Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq
-
Upload
sarah-nabella-putri -
Category
Documents
-
view
253 -
download
1
description
Transcript of Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangDiare adalah kondisi dimana frekuensi buang air besar yang abnormal
(lebih dari 3kali/hari) dengan jumlah (lebih dari 200gr/hari) dan konsistensi cair
yang berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu. Diare menurut WHO
adalah keluarnya tinja yang lunak/cair dengan frekuensi 3x/hari atau lebih dengan
atau tanpa darah atau lendir dalam tinja. Penyakit diare masih menjadi masalah di
negara berkembang seperti indonesia, karena angka morbiditas dan mortalitasnya
yang masih tinggi terutama pada usia balita. Di negara berkembang rata-rata anak
balita mengalami 3-4 kali kejadian diare per tahun tetapi di beberapa tempat
terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-20% waktu hidup
anak dihabiskan untuk diare. (Soebagyo, 2008) Di Indonesia, hasil riset kesehatan
dasar (Riskesdas,2007) menunjukan bahwa diare merupakan penyebab kematian
no 4 (13,2%) pada semua umur sedangkan diare penyebab kematian no 1 pada
bayi postneonatal (31,4%) dan pada anak balita (25,2%). Jumlah kasus diare pada
tahun 2011 di Indonesia, yakni 2.301.242 kasus(Data Profil Kesehatan Indonesia
dari Kementrian Kesehatan, 2011).
Kejadian diare terutama pada balita berhubungan dengan lingkungan,
penjamu, perilaku dan status gizi. Penyakit diare merupakan penyakit yang
berbasis lingkungan yang diantaranya ada beberapa faktor yang memegang
peranan penting yaitu ketidaktersediaanya air bersih, air tercemar tinja,
kekurangan sarana kebersihan, pembuangan tinja yang tidak higienis, kebersihan
lingkungan dan perorangan yang jelek, serta penyimpanan dan penyiapan
makanan yang tidak semestinya (Sander,2005). Apabila faktor lingkungan tidak
sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia
yang tidak sehat pula, maka penularan diare akan sangat mudah terjadi. (Depkes,
2005). Faktor penjamu yang menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap
diare diantaranya ibu tidak memberikan asi selama 2 tahun, ,kurangnya perhatian
ibu, kurang gizi, dan penyakit campak.
1
2
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Winda (2013), diketahui
bahwa adanya hubungan antara sumber air, tempat pembuangan tinja, dan
pekerjaan ibu dengan kejadian diare. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Umiati (2009), diketahui bahwa adanya hubungan antara sumber air minum,
kepemilikan jamban dan jenis lantai rumah dengan kejadian diare.
Rahadi (2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kepemilikan jamban,
saluran pembuangan air limbah, jenis lantai dengan kejadian diare.
Data dari dinas Kesehatan Sumatra Selatan, kejadian diare pada tahun
2009 sebanyak 97.221 balita. Pada tahun 2010 sebanyak 88.144 balita dan pada
tahun 2011 mengalami peningkatan yaitu sebanyak 103.865 balita. Jumlah kasus
diare pada balita setiap tahunnya rata-rata 17,4 persen (Profil Dinas Kesehatan
Sumatra Selatan, 2011). Sedangkan data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang
kejadian diare pada tahun 2011 sebanyak 44.884 balita dan pada tahun 2012
mengalami peningkatan sebanyak 57.576 balita (Laporan Bulanan Dinkes Kota
Palembang, 2012).
Puskesmas Makrayu merupakan puskesmas di kota Palembang yang
berada di kecamatan ilir barat II. Jumlah penderita diare balita di puskesmas
makrayu tahun 2010 sebanyak 725 balita dan mengalami peningkatan pada tahun
2011 sebanyak 910 balita dan mengalami penurunan pad atahun 2012 sebanyak
842 balita, dan juga penyakit diare menduduki urutan ke 3 dari 10 penyakit
terbanyak pada balita di puskesmas makrayu. (Profil Puskesmas Makrayu 2012).
Dari latar belakang di atas yang menunjukan adanya kejadian diare yang
masih tinggi maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai hubungan antara faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi terhadap
kejadian diare pada balita usia 1–4 tahun di Puskesmas Makrayu Palembang.
1.2 Rumusan MasalahApakah ada hubungan antara faktor lingkungan dan faktor
sosiodemografi terhadap kejadian diare pada balita usia 1–4 tahun di
Puskesmas Makrayu Palembang?
3
1.3 Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan Umum
Diketahui ada atau tidaknya hubungan antara faktor lingkungan
dan faktor sosiodemografi terhadap kejadian diare pada balita usia 1–4
tahun di Puskesmas Makrayu Palembang
1.3.2. Tujuan Khusus1. Mengetahui angka kejadian diare balita usia 1–4 tahun di
Puskesmas Makrayu Palembang.
2. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara pekerjaan ibu
dengan diare balita usia 1–4 tahun di Puskesmas Makrayu.
3. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan
ibu dengan diare balita usia 1–4 tahun di di Puskesmas Makrayu.
4. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara kondisi lantai
rumah dengan diare balita usia 1–4 tahun di Puskesmas Makrayu.
5. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara penggunaan
jamban dengan diare balita usia 1–4 tahun di Puskesmas Makrayu.
6. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara sistem
pembuangan air limbah dengan diare balita usia 1–4 tahun di
Puskesmas Makrayu.
7. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tempat
pembuangan sampah dengan diare balita usia 1–4 tahun di
Puskesmas Makrayu.
1.4 HipotesisAdanya hubungan antara faktor lingkungan dan faktor
sosiodemografi terhadap kejadian diare pada balita usia 1–4 tahun di
Puskesmas Makrayu Palembang.
1.5 Manfaat PenelitianDari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1) Masyarakat
4
Memberikan Informasi mengenai hubungan antara kejadian diare
dengan faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi sehingga
masyarakat bisa lebih memperhatikan pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan agar masyarakat bisa meningkatkan lagi
kebersihan lingkungan dan masyarakat bisa melakukan upaya
pencegahan terhadap penyakit diare.
2) Instansi PuskesmasMemberikan informasi bagi petugas kesehatan mengenai hubungan
faktor lingkungan dan sosiodemografi dengan kejadian diare di
Puskesmas Makrayu sehingga dapat dijadikan masukan untuk
memberikan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat
terutama mengenai pentingnya kebersihan lingkungan sebagai salah
satu bentuk pencegahan terhadap penyakit diare.
3) Peneliti Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai hubungan faktor
lingkungan dan faktor sosiodemografi dengan kejadian diare pada
balita dan juga penelitian ini bisa dijadikan acuan untuk penelitian
lebih lanjut.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
5
2.1 Faktor Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh yang dan peranan terbesar diikuti perilaku,
fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi, umumnya
digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan aspek fisik
dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah,
air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial
merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan,
ekonomi, dan sebagainya.
a) Sumber air minum
Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Di
dalam tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air. Tubuh
orang dewasa sekitar 55-60% berat badan terdiri dari air,
untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%.
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain
untuk minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Di
negaranegara berkembang, termasuk Indonesia tiap orang
memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Di antara
kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah
kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan
minum dan masak air harus mempunyai persyaratan khusus
agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia
(Notoatmodjo, 2003).
Sumber air minum utama merupakan salah satu
sarana sanitasi yang tidak kalah pentingnya berkaitan
dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab
diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat
ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau
benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-
jar tangan, dan makanan yang disiapkan dalam panci yang
dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2000).
6
Menurut Slamet (2002) macam-macam sumber air
minum antara lain :
1. Air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan
tanah. Misalnya air sungai, air rawa dan danau.
2. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa disebut air
tanah dangkal atau air tanah dalam. Air dalam tanah adalah
air yang diperoleh pengumpulan air pada lapisan tanah yang
dalam. Misalnya air sumur, air dari mata air.
3. Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti
hujan dan salju.
Menurut Depkes RI (2000), hal - hal yang perlu
diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah :
1. Mengambil air dari sumber air yang bersih.
2. Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih
dan tertutup serta menggunakan gayung khusus untuk
mengambil air.
3. Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh
binatang, anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara
sumber air minum dengan sumber pengotoran seperti
septictank , tempat pembuangan sampah dan air limbah
harus lebih dari 10 meter.
4. Mengunakan air yang direbus.
5. Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang
bersih dan cukup.
b) Jenis Tempat Pembuangan Tinja
7
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting
dari kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak
menurut aturan memudahkan terjadinya penyebaran
penyakit tertentu yang penulurannya melalui tinja antara
lain penyakit diare. Menurut Notoatmodjo (2003), syarat
pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan
adalah :
a. Tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya
b. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya
c. Tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya
d. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai
sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan
vektor penyakit lainnya
e. Tidak menimbulkan bau
f. Pembuatannya murah, dan
g. Mudah digunakan dan dipelihara.
Menurut Entjang (2000), macam-macam tempat
pembuangan tinja, antara lain:
1) Jamban cemplung (Pit latrine)
Jamban cemplung ini sering dijumpai di daerah
pedesaan. Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang
ke dalam tanah dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5
sampai 8 meter. Jamban cemplung tidak boleh terlalu
dalam, karena akan mengotori air tanah dibawahnya. Jarak
dari sumber minum sekurang-kurangnya 15 meter.
2) Jamban air (Water latrine)
Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air
di dalam tanah sebagai tempat pembuangan tinja. Proses
pembusukkanya sama seperti pembusukan tinja dalam air
kali.
8
3) Jamban leher angsa (Angsa latrine)
Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan
selalu terisi air. Fungsi air ini sebagai sumbat sehingga bau
busuk dari kakus tidak tercium. Bila dipakai, tinjanya
tertampung sebentar dan bila disiram air, baru masuk ke
bagian yang menurun untuk masuk ke tempat
penampungannya.
4) Jamban bor (Bored hole latrine)
Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya
ukurannya lebih kecil karena untuk pemakaian yang tidak
lama, misalnya untuk perkampungan sementara.
Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi
pengotoran tanah permukaan (meluap).
5) Jamban keranjang (Bucket latrine)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan
kemudian dibuang di tempat lain, misalnya untuk penderita
yang tak dapat meninggalkan tempat tidur. Sistem jamban
keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar, tidak
di lokasi jambannya, tetapi sepanjang perjalanan ke tempat
pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya
menimbulkan bau.
6) Jamban parit (Trench latrine)
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30 - 40 cm
untuk tempat defaecatie. Tanah galiannya dipakai untuk
menimbunnya. Penggunaan jamban parit sering
mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama
yang berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah,
pemberantasan lalat, dan pencegahan pencapaian tinja oleh
hewan.
