Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

50
BAB IV. PEMASALAHAN LEVERAGE FAKTOR Rumput laut merupakan komoditas perikanan budidaya yang memiliki tingkat permintaan pasar yang tinggi, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional (dalam negeri) maupun permintaan pasar Internasional (ekspor). Tingginya permintaan rumput laut dunia disebabkan oleh terus berkembangnya secara cepat kegunaan komoditas ini sebagai sumber karaginan yang memiliki sifat atau fungsi pengental, penggumpal, pelembab, pengemulsi, pengkilat, perekat, pelapis (coating), penambah (aditif), pewarna, pemantap (stabilizaer), selain sebagai makanan yang bernilai gizi tinggi dan sehat serta sebagai obat-obatan. Sifat karaginan tersebut sangat dibutuhkan oleh berbagai industri seperti industri makanan, minuman, tekstil, kimia, farmasi, kosmetika, pakan ternak dan ikan, pupuk pertanian bahkan dalam pengemboran minyak bumi. Pada awal rumput laut (seaweeds) digunakan untuk pangan dan obat-obatan. Kandungan polisakarida tersebut menentukan kualitas rumput laut bagi kepentingan industri sehingga menjadi indikator utama keberhasilan budidaya selain pertumbuhan biomasa. Di sisi pasokan, rumput laut menghadapi kendala permasalahan teknis yang terkait dengan karakteristik komoditas ini. Rumput laut adalah komoditas budidaya yang diusahakan dengan tingkat intervensi manusia yang relatif rendah dibandingkan dengan usaha budidaya komoditas perikanan lainnya. Pada budidaya rumput laut faktor eksternalitas (alam) masih sangat dominan, sehingga hampir

description

Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

Transcript of Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

Page 1: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

BAB IV. PEMASALAHAN LEVERAGE FAKTOR

Rumput laut merupakan komoditas perikanan budidaya yang memiliki

tingkat permintaan pasar yang tinggi, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar

nasional (dalam negeri) maupun permintaan pasar Internasional (ekspor).

Tingginya permintaan rumput laut dunia disebabkan oleh terus berkembangnya

secara cepat kegunaan komoditas ini sebagai sumber karaginan yang memiliki

sifat atau fungsi pengental, penggumpal, pelembab, pengemulsi, pengkilat,

perekat, pelapis (coating), penambah (aditif), pewarna, pemantap (stabilizaer),

selain sebagai makanan yang bernilai gizi tinggi dan sehat serta sebagai obat-

obatan. Sifat karaginan tersebut sangat dibutuhkan oleh berbagai industri seperti

industri makanan, minuman, tekstil, kimia, farmasi, kosmetika, pakan ternak dan

ikan, pupuk pertanian bahkan dalam pengemboran minyak bumi. Pada awal

rumput laut (seaweeds) digunakan untuk pangan dan obat-obatan. Kandungan

polisakarida tersebut menentukan kualitas rumput laut bagi kepentingan industri

sehingga menjadi indikator utama keberhasilan budidaya selain pertumbuhan

biomasa.

Di sisi pasokan, rumput laut menghadapi kendala permasalahan teknis

yang terkait dengan karakteristik komoditas ini. Rumput laut adalah komoditas

budidaya yang diusahakan dengan tingkat intervensi manusia yang relatif rendah

dibandingkan dengan usaha budidaya komoditas perikanan lainnya. Pada

budidaya rumput laut faktor eksternalitas (alam) masih sangat dominan, sehingga

hampir sebagian besar pengasuhan rumput laut ini diserahkan atau dilakukan

oleh alam. Dengan demikian terdapat unsur ketidakpastian (uncertainty) dalam

usaha budidaya komoditas ini. Pada beberapa kasus, bahkan bisa terjadi pada

suatu daerah sentra produksi rumput laut berubah menjadi masa lalu dalam

waktu sekejap atau sebaliknya. Hal ini menunjukkan ada faktor dominan yang

mempengaruhi proses produksi rumput laut yang belum bisa dikontrol

sepenuhnya oleh pembudidaya.

Permintaan pasar akan rumput laut baik nasional maupun internasional

sangat tinggi akan tetapi mengingat besarnya kendala dan permasalahan

budidaya rumput laut, maka kemungkinan tercapainya pemenuhan pasar yang

sangat terbuka tersebut amatlah kecil. Agribisnis rumput laut saat ini berada

Page 2: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

pada tingkat kejenuhan, dimana hal ini terjadi sangat terkait pada kondisi sosial,

ekonomi dan politik dalam negeri. Rumput laut dapat diekspor dalam empat

bentuk atau jenjang yaitu : 1) mentah atau rumput laut kering (raw); 2) alkali

treated cottonii chips (ATC); 3) semi refined carrageenan (SRC); dan 4) refined

carrageenan (RC). Harga rumput laut untuk masing-masing bentuk tersebut

berbeda, bertambah sampai beberapa kali lipatnya pada setiap bentuk atau

jenjang. Sebagian besar ekspor rumput laut Indonesia masih dalam bentuk

mentah atau rumput laut kering sehingga tidak memiliki nilai tambah jika

dibandingka dengan ekspor dalam bentuk ATC, SRC dan RC akan memiliki nilai

tambah lebih besar. Dalam hal ini kita bisa mencontoh philipina yang konsisten,

membeli raw rumput laut dari petani Indonesia, mengolahnya kemudian

menjualnya kembali (ke Indonesia) dan mereka mendapatkan nilai tambah atau

keuntungan konversi yang belipat-lipat.

Pembangunan rumput laut yang berorientasi pada peningkatan daya

saing dan nilai tambah rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah yang

berlangsung saat ini cenderung tidak berkelanjutan disebabkan oleh tidak

terjadinya hubungan sinergis antara hulu dan hilir jika dilihat dari perspektif 5

(lima) dimensi pembanguan rumput laut berkelanjutan. Proses pengolahan dalam

bentuk pabrik karaginanan yang diyakini secara mendalam bisa meningkatkan

nilai tambah produk yang pada gilirannya bisa meningkatkan pendapatan pelaku

usaha rumput laut sejak hulu hingga hilir ini, hampir belum bisa terealisasi di

Provinsi Sulawesi Tengah. Industri pengolahan pabrik karaginanan tidak

mendapatkan pasokan bahan baku yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu

dan tepat harga. Pembudidaya rumput laut juga tidak mendapatkan kepastian

harga dan harga yang sesuai dengan resiko yang mereka tanggung. Di antara ke

dua kutub agribisnis tersebut pengaruh mata rantai tataniaga yang terdiri dari

pengumpul dari berbagai level menjadi sangat penting dan menentukan.

Identifikasi isu dan permasalahan merupakan proses yang akan

menggambarkan status keberlanjutan pembangunan rumput laut, sebagai dasar

referensi dalam merumuskan strategi dan formulasi kebijakan pembangunan

rumput laut berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Tengah. Berikut ini akan disajikan

hasil identikasi dan analisis MDS beberapa permasalahan utama yang

menyebabkan kurang atau tidak berkelanjutan pembangunan rumput laut di

Provinsi Sulawesi Tengah secara sinergi dari hulu hingga hilir dipengaruhi oleh

beberapa dimensi yang secara sinergi saling berinteraksi. Oleh karena itu proses

Page 3: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

identifiksi isu dan permasalahan pembanguanan rumput laut berkelanjutan

menggunakan pendekatan 5 (lima) dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial

budaya, teknologi-infrastruktur dan hukum-kelembagaan. Pembangunan

rumput laut mengintegrasikan dari hulu sampai hilir dibagi ke dalam 3 (tiga) zona

yaitu: zona satu yaitu zona budidaya, zona pasca panen melibatkan

punggawa atau middleman dan zona tiga yaitu zona pengolahan atau

industri rumput laut. Berikut ini akan disajikan uraian isu dan permasalahan

pada masing-masing zona dan kelima dimensi keberlanjutan pembangunan

rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

4.1. Isu dan Permasalahan Zona I (Zona Budidaya Rumput Laut)

Zona 1 (satu) merupakan zona budidaya merupakan proses budidaya

rumput laut mulai dari perairan sebagai media budidaya, pembibitan,

penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Berikut ini akan disajikan beberapa

permasalahan utama pada zona budidaya hasil indentifikasi isu dan

permasalahan dan di justifikasi berdasarkan hasil analisis MDS untuk masing-

masing dimensi keberlanjutan pembangunan rumput laut di Provinsi Sulawesi

Tengah.

4.1.1. Dimensi Ekologi:

Pada dimensi ekologi terdapat beberapa isu dan permasalahan utama hasil

analisis MDS sebagai atribut yang memiliki leverage faktor paling sensitif dalam

menentukan keberlajutan pembangunan rumput laut pada zona budidaya.

Beberapa isu dan permasalahan utama pada dimensi ekologi (biologi, teknis dan

lingkungan) tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pemanfaatan Potensi Perairan

Pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah dari

atribut pemanfaatan potensi perairan dihadapkan realita kondisi saat ini

yaitu “Rendahnya Tingkat Pemanfaatan” potensi perairan yang sesuai

daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut. Di satu sisi wilayah

perairan Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi perairan yang sangat

sesuai dan sesuai untuk budidaya rumput laut yang sangat besar. Hasil

analisis kesesuaian dan daya dukung perairan, diperoleh bahwa total luas

perairan yang sesuai berdasarkan daya dukung perairan untuk budidaya

rumput laut adalah sebesar 540.012 hektar yang tersebar di 9 (sembilan)

Page 4: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

wilayah kabupaten dan 1 (satu) kota. Di sisi lain total luas perairan yang

telah dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut hingga tahun 2010 baru

seluas 23.334 ha atau 4 % dari luas daya dukung perairan yang sesuai

untuk budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah. Artinya dari aspek

potensi perairan, Provinsi Sulawesi Tengah masih memiliki potensi

perairan seluas 516.678 ha yang sangat potensial dikembangkan untuk

peningkatkan produksi. Rendahnya tingkat pemanfaatan potensi perairan

yang sesuai dengan daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut

menggambarkan bahwa perkembangan usaha budidaya rumput laut di

derah ini sangat lambat sehingga pada gilirannya akan menyebabkan

pengembangan usaha budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah

kurang atau tidak berkelanjutan..

b. Jaminan Kualitas, Kuantitas dan kontinyuitas Bibit

Pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah pada

atribut bibit rumput laut dihadapkan kondisi saat ini yaitu “Tidak Ada

Jaminan Kualitas, Kuantitas dan Kontinyuitas Bibit”, dalam

mendukung keberlanjutan pengembangan usaha budidaya rumput laut.

