BAB Irepository.unpas.ac.id/13514/9/BAB I & II.docx · Web viewPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor...
-
Upload
phungxuyen -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of BAB Irepository.unpas.ac.id/13514/9/BAB I & II.docx · Web viewPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Staf ahli Gubernur, Bupati maupun Walikota merupakan sebuah jabatan
struktural dalam pemerintahan daerah. Staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh
Gubernur, Bupati/Walikota dari pegawai negeri sipil, untuk membantu
pelaksanaan tugasnya. Sebagaimana kita ketahui bersama, Gubernur dan
Bupati/Walikota selaku Kepala Daerah memiliki peran yang sentral dalam
pemerintahan. Untuk menciptakan daerah serta pemerintahan yang unggul,
diperlukan Kepala Daerah yang unggul pula. Namun demikian, sistem pemilihan
kepala daerah yang dianut oleh Indonesia saat ini memungkinkan terpilihnya
kepala daerah dari berbagai macam kalangan, sehingga tidak semua kepala daerah
terpilih memiliki pengalaman di bidang pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan
pendamping kepala daerah yang senantiasa dapat memberikan saran pertimbangan
kepada Kepala Daerah dalam menghadapi masalah-masalah di masyarakat. Staf
ahli merupakan jabatan yang mengemban tugas pendampingan tersebut.
Jabatan Staf Ahli Kepala Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Pasal 36 peraturan tersebut menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati/Walikota
dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu staf ahli dengan jumlah maksimal
1
2
sebanyak 5 (lima) staf. Staf ahli ini diangkat oleh gubernur, bupati/walikota dari
pegawai negeri sipil. Tugas staf ahli ditetapkan oleh gubernur, bupati/walikota di
luar tugas dan fungsi perangkat daerah. Adapun pasal 37 menyatakan bahwa Staf
Ahli Gubernur sebagai jabatan struktural eselon IIa, dan staf ahli Walikota
sebagai jabatan struktural eselon IIb. Staf ahli dalam pelaksanaan tugasnya secara
administratif dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk
Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah lembar lampiran huruf G
menyebutkan bahwa staf ahli mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai
masalah pemerintahan daerah sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam pelaksanaan
tugasnya, staf ahli dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah. Jumlah dan
nomenklatur jabatan staf ahli dapat disesuaikan dengan kebutuhan kemampuan
daerah masing-masing. Adapun hubungan kerja antara staf ahli dengan SKPD
dalam pemerintahan daerah bersifat konsultasi dan koordinasi.
Di lingkungan Pemerintah Kota Bandung, kedudukan Staf Ahli Walikota
Bandung diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2007
Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung
dan Sekretariat DPRD Kota Bandung. Dalam peraturan daerah tersebut, pasal 6
ayat (1) menyebutkan bahwa Walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat
dibantu oleh staf ahli. Ayat (2) menyebutkan staf ahli sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terdiri atas paling banyak 5 (lima) orang yang diangkat dan
diberhentikan oleh walikota dari pegawai negeri sipil, yang terdiri atas :
1) Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum;
3
2) Staf Ahli Bidang Perekonomian, Keuangan Daerah dan Investasi;
3) Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Infrastruktur;
4) Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia;
5) Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi.
Tugas dan fungsi Staf Ahli Walikota Bandung diuraikan dalam Peraturan
Walikota Bandung Nomor 192 Tahun 2011 Tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi,
Uraian Tugas dan Tata Kerja Satuan Organisasi Sekretariat Daerah Kota
Bandung. Pasal 42 ayat (1) menyebutkan bahwa staf ahli Walikota mempunyai
tugas membantu Walikota dengan memberikan telaahan mengenai masalah
pemerintahan sesuai dengan lingkup tugasnya, yang terdiri atas :
1) Staf Ahli Lingkup Pemerintahan dan Hukum mempunyai tugas memberikan
telaahan mengenai pemerintahan dan hukum;
2) Staf Ahli Lingkup Perekonomian, Keuangan Daerah dan Inverstasi
mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai perekonomian, keuangan
daerah dan inverstasi;
3) Staf Ahli Lingkup Pembangunan dan Infrastruktur mempunyai tugas
memberikan telaahan mengenai pembangunan dan infrastruktur;
4) Staf Ahli Lingkup Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia mempunyai
tugas memberikan telaahan mengenai kemasyarakatan dan sumberdaya
manusia;
5) Staf Ahli Lingkup Teknologi Informasi mempunyai tugas memberikan
telaahan mengenai teknologi informasi.
4
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 42 ayat (2), Staf Ahli Walikota masing-masing
mempunyai fungsi :
1) Pengkajian dan indentifikasi permasalahan penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai lingkup tugasnya;
2) Pengumpulan data dan bahan yang berkaitan dengan pokok permasalahan;
3) Penganalisaan pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4) Penyusunan kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota
melalui Sekretaris Daerah;
5) Penyusunan laporan pelaksanaan tugas setiap akhir tahun kepada Walikota
melalui Sekretariat Daerah; dan
6) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan lingkup
tugasnya.
Melihat dari uraian tugas pokok dan fungsinya, Staf Ahli Walikota
merupakan analis kebijakan pada pemerintah daerah. Dunn dalam Nugroho (2014
: 265) mengatakan bahwa : ”Analis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual
dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan
mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan”.
Nugroho (2014:2) memaparkan bahwa salah satu penyebab dari kegagalan
pemerintah membangun kebijakan publik yang unggul adalah karena tidak adanya
analis kebijakan dalam pemerintahan tersebut, atau ada tetapi tidak bekerja
dengan baik, atau jika sudah bekerja dengan baik tidak mampu menghasilkan
5
kebijakan yang hebat. Pernyataan ini menunjukan betapa penting peran analis
kebijakan dalam suatu pemerintah daerah.
Sutarto (2006 : 183) mengemukakan bahwa dalam sebuah organisasi,
seorang staf memiliki peranan sebagai pejabat yang bertugas melakukan
penelitian, analisa, rekomendasi dan nasehat. Berdasarkan hal tersebut dan uraian
fungsi Staf Ahli Walikota Bandung, maka Staf Ahli Walikota Bandung memiliki
peran sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian permasalahan
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai lingkup tugasnya, analisa pokok
permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, serta pemberian rekomendasi dan nasehat dalam bentuk penyusunan
kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui Sekretaris
Daerah Kota Bandung.
Secara empirik, jabatan Staf Ahli Walikota Bandung seringkali dianggap
sebagai jabatan yang harus dihindari karena kesan negatif yang melekat padanya.
