BAB I Kolera

14
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penyakit infeksi kolera telah diketahui dan dialami sejak bertahun-tahun yang lalu dan telah menyebar ke seluruh Asia dan sebagian besar Afrika. Pada umumnya menyebar ke negara- negara yang sedang berkembang. Penyakit ini dapat dikatakan berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi dan gizi penduduk. Semakin rendah tingkat sosial ekonomi dan gizi penduduk besar kemungkinan untuk menderita kolera Hingga saat ini penyakit diare atau dikenal gastroenteritis merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Penyakit diare merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan masa anak-anak di negara berkembang. Diperkirakan diare menyebabkan kematian sebanyak lima juta anak balita per tahun. Kira-kira 80% kematian ini terjadi pada usia dua tahun pertama. Didaerah endemik, kolera menunjukan adanya pola musiman, termasuk di Indonesia. Di bagian barat Indonesia pola kolera sangat berbada dengan Indonesia bagian timur. Pada Indonesia bagian barat puncak kasus berkaitan dengan periode curah hujan subnormal, sedangkan di bagian timur jasus kolera mencapai puncak pada musim hujan. Di daerah endemik rata rata usia anak yang terkana kolera berumur 2 sampai 9 tahun, menyusul wanita dengan masa produktif yaitu 15-35 tahun. 1

description

tugas kuliah

Transcript of BAB I Kolera

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi kolera telah diketahui dan dialami sejak bertahun-tahun yang lalu dan

telah menyebar ke seluruh Asia dan sebagian besar Afrika. Pada umumnya menyebar ke

negara-negara yang sedang berkembang. Penyakit ini dapat dikatakan berhubungan

dengan tingkat sosial ekonomi dan gizi penduduk. Semakin rendah tingkat sosial ekonomi

dan gizi penduduk besar kemungkinan untuk menderita kolera

Hingga saat ini penyakit diare atau dikenal gastroenteritis merupakan masalah

kesehatan utama di Indonesia. Penyakit diare merupakan salah satu penyebab utama

kematian dan kesakitan masa anak-anak di negara berkembang. Diperkirakan diare

menyebabkan kematian sebanyak lima juta anak balita per tahun. Kira-kira 80% kematian

ini terjadi pada usia dua tahun pertama.

Didaerah endemik, kolera menunjukan adanya pola musiman, termasuk di Indonesia.

Di bagian barat Indonesia pola kolera sangat berbada dengan Indonesia bagian timur.

Pada Indonesia bagian barat puncak kasus berkaitan dengan periode curah hujan

subnormal, sedangkan di bagian timur jasus kolera mencapai puncak pada musim hujan.

Di daerah endemik rata rata usia anak yang terkana kolera berumur 2 sampai 9 tahun,

menyusul wanita dengan masa produktif yaitu 15-35 tahun.

Kolera adalah salah satu penyebab penyakit diare akut yang dalam beberapa jam

dapat mengakibatkan dehidrasi progresif berat dan menimbulkan kematian yang

disebabkan oleh Vibrio cholera apabila lambat dalam penanganan.

I.2 Perumusan Masalah

Tingginya angka kejadian penyakit kolera di Indonesia

I.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian penyakit kolera.

2. Mengetahui etiologi, patofisiologis kolera.

3. Dapat melakukan penegakkan diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan kolera.

1

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian

Kolera adalah penyakit yang disebabkan Vibrio cholerae dengan manifestasi diare disertai muntah yang akut dan hebat akibat enterotoksin yang dihasilkan bakteri tersebut. Bentuk manifestasi klinisnya yang khas adalah dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemik dan asidosis metabolik yang terjadi dalam waktu sangat singkat akibat diare sekretorik dan dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan adekuat. Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik, atau pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar dilakukan, namun kondisi penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern.

Etiologi

Vibrio cholerae adalah kuman aerob, Gram negatif, berukuran 0,2-0,4 mm, dapat dikenali dalam sediaan tinja kolera dengan pewarnaan Gram sebagai batang-batang pendek sedikit bengkok (koma), tersusun berkelompok seperti kawanan ikan berenang. V. cholerae dibagi menjadi 2 biotipe, klasik dan El Tor, yang dibagi berdasarkan struktur biokimiawinya dan parameter laboratorium lainnya. Tipe biotipe dibagi lagi menjadi 2 serotipe, Inaba dan Ogawa.

Diagnosis presumtif secara cepat dapat dibuat dengan menggunakan mikroskop fluoresensi dengan memakai antibodi tipe spesifik yang telah dilabel dengan fluoresein, atau dengan uji mobilisasi vibrio dengan memakai serum tipe-spesifik dan dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase.