Daerah ini dihadapkan pada kondisi tidak adanya jaminan pemenuhan

kebutuhan bibit yang tepat mutu tepat jumlah, tepat waktu dan tepat harga

sehingga pada gilirannya akan menyebabkan kurang atau tidak

berkelanjutan usaha budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

Bibit yang diperoleh dari hasil budidaya yaitu pengembangan secara

vegetative yaitu dengan menyisihkan thallus hasil budidaya milik sendiri

yang secara genitik belum dapat ditelusuri asal usulnya sehingga

cenderung memiliki kualitas rendah.

Jaminan Kualitas Bibit. Bibit yang digunakan oleh pembudidaya rumput

laut saat ini diperoleh dari hasil budidaya pengembangan secara vegetative

yaitu dengan menyisihkan thallus hasil budidaya milik sendiri yang secara

genitik belum dapat ditelusuri asal usulnya sehingga cenderung memiliki

mutu dan kualitas yang rendah. Rendahnya mutu dan kualitas bibit yang

digunakan oleh pembudidaya mengakibatkan produktivitas rendah dan

bahkan mengalami gagal panen akibat serangan penyakit.

Jaminan Kuantitas dan Kontinyuitas Bibit. Selain tidak adanya jaminan

mutu dan kualitas bibit, pengembangan budidaya rumput laut juga

Page 5: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

dihadapkan pada permasalahan jeminan pemenuhan kebutuhan bibit

secara kuantitas dan kontinyuitas. Para petani pembudidaya rumput laut

mengalami kesulitan memperoleh bibit dalam jumlah sesuai kebutuhan dan

selalu tersedia pada saat musim tanam. Pada musim tertentu dimana

kualitas rumput laut hasil budidaya turun, karena terserang hama, penyakit

atau terkena bencana alam, para pembudidaya mengalamin kesulitan

dalam memperoleh bibit dalam jumlah besar untuk mengikuti musim tanam

yang sesuai di daerahnya, sehingga pembudidaya harus mengeluarkan

biaya yang cukup besar untuk membeli bibit dari daerah lain seperti

Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang mutu dan kualitasnya masih

dipertanyakan. Tidak adanya jaminan ketersediaan bibit dalam jumlah

besar dan tepat waktu dan tepat harga untuk memenuhi kebutuhan bibit

sesuai kebutuhan pengembangan usaha budidaya rumput laut pada

gilirannya akan menyebabkan pengembangan usaha budidaya rumput laut

di Provinsi Sulawesi Tengah kurang atau tidak berkelanjutan.

Studi referensi dan estimasi yang disesuaikan dengan keragaan usaha

budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi, diperkirakan kebutuhan bibit per

hektar sebesar 6,92 ton. Mengacu pada kebutuhan bibit tersebut, dapat

ditentukan kebutuhan bibit rumput laut unggul berkualitas untuk memenuhi

kebutuhan bibit pada lokasi yang telah dimanfaatkan saat ini yaitu seluas

23.334 ha diperkirakan sebasar untuk 161.471 ton bibit. Untuk dapat

memenuhi kebutuhan bibit tersebut maka dibutuhkan kebun bibit seluas

2,915 ha. Jika diasumsikan seluruh potensi perairan yang ada akan

dimanfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut, maka

total kebutuhan bibit rumput laut adalah sebesar 3,68 juta ton dan luas

kebun bibit yang dibutuhkan seluas 66,4 ribu hektar.

Pembudidaya rumput laut memiliki perencanaan dalam pemanenan rumput

laut dan pembibitan kembali dengan rumus umum yang dipegang oleh

petani yaitu hasil panen dapat digunakan untuk pengeringan 2/3 bagian

dan pembibitan kembali 1/3 bagian.

Page 6: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

Gambar 3.1. Sistem Perencanaan Pemanenan dan Pembibitan Rumput Laut di Provinsi Sulawesi Tengah

c. Ketepatan Umur Panen

Kandungan dan kualitas karaginan rumput laut yang dihasilkan dari

kegiatan budidaya sangat ditentukan oleh ketepatan umur panen (Iksan,

2005). Pemanenan lebih awal (kurang dari 45 hari) dan pemanenan

tertunda (lebih dari 45 hari) akan menurunkan kandungan dan kualitas

karagenan rumput laut. Berdasarkan hasil observasi lapangan

menunjukkan bahwa usaha budidaya rumput laut di provinsi Sulawesi

Tengah dihadapkan pada permasalahan rendah kandungan dan kualitas

karagenan yang dihasilkan disebabkan karena “Tidak Tepat Umur

Panen”. Ketidak tepatan umur panen dipicu oleh fluktuasi harga rumput

laut yang sangat tinggi, sehingga waktu panen petani pembudidaya lebih

ditentukan oleh kondisi harga rumput laut. Pada kondisi harga rumput laut

tinggi, petani pembudidaya akan memanen rumput laut walaupun masih

bermur kurang dari 45 hari, begitupun sebaliknya jika pada saat umur

panen rumput laut namun harga rendah petani pembudidaya akan

menunda pemanenan hingga umur budidaya lebih dari 45 hari.

d. Ancaman Terhadap Perairan (up-land dan adari perairan)

Pada dimensi ekologi atribut “Ancaman terhadap Perairan”, baik yang

bersumber dari pencemaran up-land dan ancaman yang bersumber dari

dalam periaran seperti penangkapan ikan dengan menggunakan alat

tangkap destruktif merupakan salah satu atribut yang memiliki nilai

leverage sensitif dalam mempengaruhi nilai indeks dan status

keberlanjutan pada zona 1 (zona budidaya rumput laut) untuk dimensi

Hasil Panen (Jumlah Ris di Laut)

Hasil Panen (Jumlah Ris di Laut)

1/3 = Bibit(Jumlah Ris Tetap)

1/3 = Bibit(Jumlah Ris Tetap)

Bibit Ditanam Kembali

2/3 = Dijual(Basah atau Kering)

2/3 = Dijual(Basah atau Kering)

Page 7: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

ekologi. Berdasarkan hasil kajian literatur dan temuan survei dilapangan

diperoleh bahwa hampir di semua wilayah kabupaten/kota terdapat

ancaman pencemaran yang bersumber dari aktivitas di daerah up-land

seperti pertambangan, industri, pariwisata, perkebunan. Begitu juga

ancaman yang berdumber dari aktivitas di dalam periaran seperti

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, potasium

cyanida, tombak dan lain-lain. Ancaman terhadap perairan yang

bersumber dari pencemaran up-land dan dari aktivitas penangkapan ikan

secara destruktif pada masing-masing kabupaten/kota memiliki tingkat

ancaman yang berbeda-beda, seperti di Kabupaten Morowali memiliki

tingkat ancaman yang bersumber dari pencemaran up-land cukup tinggi

akibat aktivitas pertambangan. Tingginya ancaman terhadap perairan akan

menyebabkan terganggunya ekosistem perairan akibat dari pencemaran

dan penangkapan ikan secara destruktif, sehingga pada gilirannya akan

menyebabkan kurang atau tidak berkelanjutan pengembangan budidaya

rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

4.1.2. Dimensi Teknologi dan Infrastruktur:

Pada dimensi teknologi dan infrastruktur terdapat beberapa isu dan

permasalahan utama hasil analisis MDS sebagai atribut yang memiliki leverage

faktor paling sensitif dalam menentukan keberlajutan pembangunan rumput laut

pada zona budidaya. Beberapa isu dan permasalahan utama pada dimensi

teknologi dan infrastruktur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penguasaan dan Alih Teknologi

Pada dimensi Teknologi atribut “Penguasaan dan Alih Teknologi”,

merupakan salah satu atribut yang memiliki nilai leverage sensitif dalam

mempengaruhi nilai indeks dan status keberlanjutan pada zona 1 (zona

budidaya rumput laut) untuk dimensi teknologi. Berdasarkan hasil

wawancara dan observasi lapangan menunjuukan bahwa hampir di semua

wilayah kabupaten/kota yang terdapat sentra budidya rumput laut

dihadapkan pada permasalahan rendahnya penguasaan teknologi mulai

dari pembibitan, pembudidayaan, pemanenan dan pengeringan rumput

laut. Kondisi ini semakin diperburuk oleh lambatnya proses alih teknologi

mulai dari pembibitan, pembudidayaan, pemanenan dan pengeringan

rumput laut. Paket teknologi yang tersedia saat belum tersosialisasikan

Page 8: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

hingga ke tingkat petani pembudidaya karena berbentuk aturan SNI yang

sulit dipahami oleh petani pembudidaya seperti SNI 7672:2011 tentang

Bibit Rumput Laut Euchema Cottoni, SNI 7673.2:2011 tentang Produksi

Bibit Rumput Laut Euchema Cottoni Sistem Long-line, SNI 7579.2:2010

tentang Produksi Rumput Laut Euchema Cottoni Sistem Long-line, SNI: 01-

2690-1998 tentang Pemanenan dan Pengeringan Rumput Laut.

