BAB 4 MALA

16
Lembar Kerja MATA KULIAH; ETIKA DAN LOGIKA Nama Mahasiswa : Nurmala NIM : 10640407 Dosen: Dr. Maharuddin Pangewa, M.Si Prodi : PEND.IPS TERPADU RESUME MATERI PEMBAHASAN BAB IV PERSOALAN DALAM ETIKA A. Persoalan tentang Nilai Etika B. Etika Deskriptif dan Normatif C. Kesadaran Moral (Hati Nurani) A. Persoalan tentang Nilai Etika Kattsoff (1996:349), etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai “betul” (“right”) dan “salah” (“wrong”) dalam arti “susila” (“moral”) dan “tidak susila” (“immoral”). Popkin dan Stroll dalam Sudarsono (2001), menguraikan perbedaan antara etika, metafisika lalu masuk logika sebagai bagian dari filsafat. Bila seseorang memikirkan persoalan tingkah laku, maka ia akan masuk filsafat dalam bidang etika; bila yang menjadi perhatian baginya adalah alam semesta, maka ia masuk filsafat dalam bidang metafisika, akan tetapi bila ia memperhatikan tentang cara berpikir itu sendiri, maka yang dimasukinya adalah dunia filsafat dalam bidang logika. Dengan itulah Popkin dan Stroll membedakan tiga jenis cabang filsafat itu

Transcript of BAB 4 MALA

Page 1: BAB 4 MALA

Lembar KerjaMATA KULIAH; ETIKA DAN LOGIKA

Nama Mahasiswa : NurmalaNIM :10640407

Dosen: Dr. Maharuddin Pangewa, M.SiProdi : PEND.IPS TERPADU

RESUME MATERI PEMBAHASAN

BAB IV PERSOALAN DALAM ETIKA

A. Persoalan tentang Nilai Etika

B. Etika Deskriptif dan Normatif

C. Kesadaran Moral (Hati Nurani)

A. Persoalan tentang Nilai Etika

Kattsoff (1996:349), etika merupakan cabang aksiologi yang pada

pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai “betul” (“right”) dan

“salah” (“wrong”) dalam arti “susila” (“moral”) dan “tidak susila” (“immoral”).

Popkin dan Stroll dalam Sudarsono (2001), menguraikan perbedaan

antara etika, metafisika lalu masuk logika sebagai bagian dari filsafat. Bila

seseorang memikirkan persoalan tingkah laku, maka ia akan masuk filsafat

dalam bidang etika; bila yang menjadi perhatian baginya adalah alam semesta,

maka ia masuk filsafat dalam bidang metafisika, akan tetapi bila ia

memperhatikan tentang cara berpikir itu sendiri, maka yang dimasukinya adalah

dunia filsafat dalam bidang logika. Dengan itulah Popkin dan Stroll

membedakan tiga jenis cabang filsafat itu dengan memperhatikan arah

pemikiran.

Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya dewasa ini nampaknya

semakin jauh dari makna, hakikat, dan tujuannya (bebas nilai) dalam hidup dan

kehidupan manusia. Mengapa demikian?, karena pengembangan pengetahuan

pada umumnya dan ilmu pada khususnya dilandasi pada suatu keyakinan bahwa

ilmu pengetahuan adalah suatu kekuatan (power). Sehingga dewasa ini

keyakinan inilah yang memacu perkembangan pengetahuan manusia untuk

menguasai, mamanipulasi, dan mengelola alam semesta demi kepentingan umat

manusia.

Page 2: BAB 4 MALA

Watloly (2001:119), pengetahuan apa pun bentuk dan jenisnya selalu

mendasarkan dirinya pada dua landasan pokok, selain landasan epistemologi,

yaitu: pertama, landasan ontologi yang mengkaji hal-hal mengenai “apa” yang

mengandaikan adanya pengetahuan itu; kedua, landasan aksiologi, yaitu

mengenai “untuk apa” pengetahuan itu diusahakan. Landasan aksiologi ini

menunjukkan pula bahwa pengembangan epistemologi selalu berkaitan dengan

etika atau nilai.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ketiga landasan pengetahuan

ini saling berkaitan dalam rangka pengembangan pengetahuan. Epistemologi

misalnya, tidak dapat dilepaskan dari dasar ontologi pengetahuan yaitu

mengenai dasar-dasar keberadaan (manusia) yang mengandaikan adanya

pengetahuan. Epistemologi juga tidak dapat memisahkan dirinya dengan dasar

aksiologi yang memberikan landasan (nilai-nilai kemanusiaan) bagi

pengembangan dan pengamalan pengetahuan.

