Bab 4_minyak Goreng
-
Upload
rumaisha-itu-dyita -
Category
Documents
-
view
22 -
download
2
description
Transcript of Bab 4_minyak Goreng
56
BAB 4
ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN
4.1 Analisis Perkembangan Ekspor - Impor dan Harga
CPO
4.1.1 Ekspor
Ekspor CPO Indonesia pada dekade terakhir meningkat dengan laju antara
7 – 8 % per tahun. Di samping dipengaruhi oleh harga di pasar internasional dan
tingkat produksi, kinerja ekspor CPO Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah, khususnya tingkat pajak ekspor. Dengan asumsi tingkat
pajak ekspor adalah masih di bawah 5 %, maka ekspor CPO Indonesia
diperkirakan akan tumbuh dengan laju 4 – 8 % per tahun pada periode 2000 -
2010 (Gambar 4.1). Pada periode 2000 - 2005, ekspor akan tumbuh dengan laju 5
% - 8 % per tahun sehingga volume ekspor pada periode tersebut sekitar 5,4 juta
ton. Pada periode 2005 - 2010, volume ekspor meningkat dengan laju 4 % - 5 %
per tahun yang membuat volume ekspor menjadi 6,79 juta ton pada tahun 2010.
57
Gambar 4.1 Proyeksi Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000 - 2010
Berdasarkan sumber data ekspor Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN) Tahun
2003 kecenderungan ekspor CPO Nasional meningkat antara lain ke India dengan
volume ekspor 1.402.783.354 kg, dengan nilai ekspor US$ 523.183.022, ke
Belanda dengan volume ekspor 377.424.630 kg dengan nilai ekspor US$
129.468.217 dan ke Malaysia volume ekspor 320.528.032 kg dengan nilai ekspor
US$ 124.869.906. Sebagai salah satu produsen utama minyak sawit dunia,
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk terus berperan dalam pasar
dunia. Pada dekade 1980-an ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia hanya ke
Eropa Barat, tetapi beberapa tahun terakhir permintaan dari negara-negara lain
seperti China, India, Pakistan, Myanmar, Kenya, Tansania, dan Afrika Selatan
terus meningkat. Pada Tabel 4.1 menunjukkan perkembangan ekspor sawit di
Indonesia di beberapa mancanegara.
58
Tabel 4.1 Perkembangan Ekspor Minyak sawit (CPO) Indonesia ke Mancanegara
Periode 1997 - 2000
Sumber : BPS dan GAPKI dalam Kompas, 2001
Berikut ini adalah grafik trend ekspor minyak sawit ke beberapa negara disajikan
pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Grafik Perkembangan Ekspor CPO
Sumber : BPS dan GAPKI dalam Kompas, 2003
59
Tabel 4.2 Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor CPO dan Jenis CPO
Lainnya Tahun 1990 – 2007
Tahun
Ekspor
Minyak Sawit Minyak Inti Sawit
Volume (Ton) Nilai (ribu US$) Volume (Ton) Nilai (ribu US$)
1990 815.580 203.570 158.303 44.182
1991 1.167.689 335.481 136.322 42.754
1992 1.030.272 356.494 222.541 109.841
1993 1.632.012 582.629 275.225 110.188
1994 1.631.203 717.811 340.504 177.583
1995 1.265.024 747.414 399311. 187.267
1996 1.671.957 825.415 341.318 235.168
1997 2.967.589 1.446.100 502.979 294.255
1998 1.478.278 745.277 347.009 195.447
1999 3.298.987 1.114.242 597.843 347.975
2000 4.110.027 1.078.278 578.825 239.120
2001 4.903.218 1.080.906 581.926 146.259
2002 6.333.708 2.092.404 73.846 256.234
2003 6.386.410 2.892.130 74.869 289.000
2004 6.400.540 2.999.097 75.879 298.000
2005 6.870.530 3.300.000 78.900 300.000
2006 6.908.750 3.900.860 85.987 350.560
2007 7.001.540 4.500.100 86.970 387.300
Sumber : GAPKI (Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, Departemen
Pertanian (2008) )
60
Secara historis pertumbuhan produksi minyak sawit dunia selama dua dasawarsa
terakhir ini mengalami kenaikan sekitar 7,3 % pertahun. Perkembangan minyak
sawit dunia ini sangat dipengaruhi oleh produksi minyak sawit Negara Malaysia
dan Indonesia yang memberikan kontribusi sebesar 80 % dari produksi dunia.
Berdasarkan data oil word diperkirakan produksi CPO lima tahun ke depan akan
meningkat tapi lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi masyarakat dunia.
Sehingga kondisi seperti ini akan membawa kondisi investasi menjadi baik.
Tingkat produksi CPO dunia masih dikuasi oleh Malaysia dengan pengusaan 50
% market dunia, sedangkan Indonesia berada pada tingkat kedua dengan 30 %
penguasaan market dunia.
4.1.2 Impor
Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan
mendesak Indonesia juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor
minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina dan Jepang.
Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil,
CPO dan beberapa produk oleokimia.
61
Tabel 4.3 Perkembangan Volume Impor dan Nilai Impor CPO dan Jenis CPO
Lainnya Tahun 1990 – 2007
Tahun
Impor
Minyak Sawit Minyak Inti Sawit
Volume (Ton) Nilai (ribu US$) Volume (Ton) Nilai (ribu US$)
1990 26.183 7.662 530 304
1991 37.874 13.891 17.493 7.803
1992 308.743 113.511 17.222 12.097
1993 151.939 63.671 3.327 1.944
1994 123.637 55.715 13.917 7.988
1995 49.785 48.113 4.239 3.277
1996 107.553 61.173 3.132 2.735
1997 91.680 55.456 3.159 3.011
1998 17.618 8.459 554 526
1999 1.648 543 1.209 1.004
2000 4.350 4.020 3.638 2.404
2001 141 60 4.974 2.464
2002 9.499 3.267 2.362 1.478
2003 10.050 5.327 3.336 2.786
2004 11.800 5.455 4.657 3.456
2005 12.345 6.287 5.674 4.576
2006 14.387 8.967 8.879 6.432
2007 13.769 7.456 7.098 5.372
Sumber : GAPKI (Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, Departemen
Pertanian (2008) )
62
Jika dilihat tabel diatas dapat dilihat bahwa volume impor yang dilakukan
fluktuasi mengikuti kebutuhan pasar.