Rendahnya penguasaan teknologi pembibitan, pembudidayaan,

pemanenan dan pengeringan rumput laut akan menyebabkan rendahnya

hasil panen, rendahnya kualitas rumput laut, dan rendahhnya pendapatan

petani pembudidaya sehingga pada gilirannya akan menyebabkan kurang

atau tidak berkelanjutan pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi

Sulawesi Tengah.

b. Fasiltas Pemanenan dan Sarana Pengangkutan Hasil Panen

Pada dimensi Teknologi dan Infrastruktur atribut “Fasiltas Pemanenan

dan Sarana Penganagkutan Hasil Panen”, merupakan salah satu atribut

yang memiliki nilai leverage sensitif dalam mempengaruhi nilai indeks dan

status keberlanjutan pada zona 1 (zona budidaya rumput laut) untuk

dimensi teknologi dan infrastruktur. Berdasarkan hasil wawancara dan

observasi lapangan menunjuukan bahwa kondisi eksisting di semua

wilayah kabupaten/kota yang terdapat sentra budidya rumput laut

minimnya fasiltas pemanenan rumput laut yang sesuai standar SNI dan

minimnya sarana pengengkutan hasil panen termasuk tidak terdapatnya

fasiltas tambat perahu untuk mendaratkan hasil panen rumput laut.

minimnya fasilitas pemanenan rumput laut, sara pengangkutan dan

penambatan perahu pengangkut hasil panen, akan mengakibatkan

rendahnya kualitas hasil pemanenen rumput laut. Rendahnya kualitas

rumput laut akibat penanganan yang salah setelah pemanenan akan

menyebabkan harga rumput laut menjadi rendah sehingga pendapatan

petani pembudidaya juga akan rendah. Rendahhnya pendapatan petani

pembudidaya sehingga pada gilirannya akan menyebabkan kurang atau

tidak berkelanjutan pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi

Sulawesi Tengah.

Page 9: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

c. Fasilitas Pengeringan

Pada dimensi Teknologi dan Infrastruktur atribut “Fasiltas Pegeringan”,

merupakan salah satu atribut yang memiliki nilai leverage sensitif dalam

mempengaruhi nilai indeks dan status keberlanjutan pada zona 1 (zona

budidaya rumput laut) untuk dimensi teknologi dan infrastruktur.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan menunjuukan

bahwa kondisi eksisting di semua wilayah kabupaten/kota yang terdapat

sentra budidya rumput laut minimnya sarana dan prasarana pengeringan

rumput laut yang sesuai standar SNI dan persyaratan mutu produk.

Minimnya sarana dan prasarana pengeringan seperti tempat penjemuran

yang sesuai standar, sarana pengengkutan dari tempat tambat perahu

menuju tempat penjemuran. Kondisi minimnya fasilitas pengeringan yang

dimiliki akan mengakibatkan rendahnya mutu dan kualitas bahan baku

rumput laut yang dihasilkan. Rendahnya mutu dan kualitas bahan baku

rumput laut yang dihasilkan akan menyebabkan harga rumput laut menjadi

rendah sehingga pendapatan petani pembudidaya juga akan rendah.

Rendahhnya pendapatan petani pembudidaya sehingga pada gilirannya

akan menyebabkan kurang atau tidak berkelanjutan pengembangan

budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

4.1.3. Dimensi Ekonomi

Hasil analisis Rap-RL terhadap atribut-atribut dari dimensi ekonomi

memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 67.95% dengan status cukup

berkelanjutan. Posisi titik nilai indeks keberlanjutan ekonomi berada pada

kwadran positif, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama

ini cenderung ke arah yang baik. atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap

nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak positif tetap

dipertahankan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan nilai indeks

keberlanjutan. Atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda

terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Analisis Leverage dilakukan untuk

memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap

nilai indeks keberlanjutan ekonomi. Adapun hasil dari analisis Leverage yang

dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling sensitif mempengaruhi dimensi

ekonomi, yaitu (1) Akses Pasar Domestik; (2) Perkembangan pasar global; dan

(3) Skim permodalan.

Page 10: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

a. Akses Pasar Domestik

“Rendahnya Akses Pembudidaya ke Pasar Domestik” merupakan isu

permasalahan yang cukup besar pengaruhnya dalam dimensi ekonomi dari

pengembangan kegiatan budidaya rumput laut yang berkelanjutan. Jika

dilihat pada aspek pasar, komoditas ini tidak perlu dipasarkan jauh-jauh

karena pembeli siap mendatangi nelayan rumput laut yang sudah panen

setiap waktu. Masalahnya adalah cara pembeli atau pedagang pengumpul

mengendalikan harga komoditi. Nelayan rumput laut yang meminjam uang

pada pedagang pengumpul harus menjual rumput lautnya pada pedagang

tersebut. Nelayan rumput laut tidak memiliki posisi tawar sebab selain

mereka telah berhutang mereka juga tidak mempunyai akses terhadap

informasi harga komoditas.

Belum tersedianya akses pasar domestik bagi petani budidaya rumput laut

diperparah lagi dengan panjangnya rantai tataniaga yang ada serta harga

rumput laut yang fluktuatif. Rantai pemasaran rumput laut masih tergolong

panjang sehingga keuntungan yang ada harus dibagi ke lebih banyak

pihak. Untuk sampai ke pabrik pengolahan, rumput laut mengalami

beberapa kali pindah tangan baru kemudian sampai di tangan eksportir

atau pabrik pengolahan. Sebagai akibatnya, nelayanlah menjadi pihak

yang paling sedikit menikmati pembagian keuntungan tersebut. Dengan

kondisi ini, para petani secara tidak langsung menjadi pihak yang sangat

dirugikan karena berada pada posisi tawar yang paling lemah. Akibatnya,

dorongan untuk pengembangan kegiatan budidaya di lingkungan petani

sendiri sulit untuk ditingkatkan.

Berdasarkan hasil analisis usaha kegiatan budidaya rumput laut memang

menunjukkan bahwa kegiatan ini sangat menguntungkan dengan melihat

besarnya nilai pendapatan dan masa pengembalian modal investasi (BEP)

yang cukup cepat. Namun demikian, dengan adanya masalah pada

dimensi ekonomi terkait ketersediaan akses pasar bagi para petani dan

panjangnya rantai tataniaga mengakibatkan penghasilan petani

pembudidaya cendrung fluktuatif atau bahkan merugi. Terlebih lagi hal ini

menyebabkan masa pengembalian modal investasi (BEP) juga akan

semakin lama.

b. Perkembangan Pasar Global

Page 11: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

Propinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu penghasil rumput laut

terbesar di Indosesia dengan jumlah produksi rumput laut mencapai

807.731,24 ton/tahun. Sebagai salah satu komoditas budidaya perairan

yang diekspor, harga jual rumput laut juga dipengaruhi oleh perkembangan

pasar global. Adanya perubahan terkait biaya fiscal dan sejenisnya yang

menyebabkan kenaikan biaya pengiriman komoditas rumput laut ke luar

negeri turut mempengaruhi fluktuasi harga komoditi di tingkat

pembudidaya. Perubahan biaya akibat perkembangan pasar global

seringkali dibebankan kepada petani melalui penurunan harga

komoditi di tingkat petani, atau dengan kata lain bahwa petani

pembudidaya sebagai pihak yang secara tidak langsung dirugikan. Hal ini

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa posisi petani

pembudidaya memiliki nilai tawar yang paling lemah.

c. Skim permodalan

Atribut lain yang paling sensitive dalam mempengaruhi dimensi ekonomi

adalah terkait permodalan. Berdasarkan hasil analisis usaha terhadap

kegiatan budidaya rumput laut diketahui bahwa untuk memulai kegiatan

budidaya rumput laut dibutuhkan biaya modal invetasi dan biaya bibit yang

cukup besar. Total kebutuhan modal investasi dan biaya bibit untuk usaha

budidaya rumput mencapai 71,07% dari total kebutuhan biaya keseluruhan

ketika memulai usaha (investasi dan operasional), dimana 43,68%

merupakan kebutuhan biaya investasi dan 28,39% merupakan kebutuhan

biaya untuk pengadaan bibit.

Besarnya modal yang dibutuhkan petani pembudidaya rumput laut untuk

memulai kegiatan usahanya tidak didukung dengan ketersediaan lembaga

yang dapat membantu dan menjamin permodalan petani pembudidaya

atau dengan kata lain “Remdahnya Akses Pembudidya terhadap Skim

Permodalan”.

Selain rendahnya akses permodalan bagi para petani pembudidaya,

persyaratan agunan dan pengembalian kredit per-bulan bila meminjam ke

bank menjadi kendala utama bagi pembudidaya karena tidak pastinya hasil

panen. Belum lagi tingkat suku bunga bank yang menurut pembudidaya

cukup tinggi. Adanya permasalahan terkait akses permodalan inilah yang

mendorong para petani untuk cenderung memilih meminjam modal kepada

tengkulak sebagai modal usahanya. Permasalahan yang sering dihadapi

Page 12: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

oleh para pembudidaya terkait permodalan dimanfaatkan oleh para

tengkulak (middle man) untuk memberikan bantuan modal dengan

ketentuan hasil panen pembudidaya harus dijual kepada pihak tengkulak

sehingga memberikan keleluasaan kepada tengkulak untuk mengendalikan

harga komoditi.

4.1.4. Dimensi Sosial-Budaya:

Dimensi sosial budaya yang telah dianalisis dengan Rap-RL memberikan

nilai indeks keberlanjutan sebesar 56.47% dengan status cukup berkelanjutan.

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan

dimensi sosial-budaya, adalah: (1) pengaruh punggawa dalam menentukan

kualitas komoditi; (2) tingkat pendidikan pelaku/petani; (3) pengaruh

pemimpin/pemuka masyarakat; (4) pengaruh adat istiadat; (5) pengaruh hukum

adat. Artribut yang berpengaruh positif terhadap nilai indeks keberlanjutan harus

dipertahankan atau bahkan lebih ditingkatkan. Sedangkan atribut-atribut yang

bernilai negatif memerlukan upaya pengelolaan yang lebih baik agar status

keberlanjutan dimensial sosial dapat terus ditingkatkan.

Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif

terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya, yakni: (1) pengaruh

punggawa dalam menentukan kualitas komoditi; (2) tingkat pendidikan

pelaku/petani; (3) pengaruh pemimpin/pemuka masyarakat. Atribut-atribut

tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi

sosial-budaya meningkat pada masa yang akan datang.

a. Pengaruh punggawa didalam menentukan kualitas

Upaya pengembangan kegiatan budidaya juga dipengaruhi oleh

keberadaan punggawa dalam kehidupan sosial-budaya di lingkungan

masyarakat petani rumput laut. Tingginya tingkat ketergantungan petani

rumput laut terhadap punggawa dalam penentuan kualitas panen

yang dihasilkan mengakibatkan para petani seringkali dirugikan

ketika dilakukan penetapkan harga produk. Hal ini menyebabkan pihak

punggawa secara leluasa melakukan permainan dalam penentuan kualitas

hasil panen petani rumput laut. Dengan demikian sebesar apapun upaya

yang dilakukan untuk mengembangkan kegiatan usaha budidaya rumput

laut akan tetap sia-sia bila tidak didukug dengan pemutusan tingkat

ketergantungan petani kepada punggawa dalam penentuan kualitas rumput

laut hasil panen.

Page 13: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

b. Tingkat Pendidikan Pelaku Budidaya

Tingkat pendidikan pelaku/petani dalam melakukan kegiatan usaha

budidaya dapat berpengaruh positif dan negative terhadap pengembangan

komoditi rumput laut dan pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh wilayah.

Pengaruh positif yang dimaksud adalah adanya korelasi positif antara

tingkat pendidikan pelaku/petani dengan laju pengembangan usaha dan

pemanfaatan potensi wilayah. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani

maka kemampuan penyerapan dan pemanfaatan teknologi untuk

pengembangan usahanya akan semakin mudah dilakukan. Sedangkan

pengaruh negative yang dimaksud adalah munculnya fenomena bahwa

ketika tingkat pendidikan pelaku/petani meningkat, maka motivasi yang

muncul bukan lagi pada peningkatan kesejahteraan melainkan upaya untuk

eksploitasi alam secara maksimal.

Kondisi yang ada di Propinsi Sulawesi Tengah saat ini adalah bahwa rata-

rata tingkat pendidikan pelaku/petani masih rendah. Rendahnya tingkat

pendidikan petani ini menyebabkan kemampuan dan pemahaman petani

dalam memanfaatkan dan menerapkan teknologi budidaya sangat rendah.

Dengan demikian, upaya pengembangan rumput laut untuk peningkatan

kesejahteraan petani dan pemanfaatan potensi wilayah sulit dilakukan.

Kondisi ini diperparah lagi dengan rendahnya kemauan petani dalam

meningkatkan kemampuannya untuk mengembangkan teknologi budidaya

yang telah dilakukan. Dengan kata lain, petani hanya menggunakan

teknologi budidaya yang telah lama digunakan, tanpa adanya usaha untuk

pengembangan teknologi baru untuk peningkatan kesejahteraan dan

pendapatan petani.

Atribut tingkat pendidikan pelaku/petani sangat berpengaruh pada tingkat

keberlajutan pada dimensi sosial-budaya karena tidak hanya berdampak

pada rendahnya tingkat penerapan teknologi budidaya, tetapi juga

berpengaruh pada: (1) kemampuan untuk mendapatkan akses pasar

seluas-luasnya; (2) kemampuan untuk memperoleh keterbukaan informasi

fluktuasi harga; (3) kemampuan untuk memperoleh kemudahan akses

permodalan; (4) kemampuan untuk pencegahan spekulan yang masuk dan

perpanjangan rantai tataniaga; (5) leluasanya middle man dalam

memanipulasi harga dan mengendalikan rantai tataniaga; serta (6) sulitnya

Page 14: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

dilakukan upaya penguatan sistem kelembagaan di tingkat petani karena

rendahnya tingkat pendidikan.

c. Pengaruh pemimpin/pemuka masyarakat.

Pemimpin/pemuka masyarakat ini biasanya merupakan figur panutan bagi

masyarakat di wilayahnya, sehingga setiap langkah/tindakannya secara

tidak langsung berpengaruh pada kehidupan sosial di masyarakat. Adanya

pemimpin/pemuka masyarakat ini juga berpengaruh pada kegiatan usaha

budidaya rumput laut di Propinsi Sulawesi Tengah. Besarnya pengaruh

pemimpin/pemuka masyarakat dalam kehidupan sosial

kemasyarakatan turut mempengaruhi tingkat perkembangan kegiatan

usaha budidaya yang dilakukan petani. Pengaruh yang diberikan

dengan keberadaan pemimpin/ pemuka masyarakat dapat berdampak

positive dan juga negative terhadap kegiatan usaha budidaya.

Dampak negative akan muncul bila pemimpin/pemuka masyarakat turut

mengatur alur rantai tata niaga dan memperoleh keuntungan dari kegiatan

tersebut. Bahkan seringkali pihak middle man memanfaatkan keberadaan

pemimpin/pemuka masyrakat dalam mempermainkan harga dan rantai

tataniaga. Sedangkan dampak positive dengan adanya pemimpin/pemuka

masyarakat akan muncul bila: (1) pemimpin/pemuka masyarakat tidak

mengatur rantai tataniaga dan memperoleh keuntungan pribadi dari

keberadaan komoditi rumput laut; (2) pemimpin/pemuka masyarakat lebih

memprioritaskan upaya pengembangan kegiatan budidaya.

Untuk memanfaatkan keberadaan pemimpin/pemuka masyarakat dalam

upaya pengembangan kegiatan budidaya rumput laut secara berkelanjutan,

maka diperlukan soerang figure pemimpin/pemuka masyarakat yang

benar-benar mendukung pengembangan usaha budidaya rumput laut.

4.1.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan:

Pada dimensi hukum dan kelembagaan terdapat beberapa isu dan

permasalahan utama hasil analisis MDS sebagai atribut yang memiliki leverage

faktor paling sensitif dalam menentukan keberlajutan pembangunan rumput laut

untuk zona 1 (zona budidaya rumput laut). Beberapa isu dan permasalahan

utama pada dimensi hukum dan kelembagaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kelembagaan Pembudidaya

Page 15: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan atribut “Kelembagaan

Pembudidaya”, merupakan atribut yang memiliki nilai leverage paling

sensitif yang menyebabkan rendahnya nilai indeks dan status

keberlanjutan pada zona 1 (zona budidaya rumput laut) untuk dimensi

hukum dan kelembagaan. Berdasarkan hasil studi literatur, wawancara dan

observasi lapangan menunjuukan bahwa kondisi eksisting di semua

wilayah kabupaten/kota yang terdapat sentra budidya rumput laut para

petani pembudidaya rumput laut dihadapkan pada permasalahan

“Rendahnya Posisi Tawar” petani pembudidaya, disebabkan karena

pembudidaya rumput laut cenderung bersifat perorangan dan kalupun ada

kelompok juga belum terorganisir dengan baik. Pada kondisi seperti ini,

seringkali merendahkan posisi tawar pembudidaya ketika berhubungan

dengan kelompok middleman dan memberikan peluang tumbuh suburnya

pada spelulan-spekulan baru. Belum optimalanya kelembagaan

pembudidaya, sehingga melemahkan posisi tawar pembudidaya akan

menyebabkan kerugian pada pihak pembudidaya dalam banyak hal,

sehingga pada gilirannya akan menyebabkan kurang atau tidak

berkelanjutan pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi

Tengah.

b. Kelembagaan Penjamin Kebutuhan Pembudidaya

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan atribut “Lembaga Penjamin

Kebutuhan Sarana dan Prasasarana”, merupakan salah satu atribut

yang memiliki nilai leverage paling sensitif dalam mempengaruhi nilai

rendahnya indeks dan status keberlanjutan pada zona 1 (zona budidaya

rumput laut) untuk dimensi hukum dan kelembagaan. Berdasarkan hasil

studi literatur, wawancara dan observasi lapangan menunjuukan bahwa

kondisi eksisting di semua wilayah kabupaten/kota yang terdapat sentra

budidya rumput laut para petani pembudidaya rumput laut dihadapkan

pada permasalahan “Belum ada Lembaga Penjamin Kebutuhan Sarana

dan Prasasarana” bagi petani pembudidaya untuk kegiatan usaha

budidaya rumput laut.

Para petani pembudidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah

mempunyai akses yang sangat rendah terhadap lembaga keuangan untuk

memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana budidaya, karena sebagai

Page 16: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

besar pembudidaya lebih memilih meminjam kepada rentenir untuk

memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana budidaya walaupun dengan

bunga yang sangat tinggi. Belum ada lembaga penjamin Kebutuhan

Sarana dan Prasasarana bagi pembudiaya rumput laut akan menyebabkan

sulitnya berkembangnya usaha budidaya rumput laut, sehingga pada

gilirannya akan menyebabkan kurang atau tidak berkelanjutan

pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

c. Kelembagaan Penjamin Pasar

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan atribut “Lembaga Penjamin

Pasar”, merupakan salah satu atribut yang memiliki nilai leverage paling

sensitif dalam mempengaruhi rendahnya nilai indeks dan status

keberlanjutan pada zona 1 (zona budidaya rumput laut) untuk dimensi

hukum dan kelembagaan. Berdasarkan hasil studi literatur, wawancara dan

observasi lapangan menunjuukan bahwa kondisi eksisting di semua

wilayah kabupaten/kota yang terdapat sentra budidya rumput laut para

petani pembudidaya rumput laut dihadapkan pada permasalahan “Belum

Lembaga Penjamin pasar” bagi petani pembudidaya untuk mendalat

kepastian bahwa komoditi rumput laut yang dibudidayakan akan jaminan

pembeli dan dengan harga yang sesuai. Tidak adanya lembaga penjamin

pasar untuk komoditi hasil budidaya rumput laut menyebabkan lambatnya

perkembangan usaha budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

Tidak adanya kepastian pasar (pembeli) dan jaminan harga yang akan

menguntukan petani pembudidaya sehingga pada gilirannya akan

menyebabkan kurang atau tidak berkelanjutan pengembangan budidaya

rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

Page 17: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

4.2. Isu dan Permasalahan Zona 2 (Dua)

Zona 2 (dua) merupakan zona midlle man yang didefinisikan sebagai

tahapan proses perjalanan komoditi rumput laut setelah dari pembudidaya

sampai berakhir pada industri pengolahan. Berikut ini akan disajikan beberapa

permasalahan utama pada zona 2 (dua) hasil identifikasi isu dan permasalahan

serta di tentukan berdasarkan hasil analisis MDS untuk masing-masing dimensi

keberlanjutan pembangunan rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

4.2.1. Dimensi Bahan Baku

Hasil analisis Rap-RL terhadap atribut-atribut dari dimensi bahan baku

memberikan nilai indeks keberlanjutan. Posisi titik nilai indeks keberlanjutan

dimensi bahan baku berada pada kwadran positif, hal ini menunjukkan bahwa

pengelolaan yang dilakukan selama ini cenderung ke arah yang baik. Atribut-

atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan

atribut-atribut yang berdampak positif tetap dipertahankan untuk

mempertahankan bahkan meningkatkan nilai indeks keberlanjutan.

Atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda

terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Analisis Leverage dilakukan untuk

memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap

nilai indeks keberlanjutan bahan baku. Adapun hasil dari analisis Leverage yang

dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling sensitif mempengaruhi dimensi bahan

baku, yaitu (1) Ketergantungan punggawa terhadap petani; (2) Pengendalian

kualitas; dan (3) Keberadaan bantuan modal.

a. Ketergantungan Punggawa Terhadap Petani

Bila pada dimensi 1 (satu) ketergantungan petani terhadap petani terhadap

punggawa memberikan dampak negatif terhadap tingkat keberlanjutan

pengembangan rumput laut, maka pada dimensi 2 (dua) ketergantungan

punggawa terhadap petani justru memberikan dampak yang positif

terhadap tingkat keberlanjutan. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat

ketergantungan punggawa terhadap petani rumput laut, maka tingkat

keberlanjutan juga akan semakin tinggi. Kondisi pengembangan rumput

laut di Sulawesi Tengah hingga saat ini dihadapkan pada masalah

rendahnya tingkat ketergantungan punggawa terhadap petani, bahkan

tingkat ketergantungan petani terhadap punggawa yang cenderung lebih

tinggi.

Page 18: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

Rendahnya tingkat ketergantungan punggawa terhadap petani

mengakibatkan para punggawa semakin berkuasa dalam mengatur segala

sesuatu yang berkaitan dengan komoditi rumput laut di zona 2 (dua) untuk

memperoleh keuntungan yang besar. Dengan adanya kondisi ini, tentunya

upaya pengembangan budidaya rumput laut secara berkelanjutan akan

sulit dicapai karena akan terbentur pada tingginya tingkat otoritas para

punggawa terhadap pengembangan komiditi rumput laut khususnya pada

zona 2 (dua).

b. Pengendalian Kualitas Komoditi Rumput Laut

Permasalah dalam pengembangan budidaya rumput laut di Sulawesi

Tengah hingga saat ini tidak hanya terdapat pada fluktuasi harga, tetapi

juga pada fluktuasi kualitas komoditi rumput yang dihasilkan petani. Dalam

upaya pengembangan budidaya rumput laut di Sulawesi Tengah tentunya

harus didukung dengan upaya pengendalian kualitas dari komoditi yang

dihasilkan. Tingginya pengaruh dan keberadaan para punggawa sebagai

middle man pada zona 2 (dua) memberikan peran baru kepada para

punggawa yaitu sebagai pihak yang turut berperan dalam menentukan

kualitas rumput laut yang dihasilkan oleh petani karena hal ini akan

berpengaruh langsung pada tingkatan harga dari komoditi rumput laut

tersebut. Disamping itu, tidak dapat dipungkiri bahwa para punggawa

merupakan pihak yang paling pertama menetapkan kualitas rumput laut

hasil panen petani. Dengan kata lain, keberadaan para punggawa dalam

pengendalian kualitas rumput laut cukup besar pengaruhnya terhadap

tingkat keberlanjutan dari pengembangan budidaya rumput laut di Sulawesi

Tengah.

c. Keberadaan Bantuan Modal

Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani rumput laut terkait

permodalan menjadi keuntungan sendiri bagi para punggawa. Para

punggawa menggunakan modal sendiri untuk diberikan sebagai modal bagi

petani tentunya dengan harapan akan mendapatkan keuntungan lebih. Hal

inilah yang justru sering menyebabkan para punggawa cenderung akan

berperan sebagai rentenir yang sangat merugikan petani. Resiko dari

penggunaan modal sendiri oleh para punggawa harus dibayar dengan

pemberian tingkat suku bunga yang tinggi kepada para petani, atau bahkan

para punggawa menentukan aturan bahwa petani harus menjual hasil

Page 19: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

panen mereka kepada punggawa pemberi modal walaupun dengan harga

yang murah. Selain itu, keterbatasan modal di tingkat para punggawa juga

mengakibatkan para punggawa hanya akan memberikan bantuan modal

kepada para petani yang menyetujui segala aturan yang dikeluarkan oleh

para punggawa.

Interaksi antara petani rumput laut dengan para punggawa memang sulit

untuk dipisahkan. Pemanfaatan keberadaan para punggawa dalam upaya

pengembangan rumput laut secara berkelanjutan di Sulawesi Tengah agar

interaksi yang terjadi antara kedua belah pihak dapat saling

menguntungkan. Dengan mengatasi keterbatasan modal yang dimiliki oleh

para punggawa diharapkan spekulasi yang dilakukan oleh para punggawa

dalam penggunaan modal sendiri yang harus ditebus dengan pemberian

modal kepada petani dengan tingkat suku bunga yang tinggi juga dapat

teratasi.

4.2.2. Dimensi Sosial Budaya

Hasil analisis Rap-RL terhadap atribut-atribut dari dimensi Sosial Budaya

memberikan nilai indeks keberlanjutan. Atribut-atribut yang berdampak negatif

terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak

positif tetap dipertahankan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan nilai

indeks keberlanjutan. Atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang

berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan.

Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih

sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan bahan baku.

Adapun hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang

paling sensitif mempengaruhi dimensi sosial budaya, yaitu (1) Keterlibatan

pemuka masyarakat; (2) Kerja Sama Antar Kelompok/Individu dari para

punggawa; dan (3) Tingkat Pendidikan dari para punggawa.

a. Keterlibatan Pemuka Masyarakat

Keterlibatan pemuka masyarakat memberikan dampak yang negatif

terhadap tingkat keberlanjutan budidaya rumput laut pada dimensi sosial

budaya. Adanya pemuka masyarakat memberikan pengaruh yang sangat

besar dalam lingkungan sosial budaya masyarakat pesisir di Sulawesi

Tengah. Namun demikian, keberadaan pemuka masyarakat seringkali

dimanfaatkan oleh para punggawa atau middle man dalam melindungi

kekuasaan otoriter dari punggawa. Dengan adanya pengaruh besar dari

Page 20: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

pemuka masyarakat menjadikan para punggawa semakin leluasa dalam

melakukan monopoli komiditi rumput laut di wilayah tersebut. Kondisi ini

tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dari

pengembangan rumput laut di Sulawesi tengah.

b. Kerja Sama Antar Kelompok/Individu dari para punggawa

Kondisi yang ada saat ini di Sulawesi Tengah adalah banyaknya

keberadaa kelompok/individu dari para punggawa. Hal ini menyebabkan

tingginya persaingan antar kelompok/indidu punggawa. Munculnya

persaingan ini semakin memperbesar tingkat fluktuasi harga dan kualitas

komiditi khususnya di tingkat punggawa, karena tentunya dalam

persaingan tersebut para punggawa akan mensiasatinya dengan

melakukan permainan harga dan kualitas komoditi rumput laut. Hal

tersebut tentunya akan berpengaruh pada tingkat keberlanjutan dari

pengembangan budidaya rumput, karena bagaimanapun dalam upaya

pengembangan rumput laut secara berkelanjutan membutuhkan stabilitas

harga dan kualitas dari komoditi yang dihasilkan.

c. Tingkat Pendidikan dari para punggawa

Kondisi yang ada di Propinsi Sulawesi Tengah saat ini adalah bahwa rata-

rata tingkat pendidikan punggawa (middleman) tergolong masih relatif

masih rendah. Rendahnya tingkat pendidikan punggawa (middleman) ini

menyebabkan kurang pemahaman dan pengetahuan punggawa terhadap

pengaturan rotasi tanam untuk mempertahankan kestabilan harga dan

mutu rumput laut. Sebagai akibat dari kurangnya pemahaman punggawa

(middleman) terhadap sistem usaha rumput laut akan menyebabkan

rendahnya kualitas bahan baku rumput laut dan posisi tawar terhadap

pasar industri pengguna bahan baku menjadi rendah.

