BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA Pemimpin...

36
BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA Kepemimpinan Desa Tabola Pemimpin Lama dan Baru Siang itu, Minggu, 26 Oktober 2008, ratusan krama desa dari 12 banjar adat yang ada di Desa Pakraman Tabola, berkumpul bersama di Pura Puseh Tabola. Tidak seperti biasanya, ratusan krama desa ini ternyata tidak sedang melakukan upacara adat atau agama di Pura Puseh Tabola, melainkan mereka sedang menghaturkan sembah memohon petunjuk pada Sang Hyang Widi Wasa, atas apa yang telah dan akan mereka lakukan bersama. Selepas menghaturkan sembah kehadapan Sang Hyang Widi Wasa, ratusan krama desa yang berpakaian adat Bali sebagaimana layaknya bila mereka melakukan upacara di pura puseh, bergegas keluar pura menuju wantilan pura, yang persis berada di depan pura, hanya dibatasi oleh jalan desa beraspal. Wantilan adalah bangunan semacam balai pertemuan untuk krama (warga) desa ataupun pemaksan (umat) pura. Mereka berkumpul di wantilan pura itu untuk menyatakan atau menyuarakan sesuatu maksud atau aspirasi. Maksud mereka tak lain adalah menyampaikan protes atas kebijakan PDAM setempat yang menaikkan tarif harga jual air minum lebih dari 100% sejak beberapa waktu terakhir. Pada umumnya, para krama desa itu menganggap bahwa besaran kenaikan tarif itu terlalu tinggi dan sudah di luar jangkauan. Kumpulan ratusan warga itu melakukan aksi unjuk rasa secara tertib dan damai. Aksi ini sebenarnya merupakan akumulasi dari berbagai keluhan yang tidak mendapatkan tanggapan memadai, baik dari pihak PDAM maupun pengurus desa. Atas dasar itu, beberapa tokoh masyarakat, termasuk beberapa klian banjar adat yang ada di Desa Tabola, dengan bantuan seorang pengacara asal Tabola yang berdomisili di Denpasar, Bali, membentuk suatu lembaga semacam LSM yang dinamakan Forum Peduli Desa Pakraman Tabola (FPDPT) tersebut. “Lewat FPDPT ini

Transcript of BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA Pemimpin...

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

Kepemimpinan Desa Tabola

• Pemimpin Lama dan Baru

Siang itu, Minggu, 26 Oktober 2008, ratusan krama desa dari 12 banjar adat yang ada di Desa Pakraman Tabola, berkumpul bersama di Pura Puseh Tabola. Tidak seperti biasanya, ratusan krama desa ini ternyata tidak sedang melakukan upacara adat atau agama di Pura Puseh Tabola, melainkan mereka sedang menghaturkan sembah memohon petunjuk pada Sang Hyang Widi Wasa, atas apa yang telah dan akan mereka lakukan bersama.

Selepas menghaturkan sembah kehadapan Sang Hyang Widi Wasa, ratusan krama desa yang berpakaian adat Bali sebagaimana layaknya bila mereka melakukan upacara di pura puseh, bergegas keluar pura menuju wantilan pura, yang persis berada di depan pura, hanya dibatasi oleh jalan desa beraspal. Wantilan adalah bangunan semacam balai pertemuan untuk krama (warga) desa ataupun pemaksan (umat) pura. Mereka berkumpul di wantilan pura itu untuk menyatakan atau menyuarakan sesuatu maksud atau aspirasi.

Maksud mereka tak lain adalah menyampaikan protes atas kebijakan PDAM setempat yang menaikkan tarif harga jual air minum lebih dari 100% sejak beberapa waktu terakhir. Pada umumnya, para krama desa itu menganggap bahwa besaran kenaikan tarif itu terlalu tinggi dan sudah di luar jangkauan. Kumpulan ratusan warga itu melakukan aksi unjuk rasa secara tertib dan damai. Aksi ini sebenarnya merupakan akumulasi dari berbagai keluhan yang tidak mendapatkan tanggapan memadai, baik dari pihak PDAM maupun pengurus desa.

Atas dasar itu, beberapa tokoh masyarakat, termasuk beberapa klian banjar adat yang ada di Desa Tabola, dengan bantuan seorang pengacara asal Tabola yang berdomisili di Denpasar, Bali, membentuk suatu lembaga semacam LSM yang dinamakan Forum Peduli Desa Pakraman Tabola (FPDPT) tersebut. “Lewat FPDPT ini

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

294

diharapkan aspirasi kekecewaaan masyarakat bisa disatukan dan diperjuangkan bersama,” demikian ungkap I Gusti Lanang Sidemen, salah seorang penggagas FPDPT, yang kebetulan pada waktu itu adalah Klian Banjar Adat Budha Manis Desa Pakraman Tabola.

Sejak terbentuknya FPDPT, kira-kira pada akhir September 2008, semua protes-protes masyarakat terkait kebijakan PDAM Tabola, disuarakan lewat FPDPT, termasuk aksi demo ratusan warga di wantilan pura itu. Sejak awal berdirinya, selain didukung oleh seorang pengacara asal Tabola, I Gusti Ngurai Rai SH, FPDPT juga disokong oleh beberapa pengusaha yang bergerak dalam bidang pariwisata setempat, khususnya pemilik homestay atau penginapan. Bagaimanapun, sebagai pengusaha yang mengelola bisnis hotel di Sidemen, naiknya tarif harga jual air yang kelewat tinggi tentu ikut memukul bisnis mereka. Sehingga mereka ikut merasakan kekecewaan, dan karena itu masuk akal kalau mereka memberikan sokongan terhadap langkah-langkah menentang kenaikan tarif yang dianggap di luar batas itu.

Inilah bagian dari keikutsertaan kelompok elit ekonomi baru untuk ikut mengubah atau memperbaiki keadaan di desa. Sebagaimana diketahui, sejak beberapa tahun terakhir, di Tabola mulai tumbuh lapisan baru para pengusaha homestay atau penginapan, yang bisnisnya menyediakan layanan bagi para wisatawan (asing dan domestik) yang semakin hari semakin ramai berkunjung ke Tabola, Sidemen. Salah seorang dari para pengusaha yang mendukung perlawanan FPDPT itu adalah I Wayan Kari, seorang pemilik penginapan cukup besar di Tabola.

Namun demikian, perlu disebutkan pula bahwa salah seorang pelopor dari bisnis penginapan atau home stay di Sidemen itu tidak lain justru adalah penglingsir (raja/kepala keluarga) Puri Sidemen, Cokorda Gde Dangin. Desa Pakraman Tabola - para wisatawan biasanya lebih mengenal daerah ini dengan sebutan nama Sidemen - sekarang ini malah menjadi tempat yang cukup terkenal sebagai lokasi wisata alam yang indah, dengan latar belakang pemandangan sawah yang menghampar sepanjang lereng dan lembah yang mengitari lingkungan

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

295

Desa Tabola. Bagi sebagian kalangan wisatawan mancanegara khususnya dari negara eropa), pemandangan yang terhampar di Desa Tabola dan sekitarnya yang berada di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali itu, bahkan dianggap jauh lebih indah dari pemandangan wisata yang ada di Ubud. Kekurangannya, mungkin hanya kalah dalam hal penyediaan fasilitas wisata yang memadai, yang hal ini bisa dimaklumi karena Ubud memang berkembang lebih dahulu. Namun demikian, berdasarkan pengamatan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak 2008 hingga 2012 (September 2012), perkembangan pariwisata di Sidemen kelihatan semakin maju. Ketersediaan fasilitas pariwisata, seperti hotel, penginapan, homestay ataupun restoran, misalnya, terus semakin bertambah.

Kembali ke masalah aksi-aksi yang dilakukan masyarakat. Dalam perkembangannya FPDPT tidak hanya menyalahkan PDAM atas kebijakan tarif yang memberatkan itu. Tetapi, isyunya kemudian berkembang pada masalah mengapa pengurus desa menyerahkan pengelolaan sumber air bersih (air minum) desa beserta jaringan pipanisasi yang sudah ada ke tangan Pemerintah Kabupaten, dalam hal ini PDAM. Untuk itu, mereka meminta pertanggungjawaban pengurus desa, dan menuntut proses pengembalian usaha pengelolaan air minum ke desa, karena sesungguhnya apa yang dikelola oleh PDAM itu adalah milik Desa Pakraman Tabola. Sejak itu, isu persoalan menjadi bergeser, dari semula kekecewaan terhadap kebijakan kenaikan tarif PDAM menjadi ketidakpercayaan kepada pengurus desa atas cara pengelolaan asset-asset milik desa.

Gerakan perlawanan yang dilakukan FPDPT semakin kuat, terlebih setelah didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat desa yang kecewa terhadap pola pengelolaan desa oleh kepengurusan desa yang lama. Di antara tokoh-tokoh lokal yang mendukung perlawanan FPDPT ini antara lain mantan perbekel (Perbekel Telagatawang), pejabat Perbekel Telagatawang (yang kelak kemudian dia juga merangkap menjadi salah seorang pengurus Desa Pakraman Tabola yang baru, mewakili Telagatawang), pengusaha sukses yang juga guru di sekolah negeri (pemilik penginapan cukup besar di Tabola), para klian banjar adat (salah satunya adalah Klian Banjar Adat Budha Manis,

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

296

yang juga menjadi Ketua FPDPT), pengusaha kain tenun terkenal di Sidemen (kelak menjadi Bendahara Desa Tabola yang baru), dan lain sebagainya.

Pada satu sisi, FPDPT secara berangsur-angsur dan diam-diam mendapat dukungan pasif dari aparat keamanan (kepolisian dan TNI) karena kemampuannya untuk meyakinkan dan menggerakkan protes masyarakat melalui jalan damai dan tertib. Misalnya, ketika melakukan protes melalui aksi pawai dengan berjalan kaki dari lapangan desa menuju Pura Puseh Tabola dan wantilan pura, massa yang terlibat aksi mampu mengendalikan diri dengan tertib. Tidak hanya itu, aksi massa juga diwarnai oleh penggunaan simbol-simbol adat, yaitu selain massa memakai pakaian adat, mereka juga menggunakan berbagai peralatan gamelan tradisional untuk memeriahkan suasana. Akhirnya, aksi unjuk rasa lalu menjadi seperti pawai upacara adat yang penuh kemeriahan. Dalam soal ini, pihak FPDPT secara cerdas memang memanfaatkan simbol-simbol adat dan agama sebagai bagian dari instrumen perlawanan secara damai.