4.1.3 Harga
Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional
sejak tahun 1988 sampai dengan 2007 menunjukkan kecenderungan yang menaik.
Tabel 4.4 Perkembangan Harga Minyak CPO Tahun 1988 – 2007
Tahun Harga Lokal
(Rp / kg)
Harga Ekspor
(US $ / ton)
Tahun Harga Lokal
(Rp / kg)
Harga Ekspor
(US $ / ton)
1988 502 463 1998 1.424 678
1989 552 524 1999 3.943 438
1990 531 280 2001 2.979 310
1991 655 333 2002 2.412 276
1992 728 291 2003 2.840 449
1993 728 407 2004 3.250 450
1994 694 525 2005 3.229 490
1995 988 525 2006 3.357 500
1996 1.275 532 2007 4.550 550
1997 1.148 545 2008 4.800 600
Pergerakan harga minyak sawit di pasar internasional ditransmisikan ke pasar
domestik (border price dan whole sale price) melalui mekanisme pasar. Secara
umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan perkembangan
harga minyak sawit di pasar internasional. Selain itu, harga minyak sawit juga
63
mempunyai fluktuasi musiman (Gambar 4.3). Dalam semester 1 ,harga pada bulan
Januari biasanya adalah paling tinggi kemudian turun melandai dalam Februari
sampai Mei. Dalam semester 2, penurunan harga yang paling tajam terjadi pada
Mei-Juli/Agustus dan naik sampai dengan bulan Januari.
Gambar 4.3 Pola Harga CPO
Hingga tahun 2008, harga minyak sawit di pasar Rotterdam diperkirakan akan
mengalami kenaikan walaupun secara riil akan mengalami sedikit penurunan
karena adanya kenaikan inflasi. Pada tahun 2004, harga minyak sawit di
Rotterdam sekitar US$ 0.56/kg dan pada tahun 2008 mencapai US$ 0.68/kg
(Gambar 4.5). Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari berkembangnya
64
pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang. Dengan kata lain,
minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan.
4.2 Neraca Minyak Kelapa Sawit Untuk Penggunaan
Domestik
Hingga saat ini, konsumsi minyak sawit domestik diperkirakan sekitar
50%- 60% dari produksi dan penggunaannya sebagian besar untuk pangan (80%-
85%) sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil (15%-20%). Menurut
perkiraan, pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5
%/tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar
dibandingkan pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia (10%). Dengan perkiraan
tersebut, maka neraca minyak kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir
bergerak dari surplus ke arah keseimbangan, identik dengan neraca dunia
(Tabel 4.5).
65
Tabel 4.5 Neraca Minyak Sawit Indonesia dan Dunia, 1998-2007.
No Uraian 1998 1999 2000 20001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1 Stok Awal Indonesia 510 700 860 750 975 1,050 1,102 1,200 1,840 2,050 Dunia 3,203 2,688 3,701 4,015 4,098 5,060 5,500 6,780 6,980 7,8272 Produksi Indonesia 5,640 6,250 6,950 8,030 9,020 10,082 12,098 14,987 15,000 16,987 Dunia 17,154 20,625 21,874 23,921 25,033 26,897 27,909 30,009 32,432 35,7683 Ekspor Indonesia 2,002 3,319 4,140 4,940 6,380 7,890 8,779 10,876 12,997 14,876 Dunia 11,417 14,172 15,217 17,688 19,545 20,987 22,345 26,787 30,987 33,7684 Impor Indonesia 18 2 0 0 9 8 7 5 7 8 Dunia 11,528 13,939 15,215 17,569 19,300 20,563 22,465 23,645 24,554 27,8395 Konsumsi Indonesia 2,832 2,895 2,927 2,857 2,933 3,456 4.343 5,343 5.342 5,873 Dunia 17,663 19,493 21,589 23,742 24,952 25,478 26,437 27,895 28,987 30,087 6 Stok Akhir Indonesia 700 860 750 975 700 890 900 935 970 1,050 Dunia 2,688 3,701 4,015 4,098 3,935 4,987 5,876 5,987 6,023 6,344
7 (Stok Awal + produksi+
impor)-(Stok Akhir+ kon
sumsi+ekspor) atau
penawaran - permintaan
Indonesia 634 -122 -7 8 -8 -1,096 -815 -962 -2,462 -2,754 Dunia 117 -114 -31 -24 0 1,068 1,216 -235 -2,031 785
66
4.3 Tinjauan Kritis Terhadap PP 35 Tahun 2005
Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan
produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya
kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii)
mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor
tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri.
Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan keadilan dari
PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas, maka penetapan tujuan
PE ini semata-mata hanya memperhatikan kepentingan pembeli domestik dan
kepentingan negara (pemerintah) yang dilihat secara parsial. Kepentingan
produsen, yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa
bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya terabaikan. Tidak ada
pernyataan dalam tujuan yang relevan dengan kepentingan produsen, penyedia
jasa bisnis dan pemasok input. Sedangkan kepentingan pelestarian sumber daya
alam malahan mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan sebagai tujuan
kedua. Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan
keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit sehingga
industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya dengan harga rendah
(terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi terselubung bagi industri
hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut, negara dapat mengumpulkan
penerimaan negara bukan pajak. Perolehan penerimaan negara ini tidak
dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE. Dengan perhitungan sederhana,
akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak pertengahan 1998 hingga akhir tahun
2003 mencapai sekitar Rp. 6,85 Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat
67
mungkin dicapai dengan penetapan formula penerimaan ekspor dengan komponen
yang terdiri dari volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan ekspor, tarif PE
dan nilai kurs Rupiah. Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam
dapat dikatakan terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa
sawit. Dalam pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari
produk-produk kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan
kelapa sawit. Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga
apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes yang
sering muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam adalah karena
kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal ini pembangunan
perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan yang tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks pencapaian tujuan, lantas
bagaimana PE dapat melindungi kelestarian sumber daya alam? Pencantuman
tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam sekaligus dapat diartikan
sebagai pembenaran atas adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam
kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Masih dalam konteks
tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE mengakomodasi kepentingan
produsen yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa
bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya? Produsen menanggung
beban PE dan tidak ada pernyataan tujuan yang melindungi kepentingan produsen.
Sebagai suatu kebijakan public selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap
seluruh stakeholders. Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan
bahwa tujuan pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP
No.35 Tahun 2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa
68
keadilan bagi stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku
jasa bisnis berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya.
Tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum jelas
kepastian hukumnya tentang bagaimana mencapainya.
Tarif PE, HPE dan Nilai Kurs Berpotensi Sebagai Sumber Distrorsi
Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai dengan PP No. 35 tahun
2005 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008, tarif PE ditetapkan
secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan rumus: Tarif PE
x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs. Tarif atas PE CPO
dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi 60%. Besarnya tarif PE
dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya HPE ditetapkan oleh
Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri Teknis terkait, seperti Menteri
Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya memberi pertimbangan dan/atau usul
atas penetapan besarnya tarif dan HPE. Formulasi di atas pada dasarnya tidak
merubah ketentuan PE yang berlaku sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat
disampaikan data perkembangan pengenaan PE untuk CPO dari bulan Juli 1998
hingga Juni 2008 (Tabel 4.6).
Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 15% untuk
tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 10% untuk crude
olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO) dan
Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan Menteri
69
Keuangan pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE masih belum
ditentukan oleh Menteri Perdagangan. Menurut Menteri Perdagangan, sesuai
aturan yang berlaku selama ini, kalau belum ada penetapan HPE yang baru, maka
HPE yang lama masih berlaku. Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005 dan
Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008, HPE CPO dan produk
turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang saat
ini berkisar US$ 1,082 per ton.
Tabel 4.6 Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya.
Tahun PE (%) HPE (US$/ton)
Harga (US$/ton)
Nilai Kurs
(Rp/US$)
Juli 98-feb 99 60 610 650 14550
Feb 99- juni 99 40 535 535 8850
Juni 99-juli 99 30 365 440 8171
Juli 99 – sept 99 10 260 312 6873
Sept 99 – feb 01 5 190 335 8250
Feb 01-juni 02 3 160 175 9598
Juni 2002-Mar 2005
3 160 429 9750
Jan 07 1.5 458 477 7.580
Juni 07 6.5 500 586 7.987
Des 07 10 784 960 8.018
Jan 08 10 869 990 9,476
Feb 08 10 944 1.020 9,226
Maret 08-April 2008
20 1.158 1.200 9,236
mei 08 – juni 08 15 1.082 1.158 9.300
70
Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak terlepas
dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya berkisar pada
pilihan antara (i) tarif PE turun dari 15% menjadi katakanlah 10% dengan HPE
disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE tetap 15% dengan
HPE juga tetap US$ 1.082 per ton. Saat ini tarif PE CPO telah ditetapkan 15%,
sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE. Jika harga net ekspor CPO
Indonesia ex Kuala Lumpur berdasarkan nilai absolut PE pada bulan September
2008 sebesar USD 944 (PE 10%), menghasilkan HPE sebesar USD 786/MT atau
sebesar Rp.7.862/kg (Tabel 4.20). Tarif PE CPO yang saat ini telah ditetapkan
pemerintah sebesar 15% menyebabkan harga ekspor turun menjadi Rp. 7.321/kg.
Hal ini sangat mempengaruhi perhitungan profit loss analysis. Jika PE sebesar
10% dari HPE ex Kuala Lumpur maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp.
512/kg sedangkan
71
Tabel 4.7 Perhitungan Profit Loss Analysis Dengan Menggunakan Harga CPO
Ekspor dan TenderKPB Ex Kuala Lumpur, Malaysia, Oktober 2007.