4.2.3. Dimensi Ekonomi

Hasil analisis Rap-RL terhadap atribut-atribut dari dimensi Ekonomi

memberikan nilai indeks keberlanjutan. Atribut-atribut yang berdampak negatif

terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak

positif tetap dipertahankan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan nilai

indeks keberlanjutan. Atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang

berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Analisis Leverage

dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan

Page 21: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan bahan baku. Adapun hasil dari

analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling sensitif

mempengaruhi dimensi ekonomi pada zona 2, yaitu (1) Rendahnya Akses

Terhadap Saluran Pemasaran; (2) Kontribusi Terhadap Kesejahteraan Patani

Rumput Laut; dan (3) Sistem Penjualan LN/(PO/Kontrak).

a. Rendahnya Akses Terhadap Saluran Pemasaran

Kondisi eksisting dimensi ekonomi menunjukkan bahwa para punggawa

(middleman) di Provinsi Sulawesi Tengah kurang memiliki jaringan

terhadap saluran pemasaran, sehingga kondisi rendahnya akses ke

saluran pemasaran akan berdampak pada semakin panjang rantai

pemasaran dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap rendahnya

harga beli rumput laut dari petani rumput laut.

b. Kontribusi Terhadap Kesejahtearaan Petani Rumput Laut

Kondisi eksisting dimensi ekonomi menunjukkan bahwa keberadaan para

punggawa (middleman) di Provinsi Sulawesi Tengah dalam memaikan

perannya sebagai pedagang perantara siringkali hanya berorientasi pada

tingkat keuntungan yang diperoleh, dan tidak mempertimbangkan

pendapatan yang diperoleh petani rumput laut. Rendahnya kontribusi

terhadap petani rumput laut dari sistem pemasaran rumput laut akan

menyebabkan petani kurang loyal terhadap punggawa (middleman)

sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan.

c. Sistem Penjualan LN (PO/Kontrak)

Kondisi eksisting dimensi ekonomi menunjukkan bahwa sistem penjualan

PO dengan sistem pembayaran 2 mingguan atau bulanan sedangkan

sistem pembelian rumput laut dari petani rumput laut dengan sistem

pembayaran cash. Kondisi ini akan menyebabkan perputaran modal dari

punggawa (middleman) menjadi lambat, sehingga dengan kondisi modal

punggawa (middleman) yang rendah akan mempengaruhi keberlanjutan

pembangunan rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

4.2.4. Dimensi Teknologi dan Infrastruktur

Hasil analisis Rap-RL terhadap atribut-atribut dari dimensi Teknologi dan

Infrastruktur memberikan nilai indeks keberlanjutan. Atribut-atribut yang

berdampak negatif terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut

yang berdampak positif tetap dipertahankan untuk mempertahankan bahkan

meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Atribut-atribut tersebut memberikan

Page 22: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan.

Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif

memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan bahan baku. Adapun

hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling

sensitif mempengaruhi dimensi teknologi dan infrastruktur pada zona 2, yaitu (1)

Dukungan Sarana Penjemuran; (2) Dukungan Sarana Pergudangan; dan (3)

Penggunaan Teknologi Dalam Kemasan.

a. Dukungan Sarana Penjemuran

Pada dimensi Teknologi dan Infrastruktur hasil analisis MDS diperoleh

atribut “Dukungan Sarana Penjemuran”, sebagai atribut yang memiliki

pengaruh paling besar dalam mempengaruhi keberlanjutan pembangunan

zona pascapanen rumput laut. Berdasarkan studi referensi dan observasi

di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan industri pascapanen

rumput laut dihadapkan pada permasalahan belum tersedianya sarana

penjemuran rumput laut yang sesuai SNI. Minimnya sarana penjemuran

rumput laut hasil budidaya akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas

bahan baku rumput laut yang dihasilkan sehingga akan menyebabkan

ketidak berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi

Sulawesi Tengah.

b. Dukungan Sarana Pergudangan

Pada dimensi Teknologi dan Infrastruktur hasil analisis MDS diperoleh

atribut “Dukungan Sarana Pergudangan”, sebagai atribut yang memiliki

pengaruh paling besar dalam mempengaruhi keberlanjutan pembangunan

zona pascapanen rumput laut. Berdasarkan studi referensi dan observasi

di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan industri pascapanen

rumput laut dihadapkan pada permasalahan belum tersedianya sarana

pergudangan yang digunakan untuk manampung dan menyimpan rumput

laut. Sarana pergudangan disyaratkan harus sesuai standarisasi dan

menerapkan sistem resi gudang berdasarkan UU No. 9 Tahun 2011 tentang

Penerapan Sistem Resi Gudang. Sarana pergudangan merupakan sarana

yang berfungsi sebagai tempat penampung atau penyimpan rumput laut

kering untuk menjaga dan mempertahankan kualitas rumput laut dan

jaminan untuk memperoleh pembiayaan melalui mekanisme resi gudang.

Ketersediaan sarana pergudangan berpengaruh terhadap kualitas bahan

baku rumput laut yang sesuai dengan kualitas penerapan standarisasi

Page 23: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

dalam sertifikasi bahan baku rumput laut. Sarana pergudangan didasarkan

atas ketersediaan gudang, standarisasi dan sertifikasi gudang, sistem resi

gudang. Tidak tersedianya sarana pergudangan yang sesuai standar dan

sertifikasi gudang serta menerapkan sistem resi gudang akan berpengaruh

terhadap rendahnya kualitas bahan baku rumput laut yang dihasilkan dan

berpengaruh terhadap harga rumput laut sehingga akan menyebabkan

ketidak berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi

Sulawesi Tengah.

c. Penggunaan Teknologi Dalam Kemasan

Pada dimensi Teknologi dan Infrastruktur hasil analisis MDS diperoleh

atribut “Penggunaan Teknologi Dalam Kemasan”, sebagai atribut yang

memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi keberlanjutan

pembangunan zona pascapanen rumput laut. Berdasarkan studi referensi

dan observasi di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan industri

pascapanen rumput laut dihadapkan pada permasalahan belum

menerapkan penggunaan teknologi dalam kemasan yang sesuai

standarisasi. Kondisi belum menerapkan penggunaan teknologi dalam

kemasan akan berpengaruh terhadap inifesiensi atau menambah biaya

produksi dalam sistem pemasaran, sehingga akan menyebabkan ketidak

berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi Sulawesi

Tengah.

4.2.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Hasil analisis Rap-RL terhadap atribut-atribut dari dimensi Hukum dan

Kelembagaan memberikan nilai indeks keberlanjutan. Atribut-atribut yang

berdampak negatif terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut

yang berdampak positif tetap dipertahankan untuk mempertahankan bahkan

meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Atribut-atribut tersebut memberikan

pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. \

Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih

sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan bahan baku.

Adapun hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang

paling sensitif mempengaruhi dimensi Hukum dan Kelembagaan pada zona 2,

yaitu (1) Kelembagan Punggawa (Middlemen); (2) Keberadaan Lembaga

Page 24: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

Keuangan Mikro; dan (3) Kerjasama antara Dinas Tekait dengan kelompok

mendiator (punggawa).

a. Kelembagaan Punggawa (Middlemen)

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan hasil analisis MDS diperoleh

atribut “Kelembagaan Punggawa (Middleman)”, sebagai atribut yang

memiliki pengaruh paling besar dalam mempengaruhi keberlanjutan

pembangunan zona pascapanen rumput laut. Berdasarkan studi referensi

dan observasi di lapangan menunjukkan bahwa “Belum Ada Kelembagaan

Punggawa (Middlemen)”, sebagai lembaga yang peran sebagai penjamain

pasar rumput laut hasil budidaya. Tidak adanya Kelembagaan Punggawa

(Middlemen), menyebabkan kurangnya kerjasama antar punggawa dan

kecenderungn akan memberikan ketidakpastian dalam hal harga dan

pembelian rumput laut hasil budiaya, sehingga pada gilirannya akan

menyebabkan kurang atau tidak berkelanjutan pengembangan rumput laut

di Provinsi Sulawesi Tengah.

b. Kelembagaan Modal

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan hasil analisis MDS diperoleh

atribut “Kelembagaan Modal, sebagai atribut yang memiliki pengaruh

paling besar dalam mempengaruhi keberlanjutan pembangunan zona

pascapanen rumput laut. Berdasarkan studi referensi dan observasi di

lapangan menunjukkan bahwa “Masih Minimnya Kelembagaan Modal”

seperti Lembaga Keuangan Mikro, sebagai lembaga yang peran sebagai

penyedia modal usaha bagi para punggawa dalam menopang usahanya

ditengan ketidakpastian sistem penjualan bahan baku rumput laut.Kurang

tersedianya kelembagaan modal akan menyebabkan sulitnya akses modal

bagi punggawa dan akan berada pada kondisi kekurangan modal usaha,

sehingga pada gilirannya akan menyebabkan kurang atau tidak

berkelanjutan pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

c. Kerjasama Antara Dinas dengan Punggawa (Middlemen)

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan hasil analisis MDS diperoleh

atribut “Kerjasama Antara Dinas Terkait dengan Kelompok Mediator

(Punggawa/Middlemen)”, sebagai atribut yang memiliki pengaruh besar

dalam mempengaruhi keberlanjutan pembangunan zona pascapanen

rumput laut. Berdasarkan studi referensi dan observasi di lapangan dan

Page 25: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

wawancara pakar menunjukkan bahwa “tidak adanya kerjasama anatar

dinas terkait dengan kelompok mediator (punggawa/middlemen).

Punggawa (middlemen) keberadaannya selama ini sangat kurang

diperhatikan sehingga luput dari binaan, bantuan fasilitasi oleh dinas

terkait, sehingga keberadaannya akan menyebabkan kurang atau tidak

berkelanjutan pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

Page 26: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

4.3. Permasalahan Zona 3 (Zona Industri Pengolahan Rumput Laut)

Zona 3 (tiga) merupakan zona yang berada pada bagin hilir yaitu industri

pengolahan rumput laut. Berikut ini akan disajikan beberapa permasalahan

utama yang mempengaruhi keberlanjutan pembangunan dan keberlangsungan

industri pengolahan rumput laut berdasarkan hasil analisis MDS untuk kelima

dimensi keberlanjutan yaitu: (1) dimensi bahan baku; (2) dimensi ekonomi; (3)

dimensi teknologi dan inftrastruktur; (4) dimanesi sosial dan budaya; dan (5)

dimensi hukum dan kelembagaan. Kelima dimensi ini berhubungan secara

sinergis dalam menentukan keberlanjutan pembangunan industri pengolahan

rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah.

