trayektori tersebut

(halaman 159-162). Di setiap wawancara berikutnya

dengan para pembuat film dan penonton, peneliti selalu

melakukan analisis atas kategorisasi hasil temuan.

Misalnya, ketika Lala Timothy, Motulz dan Key sama-sama

membicarakan tentang proses produksi dan pendanaan

sebuah film, maka kutipan wawancaranya akan digabung

dan diberi judul yang sama seperti tampak pada Bab lima.

Keseluruhan kategori kemudian akan dianalisis di akhir

bab. Pada bagian terakhir, peneliti kembali melakukan

analisis terhadap hasil temuan-temuan sebelumnya, dan

menarik (mengabstraksikan) hasilnya ke dalam sebuah

konsep baru, seperti tampak di Bab tujuh. Pada tahap ini

kemungkinan penafsiran atas teks-teks wawancara bisa jadi

membingungkan, karena masing-masing narasumber

memiliki perspektif sendiri. Untuk itu, peneliti akan

berusaha mencari referensi dari pihak lain yang dianggap

netral, seperti pengamat dan kritikus film atau budaya.

5. Tahap V: Sintesis dan Teori

Tahap ini, menurut peneliti, adalah tahap terakhir yang

paling krusial dan cukup ―memeras otak‖. Pada tahap ini,

seluruh hasil analisis diarahkan menuju konsep teoritis.

Peneliti senantiasa berusaha mencari hubungan yang

relevan atas beberapa konsep dari kategorisasi yang telah

ditemukan, meskipun begitu, ada kalanya hubungan antar

kategori yang dianggap relevan tidak menghasilkan sesuatu

konsep yang kokoh (menurut anggapan peneliti) yang

dapat menjawab pertanyaan di awal.

Page 36: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

38

Berkenaan dengan itu, peneliti melakukan pengecekan

berulang-ulang atas konsep dan kategorisasi tersebut;

adakalanya sembari melakukan konfirmasi ulang kepada

narasumber atas temuan kategori yang dianggap penting.

Dengan demikian, sangat dimungkinkan bagi peneliti

melakukan wawancara-wawancara tambahan dalam rangka

mendapatkan ketegasan atas konfirmasi ulang tersebut.

Peneliti akan berhenti melakukannya ketika data dianggap

sudah jenuh, artinya tidak ditemukan lagi hal yang baru

atas hasil wawancara. Pada tahap ini, peneliti beranggapan

pentingnya daya imajinasi dan abstraksi untuk membangun

(mengkonstruksi) sebuah konsep teoritis atas temuan-

temuan.

Menurut peneliti, ini adalah tahap tersulit dan hanya dapat

dilangsungkan jika tersedia referensi yang cukup memadai

dalam kepala setiap peneliti. Pencarian literatur tambahan

juga diperlukan untuk merangsang munculnya daya

imajinasi dan abstraksi tersebut.

Ada dua sumber data yang digali dan diperoleh dalam

penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data

utama yaitu data primer berasal dari wawancara dengan

narasumber, ditambah dengan menonton langsung film-

film Indonesia yang diputar di layar lebar pada saat

penelitian berlangsung. Sedangkan data kedua yaitu data

sekunder berasal dari dokumen-dokumen perfilman yang

diperoleh dari berbagai sumber, antara lain kaleidoskop

perfilman Indonesia, website film Indonesia, buku-buku

tentang film Indonesia dan buku-buku lain yang

berhubungan dengan film, budaya, dan politik di

Indonesia selama penelitian berlangsung.

Pertanyaan-pertanyaan semi-terstruktur digunakan dalam

mewawancarai penonton, seperti: (i) apakah suka

menonton film Indonesia?, (ii) jika suka, genre apa yang

paling disukai dan mengapa?, (iii) jika tidak suka,

Page 37: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Krisis Film Indonesia

39

mengapa?, (iv) seberapa sering/frekuensi menonton selama

satu tahun?, dan (v) adakah hambatan dalam menonton

film Indonesia di layar lebar?

Peneliti juga menyusun beberapa pertanyaan semi-

terstruktur yang ditujukan kepada para pembuat film dan

pengusaha bioskop, seperti: (i) apa yang melandasi mereka

membuat film? (ii) tantangan-tantangan apa saja yang

mereka hadapi selama proses produksi?, (iii) berapa biaya

produksi yang dikeluarkan, dan bagaimana jika film yang

dibuat tidak laku?, (iv) bagaimana mengelola ide-ide

kreatif dalam pembuatan film yang nantinya akan

dihadapkan dengan kebutuhan pasar?

Beberapa pertanyaan yang penulis ajukan kepada para

pengusaha bioskop, antara lain: (i) film Indonesia apa yang

paling laku selama ini? (ii) berapa banyak penontonnya,

dan (iii) bagaimana pendapat pengusaha bioskop terhadap

film-film Indonesia yang tidak sanggup bertahan di layar

lebar?

6. Tahap VI: Publikasi Penelitian

Tahap ini merupakan puncak hasil penelitian, yaitu ketika

peneliti sudah memiliki hasil yang utuh, kokoh, dan

dielaborasi dengan baik dan lengkap. Publikasi hasil

penelitian grounded yang baik, menurut peneliti, adalah

jika sudah disosialisasikan dan mendapat tanggapan (entah

itu masukan atau sanggahan) dari para peneliti lain yang

mumpuni dalam topik yang diteliti.

Garis Sistimatika Disertasi

Penulisan hasil penelitian akan disusun sebagai berikut:

1. Bagian pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang

penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian,

Page 38: Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

40

metodologi penelitian, tahap-tahap penelitian, serta garis

sistimatika disertasi.

2. Bagian kedua berisi tentang pengetahuan awal yang dimiliki

peneliti yang berasal dari studi terdahulu atas film Indonesia

dan studi literatur atas topik-topik yang berhubungan dengan

film, kreativitas, dan situasi dilematis atau paradoks yang

terjadi dalam industri film.

3. Bagian ketiga mengulas tentang studi dokumen tentang

perfilman Indonesia sejak kemunculan yang pertama hingga

saat ini, untuk disusun dalam bentuk trayektori.

4. Bagian keempat membahas tentang seluk-beluk perfilman

Indonesia mulai dari produksi, pendanaan, strategi pemasaran

sampai ekshibisi di layar lebar, serta interpretasi terhadap

temuan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut.

5. Bagian kelima menguraikan pendapat penonton tentang

perfilman Indonesia, yang dikumpulkan melalui wawancara

terstruktur di media sosial (via line dan whatsapp) beserta

interpretasinya.

6. Bagian keenam berisi tentang pendapat movie-maker,

pengusaha bioskop, dan wakil pemerintah tentang film

Indonesia beserta interpretasinya.

7. Bagian ketujuh merupakan penjelasan atas transkrip wawan-

cara yang telah dikategorisasi dan hubungan-hubungan yang

relevan antara kategori untuk penyusunan konsep teoritis.

8. Bagian kedelapan merupakan sintesis dari seluruh data yang

diperoleh selama penelitian dan interpretasinya, yang

terkandung dalam Bab satu sampai tujuh.