BAB I

20
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama masa orde lama dan orde baru, pemerintahan indonesia mengalami sistem pemerintahan yang sentralistik yang memberi dampak negatif terhadap pembangunan. Dampak negatif sentralisasi tersebut sangat membatasi kreativitas daerah untuk mengembangakan potensi daerah sesuai dengan keinginan masyarakat daerah. Selain itu, di masa lalu, khususnya pada decade tahun 1980 kebanyakan pemerintah daerah di Indonesia mengalami kesulitan karena ketidakmampuannya untuk memperkirakan besaran bantuan atau subsidi pemerintah pusat dari tahun ke tahun. Hal ini karena sangat tergantungnya pemerintah daerah terhadap bantuan atau subsidi, sehingga secara nyata memberikan dampak yang kurang baik terhadap kemampuan daerah untuk melakukan perencanaan dan pemrograman pengeluaran sector public secara efektif. Kedua hal

description

SPM

Transcript of BAB I

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahSelama masa orde lama dan orde baru, pemerintahan indonesia mengalami sistem pemerintahan yang sentralistik yang memberi dampak negatif terhadap pembangunan. Dampak negatif sentralisasi tersebut sangat membatasi kreativitas daerah untuk mengembangakan potensi daerah sesuai dengan keinginan masyarakat daerah. Selain itu, di masa lalu, khususnya pada decade tahun 1980 kebanyakan pemerintah daerah di Indonesia mengalami kesulitan karena ketidakmampuannya untuk memperkirakan besaran bantuan atau subsidi pemerintah pusat dari tahun ke tahun. Hal ini karena sangat tergantungnya pemerintah daerah terhadap bantuan atau subsidi, sehingga secara nyata memberikan dampak yang kurang baik terhadap kemampuan daerah untuk melakukan perencanaan dan pemrograman pengeluaran sector public secara efektif. Kedua hal tersebut cukup membuat pemerintah daerah tidak berdaya membangun daerahnya.

Era reformasi saat ini memeberikan peluang bagi perubahan paradigma nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini diwujudkan melalui kebutuhan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang ditetapkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 tahun 2004 pengganti dari UU No. 25 tahun 1999 tentang pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang banyak terjadi perubahan kebijakan daerah. Kedua UU ini merupakan landasan utama bagi desentralisasi pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan desentralisasi kewenangan dan keuangan desentralisasi.

Setiap daerah di Indonesia diberikan hak untuk melakukan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya merupakan upaya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara melaksanakan pembangunan sesuai dengan kehendak & kepentingan masyarakat. Menurut Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas - luasnya. Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun 1974. Alasan pertimbangan ini didasarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.Sebenarnya pertimbangan mendasar terselenggaranya Otonomi Daerah (Otoda) adalah perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Selain itu keadaan luar negeri yang juga menunjukkan bahwa semakin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap Negara, termasuk daya saing pemerintah daerahnya. Daya saing pemerintah darah ini diharapkan akan tercapai melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah. Selanjutnya peningkatan kemandirian pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui Otoda (Halin 2007:1 dalam M.Rizal Sidik 2008).Penyelenggaraan otonomi sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku saat ini yaitu Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan respon pemerintah terhadap aspirasi masyarakat di daerah untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengelola keuangan pemerintah daerah sesuai dengan potensi sumber daya daerah.

Dalam era otonomi, pemerintah daerah memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, termasuk mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup dan memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya. Adanya kewenangan yang lebih luas ini tentu saja memberikan peluang bagi daerah untuk meningkatkan kinerja keuanga dan mengoptimalkan potensi lokalnya. Sehingga pada gilirannya kemampuan keuangan daerah menjadi lebih baik, dan menjadi lebih mandiri.

Sehubungan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkaitan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik & pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah & pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat diperlukan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah dan juga jenis & besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang menunjukan gambaran statistik perkembangan anggaran & realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran & analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22 dalam Harjuna Esa Dinasthi 2013).

Kemudian tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pada initnya yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan person serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan intervensi di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.