4.3.1. Dimensi Bahan Baku

Berdasarkan hasil analisis MDS, dari beberapa atribut yang berperan

dalam keberlenjutan pembangunan rumput laut pada zona 3 (zona industri

pengolahan) untuk dimensi bahan baku, maka diperoleh 3 (tiga) atribut yang

memiliki nilai leverage tertinggi dan ketiga atribut tersebut merupakan atribut

yang paling dominan mempengaruhi indeks dan status keberlanjutan

pembangunan rumput laut untuk dimensi bahan baku. Ketiga atribut yang

memiliki pengaruh paling besar dalam menentukan nilai indeks dan status

keberlanjutan pembangunan rumput laut pada zona 3 (zona industri pengolahan)

untuk dimensi bahan baku tersebut yaitu: (a) jaminan ketersediaan bahan baku;

(b) jaminan kualitas bahan baku; dan (c) fluktuasi harga. Berikut ini akan

diuraikan kondisi eksisting masing-masing atribut tersebut sebagai masalah yang

mempengaruhi keberlanjutanpembangunan industri pengolahan rumput laut.

a) Jaminan Ketersediaan Bahan Baku

Pada dimensi bahan baku hasil analisis MDS dihasilkan atribut “Jaminan

Ketersediaan Bahan Baku”, sebagai atribut yang memiliki pengaruh

paling besar dalam mempengaruhi keberlanjutan pembangunan industri

pengolahan rumput laut. Artinya untuk keberlanjutan pembangunan industri

pengolahan rumput laut, maka harus ada jaminan terhadap ketersediaan

bahan baku yang akan digunakan oleh industri pengolahan sesuai dengan

kapasitas terpasang dari industri pengolahan. Berdasarkan hasil analisis

data produksi rumput laut kering yang dihasilkan oleh petani rumput laut di

10 kabupaten/kota menunjukkan bahwa pembangunan industri pengolahan

rumput laut dihadapkan pada permasalahan belum ada jaminan

Page 27: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

ketersediaan bahan baku secara kontinyu untuk dapat memenuhi

kebutuhan bahan baku industri pengolahan rumput laut. Belum adanya

jaminan terhadap ketersediaan bahan baku akan menyebabkan kurang

atau tidak berkelanjutan keberadaan industri pengolahan rumput laut di di

Provinsi Sulawesi Tengah.

b) Jaminan Kualitas Bahan Baku

Pada dimensi bahan baku hasil analisis MDS dihasilkan atribut “Jaminan

Kualitas Bahan Baku”, sebagai atribut yang memiliki pengaruh besar

setelah jaminan ketersediaan bahan baku dalam mempengaruhi

keberlanjutan pembangunan industri pengolahan rumput laut. Artinya untuk

keberlanjutan pembangunan industri pengolahan rumput laut, maka

disamping jaminan ketersediaan bibit juga harus ada jaminan terhadap

kualitas bahan baku yang tersedia telah sesuai dengan standar kebutuhan

industri pengolahan. Berdasarkan hasil analisis data produksi rumput laut

kering yang dihasilkan oleh petani rumput laut di 10 kabupaten/kota

menunjukkan bahwa pembangunan industri pengolahan rumput laut

dihadapkan pada permasalahan belum ada jaminan kualitas bahan baku

yang sesuai dengan standarisasi kualitas bahan baku industri pengolahan

rumput laut. Kualitas bahan baku yang dihasilkan petani rumput laut di

Sulawesi Tangah mengalami fluktuasi yang cukup tinggi diduga

disebabkan karena kurangnya pemahaman standarisasi bahan baku yang

dibutuhkan oleh industri pengolahan, ketidak tepatan umur panen yang

berpengaruh terhadap kandungan karagenan rumput laut. Belum adanya

jaminan terhadap kualitas bahan baku yang dihasilkan oleh petani rumput

laut pada gilirannnya akan menyebabkan kurang atau tidak berkelanjutan

keberadaan industri pengolahan rumput laut di di Provinsi Sulawesi

Tengah.

c) Fluktuasi Harga Bahan Baku

Pada dimensi bahan baku hasil analisis MDS dihasilkan atribut “Fluktuasi

Harga Bahan Baku”, sebagai atribut yang juga memiliki pengaruh besar,

dalam mempengaruhi keberlanjutan pembangunan industri pengolahan

rumput laut. Artinya untuk keberlanjutan pembangunan industri pengolahan

rumput laut, maka disamping harus ada jaminan terhadap kestabilan harga

bahan baku. Berdasarkan hasil analisis data produksi rumput laut kering

yang dihasilkan oleh petani rumput laut di 10 kabupaten/kota menunjukkan

Page 28: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

bahwa pembangunan industri pengolahan rumput laut dihadapkan pada

permasalahan harga bahan baku rumput laut tidak stabil dan cenderung

berfluktuasi. Harga bahan baku yang cenderung berfluktuasi diduga

disebabkan karena banyaknya para spekulan yang bermain dalam

mempengaruhi harga bahan baku rumput laut. Ketidak stabilan harga

bahan baku dan cenderung berfluktuasi pada gilirannnya akan

menyebabkan kurang atau tidak berkelanjutan keberadaan industri

pengolahan rumput laut di di Provinsi Sulawesi Tengah.

4.3.2. Dimensi Teknologi dan Infrasruktur

Berdasarkan hasil analisis MDS, dari beberapa atribut yang berperan

dalam keberlenjutan pembangunan rumput laut pada zona 3 (zona industri

pengolahan) untuk dimensi “Teknologi dan Infrastruktur”, maka diperoleh 3

(tiga) atribut yang memiliki nilai leverage tertinggi dan ketiga atribut tersebut

merupakan atribut yang paling dominan mempengaruhi indeks dan status

keberlanjutan pembangunan rumput laut untuk dimensi Teknologi dan

Infrastruktur”. Ketiga atribut yang memiliki pengaruh paling besar dalam

menentukan nilai indeks dan status keberlanjutan pembangunan rumput laut

pada zona 3 (zona industri pengolahan) untuk dimensi Teknologi dan

Infrastruktur” tersebut yaitu: (a) ketersediaan dan kemudahan memperoleh

bahan pendukung industri; (b) ketersediaan bahan bakar; dan (c) penerapan

sertifikasi SKP dan HACCP. Berikut ini akan diuraikan kondisi eksisting masing-

masing atribut tersebut sebagai masalah yang mempengaruhi

keberlanjutanpembangunan industri pengolahan rumput laut pada dimensi

“Teknologi dan Infrastruktur”.

a) Ketersediaan dan Kemudahan Bahan Pendukung Industri

Pada dimensi bahan baku hasil analisis MDS dihasilkan atribut

“Ketersediaan dan Kemudahan Bahan Pendukung Industri”, sebagai

atribut yang memiliki pengaruh paling besar dalam mempengaruhi

keberlanjutan pembangunan industri pengolahan rumput laut. Berdasarkan

studi referensi dan observasi di lapangan menunjukkan bahwa

pembangunan industri pengolahan rumput laut dihadapkan pada

permasalahan sulitnya memperoleh bahan pendukung industri pengolahan

karena kondisi saat ini di Sulawesi Tangah beberapa bahan pendukung

industri pengolahan seperti kalium hidroksida dan (KOH) dan asam asetat

belum tersedia sehingga untuk memperoleh bahan pendukung tersebut

Page 29: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

harus didatangkan dari luar daerah ini. Kesulitan dalam memperoleh bahan

pendukung industri pada gilirannya akan menyemabkan ketidak

berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi Sulawesi

Tengah.

b) Ketersediaan Bahan Bakar

Pada dimensi bahan baku hasil analisis MDS dihasilkan atribut

“Ketersediaan Bahan Bakar”, sebagai atribut yang memiliki pengaruh

paling besar dalam mempengaruhi keberlanjutan pembangunan industri

pengolahan rumput laut. Berdasarkan studi referensi dan observasi di

lapangan menunjukkan bahwa pembangunan industri pengolahan rumput

laut dihadapkan pada permasalahan belum adanya jaminan untuk

memperoleh kuota bahan bakar untuk mensuplai kebutuhan bahan bakar

industri pengolahan rumput laut. Kesulitan dan kelangkaan bahan bakar

untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar akan menyebabkan ketidak

berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi Sulawesi

Tengah.

c) Sertifikasi Bahan Baku

Pada dimensi teknologi dan infrastruktur hasil analisis MDS dihasilkan

atribut “Sertifikasi Internasional Bahan Baku”, sebagai atribut yang

memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi keberlanjutan

pembangunan industri pengolahan rumput laut. Berdasarkan studi referensi

dan observasi di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan industri

pengolahan rumput laut dihadapkan pada permasalahan cemaran bahan

baku pangan seperti cemaran mikroba karena rendahnya kondisi higieni

dan sanitasi, cemaran kimia karena kondisi lingkungan yang tercemar

limbah indsutri, penyalahgunaan bahan berbahaya yang dilarang untuk

pangan, penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) melebihi batas

maksimal yang diijinkan. Permasalahan cemaran bahan baku akan

menyebabkan tidak lolosnya dari proses sertifikasi seperti SKP, HACCP,

sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan kurang atau tidak

berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi Sulawesi

Tengah.

