Bab I Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

5
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki peserta didik sebagai kompetensi yang beragam dan unik (Faizah, 2008). Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan di sekolah seharusnya dapat menangani berbagai potensi kecerdasan anak dalam sistem pembelajaran yang terintegrasi. Hal ini memerlukan penyediaan tenaga pendidik yang berkualitas. Guna meningkatkan kualitas tenaga pendidik, Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) telah mencanangkan program setifikasi guru, selain memberikan prasyarat bahwa guru harus memiliki strata pendidikan yang cukup. Sertifikasi guru merupakan program yang tidak mudah dilaksanakan, sehingga Kemdiknas hanya berani memasang target 20% guru harus bersertifikat. Target yang minim itupun belum dapat dicapai di hampir semua propinsi. Di propinsi DKI Jakarta pada tahun 2009 saja baru 17% guru SMP yang bersertifikat (www.dikti.kemdiknas.go.id). Penelitian Balitbang Kemdiknas memberikan hasil yang belum menggembirakan, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SMP negeri 54,12% dan swasta 60,99% (http://smkn1bongas-tkj.blogspot.com/). Mutu guru yang ada seperti sekarang ini, menyebabkan siswa hanya berkembang dalam aspek kecerdasan intelektual (IQ) saja padahal menurut hasil penelitian, IQ bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada banyak faktor lain yang mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional (Xyber, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Goleman pengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor lain termasuk di dalamnya kecerdasan emosi (EQ) (Goleman, 2000). Kecerdasan emosional terkait dengan kemampuan mengelola emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis yang merupakan serangkaian kecenderungan untuk bertindak dengan adanya campuran, variasi, mutasi dan nuansanya yang berupa amarah, kesedihan (Goleman, 2004). Karena dengan adanya emosi, maka seseorang dapat

description

 

Transcript of Bab I Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

Page 1: Bab I Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang

dimiliki peserta didik sebagai kompetensi yang beragam dan unik (Faizah, 2008). Dengan

demikian penyelenggaraan pendidikan di sekolah seharusnya dapat menangani berbagai

potensi kecerdasan anak dalam sistem pembelajaran yang terintegrasi. Hal ini

memerlukan penyediaan tenaga pendidik yang berkualitas.

Guna meningkatkan kualitas tenaga pendidik, Kementrian Pendidikan Nasional

(Kemdiknas) telah mencanangkan program setifikasi guru, selain memberikan prasyarat

bahwa guru harus memiliki strata pendidikan yang cukup. Sertifikasi guru merupakan

program yang tidak mudah dilaksanakan, sehingga Kemdiknas hanya berani memasang

target 20% guru harus bersertifikat. Target yang minim itupun belum dapat dicapai di

hampir semua propinsi. Di propinsi DKI Jakarta pada tahun 2009 saja baru 17% guru

SMP yang bersertifikat (www.dikti.kemdiknas.go.id). Penelitian Balitbang Kemdiknas

memberikan hasil yang belum menggembirakan, guru-guru yang layak mengajar untuk

tingkat SMP negeri 54,12% dan swasta 60,99% (http://smkn1bongas-tkj.blogspot.com/).

Mutu guru yang ada seperti sekarang ini, menyebabkan siswa hanya berkembang

dalam aspek kecerdasan intelektual (IQ) saja padahal menurut hasil penelitian, IQ

bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada

banyak faktor lain yang mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional

(Xyber, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Goleman pengaruh IQ hanyalah sebesar

20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor lain termasuk di dalamnya kecerdasan

emosi (EQ) (Goleman, 2000). Kecerdasan emosional terkait dengan kemampuan

mengelola emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu

keadaan biologis dan psikologis yang merupakan serangkaian kecenderungan untuk

bertindak dengan adanya campuran, variasi, mutasi dan nuansanya yang berupa amarah,

kesedihan (Goleman, 2004). Karena dengan adanya emosi, maka seseorang dapat

Page 2: Bab I Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

2

mengendalikan amarah, kesedihan yang mempengaruhi individu terutama pada remaja,

level usia pelajar Sekolah Menengah. Pada remaja terjadi peningkatan emosional yang

terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm dan

stress yang merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada

masa remaja (http://rumahbelajarpsikologi.com).

Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja

berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya dimana pada masa ini

banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan

untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, remaja harus lebih mandiri dan

bertanggung jawab karena diharapkan remaja dapat mengarahkan ketertarikan pada hal-

hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain karena

remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama,

tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.

Remaja adalah tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi

dewasa (Mar’at, 2005). Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescense yang

berarti to grow atau to grow maturity (Golinko dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang

memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan

remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.

Bagi remaja yang mempunyai potensi berupa minat, bakat, mempunyai

kemampuan bahasa yang baik, potensi berpikir, potensi merasa, potensi melakukan

sesuatu yang ada di dalam atau luar diri yang menjadikan remaja sebagai pribadi yang

kuat dalam mengembangkan dan mengaktualisasikan diri dalam memenuhi kebutuhan

hidup dan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, potensi motivasi, potensi daya

fantasi yang tinggi sehingga dapat menciptakan sesuatu yang baru, untuk menunjang

potensi-potensi yang dimiliki remaja tersebut, dibutuhkan fasilitas pendidikan yakni

dengan adanya program kelas unggulan.

Namun, Mukti (2008) menyatakan bahwa penyelenggaraan kelas unggulan

melalui proses rekrutmen untuk melihat potensi siswa dilakukan secara multidimensional.

