Bab 4 2008dru-5.pdf

46
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap I Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan Lemuru Kandungan asam lemak minyak ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 4. Asam lemak pada minyak ikan lemuru mulai dapat di identifikasi dimulai pada panjang rantai karbon 16 sampai 22. Asam lemak didominasi oleh asam lemak jenuh yang mencapai 23.75 % yang didominasi oleh asam palmitat. Asam lemak tak jenuh tunggal mencapai 17.50 % yang didominasi oleh asam cis 19 oleat (C 18-1). Asam lemak tak jenuh ganda ditemukan dalam bentuk asam lemak n-6 (LA dan AA) dan asam lemak n-3 (EPA dan DHA). Tabel 4. Kandungan asam lemak minyak ikan lemuru Rataan mg/g % Asam Palmitat (C16 :0) 155.66 15.57 Asam Palmitoleat (C16:1) 13.16 1.32 Asam Stearat (C18:0) 60.83 6.08 Asam Trans 9 Elaidat (C18:1) 6.90 0.69 Asam Cis 9 oleat (C18:1) 129.84 12.98 LA (C18:2) n-6 43.39 4.34 LNA(C18:3) n-3 22.84 2.28 Asam Arakhidat (C20:0) 20.99 2.1 Asam Eicosanoat (20:1) 25.08 2.51 AA (C20:4) n-6 79.86 7.99 EPA (C20:5) n-3 80.58 8.06 Asam Beheneat (C22:0) 0 0 Asam Erurik (C22:1) 28.92 2.89 DHA (C22-6) n-3 55.41 5.54 Keterangan : Dianalisis di laboratorium Kimia Pangan Pusat Antar Universitas , Institut Pertanian Bogor (2005) Asam lemak n-6 didominasi oleh asam lemak dengan rantai karbon 20 yaitu AA yang mencapai 7.99 % sementara asam lemak dengan rantai karbon 18 yakni LA yang mencapai 4.34 %, sehingga asam lemak n-6 dalam minyak ikan lemuru mencapai 12.33 %. Asam lemak n-3 didominasi oleh asam lemak dengan rantai karbon 20 (EPA) dan rantai karbon 22 (DHA), masing-masing mencapai 8.06 % dan 5.54 %. Asam lemak tak jenuh ganda pada minyak ikan lemuru didominasi oleh asam lemak dengan rantai karbon lebih 18, lain halnya dengan minyak yang berasal dari tanaman panjang rantai karbon tidak lebih dari 18, misalnya pada minyak jagung asam lemak jenuh ganda didominasi oleh LA yang bisa mencapai 60 % (Suprijana 1995).

description

hbhdbsh

Transcript of Bab 4 2008dru-5.pdf

Page 1: Bab 4  2008dru-5.pdf

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Tahap I Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan Lemuru

Kandungan asam lemak minyak ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 4.

Asam lemak pada minyak ikan lemuru mulai dapat di identifikasi dimulai pada

panjang rantai karbon 16 sampai 22. Asam lemak didominasi oleh asam lemak

jenuh yang mencapai 23.75 % yang didominasi oleh asam palmitat. Asam lemak

tak jenuh tunggal mencapai 17.50 % yang didominasi oleh asam cis 19 oleat (C

18-1). Asam lemak tak jenuh ganda ditemukan dalam bentuk asam lemak n-6

(LA dan AA) dan asam lemak n-3 (EPA dan DHA).

Tabel 4. Kandungan asam lemak minyak ikan lemuru Rataan mg/g % Asam Palmitat (C16 :0) 155.66 15.57 Asam Palmitoleat (C16:1) 13.16 1.32 Asam Stearat (C18:0) 60.83 6.08 Asam Trans 9 Elaidat (C18:1) 6.90 0.69 Asam Cis 9 oleat (C18:1) 129.84 12.98 LA (C18:2) n-6 43.39 4.34 LNA(C18:3) n-3 22.84 2.28 Asam Arakhidat (C20:0) 20.99 2.1 Asam Eicosanoat (20:1) 25.08 2.51 AA (C20:4) n-6 79.86 7.99 EPA (C20:5) n-3 80.58 8.06 Asam Beheneat (C22:0) 0 0 Asam Erurik (C22:1) 28.92 2.89 DHA (C22-6) n-3 55.41 5.54 Keterangan : Dianalisis di laboratorium Kimia Pangan Pusat Antar Universitas ,