Vibrio cholerae tumbuh cepat dalam berbagai macam media selektif seperti agar garam empedu, agar-gliserin-telurit-taurokolat, atau agar Thiosulfat Citrate Bile Salt Sucrose (TCBS). Kelebihan medium TCBS ialah pemakaiannya tidak memerlukan sterilisasi sebelumnya. Dalam medium ini koloni vibrio tampak berwarna kuning-suram. Identifikasi Vibrio cholerae biotipe El Tor penting untuk tujuan epidemiologis. Sifat-sifat penting yang membedakannya dengan biotipe kolera klasik ialah resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap kolerafaga tipe IV (Mukerjee) dan menyebabkan hemolisis pada eritrosit kambing.

Tata Nama

Kingdom  : Eubacteria

Divisi  : Bacteri

2

Class  : Schizomycetes

Ordo  : Eubacteriales

Famili  : Vibrionaceae

Genus  : Vibrio

Species  : Vibrio cholerae

Epidemiologi

Sejak tahun 1917 dikenal tujuh pandemi yang penyebarannya bahkan mencapai Eropa. Vibrio yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pandemik ke-7 yaitu V. cholerae O1, biotipe El Tor. Pandemik ke-7 baru-baru ini dimulai pada tahun 1961 ketika Vibrio pertama kali muncul menyebabkan epidemi kolera di Sulawesi, Indonesia. Penyakit ini lalu menyebar dengan cepat ke negara Asia Timur lainnya dan mencapai Bangladesh pada tahun 1963, India pada tahun 1964, dan Uni Soviet, Iran, dan Iraq pada tahun 1965-1966.

Pada tahun 1970 kolera menyebar ke Afrika Barat, suatu wilayah yang belum pernah mengalami penyakit ini selama lebih dari 100 tahun. Penyakit ini menyebar dengan cepat ke beberapa negara dan menjadi endemik pada banyak benua. Pada tahun 1991, kolera menyerang Amerika Latin, dimana penyakit ini juga telah hilang selama lebih dari satu abad. Dalam waktu setahun, penyakit ini menyebar ke 11 negara dan secara cepat menyebar lintas benua.

Sampai tahun 1992, hanya serogrup V. cholerae O1 yang menyebabkan epidemi kolera. Serogrup lainnya dapat menyebabkan kasus-kasus diare yang sporadis, tapi tidak dapat menyebabkan epidemi. Pada akhir tahun 1992, ledakan kasus kolera dimulai di India dan Bangladesh yang disebabkan oleh serogrup V. cholerae yang sebelumnya belum teridentifikasi, yaitu serogrup O139 atau Bengal. Keadaan ini dikenal pula sebagai pandemik ke-8. Isolasi dari Vibrio ini telah dilaporkan dari 11 negara di Asia Tenggara. Namun masih belum jelas apakah V. cholerae O139 akan menyebar ke daerah/wilayah lain dan pengawasan epidemiologik yang cermat dari situasi ini sedang dilakukan.

Transmisi

Pada daerah endemik, air terutama berperan dalam penularan kolera; namun pada epidemi yang besar penularan juga terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh tinja atau air yang mengandung V. cholerae. Khususnya pada kolera El Tor, yang dapat bertahan selama beberapa bulan di air. Penularan dari manusia ke manusia dan dari petugas medis jarang terjadi.

3

Pasien dengan infeksi yang ringan atau asimtomatik berperan penting pada penyebaran penyakit ini. Perbandingan antara penderita asimtomatik dengan simtomatik (bermanifestasi klinis yang khas) pada suatu epidemi diperkirakan 4:1 pada kolera Asiatika, sedangkan untuk kolera El Tor, diperkirakan 10:1. Dengan kata lain, terdapat fenomena gunung es. Hal ini merupakan masalah khususnya dalam upaya pemberantasan kolera El Tor. Pada kolera El Tor angka karier sehat (pembawa kuman) mencapai 3%. Pada karier dewasa Vibrio cholerae hidup dalam kantong empedu.

Prevalensi kolera di daerah endemik pada anak lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yaitu 10:1. Pada orang dewasa insiden pada pria lebih tinggi dari wanita. Pada keadaan epidemis, insiden tidak berbeda pada kelompok umur maupun jenis kelamin tertentu.

