Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai...
Transcript of Bab I Krisis Film Indonesia - repository.uksw.edu · nasional mengalami titik-titik kritis mulai...
1
Bab I
Krisis Film Indonesia
Jatuh Bangun Perfilman Indonesia
Film Indonesia telah berumur kurang lebih seratus tahun sejak
kemunculannya yang pertama. Film ―Loetoeng Kasaroeng‖ (1926)
adalah film cerita pertama yang diproduksi di Hindia Belanda berlatar
legenda Sunda. Pertunjukan besar pertama tanggal 5 Desember 1960
dilakukan di Tanah Abang, dengan harga karcis 2 gulden Belanda
untuk kelas 1, 1 gulden untuk kelas 2, dan 0,50 gulden untuk kelas 3.
Film ―Loetoeng Kasaroeng‖ merupakan campuran pertunjukan antara
wayang dan sandiwara, satu bentuk kesenian yang sudah cukup
dikenal masyarakat sebelumnya. Pertunjukan film ini cukup berhasil di
kala itu, karena penonton lebih suka film cerita daripada film
dokumenter yang biasa diputar oleh bangsa penjajah (Biran, M.Y.,
2009).
Industri film di Indonesia masih belum banyak berkembang
dan berubah sejak film pertamanya di era penjajahan. Perfilman
nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di
era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi tahun 1998,
dan era reformasi tahun 2000-an. Sampai kini, industri perfilman
nasional belum memiliki fungsi yang lengkap sebagai sebuah industri.
Industri film Indonesia sempat mengalami mati suri, bagaikan
hidup segan, mati tak mau. Beberapa titik kritis berhasil dilalui, namun
usaha dan perjuangan untuk terus bangkit dan menjadi tuan rumah di
negerinya sendiri, masih terus berlanjut. Berdasarkan studi
pendahuluan tentang film Indonesia di tahun 2007 yang merangkum
film-film Indonesia berdasarkan genre dari tahun 1989-2006; dan
kemudian dilanjutkan kembali di tahun 2014-2015 untuk data film
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
2
Indonesia Pasca Reformasi sampai tahun 2015. Kedua studi
pendahuluan tersebut dirangkum pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Produksi Film Indonesia Tahun 1989-2015
Tahun Horor Komedi Action Drama Animasi Anak Thriller Total
1989 16 22 31 34 0 1 0 104
1990 7 25 26 52 0 0 0 110
1991 2 10 19 30 0 0 0 61
1992 2 10 5 14 0 0 0 31
1993 2 4 9 11 0 0 0 26
1994 2 4 4 23 0 0 0 33
1995 0 0 2 20 0 0 0 22
1996 1 0 1 31 0 1 0 34
1997 1 0 1 30 0 0 0 32
1998 0 0 3 1 0 0 0 4
1999 0 0 1 1 0 1 1 4
2000 0 0 0 10 0 1 0 11
2001 1 0 0 1 0 0 1 3
2002 5 1 0 8 0 0 0 14
2003 1 0 1 10 0 3 0 15
2004 4 0 0 25 0 2 0 31
2005 4 0 1 18 0 2 0 25
2006 8 0 0 27 0 1 0 36
2007 21 6 0 33 0 2 0 62
2008 21 19 1 52 0 2 4 99
2009 26 16 1 42 0 1 1 87
2010 23 23 3 45 0 0 1 95
2011 16 16 2 55 0 2 2 93
2012 23 21 1 54 1 3 5 108
2013 16 6 0 70 2 2 5 101
2014 27 18 10 42 2 2 1 112
2015 29 20 0 64 2 5 2 115
Sumber: Katalog Film Indonesia Tahun 2007, dan http://filmindonesia.or.id
Ada 1.468 film Indonesia yang ditemukan datanya. Dari
keseluruhan data tersebut tidak semua film ditonton, sebagian besar
hanya dibaca sinopsisnya saja. Ketika data-data kuantitatif tersebut
dipetakan dalam bentuk grafik, maka dinamika produksi film
Indonesia sepanjang tahun 1989 sampai 2015, tampak pada Gambar 1.1.
Krisis Film Indonesia
3
Gambar 1.1. Dinamika Film Indonesia Tahun 1989-2015
Penjelasan lebih detil tentang data-data perfilman di atas, dapat
dilihat di Bab tiga.
Dinamika film Indonesia sepanjang duapuluh tujuh tahun
terakhir menunjukkan posisi yang turun naik. Satu dekade sebelum
reformasi, kondisi perfilman menurun tajam. Pemerintah turut campur
dalam menentukan film mana yang boleh atau tidak boleh diputar,
ekspresi kebebasan dibatasi. Tumbangnya rezim Orde Baru
mengakibatkan industri perfilman nasional mengalami babak baru
Pasca Reformasi. Era Reformasi adalah era di mana beberapa peristiwa
besar juga menandai perubahan dalam perfilman Indonesia. Adanya
aksi protes bulan Januari tahun 2007 di Taman Ismail Marzuki yang
diinisiasi oleh pembuat film yang tergabung dalam Masyarakat Film
Indonesia (MFI)1, merupakan tonggak awal yang ditancapkan generasi
baru pembuat film Indonesia. Mereka yang tergabung dalam MFI ini –
Mira Lesmana, Riri Riza, Nia Dinata dan kawan-kawan—berorasi di
TIM, mereka protes dengan pemilihan film ―Ekskul‖ sebagai film
1Masyarakat Film Indonesia (MFI) terdiri dari para movie-maker muda yang tidak
setuju dengan keputusan dewan juri di FFI 2006 yang memilih film ―Ekskul‖ sebagai film terbaik. Film tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran hak cipta karena menggunakan ilustrasi musik dari film lain. Sebanyak 31 sineas menandatangani surat protes dan pengembalian piala Citra secara simbolik di Taman Ismail Marzuki, piala yang pernah mereka terima selama tiga tahun terakhir sejak 2007 tersebut. Selain protes terhadap kinerja penyelenggaraan festival film dalam negeri --dianggap tidak kredibel, mereka juga protes dengan kinerja Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang tidak serius menata-kelola perfilman di Indonesia (Gatra, 2007).
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
4
terbaik FFI 2006, dan mengembalikan piala-piala Citra yang pernah
mereka dapatkan. Di kantor Miles Production Jakarta, Riri Riza
menyatakan bahwa sudah saatnya mereka (MFI) menyatakan sikap:
―Sekarang, saya dan teman-teman menyatakan sikap.
Puncaknya di 2006, Ekskul dimenangkan, sebuah film yang
jelas-jelas melakukan pelanggaran hak cipta, merendahkan
martabat kami sebagai pembuat film. Kami membuat film,
membuat musiknya satu per satu, memikirkannya baik-
baik,..‖ (Wawancara dengan Riri Riza, 11 April 2007).
Sesudah peristiwa itu, gelombang pemain-pemain baru dalam
industri perfilman nasional makin banyak muncul. Mereka tergolong
ke dalam generasi muda movie-maker sesudah Mira Lesmana, Riri
Riza, dan Nia Dinata; antara lain adalah Rizal Mantovani, Hanung
Bramantyo, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnain, Sheila (Lala) Timothy,
Atid Sammaria, Joko Anwar, dan lain-lain. Pemain-pemain baru
tersebut memberi dinamika, warna baru dalam perfilman Indonesia.
Perubahan dimulai dari film ―Kuldesak‖ (1998-1999) sebuah film
independen yang diproduseri oleh Mira Lesmana, Rizal Mantovani,
Riri Riza, dan Nan Achnas. Film lain sesudahnya seperti ―Petualangan
Sherina‖, ―Ada Apa Dengan Cinta‖ (AADC), dan ―Denias: Senandung
di Atas Awan‖ memberi kesegaran, cerita dan warna yang baru dalam
film Indonesia. Film ―Petualangan Sherina‖ dan ―AADC‖ bahkan
berhasil memperoleh apresiasi yang tinggi dari penonton. Fenomena
tersebut membuat peta perfilman Indonesia berubah (Manurung, E.
M., 2008).
Perubahan yang diinisiasi oleh generasi muda pembuat film itu
tidak berjalan mulus, satu dekade sesudah Reformasi industri film
mengalami penurunan kembali, baik dari segi variasi, namun terutama
dari segi penontonnya. Film Indonesia seperti kehilangan daya tarik.
Slamet Rahardjo, dalam sebuah wawancara di Institut Kesenian
Jakarta, mengemukakan bahwa secara konten film Indonesia belum
banyak berubah:
―kalo saya boleh jujur, udara bebas ini membuat anak-anak muda itu memiliki bandingan-bandingan yang banyak, sehingga secara teknis mereka bagus. Tetapi secara content-
Krisis Film Indonesia
5
wise, tunggu dulu! Banyak juga yang mengeluh bahwa film Indonesia kehilangan sukma…temanya maksud saya, dari dulu surealis itu ada, Pak Asrul Sani dengan ‗Jam Malam‘-nya, saya membuat ‗Rembulan dan Matahari‘, Bachtiar Siagian dengan dialog-dialog intelektualnya, semuanya ngga kalah‖ (Rahardjo, S., 3 Mei 2007).
