BAB I
description
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Batu saluran kemih merupakan massa keras seperti batu yang terbentuk
di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan,
penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu saluran kemih dapat ditemukan
sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-
buli dan ureter. Batu ginjal (nefrolitiasis) adalah batu yang terbentuk di tubuli
ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan
bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu saluran
kemih yang paling sering terjadi.
Kolik ginjal akut merupakan salah satu gejala yang tersering dialami
pasien. Kolik ginjal mempengaruhi sekitar 1,2 juta orang setiap tahun dan
menyumbang sekitar 1% dari semua pasien yang datang ke rumah sakit di
Amerika Serikat.
Meskipun nefrolitiasis bukanlah penyebab umum dari gagal ginjal tetapi
merupakan salah satu risiko dari kerusakan ginjal. Penanganan awal dan
deteksi yang yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi tersebut.
I.2. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan laporan ini adalah untuk
mengetahui gambaran radiologi dari salah seorang pasien serta mempelajari
kondisi pasien dari awal terjadinya penyakit hingga post diberikan terapi.
I.3. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan laporan ini adalah untuk
mempersiapkan para calon dokter untuk menangani pasien di lapangan.
Disamping itu, penulisan laporan ini juga dapat dijadikan sebagai pemelatih
skill berkomunikasi baik verbal maupun non-verbal.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Merupakan suatu penyakit yang salah satu gejalanya adalah pembentukan batu di dalam ginjal.
Gambar 1. Batu Ginjal
II.2 ETIOLOGI
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologik terdapat beberapa faktor yang mempermudah terbentuknya batu
pada saluran kemih pada seseorang. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh orang itu sendiri dan faktor ekstrinsik yaitu
pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.Faktor intrinsik antara lain :
1. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
2. Umur : penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :
1. Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
saluran kemih yang lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga dikenal
sebagai daerah stonebelt.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi.
4. Diet : Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya
batu.
5. Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atau sedentary life.
II.3 EPIDEMIOLOGI
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.
II.4 EFEK BATU PADA SALURAN KEMIH
Ukuran dan letak batu biasanya menentukan perubahan patologis yang terjadi pada traktus urinarius : a. Pada ginjal yang terkena
· Obstruksi
· Infeksi
· Epitel pelvis dan calis ginja menjadi tipis dan rapuh.
· Iskemia parenkim.
· Metaplasia
b. Pada ginjal yang berlawanan
· Compensatory hypertrophy
· Dapat menjadi bilateral
II.5 GAMBARAN KLINIS
Batu ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada penderita batu ginjal antara lain :
1. Tidak ada gejala atau tanda
2. Nyeri pinggang, sisi, atau sudut kostovertebral
3. Hematuria makroskopik atau mikroskopik
4. Pielonefritis dan/atau sistitis
5. Pernah mengeluarkan baru kecil ketika kencing
6. Nyeri tekan kostovertebral
7. Batu tampak pada pemeriksaan pencitraan
8. Gangguan faal ginjal.
II.6 DIAGNOSIS
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis,
penyakit batu ginjal perlu didukung dengan pemeriksaan radiologik,
laboratorium, dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya
obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal.
A. Anamnesis
Anamnesa harus dilakukan secara menyeluruh. Keluhan nyeri harus dikejar mengenai onset kejadian, karakteristik nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang dapat membuat bertambahnya nyeri ataupun berkurangnya nyeri, riwayat muntah, gross hematuria, dan riwayat nyeri yang sama sebelumnya. Penderita dengan riwayat batu sebelumnya sering mempunyai tipe nyeri yang sama.
B. Pemeriksaan Fisik
· Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, dapat disertai takikardi,
berkeringat, dan nausea.
· Masa pada abdomen dapat dipalpasi pada penderita dengan obstruksi
berat atau dengan hidronefrosis.
· Bisa didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra, tanda gagal
ginjal dan retensi urin.
· Demam, hipertensi, dan vasodilatasi kutaneus dapat ditemukan pada pasien dengan urosepsis.
C. Pemeriksaan penunjang
1. Radiologi
USG Ginjal
Untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.
Gambar 2. USG nefrolithiasis
Foto Polos Abdomen
Menunjukan adanya batu didalam kandung kemih yang
abnormal, menunjukkan adanya calculi atau perubahan
anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
Gambar 3. Foto polos abdomen
IVP (Intra Venous Pyelografi )
Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih,
membedakan derajat obstruksi kandung kemih divertikuli
kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih
dan memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab
nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada
struktur anatomik (distensi ureter).
