Bab 6 Pembahasan

84
BAB 6 PEMBAHASAN Pada bagian ini akan diuraikan pembahasan setiap hasil pengujian hipotesis penelitian. 6.1. Deskripsi Variabel Penelitian Berdasarkan statistik deskriptif variabel core service quality, aitem yang memiliki skor dibawah mean total adalah perhatian perawat, alat medis baru, fungsi alat medis, dan kelengkapan alat medis, artinya sebagian besar pasien rawat inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai bahwa perhatian perawat kepada pasien, serta peralatan rumah sakit masih perlu ditingkatkan, baik peremajaan peralatan, keandalan fungsional serta kelengkapannya. Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan terkait aitem core service quality yang memiliki penilaian di bawah rata-rata, core service quality, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis (CFA) pada konstrak core service quality, diketahui indikator yang memiliki factor loading paling besar adalah perawat 218

Transcript of Bab 6 Pembahasan

Page 1: Bab 6 Pembahasan

BAB 6

PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan diuraikan pembahasan setiap hasil pengujian

hipotesis penelitian.

6.1. Deskripsi Variabel Penelitian

Berdasarkan statistik deskriptif variabel core service quality, aitem yang

memiliki skor dibawah mean total adalah perhatian perawat, alat medis baru,

fungsi alat medis, dan kelengkapan alat medis, artinya sebagian besar pasien

rawat inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam

penelitian ini menilai bahwa perhatian perawat kepada pasien, serta peralatan

rumah sakit masih perlu ditingkatkan, baik peremajaan peralatan, keandalan

fungsional serta kelengkapannya. Berdasarkan hasil observasi peneliti di

lapangan terkait aitem core service quality yang memiliki penilaian di bawah

rata-rata, core service quality, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor

analysis (CFA) pada konstrak core service quality, diketahui indikator yang

memiliki factor loading paling besar adalah perawat (X1.2), artinya keramahan

perawat, perhatian perawat, keterampinan perawat dan sopan santun perawat

terhadap pasien merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk

kualitas layanan inti dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan dokter dan

peralatan medis.

Berdasarkan statistik deskriptif variabel peripheral service quality, aitem

yang memiliki skor dibawah mean total adalah kebersihan kamar rawat inap,

kenyamanan kamar rawat inap, variasi menu makanan, serta kesesuaian porsi

218

Page 2: Bab 6 Pembahasan

219

makanan bagi pasien. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat

inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian

ini menilai bahwa kebersihan dan kenyamanan kamar rawat inap, variasi dan

porsi menu makanan bagi pasien rawat inap di rumah sakit swasta di Surabaya

perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan terkait aitem

peripheral service quality yang memiliki penilaian di bawah rata-rata,

peripheral service quality , Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis

(CFA) pada konstrak peripheral service quality, diketahui indikator yang

memiliki factor loading paling besar adalah kamar pasien (X2.1), artinya kamar

pasien dalam hal kebersihan, kenyamanan, rapi dan sirkulasi udara yang baik

merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk peripheral service

quality dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan menu makan.

Berdasarkan statistik deskriptif variabel appraisal emotion, aitem yang

memiliki skor dibawah mean total adalah perasaan dalam menerima layanan

dokter, layanan perawat, menempati kamar rawat inap, serta penyajian menu

makanan. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat inap rumah

sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai

bahwa emosi pasien dalam hal layanan dokter, layanan perawat, menempati

kamar rawat inap, dan penyajian menu makanan bagi pasien rawat inap di rumah

sakit swasta di Surabaya perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil observasi peneliti

di lapangan terkait aitem appraisal emotion yang memiliki penilaian di bawah

rata-rata, appraisal emotion, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis

(CFA) pada konstrak appraisal emotion, diketahui indikator yang memiliki

Page 3: Bab 6 Pembahasan

220

factor loading paling besar adalah takut atau fear (Y1.2), artinya perasaan takut

pasien dalam menerima layanan dokter, perawat, dan peralatan medis

merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk appraisal emotion

dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan perasaan bahagia atau happy dan

marah atau angry.

Berdasarkan statistik deskriptif variabel perceived value, aitem yang

memiliki skor dibawah mean total adalah kesesuaian biaya dengan kecepatan

layanan, kesesuaian biaya dengan fasilitas kamar, dan kesesuaian biaya dengan

image. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat inap rumah sakit

swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai bahwa

kecepatan layanan, fasilitas kamar, dan image pasien masih perlu disesuaikan

lagi dengan biaya yang dikeluarkan pasien. Berdasarkan hasil observasi peneliti

di lapangan terkait aitem perceived value yang memiliki penilaian di bawah rata-

rata, perceived value, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis (CFA)

pada konstrak perceived value, diketahui indikator yang memiliki factor loading

paling besar adalah nilai harga (Y2.2), artinya nilai harga merupakan indikator

yang paling besar dalam membentuk perceived value dari suatu rumah sakit

swasta, dibandingkan nilai emosional dan nilai sosial.

Berdasarkan statistik deskriptif variabel customer satisfaction, aitem

yang memiliki skor dibawah mean total adalah kesesuaian layanan perawat

dengan harapan pasien, kepuasan terhadap layanan rawat inap, kepuasan

terhadap layanan perawat, dan kepuasan terhadap layanan dokter. Hal ini

menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat inap rumah sakit swasta di

Page 4: Bab 6 Pembahasan

221

Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai bahwa kepuasan

pasien terhadap layanan perawat, dokter, dan layanan rawat inap masih perlu

ditingkatkan. Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan terkait aitem

customer satisfaction yang memiliki penilaian di bawah rata-rata, customer

satisfaction, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis (CFA) pada

konstrak customer satisfaction, diketahui indikator yang memiliki factor loading

paling besar adalah harapan/ expectation (Y3.2), artinya kesesuaian pelayanan

dokter, perawat, fasilitas kamar inap dan makanan dengan harapan pasien

merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk customer satisfaction

dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan pengalaman dan kepuasan secara

keseluruhan.

Berdasarkan statistik deskriptif variabel Switching Cost, aitem yang

memiliki skor dibawah mean total adalah “banyak waktu yang saya korbankan

untuk mendapatkan pengetahuan tentang layanan rumah sakit lain jika saya

pindah rumah sakit”. Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan terkait

aitem switching cost yang memiliki penilaian di bawah rata-rata, switching cost,

Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis (CFA) pada konstrak

switching cost, diketahui indikator yang memiliki factor loading paling besar

adalah prosedural switching cost (Y4.1), artinya prosedural switching cost

merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk switching cost dari

suatu rumah sakit swasta, dibandingkan contractual switching cost dan

relational switching cost.

Page 5: Bab 6 Pembahasan

222

Berdasarkan statistik deskriptif variabel customer loyalty, aitem yang

memiliki skor dibawah mean total adalah “saya akan memberikan rekomendasi

kepada saudara untuk menggunakan rawat inap rumah sakit ini” dan “jika saya

membutuhkan rawat inap akan tetap menggunakan rumah sakit, meskipun tarif

perawatan di rumah sakit lain lebih murah”. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian

besar pasien rawat inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden

dalam penelitian ini menilai bahwa loyalitas pasien perlu ditingkatkan dalam hal

rekomendasi kepada saudara serta keinginan untuk tetap menggunakan layanan

rumah sakit walaupun terdapat kenaikan tarif. Berdasarkan hasil observasi

peneliti di lapangan terkait aitem customer loyalty yang memiliki penilaian di

bawah rata-rata customer loyalty, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor

analysis (CFA) pada konstrak customer loyalty, diketahui indikator yang

memiliki factor loading paling besar adalah melanjutkan penggunaan (continued

of use) (Y5.1), artinya keinginan pasien untuk melanjutkan penggunaan

(continued of use) merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk

customer loyalty dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan keinginan untuk

merekomendasikan kepada orang lain (recommendatins to others) dan ketahanan

untuk tidak berpindah ke rumah sakit lain (resilience to not go to other

products).

6.3. Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis

6.3.1. Pengaruh Core Service Quality (X1) terhadap Appraisal Emotion (Y1)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke satu ( Tabel 5.23 di

halaman 210), besarnya koefisien variabel Core Service Quality (X1 ) yang

Page 6: Bab 6 Pembahasan

223

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel

Appraisal Emotion (Y1) = 0,366 dengan P < 0,05. Hipotesis ke satu yang

menyatakan Core Service Quality berpengaruh signifikan terhadap

Appraisal Emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti

benar atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara

teoritis hubungan pengaruh dari Core Service Quality terhadap Appraisal

Emotion adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien

terhadap Core Service Quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe

B di Surabaya semakin baik (positif), maka Appraisal Emotion pasien

rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat.

Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap Core Service Quality yang

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun

(negatif), maka Appraisal Emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di

Surabaya akan semakin rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010) hasil penelitiannya

mengindikasikan adanya hubungan Core service Quality terhadap

Appraisal Emotion, dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat,

alat medis, semakin tinggi core service Quality semakin positif Appraisal

Emotion pasien terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan

(Liljander and Strandvik, 1997). Hasil evaluasi tersebut akan menghasilkan

perasaan emosi positif seperti bahagia, senang atau perasaan emosi negatif

seperti marah, jengkel, kecewa terhadap pelayanan yang ditawarkan oleh

Page 7: Bab 6 Pembahasan

224

penyedia service tersebut. Semakin baik kualitas inti pelayanan yang berupa

dokter, perawat di tunjang peralatan yang memadai pasien akan nyaman karena

kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan emosi pasien menjadi positif. Maka

ada hubungan Core Service Quality terhadap Appraisal Emotion positif.