Perfilman Indonesia kembali dihadapkan pada suatu kondisi
yang dilematis, tegangan-tegangan yang menaik atau menurun, dari
segi peningkatan jumlah produksi, variasi tema cerita dan genre,
dengan jumlah penonton yang malah turun; demikian juga dengan
pendapat sineas muda dan seniornya yang tampak bertentangan.
Temuan senada tentang naik turunnya film Indonesia dalam dinamika
perfilman sepanjang tahun 1926-2010 diungkapkan oleh Barker,
Thomas (2011) pada Gambar 1.2.
Sumber: Barker, T.A.C., 2011
Gambar 1.2. Dinamika Film Indonesia Tahun 1926-2010
Sebelas tahun sesudah reformasi, yaitu tahun 2009-2013, di
saat era kebebasan dan berekspresi terbuka lebar, film Indonesia
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
6
sempat mengalami penurunan dan stagnasi kembali. Data
menunjukkan bahwa sekalipun jumlah film dan jumlah bioskop
bertambah, penonton film Indonesia justru menurun, terutama di
tahun 2012 ke 2013, seperti tampak di Gambar 1.3. Film Indonesia di
setiap masa/era senantiasa mengalami kondisi yang jatuh bangun.
Sumber: filmindonesia.or.id, 2014
Gambar 1.3. Grafik Data Penonton Film Indonesia Tahun 2010-2013
Fenomena FFI 2015
Tanggal 28 November tahun 2015, Festival Film Indonesia
(FFI) telah diselenggarakan kembali. Festival tersebut menunjukkan
hasil yang berbeda dari FFI-FFI sebelumnya karena para pemenangnya
sejalan dengan kategori pemenang di festival film yang sama di negara
lain. Film ―Siti‖ terpilih sebagai film terbaik pada FFI 2015. Ketua
dewan juri FFI 2015, Olga Lydia, menjelaskan penjurian dilaksanakan
secara terpisah. Masing-masing juri bebas memilih filmnya sendiri dan
memasukkan pilihannya secara online pada basis data tanpa ada diskusi
dan tekanan dari pihak tertentu. Selain seratus orang juri yang kredibel
di bidangnya, dipilih juga limabelas juri yang memiliki pengetahuan di
luar film, seperti pakar budaya, pakar musik, dan kritikus film (Antara
News, 13 November 2015).
Salah seorang juri, Garin Nugroho2 mengatakan, Festival Film
Indonesia kali ini menjadi peta baru sinema Indonesia. Di saat
2Garin Nugroho adalah seorang produser dan sutradara yang mumpuni di bidangnya. Garin adalah pelopor avant-grade yang menjadi ruang tumbuh bagi bibit-bibit baru movie-maker Indonesia, generasi pasca 1998. Karya-karyanya yang beragam
Krisis Film Indonesia
7
organisasi film baik dari aspek profesi, produksi, maupun distribusi,
belum menumbuhkan sistem yang memberi hidup sinema Indonesia
Pasca Reformasi, FFI 2015 menjadi peta baru yang menunjukkan
bahwa sinema Indonesia diselamatkan oleh kreator-kreator (movie-maker)-nya, bukan oleh sistem. Terpilihnya film terbaik ―Siti‖ dan
sutradara terbaik yaitu Joko Anwar, membuktikan bahwa apresiasi film
saat ini berada dalam pemahaman apresiasi yang sama dengan festival
film dunia. Sudah terlalu lama pilihan FFI bertolak-belakang dengan
pilihan festival film dunia. Film ―Siti‖ karya Ifa Isfansyah meraih Arte Award di Busan Film Festival, sebuah penghargaan bergengsi dari
rumah produksi dan distributor di Perancis, di samping juga menembus
festival Telluride Amerika. Sementara Joko Anwar telah berhasil
membawa filmnya ―A Copy of My Mind‖ ke beberapa deret festival
bergengsi di Venesia, Toronto, serta Busan. Awal Desember 2015, Joko
Anwar juga berhasil menggandeng rumah produksi di Korea untuk
menyiarkan serial terbaru garapannya di saluran HBO Asia, sebuah
serial dark-thriller yang diberi judul ―Halfworlds‖.
Film ―Siti‖ merupakan film independen yang diproduseri oleh
Ifa Isfansyah di tahun 2014. Film ini dibuat dengan anggaran rendah
sebesar Rp 150 juta (seratus limapuluh juta rupiah) dan memang tidak
ditujukan untuk konsumsi penonton layar lebar di dalam negeri. Ifa
mengatakan, produksi film ―Siti‖ adalah suatu keharusan berkarya bagi
ia dan teman-temannya. Mereka tergabung dalam komunitas ―Four Colours‖ selalu ingin berkreasi menciptakan sesuatau yang baru dalam
perfilman Indonesia. Tujuan Ifa dan teman-temannya membuat film
―Siti‖ yang hitam-putih adalah untuk pasar khusus di negara lain yang
mendorong kebangkitan film di tahun 1990-an. Ia lahir tanggal 6 Juni 1961 di Yogyakarta dari keluarga penulis dan penerbit novel berbahasa Jawa, Garin Nugroho lulus dari Fakultas Film dan Televisi IKJ dan Fakultas Hukum UI. Karya-karyanya dikenal sangat luas mulai dari film, iklan, dokumenter, video musik, teater, seni instalasi art, dan sudah dipamerkan di Espace Culturel Louis Vuitton Paris,Haus der Kuns Munchen, hingga museum Quai Branly Paris. Garin turut merintis JAFF (Jogja NETPAC Asian Film Festival) dan LA Indie Movie, serta membangun komunitas film dan seni di sejumlah kota besar di Indonesia. Film-filmnya telah menembus berbagai festival internasional, seperti Cannes, Venisia, dan Berlin. Film Garin banyak menekankan persoalan sosial-politik-budaya di daerah marjinal di Indonesia antara lain di Papua, Aceh, Sumba, dan Jawa (Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
8
punya ruang apresiasi bagi film-film macam itu, misalnya di Perancis
dan negara lain yang memiliki penikmat film berseni (Wawancara
dengan Ifa, tanggal 10 Agustus 2016).
Di samping bersifat ―art‖ dan belum tentu bisa diterima oleh
penonton di dalam negeri –ada anggapan bahwa film-film yang art-house tidak akan laku dijual di dalam negeri3, Ifa juga mengatakan
untuk diputar di layar lebar harus lolos sensor oleh Lembaga Sensor
Film (LSF) dulu. Ini disebabkan, LSF di Indonesia masih lebih
mengedepankan norma-norma yang bertumpu pada kesopanan dan
kesusilaan, sedangkan adegan-adegan yang mengedepankan ―art‖ belum tentu sesuai dengan kriteria LSF.
Film ―Siti‖ menurut Ifa mengalami pemotongan beberapa
adegan, seperti ketika anak Siti sedang mandi, kemudian adegan Siti
berganti pakaian sebelum berangkat ke karaoke, dan adegan ciuman
antara Siti dengan Gatot di kamar mandi (seorang pelanggannya di
kareoke). Ifa mengatakan bahwa film ―Siti‖ pada awalnya memang
tidak ditujukan untuk diputar di layar lebar, karena film yang tayang di
layar lebar harus bebas sensor dulu sedangkan film ―Siti‖ ini justru
berbeda perspektif dalam menghadirkan setiap adegan-adegannya.
Kreatifitas sang sutradara ketika mengambil adegan Siti hendak ganti
baju misalnya, dijelaskan, ingin menunjukan pergulatan batin –
sehingga di-shoot cukup lama—bagaimana Siti harus mengenakan
pakaian karaokenya di malam hari, meninggalkan suaminya yang
sedang sakit dan anaknya yang sedang tidur. Adegan-adegan yang sarat
filosofis atau art memang bukan kriteria utama LSF.
Film ―Siti‖ merupakan film hitam-putih tentang orang
pinggiran. Film itu dibuat hitam-putih karena keterbatasan dana ketika
3 Ada dua istilah yang kerap digunakan para sineas dan pengamat film tentang film Indonesia, yang pertama adalah film komersil, sedangkan yang kedua film berjenis ―art-house‖. Film bagus dan tidak laku di pasaran dianggap sebagai film idealis yang dikategorikan sebagai film ―art-house‖, dan film-film yang laku namun kurang bermutu dikategorikan sebagai film komersil. Eric Sasono, dalam buku Sejarah Film 1900-1950, Bikin Film di Jawa karya Misbach Yusa Biran (Komunitas Bambu, 2009) menuliskan pengantar yang mempertanyakan asumsi tentang ―film idealis‖ dan ―film komersial‖.(www.kompas.com, diunduh 23 November 2015).
Krisis Film Indonesia
9
membuatnya, malah memberi kesan artistik dan menuai pujian dari
kritikus film. Didukung oleh dialog-dialog ringan keseharian, yang
didominasi bahasa Jawa, film ―Siti‖ sarat makna dan pesan tentang
masyarakat yang terpinggirkan. Realitas kehidupan yang dirasakan
oleh orang-orang ―kecil‖ yang kurang berpendidikan dan tidak punya
banyak pilihan. Ketika penulis menyaksikan film ini, pesan dan makna
disampaikan secara indah dan mengharukan. Seorang perempuan
bernama ―Siti‖ mewakili perempuan Indonesia kebanyakan. Pergulatan
batinnya untuk berjuang melawan ketidakadilan dan kondisi ekonomi
keluarga yang sulit, lebih banyak ditunjukkan dalam diam. Suatu sikap
perempuan yang terkungkung oleh norma-norma kepatuhan dan
tanggung jawab. Kepatuhan terhadap suaminya yang terbaring sakit,
terhadap ibu mertuanya yang tak lelah berjualan keripik, dan rasa
tanggung jawabnya terhadap anak lelaki satu-satunya yang ia sayangi.