7) Jamban empang / gantung (Overhung latrine)
9
Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas
kolam, selokan, kali, rawa dan sebagainya. Kerugiannya
mengotori air permukaan sehingga bibit penyakit yang
terdapat didalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan
air, yang dapat menimbulkan wabah.
8) Jamban kimia (Chemical toilet)
Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi
caustic soda sehingga dihancurkan sekalian didesinfeksi.
Biasanya dipergunakan dalam kendaraan umum misalnya
dalam pesawat udara, dapat pula digunakan dalam rumah.
Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi
syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare
berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat
dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan
membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi
(Wibowo, 2004)
c) Jenis Lantai Rumah
Menurut Notoatmodjo (2003) syarat rumah yang
sehat jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau
dan tidak basah pada musim penghujan. Lantai rumah dapat
terbuat dari: ubin atau semen, kayu, dan tanah yang disiram
kemudian dipadatkan. Lantai yang basah dan berdebu dapat
menimbulkan sarang penyakit. Lantai yang baik adalah
lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan
lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, paling tidak
perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau
keramik yang mudah dibersihkan (Depkes, 2002).
Jenis lantai rumah tinggal mempunyai hubungan
yang bermakna pula dengan kejadian diare pada anak balita.
(Sanropie, 1989).
10
2.2 Faktor Sosiodemografi
Demografi adalah ilmu yang mempelajari persoalan dan keadaan
perubahan-perubahan penduduk yang berhubungan dengan komponen-komponen
perubahan tersebut seperti kelahiran, kematian, migrasi sehingga menghasilkan
suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin tertentu
(Lembaga Demografi FE UI, 2000). Dalam pengertian yang lebih luas, demografi
juga memperhatikan berbagai karakteristik individu maupun kelompok yang
meliputi karakteristik sosial dan demografi, karakteristik pendidikan dan
karakteristik ekonomi. Karakteristik sosial dan demografi meliputi: jenis kelamin,
umur, status perkawinan, dan agama. Karakteristik pendidikan meliputi: tingkat
pendidikan. Karakteristik ekonomi meliputi jenis pekerjaan, status ekonomi dan
pendapatan (Mantra, 2000). Faktor sosiodemografi meliputi tingkat pendidikan
ibu, jenis pekerjaan ibu, dan umur ibu.
a. Tingkat pendidikan
Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam
kesehatan masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah
menjadikan mereka sulit diberi tahu mengenai pentingnya higyene
perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjangkitnya
penyakit menular, diantaranya diare. Dengan sulitnya mereka
menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli terhadap
upaya pencegahan penyakit menular (Sander, 2005). Masyarakat
yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi
pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah
kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Pada
perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah
angka kematian bayi dan kematian ibu (Widyastuti, 2005).
b. Jenis pekerjaan
11
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan
pendapatan, status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko
cedera atau masalah kesehatan dalam suatu kelompok populasi.
Pekerjaan juga merupakan suatu determinan risiko dan determinan
terpapar yang khusus dalam bidang pekerjaan tertentu serta
merupakan prediktor status kesehatan dan kondisi tempat suatu
populasi bekerja (Widyastuti, 2005).
c. Umur ibu
Sifat manusia yang dapat membawa perbedaan pada hasil
suatu penelitian atau yang dapat membantu memastikan hubungan
sebab akibat dalam hal hubungan penyakit, kondisi cidera, penyakit
kronis, dan penyakit lain yang dapat menyengsarakan manusia, umur
merupakan karakter yang memiliki pengaruh paling besar. Umur
mempunyai lebih banyak efek pengganggu daripada yang dimiliki
karakter tunggal lain. Umur merupakan salah satu variabel terkuat
yang dipakai untuk memprediksi perbedaan dalam hal penyakit,
kondisi, dan peristiwa kesehatan, dan karena saling diperbandingkan
maka kekuatan variabel umur menjadi mudah dilihat (Widyastuti,
2005). Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam
penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan
maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan
hubungan dengan umur (Notoatmodjo, 2003).
2.3 Faktor Perilaku
Menurut Depkes RI (2005), faktor perilaku yang dapat menyebabkan
penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah
sebagai berikut :
a) Pemberian ASI Eksklusif
ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Tidak
12
memberikan ASI Eksklusif secara penuh selama 4 sampai 6 bulan.
Pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih
besar dari pada bayi yang diberi ASI penuh dan kemungkinan
menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Pada bayi yang baru
lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali
lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu formula.
b) Penggunaan botol susu
Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh
kuman, karena botol susu susah dibersihkan. Penggunaan botol
untuk susu formula, biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena
diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
c) Kebiasaan cuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan
perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah
mencuci tangan. Mencuci angan dengan sabun, terutama sesudah
buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi
makan anak dan sesudah makan, mempunyai dampak dalam
kejadian diare.
d) Kebiasaan membuang tinja
Membuang tinja (termasuk tinja bayi) harus dilakukan
secara bersih dan benar. Banyak orang beranggapan bahwa tinja
bayi tidaklah berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus
atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja bayi dapat pula menularkan
penyakit pada anak-anak dan orang tuanya.
e) Menggunakan air minum yang tercemar
Air mungkin sudah tercemar dari sumbernya atau pada saat
disimpan dirumah. Pencemaran dirumah dapat terjadi kalau tempat
peyimpanan tidak tertutup atau tangan yang tercemar menyentuh
air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan. Untuk
13
mengurangi risiko terhadap diare yaitu dengan menggunakan air
yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi.
f) Menggunakan jamban
Penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam
penularan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak
mempunyai jamban sebaiknya membuat jamban dan keluarga
harus buang air besar di jamban. Bila tidak mempunyai jamban,
jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar
hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak, tempat anak-anak
bermain dan harus berjarak kurang lebih 10 meter dari sumber air,
serta hindari buang air besar tanpa alas kaki.