Penelitian tersebut mengandung makna bahwa Core Service Quality yang diukur

dengan menggunakan pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang

memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Appraisal

Emotion.

Pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai merupakan

hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas inti layanan di rumah sakit.

Hal ini akan menjadikan penilaian emosi pasien menjadi positif, sehingga dapat

digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke

dua variabel tersebut.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, perhatian, trampil, sopan

mendorong terwujudnya penilaian emosi pasien positif, sehingga sesuai dengan

harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya. Alat medis yang dimiliki

lengkap, berfungsi dengan baik, moderen merupakan penunjang dari pada

kualitas inti layanan, sehingga terjadi penilaian emosi positif pada layanan

rumah sakit swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi core service

quality semakin tinggi appraisal emotion positif pasien rumah sakit swasta di

Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010) dan (Liljander

Page 8: Bab 6 Pembahasan

225

and Strandvik, 1997). Hipotesis ke satu (H1) menyatakan bahwa core service

quality berpengaruh signifikan terhadap appraisal emotion.

6.3.2. Pengaruh Peripheral Service Quality (X2) terhadap Appraisal Emotion (Y1)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesisi ke dua ( Tabel 5.23 di

halaman 210), besarnya koefisien variabel Peripheral Service Quality (X2)

yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap

variabel Appraisal Emotion (Y1) = 0,579 dengan P < 0,05. Hipotesis ke

dua yang menyatakan Peripheral Service Quality berpengaruh signifikan

terhadap Appraisal Emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya,

terbukti benar atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti

secara teoritis hubungan pengaruh dari Peripheral Service Quality terhadap

Appraisal Emotion adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi

pasien terhadap Peripheral Service Quality yang diterapkan oleh rumah

sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik (positif), maka Appraisal

Emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin

meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap Peripheral Service

Quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

semakin menurun (negatif), maka Appraisal Emotion pasien rumah sakit

swasta tipe B di Surabaya akan semakin rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010) hasil penelitiannya

mengindikasikan adanya hubungan Peripheral Service Quality terhadap

Appraisal Emotion, dengan menggunakan pengukuran menu makan dan

Page 9: Bab 6 Pembahasan

226

kamar pasien , semakin tinggi Peripheral Service Quality semakin positif

Appraisal Emotion pasien terhadap rumah sakit. Sebagai temuan dari hasil

studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan

Margee Hume (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya

hubungan Peripheral Service Quality terhadap Appraisal Emotion, dengan

menggunakan pengukuran menu makan dan kamar pasien semakin tinggi

Peripheral Service Quality semakin positif Appraisal Emotion pasien

terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan (Liljander and

Strandvik, 1997). Hasil evaluasi tersebut akan menghasilkan perasaan emosi

positif seperti bahagia, senang atau perasaan emosi negatif seperti marah,

jengkel, kecewa terhadap pelayanan yang ditawarkan oleh penyedia service

tersebut. Semakin baik Peripheral Service Quality yang berupa menu makan

dan kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien

terpenuhi dan menjadikan emosi pasien menjadi positif. Maka ada hubungan

Peripheral Service Quality terhadap Appraisal Emotion positif. Penelitian

tersebut mengandung makna bahwa Peripheral Service Quality yang diukur

dengan menggunakan menu makan dan kamar pasien yang memadai adalah

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Appraisal Emotion.

Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan

kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting

untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan

menjadikan penilaian emosi pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan

Page 10: Bab 6 Pembahasan

227

sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel

tersebut.

Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi

dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya penilaian emosi pasien

positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya.,

sehingga terjadi penilaian emosi positif pada layanan rumah sakit swasta di

Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi Peripheral Service Quality

semakin tinggi appraisal emotion pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010), Jony

Oktavian Haryanto and Olivia (2009) dan (Liljander and Strandvik, 1997).

Hipotesis ke dua (H2) menyatakan bahwa Peripheral Service Quality

berpengaruh signifikan terhadap appraisal emotion.

Pengaruh peripheral service quality terhadap appraisal emotion

menjelaskan tentang sebuah pemahaman yang nyata bagaimana pasien

merasakan masing-masing elemen dari desain pelayanan yang menawarkan

layanan penunjang untuk efisiensi pendanaan dan alokasi sumber daya. Secara

efektif pengalokasian sumber daya akan menambah keuntungan Rumah Sakit

dengan meningkatkan kualitas layanan. Penilaian emosi dan kualitas layanan

penunjang membutuhkan strategi meningkatkan Kualitas Layanan Penunjang

yang difokuskan menu makan dan kamar pasien yang memerlukan perhatian.

Page 11: Bab 6 Pembahasan

228

6.3.3 Pengaruh Appraisal Emotion (Y1) terhadap Perceived Value (Y2)

Hasil pengujian hipotesisi ke tiga ( Tabel 5.23 di halaman 210),

besarnya koefisien variabel Appraisal Emotion (Y1) yang diterapkan

oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel Perceived

Value (Y2) = 0,202 dengan P < 0,05. Hipotesis ke tiga yang menyatakan

Appraisal Emotion berpengaruh signifikan terhadap Perceived Value

pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau

diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis

pengaruh dari Appraisal Emotion terhadap Perceived Value adalah

searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap Appraisal

Emotion yang diterapkan positif, maka nilai rumah sakit swasta tipe B di

Surabaya semakin baik (positif), maka Perceived Value pasien rumah

sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila

persepsi pasien terhadap Appraisal Emotion yang diterapkan negatif

maka pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun

(negatif), maka Perceived Value pasien rumah sakit swasta tipe B di

Surabaya akan semakin rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Javalgi dan Moberg (2007) menjelaskan bahwa

perusahaan tidak seharusnya menunggu komplain dari pelanggan tentang

kualitas pelayanannya namun perusahaan harus secara terus menerus mengawasi

kepuasan pelanggan dengan cara mendengarkan evaluasi dari pelanggan.

Schoefer dan Ennew (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien yang

Page 12: Bab 6 Pembahasan

229

mempersepsikan bahwa komplain yang ia ajukan mendapat keadilan dari

perusahaan maka akan menunjukkan respon emosi yang positif sementara pasien

yang mempersepsikan bahwa komplain yang ia ajukan tidak mendapat keadilan

maka akan menunjukkan penilaian emosi yang negatif.

Penilaian emosi merupakan hasil konsekuensi emosi dari penampilan

seperti perasaan bahagia dan kesenangan, bahwa penampilan telah memenuhi

hasrat dan harapan (Arora, Singer, 2006, Bagozzi et al. 1999). Penilaian emosi

memiliki hubungan yang kuat terhadap kepuasan dan nilai yang dirasakan

(Arora, singer, 2006 ; Bagozzi 1997 ; White dan Yu, 2005).

Penilaian emosi yang dihasilkan dari kualitas layanan dapat menjadi puas

dan bahagia (Caroll dan Ahuvia, 2006 ; Bagozzi et al. 1999 ; Oliver et al. 1997).

Apabila tidak puas dapat menjadi marah atau melankoli (Caroll dan Ahuvia,

2006 ; Bagozzi et al.1999 ; Oliver et al.1997).

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Javalgi dan Moberg (2007), Schoefer

dan Ennew (2003), (Arora, singer, 2006 ; Bagozzi 1997 ; White dan Yu, 2005).

Hipotesis ke tiga (H3) menyatakan bahwa Appraisal Emotion berpengaruh

signifikan terhadap Perceived Value.

6.3.4 Pengaruh Core Service Quality (X1) terhadap Perceived Value (Y2)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesisi ke empat ( Tabel 5.23 di

halaman 210), besarnya koefisien variabel Core Service Quality (X1 ) yang

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel

Perceived Value (Y2) = 0,214 dengan P < 0,05. Hipotesis ke empat yang

Page 13: Bab 6 Pembahasan

230

menyatakan Core Service Quality berpengaruh signifikan terhadap

Perceived Value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti

benar atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara

teoritis hubungan pengaruh dari Core Service Quality terhadap Perceived

Value adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien

terhadap Core Service Quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe

B di Surabaya semakin baik (positif), maka Perceived Value pasien rumah

sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila

persepsi pasien terhadap Core Service Quality yang diterapkan oleh rumah

sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka Perceived

Value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Gillian Sullivan Mort (2003) meneliti

pentingnya core service quality terhadap perceived value, dalam studinya di

katakan, bahwa meneliti peranan pelayanan inti dan nilai yang dirasakan pasien

sangat penting karena sebagai dasar untuk memuaskan konsumen. Artinya

terdapat hubungan antara core service quality terhadap perceived value, dengan

menggunakan pengukuran dokter, perawat, alat medis semakin tinggi core

service Quality semakin baik Perceived Value pasien atas dasar pelayanan

dari rumah sakit.

Nilai yang dirasakan adalah persepsi pasien terhadap nilai atas kualitas

yang ditawarkan relatif lebih tinggi dari pesaing akan mempengaruhi tingkat

loyalitas konsumen, semakin tinggi persepsi nilai yang dirasakan oleh

Page 14: Bab 6 Pembahasan

231

konsumen, maka semakin besar kemungkinan terjadinya hubungan (transaksi).

Hubungan yang diinginkan adalah hubungan yang bersifat jangka panjang,

sebab usaha dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan diyakini akan jauh

lebih besar apabila harus menarik pelanggan baru atau pelanggan yang sudah

meninggalkan perusahaan dar ipada mempertahankannya.