Di mata publik, berkembang anggapan bahwa jabatan staf ahli merupakan tempat
untuk menampung pejabat yang sudah tidak lagi terpakai. Selain itu, berkembang
pula anggapan bahwa staf ahli merupakan tempat sementara para pejabat sambil
menunggu giliran penempatan jabatan sebagai kepala SKPD pada kegiatan rotasi
dan mutasi jabatan berikutnya.
Bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan, secara konsep Staf Ahli
Walikota memiliki posisi penting dalam merumuskan solusi untuk menyelesaikan
isu-isu kebijakan yang muncul di kehidupan publik. Atas dasar adanya
kesenjangan antara peran Staf Ahli Walikota pada Pemerintah Kota Bandung
6
secara konsep dengan kenyataan di lapangan ini penulis merasa perlu untuk
melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk tesis dengan judul
”Analisis Implementasi Kebijakan Tentang Peran Staf Ahli Walikota
Bandung”.
B. Fokus Penelitian
Mengingat keterbatasan yang ada, baik tenaga, dana dan waktu yang
dimiliki oleh peneliti, maka peneliti tidak akan melakukan penelitian terhadap
keseluruhan hal terkait kebijakan tentang Staf Ahli Walikota Bandung.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti akan
memfokuskan penelitian pada bagaimana kebijakan tentang peran Staf Ahli
Walikota Bandung diimplementasikan, serta pada faktor-faktor yang mendukung
dan menghambat implementasi kebijakan dimaksud.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Latar Belakang dan Fokus Penelitian yang telah diuraikan
sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengetahui seperti apa implementasi kebijakan tentang peran Staf Ahli
Walikota Bandung; dan
2) Mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan
tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung.
7
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang hendak dicapai dari penelitian ini ialah sebagai berikut :
1) Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
melengkapi wawasan terhadap aplikasi teori kebijakan publik, khususnya
dalam hal analisis kebijakan publik.
2) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang
bermanfaat bagi Pemerintah Kota Bandung dalam mengimplementasikan
kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung, yang berdampak pada
semakin optimalnya kinerja staf ahli sebagai analis kebijakan daerah yang
dimiliki Pemerintah Kota Bandung.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Kajian Teori
a) Pengertian Kebijakan Publik
Secara etimologis, kebijakan atau policy berasal dari Bahsa Yunani ”polis” yang
berarti negara atau kota, kemudian masuk ke dalam Bahasa Latin ”politia” yang berarti
negara, hingga akhirnya masuk ke dalam Bahasa Inggris ”policie” yang artinya berkenaan
dengan pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.
Winarno (2008 : 16) menyebutkan secara umum istilah kebijakan atau policy
digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. Adapun Wahab (2012 : 8) menegaskan bahwa kebijakan sesungguhnya
merupakan tindakan-tindakan terpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar
keputusan acak untuk melakukan sesuatu. Makna kebijakan ini sejalan dengan pandangan
Anderson (Wahab, 2012 : 8) yang menyatakan bahwa kebijakan merupakan langkah tindakan
yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan
adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Sedangkan Raksasataya dalam Islamy
(1986 : 17) mengemukakan kebijaksanaan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan
untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan harus memuat 3 (tiga) elemen,
yaitu :
1) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
2) Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan
9
3) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik
atau strategi.
Dari konsep-konsep ini, dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu keputusan
yang berisi pedoman untuk bertindak dalam upayanya untuk mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan berisi identifikasi tujuan yang ingin dicapai, taktik dan strategi untuk
mencapainya, serta penyediaan berbagai input untuk pelaksanaannya.
Nugroho (2014 : 129) menguraikan bahwa Kebijakan Publik terbentuk dari dua kata :
Kebijakan dan Publik. Kebijakan adalah sebuah keputusan yang dibuat oleh dia yang
berwenang, baik secara formal maupun informal. Adapun publik adalah sekelompok orang
yang terikat dengan suatu isu tertentu, bukan umum, rakyat, masyarakat atau sekedar
stakeholders. Publik ialah lingkungan dimana orang menjadi masyarakat, lingkungan dimana
masyarakat berinteraksi, lingkungan dimana negara dan masyarakat hidup. Menurut Nugroho
secara sederhana kebijakan publik dapat diartikan sebagai berikut :
...setiap keputusan yang dibuat oleh Negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari Negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan.
Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan publik adalah sebuah fakta
strategis. Sebagai sebuah fakta strategis, maka kebijakan publik tidak saja bersifat positif
namun juga negatif, dalam arti tidak semua tuntutan dapat diakomodasi. Dalam pemahaman
ini, istilah ”keputusan” juga termasuk ketika Pemerintah memutuskan untuk ”tidak
memutuskan”. Dengan demikian, mengacu pada pemahaman Prof. Thomas R. Dye
(Nugroho, 2014:130) bahwa kebijakan publik adalah sesuatu yang dikerjakan dan tidak
dikerjakan oleh pemerintah. Adapun Chandler dan Plano dalam Syafiie (1999:107)
menguraikan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap
sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah publik.
10
Menurut Nugroho (2014 : 136), secara umum terdapat 4 bentuk kebijakan publik,
yaitu :
1) Kebijakan Formal, yaitu keputusan-keputusan yang dikodifikasikan secara tertulis dan
disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Kebijakan ini dikelompokan menjadi tiga
bagian, yaitu Perundang-undangan, Hukum dan Regulasi
2) Kebijakan umum lembaga publik yang telah diterima bersama (konvensi). Kebijakan ini
biasanya ditumbuhkan dari proses manajemen organisasi publik, seperti misalnya upacara
rutin, SOP-SOP tidak tertulis, atau tertulis tapi tidak diformalkan.
3) Pernyataan Pejabat Publik dalam forum publik. Pernyataan pejabat publik harus dan
selalu mewakili lembaga publik yang diwakili atau dipimpinnya.
4) Perilaku pejabat publik. Kebijakan publik jenis ini merupakan bentuk kebijakan yang
paling jarang diangkat sebagai isu kebijakan, padahal dalam prakteknya perilaku pajabat
publik akan ditiru oleh rakyat.
Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah segala
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik tertulis maupun tidak, yang berkaitan
dengan penyelesaian masalah-masalah publik dan pencapaian tujuan yang telah ditentukan,
dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada.
b) Implementasi Kebijakan Publik
Dalam kamus Webster (Wahab, 2012 : 64) pengertian implementasi dirumuskan
secara pendek, dimana “to implement" (mengimplementasikan) berarti “to provide means for
carrying out; to give
practical effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak /
berakibat sesuatu). Dalam studi kebijakan publik, dikatakan bahwa implementasi bukanlah
sekedar bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke
dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu
11
implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari
suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuannya. Pemerintah selaku pembuat kebijakan bagaimanapun juga tentu ingin
agar tujuan kebijakan dapat dicapai, oleh karena itu pemerintah berkepentingan untuk
menjaga agar kebijakan dapat diimplementasikan sebaik mungkin.
Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi adalah sebagaimana yang
diungkapkan oleh Jones (1991 : 7), dimana implementasi diartikan sebagai "getting the job
done" dan "doing it". Tetapi di balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa
implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan
mudah. Namun dalam pelaksanaannya, menurut Jones, menuntut adanya syarat yang antara
lain :
a) Adanya orang atau pelaksana.
b) Uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan
resources.
Dunn (1998 : 80) menyatakan bahwa :
Implementasi kebijaksanaan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijaksanaan sampai dicapainya hasil kebijaksanaan. Implementasi kebijaksanaan pada dasarnya merupakan aktivitas praktis, yang dibedakan dari formulasi kebijaksanaan, yang pada dasarnya bersifat teoritis.
Adapun Soenarko (1998 : 2014) mengemukakan bahwa pelaksanaan (implementasi)
kebijakan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam kebijaksaan pemerintah tersebut. Tidak berbeda jauh dengan definisi
tersebut, Nugroho (2014 : 657) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya
adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Terkait hal ini, Nugroho
12
menyebutkan ada dua langkah yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan
publik, yakni :
1) Langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program-program, seperti dalam
bentuk Keppres, Kepda, Inpres, dan lain sebagainya; atau
2) Mengimpelementasikannya melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
kebijakan publik tersebut, seperti melalui UU atau Peraturan Daerah yang dalam
pelaksanaannya memerlukan peraturan lain seperti PP atau Perwal.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan
pada intinya adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau
perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
program dan menimbulkan kepatuhan, namun lebih dari itu, berlanjut dengan jaringan
kekuatan politik, sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang
terlibat hingga akhirnya menimbulkan dampak baik yang diinginkan maupun tidak
diinginkan.
Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 18) memaparkan bahwa secara ontologis, subject
matter studi implementasi dimaksudkan untuk memahami fenomena implementasi kebijakan
publik, seperti : (i) mengapa suatu kebijakan publik gagal diimplementasikan di suatu daerah;
(ii) mengapa suatu kebijakan publik yang sama, yang dirumuskan oleh pemerintah, memiliki
tingkat keberhasilan yang berbeda-beda ketika diimplementasikan oleh pemerintah daerah;
(iii) mengapa suatu jenis kebijakan lebih mudah dibanding kebijakan yang lain; (iv) mengapa
perbedaan kelompok sasaran kebijakan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan. Upaya untuk memahami berbagai fenomena ini pada akhirnya dimaksudkan untuk
dapat memetakan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya berbagai fenomena
implementasi tadi.
13
Menurut Purwanto dan Sulistyanti (2012 : 98), kegagalan ataupun keberhasilan
implementasi suatu kebijakan dalam mewujudkan tujuan kebijakan yang telah digariskan,
dalam literatur studi implementasi kemudian dikonseptualisasikan sebagai kinerja
implementasi. Penilaian terhadap kinerja dibutuhkan untuk dapat menjawab pertanyaan
pokok dalam studi implementasi, yaitu : (i) apa isi dan tujuan dari suatu kebijakan; (ii) apa
tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut; dan (iii) apakah
setelah tahapan-tahapan tersebut dilakukan, implementasi yang dijalankan tadi mampu
mewujudkan tujuan kebijakan atau tidak. Untuk dapat menjawab ketiga pertanyaan tersebut
dibutuhkan suatu kerangka logis yang dapat membantu peneliti memahami implementasi
kebijakan yang pada dasarnya bersifat kompleks. Kerangka pikir yang dapat digunakan untuk
melihat bagaimana kinerja implementasi dapat dilihat dari gambar berikut :
Sumber : Purwanto dan Sulistyanti (2012 : 98)
Gambar 1 Kerangka Pengukuran Kinerja Implementasi Kebijakan
Dari serangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, kemudian
dipetakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu
kebijakan. Berbagai peta tentang faktor-faktor tersebut terakumulasi menjadi apa yang
disebut dengan model implementasi kebijakan. Model implementasi ini pada dasarnya
merupakan suatu upaya untuk menyederhanakan realitas implementasi kebijakan yang rumit
menjadi lebih sederhana, yaitu sebagai hubungan sebab akibat antara keberhasilan
implementasi dengan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan implementasi
14
tersebut. Subarsono (2005 : 89) menyebutkan beberapa ahli atau teoritisi implementasi
kebijakan yang membahas model-model tersebut, di antaranya George C. Edward III, Merilee
S. Grindle, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Donald Van Meter dan Carl Van
Horn, Cheema dan Rondinelli, serta David L. Weimer dan Aidan R. Vining. Beberapa model
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Model George C. Edward III
Menurut Edward dalam Nugroho (2014 : 673), agar implementasi kebijakan menjadi
efektif, ada empat isu pokok yang harus diperhatikan, yakni : communication, resource,
disposition or attitudes, dan bureaucratic structures.
Sumber : Edward (180 : 148)
Gambar 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan
Communication berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan kepada
organisasi dan/atau publik dan sikap dan tanggapan dari para pihak yang terlibat. Menurut
Edward (1980 : 10) komunikasi harus ditransmisikan kepada personel yang tepat, harus jelas,
akurat serta konsisten. Edward menyatakan : ”Orders to implement a policies must be
transmitted to the appropriate personnel, and they must be clear, accurate and cocsistent”.
15
Dalam hal ini Edward menjelaskan bahwa jika pembuat keputusan berharap agar
implementasi kebijakannya sesuai dengan yang dikehendakinya, maka ia harus memberikan
informasi secara tepat. Komunikasi yang tepat juga menghindari diskresi/keleluasaan pada
para implementor karena mereka akan mencoba menerjemahkan kebijakan umum menjadi
tindakan yang spesifik. Diskresi ini tidak akan terjadi jika terdapat aturan yang jelas serta
spesifik mengenai apa yang perlu dilakukan. Namun aturan yang terlalu kaku juga dapat
menghambat implementasi karena akan menyulitkan adaptasi dari para implementor. Dalam
hal ini diperlukan kebijakan yang ditransmisikan kepada agen pelaksana yang tepat, jelas dan
konsisten, tapi tidak menghalangi adaptasi para agen pelaksana tersebut.