Siti mewakili kebanyakan perempuan dengan latar budaya
timur yang terpaksa bekerja membanting-tulang, melupakan cita-cita
dan impiannya, untuk memenuhi kodratnya sebagai perempuan yang
telah menikah dan memiliki anak. Sebuah film khas perempuan
Indonesia yang dikemas apik dan menarik. Sayangnya, tidak semua
penonton bisa mengapresiasi film seperti ini. Di tengah-tengah
pemutaran film, misalnya, ada sebagian penonton yang keluar dari
studio XXI tempat penulis menonton. Mereka mengeluhkan filmnya
tidak menarik, dialognya membosankan. Penulis melihat bahwa
kebanyakan penonton berusia remaja memang lebih menyukai film-
film ringan, mudah dicerna.
Pada tanggal 28 Januari 2016, film ―Siti‖ akhirnya ditayangkan
di bioskop ―Grup XXI‖. Menurut berita yang dipublikasikan oleh
theatersatudotcom, sesudah empat hari diputar di bioskop, film ―Siti‖
memperoleh penonton sebanyak 4.771 orang, tidak termasuk ke dalam
10 film Indonesia yang laris di periode tersebut. Film ―Siti‖ termasuk
yang paling rendah penontonnya dari semua film Indonesia yang rilis
di waktu yang hampir bersamaan. Informasi dari website yang sama,
menunjukan bahwa film ―Single‖ yang rilis sejak pertengahan
Desember 2015 berhasil memperoleh 1.086.808 penonton, diikuti oleh
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
10
film ―Ngenest‖ di akhir Desember 2015 dengan jumlah 639.117
penonton, dan ―London Love Story‖ dengan jumlah 610.977 penonton.
Berikutnya ada film ―Petualangan Singa Pemberani Atlantos‖ dengan
124.466 penonton, ―Surat dari Praha‖ dengan 55.032 penonton, dan ―A Copy of My Mind‖ film Joko Anwar yang rilis belakangan dengan
jumlah 18.657 penonton. Di saat yang sama, film ―Star Wars: The Force Awakens‖ dari Hollywood yang rilis bersamaan dengan film ―Single‖
berhasil memperoleh penjualan tiket sebesar Rp 39 miliar, atau setara
dengan jumlah 1.300.000 penonton hanya dalam jangka waktu 5 hari
pemutaran di bioskop-bioskop Indonesia (www.theatersatu.com,
diunduh tanggal 9 Maret 2016).
Saat melakukan wawancara dengan Ifa, penulis memperoleh
informasi tentang perolehan pendapatan dari penjualan tiket bersih
sesudah dipotong pajak, dibagi rata (50:50) antara pengusaha bioskop
dengan produser. Jika diambil harga tiket terendah adalah Rp
30.000,00 maka pendapatan yang diperoleh dari penjualan tiket selama
empat hari atas film ―Siti‖ sebanyak 4.771 tiket adalah harga tiket dikali
jumlah tiket yang terjual, dipotong pajak, lalu dibagi dua, kurang-lebih
sebesar Rp 64.000.000,-.Ifa sendiri mengatakan bahwa pengembalian
dari total pendapatan dari film ―Siti‖ saat wawancara, sudah mencapai
200% dari total biayanya. Ini dimungkinkan karena adanya pendapatan
lain dari pemutaran film ―Siti‖ di luar negari (Perancis dan lain-lain),
dan hadiah-hadiah yang ia peroleh dan menangkan melalui beberapa
festival film di luar negeri.
Problematika
Terpilihnya film ―Siti‖ sebagai film terbaik pada FFI 2015
merupakan fenomena yang menandakan bahwa industri film Indonesia
mulai berubah. Seperti halnya FFI 2006 yang menuai aksi protes
sineas-sineas muda Indonesia–demi menyelamatkan perfilman
Indonesia yang dianggap ―rusak‖ oleh para kreator yang tidak
memahami orisinalitas, FFI 2015 ini pun diakui oleh Garin Nugroho
sebagai FFI yang ‗diselamatkan oleh movie-maker‘-nya, bukan oleh
Krisis Film Indonesia
11
sistem. Secara industri perfilman, sebenarnya kondisi FFI 2015 tak
banyak berubah dari FFI 2006 dan FFI-FFI sebelumnya. Industri
perfilman Indonesia masih tetap pada kondisi yang sama: hidup segan
mati tak mau-jika tak ingin dibilang mati suri. Film Indonesia yang
memenangkan penghargaan sebagai film terbaik malah kurang
penonton di negerinya sendiri. Film Indonesia senantiasa mengalami
posisi yang aneh dan dilematis di negerinya sendiri.
Di satu sisi, perfilman nasional banyak memunculkan ide-ide
baru yang segar dan kreatif oleh movie-maker-nya, terbukti dari
banyaknya film Indonesia yang memenangkan berbagai penghargaan
bergengsi festival film internasional. Namun di sisi yang lain, industri
film di dalam negeri masih tetap tidak berpihak pada perfilman
nasional, baik dari segi penontonnya maupun dari segi tatanan dan
aturan tentang perfilman. Ada masalah ketika ide-ide baru yang segar
dan kreatif ini bermunculan, sepertinya tidak mendapat tempat yang
layak, tidak disediakan tatanan yang sesuai seperti yang diinginkan
para pembuatnya supaya film-film mereka diapresiasi.
Situasi dilematis juga muncul ketika film dihadapkan dengan
aturan sensor misalnya, atau aturan harus terjual minimal sekian tiket
jika ingin filmnya tetap diputar di layar lebar. Hal yang sama terjadi
ketika ada penonton dalam negeri yang secara ekonomi mampu
membeli tiket bioskop, namun tidak ingin menonton film Indonesia
yang sedang diputar, mereka lebih suka menikmati film-film
Hollywood. Tatanan dan aturan perfilman dalam negeri dan selera
penonton, terlihat seperti membatasi ide-ide kreatif para pembuat film.
Ada kontradiksi di sana, chaos dan order berjalan beriringan.
Kreativitas yang seringkali bersifat divergen terkesan harus sejalan dan
diusahakan untuk konvergen, apalagi ketika berhadapan dengan selera
mayoritas penonton.
Film ―Siti‖ bukanlah satu-satunya yang membuat prihatin
karena kurang diapresiasi di negeri sendiri. Ada banyak film Indonesia
lain yang kondisinya sama, antara lain misalnya, film ―Denias
Senandung di Atas Awan‖ produksi Nia Zulkarnaen, film ―Tabula Rasa‖
karya Lala Timothy, atau ―Toba Dreams‖ karya sutradara Benni
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
12
Setiawan. Film-film tersebut bukanlah film yang dibuat asal jadi,
namun justru menampilkan keindahan dan kekayaan/beragamnya
budaya Indonesia, akan tetapi tidak mendapat apresiasi yang cukup
baik di dalam negeri. Kondisi ini membuat miris mengingat Indonesia
justru sangat kaya dengan budayanya, dan film adalah produk budaya
sekaligus salah satu sektor industri kreatif yang paling menonjol dari
segi kreativitas dan inovasinya.
Pertanyaan besar di atas telah mengawali penelitian ini yakni
jatuh bangunnya perfilman Indonesia. Penulis ingin tahu bagaimana
perkembangan film Indonesia sejak pertama kali muncul. Dengan
demikian ada dua pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Mengapa film-film Indonesia selalu mengalami jatuh-bangun
di setiap masa/rezim?
2. Film Indonesia bisa unggul dan diapresiasi secara artistik di
luar negeri, namun secara ekonomi tidak laku di dalam negeri.
Apa yang terjadi dengan industri film Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan besar di atas, telah
dikembangkan beberapa pertanyaan pendukung sebagai
berikut:
a. Bagaimana riwayat perjalanan atau trayektori industri film
Indonesia?
b. Bagaimana produksi sebuah film berjalan, mulai dari tema
atau ide cerita, penulisan skrip, penyutradaraan, dan
negosiasi-negosiasi yang terjadi di sepanjang prosesnya?
c. Bagaimana pemasaran dan distribusinya?
d. Dari segi pasar dan konsumen, bagaimana apresiasi
penonton terhadap film Indonesia?
e. Bagaimana film Indonesia sebagai sebuah industri kreatif
dikelola dan ditata sehingga tumbuh menjadi industri
kreatif yang unggul dan kompetitif?
Krisis Film Indonesia
13
Metodologi Penelitian
Penelitian dilaksanakan secara induktif menggunakan metode
kualitatif yang dinamakan Grounded. Penelitian Grounded mula-mula
diperkenalkan oleh Glaser dan Strauss tahun 1967. Pada awalnya
metodologi ini hanya diperuntukkan bagi para sosiolog yang terlatih
secara profesional. Namun dalam perkembangannya, metode
Grounded dikembangkan untuk aplikasi dalam ilmu politik,
kesejahteraan sosial, kesehatan masyarakat, sosiologi pendidikan,
keperawatan, perencanaan kota, bisnis dan administrasi, serta
antropologi. Adaptabilitas penelitian Grounded yang semakin luas
dikemukakan oleh Straus dan Corbin (1998) sebagai satu set
metodologi penelitian untuk bidang-bidang lain seperti komunikasi,
psikologi, dan pekerjaan sosial yang lain (Sudira, P., 2009).