Hume (2008) hasil penelitiannya tersebut menunjukkan adanya

keinginan membeli kembali berdasarkan layanan inti maupun layanan penunjang

yang dimediasi oleh nilai yang dirasakan dan kepuasan pelanggan. Sedangkan

variabel yang digunakan, perilaku konsumen, kepuasan konsumen, kualitas

layanan, dan seni pertunjukkan. Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa core

service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value,

konsisten dengan Skogland dan Siguaw (2004) dalam penelitiannya yang

menjelaskan bahwa kualitas layanan sebuah prediktor dari keinginan membeli

kembali, memiliki peranan pada kualitas layanan inti, dimana layanan dalam

kontek penelitian ini telah diklarifikasi dan tidak memiliki pengaruh langsung

terhadap keinginan membeli kembali, hanya sebuah pengaruh tidak langsung

melalui penilaian emosi, nilai yang dirasakan dan kepuasan.

Caruana et al. (2000) dalam penelitiannya juga menyatakan sebuah

hubungan langsung dari nilai yang dirasakan dengan kepuasan pelanggan,

dengan nilai yang dirasakan sebagai perantara dari kualitas layanan inti dan

kualitas layanan penunjang dan kepuasan pelanggan. Sama halnya dengan

Pattersson et al. (1997), penelitian ini mendukung nilai yang dirasakan sebagai

diperantarai keseluruhan melalui kepuasan pelanggan terhadap keinginan

Page 15: Bab 6 Pembahasan

232

membeli kembali. Hubungan langsung dari kualitas layanan inti, kualitas

layanan penunjang dan untuk nilai yang dirasakan.

Semakin baik kualitas inti pelayanan yang berupa dokter, perawat di

tunjang peralatan yang memadai pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien

terpenuhi dan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif dan

terpuaskan. Maka ada hubungan Core Service Quality terhadap perceived value

positif. Penelitian tersebut mengandung makna bahwa Core Service Quality

yang diukur dengan menggunakan pelayanan dokter, perawat, peralatan medis

yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perceived

value .

Pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai merupakan

hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas inti layanan di rumah sakit.

Hal ini akan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif, sehingga

dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara

ke dua variabel tersebut.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, perhatian, trampil, sopan

mendorong terwujudnya nilai yang dirasakan pasien positif, sehingga sesuai

dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya. Alat medis yang dimiliki

lengkap, berfungsi dengan baik, moderen merupakan penunjang dari pada

kualitas inti layanan, sehingga terjadi nilai yang dirasakan pasien positif pada

layanan rumah sakit swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi

core service quality semakin tinggi perceived value positif pasien rumah sakit

swasta di Surabaya.

Page 16: Bab 6 Pembahasan

233

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Gillian Sullivan Mort (2003) , Hume

(2008), Skogland dan Siguaw (2004) dan Pattersson et al. (1997). Hipotesis ke

empat (H4) menyatakan bahwa core service quality berpengaruh signifikan

terhadap perceived value.

6.3.5 Pengaruh Peripheral Service Quality (X2) terhadap Perceived Value(Y2)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke lima ( Tabel 5.23

dihalaman 210), besarnya koefisien variabel Peripheral Service Quality

(X2) yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

terhadap variabel perceived value (Y2) = 0,345 dengan P < 0,05.

Hipotesis ke lima yang menyatakan Peripheral Service Quality

berpengaruh signifikan terhadap Perceived value pasien rumah sakit

swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau diterima. Koefesien jalur

yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan pengaruh dari

Peripheral Service Quality terhadap Perceived value adalah searah. Hal ini

memberi makna, bila persepsi pasien terhadap Peripheral Service Quality

yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik

(positif), maka Perceived value pasien rumah sakit swasta tipe B di

Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien

terhadap Peripheral Service Quality yang diterapkan oleh rumah sakit

swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka Perceived

value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin jelek.

Page 17: Bab 6 Pembahasan

234

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Gillian Sullivan Mort and Hume winzar

(2003) , Hume (2008), meneliti pentingnya core service quality terhadap

perceived value, dalam studinya di katakan, bahwa meneliti peranan pelayanan

inti dan nilai yang dirasakan pasien sangat penting karena sebagai dasar untuk

memuaskan konsumen. Artinya terdapat hubungan antara core service quality

terhadap perceived value, dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat,

alat medis, semakin tinggi core service Quality semakin tinggi Perceived

Value pasien atas dasar pelayanan dari rumah sakit.

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality

berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value, konsisten dengan

Anderson and Narus (1995) yang menyatakan bahwa kualitas layanan penunjang

(peripheral service quality) mempunyai hubungan dengan nilai yang dirasakan

(perceived value). Peripheral service quality diajukan untuk membedakan satu

layanan dengan layanan lain yang bersaing dengan membuat nilai yang

dirasakan (perceived value) tinggi.

Semakin baik Peripheral Service Quality yang berupa menu makan dan

kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien

terpenuhi dan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif. Maka ada

hubungan Peripheral Service Quality terhadap Perceived Value positif.

Penelitian tersebut mengandung makna bahwa Peripheral Service Quality yang

diukur dengan menggunakan menu makan dan kamar pasien yang memadai

adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Perceived Value .

Page 18: Bab 6 Pembahasan

235

Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan

kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting

untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan

menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif, sehingga dapat

digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke

dua variabel tersebut.

Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi

dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya nilai yang dirasakan

pasien positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di

surabaya., sehingga terjadi nilai yang dirasakan positif pada layanan rumah sakit

swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi Peripheral Service

Quality semakin tinggi nilai yang dirasakan pasien rumah sakit swasta di

Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Gillian Sullivan Mort and Hume

winzar (2003) , Hume (2008), Anderson and Narus (1995). Hipotesis ke lima

(H5) menyatakan bahwa Peripheral Service Quality berpengaruh signifikan

terhadap Perceived Value .

6.3.6 Pengaruh Perceived Value (Y2) terhadap patient Satisfaction (Y3)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesisi ke enam ( Tabel 5.23 di

halaman 210), besarnya koefisien variabel Perceived Value (Y2) yang

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel

patient Satisfaction (Y3 )= 0,316 dengan P < 0,05. Hipotesis ke enam yang

Page 19: Bab 6 Pembahasan

236

menyatakan Perceived Value berpengaruh signifikan terhadap Customer

Satisfaction pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar

atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis

hubungan pengaruh dari Perceived Value terhadap patient Satisfaction

adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap

Perceived Value yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di

Surabaya semakin baik (positif), maka patient Satisfaction pasien rumah

sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila

persepsi pasien terhadap Perceived Value yang diterapkan oleh rumah

sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka patient

Satisfaction pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin

rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Philip K Hellier (2008) hasil penelitiannya

mengindikasikan adanya hubungan Perceived Value terhadap patient

Satisfaction, dengan menggunakan pengukuran nilai emosional, nilai harga,

nilai sosial semakin tinggi Perceived Value semakin tinggi patient

Satisfaction. Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa perceived value

berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten

dengan Lovelock, Patterson dan Walker dalam Tjiptono (2000) yang

menyatakan bahwa kesuksesan perusahaan dipengaruhi oleh determinan, di

antaranya kepercayaan, kepuasan terhadap produk dan jasa sebelumnya, dan

persepsi terhadap nilai. Lai Lai, (2004) dalam penelitiannya membuktikan

Page 20: Bab 6 Pembahasan

237

adanya hubungan positif pelanggan (Cronin et al. 2000). Palilati, (2007) dalam

penelitian yang berjudul Pengaruh Nilai Pelanggan, Kepuasan Terhadap

Loyalitas Pasien Rumah sakit di Sulawesi Selatan menemukan adanya hubungan

yang signifikan dan positif antara nilai atribut dengan tingkat kepuasan pasien

Rumah Sakit Swasta di Sulawesi Selatan, semakin tinggi persepsi nilai dari

atribut yang diterima oleh pasien meningkat, maka kepuasan terhadap pasien

Rumah Sakit juga akan meningkat. Maka ada hubungan Perceived Value

terhadap patient Satisfaction positif. Penelitian tersebut mengandung makna

bahwa Perceived Value yang diukur dengan menggunakan nilai emosional,

nilai harga, nilai sosial yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap terhadap patient Satisfaction.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, peralatan medis yang memadai,

kamar pasien yang nyaman , menu makan yang bervariasi pelayanan yang

diberikan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan merupakan hal yang sangat

penting, karena untuk meningkatkan kepuasan pasien di rumah sakit. Hal ini

akan menjadikan nilai layanan yang di rasakan pasien menjadi meningkat,

sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis

pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, peralatan medis yang memadai,

kamar pasien yang nyaman , menu makan yang bervariasi pelayanan yang

diberikan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan merupakan hal yang sangat

penting, mendorong terwujudnya kepuasan pasien positif, sehingga sesuai

dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya. semakin tinggi nilai yang

Page 21: Bab 6 Pembahasan

238

dirasakan pasien atas layanan yang diberikan semakin tinggi kepuasan pasien

pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Philip K Hellier (2008), (Cronin et

al. 2000), Palilati (2007) , Lai Lai (2004), Lovelock, Patterson and Walker

dalam Tjiptono (2000) Hipotesis ke enam (H6) menyatakan bahwa Perceived

Value berpengaruh signifikan terhadap patient Satisfaction .