Patogenesis dan Imunitas

Kolera ditularkan melalui jalur oral. Bila Vibrio berhasil lolos dari pertahanan primer dalam mulut dan tertelan, bakteri ini akan cepat terbunuh dalam asam lambung yang tidak diencerkan. Bila Vibrio dapat lolos melalui asam lambung, maka ia akan berkembang di dalam usus halus. Suasana alkali di bagian usus halus ini merupakan medium yang menguntungkan baginya untuk hidup dan memperbanyak diri. Jumlahnya bisa mencapai sekitar 10 per ml cairan tinja. Langkah awal dari patogenesis terjadinya kolera yaitu menempelnya Vibrio pada mukosa usus halus. Penempelan ini dapat terjadi karena adanya membran protein terluar dan adhesin flagella.

Vibrio cholerae merupakan bakteri non invasif, patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan V. cholerae yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit yang masif yang disebabkan oleh kerja toksin pada sel epitel usus halus, terutama pada duodenum dan yeyenum.

Enterotoksin adalah suatu protein, dengan berat molekul 84.000 Dalton, tahan panas dan tak tahan asam, resisten terhadap tripsin tapi dirusak oleh protease. Toksin kolera mengandung 2 subunit, yaitu B (binding) dan A (active). Sub unit B mengandung 5 polipeptida, dimana masing-masing molekul memiliki berat 11500 dan terikat pada gangliosid monosialosil yang spesifik, reseptor GM1, yang terdapat pada sel epitel usus halus. Sub unit A kemudian dapat menembus membran sel epitel. Sub unit ini memiliki aktivitas adenosine diphospate (ADP) ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose dari nicotinamide-adenine dinucleotide (NAD) ke sebuah guanosine triphospate (GTP) binding protein yang mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi cAMP, yang menghambat absorpsi NaCl dan merangsang ekskresi klorida, yang menyebabkan hilangnya air, NaCl, kalium, dan bikarbonat.

Toksin-toksin tambahan dan faktor-faktor lain sekarang telah diketahui terlibat pada patogenesis kolera. Zonula Occludens Toxin (Zot) meningkatkan permeabilitas mukosa usus halus dengan mempengaruhi struktur tight junction interseluler. Accessory cholera exotoxin (Ace) ditemukan pada tahun 1993 dan diketahui meningkatkan transpor ion transmembran.

4

Imunitas terhadap toksin kolera dan antigen permukaan bakteri sama dengan respon infeksi alami. Kebanyakan studi terhadap respon imun telah mengukur antibodi bakterial serum, meskipun proteksi in vivo kemungkinan besar dimediasi oleh IgA sekretorik.

Kolera ditandai dengan diare yang sangat berat yang dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan hipovolemia, dengan angka kematian (mortality rate) yang berkisar kurang dari 1% hingga 40%. Terdapat spektrum yang luas mulai dari yang asimtomatik, ringan hingga berat.

Manifestasi Klinis

Ada beberapa perbedaan pada manifestasi klinis kolera baik mengenai sifat dan beratnya gejala. Terdapat perbedaan pada kasus individual maupun pada terjadi epidemi. Masa inkubasi kolera berlangsung antara 16-72 jam. Gejala klinis dapat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai dengan gejala klinis berupa dehidrasi berat. Infeksi terbanyak bersifat asimtomatik atau terjadi diare ringan dan umumnya pasien tidak memerlukan perawatan.

Manifestasi klinis yang khas ditandai dengan diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas maupun tenesmus. Dalam waktu singkat tinja yang semula berwarna dan berbau feses berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau busuk maupun amis, tapi ‘manis’ menusuk. Cairan yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan gumpalan-gumpalan putih. Cairan ini akan keluar berkali-kali dari anus pasien dalam jumlah besar. Muntah timbul kemudian setelah diare, dan berlangsung tanpa didahului mual. Kejang otot dapat menyusul, baik dalam bentuk fibrilasi atau fasikulasi, maupun kejang klonik yang nyeri dan mengganggu. Otot-otot yang sering terlibat ialah betis, biseps, triseps, pektoralis dan dinding perut. Teriakan ataupun rintihan pasien karena kejang yang nyeri itu dapat disangka sebagai teriakan nyeri karena kolik. Kejang otot ini disebabkan karena berkurangnya kalsium dan klorida pada sambungan neuromuskular.

Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit serta asidosis. Pasien berada dalam keadaan lemah, tak berdaya, namun kesadarannya relatif baik dibandingkan dengan berat penyakitnya. Koma baru akan terjadi pada saat-saat terakhir. Pada kurang lebih 10% bayi dan anak-anak, dapat dijumpai kejang sentral dan stupor, yang disebabkan hipoglikemia. Tanda-tanda dehidrasi tampak jelas, nadi menjadi cepat, nafas menjadi cepat, suara menjadi serak seperti suara bebek Manila (vox cholerica), turgor kulit menurun (kelopak mata cekung memberi kesan hidung yang mancung dan tipis, tulang pipi yang menonjol), mulut menyeringai karena bibir kering, perut cekung (skafoid) tanpa ada steifung maupun kontur usus, suara peristaltik usus bila ada jarang sekali. Jari-jari tangan dan kaki tampak kurus dengan lipatan-lipatan kulit, terutama ujung jari yang keriput (washer women hand), diuresis berangsur-angsur berkurang dan berakhir dengan anuria. Diare akan bertahan hingga 5 hari pada pasien yang tak diobati.

5

Tanda-tanda Gagal Sirkulasi

Berkurangnya volume cairan disertai dengan viskositas darah yang meningkat, akhirnya menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Tanda utama yang dianggap khas adalah suhu tubuh yang rendah (34 hingga 24,5°C), sekalipun sedang berlangsung infeksi. Frekuensi nadi menjadi cepat dengan isi yang kurang dan akhirnya menjadi cepat dan kecil (filiform). Denyut jantung cepat, suara jantung terdengar jauh dan kadang-kadang hanya suara sistolik yang terdengar, namun dengan irama yang tetap teratur. Tekanan darah menurun sebagai tanda renjatan hipovolemik, akhirnya terukur hanya dengan palpasi. Warna kulit, bibir dan selaput mukosa serta kuku jadi ungu akibat sianosis, memberi kesan pasien berwarna hitam pada orang yang berkulit gelap; pada perabaan kulit terasa lembab. Sianosis yang terjadi adalah bersifat perifer. Asidosis metabolik terjadi akibat kehilangan bikarbonat jumlah besar dan metabolisme anaerob akibat kegagalan sirkulasi. Tampilan klinis berupa pernapasan yang cepat, mula-mula dangkal, namun akhirnya dalam (Kussmaul). Perubahan patofisiologis ireversibel lainnya pada organ agaknya tidak terjadi, bahkan homeostasis masih tetap dipertahankan atau masih mudah dikoreksi.

Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan ad integrum (sehat utuh) atau kematian. Penyulit yang diakibatkan oleh penyakitnya sendiri tidak ada. Penyulit yang terjadi biasanya disebabkan oleh keterlambatan pertolongan atau pertolongan yang tidak adekuat, seperti uremia dan asidosis yang tidak terkompensasi. Gagal ginjal dengan anuria yang berkepanjangan terjadi dalam persentase kecil berupa nekrosis tubular yang akut (ATN) yang umumnya dapat diatasi dengan terapi konservatif dan tidak memerlukan dialisis.

Penyulit lain yang perlu perhatian ialah abortus pada pasien dengan hamil muda, komplikasi iatrogenik seperti gagal jantung, reaksi infus berupa demam, infeksi nosokomial (tromboflebitis, sepsis bakterial). Pada umumnya dengan pengobatan dini dan adekuat, prognosis pasien kolera cukup baik dan tidak sampai menyebabkan kematian.

Diagnosis

Diagnosis kolera meliputi diagnosis klinis dan bakteriologis. Tidak sukar untuk menegakkan diagnosis kolera berat, terutama di daerah endemik. Kesulitan menentukan diagnosis biasanya terjadi pada kasus ringan dan sedang, terutama di luar endemik atau epidemik. Kolera yang khas dan berat dapat dikenali dengan gejala diare sering tanpa mulas diikuti dengan muntah tanpa didahului rasa mual, cairan tinja serupa air cucian beras, suhu badan tetap normal atau menurun, dan keadaan bertambah buruk secara cepat karena pasien mengalami dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis.

Bila gambaran klinis menunjukkan dugaan yang kuat ke arah penyakit ini, pengobatan harus segera dimulai, tanpa menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Diare sekretorik lain dengan gambaran klinis mirip dengan kolera, dapat disebabkan oleh Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC).

6

Jika tinja segar pasien kolera yang tanpa pewarnaan diamati di bawah mikroskop lapangan gelap, akan tampak mikroorganisme berbentuk spiral yang memiliki pola motilitas seperti shooting star. Untuk pemeriksaan biakan, cara pengambilan bahan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rektal (rectal swab) yang diawetkan dalam media transport carry-blair atau pepton alkali, atau langsung ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan persentase hasil positif yang tinggi. V. cholerae O1 menghasilkan koloni yang oksidase-positif yang berwarna kuning, yang dapat dikonfirmasi dengan slide aglutinasi spesifik dengan antiserum.