2.4. Diare2.4.1. Definisi
Diare menurut WHO adalah buang air besar (defekasi) dalam
bentuk cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam sehari dengan/tanpa
lendir dan darah dalam tinja (WHO, 2009). Diare diartikan sebagai buang
air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi
lebih banyak dari biasanya (IKA FKUI, 1985).
2.4.2. Klasifikasi Diare
Menurut Depkes RI (2000), berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu :
1) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari
(umumnya kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi,
sedangkan dehidrasi adalah penyebab utama kematian bagi
penerita diare.
2) Diare persisten, yaitu diare yang terjadi lebih dari 14hari secara
terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat
badan dan gangguan metabolisme.
14
3) Disentri, yaitu diare yang diserati darah dalam tinjanya. Akibat
disentri adalah anoreksi, penurunan berat badan dengan cepat
dan kemungkinan terjadinya komplikasi pada mukosa.
4) Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare
baik akut, persisten maupun disentri yang di serati dengan
penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit
lainnya.
Klasifikasi diare berdasarkan mekanisme patofisiologinya dibagi
menjadi diare osmotik, diare sekretorik dan diare akibat berkurangnya
motilitas usus. (IKA FKUI, 1985). Sedangkan diare berdasarkan derajat
dehidrasinya dibagi menjadi diare tanpa dehirasi, diare dengan dehidrasi
ringan-sedang, dan diare dengan dehidrasi berat (Kemenkes, 2011).
2.4.3. EtiologiEtiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu
1) Faktor Infeksi
a. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak.
Infeksi enteral ini meliputi :
i. Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella,
Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas
dan sebagainya.
ii. Infeksi virus : Enteroovirus (Virus ECHO,
Coxsackie, Poliomyelitis), Rotavirus,
Adenovirus, Astrovirus dan lain lain sebagainya.
iii. Infeksi Parasit : Cacing (ascaris, Trichiuris)
Protozoa (Entamoeba histolytica, Trichomonas)
dan jamur (Candida albicans).
b. Infeksi Parentral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar saluran
pencernaan, seperti otits media akut, Tonsilofaringitis,
15
Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
2) Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi karbohidrat : Disakarida (intolernsi
laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida
(intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi
dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi
laktosa.
b. Malabsorbsi lemak.
c. Malabsorbsi protein.
3) Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap
makanan.
4) Faktor psikologis : rasa takut dan cemas. Walaupun jarang,
dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih
besar.
2.4.4. Epidemiologi
Penyakit diare merupakan salah satu penyebab utama kesakitan
dan kematian anak di negara berkembang. Di indonesia, angka kesakitan
diare berkisar 200- 400 kejadian per 1000 penduduk setiap tahunnya.
Terdapat sekitar 60 juta kejadian diare setiap tahunnya dan sebagian besar
(70-80%) dari penderita ini adalah anak di bawah umur 5 tahun (sekitar 40
juta kejadian). Kelompok ini setiap tahunnya mengalami lebih dari satu
kejadian diare. Sebagian kecil (1-2%) penderita akan mengalami dehidrasi
dan kalau tidak segera ditolong dapat meninggal. Sebanyak 350.000
sampai 500.000 anak di bawah lima tahun meninggal setiap tahunnya
karena diare. (Noersaid, H dkk, 1988).
16
2.4.5. Cara Penularan dan Faktor Risiko
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal-oral yaitu
melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau
kontak langsung dengan tangan penderita atau barang-barang yang telah
tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat (melalui 5F =
faeces, finger, flies, fluid, field) (Depkes, 2011). Beberapa perilaku dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko
terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan
pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpa makanan
masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak
mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja
anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja
dengan benar. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis
lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan
pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku
manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman
diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu
melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.
2.4.6. Patofisiologi
Diare terjadi akibat akumulasi cairan dan elektrolit dalam tinja
yang dapat disebabkan oleh tiga mekanisme, yaitu mekansime osmotik,
sekretorik, dan sitotoksik. Ketiga mekanisme ini seringkali saling
berkaitan berkaitan pada penyakit diare (Pickering dan Synder, 2000).
Diare osmotik disebabkan oleh meningkatnya tekanan osmotik
intraluminal dari usu halus. Hal ini disebabkan oleh obat-obatan atau zat
kimia yang hiperosmotik, malabsorpsi, dan defek dalam absorpsi mukosa
usus. Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam ususmeningkat sehingga terjadi
17
pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus mengeluarknnya sehingga terjadi diare.