6.3.7 Pengaruh Appraisal Emotion (Y1) terhadap Patient Satisfaction (Y3)

Hasil pengujian hipotesis ke tujuh ( Tabel 5.23 di halaman 210),

besarnya koefisien variabel Appraisal Emotion (Y1) yang diterapkan

oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel Patient

Satisfaction (Y3) = 0,203 dengan P < 0,05. Hipotesis ke tujuh yang

menyatakan Appraisal Emotion berpengaruh signifikan terhadap

Patient Satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti

benar atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti

secara teoritis pengaruh dari Appraisal Emotion terhadap Patient

Satisfaction adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien

terhadap Appraisal Emotion yang diterapkan positif, maka nilai rumah

sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik (positif), maka Patient

Satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin

meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap Appraisal Emotion

yang diterapkan negatif maka pasien rumah sakit swasta tipe B di

Page 22: Bab 6 Pembahasan

239

Surabaya semakin menurun (negatif), maka patient Satisfaction rumah

sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010) hasil penelitiannya

mengindikasikan adanya hubungan Appraisal Emotion terhadap

patient Satisfaction, dengan menggunakan pengukuran bahagia, takut,

marah, semakin tinggi Appraisal Emotion positif, semakin tinggi patient

Satisfaction .

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh

positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan Strandvik

dan Liljander(1997) yang menyatakan bahwa emosi dapat berfungsi sebagai

mediator atau faktor independen yang mempengaruhi kepuasan. Emosi sebagai

mediator ini dikemukakan oleh Oliver (1993) dan Oliver dan Westbrook (1993)

yang menyatakan emosi sebagai mediator antara evaluasi kognitif dengan

kepuasan sementara emosi sebagai faktor independen. Price et al. (1995) dalam

Liljander dan Strandvik (1997) menemukan bahwa perhatian ekstra dari

penyedia jasa akan membantu menciptakan emosi yang positif, sementara

kegagalan dalam memenuhi standar minimum layanan akan menimbulkan emosi

yang negatif.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010), Strandvik

dan Liljander(1997), Oliver (1993), Price et al. (1995) Hipotesis ke tujuh (H7)

Page 23: Bab 6 Pembahasan

240

menyatakan bahwa Perceived Value berpengaruh signifikan terhadap patient

Satisfaction .

6.3.8 Pengaruh Core Service Quality (X1) terhadap Patient Satisfaction (Y3)

Hasil pengujian hipotesis ke delapan ( Tabel 5.23 di halaman 210),

besarnya koefisien variabel Core Service Quality (X1 ) yang diterapkan oleh

rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel patient Satisfaction (Y3)

= 0,225 dengan P < 0,05. Hipotesis ke kedelapan yang menyatakan Core

Service Quality berpengaruh signifikan terhadap patient Satisfaction pasien

rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau diterima. Koefesien

jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan pengaruh dari Core

Service Quality terhadap patient Satisfaction adalah searah. Hal ini memberi

makna, bila persepsi pasien terhadap Core Service Quality yang diterapkan oleh

rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik (positif), maka patient

satisfaction pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin

meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap Core Service Quality yang

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun

(negatif), maka patient satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan

semakin rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Gillian Sullivan Mort and Hume winzar (2003)

meneliti Hubungan core service quality terhadap kepuasan pasien yang yang

menganalisis peranan pelayanan inti dan pelayanan penunjang untukmemberikan

kepuasan pasien di rumah sakit swasta di surabaya . hasil penelitiannya

Page 24: Bab 6 Pembahasan

241

mengindikasikan adanya hubungan Core service Quality terhadap patient

Satisfaction, dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat, alat medis,

semakin tinggi core service Quality semakin tinggi kepuasan pasien terhadap

rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Hallowell (2004)

meneliti hubungan antara kualitas layanan bagi konsumen terhadap kepuasan

pasien dan kepuasan kerja karyawan. Penelitian tersebut menghasilkan temuan

bahwa untuk mendapatkan kepuasan pasien yang tinggi, rumah sakit harus

mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola elemen-elemen internal yang

menghasilkannya.

Hubungan kualitas layanan dengan kepuasan pasien ada dua hal pokok

yang saling berkaitan erat yaitu harapan pasien terhadap kualitas layanan

(expected quality) dan persepsi pasien terhadap kualitas layanan (perceived

quality). Pasien selalu menilai suatu layanan yang diterima dibandingkan dengan

apa yang diharapkan atau diinginkan Parasuraman, et al. (1993). Untuk

mengidentifikasi perbedaan antara harapan dan kenyataan pasien merupakan

suatu cara untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien.

Kepuasan pasien terjadi apabila adanya kesesuaian antara harapan dan

kenyataan yang didapatkan pasien.Jika yang terjadi adalah ketidakpuasan maka

pasien akan mewujudkannya dalam bentuk keluhan. Pemahaman terhadap

keinginan pasien Rumah Sakit merupakan langkah awal dalam memberikan

pelayanan yang prima yang bermuara pada kepuasan pasien. Pihak manajemen

Rumah Sakit harus mampu menggunakan pengetahuanya untuk menghadapi

Page 25: Bab 6 Pembahasan

242

tantangan dalam menetapkan standar kualitas layanan Rumah Sakit. Kepuasan

pasien merupakan kunci dari sebuah proses pelayanan Rumah Sakit.

Parasuraman, et al. (1993). menyatakan kepuasan pasien membantu

pasien dalam memperbaiki atau merevisi persepsi terhadap kualitas layanan. Hal

ini didasarkan bahwa (1) jika pasien tidak memiliki pengalaman sebelumnya

dengan suatu Rumah Sakit maka persepsi terhadap kualitas layanannya

didasarkan pada harapan pasien; (2) interaksi dengan Rumah Sakit menyebabkan

pasien merubah persepsinya terhadap kualitas layanan; (3) setiap tambahan

interaksi dengan Rumah Sakit akan memperkuat atau memperlemah persepsi

terhadap kualitas layanan; (4) revisi persepsi terhadap kualitas layanan

mempengaruhi minat pembelian kembali di masa yang akan datang.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh

positif dan signifikan terhadap patient satisfaction. Hubungan kualitas layanan

inti dengan kepuasan pasien tidak lepas dari kreativitas layanan Rumah Sakit.

Untuk mewujudkan suatu layanan berkualitas yang bermuara pada kepuasan

pasien Rumah Sakit harus mampu mengidentifikasi siapa pasiennya sehingga

mampu memahami tingkat persepsi dan harapan pasien atas kualitas layanan.

Hal ini penting karena kepuasan pasien merupakan perbandingan antara persepsi

dan harapan pasien terhadap layanan rumah sakit yang dirasakan pasien.

Oliver (1981) memandang kualitas layanan sebagai tingkat kepuasan

yang ditimbulkan karena adanya suatu transaksi khusus antara Rumah Sakit dan

pasien yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan ketika faktor emosi

mendorong harapan dan menyesuaikan dengan pengalaman mengkonsumsi pada

Page 26: Bab 6 Pembahasan

243

waktu terdahulu. Hal ini berarti ada perbedaan apabila kualitas layanan

dipandang sebagai suatu sikap, sebab antara kepuasan dengan sikap adalah hal

yang berbeda. Sikap ditunjukkan pasien lebih bersifat relatif terhadap produk

atau layanan Rumah Sakit, sedangkan kepuasan merupakan reaksi emosional

terhadap pengalaman mengkonsumsi sebelumnya.

Jika dijelaskan secara rinci, Hipotesis ke delapan (H8) ini didukung

oleh beberapa penelitian - penelitian sebelumnya, yaitu : Gillian Sullivan Mort

and Hume winzar (2003), Hallowell (2004), Parasuraman, et al. (1993), Oliver

(1981). Hipotesis ke delapan (H8) menyatakan bahwa core service quality

terhadap patient Satisfaction.

6.3.9 Pengaruh Peripheral Service Quality (X2) terhadap Patient Satisfaction (Y3)

Hasil pengujian hipotesis ke sembilan ( Tabel 5.23 dihalaman 210),

besarnya koefisien variabel peripheral service quality (X2) yangditerapkan

oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel patient

satisfaction (Y3) = 0,254 dengan P < 0,05. Hipotesis ke sembilan yang

menyatakan peripheral service quality berpengaruh signifikan terhadap

patient satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau

diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan

pengaruh dari peripheral service quality terhadap patient satisfaction adalah

searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap peripheral service

quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin

baik (positif), maka patient satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

Page 27: Bab 6 Pembahasan

244

akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap peripheral

service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

semakin menurun (negatif), maka patient satisfaction rumah sakit swasta tipe

B di Surabaya akan semakin menurun.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010), Gillian Sullivan Mort and

Hume winzar (2003) meneliti Hubungan peripheral service quality terhadap

kepuasan pasien yang yang menganalisis peranan pelayanan inti dan pelayanan

penunjang untuk memberikan kepuasan pasien di rumah sakit swasta di surabaya

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality

berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten

dengan Patterson, et al . (1997) yang menyatakan bahwa kualitas layanan inti

dan Kualitas Layanan Penunjang ditemukan memiliki hubungan tidak langsung

tehadap kepuasan pelanggan. Kualitas Layanan Penunjang juga memiliki

hubungan yang signifikan pada keinginan membeli kembali. Kualitas Layanan

Penunjang termasuk menu makan dan kamar pasien untuk membuat pasien

memutuskan untuk menggunakan kembali layanan Rumah Sakit.

Semakin baik peripheral service quality yang berupa menu makan dan

kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien

terpenuhi dan menjadikan pasien puas. Maka ada hubungan peripheral service

quality terhadap patient satisfaction. Penelitian tersebut mengandung makna

bahwa peripheral service quality yang diukur dengan menggunakan menu

Page 28: Bab 6 Pembahasan

245

makan dan kamar pasien yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap patient satisfaction .

Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan

kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting

untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan

menjadikan kepuasan pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan sebagai

dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi

dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya kepuasan pasien

positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya.,

sehingga terjadi kepuasan pasien pada layanan rumah sakit swasta di Surabaya

semakin meningkat. Semakin tinggi peripheral service quality semakin tinggi

kepuasan pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

Hipotesis ke sembilan (H9) ini didukung oleh beberapa penelitian -

penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010), Gillian Sullivan Mort

and Hume winzar (2003), Patterson, et al . (1997) Hipotesis ke sembilan (H9)

menyatakan bahwa core service quality terhadap patient Satisfaction.

6.3.10 Pengaruh patient Satisfaction (Y3) terhadap Switching Cost (Y4)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke sepuluh ( Tabel 5.23

dihalaman 210), besarnya koefisien variabel patient satisfaction (Y3) yang

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel

switching cost (Y4) = 0,268 dengan P < 0,05. Hipotesis ke sepuluh yang

menyatakan patient satisfaction berpengaruh signifikan terhadap switching

Page 29: Bab 6 Pembahasan

246

cost rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau diterima.

Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan pengaruh

dari patient Satisfaction terhadap switching cost adalah searah. Hal ini

memberi makna, bila persepsi pasien terhadap patient satisfaction tinggi

(positif), maka switching cost rendah . Sebaliknya, bila persepsi pasien

tentang patient satisfaction rendah (negatif), maka switching cost tinggi.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Ari Wijayanti (2008), meneliti Hubungan patient

Satisfaction terhadap Switching Cost yang menganalisis kepuasan pasien

dan Switching Cost untuk memberikan layanan pasien dengan baik agar

terwujud adanya pasien yang puas dan menjadi loyal agar tidak terjadi

perpindahan ke rumah sakit lain.

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa patient satisfaction

berpengaruh positif dan signifikan terhadap switching cost, sesuai dengan teori

Post-purchase Cognitive Dissonance Theory (Aydin dan Ozer, 2005) yang

menyatakan bahwa pelanggan yang mengumpulkan informasi untuk mengurangi

kegelisahan mengenai kesalahan keputusan pembelian, akan menyusun kembali

pengalaman pembelian masa lalu. Dalam proses ini jika pelanggan berpindah,

perbandingan akan dibuat antara merek yang akan digunakan dan merk lama.

Untuk menurunkan cognitif dissonance, pelanggan cenderung lebih suka

menggunakan merek yang telah digunakan dan telah puas sebelumnya. Analisa

Opportunity Cost menyarankan bahwa kepuasan pelanggan memiliki pengaruh

positif pada biaya perpindahan. Semakin tinggi kepuasan konsumen semakin

Page 30: Bab 6 Pembahasan

247

memperbesar opportunity cost, karena pelanggan akan merasa enggan untuk

mencoba ke penyedia jasa lain.

Hipotesis ke sepuluh (H10) ini didukung oleh beberapa penelitian -

penelitian sebelumnya, yaitu : Ari Wijayanti (2008) dan (Aydin dan Ozer, 2005)

Hipotesis ke sepuluh (H10) menyatakan bahwa ada hubungan patient

Satisfaction terhadap Switching Cost .

6.3.11 Pengaruh Patient Satisfaction (Y3) terhadap Loyalty Pasien (Y5)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke sebelas ( Tabel 5.23

di halaman 210), besarnya koefisien variabel patient satisfaction (Y3) yang

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel

loyalty pasien (Y5) = 0,329 dengan P < 0,05. Hipotesis ke sebelas yang

menyatakan patient satisfaction berpengaruh signifikan terhadap loyalty

pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau

diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis

pengaruh dari patient satisfaction terhadap loyalty pasien adalah searah.

Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap patient satisfaction

yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin

baik (positif), maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap patient

satisfaction yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

semakin menurun (negatif), maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B

di Surabaya akan semakin rendah.

Page 31: Bab 6 Pembahasan

248

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Elisabeth kastenhols (2010) hasil

penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan patient satisfaction

terhadap loyalty pasien, dengan menggunakan pengukuran pengalaman,

harapan, puas secara keseluruhan, semakin tinggi patient satisfaction

semakin tinggi loyalty pasien terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini

konsisten dengan Cronin dan Taylor (1992) yang menyatakan bahwa kepuasan

pasien berpengaruh signifikan terhadap keinginan membeli kembali dan kualitas

layanan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pembelian kembali

dibandingkan dengan kepuasan pasien. Penelitian ini memberikan penjelasan

bahwa kepuasan pasien berpengaruh pada loyalitas pasien yang didefinisikan

sebagai keinginan untuk melakukan pembelian kembali.

Hasil penelitian Cronin dan Taylor (1992), Caruana (2002),

Fullerton dan Taylor (2002) memberikan gambaran kualitas layanan dipandang

sebagai ukuran atau penentu kepuasan pasien yang memiliki konsekuensi

terhadap loyalitas pasien.

.Stephen L. Sondoh, Maznah Wan Omar, Nabsiah AW, Ishak Ismail

dan Amran Harun (2007) Hasil penelitian yang dilakukan Stephen L. Sondoh

memberikan sumbangan pemikiran untuk penelitian ini berupa informasi bahwa

variabel citra perusahaan dan kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap

loyalitas pelanggan.

Yohanes (2007) dengan judul penelitian “Pengaruh Kepuasan Terhadap

Loyalitas Pelanggan”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keseluruhan

Page 32: Bab 6 Pembahasan

249

kepuasan pelanggan secara signifikan dipengaruhi faktor kepuasan pelayanan

rumah tangga atau faktor housekeeping, sedangkan layanan resepsionis serta

layanan makanan dan minuman (food and beverage) secara statistik tidak

signifikan. Dengan demikian tamu atau pelanggan hotel merasa bahwa kepuasan

atas layanan housekeeping menjadi lebih penting dibandingkan kepuasan

layanan kepuasan layanan resepsionis maupun food and beverage. Hal ini

kiranya tidak berbeda dengan temuan dalam penelitian yang dilakukan oleh

Kandampully dan Suhartanto (2000), bahwa kepuasan atas layanan rumah

tangga (housekeeping) merupakan faktor penting yang dipertimbangkan

pelanggan untuk memperoleh kembali, maupun merekomendasi kepada calon

konsumen potensial.

Hasil uji hipotesis bahwa keseluruhan kepuasan konsumen (customer

satisfaction) mempunyai pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen

(customer loyalty) menunjukkan nilai parameter yang memenuhi nilai kelayakan

yang disyaratkan sehingga hipotesis ini diterima. Hasil penelitian ini

memberikan dukungan terhadap penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh

Fornell (1992), Assael (1995), Selnes (1993), Anderson, Fornell dan Lehman

(1994), serta Kandampully dan Suhartanto (2000). Kepuasan konsumen akan

mempengaruhi perilaku membeli, dimana pelanggan yang puas cenderung

menjadi konsumen yang loyal. Selain itu kepuasan yang dirasakan oleh

konsumen dapat meningkatkan intensitas pembelian. Dengan kata lain

tercapainya tingkat kepuasan konsumen yang optimal akan mendorong

terciptanya loyalitas konsumen.

Page 33: Bab 6 Pembahasan

250

Hipotesis ke sebelas (H11) ini didukung oleh beberapa penelitian -

penelitian sebelumnya, yaitu : Elisabeth kastenhols (2010) dan Cronin dan

Taylor (1992) ), Caruana (2002), Fullerton dan Taylor (2002), .Stephen L.

Sondoh, Maznah ,Wan Omar, Nabsiah AW, Ishak Ismail dan Amran Harun

(2007) , Yohanes (2007) Hipotesis ke sebelas (H11) menyatakan bahwa ada

hubungan patient Satisfaction terhadap Loyalty pasien.

6.3.12 Pengaruh Appraisa Emotion (Y1) terhadap Loyalty Pasien (Y5)

Hasil pengujian hipotesis ke duabelas ( Tabel 5.23 di halaman 210),

besarnya koefisien variabel appraisal emotion (Y1) yang diterapkan oleh

rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel loyalty pasien

(Y5) = 0,295 dengan P < 0,05. Hipotesis ke duabelas yang menyatakan

appraisal emotion berpengaruh signifikan terhadap loyalty pasien

rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau diterima.

Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis pengaruh

dari appraisal emotion terhadap loyalty pasien adalah searah. Hal

ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap appraisal emotion yang

diterapkan positif, maka nilai rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

semakin baik (positif), maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di

Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien

terhadap appraisal emotion yang diterapkan negatif maka pasien

rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka

Page 34: Bab 6 Pembahasan

251

loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin

rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010) Hasil penelitian

mengindikasikan kecenderungan adanya pembelian kembali atau loyal

didasarkan pada kepuasan diperantarai oleh perceived value, kualitas layanan

inti, kualitas layanan penunjang, appraisal emotion secara langsung

mempengaruhi kepuasan pelanggan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh

positif dan signifikan terhadap customer loyalty, konsisten dengan (Arora and

Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000), riset terkenal saat ini Arora

and Singer, 2006; Bagozzi, 1997; Gountas and Gountas, 2007; White dan Yu,

2005; Wood dan Moreau, 2006) pada tipologi-tipologi emosi dalam penelitian

loyalitas dalam konteks layanan Rumah Sakit adalah bersifat elementer.

Penelitian membuktikan emosi memengaruhi pemrosesan informasi, sebagai

perantara respon-respon hasil, membuat tujuan, dan memengaruhi kepuasan dan

loyalitas pelanggan (Bagozzi et al. 1999). Bagozzi et al.(1999) telah

mendefinisikan beberapa tipe emosi termasuk suasana hati dan perasaan, emosi-

emosi yang diarahkan ke tujuan dan penilaian emosi (Nyer, 1997; Taylor, 2000;

Bagozzi et al. 1999). Suasana hati adalah pernyataan keberadaan, mereka tidak

cenderung kurang mendalami emosi (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999).