Resource berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber
daya manusia, dimana hal ini berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk
mengemban kebijakan secara efektif. Mengenai sumber daya, Edward (1980 : 11)
menjelaskan bahwa :
Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information on how to implement policies and on the complience of others involved in implementation; the authority to ensure that policies are carried out as they are intended; and facilities (including buildings, equipment, land and supplies) in which or with which to provide services.
Tanpa memandang seberapapun jelas dan konsistennya perintah implementasi, serta
tanpa memandang seberapa akurat perintah tersebut ditransmisikan, jika implementornya
kekurangan sumber daya maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya yang
dimaksud oleh Edward, sebagaimana disebutkan di atas terdiri dari staff, informasi,
kewenangan dan fasilitas.
Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk mengemban
kebijakan tersebut, karena dalam pelaksanaan kebijakan, kecakapan saja tidak mencukupi,
tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan. Edwards (1980 : 89)
menyatakan: “If implementors are well-disposed toward a particular policy, they are more
16
likely to carry it out as the original decisionmakers intended. But when implementors’
attitudes or perspectives differ from the decisionmakers’, the process of implementing a
policy becomes infinitely more complicated”. Dalam hal ini Edward menekankan bahwa
sikap atau yang beliau sebut sebagai disposisi merupakan hal yang krusial karena jika
implementor kebijakan memiliki disposisi yang berlawanan dengan arah kebijakan, maka
perspektif ini juga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan yang
sesungguhnya dengan implementasi kebijakan di lapangan. Dicontohkan oleh Edward III,
banyak sekolah di negara bagian di Amerika Serikat yang tidak mengalokasikan dana bagi
pendidikan anak berkebutuhan khusus walaupun hal tersebut telah diatur dalam undang-
undang, karena mereka not interested atau tidak berminat dalam mengimplementasikan
kebijakan tersebut.
Faktor terakhir yang dikemukakan Edward adalah bureaucratic structures.
Bureaucratic structures atau struktur birokrasi ini berkenaan dengan kesesuaian organisasi
birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Edward (1980: 125)
menyatakan bahwa dua sub variabel yang memberikan pengaruh besar pada birokrasi adalah
Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. Mengenai SOP, Edward (1980 : 225)
menjelaskannya sebagai : “The former develop as internal responses to the limited time and
resources of implementors and the desire for uniformity in the operation of complex and
widely dispersed organizations; they often remain in force due to bureaucratic inertia”. SOP
merupakan respon yang timbul dari implementor untuk menjawab tuntutan-tuntutan
pekerjaan karena kurangnya waktu dan sumber daya, serta keinginan untuk mencapai
keseragaman dalam organisasi yang kompleks dan luas. Adapun mengenai fragmentasi,
Edward (1980 : 134) mendefinisikan fragmentasi sebagai “...the dispersion of responsibility
for a policy area among several organizational units”. Dengan kata lain, fragmentasi
merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi.
17
Dalam struktur birokrasi, fragmentasi dapat menjadi halangan implementasi kebijakan.
Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab, dan hal ini dapat menyulitkan
koordinasi dalam kebijakan. Sumber daya dan kewenangan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan masalah secara komprehensif seringkali tersebar ke banyak unit organisasi.
Fragmentasi juga memungkinkan munculnya tumpang tindih dan duplikasi dari banyak unit
organisasi.
2) Model Van Meter dan Van Horn
Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005 : 99), terdapat beberapa
variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu sebagai berikut :
1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka dapat terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.
2. Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources). Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksana.
3. Hubungan antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
4. Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.
5. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi. kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
18
Variabel-variabel tersebut digambarkan oleh Van Horn dan Van Meter sebagai berikut
:
Sumber : Subarsono (2005 : 99)
Gambar 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Van
Meter dan Van Horn
Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh Edwards III, maka seperti terlihat
di atas, variabel (1) standar dan sasaran kebijakan dapat dikatakan sejalan dengan variabel
“komunikasi” dalam model Edwards III. Hal ini karena dari penjelasan yang ada
menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar dan sasaran kebijakan yang jelas sehingga
tidak menimbulkan multi interpretasi maupun konflik. Variabel (2) sumber daya sejalan
dengan variabel “sumber daya” pada model Edwards III, yaitu mencakup SDM dan non-
SDM. Variabel (3) hubungan antar organisasi sejalan dengan variabel “struktur organisasi”
dari model Edwards III. Variabel (4) karakteristik agen pelaksana dan variabel (6) disposisi
implementor, dapat dikatakan sejalan dengan variabel “disposisi” dalam model Edwards III.
Hal ini dikarenakan variabel (4) membicarakan tentang ‘norma-norma’ dan ‘pola-pola
hubungan’ yang terjadi pada implementor merupakan dapat mengacu pada preferensi nilai
atau sikap yang ada pada implementor dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh
kebijakan.
19
Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, yang agak
berbeda barangkali adalah variabel (5) kondisi sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak
terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel (5) ini terlihat bahwa model yang
dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga mempertimbangkan faktor eksternal.
Dilihat dari teori sistem kebijakan dari Dye yang melibatkan tiga elemen dalam sistem
kebijakan, maka faktor sosial, politik, dan ekonomi dapat kita masukkan dalam elemen
lingkungan kebijakan atau policy environment. Edwards III tidak memasukkan elemen
lingkungan kebijakan karena beliau memfokuskan teorinya pada aktor-aktor kebijakan yang
mengimplementasikan kebijakan itu sendiri (implementor kebijakan) sehingga tidak
memfokuskan pembahasan pada apa yang terdapat di luar implementor kebijakan.
3) Model Grindle
Implementasi kebijakan menurut Grindle (Nugroho, 2014 : 671) ditentukan oleh isi
kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya ialah bahwa setelah kebijakan
ditranformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh
derajat implementability dari kebijakan tersebut. Grindle menyatakan bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan akan ditentukan oleh 2 (dua) variabel, yakni variabel content (isi)
dan context. Variabel content terkait dengan apa yang ada dalam kebijakan publik, sedangkan
variabel context terkait dengan bagaimana konteks politik dan aktivitas administrasi
mempengaruhi kebijakan yang diimplementasikan.
Grindle sebagaimana disebutkan dalam Subarsono (2005 : 93) kemudian memecah
dua variabel tersebut ke dalam beberapa faktor. Variabel isi kebijakan mencakup : (1) sejauh
mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis
manfaat yang diterima oleh target group; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari
sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan
20
telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung
oleh sumber daya yang memadai.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi
kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan
dan responsivitas kelompok sasaran.
Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Sumber : Subarsono (2005 : 93)
Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut
Grindle
Model Grindle ini dijelaskan oleh Suwitri (2008 : 86-89) sebagai berikut :
Variabel Konten selanjutnya diperinci lagi ke dalam 6 unsur, yaitu: 1. Pihak yang kepentingannya dipengaruhi (interest affected) Theodore Lowi (dalam Grindle, 1980) mengungkapkan bahwa jenis kebijakan
publik yang dibuat akan membawa dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik. Dengan demikian, apabila kebijakan publik dimaksud untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari pihak-pihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut....
2. Jenis manfaat yang dapat diperoleh (type of benefits)
21
Program yang memberikan manfaat secara kolektif atau terhadap banyak orang akan lebih mudah untuk memperoleh dukungan dan tingkat kepatuhan yang tinggi dari target groups atau masyarakat banyak. ...
3. Jangkauan perubahan yang dapat diharapkan (extent of change envisioned) Program yang bersifat jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku
masyarakat dan tidak secara langsung atau sesegera mungkin dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (target groups) cenderung lebih mengalami kesulitan dalam implementasinya...
4. Kedudukan pengambil keputusan (site of decision making) Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam implementasi kebijakan
publik, baik secara geografis maupun organisatoris, akan semakin sulit pula implementasi program. Karena semakin banyak satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.
5. Pelaksana-pelaksana program (program implementors) Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan implementasi
program tersebut. Birokrasi yang memiliki staff yang aktif, berkualitas, berkeahlian dan berdedikasi tinggi terhadap pelaksanaan tugas dan sangat mendukung keberhasilan implementasi program.
6. Sumber-sumber yang dapat disediakan (resources committed) Tersedianya sumber-sumber secara memadai akan mendukung keberhasilan
implementasi program atau kebijakan publik.Di samping Konten variabel, keberhasilan implementasi kebijakan publik juga
ditentukan oleh variabel Konteks. Variabel ini meliputi 3 unsur, yaitu : 1. Kekuasaan, minat dan strategi dari aktor-aktor yang terlibat (power, interest
and strategies of actors involved) Strategi, sumber dan posisi kekuasaan dari implementor akan menentukan
keberhasilan implementasi suatu program. Apabila kekuatan politik merasa berkepentingan terhadap suatu program, mereka akan menyusun strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi, sehingga output suatu program akan dapat dinikmatinya. ...
2. Karakteristik rejim dan institusi (institution and regime characteristics) Implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada kelompok-
kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Penyelesaian konflik akan menentukan who gets what atau ‘siapa mendapatkan apa”. ...
3. Kesadaran dan sifat responsif (compliance and responsiveness) Agar tujuan program dalam lingkungan khusus dapat tercapai maka para
implementor harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari beneficiaries. Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi, implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi.
Melihat penjelasan mengenai model Grindle ini, dapat dicermati bahwa model
Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip dengan model Van Meter dan Van Horn, yakni
bahwa baik model Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama memasukkan
elemen lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
22
Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan kondisi sosial, politik, dan ekonomi sebagai
salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan
variabel besar konteks kebijakan atau lingkungan kebijakan.
Kelebihan dari model Grindle dalam variabel lingkungan kebijakan adalah model ini
lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan. Unsur pertama dari variabel
lingkungan yaitu power, interest and strategies of actors involved menjelaskan bahwa isi
kebijakan sangat dipengaruhi oleh peta perpolitikan dari para pelaku kebijakan. Aktor-aktor
penentu kebijakan akan berusaha menempatkan kepentingan mereka pada kebijakan-
kebijakan yang melibatkan minat mereka, sehingga kepentingan mereka terakomodasi di
dalam kebijakan. Unsur kedua dari Grindle yaitu institution and regime characteristics dan
unsur ketiga yaitu compliance and responsiveness memiliki kesamaan dengan faktor disposisi
dari model Edwards III. Unsur kedua (karakteristik lembaga dan rezim) dijelaskan oleh
Suwitri (2008: 88) bahwa implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik
pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Dalam hal ini contoh yang
terjadi adalah ketika terdapat resistensi terhadap suatu kebijakan dari suatu kelompok yang
kepentingannya terancam akan menimbulkan konflik. Cara penanganan konflik pada rezim
yang otoriter tentu akan berbeda dengan cara penanganan pada rezim yang demokratis.
Bahkan pada rezim yang demokratis sendiri terdapat berbagai macam cara penyelesaiannya.
Robbins dan Judge (2008: 181) menyebutkan terdapat enam cara penyelesaian konflik, yaitu
bersaing (tegas dan tidak kooperatif), bekerjasama (tegas dan kooperatif), menghindar (tidak
tegas dan tidak kooperatif), akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis (tengah-
tengah antara tegas dan kooperatif). Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model
Grindle, yaitu compliance and responsiveness merujuk pada disposisi, meskipun terdapat
perbedaan, dimana Grindle memfokuskan pada disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan,
sedangkan Edwards lebih menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2008: 76)
23
menyatakan : “... proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan
subyektif, dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and
responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi, compliance
and responsiveness juga merujuk pada politik. Pelibatan politik dalam unsur ini masih
berkaitan dengan unsur pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat, dan strategi
aktor-aktor, karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat kebijakan
dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari pembuat kebijakan maupun
implementor semestinya juga lebih tinggi.
Pada variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa
implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama hingga keempat yaitu
interest affected, type of benefits, extent of change envisioned, dan site if decision making,
kita dapat melihat bahwa peran politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama,
Suwitri (2008 : 86) menyatakan : “...jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa
dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat ditelusuri
pada unsur kedua hingga keempat.
Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan pandangan
dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada unsur kelima yaitu program
implementors disebutkan oleh Suwitri (2008 : 88) bahwa : “Kemampuan pelaksana program
akan mempengaruhi keberhasilan implementasi program tersebut”. Hal ini sejalan dengan
faktor sumber daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.
Lebih lanjut, unsur keenam yaitu resources committed dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88)
sebagai “Tersedianya sumber-sumber secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur
kelima dan keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor sumber
daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn, tetapi
Grindle membedakan sumber daya sebagai SDM dan non SDM.
24
4) Model Mazmanian dan Sabatier
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2014 : 666), implementasi kebijakan
dapat diklasifikasikan kedalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, iatu mudah
tidaknya masalah dikendalikan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan,
keragaman obyek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening,
yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan
indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi
sumberdana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari
lembaga pelaksana dan perekrurtan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar;
dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan
dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis
dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan
dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi,
yaitu pemahaman dari lembaga pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana,
kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah
kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan
kebijakan yang bersifat mendasar.