Penatalaksanaan

Dengan diketahuinya patogenesis dan patofisiologi penyakit kolera, saat ini tidak ada masalah dalam pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi simtomatik dan kausal secara simultan. Tatalaksana mencakup penggantian kehilangan cairan tubuh dengan segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntahan, kemih, keringat, dan kehilangan insensible) serta terapi antimikrobial.

Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu terapi rehidrasi dan rumatan. Pada kedua tahap ini perlu diperhitungkan kebutuhan harian akan cairan dan nutrisi, terutama bila diare berlangsung lama dan pada pasien pediatri. Pada dehidrasi berat yang disertai renjatan hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau pasien dengan penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, terapi rehidrasi harus diberikan secara infus intravena. Pada kasus sedang dan ringan, rehidrasi dapat dilakukan secara per oral dengan cairan rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS) sedangkan tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya dengan cairan rehidrasi oral, baik pada kasus dehidrasi berat, sedang maupun ringan.

Untuk keperluan rumatan dapat diberikan cairan dengan konsentrasi garam yang rendah seperti air minum biasa, atau susu yang diencerkan, dan air susu ibu terutama untuk bayi dan anak-anak.

7

Selain terapi rehidrasi secara intravena maupun dengan cairan oral pada kolera, tidak kalah pentingnya adalah terapi kausal dengan antibiotika. Terapi antibiotik dini mungkin dapat mengeradikasi Vibrio dan mengurangi frekuensi serta volume diare secara bermakna. Tetrasiklin dengan dosis 500 mg 4 kali sehari secara oral selama 3 hari pada umumnya cukup efektif. Sebagai alternatif dapat dipilih obat-obat lain seperti siprofloksasin, doksisiklin, dan trimetoprim-sulfametoksasol.

Pencegahan

Imunisasi dengan vaksin komersial standar (cholera sec) yang mengandung 10 milyar Vibrio mati per ml, memberikan proteksi 60-80% untuk masa 3-6 bulan. Vaksin ini tidak berpengaruh pada karier dalam pencegahan penularan hingga vaksinasi kolera tidak lagi menjadi persyaratan sertifikat kesehatan internasional. Imunisasi dengan toksoid pada manusia tidak memberikan hasil lebih baik daripada vaksin standar, sehingga pada saat ini perbaikan higiene saja yang memberikan perlindungan yang berarti dalam mencegah kolera.

8

BAB III

PENUTUP

Kolera adalah suatu penyakit akut yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan

oleh kelompok enterotoksin yang dihasilkan oleh Vibrio cholereae yang ditandai dengan

diare cair ringan, diare cair berat dengan muntah yang dengan cepat dapat menimbulkan syok

hipovolemik, asidosis metabolik dan tidak jarang menimbulkan kematian. Penularan kolera

biasanya melalui makanan dan air yang terkontaminasi di tempat yang padat penduduk senga

tingkat sosial ekonomi dan gizi penduduk yang rendah dan sanitasi lingkungan yang tidak

bersih.

Manifestasi klinis dari inferksi kolera adalah diare cair dan muntah biasanya timbul

sesudah masa inkubasi 6 jam sampai 72 jam. Diare tanpa rasa nyeri (tenesmus). Feses yang

khas yaitu cairan agak keruh dengan lendir, tidak ada darah dan berbau agak amis atau seperti

cucian air beras (rice water stool). Diagnosis Kolera ditegakkan berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Dasar pengobatan pada kolera meliputi pengobatan secara causal, simtomatik pengobatan

cairan dan dietetik. Pencegahan terhadap kolera adalah menghindari makanan dan air yang

tercemar, dengan pengadaan air bersih,fasilitas pembuangan feses yang bersih, peningkatan

gizi dan perhatian pada persiapan makan dan penyimpanan di rumah dapat menurunkan

insidensi kolera secara bermakna.

Prognosis terhadap kolera tergantung pada kecepatan dimulainya pemberian terapi yang

sesuai. Dengan pengobatan yang adekuat hampir semua pasien benar-benar sembuh dan

angka kematian dapat diturunkan sampai 0%.

9

DAFTAR PUSTAKA

Gomez H.F dan Cleary T.G. 1992. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2 edisi 12. Jakarta: EGC.

Hassan. 1985. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Keusch dan Deresiewicz. 2000. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 4 Edisi 5. Jakarta: EGC.

Noersahid, Suraatmadja dan Asnil. 1988. Gastroenterologi Anak Praktis.Jakarta: FKUI.

Rohde dan Baswedan. 1979. Prioritas Pediatri di Negera Sedang Berkembang. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica.

Soemarsono. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3. Jakarta: FKUI.

10