Di pihak lain, para pengurus desa yang lama, karena lambannya merespon kekecewaan masyarakat desa secara memadai, maka menjadi semakin tidak mendapatkan simpati masyarakat. Sebaliknya banyak krama desa yang mulai bertanya-tanya tentang cara pengelolaan administrasi keuangan desa yang dianggap tidak terbuka. Bahkan dalam suatu wawancara, salah seorang tokoh masyarakat Tabola yang disegani oleh semua pihak, Ida I Dewa Catra, sempat menyinggung dan menyesalkan ketertutupan dari pengurus lama menyangkut soal pengelolaan administasi keuangan desa. Meskipun pak Catra, demikian ia biasa dipanggil di Tabola, mengkritisi pula aksi-aksi yang dilakukan oleh FPDPT. “Mengapa mereka tidak menggunakan mekanisme awig-awig untuk menyuarakan ketidakpercayaannya kepada pengurus desa yang lama. Untuk mengganti pengurus desa kan sudah ada ketentuannya, tidak dengan cara menuntut mundur dan melakukan penggantian sendiri”, demikian Ida I Dewa Gde Catra.1

1 Wawancara dengan Ida I Dewa Catra. Amlapura, Karangasem, April 2010.

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

297

Pada titik inilah, aksi yang semula muncul sebagai respon dari masalah kenaikan tarif pemakaian air minum ke PDAM kemudian berlanjut menjadi aksi yang bersifat lebih politis, dalam bentuk mosi tidak percaya kepada pangurus desa pakraman. Para tokoh yang tergabung dalam FPDPT menganggap bahwa mekanisme pengelolaan desa secara keseluruhan (termasuk asset-asetnya) oleh para pengurus desa dianggap “tertutup”, dan cenderung mengabaikan suara-suara masyarakat. Kelak kemudian, para pengurus baru Desa Pakraman Tabola malah menganggap pengurus desa yang lama memerintah desa secara agak otoriter, padahal jamannya sudah berubah.

Terkait hal ini, I Gusti Lanang Sideman, mantan guru dan Klian Banjar Adat Budha Manis, Tabola, yang setelah memimpin perlawanan terhadap pengurus desa yang lama akhirnya dipilih secara aklamasi menjadi Bendesa/Klian Desa Pakraman Tabola yang baru, mengungkapkan:

“Saya tidak menjelek-jelekkan pemimpin yang lama, tetapi mereka kan kekuasaan yang diutamakan sehingga tidak didukung oleh masyarakat. Segala sesuatu dilakukan sendiri, akhirnya malah timbul ketidakpuasan. Itu sebenarnya masalahnya. Padahal dari dulu di Desa Tabola ini sudah berlaku system musyawarah mufakat.” 2

Tentu saja, meskipun tidak disampaikan secara eksplisit, tudingan bahwa pengurus desa yang lama menjalankan kebijakan secara kurang terbuka dan agak otoriter, ditujukan terutama kepada pingajeng dan bendesa Desa Pakraman Tabola, yaitu Cokorda Gde Dangin dan I Gusti Lanang Gita. Dalam konteks ini, para penentang pengurus desa lama, khususnya yang tergabung dalam FPDPT menganggap bahwa pengurus desa cenderung berada di bawah pengaruh kuat Cokorda Gde Dangin. Bahkan termasuk bendesa lama, I Gusti Lanang Gita, sering dikatakan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan tokoh pingajeng desa, Cokorda Gde Dangin. “Keadaan seperti itu sebenarnya sudah berlangsung lama, seolah-olah tokoh Puri Sidemen itu ingin menegakkan kembali monarkhi puri dalam jaman

2 Wawancara dengan I Gusti Lanang, Banjar Budha Manis, Desa Pakraman Tabola, Oktober 2010.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

298

demokrasi seperti sekarang ini”, demikian ungkap bendesa baru Desa Pakraman Tabola.

Dari sudut pandang penguasa Puri Sidemen sendiri, langkahnya untuk ikut terus terlibat aktif dalam setiap permasalahan desa selama ini, tidak pelak merupakan bagian dari upayanya untuk kembali memperkuat pengaruh puri di Desa Pakraman Tabola. Bagaimanapun, sejak awal reformasi, keluarga Puri Sidemen, khususnya di bawah kepemimpinan keluarga (penglingsir) Cokorda Gde Dangin, memang berusaha keras untuk meneguhkan kembali kepemimpinan puri di desa. Ini setelah pada masa Orde Baru pengaruh puri berangsur-angsur semakin terpinggirkan oleh sistem politik yang berkembang ketika itu. Apalagi, seperti sempat disinggung pada bagian depan, keluarga Puri Sidemen, sebelum kemunculan Orde Baru adalah pendukung fanatik Presiden Sukarno dengan Partai PNI nya. Sedangkan sejak awal Orde Baru, PNI mengambil posisi politik yang berseberangan dengan Golkar sebagai partai penguasa.

Karena itulah, ketika tanda-tanda jaman (baru) mulai datang, pak Cok menjadi lebih aktif dan bersemangat memimpin (keluarga) Puri Sidemen dan berusaha memulihkan kembali pengaruhnya, paling tidak, di lingkungan Desa Pakraman Tabola, tempat lokasi Puri Sidemen berdiri sejak abad ke-18. Langkah awal dimulai dengan memanfaatkan momentum penyelenggaraan upacara keluarga yang disebut “maligya”, sebagaimana sempat sedikit disinggung pada bagian sebelumnya. Lewat upacara “maligya” ini Cokorda Gde Dangin berhasil mengundang datang Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Sukarnoputri, ke Puri Sidemen. 3

3 Lihat: Lene Pedersen. The Sphere of The Keris: Power and People in a Balinese Princedom. A Dissertation Presented to the Faculty of Graduate School University of Souththern California, In Partial Fulfillment of the Requirement for the Degree Doctor of Philosophy (Anthropology). California, USA, May 2002.

Itu terjadi pada tahun 1998, beberapa saat sebelum diselenggarakan Pemilu pertama pada masa reformasi, yaitu tahun 1999. Pada waktu itu sudah mulai banyak yang memperkirakan bahwa PDIP akan keluar sebagai pemenang pemilu karena adanya tanda-tanda dukungan yang kuat dan luas dari berbagai kalangan masyarakat. Megawati, putri mantan

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

299

Presiden Sukarno yang berdarah Bali, pada waktu itu juga dianggap sebagai kandidat paling kuat untuk menjadi Presiden paska Pemilu 1999.

Kedatangan Megawati, yang pada waktu itu sangat populer di mata masyarakat Bali, tentu saja memiliki arti simbolik yang kuat bagi Puri Sidemen. Seolah-olah kedatangannya dalam upacara keluarga itu, secara tidak langsung, merupakan wujud dukungan (politik) terhadap keberadaan puri, yang pada masa lalu memang dikenal sebagai loyalis PNI, partai yang kelak menjadi cikal bakal dari PDIP. Peluang jaman seperti inilah yang dimanfaatkan oleh Cokorda Gde Dangin. Terlebih lagi di Bali pada waktu itu mulai muncul tanda-tanda akan adanya perubahan bandul politik, yaitu semakin merosotnya dukungan rakyat Bali ke Golkar dan sebaliknya semakin kuatnya dukungan ke PDIP. PDIP sendiri selama masa Orde Baru dikenal sebagai rival politik utama Golkar paling sengit.

Pada kenyataannya, sejak kedatangan Megawati ke upacara “maligya” itu, keluarga Puri Sidemen menyerahkan dukungan politiknya ke PDIP dalam pemilu 1999. Bahkan pada pemilu 1999, salah seorang anak dari Cokorda Gde Dangin, Cokorda Suteja menjadi calon legislatif dari PDIP dan berhasil terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali (DPRD I) untuk periode 1999-2004. Terpilihnya Cok Suteja sebagai anggota legislatif daerah tentu bukan tidak ada hubungannya dengan kedatangan Megawati ke Sidemen sebelumnya, karena pada kenyataannya PDIP memperoleh suara besar di Kecamatan Sidemen. Di Provinsi Bali, untuk pertama kalinya sejak tiga dekade sebelumnya, PDIP juga berhasil mengalahkan Golkar secara telak.

Situasi politik seperti ini yang melatarbelakangi adanya semangat yang kuat dari keluarga Puri Sidemen untuk mengukuhkan kembali pengaruh dan kepemimpinan politiknya di Desa Pakraman Tabola. Bagaimanapun wilayah Tabola memiliki posisi sejarah yang sangat penting sebagai tempat keberadaan Puri Sidemen sejak abad ke-18. Menurut catatan, pusat kekuasan Kerajaan Sidemen (Puri Sidemen) pada masa lalu adalah di Tabola dengan cakupan wilayah kekuasaan

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

300

sampai ke desa-desa pakraman di luar Tabola. “Puri Sidemen ini puri yang sangat lama (kuno). Pengaruhnya, kalau ke Timur sampai ke Selat, Rendang, terus ke Barat sampai ke Tirtagangga bahkan Kubu,” demikian ungkap Cokorda Gde Dangin.4

Maka sejak masa reformasi (1998), Cokorda Gde Dangin terus aktif mengkonsolidasikan pengaruhnya di Tabola. Dengan segala pengaruh yang masih dimilikinya, penglingsir Puri Sidemen membangun jaringan kekuasaan di Desa Tabola, dengan memberikan dukungan pada keluarga ataupun kolega dekatnya untuk bisa memimpin desa dinas maupun adat. Salah satu hasilnya, Perbekel Sidemen terpilih pada masa reformasi adalah orang yang masih tergolong keluarga dekatnya (ponakan), yang dalam suatu wawancara mengakui peranan dukungan Pak Cok dari Puri Sidemen. Begitupula Bendesa Tabola (lama), yang sebelumnya adalah Perbekel Sidemen (mengakhiri jabatan perbekel tahun 1999), sering disebut-sebut oleh krama desa sebagai “orangnya pak Cok”. Jadi dalam hal ini wilayah Tabola dan Sidemen pada awal masa reformasi praktis dipimpin oleh “orang-orang dekat pak Cok”.

Atas dasar penjelasan ini, bisa dilihat bahwa pada masa lalu, wilayah pengaruh Puri Sidemen yang berkedudukan di Desa Tabola, melampaui wilayah teritorial Kecamatan Sidemen pada masa sekarang.

Adapun Cokorda Gde Dangin sendiri, sejak terbentuk kepengurusan Majelis Desa Pakraman (MDP) menyusul keluarnya Perda No. 3 Tahun 2001, terpilih sebagai Ketua Majelis Desa Pakraman (MDP Alit) tingkat Kecamatan Sidemen. Dengan posisi sebagai Ketua MDP ini, ia bersemangat melaksanakan salah satu tugas dan kewajiban MDP, yaitu mendorong penyuratan awig-awig desa pakraman yang ada di wilayah Kecamatan Sidemen. Demikianlah, maka sejak terpilih menjadi Ketua MDP (Alit) Sidemen, desa-desa pakraman yang ada di sekitar Desa Pakraman Tabola mulai bergiat melakukan penyuratan awig-awig. Bahkan untuk itu, Cokorda Gde Dangin mampu menjalin kerjasama dengan lembaga donor untuk ikut membiayai proyek

4 Wawancara dengan Cokorda Gde Dangin. Puri Sidemen, Desa Tabola, April 2010.

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

301

penyuratan awig-awig di desa-desa pakraman seperti Sangkan Gunung, Ipah dan Iseh.