Otonomi daerah merupakan proses awal terjadinya reformasi penganggaran keuangan daerah di Indonesia. Otonomi daerah, tentunya sangat berimplikasi pada perubahan dalam system pembuatan keputusan terkait dengan pengalokasian sumber daya dalam anggaran pemerintah daerah seperti APBD.

APBD merupakan suatu gambaran atau tolak ukur penting keberhasilan suatu daerah didalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Artinya, jika perekonomian daerah mengalami pertumbuhan maka akan berdampak positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya pajak pajak daerah (Saragih, 2003).APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD. Kemudian ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD oleh pemerintah daerah digunakan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas pengeluaran dana masyarakat dalam melakukan pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Menurut pasal 64 ayat 2 UU NO. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, APBD merupakan rencana operasional keuangan pemerintah daerah, yaitu di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran dalam satu tahun anggaran tertentu, dan dipihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud.

Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. Pelaksanaan APBD meliputi pelaksanaan anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Penjelasan berikut ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan ini telah disusun pedoman pelaksanaannya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Anggaran Daerah memiliki peran sebagai alat bagi pemerintah daerah untuk mengarahkan dan menjamin kesinambungan pembangunan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.Dalam era globalisasi dan otonomi daerah saat ini, perwujudan pemerintahan yang baik dan bersih merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan daerah. Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya praktek penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan daerah sehingga sumber daya yang ada tidak bisa dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Besarnya penyimpangan dalam penggunaan anggaran membuktikan bahwa perlu ada pembenahan dalam sistem pemanfaatan dan penatausahaan keuangan daerah. Hal ini mengakibatkan tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya good governance di Indonesia pun semakin meningkat. Tuntutan ini memang wajar, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya pengelolaan (bad governance) dan buruknya birokrasi (Sunarsip, 2012), serta semakin maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi, terutama di kalangan instansi pemerintahan.

Akuntabilitas sektor publik berhubungan dengan praktik transparansi dan pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Sedangkan good governance menurut World Bank didefinisikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab dan sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politis maupun administratif, menciptakan disiplin anggaran, serta menciptakan kerangka hukum dan politik bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo dalam Muh. Taufiq Effendy 2010).Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban dan keuangan daerahnya untuk dinilai apakah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat. Kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan dituangkan dalam Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah perkiraan pendapatan dan pengeluaran satu tahun guna membiayai program program pemerintah dan antisipasi sumber sumber penerimaan satu tahun yang akan datang (Sidik, 2001:162 dalam Endah Kusuma Dewi 2005).APBD secara langsung maupun tidak langsung dapat dijadikan cermin kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan daerah, membiayai pelaksanaan tuga tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan social masyarakat, sehingga untuk mengetahui kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan suatu analisa terhadap kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan dalam mengelola keuangan daerahnya dengan menggunakan suatu alat penilaian berupa analisis rasio keuagan APBD. Halim (2007:232) dalam Febrina Yumardi 2010 menyebutkan bahwa untuk menilai kinerja pemerintah daerah dapat digunakan beberapa ukuran kinerja yaitu :

1. Rasio Kemandirian, yaitu suatu rasio yang menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.

2. Rasio Efektifitas, yaitu suatu rasio yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil aerah.

3. Rasio Efisiensi, yaitu suatu rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.

4. Rasio Pertumbuhan, yaitu suatu rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari period ke periode berikutnya.

5. Rasio Keserasian, yaitu suatu rasio yang menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal.

6. DSCR, yitu suatu rasio yang mengukur kemampuan suatu daerah dalam membayar kembali pinjaman yang dilakukannya.

Undang undang Nomor 12 Tahun 2008 pasal 179 menyatakan bahwa, APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, dan PP Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 pasal 4 menyebutkan bahwa, Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu system yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah. Dalam menyusun APBD derahnya setiap pemerintah daerah menggunakan Pendekatan Kinerja, salah satunya dengan menggunakan rasio rasio keuangan pemerintah daerah.

Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya, sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat dilakukan juga dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relative sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.