Institut Pertanian Bogor (2005)

Asam lemak n-6 didominasi oleh asam lemak dengan rantai karbon 20

yaitu AA yang mencapai 7.99 % sementara asam lemak dengan rantai karbon 18

yakni LA yang mencapai 4.34 %, sehingga asam lemak n-6 dalam minyak ikan

lemuru mencapai 12.33 %. Asam lemak n-3 didominasi oleh asam lemak

dengan rantai karbon 20 (EPA) dan rantai karbon 22 (DHA), masing-masing

mencapai 8.06 % dan 5.54 %. Asam lemak tak jenuh ganda pada minyak ikan

lemuru didominasi oleh asam lemak dengan rantai karbon lebih 18, lain halnya

dengan minyak yang berasal dari tanaman panjang rantai karbon tidak lebih dari

18, misalnya pada minyak jagung asam lemak jenuh ganda didominasi oleh LA

yang bisa mencapai 60 % (Suprijana 1995).

Page 2: Bab 4  2008dru-5.pdf

30

Adanya asam lemak n-3 dalam minyak ikan laut tergantung pada apa

yang dikonsumsi ikan. Ikan sendiri tidak mampu untuk mensintesis asam lemak

n-3, sehingga harus tersedia dalam pakannya. Asam lemak EPA dan DHA

dijumpai pada hewan laut, terutama bangsa ikan yang mengkonsumsi

fitoplankton (Kreutler 1980). Jenis dominasi asam lemak n-3 bergantung pada

jenis ikan untuk minyak ikan lemuru didominasi oleh EPA, lain halnya dengan

minyak ikan tuna didominasi oleh DHA (Rusmana 2000).

Baik kadar asam lemak n-3 maupun n-6 tidak selamanya konstan dalam

daging ikan, kadar tersebut antara lain dipengaruhi oleh musim (Lands 1986;

Ackman 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa golongan asam lemak PUFA n-3,

seperti C18 : 3 n-3, C18 : 4 n-3, C20 : 3 n-3, dan C22 : 6 n-3 terlihat semakin

penting kedudukannya dalam mempertahankan rantai makanan antara

kehidupan ikan laut, tanaman dan bakteri.

Komposisi Asam Lemak Ransum

Komposisi asam lemak tak jenuh ganda dari ransum dapat dilihat pada

Tabel 5. Kandungan asam lemak n-3 meningkat seiring dengan meningkatnya

penambahan minyak ikan lemuru dalam ransum. Penambahan minyak ikan

lemuru sampai 6 % dapat meningkatkan asam lemak n-3 sampai 1.024 %,

sementara yang tidak diberi minyak ikan lemuru hanya mencapai 0.082 %.

Asam lemak lemak n-3 yang terdapat dalam ransum tanpa minyak ikan

lemuru diperoleh dari minyak kelapa sawit, seperti yang dilaporkan oleh

Rusmana et al. (2000) dan Hardoko (1998) dalam minyak sawit ditemukan asam

lemak n-3. Minyak sawit pada umumnya dipakai sebagi tambahan dalam

ransum ayam broiler untuk meningkatkan kandungan energi dalam ransum.

Perlunya penambahan minyak dalam ransum ayam broiler mengingat kebutuhan

energi yang tinggi dalam ransum untuk pertumbuhan ayam broiler. NRC (1994)

merekomendasikan kebutuhan energi metabolis untuk ayam broiler sebesar

3200 kkal/kg, kebutuhan ini tidak mungkin dapat tercapai bila hanya

mengandalkan dari biji-bijian seperti jagung.

Asam lemak n-6 (LA, dan AA) dalam ransum baik yang disuplementasi

maupun yang tidak disuplementasi minyak ikan lemuru relatif hampir sama yaitu

berkisar antara 1.730 – 1.833 %. Asam lemak n-6 dalam ransum didominasi

oleh LA. Sumbangsih LA dalam ransum berasal dari jagung, mengingat 50 %

dari ransum adalah jagung. Kandungan LA dalam minyak jagung sendiri bisa

mencapai 60 % (Suprijana 1995)

Page 3: Bab 4  2008dru-5.pdf

31

Tabel 5. Kandungan asam lemak n-3 dan n-6 dalam ransum.