Pak Cok Dangin, demikian ia biasa dipanggil oleh masyarakat di Tabola, menjadikan proses penyuratan awig-awig Desa Pakraman Tabola sebagai model bagi desa-desa yang lain. Dalam proses penyuratan awig-awig ini, ia dibantu oleh seorang budayawan asal Desa Tabola, yang juga kolega Cokorda Gde Dangin sejak muda, yaitu Ida I Dewa Gde Catra. Pak Catra ini adalah seorang cendikiawan asal Tabola yang lahir dari keluarga golongan satria tinggi, sebagaimana terlihat dari nama depannya, Ida I Dewa. Lewat kepemimpinannya sebagai Ketua MDP serta langkah-langkahnya yang aktif membantu penyuratan awig-awig desa pakraman itu, Pak Cok terus membangun kembali pengaruh sosial – politiknya.

Dalam proses ini, ia secara sadar mendayagunakan kekuatan modal simboliknya sebagai pewaris penguasa (penglingsir) Puri Sidemen, yang bagi sebagian masyarakat desa masih diakui realitasnya. Yang terakhir ini terutama bagi mereka penduduk desa yang leluhurnya memiliki hubungan patronase dengan Puri Sidemen, baik sebagai “pengiring” atau “parekan”. Pada masa lalu, yang disebut pengiring adalah para prajurit pengawal raja (golongan bangsawan tinggi atau rendah). Sedangkan parekan adalah lapisan para petani yang mendapatkan tanah dari raja/puri, sebagai bukti dan imbalan atas kesetiaannya sebagai pengikut raja (klien).

Kekuatan modal simbolik Cokorda Gde Dangin ini secara eksplisit bahkan diakui oleh Ketut Sukayasa, mantan Perbekel Telagatawang dan yang kemudian menjabat sebagai Sekretaris I dalam kepengurusan organisasi Desa Pakraman Tabola periode 2009 – 2014. Ia antara lain menyatakan5

“Meskipun saya melawan beliau ketika terjadi pergolakan di Tabola, tetapi saya tetap menghormatinya. Bagaimanapun, di masa lalu, leluhur saya adalah pengiring keluarga Raja Sidemen. Leluhur kami bahkan bisa berdiam di sini (Banjar Kebon, Desa

:

5 Wawancara dengan Ketut Sukayasa. Banjar Kebon, Desa Pakraman Tabola, Sidemen, 24 Desember 2009.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

302

Pakraman Tabola, Sidemen) berkat jasa Puri Sidemen yang mau membagikan tanahnya.”

Keluarga Puri Sidemen hingga sekarang juga dikenal masih menguasai dan memiliki tanah-tanah di Tabola dan desa-desa sekitarnya dalam jumlah lumayan banyak dan luas. Meskipun hal itu tidak sebanyak dan seluas yang dikuasai pada masa lalu, khususnya sebelum tahun 1960-an, ketika dilaksanakan kebijakan politik land reform. Menurut penjelasan Pak Cok, sebagian dari tanah-tanah keluarga telah “diambil” dan dibagikan dalam rangka politik land reform di masa lalu (tahun 1960-an). “Kami waktu itu menjadi sasaran Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dianggap sebagai tuan tanah. Cukup banyak tanah-tanah keluarga kami yang diambil alih dan dibagikan ke rakyat,” demikian ungkap pak Cok sambil mengenang peristiwa masa lalu itu.6

Tanah-tanah keluarga yang masih ada itu kemudian dibangun sebagai tempat penginapan untuk para wisatawan dalam bentuk homestay ataupun vila, yang hal ini sejalan dengan berkembangnya Sidemen sebagai salah satu tujuan wisata alam di Bali. Bersamaan dengan itu, keluarga Puri Sidemen membangun bisnis keluarga dengan memberikan pelayanan kepada para wisatawan yang berkunjung ke Sidemen, di samping usaha-usaha ekonomi keluarga yang lain. Dalam konteks ini, maka di samping berupaya memperkuat kembali modal simboliknya, pada saat yang bersamaan, Pak Cok juga terus membangun modal ekonominya.

Kalau mengikuti konsep Bourdieu tentang realitas modal atau kapital (modal ekonomi, modal politik/power, modal sosial/jaringan sosial, modal simbolik/pengaruh adat, dan modal kultural/pengaruh kebudayaan), masing-msaing modal itu bisa ditransformasikan dari satu bentuk modal (simbolik) ke modal yang lain (ekonomi) secara berkelanjutan dan timbal balik. Dalam pengertian yang sederhana, maka apa yang dilakukan oleh keluarga Puri Sidemen adalah suatu upaya mentransformasikan modal simbolik Puri menjadi modal politik (kekuasan), dan selanjutnya ditransformasikan lagi menjadi modal

6 Wawancara dengan Cokorda Gde Dangin. Sidemen, 30 April 2010.

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

303

ekonomi, yang semuanya bisa berlangsung secara serentak atau simultan dan tidak harus linier atau berurutan.

Dalam pandangan Cokorda Gde Dangin, berbagai langkah yang dilakukan itu didorong oleh semacam spirit memenuhi “kewajiban sejarah” keluarga, agar Puri Sidemen mampu terus menjalankan peran positifnya, khususnya dalam konteks mendorong kemajuan masyarakat Desa Tabola dan sekitarnya. Hanya saja, sebagian langkah-langkahnya dalam rangka mewujudkan peran positif puri itu seringkali dimaknai oleh pihak lain di Tabola, sebagai bentuk keinginan Cokorda Gde Dangin untuk menghegemoni kekuasaan desa. Atau dalam bahasa pengurus desa yang baru, ada keinginan dari keluarga Puri untuk mengembalikan sistem feodalisme di jaman demokrasi sekarang ini. Upaya keras untuk membentuk kelembagaan yang disebut “pingajeng” desa, yang kedudukannya menurut awig-awig boleh dikatakan “mengatasi” kedudukan bendesa, dianggap sebagai salah satu perwujudan keinginan menghegemoni kekuasaan desa.

Kesan adanya keinginan untuk menghegemoni kekuasaan desa itu, semakin kuat karena adanya peran aktif dari Cokorda untuk secara tidak langsung terlibat dalam setiap proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Bali, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Bentuk keterlibaan tidak langsung itu dilakukan dengan ikut mendorong calon-calon tertentu agar mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat desa. Calon-calon yang didukung oleh keluarga Puri Sidemen, misalnya, secara tidak langsung diberikan kesempatan untuk melakukan “mesimakrama” atau kira-kira artinya bersilahturahmi dengan masyarakat desa; dan sebaliknya calon yang tidak didukung kurang atau tidak diberi kesempatan seperti itu.

Dalam situasi politik multi partai yang terbuka ini, di mana masyarakat desa bebas dan terbuka menentukan pilihannya, langkah keluarga puri seperti disebutkan di atas dianggap tidak tepat. Selain itu langkah keluarga puri seperti ini mengundang tanda tanya dan bahkan kecurigaan, yang semuanya itu berujung pada penafsiran bahwa keluarga puri memang berkeinginan menghemoni politik desa. Ditambah, kelak kemudian, pada bulan Mei 2010, putra sulung dari

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

304

Cokorda Gde Dangin ikut maju dalam Pilkada Kabupaten Karangasem. Meskipun hasilnya kalah dari calon lain, dan bahkan di Sidemen sendiri tidak berhasil memenangkan suara. Tetapi memang pada saat Pilkada itu, pengaruh Cokorda Gde Dangin di Sidemen sedang merosot, menyusul pelengseran pengurus lama desa oleh krama desa dari 12 banjar adat yang ada di Tabola, awal tahun 2009.

Adanya anggapan bahwa keluarga Puri ingin menghegemoni desa, tentu memunculkan reaksi resisten dari sebagian kalangan masyarakat desa. Di sinilah sesungguhnya awal dari munculnya persaingan kepemimpinan desa, yaitu antara kelompok pemimpin lama di bawah pengaruh Cokorda Gde Dangin, dengan sekelompok lapisan kepemimpinan baru yang terdiri dari orang-orang dengan berbagai latar belakang seperti mantan guru, mantan perbekel, pengusaha pariwisata dan binis kain tenun (usaha kerajinan khas asal di Sidemen), pengacara, perbekel yang masih menjabat, klian banjar adat, unsur pemuda, dan lain sebagainya. Yang semuanya itu, ketika waktunya sudah dianggap tiba, berkumpul dan bersatu membentuk organisasi perlawanan FPDPT untuk menghadapi kepemimpinan lama. Mereka memanfaatkan isu kenaikan tarif pemakaian air minum yang dikelola oleh PDAM Kabupaten Karangasem, yang dalam hal ini dianggap oleh masyarakat sebagai bagian dari jaringan kekuasaan keluarga Puri Sidemen. Di sini masalah sekitar kenaikan tarif pemakaian air desa pada akhirnya boleh dibilang hanya sebagai titik pencetus mencuatnya berbagai permasalahan desa, yang kemudian menjadi momentum perubahan sosial di Tabola.

Setelah mendapatkan mosi tidak percaya dan didesak untuk mengundurkan diri oleh perwakilan dari 12 banjar adat yang ada di desa Tabola, maka pada hari minggu 16 November 2008, Bendesa Desa Prakaman Tabola, I Gusti Lanang Gita, yang memimpin desa sejak tahun 2002, membuat surat pengunduran diri. 7

7 Koran Nusa Bali. Kelian Tabola Mundur. Nusa Bali, 5 Desember 2008.

Pengunduran diri Bendesa Tabola ini merupakan puncak keberhasilan dari gerakan perlawanan krama desa yang mewakili 12 banjar adat di Tabola, yang pada dua hari sebelumnya (jumat 14 November 2008) secara sepihak di

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

305

wantilan Pura Puseh menyatakan secara bulat “menurunkan” I Gusti Lanang Gita dari jabatannya sebagai Bendesa Desa Pakraman Tabola.

Pada waktu hampir bersamaan, Cokorda Gde Dangin, juga menyatakan mengundurkan diri sebagai prakangge atau pengurus desa, khususnya dalam kedudukannya sebagai “pingajeng” desa yang kontraversial itu. “Saya juga mundur terhitung Minggu, 16 November 2008. Saya sudah berkirim surat,” demikian kata Cokorda Dangin, seperti dikutib dari Koran Nusa Bali, yang terbit di Bali. “Namun demikian saya masih akan tetap aktif sebagai Ketua Majelis Alit Desa Pakraman Kecamatan Sidemen”, demikian tambahnya.8

Pengunduran diri Bendesa Tabola bukan berarti masalah telah selesai. FPDPT masih harus melangkah ke agenda perjuangan selanjutnya, yaitu berusaha menarik kembali pengelolaan asset desa berupa usaha jaringan penyaluran air minum desa di Tabola. Sebelum hal itu dilakukan, maka awal tahun 2009, Desa Pakraman mengadakan pemilihan pengurus desa yang baru, dimulai dengan menyeleksi calon-calon wakil dari 12 banjar adat yang ada di Tabola. Dari hasil itu, lalu terpilih prakangge atau pengurus inti, yang terdiri dari bendesa (kepala kesa adat/pakraman), pemaden (wakil kepala desa), penyarikan (sekretaris), juru raksa (bendahara) dan prajuru atau pengurus biasa, yaitu terdiri dari petajuh (pembantu) ke bawah (lihat struktur organisasi desa Tabola pada Bab 6). Dalam struktur prakangge desa yang baru ini, sudah tidak terdapat lagi unsur pingajeng, dan selanjutnya diganti dengan unsur pangrajeg, yang kedudukannya kurang lebih sejajar dengan bendesa, dan lebih banyak berfungsi sebagai penasehat. Prakangge desa ini dipimpin oleh Bendesa/Klian Desa Pakraman Tabola, yaitu I Gusti Lanang Sidemen, yang sebelumnya bertindak sebagai Ketua FPDPT.