Ketiga variabel tersebut digambarkan oleh Sabatier dalam Hill (1997 : 274) sebagai
berikut :
25
Sumber : Hill (1997 : 274)
Gambar 5 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut
Mazmanian dan Sabatier
Sebagaimana Van Meter dan Van Horn maupun Grindle, Mazmanian dan Sabatier
juga memasukkan variabel lingkungan kebijakan sebagai variabel yang mempengaruhi
implementasi kebijakan. Perbedaan utama antara model ini dengan model Grindle adalah,
selain variabel konten/isi kebijakan yang oleh Mazmanian dan Sabatier dikelompokkan
sebagai kemampuan statuta untuk menstrukturisasi implementasi (ability of statute to
structurize implementation), mereka juga memperluas variabel yang mempengaruhi
kebijakan menjadi tingkat kesulitan masalah (tractability of the problem) dan variabel di luar
kebijakan yang mempengaruhi implementasi (nonstatutory variables affecting
implementation).
Pada variabel tingkat kesulitan masalah (tractability of the problem), Mazmanian dan
Sabatier memperhitungkan tingkat kesulitan teknis (technical difficulties), keberagaman
kelompok sasaran (diversity of target group behavior), persentase kelompok sasaran terhadap
total populasi (target group as a percentage of the population), serta tingkat perubahan
26
perilaku yang diharapkan (extent of behavioral change required). Unsur keempat yaitu
tingkat perubahan perilaku yang diharapkan memiliki kesamaan dengan salah satu unsur dari
variabel isi kebijakan dari Grindle yaitu extent of change envisioned.
Pada nonstatutory variable, unsur pertama yaitu socioeconomic conditions and
technology memiliki kesamaan dengan variabel Van Meter dan Van Horn yaitu keadaan
sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan utamanya adalah Mazmanian dan Sabatier
menyebutkan kata ‘teknologi’ sebagai satu kesatuan dengan sosioekonomi. Sebagaimana
Grindle, Mazmanian dan Sabatier juga memperhatikan politik. Pada unsur kedua yaitu public
support maupun unsur keempat yaitu support from sovereigns memperlihatkan bahwa
dukungan publik (bottom) maupun dukungan dari penguasa (top) ikut menentukan
implementasi. Tanpa dukunan dari kedua pihak (top dan bottom) maka implementasi akan
menghadapi kendala. Dan dukungan dari atas maupun bawah ini melibatkan proses politik.
Publik yang memiliki kepentingan lebih cenderung akan mendukung suatu kebijakan yang
mengutamakan kepentingan mereka. Demikian juga penguasa juga akan cenderung
mendukung kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Unsur kedua yaitu attitudes
and resources of constituency groups memiliki kesamaan dengan faktor disposisi dari model
Edwards III. Perbedaannya adalah Edwards III memfokuskan pada sikap atau attitude dari
implementor, sedangkan Mazmanian dan Sabatier lebih fokus pada sikap dari konstituen atau
pemilih. Pada unsur kelima yaitu commitment and leadership skill of implementing officials,
model Mazmanian dan Sabatier juga memfokuskan pada komitment dan kemampuan
kepemimpinan dari implementor. Keunggulan model ini adalah kepemimpinan belum
dibahas pada model-model sebelumnya.
Pada variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasi implementasi (ability of
statute to structure implementation), model Mazmanian dan Sabatier memiliki beberapa
kesamaan dengan model Edwards III. Unsur pertama yaitu clear and consistent objectives
27
bersesuaian dengan faktor komunikasi dari model Edwards III. Kejelasan dan konsistensi
tujuan merupakan salah satu faktor yang dimaksudkan oleh Edwards III dalam faktor
komunikasi. Tanpa tujuan yang jelas dan konsisten, agen-agen implementor akan menemui
kesulitan mengimplementasikan kebijakan. Unsur kelima yaitu decision rules of
implementing agencies juga serupa dengan faktor komunikasi dari model Edwards III. Unsur
kelima ini juga menuntut adanya kejelasan aturan dari agen-agen pelaksana. Kesesuaian
antara model Mazmanian dan Sabatier dengan model Edwards III juga dapat kita lihat pada
unsur ketiga yaitu initial allocation of financial resources, maupun unsur keenam yaitu
recruitment of implementing officials. Baik unsur alokasi dana maupun unsur rekruitmen
petugas implementasi memiliki kesamaan dengan faktor sumber daya dari model Edwards
III, Van Meter dan Van Horn, maupun Grindle. Sama halnya dengan model Grindle, model
Mazmanian dan Sabatier juga memisahkan SDM dan non SDM dari faktor sumber daya.
Unsur lain yang sesuai dengan model Edwards III adalah unsur keempat yaitu hierarchical
integration within and among implementing institutions. Unsur ini serupa dengan faktor
struktur birokrasi dalam model Edwards III. Integrasi hierarkis di dalam dan di antara
lembaga implementor merupakan hal yang mutlak diperlukan agar implementasi kebijakan
tidak saling overlap. Di samping hal-hal yang kita dapati dari model-model lain, terdapat
unsur-unsur yang tidak kita dapati di variabel ini (kemampuan kebijakan untuk
menstruktrurisasi kebijakan). Hal yang agak berbeda tersebut adalah pada unsur kedua yaitu
incorporation of adequate causal theory. Model ini menuntut adanya kajian ilmiah maupun
empiris agar sebuah kebijakan dinilai layak dikatakan mampu menstrukturisasi implementasi.
Dengan adanya landasan teori kausal yang kuat maupun kajian ilmiah dan bukti empiris,
sebuah kebijakan sudah melewati fit and proper test sebelum menjadi kebijakan yang
memungkinkan untuk dilaksanakan. Selain itu, perbedaan dengan model lain juga terdapat
pada unsur ketujuh yaitu formal access by outsiders. Keunggulan model Mazmanian dan
28
Sabatier adalah bahwa model ini juga memperhitungkan peran serta publik dalam
implementasi kebijakan. Implementasi akan berjalan relatif lebih lancar apabila publik diberi
kesempatan untuk mengakses proses kebijakan, atau paling tidak dalam salah satu prosesnya
seperti penentuan agenda atau evaluasi kebijakan.
c) Peran Staf
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, staf didefinsikan sebagai sekelompok orang
yang bekerja sama membantu seorang ketua dalam mengelola suatu pekerjaan. Staf diartikan
juga sebagai bagian dari organisasi yang tidak mempunyai hak untuk memberikan perintah,
namun mempunyai kewajiban untuk membantu pimpinan, memberikan masukan kepada
pimpinan.