Emosi yang diarahkan pada tujuan adalah spesifik emosi hasil-hasil yang

dihasratkan dari sebuah rangsangan spesifik semacam sebuah kesenangan dari

Page 35: Bab 6 Pembahasan

252

sebuah layanan (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999; Nyer, 1997) dengan

penilaian emosi yang didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi emosi-emosi

dari penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan bahwa penampilan

telah memenuhi hasrat dan harapan-harapan kami. Mereka adalah emosi yang

dibuat dari evaluasi penampilan (Arora dan Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999).

Hipotesis ke sebelas (H12) ini didukung oleh beberapa penelitian -

penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010) dan (Arora and Singer,

2006; Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000), (Bagozzi et al. 1999). Bagozzi et al.

(1999), Hipotesis ke duabelas (H12) menyatakan bahwa ada hubungan patient

satisfaction terhadap loyalty pasien.

6.3.13 Pengaruh Core Service Quality (X1) terhadap Loyalty Pasien (Y5)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke tigabelas ( Tabel 5.23

di halaman 210), besarnya koefisien variabel core service quality (X1 ) yang

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel

appraisal emotion (Y1) = 0,244 dengan P < 0,05. Hipotesis ke satu yang

menyatakan core service quality berpengaruh signifikan terhadap loyalty

pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau

diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis

hubungan pengaruh dari core service quality terhadap loyalty pasien adalah

searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap core

service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

semakin baik (positif), maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di

Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien

Page 36: Bab 6 Pembahasan

253

terhadap core service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe

B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka loyalty pasien rumah sakit

swasta tipe B di Surabaya akan semakin rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010),Gillian Sullivan Mort,

Hume Winzar (2003), Margee Hume (2008) hasil penelitiannya

mengindikasikan adanya hubungan core service quality terhadap loyalty

pasien, dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat, alat medis,

semakin tinggi core service quality semakin tinggi loyalty pasien terhadap

rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten bahwa core service quality

berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan

penelitian Said (2004) yang menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan

berpengaruh langsung terhadap loyalitas pasien. Parasuraman et al. (1996)

pelanggan yang tidak mengalami masalah layanan mempunyai tingkat intens

loyalitas yang tinggi dan intens respons eksternal akan beralih ke produk lain

yang lebih rendah. Di antara pelanggan yang mengalami masalah layanan,

terbukti secara signifikan bahwa pasien yang menerima penyelesaian yang

memuaskan memiliki loyalitas, intensi untuk membayar lebih tinggi, intensi

untuk beralih ke playanan Rumah Sakit lain dan respons eksternal yang lebih

rendah dibandingkan pasien yang tidak menerima penyelesaian masalah layanan.

Fullerton dan Taylor (2002) dalam penelitiaannya menyimpulkan bahwa kualitas

layanan memberikan pengaruh signifikan terhadap loyalitas pasien.

Page 37: Bab 6 Pembahasan

254

Sariyoni (2003) hasil penelitian yang dilakukan pada 10 Rumah Sakit di

wilayah Kabupaten Bandung diperoleh kesimpulan sebagai berikut : Unsur -

unsur (tangibles, responsiveness, reliability, assurance dan empathy) kualitas

pelayanan dasar rumah sakit semuanya masih terletak dibawah daerah optimum

performance, hal ini berarti bahwa kualitas pelayanan kesehatan dasar rumah

sakit masih kurang maksimal dalam mengedepankan aspek kepuasan konsumen.

Kualitas layanan kesehatan dasar rumah sakit secara total terletak pada kadran II

dari performance mapping. Semua unsur kualitas pelayanan kesehatan dasar

rumah sakit masih dibawah harapan pasien. Tingkat loyalitas pasien rumah sakit

di wilayah kabupaten Bandung relatif tinggi karena mayoritas pasien sudah

merupakan kelompok memberikan kontribusi keuntungan bagi rumah sakit.

Kualitas layanan kesehatan dasar rumah sakit secara bersama-sama atau sendiri

cukup berpengaruh terhadap loyalitas pasien. Pengaruh terbesar dari kelima

unsur kualitas layanan dasar rumah sakit adalah reliability, sedangkan unsur

tangibles dan ansurance tidak berpengaruh terhadap loyalitas pasien rumah sakit

di wilayah kabupaten Bandung.

. Semakin baik kualitas inti pelayanan yang berupa layanan dokter,

perawat di tunjang peralatan yang memadai pasien akan nyaman karena

kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan pasien loyal. Maka ada hubungan

core service quality terhadap patient loyalty tinggi. Penelitian tersebut

mengandung makna bahwa core service quality yang diukur dengan

menggunakan pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai

adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap patient loyalty.

Page 38: Bab 6 Pembahasan

255

Pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai merupakan

hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas inti layanan di rumah sakit.

Hal ini akan menjadikan pasien loyal , sehingga dapat digunakan sebagai dasar

untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, perhatian, trampil, sopan

mendorong terwujudnya pasien loyal, sehingga sesuai dengan harapan pasien

rumah sakit swasta di surabaya. Alat medis yang dimiliki lengkap, berfungsi

dengan baik, moderen merupakan penunjang dari pada kualitas inti layanan,

sehingga terjadi loyalitas pasien pada layanan rumah sakit swasta di Surabaya

semakin meningkat. Semakin tinggi core service quality semakin tinggi loyalitas

pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010), Gillian

Sullivan Mort, Hume Winzar (2003), Sariyoni (2003), Margee Hume

(2008), Said (2004, Fullerton dan Taylor (2002). Hipotesis ke tigabelas (H13)

menyatakan bahwa core service quality berpengaruh signifikan terhadap loyalty

pasient.

6.3.14 Pengaruh Peripheral Service Quality (X2) terhadap Loyalty Pasien (Y5)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke empat belas ( Tabel 5.23

dihalaman 210), besarnya koefisien variabel peripheral service quality

(X2) yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya

terhadap variabel loyalty pasien (Y5) = 0,031 dengan P > 0,05. Hipotesis

Page 39: Bab 6 Pembahasan

256

ke empat belas membuktikan bahwa, peripheral service quality

berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap loyalty pasien. Hasil

ini dapat dimaknai meskipun perubahan pada peripheral service quality

berpengaruh negatif terhadap perubahan loyalty pasien namun pengaruh

tersebut tidak bermakna. Hasil studi ini apabila dari statistik deskriptif

indikator peripheral service quality sangat di mungkinkan terjadi Koefesien

jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan pengaruh dari

peripheral service quality terhadap perceived value adalah searah. Hal ini

memberi makna, bila persepsi pasien terhadap peripheral service quality

yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik

(positif), maka perceived value pasien rumah sakit swasta tipe B di

Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien

terhadap peripheral service quality yang diterapkan oleh rumah sakit

swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka perceived

value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin jelek.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa peripheral service quality

berpengaruh terhadap customer loyalty. Hal ini dapat terjadi karena dari

penilaian indikator menu makan dan kamar pasien tidak diperhatikan sementara

yang diharapakan oleh pasien adalah kesembuhan,terkait dengan kesembuhan

maka pelayanan dalam hal perawatan yang dirasakan dalam diri pasien adalah

dari segi pemeriksaan (diagnose) dan pengobatan (medic). Berdasarkan

observasi peneliti di lapangan, tidak berpengaruhnya peripheral service quality

terhadap customer loyalty juga disebabkan oleh pemeriksaan (diagnose) dan

Page 40: Bab 6 Pembahasan

257

pengobatan (medis). Hasil penelitian ini tidak mendukung pendapat Skogland

dan Siguaw (2004) bahwa kualitas layanan penunjang sebagai faktor kunci agar

pelanggan loyal.

6.3.15 Pengaruh Switching Cost (Y4) ) terhadap Loyalty Pasien (Y5)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke limabelas ( Tabel

5.23 di halaman 210), besarnya koefisien variabel switching cost (Y4) yang

diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel

loyalty pasien (Y5) = 0,258 dengan P < 0,05. Hipotesis ke limabelas

yang menyatakan switching cost berpengaruh signifikan terhadap Loyalty

pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau

diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis

hubungan pengaruh dari switching cost terhadap Loyalty pasien adalah

searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap switching

cost yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin

tinggi, maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan

semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap switching

cost yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya rendah,

maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin

rendah.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-

penelitian yang dikemukakan Ari Wijayanti (2008) Hasil penelitian ini

beberapa variabel telah terbukti secara empiris bahwa kepuasan pelanggan

berpengaruh positif terhadap switching cost dan switching cost juga

Page 41: Bab 6 Pembahasan

258

berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan. Siregar (2009) diperoleh hasil

penelitian yang menunjukkan bahwa biaya relasional dan biaya keuangan

berpengaruh signifikan dan positif terhadap loyalitas pelanggan seluler GSM ke

CDMA di kota Medan. Hasil penelitiannya mengindikasikan adanya

hubungan Switching Cost terhadap Loyalty pasien, dengan menggunakan

pengukuran biaya procedural, biaya relasional dan biaya keuangan, semakin

tinggi Switching Cost semakin tinggi loyalty pasien terhadap rumah sakit.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa switching cost berpengaruh

positif dan signifikan terhadap customer loyalty, konsisten dengan Aydin dan

Ozer (2004) yang menyatakan bahwa switching cost merupakan faktor yang

mempengaruhi sensitivitas pelanggan terhadap harga, sehingga berpengaruh

terhadap loyalitas pelanggan. Switching cost mendorong pasien untuk

merekomendasikan pada pasien lain (Lam, 2004). Bloemer et al. (1998) dalam

industri yang dikategorikan memiliki switching cost yang rendah konsumennya

akan kurang loyal dibanding industri jasa dengan switching cost yang tinggi.