Rekrutmen dilakukan dengan mengembangkan konsep keberbakatan dari Renzulli, Reis

dan Smith (1978). Konsep itu menyebutkan bahwa anak berbakat mempunyai IQ

minimal 125 menurut skala Wechsler, selain itu harus mempunyai task commitment dan

Page 3: Bab I Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

3

creativity quotion di atas rata-rata. Mukti (2008) mengatakan siswa yang berbakat tidak

bosan di kelas yang sama dengan siswa lain, sehingga tidak mengganggu, mengacau

kelas, dan dapat terus maju dengan cepat dengan mengikuti kelas unggulan. Mukti (2008)

menyatakan dalam perdebatan soal pendidikan nasional, banyak dipersoalkan kurangnya

penanaman nilai-nilai di sekolah-sekolah baik dari SD sampai SMU karena kebanyakan

sekolah terlalu menekankan segi kognitif saja, tetapi kurang menekankan segi nilai

kemanusiaan termasuk pendidikan budi pekerti dan segi-segi kemanusiaan lain, seperti

emosionalitas, religiusitas, sosialitas, spiritualitas, kedewasaan pribadi, dan afektivitas.

Masalahnya, pendidikan dinilai tidak bisa dipercepat karena menanamkan pendidikan

tentang nilai kemanusiaan memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan

waktu yang cukup lama (Mukti, 2008).

Lebih lanjut Mukti menyatakan, penanaman nilai sosialitas perlu diwujudkan

dalam banyak tindakan interaksi antarsiswa dan kerja sama, penanaman nilai

penghargaan terhadap manusia lain membutuhkan latihan dan mungkin hidup bersama

orang lain, dan tidak cukup hanya dengan pengajaran pengetahuannya tetapi juga

memerlukan latihan dan penghayatan yang mendalam (Mukti, 2008). Mukti juga

mengatakan bahwa perkembangan intelektual dan moral anak yang baik juga tidak bisa

secara langsung, karena mereka harus dipaksa untuk melalui tahapan-tahapan

perkembangan yang tidak berjalan sebagaimana anak-anak pada umumnya. Memaksakan

diri siswa hanya untuk mengejar gengsi orang tua untuk mempunyai anak-anak cerdas

dan gengsi sekolah yang ingin dianggap sebagai sekolah unggulan, serta biaya

pendidikan di kelas unggulan tersebut memang agak mahal (Mukti, 2008). Diharapkan

dengan adanya kelas unggulan ini tidak hanya dapat meningkatkan IQ saja tetapi EQ

juga.

Akan tetapi, menurut Suyanto (2008) pengelompokan siswa secara homogen

berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas superbaik, amat baik, baik, sedang,

kurang, sampai ke kelas di bawah rata-rata. Yang ikut memprihatinkan (Suyanto, 2008),

pengelompokan itu disertai program promosi dan degradasi. Siswa yang tidak mampu

mempertahankan prestasi akademiknya dapat dikeluarkan dari kelas superbaik ke kelas

sedang, bahkan mungkin bisa dipindahkan ke kelas di bawah rata-rata. Kalau ini yang

terjadi, dunia pendidikan telah lepas dari lingkaran dan dinamika kehidupan kontekstual

Page 4: Bab I Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

4

yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan adanya pengelompokan dalam

kelas superbaik, out-put yang dilahirkan oleh institusi pendidikan hanyalah generasi-

generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan hati nurani

dan spiritual. Yang pada akhirnya justru menjadikan remaja menjadi asing hidup di

tengah-tengah masyarakat serta tidak memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi

kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.

Menurut Goleman (dalam Wahyuningsih, 2004), individu yang memiliki

kecerdasan akademis tinggi cenderung memiliki rasa gelisah, terlalu kritis, rewel,

cenderung menarik diri, terkesan dingin serta cenderung sulit mengekspresikan kekesalan

dan kemarahannya secara tepat. Individu dengan kecerdasan emosi yang rendah seperti

ini sering menjadi sumber masalah. Apabila seorang remaja yang mengikuti kelas

unggulan memiliki kecerdasan emosi yang rendah maka cenderung akan keras kepala,

sulit bergaul, dan cenderung putus asa bila mengalami masalah, tidak mudah percaya

kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan sehingga membuat individu

menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat serta tidak memiliki kepekaan dalam

merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.

Di sisi lain, apabila siswa yang memasuki kelas unggulan memiliki kecerdasan

emosi akan dapat memahami lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri dan orang lain

(Howes & Herald dalam Mutadin, 2002), serta dapat mempengaruhi peningkatan potensi

keberhasilan dan prestasi belajar siswa yang mengikuti kelas unggulan.

Meski kelas unggulan menyebabkan siswa hanya berkembang dalam aspek

kecerdasan intelektual yang menekankan pada aspek multidimensional dengan

pendalaman materi secara khusus sehingga memungkinkan menjadikan siswanya

memiliki kecerdasan emosi yang rendah, namun ada beberapa siswa yang memiliki

kecerdasan emosi yang baik.

Dari pentingnya penulisan studi kasus ini, maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian yang berjudul kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti

kelas unggulan di SMPN 103 Jakarta.

Page 5: Bab I Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

5

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran kecerdasan emosi remaja yang mengikuti kelas unggulan di

SMPN 103 Jakarta?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kecerdasan emosi pada remaja yang

mengikuti kelas unggulan di SMPN 103 Jakarta?

C. Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada tujuan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran kecerdasan emosi, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti kelas unggulan di SMPN 103 Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Terdapat dua manfaat dalam penelitian ini:

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Psikologi perkembangan, Psikologi

pendidikan, Psikologi belajar dan untuk penelitian selanjutnya terutama yang

berkaitan dengan kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti kelas unggulan

di SMPN 103 Jakarta.

2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

mahasiswa, orang tua dan pengajar untuk dapat mengetahui sejauh mana

kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti kelas unggulan di SMPN 103

Jakarta.