Beberapa peneliti yang telah melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah antara lain, Suprapto (2007) tentang analisis kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah tahun 2000 2004, penelitian ini menggunakan rasio kemandirian, efektifitas, dan efisiensi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa, Kemandirian Kabupaten Sleman sangat rendah dan belum mampu melaksanakan otonomi keuangan daerah, akan tetapi PAD cenderung Efektif dan Efisien.

Febrina Yumardi (2010) tentang Analisi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi. Penelitian ini menggunakan rasio keuangan diantaranya: kemandirian, aktivitas, pertumbuhan, DSCR, serta derajat desentralisasi fiscal. Hasil penelitian menyatakan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Kuantan Singingi dapat dikatakan sudah baik.

I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto (2010) tentang Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anngaran 2003 2007, penelitian ini menggunakan rasio kemandirian, rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio desentralisasi fiscal, rasio efektifitas, dan rasio efisiensi. Berdasarkan analisis kinerja keuangan daerah, secara umu Provinsi NTB pada tahun Anggaran 2003 2007 menggambarkan kinerja yang tidak optimal dalam pelaksanaan otonomi daerah, hal ini ditunjukkan oleh indicator kinerja keuangan yang antara lain: Ketergantungan Keuangan Daerah yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat sehingga tingkat Kemandirian Daerah sangat kurang.Desentralisasi Fiskal cukup mengingat ketergantungan keuangan terhadap pemerintah pusat sangat tinggi. Efektifitas pengelolaan APBD sangat efektif, namun Efisiensi pengelolaan APBD menunjukkan hasil tidak efisien.Endah Kusuma Dewi (2005), tetang Evaluasi Terhadap Kemandirian Keuangan Pemerintah Daerah Melalui Analisi Rasio Keuangan APBD dalam Rangkat Membiayai Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan keuangan daerah khususnya Pemerintah Daerah Kota Surakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten dan Pemerintah Daerah Kabupaten Wonogiri dan membandingkannya untuk mengetahui daerah mana yag dapat dikatakan lebih mampu membiayai kebutuhan rumah tangganya. Hasil penelitian ini menunjukkan Kota Surakarta lebih mampu membiayai rumah tangganya jika dibandingkan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Wonogiri. Apabila Kbupaten Klaten dibandingkan dengan Kabupaten Wonogiri maka yang dapat dikatakan lebih mampu membiayai kebutuhan rumah tangganya adalah Kabupaten Wonogiri.

Dalam penelitian ini, penulis memilih lokasi Kota Pekanbaru terkait dengan permasalahan yang terjadi dalam melaksanakan tugas tugas pemerintah, pembangunan serta pelayanan social masyarakat. Salah satu permasalahan yang muncul adalah masalah kinerja pemerintah daerah dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan kinerja keuangannya.

Penelitian ini adalah replikasi dari penelitian Febrina Yumardi (2010), yang membedakannya adalah pada lokasi penelitian dan periode penelitiannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Rasio Keuangan APBD Sebagai Pengukur Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2010-2012 (studi pada Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru)1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latas belakang tersebut diatas maka penulis merumuskan masalah yaitu, Bagaimana kinerja keuangan pemerintah kota Pekanbaru diukur dengan rasio keuangan tahun 2010 2012 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis mempunyai tujuan sebagai berikut: Mengetahui kinerja keuangan pemerintah daerah kota Pekanbaru pada masa otonomi daerah tahun 2010 2012.1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah daerah

Penelitian ini akan membuka wawasan baru berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan bahan koreksi untuk meningkatkan kinerja keuangan untuk kedepannya.

2. Bagi para akademisi

Dapat dijadikan sumber pengetahuan dan dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi masyarakat

Dapat digunakan untuk melihat tingkat kualitas kinerja pemerintah daerah kota Pekanbaru.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam sistem penulisan ini penulis akan memberikan garis besar serta gambaran umum mengenai isi dari laporan penelitian yang dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB IPENDAHULUAN

Dalam bab ini akan membahas latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORIPada bab ini menjelaskan tentang landasan teori, tinjauan penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan pengembangan hipotesis. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai objek penelitian dan lokasi penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, serta metode analisis data.