Fornell (1992) dalam Lee et al (2001) hubungan antara kepuasan pelanggan dan

loyalitas tergantung pada faktor seperti peraturan pasar, switching cost, brand

equity dan keberadaan program loyalitas. Hauser et al. (1994) dalam Lee et al.

(2001) juga menyatakan bahwa pelanggan menjadi kurang sensitif terhadap

kepuasan karena switching cost meningkat. Pengaruh switching cost pada

hubungan kepuasan dan loyalitas tergantung pula pada struktur pasar. Jika pasar

bersifat monopoli, pengaruh switching cost kecil. Karena pelanggan yang tidak

puas tidak akan berpindah karena tidak ada alternatif.

Page 42: Bab 6 Pembahasan

259

Porter (1980) mendifinisikan switching cost sebagai biaya satu kali

menghadapi pelanggan yang ingin berpindah dari satu penyedia layanan ke

penyedia yang lain.

Jackson (1985) mendefinisikan switching cost sebagai biaya psikologis,

biaya fisik, dan biaya ekonomi yang meliputi, biaya transaksi, biaya pencarian,

biaya belajar, biaya waktu dan tenaga.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari

penelitian – penelitian sebelumnya,yaitu : Ari Wijayanti (2008), Siregar (2009).

Hipotesis ke limabelas (H15) switching cost menyatakan bahwa

berpengaruh signifikan terhadap Loyalty pasient.

6.3. Temuan Teoritis dan Empiris

Setelah menguji dan menganalisis pengaruh kualitas layanan inti dan

kualitas layanan penunjang, appraisal emotion, perceived value, kepuasan

pasien, Switching cost, dan loyalitas pasien rawat inap rumah sakit swasta di

Surabaya. Temuan teoritis dan temuan empiris pada studi ini adalah:

Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa core service quality, appraisal

emotion, switching cost dan customer satisfaction keempatnya berpengaruh

positif dan signifikan terhadap customer loyalty, sedangkan peripheral service

quality tidak berpengaruh terhadap customer loyalty pasien rumah sakit swasta

di Surabaya. Didukungnya hipotesis tersebut disebabkan oleh nilai estimate core

service quality, appraisal emotion, switching cost dan customer satisfaction

adalah positif dengan nilai p-value semuanya lebih kecil dari 5%. Karena nilai p-

value lebih kecil dari 5% maka hipotesis diterima dan terbukti kebenarannya.

Page 43: Bab 6 Pembahasan

260

1. Terdapat pengaruh core service quality terhadap appraisal emotion pasien

rumah sakit swasta di surabaya. Hasil pengujian hipotesis membuktikan

bahwa core service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap

appraisal emotion pasien rumah sakit swasta di Surabaya. Didukungnya

hipotesis tersebut Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa core

service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap appraisal

emotion pasien rumah sakit swasta di Surabaya. Didukungnya hipotesis

tersebut disebabkan oleh nilai estimate core service quality adalah positif

0,44 dengan nilai p-value sebesar 0,000. Karena nilai p-value lebih kecil

dari 5% maka hipotesis ini diterima dan terbukti kebenarannya.

Sehubungan dengan kualitas layanan inti terhadap appraisal emotional ini

merupakan temuan penelitian yang mendukung penelitian ( Hume et

al.2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

kualitas layanan inti terhadap penilaian emosi. Penilaian emosi merupakan

hasil konsekuensi emosi seperti perasaan bahagia dan kesenangan, karena

kinerja telah memenuhi hasrat dan harapan (Arora, Singer, 2006, Bagozzi et

al. 1999).

2. Terdapat Pengaruh Peripheral Service Quality terhadap Appraisal Emotion

Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa peripheral service quality

berpengaruh positif dan signifikan terhadap appraisal emotion pasien rumah

sakit swasta di Surabaya. Didukungnya hipotesis tersebut disebabkan oleh

nilai estimate peripheral service quality adalah positif 0,60 dengan nilai p-

value sebesar 0,000. Karena nilai p-value lebih kecil dari 5% maka hipotesis

Page 44: Bab 6 Pembahasan

261

ini diterima dan terbukti kebenarannya. Kualitas pelayanan penunjang

termasuk sarana prasarana memberikan pelayanan yang terpadu

( Yuwono,2008 ). Hal ini merupakan temuan penelitian yang mendukung

penelitian ( Hume et al.2010) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan antara kualitas layanan penunjang terhadap penilaian emosi.

3. Terdapat Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Perceived Value

Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion juga berpengaruh

positif dan signifikan terhadap perceived value. Penilaian emosi pasien

dapat meliputi perasaan marah, senang, takut, cemas, bahagia, puas atau

bosan. Pasien yang memiliki emosi positif cenderung akan memberikan

evaluasi yang baik sementara pasien yang tidak puas cenderung akan

memberikan evaluasi yang jelek. Javalgi dan Moberg (2007) menyebutkan

bahwa perusahaan tidak seharusnya menunggu komplain dari pelanggan

tentang kualitas pelayanannya namun perusahaan harus secara terus

menerus mengawasi kepuasan pelanggan dengan cara mendengarkan

evaluasi dari pelanggan. Schoefer dan Ennew (2003) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa pasien yang mempersepsikan bahwa komplain yang ia

ajukan mendapat keadilan dari perusahaan maka akan menunjukkan respon

emosi yang positif sementara pasien yang mempersepsikan bahwa komplain

yang ia ajukan tidak mendapat keadilan maka akan menunjukkan penilaian

emosi yang negatif.

Page 45: Bab 6 Pembahasan

262

4. Terdapat Pengaruh Core Service Quality terhadap Perceived Value

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh

positif dan signifikan terhadap perceived value, konsisten dengan Skogland

dan Siguaw (2004) dalam penelitiannya yang menjelaskan bahwa kualitas

layanan sebuah prediktor dari keinginan membeli kembali, memiliki

peranan pada kualitas layanan inti, dimana layanan dalam kontek penelitian

ini telah diklarifikasi dan tidak memiliki pengaruh langsung terhadap

keinginan membeli kembali, hanya sebuah pengaruh tidak langsung melalui

penilaian emosi, nilai yang dirasakan dan kepuasan. Caruana et al. (2000)

dalam penelitiannya juga menyatakan sebuah hubungan langsung dari nilai

yang dirasakan dengan kepuasan pelanggan, dengan nilai yang dirasakan

sebagai perantara dari kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang

dan kepuasan pelanggan. Sama halnya dengan Pattersson et al. (1997),

penelitian ini mendukung nilai yang dirasakan sebagai diperantarai

keseluruhan melalui kepuasan pelanggan terhadap keinginan membeli

kembali. Hubungan langsung dari kualitas layanan inti, kualitas layanan

penunjang dan penilaian emosi terhadap nilai yang dirasakan.

5. Terdapat pengaruh peripheral service quality terhadap perceived value

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality

berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value, konsisten

dengan Anderson dan Narus (1995) yang menyatakan bahwa kualitas

layanan penunjang (peripheral service quality) mempunyai hubungan

dengan nilai yang dirasakan (perceived value). Peripheral service quality

Page 46: Bab 6 Pembahasan

263

diajukan untuk membedakan satu layanan dengan layanan lain yang

bersaing dengan membuat nilai yang dirasakan (perceived value).

6. Terdapat pengaruh perceived Value terhadap patient satisfaction

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa perceived value berpengaruh

positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan

Lovelock, Patterson dan Walker dalam Tjiptono (2000) yang menyatakan

bahwa kesuksesan perusahaan dipengaruhi oleh determinan, di antaranya

kepercayaan, kepuasan terhadap produk dan jasa sebelumnya, dan persepsi

terhadap nilai. Lai Lai, (2004) dalam penelitiannya membuktikan adanya

hubungan positif konsumen (Cronin et al. 2000). Palilati, (2007) dalam

penelitian yang berjudul Pengaruh Nilai konsumen, Kepuasan Terhadap

Loyalitas Pasien Rumah sakit di Sulawesi Selatan menemukan adanya

hubungan yang signifikan dan positif antara nilai atribut dengan tingkat

kepuasan pasien Rumah Sakit Swasta di Sulawesi Selatan, semakin tinggi

persepsi nilai dari atribut yang diterima oleh pasien meningkat, maka

kepuasan terhadap pasien Rumah Sakit juga akan meningkat.

7. Terdapat pengaruh appraisal emotion terhadap patient satisfaction

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh

positif dan signifikan terhadap customer satisfaction, konsisten dengan

Strandvik dan Liljander(1997) yang menyatakan bahwa emosi dapat

berfungsi sebagai mediator atau faktor independen yang mempengaruhi

kepuasan. Emosi sebagai mediator ini dikemukakan oleh Oliver (1993) dan

Oliver dan Westbrook (1993) yang menyatakan emosi sebagai mediator

Page 47: Bab 6 Pembahasan

264

antara evaluasi kognitif dengan kepuasan sementara emosi sebagai faktor

independen. Price et al. (1995) dalam Liljander dan Strandvik (1997)

menemukan bahwa perhatian ekstra dari penyedia jasa akan membantu

menciptakan emosi yang positif, sementara kegagalan dalam memenuhi

standar minimum akan menimbulkan emosi yang negatif.