Vitamin E

(ppm)

Minyak Ikan

Lemuru (%)

Asam Lemak (%)

LA LNA AA EPA DHA LNA/LA n-3/n-6 0 1.730 0.082 - - - 0.05 0.05

0 3 1.542 0.146 0.239 0.242 0.166 0.09 0.31 6 1.354 0.209 0.479 0.483 0.332 0.15 0.56 0 1.730 0.082 - - - 0.05 0.05

100 3 1.542 0.146 0.239 0.242 0.166 0.09 0.31 6 1.354 0.209 0.479 0.483 0.332 0.15 0.56 0 1.730 0.082 - - - 0.05 0.05

200 3 1.542 0.146 0.239 0.242 0.166 0.09 0.31 6 1.354 0.209 0.479 0.483 0.332 0.15 0.56

Peningkatan penambahan minyak ikan lemuru dari 0, 3, dan 6 % dalam

ransum mengakibatkan peningkatan imbangan LNA/LA berturut-turut 0.05, 0.09,

dan 0.15. Demikian juga imbangan asam lemak n-3 /n-6 total menjadi

meningkat berturut-turut 0.05, 0.31, dan 0.56. Imbangan asam lemak tersebut

dapat mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh ayam. Semakin besar

nilai imbangan LNA/LA semakin kecil kesempatan LA untuk dimetabolisme lebih

lanjut menjadi AA, tetapi mempermudah jalannya metabolisme LNA menjadi

EPA. Hal ini karena enzim yang bekerja sebagai katalis dalam metabolisme

tersebut adalah sama (Leece & Allman 1996; BNF 1994 ; Rusmana 2000).

Asam lemak tak jenuh ganda seperti AA dan EPA akan dimetabolisme lebih

lanjut menjadi bentuk yang mempunyai aktivitas biologis yang dinamakan

“eicosanoids” seperti prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, dan leukotrine

(Kreutler 1980).

Performan Produksi Ayam Broiler

Konsumsi Ransum Berdasarkan hasil pengamatan selama 42 hari , pengaruh pemberian

ransum perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap konsumsi

ransum dan terdapat interaksi antara penambahan minyak ikan lemuru dan

suplementasi vitamin E (P<0.05). Konsumsi ransum yang terendah dicapai oleh

ayam yang diberi minyak ikan lemuru 6 % tanpa suplementasi vitamin E.

Peningkatan penggunaan minyak ikan lemuru dalam ransum ada kecenderungan

terhadap penurunan konsumsi ransum baik yang disuplementasi vitamin E

maupun yang tidak disuplementasi vitamin E.

Page 4: Bab 4  2008dru-5.pdf

32

Tabel 6. Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum

Vitamin E (ppm) Minyak ikan lemuru (%)

Konsumsi Ransum (g)

0 3787 ± 291 ab 0 3 4035 ± 300 a 6 3359 ± 159 c 0 4036 ± 155 a

100 3 3772 ± 245 ab 6 3765 ± 124 ab 0 3588 ± 164 bc

200 3 3762 ± 124 ab 6 3505 ± 244 bc

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Konsumsi ransum pada ayam yang diberi ransum yang tidak

disuplementasi vitamin E penggunaan minyak ikan lemuru 0 % dan 3 % tidak

menunjukkan perbedaan nyata, tetapi pada tingkat penggunaan minyak ikan

lemuru 6 % nyata (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi ransum

pada tingkat penggunaan minyak ikan lemuru 0 %. Peningkatan penggunaan

minyak ikan lemuru 0, 3, dan 6 % tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

terhadap konsumsi ransum pada ransum yang disuplementasi 100 ppm vitamin

E maupun 200 ppm vitamin E.

Pemberian ransum tanpa minyak ikan lemuru antara yang disuplementasi

0 ppm dengan 100 ppm vitamin E terdapat peningkatan konsumsi ransum tetapi

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun setelah peningkatan

suplementasi vitamin E menjadi 200 ppm antara ransum terjadi penurunan yang

nyata (P<0.05) terhadap konsumsi ransum. Pada pemberian ransum yang

mengandung 3 % minyak ikan lemuru antara yang disuplementasi 0 ppm, 100

ppm dan 200 ppm vitamin E tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap

konsumsi ransum. Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan

lemuru antara yang disuplementasi 0 ppm dengan 100 ppm vitamin E terjadi

peningkatan konsumsi ransum yang nyata (P<0.05), namun setelah

suplementasi vitamin E ditingkatkan menjadi 200 ppm tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata terhadap konsumsi ransum. Hal ini menunjukkan adanya

peranan vitamin E untuk memperbaiki konsumsi ransum akibat tingkat

penggunaan minyak ikan lemuru dalam ransum, namun apabila suplementasi

vitamin E yang berlebih dapat menyebabkan penurunan konsumsi ransum.