Pengunduran diri pak Cok Dangin sebagai prakangge dan pingajeng desa ini, praktis untuk sementara waktu mengakhiri konflik di desa Tabola.

8 Koran Nusa Bali. Prakangge Tabola Undurkan Diri. Nusa Bali, Sabtu 6 Desember 2008.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

306

Gambar 22: Proses Perubahan Kepemimpinan Desa (Lama ke Baru)

Pengaruh

Keluarga Puri Sidemen

Konflik Kepemimpinan

Dukungan Banjar & Kelompok Elit Baru Desa

Dari informasi yang dikumpulkan, hampir tidak ada masalah

dalam proses pemilihan prakangge desa yang baru. Proses pemilihan berlangsung mulai dari bawah, yaitu pada tingkat banjar adat; yang kemudian dari calon-calon dari tingkat banjar itu dipilih satu orang untuk menjadi bendesa lewat pemilihan langsung yang diikuti oleh para anggota perwakilan banjar. Selanjutnya setelah terpilih bendesa, calon-calon dari tingkat banjar dimasukkan sebagai pengurus desa, baik pengurus inti maupun pengurus biasa. Dengan demikian, semua tokoh-tokoh banjar pada akhirnya diakomodasi dalam struktur kepengurusan desa.

Selanjutnya pengurus desa itulah yang melakukan negosiasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem untuk mengambil kembali usaha pengelolaan usaha air minum desa dari tangan PDAM.

Kepemimpinan Lama (2002-2008) Kepemimpinan

Baru (2009-2014) Pelengseran

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

307

Setelah melalui proses negosiasi yang rumit dan berkepanjangan akhirnya pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem setuju menyerahkan kembali pengelolaan asset jaringan air minum desa dari PDAM ke Desa Pakraman Tabola. Negosiasi memang berjalan rumit, karena sejak pengurus Desa Pakraman Tabola yang lama menyerahkan pengelolaan usaha air minum desa ke Pemda Karangasem, pihak PDAM telah mengeluarkan investasi baru untuk perbaikan dan pembangunan jaringan air minum dengan biaya yang cukup besar. Atas dasar ini pihak PDAM meminta pengembalian biaya investasi itu, berupa biaya investasi perpipaan dan fasilitas pelangkap lainnya, yang ditaksir bernilai kurang lebih Rp278,511 juta. Lalu ditambah, tunggakan pembayaran oleh para pelanggan yang ada di Tabola (selama Januari 2008 sampai Juni 2009) sebesar Rp258,34 juta. Jumlah tunggakan pembayaran ini besar sekali karena selama kurun waktu itu, khususnya sejak tarif air mimun PDAM dinaikkan, masyarakat sebagian enggan membayar. Sehingga total biaya penggantian yang diminta pihak PDAM kepada Desa Pakraman Tabola sebesar Rp536,85 juta, yang terdiri dari biaya pengeluaran investasi dan tunggakan pembayaran iuran.

Pihak Desa Pakraman Tabola menyanggupi melakukan pembayaran ganti rugi itu, dan untuk tahap awal diserahkan dana pembayaran sebesar Rp150 juta. Sisanya, khususnya biaya investasi pipanisasi oleh PDAM, akan dibayarkan bertahap selama 10 tahun. Sedangkan sisa tagihan pelanggan yang sebesar Rp108,34 juta akan dilunasi dalam waktu 2 tahun. Terkait masalah ini, Bendesa Desa Pakraman Tabola menyatakan9

“Kami sudah hitung-hitung, kalau usaha air minum milik desa ini dikelola dengan baik, akan menghasilkan pendapatan yang lumayan bagi desa. Sehingga kami perkirakan akan bisa melunasi biaya ganti rugi itu. Tentang tunggakan tagihan, masyarakat berjanji akan membayar secara bertahap.”

:

Maka tanggal 10 Juli 2009, pengelolaan usaha air minum desa diserahkan kembali ke Desa Pakraman Tabola. Tuntutan krama desa

9 Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Desa Pakraman Tabola, Oktober 2010.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

308

agar asset desa itu dikembalikan dan dikelola oleh desa sendiri, akhirnya terpenuhi.

Tahap pertama dari konflik internal di dalam Desa Pakraman, (untuk sementara) akhirnya selesai. Sebagai hasilnya, struktur organisasi desa berubah, menyesuaikan diri dengan berkembanganya kepentingan-kepentingan baru. Desa Pakraman Tabola, pada saat ini dipimpin oleh lapisan pemimpin baru, yang akar kepemimpinannya datang dari berbagai latar belakang. Para pemimpin baru ini bertemu dan bersatu karena kesamaan kepentingan, yaitu ingin melihat perubahan dalam tata pengelolaan desa pakraman sejalan dengan datangnya jaman keterbukaan dan demokrasi. Di sisi lain, kepemimpinan lama, yang ditopang oleh lapisan elit tradisional, khususnya yang memiliki akar jaringan dengan Puri Sidemen, untuk sementara, menyingkir, mundur kebelakang dengan melengserkan diri.

• Perjuangan Yang Belum Selesai

Tanya: sejak terjadinya konflik internal di Desa Tabola dua tahun yang lalu, bagaimana perkembangannya sekarang? Apakah sudah selesai masalahnya?

Jawab: Masalahnya belum tuntas sampai sekarang…ini ada kekeliruan. Makanya saya dulu pernah bilang, masalah ini lebih baik diselesaikan, jangan diredam saja….kalau diselesaikan kan ada kata selesainya, tetapi kalau diredam kan sewaktu-waktu bisa bangkit lagi.

(Cuplikan wawancara dengan Ida I Dewa Catra, tokoh masyarakat Tabola dan konseptor awig-awig desa, yang tinggal di Amlapura Karangasem. 28 Oktober 2010)

Sudah hampir dua tahun Desa Pakraman Tabola memilih pengurus desa yang baru. Begitupula pengelolaan usaha air minum desa sudah diambil alih kembali oleh desa, yaitu sejak Juli 2009. Tetapi masalah yang muncul, khususnya yang bersumber dari pengelolaan air minum desa belum juga selesai tuntas. Sejak pengelolaannya diambil alih oleh desa, penyaluran air ke para pelanggan di desa ternyata tidak selancar seperti yang dibayangkan semula. Berkali-kali terjadi

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

309

gangguan penyaluran air karena di beberapa lokasi terjadi kebocoran pipa, baik karena pipa-pipanya sudah lama ataupun pemeliharaannya yang kurang teliti. Akhirnya, penyaluran air minum/bersih ke para pelanggan seringkali mati dan terpaksa dilakukan penggiliran.

Dalam suatu pertemuan (pesamuhan) yang melibatkan para tokoh banjar, Bendesa Desa Pakraman, I Gusti Lanang Sidemen, sempat meminta para pengurus desa menjelaskan dengan baik permasalahan pengelolaan air minum desa kepada para pelanggan. Dalam kesempatan pertemuan tersebut, I Gusti Lanang Sidemen mengatakan10

“Melalui kesempatan ini kami mohon kepada pemimpin-pemimpin banjar, anggota-anggota pengurus, juga prajuru desa yang ada, tolong bantulah bagaimana supaya masyarakat menyadari bahwa kembalinya (pengelolaan) air ke desa masih memerlukan penanganan-penanganan selanjutnya”.

:

Intinya, bendesa meminta kepada segenap pengurus desa, baik mulai dari tingkat desa sampai banjar, untuk memberikan pengertian kepada masyarakat pelanggan air agar memahami masalah yang masih tersisa, dan bahwa desa sedang berusaha mengatasi masalah itu.

Memang sejak terpilih menjadi Bendesa Tabola, I Gusti Lanang Sidemen yang mantan guru dan klian banjar itu, langsung dihadapkan pada berbagai masalah desa, terutama masalah air minum yang boleh dikatakan sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat desa di Tabola. Sedangkan sejak dipilih menjadi bendesa, tidak ada proses penyerahan dan pengalihan kekuasan dan wewenang (transisi) dari pengurus lama ke pengurus baru. Ini karena bendesa lama beserta jajarannya mengundurkan diri begitu saja, menyusul adanya tuntutan masyarakat untuk segera lengser. Oleh karena itu berbagai masalah yang ada langsung dengan sendirinya menjadi beban yang harus ditanggung dan diatasi. Bahkan sejak hari pertama ia terpilih menjadi bendesa.

Beberapa langkah konsolidasi sudah dilakukan oleh bendesa baru beserta jajaran pengurusnya. Pengelolaan asset-asset milik desa, di luar usaha pengelolaan air minum desa, juga sudah ditempuh, seperti

10 Transkrip hasil pertemuan pengurus desa Tabola.Wantilan Banjar Budha Manis, Desa Tabola, 14 November 2009.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

310

sudah dijelaskan pada bagian tulisan sebelumnya. Ini antara lain menyangkut asset pasar desa dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Dua asset desa yang penting ini relatif lebih mudah dikonsolidasi, dibandingkan dengan usaha pengelolaan air minum desa. Yang terakhir ini, selain rumit karena melibatkan beban hutang desa terhadap PDAM lebih dari setengah milyar rupiah, juga jaringan air minum desa di Tabola telah menjadi salah satu kebutuhan pokok warga desa. Menurut catatan, hampir 90% rumah-rumah penduduk yang ada di Tabola telah terlayani jaringan air minum desa. Sehingga timbulnya masalah yang tidak cepat dapat diatasi, sangat mungkin (dan telah terbukti) menjadi masalah yang meresahkan masyarakat desa.

Oleh karena itu, Bendesa Tabola, menempuh segala macam cara yang mungkin untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh usaha pengelolaan air minum desa. Contohnya, suatu ketika di salah satu lokasi di Tabola, dilaksanakan proyek pipanisasi air minum tanpa sepengetahuan terlebih dahulu pihak Desa Pakraman Tabola. Ketika dilakukan penggalian, salah satu pipa milik desa ikut tercangkul dan pecah, sehingga sempat menjadi masalah karena penyaluran air bersih ke suatu tempat di desa menjadi terhenti. Pihak desa memprotes dan mengadukan hal ini ke Pemerintah Daerah Kabupaten, dan minta agar proyek pipanisasi itu dihentikan, atau pengerjaannya melibatkan pihak desa. Pemerintah Provinsi, sebagai pemilik dan pelaksana proyek, merespon protes dengan memberikan pipa-pipa air minum itu ke desa, dan pengerjaannya selanjutnya disesuaikan dengan rencana pihak desa. “Syukurlah, kita malah diberi pipa-pipa itu. Pipanya besar dan kuat sekali,” demikian ungkap Bendesa Tabola.