Langkah-langkah penelitian dilakukan sistematis untuk
mengumpulkan data dan melakukan analisis secara mendalam dari
wawancara, serta membangun konsep-konsep yang dapat menjelaskan
data tersebut. Secara umum, penelitian Grounded bertujuan untuk
mengkonstruksi teori dalam memahami suatu fenomena, sebagaimana
kutipan definisi dari Glaser dan Strauss sebagai berikut:
―Grounded Theory is an inductive theory discovery methodology that allow researcher to develop a theoritical account of the general features of the topics while simultaneously grounding account in empirical observations of data... GT is a methodology that seeks to construct theory about issues of importance in people‘s lives‖ (Glaser and Strauss, 1976; Glaser, 1978; Strauss and Corbin, 1998).
Namun demikian, pada perkembangannya metode ini
mengalami beberapa perubahan dan gagasan-gagasan baru. Dimulai
dengan Classical Grounded Theory (CGT) yang diinisiasi oleh Glaser
dan Strauss, ini disebut Glaserian; pendekatan GT kemudian
dikembangkan ke dalam apa yang disebut dengan Qualitative Data Analysis ala Straussian. Selanjutnya, metode ini dikembangkan oleh
para konstruktivis menjadi Constructivist Grounded Theory (Charmaz,
2000) dan pendekatan berikutnya dari metodologi ini dinamakan
Feminist Grounded Theory.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
14
Alih-alih mengikuti metode klasik ala Glaserian, peneliti
melihat bahwa sebuah temuan atas pengetahuan seharusnya didapat
melalui sebuah proses membangun ide-ide dan gagasan di sepanjang
perjalanan penelitian. Ada proses menginterpretasikan sejumlah
fenomena menjadi makna-makna. Peneliti tidak menampik bahwa di
awal penelitian, sudah ada kerangka pengetahuan dasar yang berasal
dari studi literatur sebelumnya tentang fenomena yang akan dia teliti--
dibawa masuk ke dalam penelitian. Penulis berkeyakinan bahwa suatu
konsep ada dan muncul dari sebuah proses konstruksi, bukan
ditemukan begitu saja seperti yang diinisiasi oleh Glaser.
Penulis juga menyakini bahwa pengetahuan diproduksi dari
pengalaman atas dunia dan pengamatannya, yang disusun dalam
bentuk skema, kategori-kategori, dan tertuang dalam konsep-konsep.
Adalah Gimbatissta Vico (1970) dari Italia yang awalnya mencetuskan
filsafat konstruktivisme secara epistemologi. Epistemologi berarti
mempelajari asal mula pengetahuan, sumber, struktur, metode, dan
sahnya (validitas) ilmu pengetahuan. Dia menjelaskan bahwa
pengetahuan mengindikasikan atau berarti mengetahui bagaimana
sesuatu dibentuk. Sekian lama gagasan Vico tersebut digunakan dan
diperdebatkan, akhirnya Jean Piaget-lah (2008) yang kemudian
menyempurnakan gagasan konstruktivisme ini khususnya dalam cara
pembelajaran. Termasuk di dalamnya, membedakan antara
pengetahuan a priori dengan a posteriori.
Sejarah Penelitian Grounded
Teori Grounded dikembangkan oleh Barney Glaser dan Anselm
Strauss di awal tahun 1960-an. Penemuan ini merupakan sebuah
metodologi kualitatif untuk menghasilkan teori. Definisi Glaser
mengenai grounded theory (GT) adalah metodologi umum tentang
analisis atas koleksi data yang berhubungan, yang menggunakan
sekumpulan metode secara sistematis untuk menghasilkan teori secara
induktif di area yang penting (Glaser, 1992).
Krisis Film Indonesia
15
GT memilliki kemampuan menginterpretasi fenomena-
fenomena kompleks dan isu-isu sosial. GT penting untuk munculnya
pengalaman yang dikonstruksi secara sosial, dan tidak melibatkan
pengetahuan tendensius (tanpa asumsi awal). Kemampuan metode ini
bermanfaat untuk berbagai tipe peneliti. Penelitian Grounded
menolong peneliti untuk berurusan dengan lingkungan yang kompleks
sehingga bisa mendapatkan konsep-konsep yang muncul belakangan,
yaitu konsep-konsep baru yang bermakna.
Menurut Glaser dan Corbin Strauss, keunikan GT terletak pada 2
unsur:
a. Kemunculan teori didasarkan pada pola data empiris, bukan
dari penyimpulan prasangka, atau pengkaitan ide-ide.
b. Mengulang sebelumnya: ada perbandingan tiada henti antara
teori yang muncul (codes and construct) dengan data baru.
Perbandingan yang konstan ini menyatakan bahwa construct theoritical ditemukan di antara data, yang mendorong
pengumpulan data tambahan/baru sampai peneliti merasa teori
sudah jenuh.
Sementara definisi ini diterima oleh para peneliti, kekuatan
koleksi data, penanganan dan analisis atas data tersebut menggunakan
pendekatan yang berbeda antara Glaser and Strauss. Strauss mengem-
bangkan metodologi riset yang lebih linear (Strauss & Corbin 1990).
Seiring penggunaan GT yang makin populer di antara para
peneliti, perbedaan substansi di antara penciptanya muncul. Kedua
pembuat aslinya mencapai perbedaan yang tajam atas tujuan, prinsip
dan prosedur yang berhubungan dengan implementasi metodenya. Hal
ini ditandai oleh Strauss and Corbin‘s (1990) dalam publikasi mereka:
Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques. Publikasi ini direspon Glaser secara keras dengan dakwaan
penyimpangan atas tujuan inti dan kemunculan teoritis. Pandangan
Glaser didukung oleh peneliti lain yang setuju bahwa publikasi Strauss
tersebut adalah erosi atau penyimpangan dari metodologi dan publikasi
asli tahun 1967 (Stern, 1994). Selama bertahun-tahun setelah debat
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
16
awal GT, sejumlah peneliti dengan teguh mendukung metode GT yang
klasik (Bowen, 2005; Clark and Lang, 2002; Davis, 1996; Efinger,
Maldonado and Mc Ardie, 2004; Holton, 2007; and, Schreiber, 2001).
Berbagai akademisi telah mengedepankan sebuah strategi dan
pedoman untuk proses coding (Charmaz, 2006; Goulding, 2005;
Partington, 2002; Patton, 2002; Strauss and Corbin, 1990, 1998). Proses
dan metode coding telah menciptakan debat tingkat tinggi bagi
pengguna GT , beberapa peneliti mengkombinasikan bentuk-bentuk
kuantitatif dan kualitatif ketika mengumpulkan data menggunakan GT.
Meskipun tidak ada yang melarang kombinasi tersebut, tujuannya
haruslah jelas, jika tidak kekacauan metodologi akan terjadi (Baker,
West and Stern, 1992; Wells, 1995). Meskipun proses coding itu
penting dalam GT, struktur yang terlalu kaku akan membuat blok yang
membatasi kemampuan peneliti untuk merampungkan analisis
(Glaser, 1978; Katz, 1983).
Fernandez (2012) mengidentifikasi empat model GT yang
berbeda, yaitu: Classic Grounded Theory (Glaser, 1978), The Strauss
and Corbin (1990) Qualitative Data Analysis/QDA yang sering disebut
Straussian Grounded Theory, berikutnya adalah The Constructivist Grounded Theory (Charmaz, 2000), dan yang terakhir adalah Feminist Grounded Theory (Wuest, 1995). Meskipun ada varian-varian lain di
luar itu yang kurang terkenal, namun keempat metode GT ini
merupakan metode-metode utama yang secara luas telah digunakan di
dalam penelitian akademik.
Perkembangan Penelitian Grounded
Penulis akan menjelaskan tiga pemikiran utama dari empat
aliran GT yang dikemukakan Fernandez (2000) yaitu (i) Glaserian, (ii)
Straussian, dan (iii) Constructivist. Ketiga aliran tersebut, diuraikan di
bawah ini.
Krisis Film Indonesia
17
Classic Grounded TheoryVersus Qualitative Data Analysis
Metodologi CGT berawal dari pekerjaan Glaser dan Straus (1965-1967).
Mereka membuat pedoman evaluasi atas sebuah GT yang empiris,
yang diringkas sebagai berikut :
1. Kesesuaian (Fit): Apakah teori cocok dengan area substantif
yang akan digunakan?
2. Dapat dipahami (Understandability): Apakah non-profesional
yang tertatir dengan area substantif akan mengerti teori ini?
3. Dapat diperlebar ke hal yang umum (Generalizability): Apakah
teori masih aplikatif, jika diperlebar situasinya?
4. Pengendalian (Control): Apakah teori mengijinkan pengguna
untuk mengendalikan struktur dan proses keseharian situasi
dengan berjalannya waktu? (Glaser dan Strauss, 1967)
Ada dua tipe coding dalam CGT, yaitu coding substantif dan teoritis.