Page 5: Bab 4  2008dru-5.pdf

33

Konsumsi ransum ayam pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh

kandungan energi dalam ransum (NRC 1987). Ayam akan berhenti

mengkonsumsi ransum apabila kebutuhan energi sudah terpenuhi. Kandungan

energi ransum penelitian yang diberikan memiliki kandungan energi yang relatif

sama, energi metabolis ransum yaitu berkisar antara 3051 – 3060 kkal/kg,

sehingga faktor energi ransum bukan menjadi penyebab perbedaan yang nyata

terhadap konsumsi ransum. Komposisi nutrien semua ransum penelitian memilki

kandungan nutrien yang sama kecuali vitamin E, hal lain yang membedakan

diantara ransum tersebut adalah penambahan minyak ikan lemuru yang

mengakibatkan komposisi asam lemak diantara ransum penelitian berbeda.

Kedua nutrien inilah yang menyebabkan perbedaan konsumsi ransum antar

perlakuan

Minyak ikan lemuru yang digunakan penelitian mengandung asam lemak

tak jenuh ganda rantai panjang (LA, LNA, EPA, DHA, dan AA) sebesar 21.59 %.

Penambahan minyak ikan lemuru (0, 3, dan 6 %) menyebabkan peningkatan

asam lemak tak jenuh ganda yang berturut-turut 1.81, 2.34, dan 2.85 %. Sifat

bahan yang kaya asam lemak tak jenuh ganda mudah teroksidasi. Produk

oksidasi adalah terbentuknya aldehida. Aldehida merupakan suatu

persenyawaan yang terbentuk akibat dekomposisi peroksida. Ada beberapa

faktor yang mempengaruhi taste pada ternak unggas salah satu diantaranya

adalah tingkat toksisitas dari ransum yang dikonsumsi. Ternak unggas sendiri

memiliki kepekaan yang dapat membantu menolak bahan yang yang berbahaya

(Mason & Clark 2000). Toksisitas dari minyak ikan lemuru yang terbentuk akibat

dekomposisi peroksida dapat dikurangi oleh vitamin E, karena vitamin E adalah

nutrien yang bersifat antioksidan, yang mampu mencegah reaksi oksidasi.

Sehingga penambahan vitamin E dalam ransum penelitian dapat memperbaiki

konsumsi ransum.

Pertambahan Bobot Badan Konsekuensi tinggi rendahnya konsumsi adalah terhadap tinggi

rendahnya pertambahan bobot badan. Semakin tinggi konsumsi ransum maka

kesempatan nutrien untuk diserap lebih tinggi, pada gilirannya pertambahan

bobot badan akan semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan meskipun

terdapat pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum, namun terhadap

pertambahan bobot badan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Page 6: Bab 4  2008dru-5.pdf

34

Tabel 7. Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan (PBB)

Vitamin E (ppm) Minyak ikan lemuru

(%)

PBB (g)

0 1891 ± 159 a 0 3 1894 ± 114 a 6 1836 ± 157 a 0 1825 ± 80 a

100 3 1746 ± 86 a 6 1801 ± 96 a 0 1921 ± 211 a

200 3 1824 ± 106 a 6 1837 ± 160 a Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan

berbeda nyata (p<0.05) Tingginya konsumsi ransum yang dicapai oleh ayam yang diberi ransum

tanpa minyak ikan lemuru dan disuplementasi 100 ppm vitamin E, ternyata

menghasilkan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata dibandingkan