8. Terdapat pengaruh core service quality terhadap patient satisfaction

Hasil penelitian menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh positif

dan signifikan terhadap customer satisfaction.Hal ini merupakan temuan

yang mendukung penelitian Marge Hume (2008) dalam penelitiannya

terdapat hubungan timbal balik kualitas layanan inti terhadap kepuasan

pelanggan. Hubungan kualitas layanan inti dengan kepuasan pasien tidak

lepas dari kreativitas layanan Rumah Sakit. Untuk mewujudkan suatu

layanan berkualitas yang bermuara pada kepuasan pasien Rumah Sakit

harus mampu mengidentifikasi siapa pasiennya sehingga mampu memahami

tingkat persepsi dan harapan pasien atas kualitas layanan. Hal ini penting

karena kepuasan pasien merupakan perbandingan antara persepsi dan

harapan pasien terhadap layanan rumah sakit yang dirasakan pasien. Oliver

(1981) memandang kualitas layanan sebagai tingkat kepuasan yang

ditimbulkan karena adanya suatu transaksi khusus antara Rumah Sakit dan

pasien yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan ketika faktor

emosi mendorong harapan dan menyesuaikan dengan pengalaman

mengkonsumsi pada waktu terdahulu. Hal ini berarti ada perbedaan apabila

kualitas layanan dipandang sebagai suatu sikap, sebab antara kepuasan

Page 48: Bab 6 Pembahasan

265

dengan sikap adalah hal yang berbeda. Sikap ditunjukkan pasien lebih

bersifat relatif terhadap produk atau layanan Rumah Sakit, sedangkan

kepuasan merupakan reaksi emosional terhadap pengalaman mengkonsumsi

sebelumnya.

9. Terdapat pengaruh peripheral service quality terhadap patient satisfaction

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality

berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten

dengan Patterson, et al . (1997) yang menyatakan bahwa kualitas layanan

inti dan Kualitas Layanan Penunjang ditemukan memiliki hubungan tidak

langsung tehadap kepuasan pelanggan. Kualitas Layanan Penunjang juga

memiliki hubungan yang signifikan pada keinginan membeli kembali.

Kualitas Layanan Penunjang termasuk menu makan dan kamar pasien

untuk membuat pasien memutuskan untuk menggunakan kembali layanan

Rumah Sakit.

10. Terdapat pengaruh patient satisfaction terhadap switching cost

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa customer satisfaction berpengaruh

positif dan signifikan terhadap switching cost, sesuai dengan teori Post-

purchase Cognitive Dissonance Theory (Aydin dan Ozer, 2005) yang

menyatakan bahwa pelanggan yang mengumpulkan informasi untuk

mengurangi kegelisahan mengenai kesalahan keputusan pembelian, akan

menyusun kembali pengalaman pembelian masa lalu. Dalam proses ini jika

pelanggan berpindah, perbandingan akan dibuat antara merek yang akan

digunakan dan merk lama. Untuk menurunkan cognitif dissonance,

Page 49: Bab 6 Pembahasan

266

pelanggan cenderung lebih suka menggunakan merk yang telah digunakan

dan telah puas sebelumnya. Analisa Opportunity Cost menyarankan bahwa

kepuasan pelanggan memiliki pengaruh positif pada biaya perpindahan.

Semakin tinggi kepuasan pelanggan semakin memperbesar opportunity cost,

karena pelanggan akan merasa enggan untuk mencoba ke penyedia jasa lain.

11. Terdapat Pengaruh Customer Satisfaction terhadap Patient Loyalty

Hasil penelitian menjelaskan bahwa patient satisfaction berpengaruh positif

dan signifikan terhadap customer loyalty, konsisten dengan Cronin dan

Taylor (1992) yang menyatakan bahwa kepuasan pasien berpengaruh

signifikan terhadap keinginan membeli kembali dan kualitas layanan

mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pembelian kembali dibandingkan

dengan kepuasan pasien. Penelitian ini memberikan penjelasan bahwa

kepuasan pasien berpengaruh pada loyalitas pasien yang didefinisikan

sebagai keinginan untuk melakukan pembelian kembali. Hasil penelitian

Cronin dan Taylor (1992), Caruana (2002), Fullerton dan Taylor (2002)

memberikan gambaran kualitas layanan dipandang sebagai ukuran atau

penentu kepuasan pasien yang memiliki konsekuensi terhadap loyalitas

pasien.

12. Terdapat Pengaruh Appraisal emotion terhadap Patient Loyalty

Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh positif

dan signifikan terhadap customer loyalty, konsisten dengan (Arora and

Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000), riset terkenal saat ini

Arora and Singer, 2006; Bagozzi, 1997; Gountas and Gountas, 2007; White

Page 50: Bab 6 Pembahasan

267

dan Yu, 2005; Wood dan Moreau, 2006) pada tipologi-tipologi emosi dalam

penelitian loyalitas dalam konteks layanan Rumah Sakit adalah bersifat

elementer. Penelitian membuktikan emosi memengaruhi pemrosesan

informasi, sebagai perantara respon-respon hasil, membuat tujuan, dan

memengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan (Bagozzi et al. 1999).

Bagozzi et al.(1999) telah mendefinisikan beberapa tipe emosi termasuk

suasana hati dan perasaan, emosi-emosi yang diarahkan ke tujuan dan

penilaian emosi (Nyer, 1997; Taylor, 2000; Bagozzi et al. 1999). Suasana

hati adalah pernyataan keberadaan, mereka tidak cenderung kurang

mendalami emosi (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999). Emosi yang

diarahkan pada tujuan adalah spesifik emosi hasil-hasil yang dihasratkan

dari sebuah rangsangan spesifik semacam sebuah kesenangan dari sebuah

layanan (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999; Nyer, 1997) dengan penilaian

emosi yang didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi emosi-emosi dari

penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan bahwa penampilan

telah memenuhi hasrat dan harapan-harapan kami. Mereka adalah emosi

yang dibuat dari evaluasi penampilan (Arora dan Singer, 2006; Bagozzi et

al. 1999).

13. Terdapat Pengaruh Core Service Quality terhadap Patient Loyalty

Hasil penelitian menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh positif

dan signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan Said (2004) yang

menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan berpengaruh langsung

terhadap loyalitas pasien. Parasuraman et al. (1996) pelanggan yang tidak

Page 51: Bab 6 Pembahasan

268

mengalami masalah layanan mempunyai tingkat intens loyalitas yang tinggi

dan intens respons eksternal akan beralih ke produk lain yang lebih rendah.

Di antara pelanggan yang mengalami masalah layanan, terbukti secara

signifikan bahwa pasien yang menerima penyelesaian yang memuaskan

memiliki loyalitas, intensi untuk membayar lebih tinggi, intensi untuk

beralih ke playanan Rumah Sakit lain dan respons eksternal yang lebih

rendah dibandingkan pasien yang tidak menerima penyelesaian masalah

layanan. Fullerton dan Taylor (2002) dalam penelitiaannya menyimpulkan

bahwa kualitas layanan memberikan pengaruh signifikan terhadap loyalitas

pasien.

14. Terdapat Pengaruh peripheral service quality terhadap Patient Loyalty

Sedangkan nilai estimate peripheral service quality adalah positif dengan

nilai p-value lebih besar dari 5%. Karena nilai p-value lebih besar dari 5%

maka hipotesis tidak diterima. Variabel yang berpengaruh paling besar

terhadap customer loyalty pasien rumah sakit swasta di Surabaya adalah

customer satisfaction, karena memiliki nilai estimate paling besar.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa peripheral service quality berpengaruh

tidak signifikan terhadap patient loyalty. Hal ini dapat terjadi karena dari

penilaian indikator menu makan dan kamar pasien tidak diperhatikan

sementara yang diharapakan oleh pasien adalah kesembuhan, terkait dengan

kesembuhan maka pelayanan dalam hal perawatan yang dirasakan dalam

diri pasien adalah dari segi pemeriksaan (diagnose) dan pengobatan (medic).

Berdasarkan observasi peneliti di lapangan, tidak berpengaruhnya

Page 52: Bab 6 Pembahasan

269

peripheral service quality terhadap patient loyalty juga disebabkan oleh

pemeriksaan (diagnose) dan pengobatan (medic). Hasil penelitian ini tidak

mendukung pendapat Skogland dan Siguaw (2004) bahwa kualitas layanan

penunjang sebagai faktor kunci agar pelanggan loyal.

15. Terdapat Pengaruh Switching Cost terhadap Patient Loyalty

Hasil penelitian menjelaskan bahwa switching cost berpengaruh positif dan

signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan Aydin dan Ozer (2004)

yang menyatakan bahwa switching cost merupakan faktor yang

mempengaruhi sensitifitas pelanggan terhadap harga, sehingga berpengaruh

terhadap loyalitas pelanggan. Switching cost mendorong pasien untuk

merekomendasikan pada pasienlain (Lam, 2004). Bloemer et al. (1998)

dalam industri yang dikategorikan memiliki switching cost yang rendah

konsumennya akan kurang loyal dibanding industri jasa dengan switching

cost yang tinggi. Fornell (1992) dalam Lee et al (2001) hubungan antara

kepuasan pelanggan dan loyalitas tergantung pada faktor seperti peraturan

pasar, switching cost, brand equity dan keberadaan program loyalitas.

Hauser et al. (1994) dalam Lee et al. (2001) juga menyatakan bahwa

pelanggan menjadi kurang sensitif terhadap kepuasan karena switching cost

meningkat. Pengaruh switching cost pada hubungan kepuasan dan loyalitas

tergantung pula pada struktur pasar. Jika pasar bersifat monopoli, pengaruh

switching cost kecil. Karena pelanggan yang tidak puas tidak akan

berpindah karena tidak ada alternatif.

Page 53: Bab 6 Pembahasan

270