Pengkodean yang substantif mendahului yang teoritis. Holton (2007)
menyarikan proses coding substantif sebagai berikut:
1. Dalam coding substantif, peneliti bekerja secara langsung,
memecah–mecah dan menganalisis, diawali dengan coding
terbuka untuk kemunculan sebuah kategori inti, dan konsep–
konsep terkait, kemudian diakhiri melalui sampling teoritis dan
coding selektif. Coding selektif data bertujuan untuk secara
teoritis menjenuhkan inti dalam konsep terkait,
2. Proses perbandingan terus–menerus menyangkut 3 tipe
perbandingan :
a. Insiden ke insiden untuk kemunculan konsep – konsep
b. Konsep–konsep ke lebih banyak insiden untuk elaborasi
penjenuhan dan densifikasi konsep–konsep teoritis
c. Konsep–konsep ke konsep–konsep untuk kemunculan
integrasi teoritikal, dan melalui coding teoritis (Glaser dan
Strauss, 1967; Holton, 2007).
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
18
―Semua adalah data‖ merupakan sebuah ucapan Glaser yang
terkenal, artinya semua penelitian dilihat sebagai data, tidak seperti
QDA yang punya struktur deskriptif yang spesifik. Peneliti GT perlu
membandingkan data pada dimensi yang sebanyak mungkin. Peneliti
GT mempertimbangakan semua data termasuk artikel di koran, hasil
kuesioner, pengamatan sosial, struktur dan interaksi, interview,
komentar–komentar, pernyataan–pernyataan global maupun kultural,
dokumen–dokumen historis, serta apa saja yang tersedia yang
memungkinkan peneliti untuk menggali semua aspek teori. Jadi
grounded theory menghasilkan abstraksi, bukan deskripsi.
Proses memoing membantu peneliti dalam menentukan kode
teoritis mana yang memberi model relasional terbaik untuk
mengintegrasikan kode–kode substantif dengan kode–kode teoritis.
Memo–memo teoritis menangkap arti dan ide untuk teori yang muncul
(Glaser, 1998). Glaser tidak mendukung jenis catatan yang berbeda.
Penggunaan catatan lapangan dan kebebasan coding, adalah elemen–
elemen kunci CGT. Catatan–catatan lapangan, mengijinkan peneliti
untuk fokus pada apa yang benar–benar terjadi, dan memfasilitasi
coding pada tingkat konseptual yang tinggi tanpa distraksi deskripsi
yang panjang dan detil berlebihan (Glaser, 2011).
Perbandingan atau komparasi yang berkelanjutan
memungkinkan kategori utama muncul, tidak seperti Straussian dan
konstruktivis, CGT memandang bahwa inti inilah yang menjadi sebuah
fokus untuk tinjauan literatur dan koleksi data selektif selanjutnya
(Glaser, 2011). Dalam CGT, catatan–catatan lapangan menjadi dasar
konstruksi memo, memo berperan dalam pengembangan teori
(Mongomery dan Bailey, 2007). Dalam menggunakan CGT tidak ada
format set tunggal dalam catatan lapangan. Bisa saja formatnya berubah
sepanjang penelitian.
Coding teoritis muncul atau terjadi sebagai tahap terakhir
untuk mengkonseptualisasikan bagaimana kode–kode substantif
mungkin berhubungan satu sama lain, sebagaimana hipotesa
diintegrasikan ke dalam teori (Holton, 2007). Bagi banyak peneliti,
tantangan dalam GT adalah mendapatkan konsep dengan ―dekat‖
Krisis Film Indonesia
19
terhadap data (Scott,2009). Kode–kode teoritis mengkonseptualisasikan
bagaimana kode–kode substantif bisa berhubungan satu sama lain,
sebagaimana hipotesa diintegrasikan ke dalam teori (Glaser, 1978).
Kode–kode substantif merinci data, sementara kode–kode teoritis
menggabungkannya sebagai suatu teori yang komplit (Glaser, 1978).
Kode–kode teoritis adalah implisit sekaligus eksplisit.
Aliran Glaserian menganut paham bahwa peneliti berangkat
dengan kepala kosong dan membawa pertanyaan-pertanyaan netral.
Kemunculan teori ada dan bisa terjadi karena teori tertanam dalam
data. Sementara itu, penganut Straussian berpendapat peneliti tidak
berangkat dengan kepala yang benar-benar kosong, ada penjelasan
konseptual dari situasi awal sehingga pertanyaan-pertanyaan penelitian
lebih terstruktur. Secara singkat, perbedaan antara Glaserian dan
Straussian ditunjukkan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Perbedaan Aliran Glaserian dan Straussian
Glasserian Straussian
Pengembangan teori secara konseptual, ada sensitifitas teoritikal
Sensitifitas datang dari metode dan alat yang digunakan (kemampuan untuk melihat variabel dan hubungan)
Mulai dengan pikiran kosong, dengan pertanyaan-pertanyaan netral
Dimulai dengan penjelasan konseptual dari situasi/fenomena awal. Ada ide untuk mulai, pertanyaan-pertanyaan lebih terstruktur
Teori tertanam dalam data, kredibilitas teori merupakan verifikasi dari ‘grounding’-nya data
Teori diinterpretasi oleh peneliti, kredibilitas teori datang dari metode yang digunakan
Proses dasar harus diidentifikasi Proses dasar tidak perlu diidentifikasi
Ada 2 fase coding: (i) simpel : data dipecah dan
dikumpulkan, (ii) substantif: terbuka dan selektif
dalam menghasilkan kategori
Ada 3 fasecoding: (i) open:tahap mengidentifikasi,
memberi nama dan mengelompokkan, serta menjelaskan fenomena,
(ii) axial: proses merelasikan kode-kode,
(iii) selektif: pilih satu kategori inti, lalu kaitkan kategori yang lain pada kategori inti
Dipandang sebagai GT sejati Dipandang sebagai QDA (qualitative data analysis)
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
20
Constructivist Grounded Theory
Aliran kontruksivis diawali di bidang sosiologi--bagaimana
observasi membentuk refleksi dunia secara akurat—dan akhir-akhir ini
memiliki dampak yang besar bagi peneliti yang memilih GT sebagai
metodologinya. Andrew (2012) mengkritisi Charmaz (2000, 2006) yang
memimpin debat mengenai penggunaan konstruktivisionisme dan
menyatakan bahwa ia menggunakan istilah tersebut yaitu social constructivism tanpa penjelasan yang cukup. Kata yang pertama fokus
pada yang tunggal, sedangkan kata yang lain fokus pada dunia.
Di dasar/akar teori konstruktivis ada keyakinan bahwa konsep
itu muncul karena dibangun, bukan ditemukan –seperti kata Glaser.
Bagi para konstruktivis, peneliti akan mulai dengan pertanyaan spesifik
pada area penting tertentu. Kontras sekali jika CGT mulai dengan
keinginan untuk mengetahui tentang area substantif tetapi tanpa ada
pertanyaan awal. Mirip dengan Straussian, konstruktivis akan mulai
dengan studi literatur untuk mengetahui apa yang telah dilakukan
sebelumnya di area yang akan diteliti. Perbedaan dalam waktu dan
pendekatan literatur adalah kunci perbedaan kedua pendekatan
Straussian dan konstruktivis.
Proses coding untuk Constructivist GT, menggunakan tiga jenis
coding, yaitu: coding (i) terbuka, (ii) terfokus, dan (iii) teoritis. Ini
dibandingkan dalam dua tingkat: substantif dan teoritis. Seperti coding
aksial dan selektifnya dalam aliran Straussian. Meskipun istilahnya
mirip, tetapi pengertian coding teoritisnya sangat berbeda. Untuk
pendekatan konstrutivis, coding teoritis adalah penggabungan konsep–
konsep ke dalam kelompok–kelompok. Ini terjadi di seluruh proses,
sementara untuk CGT, coding teoritis adalah bagian dari proses selektif
yang digunakan untuk mengintegrasikan grounded theory.
Bringer dkk. (2006) mengemukakan bahwa, Constructivist GT
dan menjelaskan dengan detil bagaimana menggunakan metode
konstruktivis untuk pengkodean variabel–variabel ke dalam software
NVivo. Dalam perkembangannya, Bringer merujuk secara selektif
kepada Glaser (1978), Straus dan Corbin (1990), dan Charmaz (2000) –
Krisis Film Indonesia
21
yang mencoba mengilustrasikan penggunaan GT. Seperti
dikemukakan sebelumnya, kombinasi metode yang berbeda–beda ini,
cenderung mengurangi kualitas riset, dan bukan meningkatkannya.
Cupchik (2001) mengemukakan bahwa, realisme konstruktivis
menunjukkan peran membantu yang dilakukan oleh metode
kuantitatif dan kualitiatif, dalam menganalisa fenomena sosial. Glaser
(2012) menyatakan bahwa Charmaz dan lainnya melakukan QDA dan
penggunaan metodologi dengan sempurna, namun membalikkan
semua prinsip GT. Dia berargumen bahwa peneliti–peneliti yang
menggunakan pendekatan konstruktivis melakukan QDA, bukan
grounded theory (Glaser, 2012). Hernandez dan Andrew (2012) masih
lebih murah hati dalam analisisnya, mereka menjelaskan bahwa
perbedaan akhir dalam produk/hasil, ialah Constructivist GT
menciptakan sebuah teori deskriptif, yang merupakan sebuah teori
eksplanatori.