Apa yang bisa dilihat di sini adalah bahwa pihak desa adat/pakraman, dewasa ini berani memprotes pemerintah supra-desa, yang melaksanakan proyek di wilayah desa adat/pakraman tanpa memberitahu atau meminta ijin terlebih dahulu. Bahkan kemudian pihak desa pakraman menuntut agar desa dilibatkan dalam pengerjaan proyek, agar sesuai dengan rencana pembangunan desa, dalam hal ini rencana pembangunan jaringan pipanisasi milik desa. Sulit dibayangkan bahwa hal demikian bisa terjadi di masa sebelum jaman reformasi. Juga karena desakan kebutuhan untuk mengatasi masalah

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

311

yang ada, pihak desa berani menuntut agar asset milik Pemerintah Provinsi itu diberikan kepada desa. Di sini sekali lagi menunjukkan bahwa relasi desa adat/pakraman dengan pemerintah supra-desa sudah mengalami perubahan, yang dalam hal ini kedudukan desa pakraman diakui sebagai entitas yang lebih otonom.

Lalu ketika di Kabupaten Karangasem diselenggarakan Pilkada tahun 2010 (pilkada dilaksanakan bulan 4 Mei 2010), muncul suatu peristiwa yang cukup menghebohkan. Peristiwa itu berhubungan dengan tindakan pengurus Desa Pakraman Tabola yang menjelang Pilkada membuat perjanjian tertutup untuk mendukung salah satu kandidat yang ikut Pilkada. Dalam surat perjanjian dinyatakan bahwa pihak pengurus desa akan mengusahakan dukungan bagi kandidat dimaksud, dengan kompensasi bila menang akan membebaskan beban hutang desa atas pengalihan pengelolaan usaha air minum desa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem ke Desa Pakraman Tabola.

Seperti sudah disebutkan dalam bagian tulisan sebelumnya, Desa Pakraman Tabola harus melunasi hutangnya terhadap Pemda (dalam hal ini PDAM Karangasem) sebesar kurang lebih Rp500 juta, yang harus dibayar dengan cara mencicil. Langkah pengurus desa, khususnya Bendesa Tabola, untuk membuat perjanjian itu di dorong oleh keinginan untuk bisa mengatasi berbagi masalah dalam hal pengelolaan usaha air minum desa oleh desa pakraman secara mandiri, yang salah satu sumbernya adalah beban utang yang besar. Beban utang yang besar ini membuat rencana untuk memperbaiki berbagai fasilitas usaha air minum, khususnya perbaikan jaringan pipa menjadi terkendala.

Langkah terobosan dari bendesa yang oleh sebagian warga Tabola dibilang “nekad” ini menjadi masalah ketika surat perjanjian itu digugat oleh kandidat lainnya sebagai praktek money politic dan diadukan ke pihak Lembaga Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten. Pihak pengurus desa pakraman sempat diperiksa oleh Panwaslu meskipun pada akhirnya disimpulkan tidak terjadi praktek money politic. Sebagaimana diketahui, kandidat calon yang didukung oleh Bendesa Tabola pada akhirnya memang memenangkan Pilkada, terpilih

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

312

kembali untuk kedua kalinya sebagai Bupati dan Wakil Bupati Karangasem.

Menarik untuk mencermati apa yang dilakukan oleh Bendesa Tabola bersama dengan sebagian jajaran para pengurusnya. Di sini disebutkan, bersama sebagian jajaran pengurusnya, karena memang tidak semua pengurus setuju atau bahkan mengetahui langkah “nekad” bendesa itu. Seperti misalnya Bendahara Desa Pakraman Tabola yang mengaku tidak mengetahui karena sedang di luar desa saat perjanjian itu dibuat. Selain itu, secara terus terang dia juga tidak setuju karena justru cenderung mendukung calon lainnya yang berasal dari satu leluhur keluarga (dadya) yang sama. Terkait dengan relasi dadya ini, memang di Bali hal tersebut penting, karena mobilisasi politik sering menggunakan jaringan relasi keluarga besar (dadya).

Sebagaimana akan dibahas pada bagian tulisan di bawah ini, dukungan yang dilakukan Desa Tabola kepada salah satu kandidat, yaitu bupati yang sedang menjabat (imcumbent), selain karena alasan untuk mendapatkan pembebasan beban hutang kepada Pemda, juga bernuansa kesamaan leluhur (dadya). Meskipun harus diakui bahwa pertimbangan paling utama untuk mendukung kandidat dimaksud memang adalah pembebasan beban hutang. Dalam satu surat yang berjudul “Sikap Prajuru Desa Pakraman Tabola, Kaitannya Dengan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Karangasem Periode 2010 – 2015” disebutkan, antara lain pernyataan sebagai berikut.

“Kami ingin agar kandidat pasangan I Wayan Geredeg/I Made Sukarana menang di tingkat kabupaten, khususnya di Desa Pakraman Tabola. Andaikata dimenangkan oleh pasangan I Wayan Geredeg/I Made Sukarana pasangan tersebut berjanji akan (1) menghapuskan beban hutang biaya kompensasi dalam hal pengembalian pengelolaan Air Minum milik Desa Pakraman Tabola sebesar: Rp536.851.043,-; (2) membantu pembangunan Pura Puseh Tabola dan mengangkat status Pura Puseh Tabola sebagai Kahyangan Jagat melalui Gubernur, Walikota dan Bupati seluruh Bali.”11

11 Surat Desa Pakraman Tabola yang ditandatangani Bendesa, I Gusti Lanang Sidemen dan Sekretaris Desa, Ketut Sukayasa tentang “Sikap Prajuru Desa Pakraman Tabola

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

313

Di samping pernyataan dukungan itu, juga disebutkan pernyataan lain yang sifatnya seolah-olah memperingatkan (secara politis) warga Desa Tabola tentang beban yang harus dipikul desa.

“Jika pasangan I Wayan Geredeg/I Made Sukarana menang di Kabupaten tetapi tidak menang di Desa Pakraman Tabola, janji itu akan sulit terwujud. Oleh karena itu harus bersiap-siap mengeluarkan urunan untuk pengembalian beban hutang kepada PDAM Karangasem”.

Lalu pernyataan penegasan itu diikuti oleh suatu kesimpulan surat, yang menyatakan: “…kami mengharapkan kepada semua krama desa/krama banjar Pakraman Tabola untuk mencermati apa yang kami paparkan tersebut di atas dan menghimbau demi untuk kepentingan Desa Pakraman Tabola, khususnya Pembangunan/pemugaran Pura Puseh Tabola”. Akhirnya surat itu ditutup dengan tandatangan Bendesa/Klian Desa dan Sekretaris Desa Tabola, I Gusti Lanang Sidemen dan Ketut Sukayasa.

Dari keseluruhan isi surat, sangat jelas bahwa para pengurus desa memberikan dukungan kepada kandidat calon Bupati/Wakil Bupati I Wayan Geredeg/I Made Sukarana; ketimbang ke tiga kandidat calon yang lain, yaitu pasangan I Putu Kertya/Cokorda Suteja, I Wayan Sudirta/ I Wayan Astawan, dan I Wayan Bagiarta/I Gusti Lanang Rudiarta. Di antara pasangan calon itu, salah satu kandidat calon Wakil Bupati, Cokroda Suteja bahkan putra asli dari Desa Pakraman Tabola, anak sulung dari penglingsir Puri Sidemen, Cokorda Gde Dangin. Namun tentu saja, pengurus desa tidak mendukung sama sekali calon asal desanya tersebut karena berbagai alasan. Selain pasangan calon yang bersangkutan dinilai kurang popular dan kecil peluangnya untuk memenangkan Pilkada, calon tersebut terutama adalah keluarga Puri Sidemen. Bagaimanapun, suasana konflik yang pernah terjadi antara pengurus desa dengan Cokorda Made Dangin dari Puri Sidemen belum

Kaitannya Dengan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Karangasem Periode 2010 s/d 2015”. Desa Tabola, Sidemen, 20 April 2010.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

314

pulih betul, meskipun upaya rekonsiliasi dari ke dua belah pihak terus diupayakan oleh masing-masing.12

Sedangkan dukungan terhadap kandidat calon Bupati/Wakil Bupati, I Wayan Geredeg/I Made Sukarana, tentu saja lebih menjanjikan. Pasangan ini dianggap jauh lebih popular dibandingkan calon-calon yang lain; dan tentu saja peluang untuk menang sangat besar mengingat I Wayan Geredeg adalah Bupati incumbent. Begitupula peluang untuk dibebaskan dari beban hutang bila pasangan ini memenangkan Pilkada cukup terbuka, mengingat proses negosiasi pengambilalihan pengelolaan usaha air minum desa dari PDAM ke desa adalah sepengetahuan dan seijin Bupati I Wayan Geredeg. Faktor lain yang tidak kalah penting, I Wayan Geredeg adalah Ketua Dadya Kanuruhan Bali; sedangkan sekretaris desa Tabola, Ketut Sukayasa adalah Ketua Dadya Kanuruhan Kecamatan Sidemen. Adanya kesamaan asal usul keturunan (dadya kanuruhan) ini tak pelak menjadi salah satu faktor pendorong munculnya dukungan itu.

Dalam kesempatan wawancara dengan Ketut Sukayasa, sekretaris Desa Pakraman Tabola, jauh hari sebelum surat itu keluar, sudah menunjukkan tanda-tanda dukungannya kepada I Wayan Geredeg. “Bagaimanapun sulit untuk tidak mendukung beliau lagi (Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg). Sebab beliau itu satu leluhur, satu keturunan keluarga, satu dadya, kanuruhan dengan saya,” demikian kata Ketut Sukayasa. 13

12 Dalam kesempatan wawancara, dengan tokoh kedua kubu yang bertikai (Cokorda Gde Dangin dan I Gusti Lanang Gita di satu pihak dengan I Gusti Lanang Sidemen dan pengurus Desa Tabola yang baru di pihak lain) terkesan kuat bahwa mereka semua menginginkan adanya rekonsiliasi. Terkait upaya rekonsiliasi ini, mereka menjelaskan hal yang sama, yaitu menginginkan kehidupan desa yang kembali harmonis sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana.

Dadya Kanuruhan mengacu pada leluhur keturunan keluarga Arya Kanuruhan, salah satu satria Majapahit yang ikut dalam ekspedisi pasukan Majapahit dalam menaklukkan Bali. Kelak kemudian, Arya Kanuruhan ini menjadi pengiring atau patih Raja Bali yang berkedudukan di Gelgel, dan

13 Wawancara dengan Ketut Sukayasa. Banjar Kebon, Desa Pakraman Tabola, Sidemen, 24 Desember 2009

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

315

kemudian Klungkung, Bali. Raja Bali ini, dalam babad diakui sebagai leluhur langsung keluarga di Puri Sidemen.