pemberian ransum perlakuan lainnya. Rendahnya konsumsi ransum akibat

penggunaan minyak ikan lemuru sampai 6 % tanpa suplementasi vitamin E

ternyata menghasilkan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata

dibandingkan dengan pemberian ransum perlakuan lainnya. Ini menunjukkan

asupan nutrien akibat pemberian ransum minyak ikan lemuru sampai 6 % tanpa

suplementasi vitamin E sudah mecukupi untuk mencapai pertumbuhan yang

sama dibanding dengan pemberian ransum perlakuan lainnya. Pertambahan

bobot badan ayam broiler sangat ditentukan oleh kandungan protein dan

keseimbangan asam aminonya diantaranya adalam asam amino lisin dan

metionin. Kandungan asam amino ransum penelitian disusun berdasarkan

rekomendasi NRC 1994. NRC (1994), melaporkan bahwa pada ayam broiler

dengan konsumsi lisin 38.20 g dan metionin 17.37 g sampai umur 6 minggu

pertambahan bobot badan yang dicapai adalah 1864 g. Hasil penelitian pada

perlakuan dengan konsumsi ransum yang paling rendah pertambahan bobot

badan yang dicapai adalah 1836 g ternyata konsumsi lisin dan metionin melebihi

yang direkomendasikan oleh NRC (1994). Konsumsi lisin dan metionin pada

perlakuan tersebut masing-masing adalah 39.63 g dan 21.16 g. Pada perlakuan

lain yang konsumsi ransumnya lebih tinggi tidak akan diikuti oleh pertambahan

bobot badan, karena jika masukan protein dalam hal ini asam amino melebihi

jumlah yang dimanfaatkan oleh tubuh, maka akan dibuang berupa nitrogen

melalui urine ( Piliang & Djojosoebagjo 2006)

Page 7: Bab 4  2008dru-5.pdf

35

Konversi Ransum Konversi ransum mengggambarkan berapa ransum yang dikonsumsi

untuk setiap kg pertambahan bobot badan. Konversi ransum pengaruh ransum

penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Perlakuan pemberian ransum memberikan

pengaruh yang nyata terhadap konversi ransum (p<0.05)

Tabel 8. Pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum

Vitamin E (ppm) Minyak ikan lemuru

(%)

Konversi Ransum

0 2.00 ± 0.04 ab 0 3 2.14 ± 0.26 a 6 1.84 ± 0.17 c 0 2.22 ± 0.14 a

100 3 2.16 ± 0.08 ab 6 2.10 ± 0.16 ab 0 1.88 ± 0.21 bc

200 3 2.07 ± 0.19 ab 6 1.92 ± 0.16 bc

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Tingkat energi ransum penelitian berkisar 3052- 3061 kkal/kg dengan

protein ransum 21.46 % menghasilkan konversi ransum antara 1.84 -2.22. NRC

(1994), melaporkan ayam broiler yang diberi ransum dengan tingkat energi 3200

kkal/kg dengan protein 23 % pada umur 0 – 3 minggu dilanjutkan dengan

protein 20 % pada umur 3 – 6 minggu konversi ransum yang dicapai adalah 1,81.

Tingginya konversi ransum dari penelitian yang dicapai dibanding yang

dicapai oleh NRC, karena energi yang digunakan dalam ransum penelitian lebih

rendah. Energi yang direkomendasikan oleh NRC adalah 3200 kkal/kg,

sedangkan energi yang digunakan dalam ransum penelitian adalah berkisar

3051- 3060 kkal/kg. Konsumsi ransum pada ayam tergantung pada tingkat

energi ransum. Kandungan energi ransum yang rendah menyebabkan

meningkatnya konsumsi ransum. Ayam akan berhenti mengkonsumsi apabila

energi yang dikonsumsi sudah mencapai kebutuhan (NRC 1994; Wahju 1997).

Sementara energi ransum penelitian yang digunakan lebih rendah dari yang

direkomendasikan NRC, sedangkan kandungan asam amino yang digunakan

sesuai dengan rekomendasi NRC. Asam amino adalah nutrien yang penting

bagi pertumbuhan. Meningkatnya konsumsi ransum menyebabkan konsumsi

asam amino juga meningkat. Meningkatnya asam amino yang dikonsumsi tidak

Page 8: Bab 4  2008dru-5.pdf

36

menyebabkan pertambahan bobot badan, jika masukan protein dalam hal ini

asam amino melebihi jumlah yang dimanfaatkan oleh tubuh, maka akan dibuang

berupa nitrogen melalui urine ( Piliang & Djojosoebagjo 2006). Meningkatnya

konsumsi ransum yang tidak diimbangi pertambahan bobot badan akan

menyebabkan meningkatnya konversi ransum

Konversi ransum yang terendah mendekati yang direkomendasikan NRC

dicapai oleh ransum dengan tingkat penggunaan minyak ikan lemuru 6 % yang

disuplementasi vitamin E 0 ppm, tingkat penggunaan minyak ikan lemuru 0 %

yang disuplementasi vitamin E 200 ppm, dan tingkat penggunaan minyak ikan

lemuru 6 % yang disuplementasi vitamin E 200 ppm. Nilai konversi ransum

masing-masing ransum perlakuan tersebut adalah 1.84, 1.88, dan 1.92.