Gambar 4. Intravenous Pielografi
Pielogram retrograd
Pielogram retrograd kadang diperlukan jika detail sistem
pelvicalyces dan ureter tidak tergambar dengan jelas
menggunakan kontras intravena, terutama jika terdapat
kecurigaan adanya tumor epitel pada saluran kemih. Pada
pemeriksaan ini, sebuah kateter dimasukkan ke dalam ureter
setelah dilakukan sistoskopi; kemudian kontras disuntikkan
melalui kateter dan akan menggambarkan sistempelvicalyces
dan ureter
Gambar 5. Pielogram retrograd
Pielogram antegrad
Jika pielogram retrograd tidak mungkin dilakukan (misalnya
setelah sistektomi), sebuah jarum berukuran kecil, dibawah
pengaruh anestesi, dapat dimasukkan ke dalam system
pelvicalyces dan kemudian dilakukan penyuntikan kontras
untuk memvisualisasi calyces, pelvis dan ureter.
Gambar 6. Pielogram antegrad
PENATALAKSANAAN
1. Terapi medis dan simtomatik
Terapi medis berusaha untuk mengeluarkan batu atau melarutkan batu. Terapi
simtomatik berusaha untuk menghilangkan nyeri. Selain itu dapat diberikan minum
yang berlebihan/ banyak dan pemberian diuretik.
2. Litotripsi
Pada batu ginjal, litotripsi dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk
membawa tranduser melalui sonde kebatu yang ada di ginjal. Cara ini disebut
nefrolitotripsi. Salah satu alternatif tindakan yang paling sering dilakukan adalah
ESWL. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) yang adalah tindakan
memecahkan batu ginjal dari luar tubuh dengan menggunakan gelombang kejut.
3. Tindakan bedah
Tindakan bedah dilakukan jika tidak tersedia alat litotripsor, alat gelombang kejut,
atau bila cara non-bedah tidak berhasil.
Benigna Prostat Hiperplasia
I. DEFINISI
Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana
kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran
kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang
biasanya pada usia pertengahan atau lanjut.
Gambar 7. Benign Prostat Hyperplasia
II. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua) . Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak
adalah : (1) Teori Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara
estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)
Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori Stem sel.5
a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk
dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada
inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal. 5
b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara
estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone
menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar. 5
c. Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan
sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma. 5
d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen
berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat.1
b. Teori stem cell
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa
pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan
epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di
dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel
aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel
aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara
mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan
berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
III. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron, yang
di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit
aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang
memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli- buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatimus. 5
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter
ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi
refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal. 5
IV. MANIFESTAS KLINIK
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :Obstruksi Iritasi
· Hesistansi
· Pancaran miksi lemah
· Intermitensi
· Miksi tidak puas
· Distensi abdomen
· Terminal dribbling (menetes)
· Volume urine menurun
· Mengejan saat berkemih
· Frekuensi
· Nokturi
· Urgensi
· Disuria
Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat HiperplasiaManifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia
prostat masih tergantung tiga faktor, yaitu:
· Volume kelenjar periuretral
· Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
· Kekuatan kontraksi otot detrusor
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli
untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami
kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara
lain :
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/ infeksi prostat)
3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α)
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan
pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat
beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring
System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological
Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta
untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan
skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19
sedang, dan 20-35 berat.
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi
antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam
(infeksi/ urosepsis).
c. Gejala di luar saluran kemih
Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti
penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena
sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intra abdominal.
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
(Brunner & Suddarth, 2001). Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi
4 gradiasi, yaitu:
· Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE
(colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine
kurang dari 50 ml.
· Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1,
prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa
urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
· Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba
lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml.
· Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.
V. PEMERIKSAAN FISIK
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu
menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.
1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat
memberikangambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya
kelainan lain sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
Adakah asimetri
Adakah nodul pada prostat
Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih
dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.
Gambar 4. Pemeriksaan Colok DuburPada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal,
permukaan licin dan konsistensi kenyal.12 Pemeriksaan fisik apabila
sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang
ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan
massa supra pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal
harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia
eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis,
condiloma di daerah meatus1.
2) Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah
sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur
urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk
indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.Derajat berat
obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu
miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-
rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik.
Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik,
sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit,
leukosit, bakteri, protein atau glukosa.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk
insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid
residu (PVR) yang tinggi.
d. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik)
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia
Gambar 7. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat
Hiperplasia
3. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:
a. Foto polos
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi
urine
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di
prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar
prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah
yang abnormal tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar
USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai.
Jarum mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk
pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy terutama dilakukan untuk
pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :
· Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata
area horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
· Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi
(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan
rumus : ½ (H x W x L)
c. Sistoskopi
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah
solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang.
Tabung, disebut sebuah “cystoscope” , berisi lensa dan sistem cahaya
yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung
kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran
kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.
Gambar 8. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia
d. Ultrasonografi trans abdominal
· Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic
dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung
menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan
hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical capsule”.
· USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH
yang lama.
Gambar 7. Gambaran Sonografi Prostat Normal
Gambar 8. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia
e.Sistografi buli
Gambar 9.Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan
Benigna Prostat Hiperplasia
NEFROKALSINOSIS
Nefrokalsinosis didefiniskan sebagai peningkatan kadar kalsium ginjal,
paling sering disebabkan oleh hiperkalsemia dan hiperkalsiuria, yang
menyebabkan deposisi kalsium di parenkim ginjal (nefrokalsinosis kortikal) atau
piramida medula (nefrokalsinosis medular). Nefrokalsinosis tipe kortikal sering
disebabkan oleh nekrosis tubular akut (NTA), sedangkan tipe medular merupakan
perluasan dari nefrokalsinosis kortikal atau kelainan tersendiri akibat gangguan
metabolik.
Gambaran Radiologis
Mayoritas kasus nefrokalsinosis bersifat asimtomatik dan teridentifikasi dengan
pemeriksaan radiologi. Nefrokalsinosis medular terlihat oleh ultrasonografi
sebagai gambaran ekogenik pada piramida sebelum nefrokalsinosis dapat
dideteksi dengan foto polos abdomen. Kalsifikasi ginjal pada nefrokalsinosis
dapat terlihat pada foto polos dan CT Scan abdomen berupa daerah radioopak
yang melapisi piramida medula atau di dalam parenkim ginjal. Kalsifikasi pada
gambaran ultrasonografi berupa daerah hiperekoik, biasanya di dalam piramida
medula. Sebagian besar nefrokalsinosis adalah sistemik, maka kalsifikasi biasanya
bilateral.
Foto Polos
Deteksi dengan foto polos dapat dilakukan jika kadar terkumpul dalam parenkim
ginjal telah mencapai 100 HU. Gambaran kalsifikasi juga tergantung pada ukuran
batu (< 2 mm jarang terdeteksi), resolusi spasial teknik perekaman, dan faktor
kontras.
Computed Tomography Scan (CT Scan)
Pemeriksaan CT Scan dianggap sebagai modalitas paling sensitif untuk
mendiagnosis nefrokalsinosis. Pemeriksaan ini dapat mengetahui nefrokalsinosis
radiografi yang menggambarkan ginjal dengan kalsifikasi piramida bilateral, yang konsisten dengan nefrokalsinosis, kemungkinan besar hiperparatiroidisme.
pada tahap paling awal, memberikan gambaran densitas yang jelas, dan ukuran
luasnya nefrokalsinosis, serta mampu membedakan dengan kista ginjal.
Pemeriksaan ini juga sensitif untuk mendeteksi nefrokalsinosis akibat
hiperoksaluria dan hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme.
Gambar-gambar ini menunjukkan nefrokalsinosis medula bilateral
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI jarang digunakan untuk mendiagnosis nefrokalsinosis karena
tidak mampu membedakan deposit kalsium.
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG memberikan gambaran ekogenik pada sudut-sudut piramida
ginjal dan ekolusen pada pusat piramida. Piramida ginjal terlihat baik sebagai
gambaran melingkar atau struktur ekogenik. Gambaran ini dapat dilihat oleh USG
sebelum terlihat oleh foto polos. Kalsifikasi di korteks menyebabkan
meningkatnya ekogenitas kortikal dengan bayangan lengkap pada kasus berat.
Fibrosis piramida ginjal memberikan gambaran ekogenik.
Pemeriksaan USG juga bisa menimbulkan positif/negatif palsu pada infark
ginjal kronik, angiomiolipoma, hemangioma, onkositoma, dan keganasan
(karsinoma sel ginjal, sarkoma, metastasis).