Yang juga menarik untuk dicermati dari isi surat adalah adanya janji bahwa bila calon yang didukung desa menang, mereka akan membantu pembangunan Pura Puseh Tabola, dan mengangkat status Pura Puseh Tabola itu sebagai kahyangan jagat. Hal pertama yang perlu diperhatikan, bahwa ternyata janji untuk menghapuskan beban hutang masih perlu diembel-embeli atau ditambahi dengan janji bantuan pembangunan pura puseh dan mengusahakan untuk bisa mengangkat statusnya menjadi kahyangan jagat. Embel-embel janji ini sifatnya simbolik, karena terkait adat dan agama yang diyakini oleh krama desa. Janji seperti ini dinilai penting untuk dinyatakan semata-mata untuk menunjukkan bahwa komitmennya tidak hanya bersifat material, tetapi lebih dari itu juga memiliki dimensi immaterial, yaitu dalam wujud adat dan agama, yang bagi masyarakat desa menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Jadi dalam hal ini, transaksi dalam politik tidak saja melibatkan transaksi material, tetapi juga transaksi immaterial yang tentu saja memiliki dimensi simbolik.

Terkait janji untuk meningkatkan status Pura Puseh Tabola menjadi pura kahyangan jagat, bisa dijelaskan sedikit artinya berikut ini. Pura Puseh Tabola selama ini dikenal sebagai pura milik Desa Tabola yang menjadi salah satu bagian dari kahyangan tiga yang ada di desa Tabola. Dalam pura puseh ini para krama desa menyembah Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam perwujudannya sebagai Dewa Brahma, Sang Maha Pencipta. Namun, pada setiap waktu tertentu secara regular, di Pura Puseh Tabola dilakukan kegiatan bersama terkait upacara keagamaan yang cukup besar bagi umat Hindu di Bali yang dinamakan Betara Turun Kabeh. Secara sederhana, upacara Batara Turun Kabeh bisa digambarkan sebagai suatu upacara menyambut perjalanan Dewa-Dewa yang ada di Pura Besakih menuju pantai Klotok yang ada di Klungkung.

Dalam perjalanan pulang menuju Pura Besakih, para Betara atau Dewa-Dewa itu mampir dan bermalam di Pura Puseh Tabola. Kehadiran para Betara atau Dewa di Pura Puseh ini kemudian

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

316

disambut suatu upacara besar di pura puseh oleh umat Hindu, yang tidak saja berasal dari Desa Tabola, tetapi juga luar Tabola. Mungkin karena Pura Puseh Tabola pada waktu tertentu menjadi tempat upacara bagi umat Hindu, yang juga berasal dari luar Desa Tabola, maka oleh sebagian kalangan di desa, statusnya bisa ditingkatkan menjadi pura kahyangan jagat. Kahyangan jagat ini artinya kira-kira tempat suci (untuk sembayang) bagi seluruh (umum) umat Hindu (Stuart-Fox, 2010). Ini berbeda dengan status kahyangan tiga, yang merupakan tempat suci untuk para krama desa pakraman tertentu sebagai pemaksan pura (umat).

Dengan adanya keingingan untuk menjadikan Pura Puseh Tabola menjadi pura kahyangan jagat, maka kira-kira Puseh Tabola ingin disamakan (kurang lebih) dengan pura-pura besar berikut ini yang memang memiliki status sebagai Pura kahyangan jagat, yang lokasinya mewakili 9 penjuru angin. Sembilan pura kahyangan jagat itu adalah sebagai berikut. Pertama, Pura Besakih di arah Timur Laut (terletak di punggung Gunung Agung, Kabupaten Karangasem). Kedua, Pura Lempuyangan Luhur di arah Timur (terletak di Kabupaten Karangasem). Ketiga, Pura Anda Kasa di arah Selatan (terletak di Kabupaten Karangasem). Keempat, Pura Gua Lawah di arah Tenggara (terletak di Kabupaten Klungkung). Kelima, Pura Ulu Watu di arah Barat Daya (terletak di Kabupaten Badung). Keenam, Pura Luhur Batu Karu di arah Barat (terletak Kabupaten Tabanan). Ketujuh, Pura Puncak Mangu di arah Barat Laut (terletak di Kabupaten Badung). Kedelapan, Pura Batur di arah Utara (terletak di Kabupaten Bangli). Kesembilan, Pura Pusering Jagad di arah Tengah (terletak di Pejeng Kabupaten Gianyar).

Melihat perbandingan seperti ini, tentu bukan hal gampang bagi seorang Bupati untuk menjadikan Pura Puseh Tabola meningkat statusnya dari Pura Kahyangan Tiga menjadi Pura Kahyangan Jagat. Tetapi, seperti pepatah: “dalam politik, apa yang tidak bisa dijanjikan”. Hal-hal yang kurang masuk akal pun bahkan tidak jarang juga dijanjikan, dan anehnya banyak pula yang terpikat oleh janji-janji seperti itu. Tetapi memang seringkali janji politik merupakan satu hal,

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

317

dan memenuhi janji tersebut adalah hal lain. Terkait janji politik, hal seperti inilah yang dialami oleh Desa Tabola.

Seperti yang sudah diperkirakan, pasangan calon I Wayan Geredeg/I Made Sukarana, akhirnya memenangkan Pilkada dan dilantik menjadi Bupati/Wakil Bupati. Tidak lama setelah kemenangan itu, Bendesa Tabola disertai dengan beberapa pengurus desa lainnya sempat menemui Bupati dan Wakil Bupati Karangasem untuk menyinggung masalah janji yang pernah disampaikan. Hasilnya, sampai saat itu (sampai akhir tahun 2010), apa yang dijanjian masih tinggal sebagai janji. “Memang yang berjanji waktu kampanye adalah Wakil Bupatinya. Tapi tidak mungkin Bupati tidak mengetahui. Dan beberapa kali kami sempat ketemu, lalu menyinggung janji itu, tetapi belum ada respon nyata yang menggembirakan,” demikian ungkap Bendesa Tabola. “Tetapi kami tetap akan berusaha menagihlah,” lanjutnya. Oleh karena itu, status hutang desa kepada PDAM Kabupaten Karangasem masih tetap berlaku, dan masih menjadi kewajiban Desa Tabola untuk mengembalikannya.

Dari sisi pandang Cokorda Gde Dangin, mantan prakangge Desa Tabola, apa yang dihadapi oleh pengurus Desa Tabola itu, menurutnya adalah masalah yang diciptakan sendiri dan itu menunjukkan tingkat kekurangmampuannya mengelola urusan-urusan desa secara baik. Menurut Pak Cok, hal-hal seperti ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pengurus desa (yang baru), yang dengan sendirinya akan memperlemah kedudukannya di mata masyarakat. “Biar masyarakat menilai sendiri,” demikian ujarnya. 14

14 Wawancara dengan Cokorda Gde Dangin. Puri Sidemen, Desa Tabola, Sidemen, 30 April 2010.

Cokorda Gde Dangin yang masih menjabat sebagai Ketua Majelis Alit Desa Pakraman (MDP) Kecamatan Sidemen itu rupanya masih belum bisa melupakan sama sekali konflik yang pernah terjadi dengan pengurus desa (yang baru), yang kemudian mendorongnya untuk mengundurkan diri dalam kedudukannya sebagai prakangge desa. Meskipun dalam beberapa kesempatan wawancara sering juga

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

318

menyatakan keinginannya untuk memulihkan kembali keharmonisan kehidupan desa dari suasana konflik yang pernah terjadi itu.

Namun bagaimanapun, sebagai pewaris kekuasaan Puri Sidemen, tentu saja pak Cok Dangin tidak kehilangan keinginan untuk terus membangun kembali pengaruh Puri Sidemen di kalangan masyarakat desa, baik di Tabola atau desa-desa sekitarnya yang sejak dahulu kala pernah tertanam pengaruh puri yang bediri sejak aad 18 itu. Bahkan keinginannya itu tidak hilang meskipun putra sulungnya kalah dalam Pilkada Kabupaten Karangasem, termasuk kurang mendapatkan dukungan di desanya sendiri. Dengan posisinya masih sebagai Ketua Majelis Alit Desa Pakraman Kecamatan Sidemen, tentu pak Cok masih memiliki kesempatan membangun kembali pengaruhnya.

Seperti kata-kata sahabatnya sejak lama, Ida I Dewa Catra, bahwa pak Cok hanya ngambul atau patah arang sementara saja. Ketika suasana reda dan memungkinkan baginya untuk berperan kembali, Pak Cok yang sudah puluhan tahun terbukti tidak pernah lepas sedikitpun dari urusan-urusan desanya, tentu akan berusaha membangun kembali pengaruhnya. Dalam berbagai kesempatan wawancara, sering ditegaskan bahwa keterlibatannya dalam urusan desa dan masyarakat adalah bagian dari tugas sejarah keluarga Puri Sidemen untuk terus menerus berusaha untuk memajukan desa dan masyarakatnya.

Pada titik ini, kompetisi kepemimpinan di desa tentu akan kembali berlangsung, dan itu menunjukkan bahwa di balik suasana kehidupan masyarakatnya yang (seolah-olah) tenang dan harmoni itu, ternyata di dalam dirinya tersimpan energi politik desa yang dinamis, sebagai hasil dari pergulatan kepemimpinan yang tidak pernah surut atau berhenti, baik yang berlangsung secara terbuka maupun diam-diam. Meskipun pada saat yang sama, semangat untuk membangun kehidupan desa yang harmonis tidak pernah surut, dan ini sejalan dengan konsep ajaran yang sangat diyakininya tentang Tri Hita Karana. Dengan demikian, konflik dan harmoni terus menerus berjalan seiring, dan itu lah salah satu sumber dari berbagai perubahan sosial di Tabola.

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

319

Bentuk Kepemimpinan Baru di Tabola

• Kepemimpinan dan Politik Supra-Desa

Dari apa yang dikemukakan pada tulisan di atas, menarik untuk mencermati bahwa pada masa sekarang, Desa Pakraman, dimungkinkan untuk mengambil inisiatif politik terkait proses pemilihan kepemimpinan lembaga supra-desa, yang dalam hal ini adalah pemilihan Bupati/Wakil Bupati. Upaya inisiatif ini dimungkinkan terutama karena proses pemilihan kepemimpinan lembaga supra-desa itu dilakukan melalui pemilihan secara langsung (Pemilihan Kepala Daerah Langsung/Pikadal), di mana dalam hal ini posisi desa adat/pakraman menjadi penting karena pengaruh kepemimpinan desa di Bali pada umumnya masih diikuti dan dalam tingkat tertentu dijadikan panutan oleh masyarakatnya. Sehingga apa yang menjadi kecenderungan para tokoh desa biasanya diikuti oleh para krama desa (warga desa) sebagai sesuatu yang memang patut dan baik untuk diikuti.