Penyebab rendahnya nilai konversi ransum dari ransum penelitian tersebut

adalah lebih rendahnya konsumsi ransum dibanding ransum perlakuan lainnya,

sementara pertambahan bobot badan tidak berbeda nyata. Konsumsi ransum

yang dicapai oleh ransum perlakuan tersebut menghasilkan konsumsi asam

amino, diantaranya asam amino lisin dan metionin yang menjadi asam amino

pembatas, sudah mencukupi untuk pertumbuhan yang optimal. Pemeliharaan

selama 6 minggu rataan konsumsi metionin dan lisin dari ketiga ransum

perlakuan tersebut adalah 22.32 g dan 41.81 g menyebabkan rataan

pertambahan bobot badan 1864 g. NRC (1994), melaporkan pemeliharaan

selama 6 minggu konsumsi metionin dan lisin adalah 17.37 g dan 38.20 g

menghasilkan pertambahan bobot badan 1864 g.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Titer Antibodi setelah Vaksin ND Respon titer antibodi terhadap ND antar pemberian ransum perlakuan

diamati setelah empat belas hari vaksin. Titer antibodi terhadap vaksin ND

pertama berkisar antara 25.50 – 26.00, peningkatan titer antibodi terjadi setelah

vaksin ND yang kedua, dengan nilai titer antibodi pada log 2 diatas 6 yaitu

berkisar antara 26.08 – 29.08. Ini menunjukkan bahwa sistem imun akan lebih peka

setelah vaksin ke dua. Reaksi hewan terhadap dosis antigen kedua sangat

berbeda dari yang pertama yakni reaksi terjadi lebih cepat dan antibodi mencapai

tingkat yang jauh lebih tinggi, reaksi ini terjadi hanya apabila antigen yang identik

dengan yang pertama (Tizard 1982).

Respon titer antibodi terhadap ND tidak terdapat perbedaan yang nyata

antar pemberian ransum setelah vaksin ND yang pertama (ND primer).

Page 9: Bab 4  2008dru-5.pdf

37

Perbedaan respon titer antibodi terhadap ND antar perlakuan terlihat nyata

(P<0.05) setelah vaksin ND kedua (ND sekunder), bahkan terlihat adanya

interaksi antara penambahan minyak ikan lemuru dan vitamin E (P<0.05).

Tabel 9. Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi ND primer dan ND sekunder

Vitamin E

(ppm) Minyak ikan lemuru (%)

ND Titer Primer (log 2)

ND Titer Sekunder (log 2)

0 5.50 ± 1.38 a 6.08 ± 1.00 e 0 3 6.00 ± 0.60 a 6.42 ± 1.24 de

6 5.58 ± 1.16 a 7.17 ± 0.83 cd 0 5.67 ± 0.65 a 8.42 ± 1.31 ab

100 3 5.75 ± 0.75 a 7.58 ± 1.00 bc 6 5.33 ± 1.07 a 7.92 ± 1.38 bc 0 5.92 ± 1.24 a 7.00 ± 0.95 cde

200 3 5.58 ± 0.79 a 7.67 ± 0.49 bc 6 6.00 ± 1.35 a 9.08 ± 1.44 a Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (p<0.05)

Peranan asam lemak tak jenuh baru memperlihatkan efek

imunomodulator pada respon titer antibodi sekunder terhadap ND. Efek

imunomodulator oleh asam lemak tak jenuh ganda lebih besar pengaruhnya

pada sekunder dari pada primer terhadap patogen (Sijben et al. 2000).

Perbedaan respon titer antibodi terhadap ND antar perlakuan akibat

penambahan minyak ikan lemuru dapat dilihat pada ransum tanpa suplementasi

vitamin E dan suplementasi vitamin E sebanyak 200 ppm. Peningkatan

penambahan minyak ikan lemuru memberikan efek imunomodulator dengan

meningkatnya respon titer antibodi terhadap ND. Ransum yang tidak

disuplementasi vitamin E maupun yang disuplementasi vitamin E 200 ppm,

penggunaan minyak ikan lemuru sampai 3 % titer antibodi belum memperlihatkan

pengaruh yang nyata (P<0.05), peningkatan titer antibodi terhadap ND baru

terlihat nyata pada ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru.