Page 30: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

4.3.3. Dimensi Ekonomi

Berdasarkan hasil analisis MDS, dari beberapa atribut yang berperan

dalam keberlenjutan pembangunan rumput laut pada zona 3 (zona industri

pengolahan) untuk dimensi ekonomi, maka diperoleh 3 (tiga) atribut yang

memiliki nilai leverage tertinggi dan ketiga atribut tersebut merupakan atribut

yang paling dominan mempengaruhi indeks dan status keberlanjutan

pembangunan rumput laut untuk dimensi bahan baku. Analisis Leverage

dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan

kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi. Adapun hasil dari analisis

Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling sensitif

mempengaruhi dimensi ekonomi pada zona 3 ini, yaitu (1) Akses ke Pasar Luar

Negeri; (2) Keberadaan Skim Kredit; dan (3) ) Fasilitas dan Stimulus Fiskal.

a) Akses ke Pasar Luar Negeri

Permasalahan terkait akases pemasaran yang dihadapai pada sector hulu

(zona 1) juga menjadi atribut yang sensitive mempengaruhi tingkat

keberlanjutan pada dimensi ekonomi sector hilir (Zona 3). Permasalahan

rendahnya keterbukaan/ ketersediaan terhadap akses pasar ke luar negeri

juga dirasakan oleh pihak industri. Kebutuhan karagenan dari hasil olahan

rumput laut di pasar global saat ini memang cukup tinggi. Namun demikian,

peningkatan jumlah produksi rumput laut bila tidak didukung dengan

ketersediaan akses pasar ke luar negeri justru akan memunculkan

permasalahan baru yaitu ketidakseimbangan antara jumlah produksi dan

tingkat pemenuhan kebutuhan rumput laut yang ada.

Beberapa Negara penghasil rumput laut hingga saat ini terus berupaya

meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar global. Hal

ini kedepannya tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi bagi

Indonesia sebagai salah satu Negara penghasil rumput laut dimana

Propinsi Sulawesi selatan sebagai penyuplai terbesarnya. Oleh karena itu,

adanya jaminan aspek pasar ketika terjadi peningkatan produksi rumput

laut akan sangat diperlukan melalui ketersediaan akses ke pasar luar

negeri.

b) Keberadaan Skim Kredit

Peningkatan jumlah produksi rumput laut pada sector hulu akan

menyebabkan terjadinya perubahan jumlah volume rumput laut pada

masing-masing rantai tataniaga. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada

Page 31: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

meningkatnya nilai ekonomi dan kebutuhan modal pada masing-masing

rantai tataniaga termasuk pihak industry. Ketika terjadi peningkatan volume

produksi disertai peningkatan volume penawaran rumput laut, maka dunia

industry yang berperan pada sector hilir rantai tataniaga akan mengalami

permasalahan pada kebutuhan pembiayan. Bila hal tersebut terjadi, maka

kemampuan daya beli pihak industry tidak akan sesuai dengan jumlah

penawaran rumput laut. Hal tersebut akan menyebabkan terganggunya

rantai tataniaga dari komoditi rumput laut yang kemungkinan juga akan

berpengaruh pada terjadinya penurunan harga rumput laut di tingkat

nasional.

c) Fasilitas dan Stimulus Fiskal

Salah satu atribut yang juga sensitive memberikan pengaruh terhadap

dimensi ekonomi pada zona 3 adalah terkait katersediaan fasilitas dan

jaminan stimulus fiscal bagi dunia industri. Permasalahan ini seringkali

muncul setelah tersedianya jaminan/akses pasar di sector hilir.

Keterbatasan fasilitas serta pengaruh kebijakan fiscal (terutama

bantuan stimulus fiscal) seringkali menjadi masalah tersendiri dan

bahkan menurunkan animo dunia industri ketika akan mengembangkan

usahanya hingga menembus pasar global. Krisis global yang

menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sangat merugikan dunia

industri. Oleh karena itu pemanfaatan potensi wilayah untuk

pengembangan budidaya rumput laut dimana produksinya diharapkan

dapat menembus pasar global tentunya harus didukung dengan

ketersediaan fasilitas dan jaminan stimulus fiscal bagi dunia industri untuk

membantu dunia industri terutama ketika terjadinya penurunan daya beli

masyarakat.

4.3.4. Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Berdasarkan hasil analisis MDS, dari beberapa atribut yang berperan

dalam keberlenjutan pembangunan rumput laut pada zona 3 (zona industri

pengolahan) untuk dimensi hukum dan kelembagaan, maka diperoleh 3 (tiga)

atribut yang memiliki nilai leverage tertinggi dan ketiga atribut tersebut

merupakan atribut yang paling dominan mempengaruhi indeks dan status

keberlanjutan pembangunan rumput laut untuk dimensi hukum dan

kelembagaan. Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut

yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan

Page 32: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

ekonomi. Adapun hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga

atribut yang paling sensitif mempengaruhi dimensi ekonomi pada zona 3 ini, yaitu

(1) Fasilitas Investasi, Fiskal dan Perizinan; (2) Kerjasama Lintas

Sektoral/Kementerian; dan (3) ) Kerjasama Pemerintah Pusat dan Daerah.

a. Fasilitas Investasi, Fiskal dan Perizinan

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan hasil analisis MDS dihasilkan

atribut “Fasillitas Investasi Fiskal dan Perizinan”, sebagai salah satu

atribut yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan keberlanjutan

pembangunan industri pengolahan rumput laut. Berdasarkan studi referensi

dan observasi di lapangan dan wawancara pakar menunjukkan bahwa

pembangunan industri pengolahan rumput laut dihadapkan pada

permasalahan masih minimnya fasilitas investasi, kemudahan memperoleh

perizinan seperti IMB dan fasiltas kebijakan fiscal yang menetapkan melalui

program unggulan daerah. Kondisi ini apabila tidak di intervensi makan

pada akhirnya akan mengakibatkan kurang atau tidak berlajutannya

pembangunan industri pengolahan di Provinsi Sulawesi Tengah.

b. Kerjasama Lintas Sektor dan Kementerian

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan hasil analisis MDS dihasilkan

atribut “Kerjasama Lintas Sektor dan Kementerian”, sebagai salah satu

atribut yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan keberlanjutan

pembangunan industri pengolahan rumput laut. Berdasarkan studi referensi

dan observasi di lapangan dan wawancara pakar menunjukkan bahwa

pembangunan industri pengolahan rumput laut dihadapkan pada

permasalahan kurangnya kerjasama lintas sector dan kemeterian sehingga

cenderung tidak ada sinergisitas dalam menjalankan program secara

terintegrasi antar sector dan kementerian. Kondisi ini akan menyebabkan

tidak terciptanya iklim yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya

industri pengolahan rumpu laut dan pada akhirnya akan mengakibatkan

kurang atau tidak berlajutannya pembangunan industri pengolahan di

Provinsi Sulawesi Tengah.

c. Kerjasama Pemerintah Pusat dan Daerah

Pada dimensi Hukum dan Kelembagaan hasil analisis MDS dihasilkan

atribut “Kerjasama Pemerintah Pusat dan Daerah”, sebagai salah satu

atribut yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan keberlanjutan

pembangunan industri pengolahan rumput laut. Berdasarkan studi referensi

Page 33: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

dan observasi di lapangan dan wawancara pakar menunjukkan bahwa

pembangunan industri pengolahan rumput laut dihadapkan pada

permasalahan kurangnya kerjasama antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Kerjasaman antara pemerintah pusat dan daerah

cenderung sinergis sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan kurang

atau tidak berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi

Sulawesi Tengah.

4.3.5. Dimensi Sosial Budaya

Berdasarkan hasil analisis MDS, dari beberapa atribut yang berperan

dalam keberlenjutan pembangunan rumput laut pada zona 3 (zona industri

pengolahan) untuk dimensi sosial budaya, maka diperoleh 3 (tiga) atribut yang

memiliki nilai leverage tertinggi dan ketiga atribut tersebut merupakan atribut

yang paling dominan mempengaruhi indeks dan status keberlanjutan

pembangunan rumput laut untuk dimensi sosial budaya. Analisis Leverage

dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan

kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan sosial budaya. Adapun hasil dari

analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling sensitif

mempengaruhi dimensi ekonomi pada zona 3 ini, yaitu (1) Pendididkan Formal,;

(2) Ketersediaan SDM Lokal; dan (3) ) Toleransi Masyarakat.

a. Pendidikan Formal

Pada dimensi sosial budaya hasil analisis MDS dihasilkan atribut

“Pendidikan Formal”, sebagai salah satu atribut yang memiliki pengaruh

besar dalam menentukan keberlanjutan pembangunan industri pengolahan

rumput laut. Berdasarkan studi referensi dan observasi di lapangan dan

wawancara pakar menunjukkan bahwa pembangunan industri pengolahan

rumput laut dihadapkan pada permasalahan rendahnya pendidikan formal

masyarakat sehingga akan berpengaruh terhdap rendahnya tingkat

pengetahun dan pemehaman tenrang pembangunan rumput laut di

Provinsi Sulawesi Tengah. Rendahnya pemahaman dan pengetahun

masyarakat pada akhirnya akan mengakibatkan kurang atau tidak

berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi Sulawesi

Tengah.

b. Ketersediaan SDM Lokal

“Ketersediaan SDM Lokal”, sebagai salah satu atribut yang memiliki

pengaruh dalam menentukan keberlanjutan pembangunan industri

Page 34: Bab 4 Permasalahan Leverage Faktor

pengolahan rumput laut. Berdasarkan studi referensi dan observasi di

lapangan dan wawancara pakar menunjukkan bahwa pembangunan

industri pengolahan rumput laut dihadapkan pada permasalahan

rendahnya kualitas SDM lokal dalam bidang industri pengolahan rumput

laut. SDM lokal yang memiliki kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman

di bidang industri pengolahan rumput laut sangat minim dan kondisi ini

pada akhirnya akan mengakibatkan kurang atau tidak berlajutannya

pembangunan industri pengolahan di Provinsi Sulawesi Tengah.

c. Toleransi Masyarakat

“ToleransiMasyarakat”, sebagai salah satu atribut yang memiliki

pengaruh dalam menentukan keberlanjutan pembangunan industri

pengolahan rumput laut. Berdasarkan studi referensi dan observasi di

lapangan dan wawancara pakar menunjukkan bahwa pembangunan

industri pengolahan rumput laut dihadapkan pada permasalahan

rendahnya toleransi masyarakat terhadap industri pengolahan rumput laut,

karena daerah ini selama ini belum berkembang industri. Apabila hal ini

tidak diintervensi, maka pada akhirnya akan mengakibatkan kurang atau

tidak berlajutannya pembangunan industri pengolahan di Provinsi Sulawesi

Tengah.