Itulah sebabnya setiap berlangsung peristiwa politik, apakah pemilihan Kepala Daerah Kabupaten/Kota atau Provinsi, atau bahkan Pemilihan Presiden, desa pakraman, khususnya Desa Tabola, selalu tidak pernah sepi dari tarik menarik pengaruh politik. Pada situasi seperti itu, misalnya, selalu saja terjadi tarik menarik antara para tokoh desa, termasuk para pengurus desa, dengan pihak-pihak luar yang terlibat langsung (para kandidat calon) maupun tidak langsung (tim pemenangan) dalam proses pemilihan. Banyak cara yang dipakai untuk menarik pengaruh masyarakat desa, mulai dari memanfaatkan jaringan yang terbangun dengan para tokoh desa secara personal ataupun kelompok, memanfaatkan hubungan keluarga besar seperti misalnya hubungan sebagai satu leluhur (dadya), memanfaatkan hubungan tertentu (hubungan sosial, ekonomi/bisnis maupun politik) dengan para pemimpin dan pengurus desa adat/pakraman secara formal, dan lain sebagainya.

Untuk kepentingan itu, biasanya mereka membikin pertemuan-pertemuan silahturahmi dalam rangka menggalang

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

320

dukungan politik, atau yang di Bali dikenal dengan nama ‘mesimakrama’. Sedemikian sering dan banyaknya pertemuan-pertemuan semacam itu, sehingga sejak beberapa tahun terakhir, kata ‘mesimakrama’ menjadi semakin popular di telinga masyarakat desa adat/pakraman, dan konotasinya sedikit agak bergeser menjadi lebih banyak diasosiasikan dengan pertemuan-pertemuan politik untuk menggalang suatu dukungan politik tertentu. Padahal arti sesungguhnya dari ‘mesimakrama’ lebih mengacu pada pengertian yang netral, yaitu suatu pertemuan adat yang melibatkan para krama atau warga untuk menjelaskan atau mensosialisasikan sesuatu masalah tertentu.

Upaya inisiatif desa atau warga desa dalam proses pemilihan kepemimpinan politik lembaga supra-desa seperti disinggung di atas, mungkin tidak terbayangkan bisa terjadi di masa sebelum reformasi (Orde Baru). Sebab desa adat atau yang sekarang diubah sebutannya menjadi desa pakraman, pada masa lalu lebih banyak bersikap pasif untuk hal-hal seperti itu, dan pada umumnya desa adat/pakraman mengikuti saja apa yang menjadi ‘petunjuk’ politik dari atas.

Petunjuk dari atas itu biasanya bersumber dari pemerintahan, baik pemerintahan pada tingkat desa dinas, kecamatan maupun kabupaten. Ini sejalan dengan pola politik yang berkembang pada waktu itu, yaitu proses politik yang ‘monolitik’, yang arusnya satu arah, dari atas ke bawah. Yang paling jelas, dalam setiap Pemilu pada masa Orde Baru, biasanya selalu ada pengarahan-pengarahan dari “atas” untuk mendukung golongan politik tertentu (Golkar) kepada desa adat. Dan kalau menyangkut hal seperti ini, biasanya tidak ada peluang bagi desa adat untuk menawar alternatif pilihan politik lain seperti pada masa sekarang ini.

Tetapi jaman memang telah berubah, dan pola kepemimpinan yang terbangun di desa juga berbeda. Misalnya, dalam konteks Desa Pakraman Tabola, para pengurus desanya malah mampu memanfaatkan perkembangan lingkungan politik supra-desa sebagai alat untuk mengkonsolidasikan diri. Mereka pun juga memiliki kesempatan yang terbuka untuk bernegosiasi dengan kekuatan-

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

321

kekuatan politik supra-desa, meskipun hasilnya kemudian belum terbukti efektif karena janji-janji politik belum mampu diwujudkan secara kongkrit. Hal ini tak pelak menunjukkan bahwa desa masih saja dipandang lemah, terbukti begitu mudahnya kekuatan politik luar desa melupakan janji-janjinya. Desa dianggap penting bila ada kebutuhan untuk mendapatkan dukungan politik sesaat, ketika dilangsungkan pemilihan umum langsung yang membutuhkan suara warga desa. Setelah itu, sebagaimana ditunjukkan dengan perkembangan yang berlangsung di Tabola pada saat Pilkada Kabupaten Karangasem, nasibnya ibarat “habis manis sepah dibuang”.

Namun demikian, sejalan dengan apa yang ditulis oleh Scott (2009), bahwa seringkali (kalau tidak bisa dikatakan selalu) terjadi tarik ulur antara kekuatan internal desa dan dengan kekuatan eksternal desa atau supra-desa menyangkut kepentingan mereka masing-masing. Di dalam proses tarik ulur itu kadang pihak desa mampu memenangkan perjuangan kepentingannya, tetapi juga tidak jarang di waktu yang lain, desa harus mengaku kalah terhadap kepentingan pihak luar desa atau supra-desa, meski bagi desa ini tidak berarti berhenti dan menyerah.

Sebagaimana digambarkan James Scott tersebut usaha desa untuk memenangkan kepentingannya tidak akan pernah berhenti dan bahkan akan terus berlanjut sepanjang sejarah kehidupannya. Hal ini, sedikit banyak, tergambar dari apa yang terjadi di desa-desa di Bali, khususnya desa Tabola. Desa Pakraman Tabola juga tidak pernah berhenti dan menyerah dalam memperjuangkan kepentingannya menghadapi kekuatan-kekuatan luar desa atau supra-desa. Misalnya saja, terkait janji kosong atas dukungan politik desa terhadap salah salah satu calon dalam Pilkada lalu, Bendesa Tabola dengan tenang menjawab15

“Saya biarkan saja… Pernah saya datang dengan beberapa orang ke rumahnya setelah dia terpilih sebagai Wakil Bupati. Dia terkejut sekali. Tapi buru-buru saya bilang bahwa saya bertamu

:

15 Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Banjar Budha Manis, Desa Tabola, Oktober 2010.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

322

untuk menjalin hubungan baik saja, dan apa yang sudah terjadi (janji politik) jangan dijadikan beban”.

Selanjutnya Bendesa Tabola yang pensiunan guru itu menjelaskan bahwa andaikata pemerintah (kekuatan luar desa atau supra desa) tidak tidak bisa membantu (menepati janji-janjinya), desa masih tetap punya jalan. “Sebab hutang yang dibebankan kepada desa itu tidak riil karena proyek yang dikatakan nilainya ratusan juta itu ternyata tidak ada wujudnya. Ke desa pun saya katakan tidak perlu khawatir soal hutang. Saya sebagai bendesa bertanggung jawab,” demikian tegas Bendesa Tabola16

• Kepemimpinan Baru di Tabola

. Secara implisit dalam ucapan Bendesa Tabola terbesit pemikiran masih ada jalan alternatif lainnya untuk mengatasi masalah hutang yang dibebankan begitu saja ke desa oleh pemerintah daerah (PDAM), ketika desa mengambil alih kembali apa yang menjadi miliknya. Dengan jelas, di sini pesannya adalah desa adat/pakraman Tabola, bersama kepemimpinannya yang sekarang, tidak akan berhenti menyerah atas masalah yang dihadapi.

Ketika Bendesa dan sekretaris Desa Tabola mengeluarkan surat dukungan kepada salah seorang kandidat calon dalam Pilkada Kabupaten Karangasem, tidak semua pengurus desa setuju terhadap bentuk dukungan seperti itu. Alasannya, tentu saja, bermacam-macam. Tetapi secara garis besar berbagai macam alasan itu bisa dikelompokkan menjadi dua. Pertama, tidak setuju atau menolak karena menilai tidak pada tempatnya desa pakraman memberikan dukungan terbuka melalui surat pernyataan yang ditandatangani bendesa dan sekretaris desa. Mereka cenderung menginginkan desa pakraman bersikap netral, dan secara normatif berpandangan seharusnya desa menghormati dan mengayomi semua pilihan bebas para warga desanya. Kedua, tidak setuju atau menolak dengan alasan mereka masing-masing sudah kecenderungan untuk mendukung pasangan calon lainnya.

Salah satu contohnya, Bendahara Desa Pakraman Tabola, misalnya, termasuk salah satu pengurus desa pakraman yang tidak 16 Op.Cit. Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen.

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

323

setuju dengan langkah Bendesa tersebut di atas. “Sebelumnya saya sudah bilang, tidak boleh bendesa adat berpolitik praktis. Adat mengayomi semua…tetapi kalau mendukung secara pribadi, ya silahkan. Dalam rapat sudah dinyatakan begitu, tetapi saya tidak tahu perkembangannya kemudian karena sedang ke luar daerah lama. Tahu-tahu ketika kembali ke Tabola, dapat laporan kalau Desa Pakraman sudah membuat surat pernyataan dukungan itu, ditandatangani oleh bendesa dan sekretaris desa,” demikian cerita I Wayan Suartana, yang dalam kepengurusan Desa Pakraman Tabola menjabat sebagai Pasedahan atau bendahara desa. 17

Dalam wawancara dengan I Wayan Suartana yang dilakukan beberapa bulan setelah selesai Pilkada (Pilkada pada bulan Mei 2010, sedangkan wawancara dilakukan pada bulan Oktober 2010), pengusaha tenun Sidemen itu mengaku sebenarnya sejak awal dia lebih condong mendukung calon lain, yaitu pasangan I Wayan Sudirta/ I Wayan Astawa. Alasannya sederhana, calon yang bersangkutan memiliki hubungan leluhur yang sama dengannya. “Ia (calon itu) masih terbilang satu keluarga dari leluhur yang sama. Kami dan dia sama-sama keluarga Pasek,” demikian ungkapnya.

Tetapi semuanya sudah terlambat karena surat dukungan sudah terlanjur beredar ke masyarakat, dan sempat dipersoalkan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Daerah. Tetapi karena surat dukungan itu ditandatangani sepihak, hanya oleh pengurus desa dan tidak ada tandatangan kandidat calon, maka hasilnya tidak dikatagorikan sebagai pelanggaran (politik uang) dalam pilkada.

18

Tetapi yang menarik, meski terjadi perbedaan pandangan di antara para pengurus tentang siapa-siapa kandidat calon yang akan didukung dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati Karangasem, semuanya itu ternyata tidak terlalu menimbulkan permasalahan politik desa. Katakan, dibandingkan dengan suasana politik masa lalu, apakah

Dengan masih adanya hubungan leluhur yang sama, berarti mereka berasal dari satu dadya yang sama.

17 Wawancara dengan I Wayan Suartana, Bendahara Desa Pakraman Tabola. Banjar Tabola, Desa Tabola, Oktober 2010. 18 Op. Cit. Wawancara dengan I Wayan Suartana.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

324

pada masa Orde Baru atau lebih jauh lagi, yaitu pada era politik tahun 1950 -1960-an. Pada masa Orde Baru sudah jelas bahwa perbedaan pilihan politik tidak bisa atau kurang dapat dapat ditolerir karena keberadaan dari sistem politik yang monolitik dan otoriter yang berkembang pada waktu itu. Dalam sistem yang monolitik dan otoriter, mereka yang memiliki pilihan politik di luar pilihan resmi pemerintah, tak pelak akan menerima berbagai konsekuensi yang menyulitkan.