Peranan imunomodulator dari asam lemak n-3 dilaporkan oleh Sijben et

al. (2001), meningkatnya LNA pada kandungan linoleat acid LA rendah ternyata

respon titer antibodi terhadap Mycobacterium butyricum menunjukkan

peningkatan, demikian juga pada tingkat LA tinggi peningkatan LNA dalam

ransum menunjukkan peningkatan respon titer antibodi terhadap Mycobacterium

butyricum. Peningkatan penambahan minyak ikan lemuru dari 0, 3, dan 6 %

dalam ransum penelitian menyebabkan peningkatan imbangan LNA terhadap LA

berturut turut yakni 0.05, 0.09, dan 0.15. Kandungan LNA meningkat berturut

Page 10: Bab 4  2008dru-5.pdf

38

turut dari 0.082, 0.146, dan 0,209 %, sementara kandungan LA menurun

berturut-turut dari 1.730, 1.542, dan 1.354 %. Meningkatnya imbangan LNA

terhadap LA mengakibatkan kesempatan LA dimetabolisme menjadi PGE2

dihambat (BNF, 1994; Boudreau et al. 1991; Broughton et al. 1991; Leece &

Allman 1996). PGE2 sendiri bekerja sebagai imonsupresif (Kizaki et al. 1990).

Penambahan minyak ikan lemuru yang kaya akan LNA dapat memperbaiki

respon penekanan sel imun yang disebabkan oleh PGE2, pada gilirannya sel

imun akan lebih peka dalam memproduksi antibodi.

Meningkatnya titer antibodi terhadap vaksin ND yang kedua efek dari

ransum yang mengandung minyak ikan lemuru dibanding yang tidak

mengandung minyak ikan lemuru tidak terlepas dari peran sel limfosit yakni sel B.

Sel B mempunyai bagian permukaan yang peka terhadap antigen. Antigen akan

merangsang sel untuk membelah , sel B membelah diri berulangkali. Setelah

beberapa hari keturunan dari sel yang tanggap akan berdiferensiasi menjadi sel

memori dan sel plasma. Sel plasma kelak akan memproduksi antibodi. Sel

memori selanjutnya akan membelah dan berdiferensiasi apabila ada antigen lagi

yang sejenis. Minyak ikan lemuru yang kaya akan asam lemak n-3 dapat

meningkatkan kepekaan sel B untuk membelah dan berdiferensiasi yang pada

gilirannya meningkatkan produksi antibodi. Dampak dari pemberian minyak ikan

terhadap meningkatnya sel B dari tikus yang ditantang listeria dilaporkan oleh

Huang et al. (1992), bahwa pada tikus yang tidak diinfeksi, pemberian asam

lemak n-3 PUFA yang tinggi dalam ransum (20 g minyak ikan/100 g ransum)

menghasilkan persentase sel T yang tertinggi ,tetapi pada tikus yang ditantang

dengan Listeria, pemberian ransum ini menghasilkan persentase sel T terendah

dibandingkan dengan tikus yang diberi ransum yang mengandung minyak biji

bunga matahari dan minyak kelapa. Populasi sel B tidak dipengaruhi oleh

pemberian lemak pada tikus yang tidak ditantang, tetapi pemberian minyak ikan

menghasilkan persentase sel B tertinggi pada tikus yang ditantang. Hasil

pengamatan pada penelitian respon titer antibodi terhadap ND yang diamati

setelah 14 hari ayam divaksin ND, bisa dianggap sebagai antigen yang

diharapkan dapat merangsang peningkatan persentase sel B yang pada

gilirannya merangsang peningkatan respon titer antibodi terhadap ND. Ternyata

data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang nyata pada respon titer

antibodi terhadap ND, sebagai akibat peningkatan penambahan minyak ikan

lemuru dalam ransum

Page 11: Bab 4  2008dru-5.pdf

39

Selain minyak ikan lemuru ternyata titer antibodi terhadap vaksin ND

pertama tidak dipengaruhi oleh suplementasi vitamin E, titer antibodi terhadap

vaksin ND dipengaruhi oleh suplementasi vitamin E setelah vaksin yang kedua.