(Gambar ini menunjukkan medulla hyperechoic terkait dengan fokus echogenic, Sebuah medulla hyperechoic
juga dapat dilihat dalam kondisi yang menyebabkan hyperuricemia dan hipokalemia)
KISTA GINJAL
Definisi
Kista berasal dari kata Cystic yang berarti rongga tertutup abnormal,
dilapisi epitel yang mengandung cairan atau bahan semisolid. Kista ginjal adalah
kista yang terdapat pada ginjal. Kista ginjal adalah struktur berisi cairan di dalam
atau di tepi ginjal. Ginjal merupakan salah satu lokasi tersering terjadinya kista
pada tubuh. Meskipun lesi kista memiliki kondisi histologis yang serupa
( mikroskopik atau makroskopik, kantung dilapisi epitel), namun jumlah, lokasi,
dan gambaran klinisnya kista berbeda.
Pemeriksaan penunjang.
Ultrasonografi ginjal
Unltasonografi ginjal merupakan suatu teknik pemeriksaan noninvasive yang memiliki tujuan untuk mengetahui ukuran dari ginjal dan kista. Selain itu juga dapat terlihat gambaran dari cairan yang terdapat dalam cavitas karena pantulan yang ditimbulkan oleh cairan yang mengisi kista akan memberi tampilan berupa struktur yang padat.
Ultrasonografi ginjal dapat juga digunakan untuk melakukan screening terhadap keturuan dan anggota keluarga yang lebih mudah untuk memastikan apakah ada atau tidaknya kista ginjal yang gejalanya tidak terlihat (asymptomatic)
MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) lebih sensitif dan dapat mengidentifikasi kistik ginjal yang memiliki ukuran diameter 3 mm seperti pada lampiran MRI dilakukan untuk melakukan screening pada pasien polikistik ginjal autosomal dominan (ADPKD) yang anggota keluarganya memiliki riwayat aneurisma atau stroke
Computed tomography (CT)
Sensitifitasnya sama dengan MRI tetapi CT menggunakan media kontrasBiopsi
Biopsi ginjal ini tidak dilakukan seecara rutin dan dilakukan jika diagnosis tidak dapat ditegagkan dengan pencitraan yang telah dilakukan
PROSTATITISDEFINISI.
Prostatitis adalah infeksi atau perdangan pada kelenjar prostat yang
memperlihatkan beragam sindrom klinis dengan berbagi bentuk. Isitilah
prostattitis didifinisikan sebagai peradangan mikroskopik dari jaringan kelenjar
prostat, yang menacakup berbagai kondisi klinis.
Manifestasi Klinis.A. Anamnesis.
1. Prostatitis Bakteri Akut.
o Demam.
o Panas Dingin.
o Rasa Tidak Enak.
o Arthralgias.
o Mialgia.
o Nyeri perirenal Prostat.
o Disuria.
o Gejala Obstruksi saluran kencing, termasuk frekuensi,
urgensi, disuria, nokturia, aliran lemah, dan rasa tidak puas
berkemih.
o Nyeri Pinggang dan Nyeri perut sedikit.
Pada pemeriksaan fisis dengan colok dubur, prostat teraba bengkak,
hangat dan nyeri (pada keadaan ini tidak diperkenankan melakukan
masase prostat untuk mengeluarkan getah kelenjar prostat karena dapat
manimbulkan rasa sakit dan akan memacu terjadinya bakteremia, bahkan
bila tidak tertangani secara tepat dapat menimbulkan abses prostat atau
menimbulkan urosepsis)
2. Prostatitis Kronis Bakteri
o Intermiten disuria
o Infeksi saluran kemih berulang.
o Biasanya tidak ada gejala sistemik.
o Gejala Obstruksi intermiten dari saluran kencing.
o Nyeri saat ejakulasi atau hematospermi.
Pada pemeriksaan colok dubur ( DRE ) mungkin teraba krepitasi
yang merupakan tanda dari suatu kalkulosa prostat.
3. Prostatatitis Kronis dan Sindrom Nyeri Pelvik Kronis.
o Panggul terasa sakit dan ketidak nyamanan di daerah
perineum, suprapubik, coccygeal, uretra, dan testis selama
lebih dari 3 – 6 bulan sebelumnya.
o Gejala obstruksi saluran kencing, termasuk frekuensi,
disuria, dan rasa tidak puas berkemih.
o Sakit saat ejakulasi
o Disfungsi ereksi.