Jika peneliti–peneliti menerima, bahwa Straussian dan
konstruktivis adalah bentuk QDA, maka tidaklah heran, bahwa bentuk
gorunded theory ini punya hubungan yang dekat dengan program
komputer (software) yang lebih terstruktur sifatnya.Glaser (1978, 2012)
menunjukkan bahwa ClassicGT mengijinkan data dikembangkan
tanpa ide awal, dan akan mengintegrasikan penelitian sebelumnya
selama analisis perbandingan (komparatif). Andrew (2012) menge-
depankan bahwa argumen inti terhadap konstruksivionis adalah dalam
konseptualisasi awal realisme dan relativisme, dan bahwa argumennya
memiliki sebuah perspektif yang epistemologis, bukan ontologis.
Bryan, seorang pendukung dan rekan pengurus Charmaz
melihat metodologi konstruktivisme sebagai usaha untuk mengatasi
konflik bias potensial peneliti, dan bukan serangan terhadap filosofi
GT. Konstruktivis melihat Glaser sebagai seorang objectivist dan CGT
sebagai sebuah ontologi post-positivist tentang realisme kritikal.
Hallberg (2006) melihat perkembangan konstruktivis GT lebih sebagai
perkembangan evolusioner dari GT. Mulai dari CGT 1960 sampai
Straussian di 1990 dan constructivist model di tahun 2000-an, dan
pendekatan antara positivism dan post-modernism.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
22
Howell (2013) menunjukkan bahwa bagi konstruktivis
―pengetahuan, kebenaran, realitas, dan teori dipandang sebagai
kontingen (tergantung waktu) dan didasarkan pada persepsi
pengalaman manusia.‖ Setiap metodologi datang dengan sebuah
filosofi yang memengaruhi mindset dan seluruh aspek bagaimana
sebuah metodologi digunakan.
Secara umum, penerapan GT dalam penelitian dijelaskan pada
Gambar 1.4.
Sumber: Lowe (1995), Pigeon & Henwood (1976), Dey (1999) dalam Whitman, M.E.,
and Woszczynski, A. B., 2004
Gambar 1.4. Skema Pendekatan Grounded Theory
Krisis Film Indonesia
23
Skema tersebut mempelihatkan bahwa metodologi ini juga
memiliki keterbatasan. Sebagai penelitian interpretif yang memiliki
fokus pada refleksi kesadaran diri sang peneliti, selalu ada
kemungkinan bias, tidak netral. Ini disebabkan peneliti sangat dekat
dengan subyek yang diteliti, dan peneliti dipengaruhi nilai-nilai diri
yang subyektif dan bahkan mengeksplorasi ide atas nilai-nilai tersebut.
Peneliti memutuskan sendiri kapan data sudah jenuh (saturation has been reached) sebelum interpretasi final dibuat. Namun demikian,
pada proses open coding dan analisis, terjadi proses berulang (bolak-
balik) pada saat menyaring kategori inti, dan antara pengumpulan data
dengan sintesis dan penyusunan bakal teori. Ini menunjukkan
terjadinya constant comparison antara konsep-konsep (bakal teori)
yang muncul dengan data baru.
Aplikasi Grounded Theory pada Area Bisnis
Grounded Theory bukan hal yang baru untuk penlitian bisnis.
Mintzberg menekankan pentingnya grounded research untuk
pengambilan data kualitatif di dalam konteks organisasi:
―measuring in real organizational terms means first of all getting out, into real organizations. Questionnaires often won‘t do. Nor will laboratory simulations… The qualitative research designs, on the other hand, permit the researcher to get close to the data, to know well all the individuals involved and observe and record what they do and say‖ (Mintzberg, 1979).
GT adalah suatu metode riset yang penting untuk karakter-
karakter atau topik-topik sosial, yang dalam lingkup tertentu –seperti
sistem informasi-- disebut socio-technique. Ada kalanya pengetahuan
yang dikonstruksi secara sosial memerlukan pendekatan mendasar
sehingga GT cocok digunakan. Dalam fenomena socio-technique, data
ada dalam bentuk konstruksi berbentuk bilangan yang memiliki orde-
orde. Ada orde yang dianggap sebagai fakta, ada orde lain yang
dikonstruksi oleh peneliti yang mengarah pada teori untuk fenomena
yang diteliti. Penelitian grounded telah berhasil dilaksanakan dalam
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
24
lingkup sistem informasi sebuah industri film di Australia (Jones, M,
dan Alony, I., 2011).
Semua modifikasi GT untuk konteks bisnis, adalah untuk
menemukan konsep dan gagasan-gagasan, bukan untuk menguji atau
menduplikasinya. Peneliti terus-menerus melakukan coding,
perbandingan, analisis, mencatat sambil mempertanyakan kategori
data. Riset bisnis biasanya dilaksanakan untuk merespon kebutuhan
sebuah bisnis atau organisasi. Ini disebut masalah yang dipersepsikan.
Orang bisa saja berargumen bahwa menggunakan nomenklatur
penelitian kualitatif akan memotong sejumlah persoalan yang muncul
dengan penggunaan GT dalam konteks bisnis. Biasanya penelitian
kualitatif lebih sederhana.
Penelitian kualitatif khususnya dalam kategori fenomenologi,
interaksi simbolik, etnometodologi, perspektif teoritis, masih akan
mempertahankan karakteristik kemunculan GT. Bukan hanya GT yang
sering memunculkan persoalan riset, selain persoalan yang sudah
dirumuskan peneliti di awal. Data kualitatif juga mengalami hal yang
sama, contohnya organisasi yang memandang keterlambatan secara
terus-menerus sebagai persoalan yang serius. Metode riset interpretif
yang baik bisa memunculkan persoalan lain yang lebih relevan.
Melalui data grounded, persoalan awal tadi ternyata hanyalah sebuah
gejala (symptom) ketimbang masalah. Masalah yang sejatinya adalah
iklim organisasi yang memunculkan keterlambatan.
Penelitian interpretatif didisain dengan baik juga akan
menggunakan pendekatan sistimatik, transparan dan peniruan yang
menggunakan teknik analisis konten yang sesuai dengan teorinya.
Semua itu masih memerlukan coding. Definisi coding bisa bermacam-
macam. Peneliti kualitatif dalam berurusan dengan tipe-tipe spesifik
analisis juga akan melakukan pengkodean dan mengkategorisasi.
Perbandingan akan dibuat dengan mengkaitkan kategori dengan teori
dan model yang ada. Dalam kerangka struktural, ada banyak kategori
―meaning‖ yang berfungsi sebagai lensa bagi responden. Jika riset ingin
menjawab isu dalam bisnis, pengurangan pembatasan perlu
Krisis Film Indonesia
25
dipertimbangkan. Menurunkan atau menaikkan kategori-kategori lain
menjadi gejala ketimbang persoalan adalah ciri GT dan riset kualitatif.
Jika prinsip dan prosedur hanya bisa dipenuhi secara parsial,
maka pertimbangan (judgement) harus dibuat dengan mengacu kepada
Glaser dan Strauss dengan alasan mengacu atau tidak ke teori. Solusi
yang diusulkan adalah jika pertimbangan tidak terpenuhi, alternatifnya
adalah Grounded Research.
Ada beberapa pedoman dalam menjalankan GT pada penelitian
kualitatif:
1. Buatlah proses pengumpulan data dan analisis yang eksplisit,
jelas, untuk diri sendiri dan orang lain melalui tulisan.
Sediakan informasi yang cukup agar pembaca dapat melihat
temuan-temuan penelitian, dan mengikuti analisis data.
2. Buat/sediakan sebuah jejak audit dengan menyusun jurnal
penelitian dan dengan menyimpan semua dokumen analisis
(termasuk analisis awal).
3. Secara eksplisit, ungkapkan dan integrasikan pengaruh dari
sumber-sumber literatur, pemahaman awal diri sendiri, dan
inspirasi teoritis (insight) yang muncul kebetulan.
4. Tuliskan di dalam memo-memo formal, pertanyaan-pertanyaan
konstruksi dan bangunan teori. Terapkan diagram jaringan
kategori dan pembenaran teori secara tertulis agar yang implisit
menjadi eksplisit.
5. Secara kontinyu, definisikan dan ulang-ulang lagi sasaran teori
secara detil. Contoh, gambaran awal bisa dituliskan seperti ini:
―saya mau menghasilkan sebuah teori yang menjelaskan
apa/mengapa/bagaimana a/b/c karena saya percaya bahwa d/e/f
adalah penting dalam situasi ini‖
6. Hendaklah dipahami bahwa akan ada kebutuhan yang konstan
untuk perbandingan dan kejenuhan teori, untuk memastikan
adanya iterasi (siklus, pengulangan) yang cukup kuat antara
pengumpulan data, analisis dan seleksi data, dan untuk
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
26
menghindari kesimpulan yang supervisial dan induktif (tidak
harus sama dengan teori sebelumnya)
7. Secara teratur menilai bersama teman atau kolega yang kritis
atas konstruksi-konstuksi yang muncul
8. Secara terus-menerus menggunakan jurnal penelitian dan
bertanya secara eksplisit pada diri sendiri (reflektivitas diri
yang eksplisit)
9. Bisa menerima atau memahami terbatasnya validitas dan
kemampuan men-generalisasi yang bisa dibuat ketika
menggunakan GT
10. Kenalilah, bahwa proses penelitian tidak akan pernah seperti
yang dirancang sebagaimana literatur sering menggiring
peneliti untuk mempercayainya. Bebaskan dari memper-
tahankan penelitian sesuai rencana.