Sedangkan pada era sebelumnya (sebelum Orde Baru), situasinya justru terlalu idiologis, sehingga perbedaan pilihan politik sering menimbulkan konflik yang sengit. Bahkan masih segar ingatan pada sebagian warga desa di Tabola tentang peristiwa konflik politik menjelang dan sesudah peritiwa politik kelam yang dikenal dengan nama G30 S PKI. Sedikit menyinggung tentang peristiwa sekitar G 30 S PKI di Tabola. Dalam ingatan Pak Cokorda Gde Dangin , konflik akibat peristiwa G30 S PKI di Tabola termasuk sangat keras dan kejam, menelan cukup banyak korban nyawa dari para pelaku politik, khususnya pengikut dan simpatisan PKI.

Bahwa perbedaan pilihan politik pada masa sekarang di Tabola tidak membawa konsekuensi yang terlalu rumit, antara lain bisa ditunjukkan dari sikap Bendesa Tabola yang tidak terlalu memperdulikan dan mempersoalkan perbedaan pilihan yang ada. Sesuatu yang mungkin agak sulit dibayangkan bisa terjadi di waktu lalu, pada masa Orde Baru ketika semuanya harus mengikuti pada pilihan dari “atas”. “Memang ada yang tidak setuju atau ada yang mendukung calon lain. Tapi saya biarkan saja, gak masalah karena saya juga melakukan itu (membuat surat dukungan) untuk kepentingan desa, bukan kepentingan saya. Dan kebetulan calon yang kami dukung menang…”, demikian kata Bendesa Tabola dengan ringan.19

Kalau menelusuri surat dukungan Bendesa tersebut di atas, tampak jelas bahwa dasar dari dukungan itu adalah hal yang praktis, yaitu adanya harapan bahwa yang didukung (bila menang) akan membantu mengatasi permasalahan praktis yang dihadapi desa. Dalam

19 Wawancara dengan Bendesa Tabola, I Gusti Lanang Sidemen. Banjar Budha Manis, Desa Pakraman Tabola, Sidemen, 2 Januari 2010.

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

325

konteks ini permasalahannya adalah bantuan untuk mengatasi masalah hutang desa kepada pemerintah daerah dan juga bantuan untuk pembangunan pura puseh. Di sini jelas bahwa dukungan yang diberikan tidak didasarkan pada unsur idiologis atau semacamnya, seperti yang terjadi pada masa lalu. Jadi pertimbangannya lebih pada unsur material ketimbang nilai atau idiologi; atau kalaupun ada dorongan unsur nilai-nilai maka hal itu terutama adalah unsur kesamaan leluhur keluarga atau yang disebut dadya.

Namun yang kelihatan jelas, tampaknya masyarakat Desa Tabola memiliki sikap yang semakin praktis dalam menilai dan menyikapi alternatif-alternatif pilihan kandidat calon ataupun pilihan politik. “Masyarakat desa di sini lebih melihat dan mendukung pada calon atau partai yang dianggap paling menguntungkan. Malah buruknya, tidak jarang hal seperti itu menimbulkan praktik ‘politik uang”. Tapi bagusnya, jadi tidak ada fanatisme yang berlebihan dalam menilai dan mendukung calon atau pilihan politik,” demikan penjelasan I Gusti Lanang Sidemen, Bendesa Tabola.20

Dari segi ini, memang pada akhirnya kepemimpinan yang muncul di Tabola sekarang lebih bersifat terbuka dan plural. Ini dalam pengertian bahwa para pengurus desa menjadi terbuka dan toleran terhadap berbagai pilihan politik masing-masing. Juga dalam perkembangannya, tidak lagi muncul ”orang kuat” dalam kepemimpinan di Tabola, seperti halnya pada masa kepemimpinan sebelumnya, sebagaimana ditunjukkan oleh sosok kepemimpinan Cokorda Gde Dangin, yang pada waktu itu memiliki kedudukan sebagai ‘pingajeng’ desa. Sebaliknya yang terus tumbuh dewasa ini adalah kepemimpinan yang kurang lebih bersifat “agak setara”.

Selain itu, seperti sempat disinggung di depan, latar belakang kepemimpinan desa sekarang juga lebih beragam, ketimbang latar belakang kepemimpinan yang ada sebelumnya. Para pengurus desa sekarang, misalnya, memiliki beraneka macam latar belakang antara lain pengusaha tenun di desa, mantan perbekel dan pejabat perbekel, bekas politisi partai, pengacara/ahli hukum, pensiunan guru, dan lain- 20 Op. Cit. Wawancara dengan Bendesa Tabola, I Gusti Lanang Sidemen.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

326

lain. Kalau ditelusuri dari nama-nama pengurusnya, sebagian besar berasal dari golongan non-triwangsa, atau sedikitnya dari golongan triwangsa, khususnya satria dari lapisan lebih bawah (bukan satria tinggi seperti halnya keluarga Puri Sidemen).

Kepengurusan desa juga mengakomodasi lebih banyak perwakilan krama, baik dari banjar adat, dan golongan-golongan lain seperti desa sesabu, dura desa serta perwakilan pura-pura desa (dang kahyangan). Sehingga dengan demikian kepengurusan lebih bersifat plural, mewakili berbagai macam kelompok dan golongan yang ada di desa. Harapannya dengan kepangurusan yang lebih plural seperti ini, pemerintahan desa adat/pakraman mampu berjalan dengan mempertimbangkan lebih banyak lagi aspirasi masyarakat desa; dan “tidak berjalan sendiri” seperti yang mereka tudingkan kepada kepemimpinan pemerintahan desa adat/pakraman yang mereka gantikan itu.

Rangkuman

Desa Tabola, yang dari luar kelihatannya tenang dan penuh harmoni, ternyata di dalamnya tidak luput dari ketegangan dan konflik internal, yang hal itu menunjukkan betapa dinamis kehidupan sosial masyarakatnya. Pergolakan kepemimpinan yang berlangsung di Tabola seperti yang digambarkan dari uraian di atas, misalnya, menunjukkan situasi ketegangan dan konflik internal yang mewarnai kehidupan desa yang memiliki suasana lingkungan yang asri itu. Kalau ditelusuri, pergolakan kepemimpinan itu sendiri, sekali lagi, tidak lepas dari adanya pengaruh perubahan-perubahan yang berlangsung pada lingkungan supra-desa, utamanya situasi keterbukaan dan demokrasi yang berkembang sejak masa reformasi.

Pada masa-masa awal reformasi, para pemimpin Desa Tabola berhasil memperkuat kepemimpian desa pakraman dengan mengkonstruksi semacam konstitusi desa yang baru yang dinamakan Awig-awig Desa Pakraman Tabola. Dengan awig-awig itu, para pemimpin Desa Tabola telah berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

327

tumbuhnya kepemimpinan yang kuat dan otonom di desa adat/pakraman. Sebagai contoh, lewat awig-awig itu, struktur organisasi desa, ruang lingkup tugas dan wewenang serta hak-hak dan kewajiban desa telah dirumuskan dalam suatu naskah hukum tertulis yang mendapatkan persetujuan “pemerintahan atas desa” yaitu Pemerintahan Kabupaten. Dengan adanya konstitusi desa itu, kedudukan desa pakraman dan kepemimpinannya menjadi lebih kuat, utamanya dalam hubungannya dengan desa dinas dan struktur supra-desa, katakanlah dibandingkan dengan masa sebelum reformasi, di mana desa dan kepemimpinan desa pakraman dalam praktiknya lebih sering menjadi subordinasi dari desa dinas (dan kepemimpinan desa dinas) serta lembaga supra-desa lainnya.

Dalam struktur organisasi desa parkraman yang baru itu, kepemimpinan desa telah mengkonstruksi suatu elemen struktur baru yang disebut “pingajeng” desa; yang kalau dilihat cakupan wewenangnya bisa “mengatasi” kedudukan dari Bendesa. Oleh sebagian elit desa yang lainnya, elemen struktur baru itu dinilai tidak sejalan dengan semangat jaman keterbukaan dan menimbulkan kecurigaan bahwa hal itu dilakukan untuk kepentingan mempertahankan simbol kekuasaan lama yang bernuansa feodal. Keberadaan elemen struktur baru ini menjadi masalah kontraversial, dan dikemudian hari menjadi salah satu faktor yang ikut mendorong terjadinya pergulatan kepemimpinan desa.

Selanjutnya pergulatan kepemimpinan desa paska era reformasi menemukan bentuknya yang riil ketika sekelompok elit desa memimpin aksi perlawanan yang melibatkan krama desa dari 12 banjar, terhadap pengurus desa. Kejadiannya dipicu oleh keributan masalah pengelolaan usaha air minum desa, yaitu ketika pihak Perusahaan Daerah Air Minum/PDAM tanpa kompromi mengambil kebijakan menaikkan tarif pemakaian air yang dianggap telah “mencekik leher” masyarakat desa. Pihak pengurus desa menjadi sasaran kemarahan masyarakat karena sebelumnya dianggap semena-mena menyerahkan pengelolaan usaha air minum milik desa ke pihak Pemerintah Kabupaten (Perusahaan Daerah Air Minum/PDAM) tanpa melibatkan masyarakat desa.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

328

Namun kemarahan terhadap hal ini sebenarnya merupakan “pemicu” saja dari akumulasi ketidakpuasan masyarakat desa terhadap pengurus desa lama. Kepemimpinan pengurus desa lama dinilai pihak lawannya sebagai tidak responsif terhadap tuntutan jaman yang semakin terbuka. Hasilnya, muncul kepemimpinan baru, setelah kepemimpinan lama yang ada di lengserkan.

Setelah kekuasaan pemerintahan desa adat diambil alih oleh kepemimpinan baru yang intinya berasal dari mereka yang memimpin perlawanan terhadap pengurus desa lama, maka struktur organisasi desa disesuaikan kembali dengan kebutuhan-kebutuhan kepemimpinan baru. Yang paling menyolok, elemen “pingajeng” desa, secara diam-diam dihapuskan, yang hal ini diartikan sebagai langkah untuk mengubur hegemoni kekuasaan politik tradisional keluarga Puri Sidemen beserta jaringannya, khususnya dalam organisasi desa di Desa di Tabola.

Tetapi apakah dengan cara ini, kekuasaan politik tradisional keluarga Puri Sidemen akan betul-betul terkubur, sulit untuk dipastikan. Sebab bagaimanapun, pengaruh Puri di masyarakat masih tetap ada dan cukup kuat. Hanya saja sekarang pengaruhnya agak surut karena tidak adanya unsur keluarga Puri dalam struktur organisasi desa pakraman. Tetapi terlepas dari semuanya itu, yang jelas, dinamika Tabola selama ini tidak pernah lepas dari pengaruh tradisional keluarga Puri Sidemen yang keberadaannya di Tabola sudah ada sejak abad ke-17. Apalagi mengingat keberadaan penglingsir Puri Sidemen di organisasi “supra desa’ adat/pakraman, Majelis Desa Pakraman (MDP) Sidemen masih tetap utuh, yaitu masih tetap sebagai Ketua MDP tingkat Alit di wilayah Kecamatan Sidemen.