No Transaction info Nilai satuan Nilai PE = 15%
Nilai Nilai PE = 10% per unit per unit
A Penerimaaan 1 Jumlah MT 10,230 10,2302 Harga USD 1,100 1,1003 Nilai USD 11,253,000 11,253,000
B Biaya
1 Pajak Ekspor
162.30 per MT (USD) 1,660,329
108.20 1,106,886
2 Bongkar Muat
200.00 per MT (USD) 2,046,000
200.00 2,046,000
3 Surveyor USD 3,000 3,0004 L/C Ekspor - USD 0 - 0
5 Pelabuhan
3,000,000.00 Rp 3,000,000
3,000,000.00 3,000,000
6 Asuransi
0.18 % (USD) 20,255 0.18 20,255
7 Penyusutan
0.30 % (USD) 33,759 0.30 33,7598 Total Biaya (USD) 3,763,343 3,209,9009 Total Biaya Rp 3,000,000 3,000,000
10 Grand Total Biaya 3,763,643 3,210,200
C Nilai Tukar Rp
10,000.00 D Harga Ekspor Total Nilai Ekspor USD 11,253,000 11,253,000 Total Biaya Ekspor USD 3,763,643 3,210,200 Nilai Ekspor Total USD 7,489,357 8,042,800 Harga Ekspor Total USD/MT 732 786 Dalam Rp (Asli) Rp/kg 7,321 7,862E Harga CPO Lokal tender KPB Price incl PPN Rp 8,500 8,500 PPN 10% Rp 850 850
tender price exc PPN Rp 7,650 7,650
transportasi local Rp 300 300 nett tender price Rp 7,350 7,350 FOB inc PPN Rp 8,200 8,200
F Profit and Loss Analysis
hargaekspor bersih 7,321 7,862 harga dalam negeri 7,350 7,350
profit (loss) Rp/ kg 29.03 512 total profit in Rp 296,934,000.00 5,237,496,000 penerimaan negara 10.230 MT 16,603,290,000 11,068,860,000 700.000 MT 1,136,100,000,000 757,400,000,000
72
bila PE sebesar 15% maka terdapat kerugian jika melakukan ekspor karena harga
lokal lebih tinggi. Kerugian tersebut mencapai Rp. 29.03/kg. Dengan jumlah
ekspor sebesar 10.230 MT CPO maka total keuntungan ekspor yang dapat ditarik
dengan memberlakukan PE sebesar 10% adalah Rp. 5.237.496.000,00. Sedangkan
bila PE sebesar 15% maka total kerugian dapat mencapai Rp. 296.934.000,00.
Total penerimaan negara dari PE sebesar 10% untuk skala ekspor 10.230 MT
mencapai Rp. 11,068,860,000, sedangkan untuk peningkatan PE menjadi 15%
maka total penerimaan negara mencapai Rp. 16,603,290,000. Apabila besaran
ekspor dihitung berdasarkan ekspor CPO Indonesia ke Rotterdam Belanda sebesar
700.000 MT maka akan menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 757 milyar untuk
PE 10% dan Rp. 1,1 Triliyun untuk PE 15%.
Analisa Akan Penerimaan Negara per MT Berdasarkan Harga Pokok Ekspor
1,5% 3% 6% 10% 15%
30%40%
60%
0
20,000,000,000
40,000,000,000
60,000,000,000
80,000,000,000
Harga Pokok Ekspor
Pene
rim
aan
Neg
ara
per M
T
1,5%3%6%10%15%30%40%60%
Gambar 4.4 Analisa Akan Penerimaan Negara per MT Berdasarkan Harga
Pokok Ekspor
Jika dilihat dari gambar 4.4 diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dengan
semakin naiknya Harga Pokok Ekspor maka penerimaan negara per MT akan
73
semakin meningkat pula. Pemerintah sangat fokus mengenai hal ini. Tapi
pemerintah tidak terlalu memikirkan hal lainnya seperti pada gambar dibawah ini
Perbandingan Antara Harga Pokok Ekspor dengan Total Profit in Rp
1,5% 3% 6%10%
15%
30%40%
60%57,500,000,00050,000,000,00042,500,000,00035,000,000,00027,500,000,00020,000,000,00012,500,000,000
5,000,000,0002,500,000,000
10,000,000,00017,500,000,00025,000,000,000
Harga Pokok Ekspor
Tota
l Pro
fit
1,5%
3%
6%
10%
15%30%
40%
60%
Gambar 4.5 Perbandingan Antara Harga Pokok Ekspor dngan Total Profit
in Rp
Jika dilihat dari gambar menunjukkan bahwa semakin besar HPE maka total profit
untuk industri minyak CPO ini justru akan mengalami kerugian. Dalam hal ini
seharusnya menjadi pusat perhatian pemerintah dalam memajukan industri CPO
diIndonesia ini. Apalagi industri ini memiliki masa depan yang cukup cerah.
Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu
diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk tariff
PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan (i) sifatnya
hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi mengguncang pasar
74
CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar CPO
domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk program dan kegiatan
pengembangan industri perkelapasawitan nasional dan target PNBP. Butir (iii) ini
sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan HPE disamping
memperhitungkan kepentingan pelaku jasa bisnis dan keuntungan perusahaan dan
petani kelapa sawit. Untuk itu, kajian dan simulasi penetapan tarif PE dan HPE
sangat diperlukan. Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 dan Peraturan
Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008 tentang PE, khususnya Pasal 2 dan 3
maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu disempurnakan pada
aspek-aspek : (i) memberi perhatian terhadap manfaat pengenaan PE bagi
pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii) menciptakan keadilan dengan
memperhatikan kepentingan stakeholders, terutama petani secara proporsional,
dan (iii) memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya
penegakan dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan implementasi penegakan
hukum apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dimaksud. SK
Menteri dan pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya menjadi bahan
pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005, bukannya menjadi
sumber diskresi dari PP tersebut.
Analisis Dampak Penerapan PE CPO (PP No 35/2005 dan Peraturan Menteri
Keuangan No. 09/PMK.011/2008)
Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu : (1) dampak terhadap Produk
Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3) dampak
75
terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE (pungutan ekspor)
CPO yaitu :
a. PE sebesar 10 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
b. PE sebesar 15 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
c. PE sebesar 15 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE
berada sekitar 2/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 10
persen dari harga CPO dunia yang berlaku.
Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 15 persen dari HPE
CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua kemungkinan
yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu:
(1) pemerintah menetapkan besaran HPE sebesar 2/3 dari harga CPO
dunia yang berlaku yang berarti setara dengan PE sebesar 10 persen
dari harga CPO dunia yang berlaku;
(2) pemerintah merevisi besaran PE dari 15 persen menjadi 10 persen,
tetapi HPE ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.