Klaine mengusulkan bahwa pengetahuan justru didapat dalam
pergumulan antara positivism dan anti-positivism. Teori didapat dari
pendukung kedua pendekatan tersebut (klaim-klaim yang
bertentangan). Sebuah sintesa muncul dari pertentangan-pertentangan
tersebut yang menghasilkan sebuah pendekatan dominan yang baru,
yang nanti akan memunculkan oposisi baru dan seterusnya. GT tidak
disarankan jika peneliti tidak benar-benar antusias dengan topiknya.
Peneliti harus kritis dan realistis. Untuk dapat menggunakan GT secara
efektif, harus mengadopsi cara berpikir non tradisional (modern) yang
mengandung 7 prinsip Glaser, yaitu:
1. Toleransi/terbuka dengan kebingungan adalah hal yang biasa,
tidak perlu tahu semuanya, tidak perlu apriori (menyimpulkan
dari awal)
2. Toleransi dengan regression (sebentar-sebentar bisa tersesat)
karena justru tidak ada pola, dapat menimbulkan kebingungan
3. Percaya data yang muncul tanpa mengkhawatirkan justifikasi
(kebenarannya) jika si peneliti kuat metodenya
Krisis Film Indonesia
27
4. Di dalam GT ini harus ada seseorang untuk diskusi dan ada
momen untuk tenggelam (kontemplasi), salah satu caranya
adalah diskusi dengan pakar
5. Terbuka dengan bukti yang muncul yang mengubah pikiran
peneliti tentang subyek dan bertindak dengan bukti baru itu
6. Membangun abstraksi untuk membangun teori dari data
7. Jadilah kreatif, khususnya dalam cara baru mencari data.
Kritik yang paling sering dilontarkan terhadap GT adalah,
yang pertama adalah kuatnya pengaruh positivism/objectivism
(metode ini menghasilkan teori namun berasal dari pemikiran
obyektif); kedua, induksi dalam GT cenderung naif, tanpa kontrol.
Apriori pengetahuan sangat dibatasi; dan yang ketiga, berhubungan
dengan fenomenologi dan paradoks teori, serta yang keempat, generalisasi secara teoritis terbatas.
Tahapan Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti selama
penelitian menggunakan metode grounded ini, dilakukan secara garis
besar meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Codes, yaitu tahap mengidentifikasi keywords dan key points dari hasil wawancara,
2. Concepts, yaitu mengumpulkan kode-kode (key points) yang
serupa atas hasil wawancara tersebut, untuk dimasukkan ke
dalam grup,
3. Categories, yaitu tahap memberi makna dan memperluas
konsep-konsep dalam grup yang sama, untuk dijadikan dasar
teori, dan
4. Theory, yang merupakan hasil dari kumpulan konsep-konsep
dan kategori-kategori yang telah dimaknai, diinterpretasi, dan
mengacu pada teori tertentu.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
28
Keseluruhan tahapan penelitian tersebut dijelaskan pada Gambar 1.5.
Sumber: Manurung, E. M., 2016
Gambar 1.5. Tahap-tahap Penelitian
Inisiasi Penelitian diawali pertanyaan atas fenomena (studi
dokumen), dan mengakui pengaruh dari
literatur
Pengumpulan Data
Memilih dan melakukan wawancara dengan
nara sumber perfilman, studi dokumen,
memberi kode atas catatan wawancara
Klasifikasi Data Mengklasifikasi hasil wawancara
dan studi dokumen, ke dalam
konsep-konsep berdasarkan kode-
kode/keywords
Analisis Data
Menggabungkan konsep-konsep yang sama
ke dalam kategori yang sesuai, lakukan
konfirmasi ulang dengan nara sumber ybs
Sintesis dan Teori Interpretasi terhadap kategori-kategori dengan
cara : Menyaring kategori utama
Konstruksi memo teoritis Kejenuhan data sudah tercapai
Publikasi Penelitian
Berdasarkan pada
pemahaman peneliti
Konsep yang dihasilkan
belum tentu berhubungan
dengan topic utama
(pertanyaan awal
penelitian)
Ulasan data
sekunder dari
literatur
Krisis Film Indonesia
29
Penjelasan atas tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahap I: Inisiasi Penelitian
Penelitian dimulai ketika pertanyaan awal muncul, yaitu
―mengapa film-film Indonesia selalu mengalami jatuh-bangun di setiap masa/rezim?‖ dan ―apa yang terjadi dengan industri film Indonesia?‖ Ketika pertanyaan awal ini muncul, peneliti
sudah memiliki beberapa pengetahuan tentang film Indonesia.
Studi awal telah dimulai pada tahun 2007-2008, yang
kemudian dilanjutkan di tahun 2014-2015. Studi awal
mencakup studi literatur, studi dokumen, dan wawancara
mendalam dengan narasumber terpilih pada periode yang lalu.
Di samping itu, penulis juga menambah data awal dari
perkembangan terkini tentang film Indonesia melalui tayangan
di televisi, bioskop dan media cetak.
2. Tahap II: Pengumpulan Data
Mulai akhir tahun 2014 sampai pertengahan tahun 2016,
peneliti mulai mengontak beberapa narasumber yang telah
dikenal dan diwawancarai di studi awal/pendahuluan tahun
2007-2008 untuk mengadakan janji temu wawancara. Mereka
adalah Key Simangunsong, Dewi Dee Lestari, Bapak Garin
Nugroho, Bapak Chand Parwez, dan lain-lain.
Di tahun 2015-2016 peneliti mendapatkan beberapa
narasumber utama baru –sebagai hasil perkenalan dari
narasumber lama—yang kemudian berhasil dikontak melalui
twitter dan whatsapp. Narasumber yang baru tersebut adalah:
Motulz (penata artistik), Sheila Timothy (produser), Joko
Anwar (penulis skrip, sutradara), Sammaria /Atid Simanjuntak
(produser), Nia Dicky Zulkarnaen (produser), Ardi (produser),
Ifa Isfansyah (produser), Bapak Bambang Sugiharto (pengamat
budaya dan kritikus film), Bapak Toni Masdiono (komikus,
dosen STDI Bandung), Bapak Triawan Munaf (Ketua BEKRAF),
dan Bapak Boy (Deputi Bidang Riset dan Pengembangan), Ibu
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
30
Dian Soenardi (Program Manager CGV Blitz), dan Ibu
Catherine Keng (Corporate Secretary XXI). Beberapa kutipan
wawancara dengan narasumber lama, seperti Bapak Garin
Nugroho, Bapak Slamet Rahardjo, Riri Riza, serta Ariani
Darmawan, masih tetap digunakan untuk memperlihatkan
gambaran awal yang dimiliki penulis ketika memulai
penelitian.
Jika narasumber utama dan pertama yang diwawancarai adalah
kaum movie-maker, maka para penonton menjadi narasumber
berikutnya pada penelitian ini. Sejumlah penonton dari
berbagai rentang usia –remaja (pelajar SMA), mahasiswa,
karyawan, dan orang tua—dari beberapa kota di Indonesia
dipilih sebagai sampel yang mewakili untuk diwawancarai.
Penonton yang membaca ―teks‖ sebuah film, diharapkan dapat
menjadi pihak yang menilai secara kritis, apakah film Indonesia
baik atau buruk, apakah mereka mau/bersedia menonton film
Indonesia lagi atau tidak.
Beberapa kota dipilih mewakili pulau-pulau di Indonesia dari
barat ke timur, sesuai jaringan pertemanan yang dimiliki oleh
peneliti, yaitu Kota Bandung, Jakarta, Salatiga, Denpasar (Bali),
Lombok, Nias, serta Kabupaten Jatinangor dan Kabupaten
Sidikalang di Sumatera Utara. Responden diharapkan mencapai
jumlah lebih dari dua ratus orang, supaya komentar-komentar
yang didapatkan lebih bervariasi dan berbeda-beda.
Pengusaha bioskop adalah narasumber ketiga yang juga penting
dan berperan dalam perkembangan industri film Indonesia.
Oleh karena itu, peneliti berusaha mencari kontak dan
mewawancarai perwakilan dari dua bioskop terbesar di
Indonesia. Wawancara terhadap pemilik saluran distribusi,
yaitu pengusaha bioskop, juga perlu dilakukan untuk
memperoleh informasi tentang jumlah penonton, film
Iindonesia yang laku dan yang tidak laku (gagal).Wakil yang
pertama dari Grup XXI adalah Ibu Catherine Keng, yang
merupakan sekretaris chairman sekaligus anggota komisaris;
Krisis Film Indonesia
31
dan wakil kedua dari Grup ―CGV Blitz‖ adalah Ibu Dian
Soenardi selaku pengelola program (programming manager).
Untuk melengkapi hasil wawancara terhadap ketiga
narasumber utama tadi, masih diperlukan informasi tentang
kebijakan-kebijakan oleh pemerintah dalam industri film
Indonesia. Untuk itu, perwakilan pemerintahan seperti wakil
BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) yang dibentuk di era
pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang, menjadi
narasumber terakhir yang ingin diwawancarai.