Diare sekretorik terjadi akibat menurunya absorpsi dan
meningkatya sekresi air dan elektrolit dari usus. Salah satu penyebab diare
tipe sekretorik adalah karena rangsangan tertentu misalnya enterotoksin
pada infeksi vibrio chloreae. Enterotoksin merupakan protein yang dapat
menempel pada epitel usus halus. Enterotoksin dapat menyebabkan sekresi
elektrolit dan air dengan merangsang akumulasi cyclic adenosine
monophosphate (c-AMP) di dalam sel mukosa usus halus. Akumulasi c-
AMP akan menghambat absorpsi villus dan memacu sekresi sel kripta
usus.
Diare sitotoksik terjadi akibat kerusakan sel mukosa villus usus
halus karena proses inflamasi, umumnya disebabkan oleh infeksi virus.
Villus akan mengalami atrofi atau memendek sehingga luas permukaan
usus halus berkurang. Hal ini menyebabkan fungsi absorpsi cairan dan
elektrolit oleh permukaan usus menurun. (Simardibta dan Daldiyono,
2000)
2.4.7. Patogenesis
Penyebab terserirng diare pada anak adalah disebabkan oleh
rotavirus. Virus akan masuk kedalam tubuh, kemudian virus akan
menginfeksi sel-sel epitel usus halus dan villus di usus halus. Sel-sel epitel
yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk kuboid
atau epitel gepeng yang belum matanag sehingga fungsinya belum baik.
Villus mengalami atrofi dan tidak bisa menyerap makanan dan cairan
dengan baik. Cairan dan makanan yang tidak tercerna akan terkumpul di
usus halus sehingga terjadi peningkatan osmotik usus. Hal ini
menyebabkan banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan terjadi
hiperperistaltik usus. Cairan dan makanan yang tidak di serap tadi akan
didorong keluar usus melalui anus dan terjadilah diare (Subagyo dan
18
Santoso, 2010). Kebanyakn virus menyebabkan diare yang jarang disertai
demam dan berdarah. (Subagyo dan santoso, 2010)
Enterosit villus sebelah atas usus halus adalah sel-sel yang
terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi penyerapan air dan elektrolit.
Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang berfungsi
sebagai pensekresi air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi virus
selektif sel-sel ujung villus usus akan menyebabkan ketidakseimbangan
rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, sehingga terjaidlah diare
(Subagyo dan Santoso, 2010).
Patogenesis diare karena bakteri dan atau parasit dibagi menjadi
dua yaitu diare karena bakteri non-invasif dan diare karena bakteri/parasit
invasif. Diare karena bakteri non-invasif disebabkan oleh bakteri-bakteri
yang tidak merusak mukosa seperti vibrio cholera, Enterotoxigenic E.Coli,
Clostridium perfringens. Bakteri-bakteri ini akan mengeluarkan
enterotoksin yang dapat menepel pada mukosa usus halus, sehingga
menumbulkan diare seperti air. Diare karena bakteri atau parasif invasif
disebabkan oleh bakteri-bakteri yang merusak mukosa usus seperti
Enteroinvasie E.coli, Salmonella, shigella, Yersinia. Bakteri-bakteri ini
akan menginvasi ke dalam epitel sel mukosa usus, berkembang biak, dan
mengeluarkan eksotoksin sehingga menyebabkan kerusakn pada dinding
usus berupa nekrosis dan ulserasi. Penderita biasanya mengalami diare
yamg disertai darah dan lendir (Simardibrata dan Daldiyono, 2009).
2.4.8. Diagnosis
1. Anamesis
Anamesis dilakukan untuk mengetahui riwayat perjalanan
penyakit pada pasien. Riwayat perjalanan penyakit yang harus
ditanyakan adalah lama diare, frekuensi diare, volume tinja setiap
defekasi, konsistensi tinja, warna, bau tinja, ada atau tidak lendir
dan atau darah. Bila disertai dengan muntah, tanyakan volume
dan frekuensinya. Tanyakan juga buang air kecilnya berkurang,
19
jarang atau tidak buang air kecil dalam 6-8 jam terakhir kemudian
kapan terakhir kali menangis, hal ini berguna untuk menilai
derajat dehidrasi dari pasien itu sendiri. Makanan dan minuman
apa yang di berikan selama diare, demam atau penyakit lain yang
menyertai kejadian diare seperti batuk, pilek, campak.
Penanganan yang telah dilakukan ibu atau pihak keluarga
selama anak mengalami diare seperti memberikan oralit, sudah
pernah membawa berobat sebelumnya, dan obat-obatan apa saja
yang pernah di berikan. (Subagyo, 2010)
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, seperti
berat badan, suhu tubuh, denyut jantung, pernapasan serta
tekanan darah. Kemudia harus di cari tanda-tanda dehidrasi
seperti kesadaran, turgor, rasa haus, mata dan ubun-ubun cekung
atau tidak, bibir, mukosa mulut, lidah kering.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak selalu dilakukan untuk
menegakan diagnosis pada penyakit diare. Ada beberapa
pemeriksaan lab yang terkadang diperlukan untuk mengetahui
etiologi atau penyebab dari diare itu sendiri seperti pemeriksaan
darah ataupun tinja. Pemeriksaan darah biasanya banyak
diperlukan untuk pasien diare yang persisten atau berulang
sedangkan pemeriksaan tinja seperti kultur tinja, makroskopis,
mikroskopis bertujuan untuk mengidentifikasi mikroorganisme
spesifik penyebab diare yang bertujuan untuk terapi yang spesifik
pula terhadap penyebab dari diare tersebut.