Jelaslah bahwa manusia dengan daya pengetahuannya harus dapat

menegaskan cita-citanya untuk dapat menyumbang pada pemenuhan kodrat

keagungan manusia. Ciri pengembangan epistemologi menegaskan pula bahwa

manusia adalah makhluk berkepribadian, bermartabat, dan menolak untuk

diperlakukan sebagai benda atau dipergunakan sebagai alat, bahkan merupakan

objek eksperimentasi keilmuan. Berkat kodratnya sendirilah, maka manusia

bersifat membudaya, sehingga bila dalam pengembangan pengetahuannya

karena suatu kecelakaan manusia tidak dapat mencapai kebudayaan, maka dia

dikucilkan dari kebudayaan. Bukan itu saja, bahkan dengan daya

pengetahuannya pun manusia tidak akan pernah mencapai kodrat

manusiawinya. Kondisi demikian tidak akan pernah menuntun manusia untuk

mencapai tingkat kebebasan dan tanggung jawab moral. Hal ini disebabkan

karena pikiran atau pengetahuan yang berciri kultural itu tidak dapat lahir dari

dirinya.

Moore dalam Kumorotomo (2008:11-15), secara sederhana, nilai dapat

dirumuskan sebagai objek dari keinginan manusia. Nilai menjadi pendorong

utama bagi tindakan manusia dari pelbagai macam nilai yang mempengaruhi

kompleksitas tindakan manusia. Moore membedakan enam macam nilai, :

Page 3: BAB 4 MALA

1. Nilai Primer, Sekunder, dan Tertier: yang membedakan adanya nilai primer,

sekunder, dan nilai tertier adalah pada kerangka berpikir yang menentukan

usaha, angan-angan, atau kepuasan seseorang.

2. Terdapat perbedaan antara nilai semu (quasi values) dan nilai riil (real

values). Seseorang yang memiliki nilai semu apabila dia bertindak seolah-

olah berpedoman kepada suatu nilai sedangkan ia sesungguhnya tidak

menganut nilai tersebut.

3. Ada nilai terbuka dan ada pula yang tertutup. Suatu nilai disebut terbuka

bila tidak terdapat rentang waktu yang membatasinya.

4. Pembedaan dapat digariskan antara nilai-nilai negatif dan positif. Suatu nilai

negatif terjadi bila proposisi yang mendasari suatu keinginan bersifat

negatif, kebalikan dari nilai negatif adalah nilai positif.

5. Suatu nilai dapat pula dibedakan menurut orde atau urutannya. Maka

terdapat nilai orde pertama (first order values), order kedua (second order

values), atau orde-orde selanjutnya yang lebih tinggi (higher order values).

Nilai pertama terjadi jika benar-benar tidak ada nilai yang lainnya. Nilai

orde kedua terjadi jika tidak terdapat nilai lain kecuali nilai orde pertama

tadi, demikian seterusnya.

6. Pembedaan yang cukup sering disebutkan dalam kaitannya dengan nilai

ialah pembedaan antara nilai relatif dan nilai absolut. Suatu nilai bersifat

relatif bila merujuk kepada orang yang memiliki spesifikasi nilai tersebut.

Kebalikannya adalah nilai absolut, tidak merujuk kepada orang dan dianut

secara mutlak.