4. Asymtomatic Prostatitis Inflamsi.
o Tidak terdapat gejala dan tanda dari suatu prostatitis.
o Adanya proses inflamasi pada prostat diketahui dari
spesimen yang kemungkinan didapat dari cairan semen
pada saat analisis semen dan jaringan prostat yang
didapatkan pada biopsy maupun pada saat operasi prostat
o Sebagian besar prostatitis yang tanpa menunjukkan gejala
seperti pada kategori ini tidak memerlukan terapi, tetapi
didapatkannya sel-sel inflamasi pada analisis semen seorang
pria yang mandul perlu mendapatkan terapi antibiotik
Pemeriksaan Laboratorium.
1. Hitung Darah Lengkap, cultur darah merupakan indikasi untuk casus dari
pasien keracunan akut atau curigai septicemia.
2. Urine, untuk mendapatkan nilai kuantitatif untuk menghitung jumlah sel
darah putih dan bakteri, kehadiran lemak tubuh, dan makrofag.
3. Kultur Urine, untuk mengidentifikasi jika ada organisme kausatif dalam
urine.
4. Kimia, menetukan kandungan elektrolit, termasuk nilai BUN dan kreatinin
pada pasien dengan retansi urine atau obstruksi.
5. PSA ( Prostate specific antigen ), peradangan prostat dapat menyebabkan
elevasi prostat spesifik antigen serum ( PSA ), dimana digunakan terutama
sebagai alat skrining dari kanker dan tidak secara rutin digunakan dalam
diagnosis prostatitis.
Imaging Study.
1. Ultrasonography Trans – abdominal untuk menilai volume urin yang
tertahan.
2. Ultrasonografi transrectal.
· Krakteristik fitur dari penebalan kapsul dan kalkuli prostat.
· Melihat penebalan dan pembesaran dari septa dari vesikula
seminalis.
· Interpretasi sangat subyektif dan oleh karenanya diperlukan tenaga
ahli, diagnosis klinis memerlukan korelasi dari pemeriksaan colok
dubur ( DRE )
3. Pada prostatitis akut, yang ditandai dengan peningkatan warna di daareh
uretra prostat, sekitar saluran ejakulasi, dan dekat dengan vesika seminalis
yang dapat dilakukan dengan USG Doppler warna.
4. Computed tomography ( CT – scan ) di daerah pelvis mengkin berguna
dalam evaluasi abses prostat atau curiga adanya neoplasma.
5. Cystoscopy berguna dalam tindak lanjut dari kasus – kasus refrakter
untuk menyingkirkan neoplasma yang ada di vesika urinaria atau sistitis
interstisial.
CystitisDefinisi
Cystitis adalah inflamasi yang terjadi pada vesika urinaria. Cystitis bisa
disebabkan oleh infeksi bakteri dan juga oleh faktor non infeksi seperti obat-
obatan, iritan, atau radiologi (Mayo Clinic, 2012)
Etiologi
Obstruksi, apapun penyebabnya (seperti kateterisasi, bedah urologi), merupakan
faktor risiko utama berkembangnya ISK.
Pada laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun, hipertrofi prostat dengan obstruksi
parsial menjadi penyebab utama risiko terjadinya peningkatan ISK. Faktor risiko
yang lebih sering diperhatikan pada pria berusia lanjut meliputi gangguan
kognitif, inkontinensia tinja atau urin , dan penggunaan kateter.