(1) Produk Domestik Bruto
Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang diterima
produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada konstraksi
kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun demikian, PE atas
CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam negeri menurun
sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut. Dampak selanjutnya adalah
ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam mengeri. Selain itu, PE atas CPO akan
meningkatkan penerimaan PNBP negara sebagai dana pembangunan untuk
meningkatkan kegiatan ekonomi nasional. Dampak kontraksi dan ekspansi dari
76
penerapan PE tersebut secara umum akan tercermin dari PDB. Apabila PDB
meningkat mengidentifikasikan bahwa PE tersebut berdampak positif terhadap
perkembangan ekonomi nasional, tetapi sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel
4.6 tersebut terlihat bahwa penerapan PE akan menyebakan penurunan PDB
disemua skenario. Dampak penerapan PE 15 persen terhadap penurunan PDB
lebih besar dibanding PE 10 persen. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan PE
ternyata tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam negeri yang
menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi kehilangan nilai
tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan agribisnis kelapa sawit.
Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak menerapkan PE terlalu tinggi
dibanding yang berlaku sekarang.
Daya Saing CPO Indonesia vs Malaysia
Sebuah negara mempunyai keunggulan komparatif terhadap suatu produk jika
mampu menghasilkan produk yang lebih baik dengan harga yang lebih murah
(Simeh, 2004). Pengenaan PE akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di
pasar dunia, sementara harga ekspor CPO Malaysia tetap akibatnya daya saing
CPO Indonesia menurun terhadap CPO Malaysia. Hal ini tercermin dari
meningkatnya volume ekspor CPO Malaysia sementara volome ekspor CPO
Indonesia mengalami penurunan pada semua skenario. Makin tinggi Pengenaan
PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume ekspor CPO Malaysia. Oleh
karena itu, disarankan agar tingkat PE atas CPO Indonesia tidak terlalu besar agar
pangsa pasar CPO Indonesia tidak direbut oleh CPO dari Malaysia. Indonesia saat
ini merupakan negara pengekspor minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah
77
Malaysia. Malaysia memegang peranan penting dalam perdagangan minyak sawit
pada akhir tahun 1960-an saat Indonesia dan Nigeria mengalami stagnasi
produksi. Pada tahun 1969 pangsa ekspor minyak sawit Malaysia mencapai
sekitar 43.48 persen dari ekspor minyak sawit dunia dan pada tahun 2002 pangsa
ekspor Malaysia tumbuh menjadi 57,28 persen. Pada periode yang sama, pangsa
ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 20.49 persen dan 32,64 persen. Sisanya
dikuasai oleh beberapa negara, seperti Papua Nugini dan Pantai Gading (Tabel
4.8). Amerika Serikat, Belanda dan Pakistan secara tradisional merupakan negara
pengimpor utama minyak sawit. Pada tahun 1969 ketiga Negara mengimpor
sekitar 11 persen dari impor minyak sawit dunia. Pada tahun 2002, pangsa impor
ketiga negara meningkat menjadi sekitar 13.35 persen (Tabel 4.9). Perubahan
pangsa impor ketiga negara tersebut terjadi karena adanya peningkatan impor oleh
Pakistan yang cukup nyata. Saat ini ketiga pengimpor minyak sawit tersebut
berperan cukup penting bagi Indonesia.
Tabel 4.8 Ekspor (ton) dan Pangsa Ekspor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2008.
Tahun Indonesia Malaysia
Dunia Ton % Ton % 1969 179.133 20.49 380.000 43.48 874.000 1974 281.221 16.52 900.000 52.88 1.702.000 1979 351.280 11.85 1.900.000 64.08 2.965.000 1984 127.938 12.85 2.978.000 66.30 4.492.000 1989 781.844 10.39 5.213.000 69.28 7.525.000 1994 1.631.203 14.80 6.895.200 62.58 11.019.0001999 3.298.987 23.25 9.234.700 65.09 14.186.500 2000 4.110.027 26.99 9.280.000 60.95 15.226.100 2001 4.939.700 27.92 10.732.700 60.67 17.688.100 2002 6.379.500 32.64 11.195.400 57.28 19.544.900 2003 7.456.000 33.65 12.879.900 59.33 22.345.987 2004 8.396.472 34.89 14.567.879 60.33 23.879.984 2005 9.567.000 35.98 13.678.986 58.99 24.870.987 2006 10.350.000 45.98 14.123.654 61.98 25.894.987
78
2007 11.280.000 56.76 14.456.789 63.98 28.908.979 2008 12.300.000 64.55 15.990.085 64.98 30.098.678
Sumber :GAPKI dan Oil World (berbagai terbitan), diolah.
Tabel 4.9 Impor (ton) dan Pangsa Impor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2008.
Tahun
AS Pakistan Belanda
Dunia Ton % Ton % Ton %
1969 61.000 5.95 42.097 4.10 1.000 0.10 1.025.687
1974 200.000 8.94 38.872 1.96 90.000 4.43 2.031.872
1979 145.000 4.37 60.478 1.82 192.000 5.78 3.319.478
1984 148.000 3.10 24.546 0.51 400.000 8.37 4.777.268
1989 108.000 1.40 169.383 2.20 538.000 6.98 7.711.830
1994 149.000 1.25 434.100 3.64 1.114.000 9.34 11.925.304
1999 142.900 1.02 784.400 5.37 1.051.800 7.54 13.944.000
2000 165.100 1.08 775.500 5.09 1.107.100 7.27 15.234.300
2001 171.100 0.97 985.500 5.60 1.325.000 7.54 17.569.300
2002 219.000 1.13 1.061.400 5.49 1.300.000 6.73 19.299.700
2003 350.000 2.56 1.123.400 6.78 1.350.000 7.86 20.897.000
2004 468.000 3.45 1.654.789 7.85 1.465.000 8.76 21.564.890
2005 567.000 4.87 1.876.500 8.78 1.786.000 9.45 22.376.980
2006 678.500 5.67 2.005.000 9.83 1.897.540 9.87 23.456.897
2007 879.000 7.98 2.367.890 10.98 2.500.000 10.78 25.879.980
2008 1.008.789 9.87 2.987.900 12.23 2.890.000 12.89 27.987.970
Sumber : GAPKI dan Oil World (berbagai terbitan), diolah.