Dari kutipan panjang tersebut, dapat dikatakan bahwa dari keenam dasar

pembedaan yang diuraikan tersebut pada dasarnya merupakan psikologi teoretis

dengan memperoleh serangkaian pembedaan dari nilai-nilai yang beraneka

ragam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa setiap perilaku manusia dalam

hidup dan kehidupannya ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut serta adanya

prinsip-prinsip moral yang dipegangnya. Sehingga, moral itu sendiri merupakan

suatu sistem nilai yang menjadi dasar bagi adanya dorongan atau

kecenderungan untuk berbuat atau bertindak, nilai-nilai yang terdapat pada

moral maupun etika adalah masuk dalam norma, sedangkan norma mengacu

Page 4: BAB 4 MALA

kepada peraturannya sendiri beserta sanksi-sanksinya, baik itu bermula dari

dorongan batin, dari rasa susila, maupun paksaan fisik.

B. Etika Deskriptif dan Normatif

1. Etika Deskriptif

Etika deskriptif memberikan gambaran tentang tingkah laku moral dalam

arti yang luas, seperti berbagai norma dan aturan yang berbeda dalam suatu

masyarakat atau individu yang berada dalam kebudayaan tertentu atau yang

berada dalam kurun atau periode tertentu. Norma atau aturan tersebut ditaati

oleh individu atau masyarakat yang berasal dari kebudayaan atau kelompok

tertentu. Sebagai contoh, masayarakat Jawa mengajarkan bertatakrama

terhadap orang yang lebih tua dengan menghormatinya, bahkan dengan

sapaan yang halus merupakan ajaran yang harus diterima. Apabila

seseorang menolak melakukan hal itu, maka masyarakat menganggapnya

aneh, ia dianggap bukan orang Jawa. Norma-norma tersebut berisi ajaran

atau semacam konsep etis tentang yang baik dan tidak baik, tindakan yang

diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, etika deskriptif

mengkaji berbagai bentuk ajaran-ajaran moral yang berkaitan dengan “yang

baik” dan “yang buruk”. Ajaran tersebut lazim diajarkan oleh para pemuka

masyarakat pada masyarakatnya ataupun individu tertentu dan nampaknya

sering terdapat pada suatu kebudayaan manusia. Mempelajari etika orang

Jawa ataupun etika orang Bugis adalah suatu contoh dari bentuk etika

deskriptif.

2. Etika Normatif

Bagian yang dianggap penting dalam studi etika adalah etika normatif.

Mengapa? Karena ketika mempelajari etika normatif muncul berbagai studi

atau kasus yang berkaitan dengan masalah moral. Etika normatif merupakan

etika yang mengkaji tentang apa yang harus dirumuskan secara rasional dan

bagaimana prinsip-prinsip etis dan bertanggung jawab itu dapat digunakan

oleh manusia. Di dalam etika normatif hal yang paling menonjol adalah

munculnya penilaian tentang norma-norma tersebut. Penilaian tentang

Page 5: BAB 4 MALA

norma-norma tersebut sangat sangat menentukan sikap manusia tentang

“yang baik’ dan “yang buruk”. Dalam mempelajari etika normatif, dijumpai

etika yang bersifat umum dan etika yang bersifat khusus. Etika umum

memiliki landasan dasar seperti norma etis/norma moral, hak dan

kewajiban, hati nurani, dan tema-tema itulah yang menjadi kajiannya.

Sedang etika khusus berupaya menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum

atas perilaku manusia yang khusus. Lama kelamaan etika khusus tersebut

berkembang menjadi etika terapan (applied etics). Etika khusus

mengembangkan dirinya menjadi etika individual dan etika sosial. Etika

individual menyangkut kewajiban dan sikap individu terhadap dirinya

sendiri. Sedang etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola

perilaku manusia sebagai anggota umat manusia atau masyarakat. Bentuk

etika sosial yang diterapkan pada berbagai bentuk memunculkan kajian-

kajian mengenai etika keluarga, etika profesi (etika biomedis, etika

perbankan, etika bisnis dan sebagainya), etika politik, etika lingkungan

hidup.

Kant (dalam Abdullah, 2006:594) merumuskan pandangannya tentang etika

normatif dalam tiga prinsip,

a.supaya tindakan manusia mempunyai nilai etika baik, tindakan itu haruas

dijalankan berdasarkan kewajiban;

b. nilai etika dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dan

tindakan itu, melainkan hanya tergantung pada kemauan baik;

c.konsekuensi kewajiban dari tindakan yaang dilaksanakan, harus

berdasarkan sikap hormat menghormati dan menjunjung tinggi aturan

hukum.