Diagnosis diare juga bisa ditegakan dengan menggunakan
alur diagnosis MTBS (manajemen terpadu balita sakit) (Depkes
20
RI, 2008). Alur diagnosis diare berdasarkan MTBS bisa dilihat
pada Gambar 3.
GAMBAR 3.Alur Diagnosis Diare berdasarkan MTBS
Sumber : Depkes RI 2008
2.4.9. Manifestasi Klinis
Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita yaitu:
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu
badannya pun meninggi.
b. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan
empedu.
21
d. Anusnya lecet.
e. Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang.
f. Muntah sebelum atau sesudah diare.
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).
h. Dehidrasi
Penilaian derajat dehidrasi bisa dengan menggunakan
beberapa cara diantaranya menggunakan penilaian Program
Pemberantasan Penyakit Diare (P2D) dan atau menggunakan
Maurice King Score. Program Pemberantasan Penyakit Diare
(P2D) menentapkan cara sederhana untuk menilai tanda-tanda dan
derajat dehidrasi seperti yang tercantum dalam tabel 2.
TABEL 2.Penilaian Derajat Dehidrasi dan Rencana Pengobatanmya menurut
P2 DiareNo Penilaian A B C1 LIHAT
2. Keadaan Umum
3. Mata
4. Rasa haus
Baik, sadar
Normal
Minum biasa, tidak haus
Gelisah, rewel
Cekung
Haus, ingin minum banyak
Lesu atau tidak sadar.Sangat cekung dan keringMalas minum/ tidak bisa minum.
2 PERIKSA Turgor Kulit
Kembali Cepat
Kembali lambat(1-2detik)
Kembali sangat lambat
3 DERAJAT DEHIDRASI
Tanpa dehidrasi
Dehidrasi ringan/sedang
Dehidrasi berat
4 RENCANA TERAPI A B CSumber: Kemenkes RI 2011
22
TABEL 3.
Maurice King Score
Bagian tubuh
yang diperiksa
Nilai untuk gejala yang ditemukan
0 1 2
Keadaan umum Sehat Gelisah,
cengeng,
apatis, ngantuk
Mengigau,
koma atau syok
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kering dan
sianosis
Denyut
nadi/menit
Kuat < 120 Sedang (120-
140)
Lemah > 140
Catatan :
- Untuk menentukan kekenyalan kulit, kulit perut ‘dijepit’ antara
ibu jari dan telunjuk selama 30-60 detik, kemudian di lepas. Jika
kulit kembali normal dalam waktu :
1 detik : turgor agak kurang (dehidrasi ringan)
1-2 detik : tugor kurang (dehidrasi sedang)
2 detik : tugor sangat kurang (dehidrasi berat)
- Berdasarkan skor yang terdapat pada seorang penderita dapat
ditentukan derajat dehidrasinya :
Jika mendapat nilai 0-2 : dehidrasi ringan
Jika mendapat nilai 3-6 : dehidrasi sedang
Jika mendapat nilai 7-12 : dehidrasi berat
(Nilai/gejala tersebut adalah gejala/nilai yang terlihat pada
dehidrasi isotonik dan hipotonik dan keadaan dehidrasi yang
paling terdapat, masing-masing 77,8% dan 9,5%).
23
- Pada anak-anak dengan ubun-ubun besar sudah menutup, nilai
untuk ubun-ubun besar diganti dengan banyaknya/frekuensi
kencing.
2.4.10. Penentuan Rencana Pengobatan
1) Rencana Pengobatan A
Rencana pengobatan ini digunakan untuk mengatasi
diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi di rumah dan
memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi.
Beberapa cara terapi dasar yang bisa dilakukan untuk
bayi di rumah yaitu :
a. Beri banyak cairan untuk mencegah dehidrasi.
b. Beri anak makan untuk mencegah kurang gizi.
ASI diteruskan.
Bila anak tidak mendapat ASI berikan susu
yang biasa diberikan
Untuk anak kurang dari 6 bulan dan belum
mendapat makanan padat , dapat diberikan
susu.
Bila anak 6 bulan atau lebih atau telah
mendapat makanan padat :
o Berikan bubur bila mungkin
dicampur dengan kacang-kacangan,
sayur, daging atau ikan. Tmbahkan 1
atau 2 sendok the minyak sayur tiap
porsi.
o Berikan sari buah segar atau pisang
halus untuk menanbahkan kalium.
24
o Berikan makanan yang segar masak
dan haluskan atau tumbuk makanan
dengan baik.
o Bujuk anak untuk makan, berikan
makanan sedikitnya 6 kali sehari
o Berikan makanan yang sama setelah
diare berhenti, dan diberikan porsi
makanan tambahan setiap hari
selama 2 minggu.
c. Bawa anak kepada petugas kesehatan bila anak
tidak membaik. Dalam 3 hari atau menderita
sebagai berikut :
Buang air besar cair lebih sering
Muntah berulang-ulang
Rasa haus yang nyatak
Makan atau minum sedikit
Demam
Tinja berdarah
2) Rencana Pengobatan B
Rencana pengobatan ini digunakan sebagai pilihan
terapi pada diare dengan dehidrasi ringan-sedang. Tugas utama
rencana pengobatan B adalah :
a. Memperkirakan jumlah larutan oralit yang diberikan
dalam 3-4jam dehidrasi.
b. Memperlihatkan kepada ibu bagaimana larutan
elektrolit.
c. Meneruskan pemberian ASI dan memberikan cairan lain
yang dibutuhkan.