Pada ketiga pasar tersebut, Malaysia merupakan pesaing utama Indonesia dan
umumnya CPO asal Malaysia lebih kompetitif karena antara lain, mutu yang lebih
baik dan adanya kemudahan-kemudahan yang didapat Malaysia dari negara
pengimpor dan tidak diperoleh Indonesia. Namun, perkembangan ekspor minyak
sawit Malaysia diperkirakan akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumber daya
lahan dan tingginya tingkat upah pekerja. Sedangkan Indonesia masih mempunyai
79
potensi untuk berkembang karena dukungan biaya produksi murah dan lahan
potensial yang masih tersedia. Namun Indonesia juga menghadapi kendala dalam
pengembangan ekspor karena tingkat konsumsi domestik tinggi. Sementara itu,
Malaysia pun tidak berdiam diri dan terus meningkatkan produktivitas tenaga
kerjanya, sehingga mereka mengembangkan dengan sungguh-sungguh industri
produk turunan CPO yang bernilai lebih tinggi. Berdasarkan data produksi tahun
1999 – 2004, terlihat jelas bahwa Malaysia masih menempati peringkat pertama di
dunia untuk produksi CPO. Pada tahun 1999 produksi CPO Malaysia sekitar 10,6
juta ton, sedangkan Indonesia hanya 6 juta ton (56,6 %). Pada tahun 2004
Produksi CPO Malaysia meningkat menjadi 14 juta ton, sedangkan Indonesia
sebesar 11,4 juta ton (81,4%). Peningkatan produksi CPO Indonesia lebih besar
disebabkan oleh peningkatan luas areal penanaman kelapa sawit. Sedangkan
produksi negara lainnya, seperti Colombia, Ivory Coast dan Thailand masih jauh
di bawah tingkat produksi Indonesia maupun Malaysia (Tabel 4.10).
Tabel 4.10 Produksi CPO Negara Pesaing 2001 – 2008 (000 ton).
No Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 Colombia 548 528 527 632 478 450 423 400 2 Ecuador 240 245 - - - - - - 3 Indonesia 7.900 9.200 10.300 11.430 11.540 12.400 13.600 15.1004 Ivory Coast 247 280 - 790 560 580 620 760 5 Malaysia 11.804 11.908 13.354 13.974 14.100 14.300 14.500 14.8006 Nigeria 770 775 785 - - - - - 7 Pilipina 55 56 - - - - - - 8 Thailand 600 600 640 670 560 680 730 820 9 NegaraLainnya 1.661 1.693 2.276 2.493 2.560 2.630 2.720 2.840 Total 23.825 25.285 27.882 37.109 29.798 31.040 32.593 34.720
Sumber : GAPKI dan Oil World (2008).
80
(2) Agribisnis Kelapa Sawit
Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa sawit
dapat dirangkum sebagai berikut :
• Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 15 persen dari harga CPO
dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 10 persen, maka produksi CPO
Indonesia mengalami penurunan karena luas tanaman yang menghasilkan
menurun, volume ekspor menurun lebih besar dibanding kenaikan
konsumsi domestik. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan terjadi
pada perkebunan negara dan swasta, sedangkan perkebunan rakyat tidak
terjadi. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan pada perkebunan
negara dan swasta sebagai respon penurunan harga Tandan. Dampak dari
penurunan luas tanaman yang menghasilkan tersebut menyebabkan
penyerapan tenaga kerja pada usahatani kelapa sawit menurun. Penurunan
volume ekspor akan berdampak pada penurunan penerimanan devisa
negara dari ekspor CPO. Walaupun terjadi peningkatan penerimaan negara
dari PE, namun secara keseluruhan PDB nasional mengalami penurunan.
• Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 15 persen dari harga CPO
dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah dampaknya sama
dengan pemberlakuan PE 10 persen, tapi dampaknya lebih besar pada PE
15 persen.
• Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa
pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan
yang selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan
penurunan produksi CPO. Tambahan penerimaan pemerintah dari PE
81
ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya,
sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja
ekonomi makro. Apabila pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE CPO
maka disarakan untuk menerapkan PE sebesar 15 persen dengan HPE 2/3
dari harga CPO dunia yang berlaku.
(3) Pendapatan Petani
Harga Tandan Buah Segar (TBS) pada saat PE 10% adalah sebesar Rp. 1,450/kg
(Tabel 4.11). Kenaikan PE menjadi 15% menyebabkan harga TBS semakin
rendah. Ditambah lagi dengan adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM)
yang rata-rata mencapai 107% juga sangat mempengaruhi turunnya harga TBS.
Kedua hal tersebut menyebabkan harga TBS turun menjadi Rp 1,439.15/kg.
Penurunan harga TBS menyebabkan keuntungan petani menurun dari Rp. 800/kg
menjadi Rp. 634.15/kg, atau turun sebesar 57%. Jika diasumsikan 1 KK petani
kelapa sawit memiliki lahan rata-rata 2 ha dengan produktivitas 15 ton
TBS/ha/tahun maka keuntungan per KK menurun dari sekitar Rp. 6,8 juta menjadi
hanya Rp. 2,9 juta. Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 15% sementara HPE
mengikuti harga CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada Juni
mencapai US$ 1,082 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir
naik cukup tinggi menjadi US$ 732 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar
Rp7,321 per kg. Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban
pungutan ekspor yang besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha
kepada petani. Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp7,321 per kg
82
CPO, maka harga tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi
Rp1500-Rp2000 per kg.
Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1 kg CPO jumlah TBSnya
harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS 20%). Selanjutnya, kalau harga
TBS di petani saat ini sebesar Rp 650 per kg, maka harga beli pasti berkurang.
Jika tarif ekspor hanya 10% dan HPE disesuaikan dengan harga jual CPO di
Rotterdam, maka pungutan ekspor masih tetap rendah yakni US$ 732 per ton,
sehingga tidak berpengaruh pada pendapatan petani.
Tabel 4.11 Pengaruh Kenaikkan Kenaikan BBM dan PE Terhadap Biaya Produksi TBS, 2008.
Prospek Dan Potensi Pengembangan Kelapa Sawit
Prospek
Harga. Hingga tahun 2008, harga minyak sawit di pasar Rotterdam diperkirakan
akan mengalami kenaikan walaupun secara riil akan mengalami sedikit penurunan
karena adanya kenaikan inflasi. Pada tahun 2004, harga minyak sawit di
Uraian
Biaya Produksi /
Kg TBS
Pengaruh Kenaikkan BBM
Pengaruh Kenaikkan PE & BBM
% Rp Biaya Pemupukan 150 30 195 195 Biaya Pemeliharaan 200 20 240 240 Biaya Panen 150 20 180 180 Biaya Transport TBS 100 40 140 140 Biaya Administrasi / iuran 50 50 50
Total Biaya 650 805 805 Harga Jual TBS 1,450 1,450 1,439.15 Keuntungan Petani 800 645 634.15 Pendapatan per KK plasma 18,632,500 18,632,500 18,631,060.85 Biaya Produksi per KK plasma 12,790,000 15,688,000 15,688,000 Keuntungan per KK plasma 6,842,500 2,952,500 2,943,060.85 Penuruna n Keuntungan (%) 56% 57%
83
Rotterdam sekitar US$ 0.56/kg dan pada tahun 2008 mencapai US$ 0.68/kg
(Gambar 4.6). Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari berkembangnya
pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang. Dengan kata lain,
minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan.
Gambar 4.6 Harga Riil dan Nominal CPO di Rotterdam (US$/kg)
Ekspor. Meskipun hingga tahun 2008 ekspor CPO Indonesia meningkat dengan
laju 5.22% per tahun, Malaysia masih tetap unggul dibandingkan Indonesia.
Ekspor Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 masing-masing 4.57 juta dan 5.6
juta ton menjadi 5.61 juta dan 8.78 juta ton pada tahun 2008 (Gambar 4.7). Dalam
periode di tersebut, Indonesia akan menguasai 33.32%,
sedangkan Malaysia menguasai 56.90% dari total ekspor dunia.
84
Gambar 4.7 Ekspor Minyak Sawit Indonesia, Malaysia dan Dunia (ton). Gambar di atas juga mengisyaratkan bahwa hanya dengan pertumbuhan minimal
17.69% per tahun, ekspor Indonesia baru dapat menyamai ekspor Malaysia.
Pertumbuhan tersebut dapat dicapai jika Indonesia mengalami peningkatan
produktivitas menjadi rata-rata sekitar 5.51 ton CPO/ha/tahun hingga tahun 2008.
Dengan kondisi pertanaman yang ada, Indonesia masih memiliki kemungkinan
untuk meningkatkan produktivitas dan produksi.
Pengembangan Produk. Pengembangan produk kelapa sawit diperoleh dari
produk utama, yaitu minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit, dan produk
sampingan yang berasal dari limbah. Beberapa produk yang dihasilkan dari
pengembangan minyak sawit diantaranya adalah minyak goreng, produk-produk
oleokimia, seperti fatty acid, fatty alkohol, glycerine, metalic soap, stearic acid,
methyl ester, dan stearin. Perkembangan industri oleokimia dasar merangsang
pertumbuhan industri barang konsumen seperti deterjen, sabun dan kosmetika.
Sedangkan produk-produk yang dihasilkan dari pemanfaatan limbah diantaranya
adalah pupuk organik, kompos dan kalium serta serat yang berasal dari tandan
kosong kelapa sawit, arang aktif dari tempurung buah, pulp kertas yang berasal
85
dari batang dan tandan sawit, perabot dan papan partikel dari batang, dan pakan
ternak dari batang dan pelepah, serta pupuk organik dari limbah cair dari proses
produksi minyak sawit.
Potensi
Kesesuaian dan ketersediaan lahan. Pengembangan tanaman kelapa sawit telah
dilakukan secara luas di Indonesia baik di kawasan barat maupun di kawasan
timur Indonesia. Potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan kelapa sawit
umumnya cukup bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, lahan berpotensi
sedang, dan lahan yang berpotensi rendah (Tabel 4.12). Lahan berpotensi tinggi
adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian Lahan (KKL) untuk kelapa sawit
tergolong sesuai (>75%) dan sesuai bersyarat (<25%). Lahan berpotensi sedang
memiliki KKL tergolong sesuai (25-50%) dan sesuai bersyarat (50-75%),
sementara lahan berpotensi rendah memiliki KKL tergolong sesuai bersyarat (50-
75%) dan tidak sesuai (25-50%). Penyebaran areal yang berpotensi untuk
pengembangan kelapa sawit tersebut umumnya terdapat di propinsi Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya, Sumatera
Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
86
Tabel 4.12 Potensi dan Kesesuaian Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit.