Selanjutnya, Abdullah (2006:595) mengemuka bahwa etika normatif

mempunyai tugas khusus, yaitu:

a. berusaha menuangkan berbagai norma peraturan, peringatan, kewajiban

dan nilai etika yang membentuk norma-norma masyarakat

b. berusaha dengan berbagai cara untuk membenarkan prinsip dasar etika

kepada suatu masyarakat agar memiliki norma etika yang konsisten,

Page 6: BAB 4 MALA

c. meta-etika, ini erat hubungannya dengan studi tentang etika normatif. Ia

disebut sebagai etika analisis, karena menganalisis meta-etika, mengkaji

makna istilah-istilah etika dan logika dari penalaran tingkah laku

manusia.

C. Persoalan Kesadaran Moral (Hati Nurani)

1. Pengertian Kesadaran Moral (Hati Nurani)

Setiap manusia dalam hatinya memiliki suatu kesadaran tentang apa yang

menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Kesadaran itu tidak selalu

diperhatikan. Kalau hati setuju dengan pendapat moral lingkungannya, maka

suara hati tidak menampak. Tetapi kalau bertentangan dan tidak menyetujuinya,

maka hati nurani dalam kondisi itu menyatakan diri, dan inilah hakikatnya

manusia. Magniz, (1987:53) mengatakan suara hati adalah kesadaran moral kita

dalam situasi konkret dan selalu harus ditaati karena suara hati merupakan

kesadaran kita yang langsung tentang apa yang menjadi kewajiban kita.

Immanuel Kant (ibid) menyatakan tuntutan suara hati itu bersifat mutlak, yaitu

memuat tuntutan untuk selalu bertindak dengan baik, jujur, wajar dan adil,

apapun biayanya dan apa pun pendapat “lembaga-lembaga normatif”.

Kesadaran moral (suara hati) merupakan suatu faktor penting untuk

memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula

tindakannya akan sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral

didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial, fundamental. Perilaku

manusia yang berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya akan selalu

direalisasikan sebagaimana yang seharusnya, kapan saja dan di mana saja.

Sekalipun tidak ada orang yang melihatnya, tindakan yang bermoral akan

selalu dilakukan. Sebab tindakannya berdasarkan atas kesadaran, bukan

berdasar pada suatu kekuasaan apa pun dan juga bukan karena paksaan, tetapi

berdasar “kekuasaan” kesadaran moral itu sendiri.

Page 7: BAB 4 MALA

2. Unsur-unsur Kesadaran Moral

Zubair, (1987:54) mengemukakan empat pendapat ahli yang berhubungan

dengan unsur-unsur kesadaran moral.

a. Von Magnis, menyebutkan 3 unsur kesadara moral, yaitu: Perasaan Wajib,

Rasional, dan Kebebasan.

1) Perasaan Wajib, atau keharusan untuk melakukan tindakan yang

bermoral itu ada, dan terjadis di dalam setiap hati sanubari manusia,

siapapun, dimanapun dan kapan pun..

2) Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional, karena berlaku

umum, lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan.

3) Kebebasan. Atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk

menaatinya. Bebas dalam menentukan perilakunya dan di dalam

penentuan itu sekaligus terpampang pula nilai manusia itu sendiri.

b. Poedjawijatna, berpendapat kata hati (istilah lain bagi kesadaran moral)

bertindak sebagai berikut:

1) Index atau petunjuk. Memberi petunjuk tentang baik-buruknya sesuatu

tindakan yang mungkin akan dilakukan sessorang.

2) Iudex atau Hakim. Sesudah tindakan dilakukan, kata hati menentukan

baik-buruknya tindakan.

3) Vindex atau penghukum. Jika ternyata tindakan itu buruk, maka

dikatakan dengan tegas dan berulangkali bahwa buruklah itu.

c. Notonagoro,

1) Sebelum melakukan tindakan, kata hati sudah memutuskan satu diantara

4 hal, yait: memerintahkan, melarang, menganjurkan, dan atau

membiarkan.