Davis dalam Sutarto (2006 : 182) menyebutkan bahwa terdapat 6 kewajiban staff,
yaitu penelitian; analisa fakta dan informasi; interpretasi; rekomendasi termasuk
perencanaan; koordinasi membantu pengontrolan dan memperlancar, membantu penyusunan
dan pelaksanaan. Livingstone (Sutarto, 2006 : 182) menyebutkan ada 4 macam fungsi staf,
yaitu fungsi pengontrolan; fungsi pelayanan; fungsi nasihat, penelitian dan interpretasi; dan
fungsi koordinasi. Adapun Spriegel (Sutarto, 2006 : 183) mengemukakan bahwa staf
memiliki 4 macam tugas, yakni tugas pengontrolan, tugas pelayanan, tugas koordinasi dan
nasihat.
Dari 3 pendapat tersebut di atas, Sutarto (2006 : 183) kemudian menyimpulkan bahwa
ada 8 jenis tugas staf, terdiri atas : tugas penelitian, analisa fakta dan informasi, interpretasi,
rekomendasi termasuk perencanaan, pengontrolan, koordinasi, pelayanan dan nasehat.
Sutarto melanjutkan bahwa apabila diikuti pendapat di dalam organisasi terdapat 7 macam
satuan organisasi yang masing-masing melakukan kegiatan pimpinan, haluan, operasi,
29
komersiil, penunjangan, pengontrolan dan konsultasi, maka peranan staf dapat dimurnikan
sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian, analisa, rekomendasi dan nasehat.
2. Penelitian Artha Dini Akmal (2013)
Salah satu penelitian yang juga membahas tentang peran staf ahli kepala daerah
adalah penelitian yang dilakukan oleh Artha Dini Akmal berjudul ”Optimalisasi Kinerja Staf
Ahli Kepala Daerah Terhadap Pencapaian Visi dan Misi Pemerintah Daerah Kabupaten
Tanah Datar”. Artha menguraikan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, staf
ahli membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya, termasuk dalam mencapai visi
dan misi yang telah ditetapkannya. Staf ahli setiap daerah memiliki tugas pokok dan fungsi
yang tidak sama, namun demikian, secara garis besar tugas staf ahli ialah membantu
memberikan masukan dan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala daerah dalam
mengatasi sebuah masalah atau menjalankan sebuah program, baik diminta maupun tidak,
sesuai bidang keahliannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis cara mengoptimalkan kinerja Staf Ahli
terhadap pencapaian visi dan misi Kepala Daerah Kabupaten Tanah Datar, serta menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja staf ahli terhadap pencapaian visi dan misi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Artha menyimpulkan bahwa kinerja Staf Ahli
Kabupaten Tanah Datar belum optimal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
Staf Ahli ialah sumber daya manusia termasuk latar belakang pendidikan dan
pengalamannya, sarana dan prasarana, serta budaya organisasi yang ada.
Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan Artha dengan penelitian peneliti
ialah bahwa selain lokus yang berbeda, penelitian ini lebih berfokus pada optimalisasi peran
staf ahli dikaitkan dengan pencapaian visi misi, sedangkan penelitian peneliti lebih berfokus
pada implementasi kebijakan tentang peran staf ahli. Masalah yang dirumuskan dalam
30
penelitian ini ialah bagaimana mengoptimalkan kinerja Staf Ahli terhadap pencapaian visi
dan misi Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, serta faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi kinerja Staf Ahli dalam mewujudkan visi dan misi Pemerintah Daerah.
3. Penelitian Gibral Alhaq (2016)
Alhaq (2016) melakukan penelitian mengenai Tugas Pokok dan Fungsi Staf Ahli
Gubernur Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Staf Ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat dan apa saja
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi staf ahli tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data primer dan sekunder yang lebih
luas meliputi bahan rujukan seperti dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah berupa
peraturan perundang-undangan dan studi dokumen. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Staf Ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat
mengacu pada PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Permendagri No.
57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 100/4675/SJ tentang Pemberdayaan Kapasitas Staf Ahli Kepala
Daerah, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Sumatera Barat, Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2008 tentang
Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Staf Ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat. Namun
masih terdapat kendala-kendala dalam proses pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Staf Ahli
Gubernur Provinsi Sumatera Barat seperti dalam hal penempatan staf dari Staf Ahli yang
tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Staf Ahli, kurangnya sarana prasarana, selain itu
tidak adanya subbag khusus untuk mengelola anggaran Staf Ahli sehingga menyulitkan
31
kinerja Staf Ahli sendiri. Diharapkan perlu adanya kebijakan baru yang diambil Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat seperti dengan dilakukannya pendidikan dan pelatihan tenaga
terampil secara berkelanjutan dan adanya evaluasi kinerja terkait tugas pokok dan fungsi Staf
Ahli tersebut.
Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan Alhaq dengan penelitian yang
dilakukan peneliti terletak pada fokus dan lokus yang berbeda. Penelitian ini lebih berfokus
pada bagaimana pelaksanaan tugas pokok dan fungsi staf ahli Gubernur di Provinsi Sumatera
Barat, sedangkan penelitian peneliti lebih berfokus pada implementasi kebijakan tentang
peran staf ahli Walikota. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian Alhaq ialah bagaimana
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi staf ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat, serta apa
saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi staf ahli tersebut.
Sedangkan masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini ialah bagaimana kebijakan tentang
peran Staf Ahli Walikota Bandung diimplementasikan, serta faktor-faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap implementasi kebijakan tersebut.
B. Kerangka Berpikir
Staf Ahli Walikota Bandung merupakan jabatan eselon II di Lingkungan Pemerintah
Kota Bandung, sejajar dengan Asisten Daerah, Sekretaris DPRD, Kepala Dinas dan Kepala
Badan, serta hanya satu tingkat di bawah Sekretaris Daerah Kota Bandung. Jabatan ini diatur
dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Pembentukan dan
Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung dan Sekretariat DPRD Kota Bandung.
Dalam peraturan daerah tersebut, pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa Walikota dalam
melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh staf ahli. Ayat (2) menyebutkan staf ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut terdiri atas paling banyak 5 (lima) orang yang
diangkat dan diberhentikan oleh walikota dari pegawai negeri sipil, yang terdiri atas :
32
1) Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum;
2) Staf Ahli Bidang Perekonomian, Keuangan Daerah dan Investasi;
3) Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Infrastruktur;
4) Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia;
5) Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi.