4.4 Kebijakan – kebijakan dan strategi yang diambil PT.
KALPATARU INVESTAMA dalam menyikapi fluktuasi
harga minyak CPO
Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional berperan
sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya diutamakan untuk
perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli domestik (industri atau
rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan, kebijakan perdagangan
tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah melalui
pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri suatu negara atau alasan-
alasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah tentang penerapan PE
untuk CPO dan produk turunannya lebih diutamakan untuk meningkatkan
penerimaan pemerintah dan proteksi bagi industri dalam negeri penghasil produk
87
turunan CPO, seperti industri minyak goreng dan oleokimia. Dengan penerapan
PE ini tentunya sangat mempengaruhi harga minyak CPO. Oleh karena itu PT.
KALPATARU INVESTAMA menerapkan beberapa kebijakan.
Ada beberapa kebijakan yang diambil PT. KALPATARU INVESTAMA dalam
menghadapi fluktuasi minyak CPO ini adalah :
• Arah Kebijakan Jangka Panjang 2025
Peluang untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup terbuka
bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan,
tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli. Dengan posisi sebagai
produsen terbesar kedua saat ini dan menuju produsen utama di dunia pada
masa depan, Indonesia perlu memanfaatkan peluang ini dengan sebaik-
baiknya, mulai dari perencanaan sampai dengan upaya menjaga agar tetap
bertahan pada posisi sebagai a country leader. Disamping itu, tuntutan
akan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan perlu juga menjadi
pertimbangan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka visi yang
dikembangkan dalam pembangunan kelapa sawit adalah "Pembangunan
Sistem dan Usaha Agribisnis Kelapa Sawit yang Berdaya Saing,
Berkerakyatan, Berkelanjutan dan Terdesentralisasi".
88
• Kebijakan Jangka Menengah
Agar diperoleh manfaat yang optimal dalam pembangunan agribisnis
kelapa sawit nasional, maka kebijakan pengembangan agribisnis kelapa
sawit nasional pada periode 2008-2013 adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kelapa Sawit.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas
tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang
dihasilkan oleh petani pekebun maupun perkebunan besar.
Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kelapa
sawit dapat ditempuh melalui program: peremajaan kelapa sawit,
pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar,
peningkatan pengawasan dan pengujian mutu benih, perlindungan
plasma nutfah kelapa sawit, pengembangan dan pemantapan
kelembagaan petani.
2. Pengembangan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah
Kelapa Sawit.
Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia
tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil
olahan,sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri dan
penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan
pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui:
Fasilitasi pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5 -
10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit
pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit
89
(MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada
pabrik MGS.
Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra
produksi.
Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian dan
pengembangan serta pengembangan SDM dengan negara
penghasil CPO.
Fasilitasi pengembangan biodiesel. Pengembangan market
riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing
3. Kebijakan Industri Minyak Goreng/Makan Terpadu.
Kebijakan ini diperlukan mengingat rawannya pasar minyak
goreng di Indonesia dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat
kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan goyahnya posisi
Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia.
Kebijakan ini diharapkan arah pengembangan komoditas penghasil
minyak goreng yang jelas dan unsur-unsur pendukungnya.
4. Dukungan Penyediaan Dana.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai
kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk
pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembaga
perbankan maupun non bank. Disamping itu perlu segera
dihidupkan kembali dana yang berasal dari komoditi kelapa sawit
untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit (semacam dana cess).
90
C. Strategi
Sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian, tujuan dan sasaran
pengembangan agribisnis kelapa sawit, maka strategi pengembangan
agribisnis kelapa sawit dijabarkan sebagai berikut (Tabel 4.13).
Tabel 4.13 Strategi Pengembangan PT. KALPATRU INVESTAMA
91
4.5 Hasil Analisis dan Pembahasan
Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa sawit
dapat dirangkum sebagai berikut :
a) Dalam menetapkan kebijakan PE untuk produk CPO berikut produk
turunannya, pemerintah harus juga dapat mempertimbangkan faktor-faktor
yang berpengaruh atas penerimaan PE tersebut seperti halnya nilai
presentase PE yang akan ditetapkan, nilai kurs rupiah terhadap US dollar
dan harga pasaran CPO (Rotterdam) pada saat PE tersebut ditetapkan. Hal
ini dimaksudkan agar pemerintah dapat menekan tindakan-tindakan para
spekulan / pihak trader yang ingin mengambil keuntungan pada kondisi
tertentu seperti penimbunan CPO, penyelundupan dan sebagainya
sehingga keseimbangan pasar CPO dalam negeri dapat terjaga.
b) Dalam memberlakukan PE CPO, pemerintah juga harus memperhatikan
faktor kesejahteraan petani kelapa sawit melalui program kebun plasma /
kebun rakyat, yaitu pemerintah harus memperhitungkan pendapatan yang
didapat dari PE CPO terhadap pemberian fasilitas / kemudahan kepada
para petani kebun plasma seperti dengan memberikan kredit bunga murah
terhadap mereka, subsidi pupuk, fasilitas transportasi jalan, infrastruktur
dan lain-lain sehingga program ekonomi daerah dapat berjalan dengan
baik dan pemerataan / penekanan tingkat kesenjangan social antara
pemilik kebun plasma dan kebun inti dapat teratasi. Pemerintah juga harus
memperhatikan proses penjualan tandan buah segar (TBS) petani plasma
ke pabrik-pabrik pengolahan, agar harga jual yang didapatkan oleh mereka
92
adalah harga jual yang optimal pada saat itu. Dengan demikian
kesejahteraan petani plasma dapat ditingkatkan. Aspek lain yang didapat
apabila pemerintah konsisten dengan kebijakkan ini adalah bahwa
pemerintah dapat menekan tingkat urbanisasi penduduk, ekonomi dapat
berjalan dengan baik, PAD daerah tersebut akan meningkat, tingkat
pengangguran dapat ditekan dan juga pembelajaran kepada petani untuk
dapat menjadi petani yang profesional