25
d. Memantau pengobtan dan menilai kembali anak secara
periodik sampai rehidrasi sempurna.
e. Memberi instruksi untuk meneruskan pengobatan di
rumah sesudah mengikuti rencana pengobatan A.
TABEL 4. Jumlah Oralit yang Diberikan pada 3jam Pertama Umur < 1 tahun 1 – 4 tahun > 5 tahun Dewasa
Jumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 m 2400ml
Sumber : Depkes RI (2008)
Hal-hal yang harus diperhatikan ketika pengobatan :
a. ASI diteruskan.
b. Untuk bayi dibawah 6 bulan yang tidak mendapat
asi berikan juga 100 200 ml air masak selama masa
ini.
c. Bila anak muntah tunggu 10 menit dan kemudian
teruskan pemberian oralit tetapi lebih lambat,
misalnya sesendok tiap 2 –3 menit.
d. Bila kelopak mata anak bengkak hentikan
pemberian oralit dan air masak atau asi beri Oralit
sesuai rencana tetapi a bila pembengkakan telah
hilang Setelah 3-4 jam nilai kembali anak
menggunakan bagan penilaian kemudian pilih
rencana terapi a , b atau c untuk melanjutkan terapi.
e. Bila tidak ada dehidrasi , ganti ke rencana terapi a,
bila dehidras telah hilang anak biasanya kemudian
mengantuk dan tidur.
f. Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang
ulang rencana terap b , tetapi tawarkan makanan
susu dan sari buah seperti rencana terapi a.
26
g. Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat ganti
dengan rencana terapi c.
3) Rencana Pengobatan C
Rencana pengobatan ini digunakan sebagai pilihan
terapi pada diare dengan dehidrasi berat. Mulai diberi cairan IV
segera. Bila penderita bisa minum, berikan oralit sewaktu
cairan I.V dimulai. Beri 100 ml/kg Ringer laklat ( atau cairan
normal selain bila ringer laktat tidak tersedia ) pemberian
cairan dibagi sebagai berikut :
TABEL 5.Pembagian Pemberian Cairan IV.
Umur Pemberian Pertama30ml/kg selama :
Pemberian Berikut70ml/kg selama :
Bayi(< 1 tahun)
1 jam 5 jam
Anak(1 – 5 tahun)
½ jam – 1 jam 2 ½ jam – 3 jam
Sumber : Depkes RI (2008)
Hal-hal yang harus diperhatikan ketika pengobatan :
a) Diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah atau tidak
teraba.
b) Nilai kembali penderita tiap 1-2 jam .Bila rehidrasi
belum.
c) Tercapai pencepat tatasan Intravena.
d) Juga berikan oralit (5ml/kg/jam),bila penderita bisa
minum, biasanya setelah 3-4 jam ( bayi)atau 1-2(anak).
e) Setelah 6jam (bayi) atau 3 jam (anak) nilai lagi
penderita mengunakan Tabel Pernilaian.
f) Kemudian pilihlah rencana terapi yang sesuai (A,B atau
C ) untuk melanjutkan terapi.
27
2.4.11. Pencegahan Diare
Pencegahan diare bisa dengan menggunakan berbagai upaya,
kebanyakan penularana diare terjadi melalui fecal-oral maka pencegahan
harus difokuskan pada cara penyebaran ini. Berbagai upaya tersebut antara
lain :
1. Pemberian ASI eksklusif (berikan ASI sampai usia bayi 6
bulan, bahkan lebih baik lagi 2 tahun
2. Menghindari penggunaan susu botol
3. Memperbaiki cara penyiapan dan penyimpanan makanana
pendampin ASI
4. Penggunaan air bersih
5. Mencuci tangan dengan sabun baik sesudah buang air besar
dan membuang feces bayi sebelum menyiapkan makanan
atau saat makan.
6. Membuang Feces dengan benar(termasuk feces bayi).
7. Menjaga kebershian lingkungan, terutama lingkungan
rumah.
2.4.12. Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak,
dapat terjadi berbagai macam komplikasi (IKA FKUI, 1985) :
a) Dehidrasi (ringan,sedang, berat, hipotonik, isotonik atau
hipertonik)
b) Renjatan Hipovolemik
c) Hipokalemia
d) Hipoglikemia
e) Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi
enzim laktase karena kerusakan vili mukosa usus halus.
f) Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik
g) Malnutrisi energi protein.
28
2.3 Kerangka Teori
DIARE
Faktor sosiodemografiFaktor lingkungan Faktor prilaku
a. Sumber air minumb. Jenis tempat
pembuangan tinjac. Jenis lantai rumah
a. Tingkat pendidikan ibu
b. Jenis pekerjaan ibu
c. Umur ibu
a. Pemberian ASI eksklusif
b. Penggunaan botol susu
c. Kebiasaan cuci tangan
d. Kebiasaan membuang tinja
e. Menggunakan air yang tercemar
f. Menggunakan jamban
29
30
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain case control.
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan september tahun 2013 sampai desember 2013 di puskesmas makrayu, kecamtan ilir barat II palembang
Populasi dan sampel
Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu-ibu yang memiliki balita usia 1-4 tahun yang mendapatkan pelayanan di puskesmas makrayu dan bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas makrayu.
Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian ibu-ibu yang memiliki balita usia 1-4 tahun yang mendapatkan pelayanan di puskesmas makrayu dan bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas makrayu.
Besar sampel :
Besarnya sampel yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus :
n=( z1−α /2√2 P̄ (1−P̄)+z1−β √P1 (1−P1 )+P2(1−P2 ))
2
( P1−P2 )2
n=( z1−α /2√2 P̄ (1−P̄)+z1−β √P1 (1−P1 )+P2(1−P2 ))
2
( P1−P2 )2
31
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi
a. Ibu-ibu yang mempunyai anak balita usia 1-4tahun yang berkujung ke puskesmas makrayu
b. Ibu-ibu yang bersedia menjadi respondenc. Ibu-ibu yang tinggal di wilayah kerja puskesmas makrayud. Balita yang mengalami diare 2 minggu terakhir
Eksklusia. Ibu-ibu yang tidak bersedia menjadi respondenb. Ibu-ibu yang tidak bertempat tinggal di wilayah kerja
puskesmas makrayuc. Ibu-ibu yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik, seperti bisu
dan tulid. Balita yang mengalami penyakit berat, misal gizi buruk.
Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini secara purposive sampling. Jadi ibua yang mempunyai balita yang datang ke puskesmas makrayu palembang pada saat pengambilan data dan memnuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam sampel penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.
Variabel penelitian
Dependen
Kejadian diare pada balita di puskesmas makrayu palembang pada bulan september – desember 2013
Independen
Faktor lingkungan yang dalam hal ini kondisi lantai rumah, penggunaan jamban, sistem pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah dan faktor sosiodemografi yang diantaranya tingkat pendidikan ibu serta pekerjaan ibu.
Definisi oprasional
1. Kejadian diare
32
Definisi : Kondisi dimana frekuensi buang air besar yang lebih dari 3kali/hari dengan jumlah lebih dari 200gr/hari dan konsistensi cair yang berlangsung selama kurang dari dua minggu dengan atau tidak disertai darah yang terjadi dua minggu terakhir
Cara ukur : wawancara
Alat ukur ; kuesioner
Hasil ukur ; 1. Diare
2. Tidak Diare
Skala ukur : Nominal
2. Jenis lantai rumah
Definisi : bahan pembuat lantai rumah. Dengan kriteria :a. Kayu atau bambub. Semenc. Kramik
Alat ukur : kuesioner
Hasil ukur ; ???
Skala ukur ; nominal
3. Jenis Jamban
Definisi : berbagai macam tempat buang air besar yang setiap hari digunakan oleh keluarga termasuk balita untuk membuang tinja. Di bagi menjadi beberapa kriteria yaitu :1. Apakah milik sendiri ? atau2. Milik bersama (umum) ?
Dengan berbagai tipea. Sungai atau sembarang tempatb. Jamban cemplung, jamban ini adalah jamban yang tidak memiliki
tangki septicc. Jamban leher angsa, jamban ini adalah jamban yang memiliki tangki
septic.
Jika, milik sendiri mendaptkan skor 2 jika milik umum 1. Kemudian jika menggunakan sungai atau disembarang tempat mendapatkan skor
33
1 jika menggunakan jamban cemplung skor 2 jika menggunakan jamban leher angsa skor 3.Jika total skor 5 termasuk jamban sehat, jika mendapatkan skor <5 termasuk jamban tidak sehat.Alat ukur : kuesionerHasil ukur : 1. Jamban sehat
2. Jamban tidak sehat
Skala ukur : nominal
4. Sistem pembuangan air limbah
Definisi : sistem atau cara yang digunakan untuk membuang air sisa kegiatan rumah tangga sehari-hari. Dengan kriteria :
a. dibawah rumah
b. disalurkan keparit-parit
dikelompokan menjadi saluran pembuangan yang baik yaitu disalurkan ke parit-patit atau yang tidak baik yang di buang di bawah rumah
alat ukur : kuesioner
hasil ukur : a. saluran pembuangan baik
b. saluran pembuangan tidak baik.
Skala ukur ; nominal
5. Pengelolaan sampah
Definis : sistem atau cara yang digunakan untuk membuang sampah sisa kegiatan rumah tangga sehari-hari. Dengan kriteria :
a. dikumpulkan di tempat sampah dan di ambil oleh petugas kebersihan
b. dibakar
c. dibuang sembarang tempat
dikelompokkan menjadi ???????
alat ukur : kuesioner
hasil ukur : ???????
34
skala ukur : nominal
6. Tingkat pendidikan ibu
Definisi : Pendidikan formal terkahir ibu yang sedang atau pernah di capai oleh orang yang bersangkutan.
Dengan kriteria :
a. tidak sekolah
b. sd
c. smp dan sederajat
d. sma dan sederajat
e. perguruan tinggi
dikelompokan menjadi tingkat pendidikan rendah, sedang dan tinggi
alat ukur : kuesioner
hasil ukur : tingkat pendidikan rendah
tingkat pendidikan sedang
tingkat pedidikan tinggi
skala ukur : nominal
7. Pekerjaan Ibu
Definisi : Kegiatan ibu yang dilakukan sehari-hari.
Alat ukur : kuesioner
Hasil ukur : a. Bekrja
b. tidak bekerja
Skala ukur : nominal