Tugas dan fungsi Staf Ahli Walikota Bandung diuraikan dalam Peraturan Walikota
Bandung Nomor 192 Tahun 2011 Tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas dan
Tata Kerja Satuan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung. Pasal 42 ayat (1)
menyebutkan bahwa staf ahli Walikota mempunyai tugas membantu Walikota dengan
memberikan telaahan mengenai masalah pemerintahan sesuai dengan lingkup tugasnya, yang
terdiri atas :
1) Staf Ahli Lingkup Pemerintahan dan Hukum mempunyai tugas memberikan telaahan
mengenai pemerintahan dan hukum;
2) Staf Ahli Lingkup Perekonomian, Keuangan Daerah dan Inverstasi mempunyai tugas
memberikan telaahan mengenai perekonomian, keuangan daerah dan inverstasi;
3) Staf Ahli Lingkup Pembangunan dan Infrastruktur mempunyai tugas memberikan
telaahan mengenai pembangunan dan infrastruktur;
4) Staf Ahli Lingkup Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia mempunyai tugas
memberikan telaahan mengenai kemasyarakatan dan sumberdaya manusia;
5) Staf Ahli Lingkup Teknologi Informasi mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai
teknologi informasi.
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 42 ayat (2), Staf Ahli Walikota masing-masing mempunyai fungsi :
1) Pengkajian dan indentifikasi permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
lingkup tugasnya;
33
2) Pengumpulan data dan bahan yang berkaitan dengan pokok permasalahan;
3) Penganalisaan pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
4) Penyusunan kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui
Sekretaris Daerah;
5) Penyusunan laporan pelaksanaan tugas setiap akhir tahun kepada Walikota melalui
Sekretariat Daerah; dan
6) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan lingkup tugasnya.
Dari uraian tugas pokok dan fungsinya, dapat disimpulkan bahwa Staf Ahli Walikota
memikul peran sebagai analis kebijakan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan teori yang
diutarakan oleh Dunn dalam Nugroho (2014 : 265), yakni bahwa analis kebijakan adalah
suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai
dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Menurut Dunn,
ada lima proses dalam analisis kebijakan, yaitu :
1) Menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah
kebijakan;
2) Menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan
alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu;
3) Menyediakan informasi mengenai nilai dan konsekuensi alternatif kebijakan di masa
mendatang;
4) Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya
alternatif kebijakan;
5) Kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah.
Sutarto (2006 : 183) mengemukakan bahwa dalam sebuah organisasi, seorang staf
memiliki peranan sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian, analisa, rekomendasi
34
dan nasehat. Berdasarkan hal tersebut dan uraian fungsi Staf Ahli Walikota Bandung, maka
Staf Ahli Walikota Bandung memiliki peran sebagai pejabat yang bertugas melakukan
penelitian permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai lingkup tugasnya,
analisa pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, serta pemberian rekomendasi dan nasehat dalam bentuk penyusunan
kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah Kota
Bandung.
Secara empirik Staf Ahli Walikota Bandung memiliki citra negatif pada
pemerintahan. Jabatan ini seringkali dianggap sebagai jabatan struktural yang harus dihindari,
karena berkembang anggapan bahwa jabatan staf ahli merupakan tempat untuk menampung
pejabat yang sudah tidak lagi terpakai. Selain itu, berkembang pula anggapan bahwa staf ahli
merupakan jabatan sementara para pejabat sembari menunggu giliran penempatan jabatan
sebagai kepala SKPD pada kegiatan rotasi dan mutasi jabatan berikutnya.
Kuatnya anggapan bahwa staf ahli tidak memiliki peran penting pada Pemerintah
Kota Bandung menggambarkan adanya tujuan yang tidak tercapai dalam kebijakan tentang
peran Staf Ahli Walikota Bandung. Soenarko (1998:201) mengemukakan bahwa pelaksanaan
(implementasi) kebijakan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam kebijaksaan pemerintah tersebut. Tak berbeda jauh dengan
definisi itu, Nugroho (2014 : 657) menjelaskan bahwa : ”Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya”. Berdasarkan teori
ini, ketika kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan kebijakan yang ditetapkan,
maka perlu dipertanyakan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan.
Menurut Edward (1980 : 10), agar implementasi kebijakan menjadi efektif, ada empat
isu pokok yang harus diperhatikan, yakni :
1) Communication atau komunikasi.
Implementasi Kebijakan (Edward dalam Nugroho, 2014 : 673)
KomunikasiSumber dayaDisposisiStruktur Birokrasi
35
Agar implementasi menjadi efektif, mereka yang bertanggung jawab untuk
mengimplementasikannya harus tahu apa yang harus mereka lakukan. Perintah untuk
melaksanakan kebijakan harus disampaikan kepada orang yang tepat, serta harus jelas,
akurat dan konsisten.
2) Resource atau sumberdaya.
Seberapa jelas dan seberapa konsisten pun sebuah kebijakan, serta seberapa akurat
kebijakan tersebut disampaikan, apabila orang yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan kebijakan tersebut kekurangan sumber daya untuk melakukan
pekerjaannya secara efektif, makan pelaksanaan kebijakan juga tidak akan efektif.
3) Disposition atau sikap.
Jika ingin mengimplementasikan kebijakan dengan efektif, Implementor tidak hanya
harus tahu apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukannya,
namun mereka juga harus memiliki kemauan atau kesediaan untuk melaksanakannya.
4) Bureaucratic structures atau struktur birokrasi.
Meskipun sumber daya telah cukup tersedia, implementor tahu apa yang harus
dilakukannya dan mau melakukannya, implementasi masih bisa gagal karena ada
kekurangan dalam struktur birokrasi. Fragmentasi organisasi dapat menghalangi
koordinasi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan secara sukses sebuah kebijakan
yang rumit yang membutuhkan keterlibatan dari banyak orang, juga dapat membuang-
buang sumber daya yang sulit didapatkan, menghalangi perubahan, menciptakan
kebingungan, menyebabkan kebijakan bekerja pada tujuan yang berlawanan dan
menghasilkan beberapa pekerjaan penting terabaikan.
Kerangka pemikiran di atas, dapat peneliti gambarkan melalui bagan sebagai berikut :
36
C. Proposisi
Dari kerangka berpikir yang diuraikan sebelumnya, maka peneliti mengajukan
proposisi sebagai berikut :
1) Implementasi kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung menentukan
bagaimana peranan Staf Ahli Walikota Bandung dalam struktur Pemerintah Kota
Bandung.
Implementasi kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung dipengaruhi oleh faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
Gambar 6 Kerangka Berpikir