Faktor risiko primer pemasangan kateter yang dapat menyebabkan bakteriuria
adalah :
· jenis kelamin perempuan
· kondisi komorbiditas yang signifikan ( terutama diabetes mellitus )
· usia yang lebih tua dari 50 tahun
· kurangnya antibiotik sistemik
· kadar serum kreatinin yang lebih dari 2mg/dL
Diagnosis1. Sign & Symptom
a. Symptom (Fauci, Braunwald, et al, 2008)
Disuria
Sering kencing (polakisuria)
Urgensi
Nyeri suprapubik
Mual muntah
Demam
Nyeri costovertebral
Stranguria (kencing pelan dan nyeri yang disebabkan
karena spasme otot dari urethra dan vesika urinaria)
( Sudoyo, Setiyohadi, et al, 2009)
b. Sign
Urine berkabut dan berbau busuk
Urine berdarah (pada hemorrhagic cystitis (Brusch, et
al,2014))
Nyeri tekan suprapubik
Flank pain
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis (Brusch, et al, 2014)
Low grade proteinuria
Tes Dipstick
Pemeriksaan mirkoskopis : Pyuria
Tes nitrate (untuk mendeteksi produk dari nitrate
reduktase, suatu enzim yang dihasilkan oleh banyak
spesies bakteri). Sensivitas 22% dan spesifitas 94%-
100%
b. Kultur Urine (Brusch, et al, 2014)
Berdasarkan Infectious Disease Society of America
(IDSA) tahun 2010, dikatakan cystitis bila didapatkan
>1000 CFU/ml urine midstream
Ditemukan uropathogen pada aspirasi suprapubik
c. CBC (Brusch, 2014)
Leukositosis
d. Renal Imaging Procedure (Sudoyo, Setiyohadi, et al, 2009)
USG
Radiografi
Foto polos perut
Pielografi IV
Micturating cystogram
Isotop Scanning
(Menunjukkan cincin lengkung dari dinding kandung kemih ter kalsifikasi)
Differential diagnosis
Cystitis harus dibedakan dari kondisi infeksi inflamasi yang mana memiliki gejala
dysuria yang lebih menonjol, termasuk vaginitis, infeksi urethral yang disebabkan
oleh sexually transmitted pathogen, dan penyakit noninflammatory yang
menimbulkan discomfort urethra..Vaginitis dikarakteristikan dengan iritasi
pengeluaran urine yang dihubungkan dengan iritasi vaginal dan bersifat subakut.
Biasanya vaginitis memiliki riwayat pengeluaran cairan berwarna putih atau bau
dari vagina dan memiliki banyak pasangan atau pasangan baru. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya discharge pada vagina, dan pada pemeriksaan cairan
vagina ditemukan adanya sel inflamasi. Differential diagnosis lainnya antara lain,
virus herpes simplex, gonorrhoea, chlamydia, trichomoniasis, jamur dan bakteri
vaginosis. Uretheritis menyebabkan dysuria yang biasanya onset nya subakut
yang berhubungan dengan discharge dan memiliki banyak pasangan atau
pasangan baru. Umumnya urethritis disebabkan oleh gonorrhoea, chlamydia,
herpes simplex, dan trichomoniasis. Sehingga culture dan tes immunologi di
sarankan. Injury dari urethra dihubungkan dengan sexual intercourse, iritasi bahan
kimia, ataupun allergi yang dapat menyebabkan terjadinya dysuria (Tanagho &
McAninch, 2006).
Management
Cystitis ringan dapat sembuh dalam 4-9 hari tanpa pengobatan. Tapi
apabila terjadi infeksi bakteri berat, maka dapat menimbulkan manifestasi seperti
demam, dan nyeri perut, dan kondisi ini memerlukan pengobatan dengan
menggunakan antibiotic. Pemilihan antibiotic sebaiknya berdasarkan hasil kultur
urine (Andrologi, 2014). TMP-SMX, Nitrofurantion, dan fluoroquinolones sangat
efektif untuk melawan hampir seluruh pathogen yang menyebabkan cystitis.
TPM-SMX dan nitrofurantion direkomendasikan untuk pengobatan pada cystitis
tanpa komplikasi. Bagaimana pun juga, diperkirakan adanya resisten TMP-SMX
oleh E. coli pada cystitis tanpa komplikasi sekitar 20%, dibandingkan dengan
nitrofuantion yang hanya sekitar<2% . Sehingga TMP-SMX lebih
direkomendasikan pada area dengan prevalensi resistensi E.coli terhadap TMP-
SMX <20%. Pada dewasa dan anak-anak durasi pengobatan sekitar 3-5 hari.
Terapi yang lebih lama tidak di perlukan. Terapi single dose pada reccurent
cystitis kuranglah efektif. Jika ingin menggunakan single-dose, Fluoroquinolones
dengan half-lives yang lebih panjang lebih cocok untuk terapi single-dose.
Resistensi terhadap penicillins dan aminopenicillins sangatlah tinggi sehingga
tidak direkomendasikan. (Wein, Kavoussi et al, 2010).
Prognosis (Medlineplus,2014)
Kebanyakan kasus dari cystitis menimbulkan rasa tidak nyaman namun akan
sembuh tanpa komplikasi setelah pengobatan.