2) Sesudah melakukan tindakan, bila bermoral diberi penghargaan, bila

tidak bermoral dicela, atau dihukum.

d. Vernon J. Bourke menampilkan bagan tentang petunjuk rasional mengenai

proses penalaran yang praktis dalam tindakan manusia yaitu: sampai pada

tahap conscience (kesadaran kata hati) tahap mana merupakan prinsip

keempat dari norma dasar bagi pertimbangan moral, dilihat atas kedudukan

akal manusia di dalam konteks semestalainnya, yaitu dalam urutan jenjang

Page 8: BAB 4 MALA

dari makhluk alami yang paling rendah sampai pada suatu yang tertinggi,

dari makhluk alami sampai akal abadi – Tuhan. Dengan melihat bagan

tersebut, ternyata dapat pula ditunjukkan adanya unsur-unsur kesadaran

moral yaitu: adanya kewajiban, rasional, objektif dan adanya kebebasan,

3. Kaidah Dasar Moral

Istilah kaidah disebut juga dengan prinsip. Zubair (1987:71)

menggunakan kaidah dasar moral dan menyatakan bahwa apabila kita

memperhatikan keseluruhan teori etika, kita akan sampai pada kesimpulan

bahwa manusia menjadi manusia yang “sebenarnya” jika ia menjadi manusia

yang etis.

Magnis Suseno (1987:129) menggunakan istilah prinsip-prinsip moral

dasar dan mengemukakan tiga prinsip dasar moral yaitu: prinsip sikap baik,

prinsip keadilan, dan prinsip hormat terhadap diri sendiri.

a. Kaidah sikap baik

Kaidah sikap baik dimaksudkan bahwa kita wajib bertindak sedemikan rupa

sehinga ada kelebihan dari akibat baik dibandingkan akibat buruk

(maksimalisasi).

Kaidah sikap baik pada dasarnya mendasari semua norma moral. Orang

yang mempunyai etika baik dapat bergaul dengan masyarakat secara luwes,

karena dapat melahirkan sifat saling cinta mencintai dan saling tolong-

menolong. Kita pada dasarnya – kecuali kalau ada alasan khusus – mesti

bersikap baik terhadap apa saja. Sikap baik dalam arti: memandang

sesorang/sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi saya menghendaki,

menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan

seseorang/sesuatu berkembang demi dia itu sendiri. Bagaimana sikap baik

itu harus dinyatakan secara konkret tergantung dari apa yang baik dalam

situasi konkret itu.

b. Kaidah keadilan

Keadilan dalam membagikan yang baik dan yang buruk. Kita berbicara

tentang ketidakadilan apabila dari dua orang yang sifat-sifatnya cukup mirip

dan yang berada dalam ssituasi yang mirip juga, yang satu diperlakukan

Page 9: BAB 4 MALA

denga lebih baik atau dengan lebih buruk dari yang lain.

c. Kaidah hormat terhadap diri sendiri

Kaidah ketiga ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu

memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri.

Kaidah ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat

berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati,

makhluk berakal budi.

Page 10: BAB 4 MALA

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin.2006. Pengantar Studi Etika. Rajawali Pers. Jakarta

Kattsoff, Louis O. 1996. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Etika Administrasi Negara. RajaGrafindo

Persada. Jakarta

Watloly, Aholiab. Tanggung Jawab Pengetahuan. Mempertimbangkan

Epistemologi secara Kultural. Penerbit Kani

Zubair, Achmad Charis. 1987. Kuliah Etika. Rajawali Pers. Jakarta

http://ms.wikipedia.org/wiki/Etika_normatif

http://susipurwati.blogspot.com/2010/10/metaetika-dan-etika-deskriptif.html

Catatan: 1. Kumpulkan lembar kerja Anda setelah perkuliahan bab ini selesai

2. Tidak mengumpulkan/tidak mengisi lembaran kerja ini dianggap tidak hadir dalam perkuliahan

Nilai dosen

1, 2, 3, 4

Page 11: BAB 4 MALA