Dengan demikian, wawancara terstruktur dan semi-terstruktur
dilakukan terhadap beberapa kelompok narasumber yaitu :
a. 20 orang pembuat film (movie maker), yaitu produser,
penulis skrip, sutradara, pemain/aktor, dan kru
b. 253 orang penonton di beberapa kota di Indonesia,
c. 2 perwakilan pengusaha bioskop dari ―Grup XXI‖ dan
―CGV Blitz‖,
d. 3 orang wakil pemerintah pusat di BEKRAF/Badan
Perfilman, atau wakil pemerintah daerah.
3. Tahap III: Klasifikasi Data
Wawancara dengan para narasumber di atas kemudian dibuat
transkripnya oleh penulis, lalu dibaca dan dipelajari. Bagian-
bagian yang menurut peneliti berhubungan dengan pertanyaan
awal yang ingin dicari jawabannya, akan diberi tanda–biasanya
menggunakan warna tertentu—oleh peneliti. Bagian-bagian
lain yang tidak langsung menjawab pertanyaan besar di awal,
namun menurut penulis cukup menarik dan memberi
pengetahuan baru, juga diberi tanda. Beberapa contoh hasil
wawancara ditampilkan di bawah ini untuk menunjukkan
pemberian tanda-tanda tersebut, seperti tampak pada contoh di
bawah ini.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
34
Con
toh
Kla
sifi
kas
i D
ata
pad
a T
ran
skri
p W
awan
cara
den
gan
Lal
a T
imot
hy
Krisis Film Indonesia
35
Con
toh
Kla
sifi
kas
i D
ata
pad
a T
ran
skri
p W
awan
cara
den
gan
Mot
ulz
dan
Key
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
36
Con
toh
Kla
sifi
kas
i D
ata
pad
a T
ran
skri
p W
awan
cara
den
gan
Jok
o A
nw
ar
Krisis Film Indonesia
37
4. Tahap IV: Analisis Data
Pada tahap ini, kategori hasil temuan-temuan akan
dianalisis. Sebagai contoh, melalui studi dokumen terhadap
film Indonesia dari masa ke masa, peneliti kemudian
membuat suatu trayektori film Indonesia (halaman 152)
dan menuliskan interpretasi atas trayektori tersebut
(halaman 159-162). Di setiap wawancara berikutnya
dengan para pembuat film dan penonton, peneliti selalu
melakukan analisis atas kategorisasi hasil temuan.
Misalnya, ketika Lala Timothy, Motulz dan Key sama-sama
membicarakan tentang proses produksi dan pendanaan
sebuah film, maka kutipan wawancaranya akan digabung
dan diberi judul yang sama seperti tampak pada Bab lima.
Keseluruhan kategori kemudian akan dianalisis di akhir
bab. Pada bagian terakhir, peneliti kembali melakukan
analisis terhadap hasil temuan-temuan sebelumnya, dan
menarik (mengabstraksikan) hasilnya ke dalam sebuah
konsep baru, seperti tampak di Bab tujuh. Pada tahap ini
kemungkinan penafsiran atas teks-teks wawancara bisa jadi
membingungkan, karena masing-masing narasumber
memiliki perspektif sendiri. Untuk itu, peneliti akan
berusaha mencari referensi dari pihak lain yang dianggap
netral, seperti pengamat dan kritikus film atau budaya.
5. Tahap V: Sintesis dan Teori
Tahap ini, menurut peneliti, adalah tahap terakhir yang
paling krusial dan cukup ―memeras otak‖. Pada tahap ini,
seluruh hasil analisis diarahkan menuju konsep teoritis.
Peneliti senantiasa berusaha mencari hubungan yang
relevan atas beberapa konsep dari kategorisasi yang telah
ditemukan, meskipun begitu, ada kalanya hubungan antar
kategori yang dianggap relevan tidak menghasilkan sesuatu
konsep yang kokoh (menurut anggapan peneliti) yang
dapat menjawab pertanyaan di awal.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
38
Berkenaan dengan itu, peneliti melakukan pengecekan
berulang-ulang atas konsep dan kategorisasi tersebut;
adakalanya sembari melakukan konfirmasi ulang kepada
narasumber atas temuan kategori yang dianggap penting.
Dengan demikian, sangat dimungkinkan bagi peneliti
melakukan wawancara-wawancara tambahan dalam rangka
mendapatkan ketegasan atas konfirmasi ulang tersebut.
Peneliti akan berhenti melakukannya ketika data dianggap
sudah jenuh, artinya tidak ditemukan lagi hal yang baru
atas hasil wawancara. Pada tahap ini, peneliti beranggapan
pentingnya daya imajinasi dan abstraksi untuk membangun
(mengkonstruksi) sebuah konsep teoritis atas temuan-
temuan.
Menurut peneliti, ini adalah tahap tersulit dan hanya dapat
dilangsungkan jika tersedia referensi yang cukup memadai
dalam kepala setiap peneliti. Pencarian literatur tambahan
juga diperlukan untuk merangsang munculnya daya
imajinasi dan abstraksi tersebut.
Ada dua sumber data yang digali dan diperoleh dalam
penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data
utama yaitu data primer berasal dari wawancara dengan
narasumber, ditambah dengan menonton langsung film-
film Indonesia yang diputar di layar lebar pada saat
penelitian berlangsung. Sedangkan data kedua yaitu data
sekunder berasal dari dokumen-dokumen perfilman yang
diperoleh dari berbagai sumber, antara lain kaleidoskop
perfilman Indonesia, website film Indonesia, buku-buku
tentang film Indonesia dan buku-buku lain yang
berhubungan dengan film, budaya, dan politik di
Indonesia selama penelitian berlangsung.
Pertanyaan-pertanyaan semi-terstruktur digunakan dalam
mewawancarai penonton, seperti: (i) apakah suka
menonton film Indonesia?, (ii) jika suka, genre apa yang
paling disukai dan mengapa?, (iii) jika tidak suka,
Krisis Film Indonesia
39
mengapa?, (iv) seberapa sering/frekuensi menonton selama
satu tahun?, dan (v) adakah hambatan dalam menonton
film Indonesia di layar lebar?
Peneliti juga menyusun beberapa pertanyaan semi-
terstruktur yang ditujukan kepada para pembuat film dan
pengusaha bioskop, seperti: (i) apa yang melandasi mereka
membuat film? (ii) tantangan-tantangan apa saja yang
mereka hadapi selama proses produksi?, (iii) berapa biaya
produksi yang dikeluarkan, dan bagaimana jika film yang
dibuat tidak laku?, (iv) bagaimana mengelola ide-ide
kreatif dalam pembuatan film yang nantinya akan
dihadapkan dengan kebutuhan pasar?
Beberapa pertanyaan yang penulis ajukan kepada para
pengusaha bioskop, antara lain: (i) film Indonesia apa yang
paling laku selama ini? (ii) berapa banyak penontonnya,
dan (iii) bagaimana pendapat pengusaha bioskop terhadap
film-film Indonesia yang tidak sanggup bertahan di layar
lebar?
6. Tahap VI: Publikasi Penelitian
Tahap ini merupakan puncak hasil penelitian, yaitu ketika
peneliti sudah memiliki hasil yang utuh, kokoh, dan
dielaborasi dengan baik dan lengkap. Publikasi hasil
penelitian grounded yang baik, menurut peneliti, adalah
jika sudah disosialisasikan dan mendapat tanggapan (entah
itu masukan atau sanggahan) dari para peneliti lain yang
mumpuni dalam topik yang diteliti.
Garis Sistimatika Disertasi
Penulisan hasil penelitian akan disusun sebagai berikut:
1. Bagian pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang
penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian,
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
40
metodologi penelitian, tahap-tahap penelitian, serta garis
sistimatika disertasi.
2. Bagian kedua berisi tentang pengetahuan awal yang dimiliki
peneliti yang berasal dari studi terdahulu atas film Indonesia
dan studi literatur atas topik-topik yang berhubungan dengan
film, kreativitas, dan situasi dilematis atau paradoks yang
terjadi dalam industri film.
3. Bagian ketiga mengulas tentang studi dokumen tentang
perfilman Indonesia sejak kemunculan yang pertama hingga
saat ini, untuk disusun dalam bentuk trayektori.
4. Bagian keempat membahas tentang seluk-beluk perfilman
Indonesia mulai dari produksi, pendanaan, strategi pemasaran
sampai ekshibisi di layar lebar, serta interpretasi terhadap
temuan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut.
5. Bagian kelima menguraikan pendapat penonton tentang
perfilman Indonesia, yang dikumpulkan melalui wawancara
terstruktur di media sosial (via line dan whatsapp) beserta
interpretasinya.
6. Bagian keenam berisi tentang pendapat movie-maker,
pengusaha bioskop, dan wakil pemerintah tentang film
Indonesia beserta interpretasinya.
7. Bagian ketujuh merupakan penjelasan atas transkrip wawan-
cara yang telah dikategorisasi dan hubungan-hubungan yang
relevan antara kategori untuk penyusunan konsep teoritis.
8. Bagian kedelapan merupakan sintesis dari seluruh data yang
diperoleh selama penelitian dan interpretasinya, yang
terkandung dalam Bab satu sampai tujuh.