Erf et al. (1998), melaporkan bahwa pemberian vitamin E pada ayam broiler

dapat memberikan efek imunomodulator, namum belum memperlihatkan efek

imunomodulator terhadap ayam yang berumur 2 minggu. Suplementasi vitamin E pada ransum perlakuan melebihi kebutuhan

normal (100, dan 200 ppm). Kandungan vitamin E pada ransum yang tidak

disuplementasi vitamin E berkisar antara 15.78 – 17.88 ppm. Menurut Piliang

(2002), kebutuhan vitamin E untuk ayam periode starter adalah 30 ppm,

sedangkan periode sedang tumbuh 10 ppm. Peningkatan suplementasi vitamin

E dari 100 – 200 ppm memperlihatkan efek peningkatan respon titer antibodi ND

sekunder. Pemberian vitamin E yang melebihi kebutuhan normal dapat

mempengaruhi mekanisme resistensi tubuh secara positif yakni dengan jalan

meningkatkan pembentukan cairan antibodi secara efisien pada ayam muda

maupun ayam dewasa. Dosis efektif untuk meningkatkan titer antibodi tersebut

adalah 130 – 150 ppm pada ransum yang telah mengandung 35 – 60 ppm

(Parakkasi 1988). Ayam yang diberi tambahan 150 – 300 ppm ransum dapat

meningkatkan proteksi terhadap Escherichia Coli (Parakkasi 1988).

Hasil pengamatan respon titer antibodi terhadap ND sekunder terdapat

interaksi antara tingkat penambahan minyak ikan lemuru dan suplementasi

vitamin E (P<0.05). Semakin tinggi tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan

suplementasi vitamin E memberikan efek imunomodulator yang positif dengan

semakin meningkatnya titer antibodi. Ransum yang tidak mengandung minyak

ikan lemuru, suplementasi vitamin E 100 ppm cukup untuk meningkatkan titer

antibodi terhadap ND, penurunan titer antibodi terjadi saat suplementasi vitamin

E ditingkatkan menjadi 200 ppm. Menurut Parakasi (1988), dosis efektif vitamin

E untuk meningkatkan antibodi adalah 130-150 ppm, sedangkan menurut Erf et

al. (1998), kandungan vitamin E 87 ppm dalam ransum dapat memberikan

dampak terhadap imunomodulator. Pada tingkat penggunaan minyak ikan

lemuru 3 % suplementasi vitamin E 100 ppm mampu meningkatkan titer antibodi,

peningkatan vitamin E 200 ppm tidak mampu lagi meningkatkan titer antibodi.

Lain halnya pada tingkat penggunaan minyak ikan lemuru 6 %, suplementasi

vitamin E sampai 200 ppm mampu meningkatkan titer antibodi. Ini menunjukkan

bahwa untuk mendapatkan efek imunomodulator yang maksimum pada saat

Page 12: Bab 4  2008dru-5.pdf

40

penggunaan minyak ikan lemuru 3 % cukup disuplementasi vitamin E 100 ppm,

namun ketika penggunaan minyak ikan lemuru 6 % suplementasi vitamin E dapat

ditingkatkan menjadi 200 ppm. Mengingat minyak ikan lemuru mudah

teroksidasi maka penambahan vitamin E sebanyak 100-200 ppm makanan dapat

berfungsi dua yaitu sebagai antioksidan dan meningkatkan daya tahan tubuh

sekaligus. Respon titer antibodi yang tertinggi terhadap ND setelah vaksin yang

ke dua dicapai pada ayam yang diberi ransum mengandung minyak ikan lemuru

6 % dan disuplementasi vitamin E sebesar 200 ppm.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Titer Antibodi setelah Vaksin IBD

Perbedaan respon titer antibodi terhadap IBD antar perlakuan pemberian

ransum menunjukkan tidak adanya interaksi antar pemberian minyak ikan lemuru

dan suplementasi vitamin E. Perbedaan respon titer antibodi terhadap IBD antar

perlakuan pemberian minyak ikan lemuru tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata. Perbedaan yang nyata (P<0.05) respon titer antibodi terhadap IBD hanya

ditunjukkan antar perlakuan suplementasi vitamin E.

Tabel 10. Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi IBD Vitamin E (ppm) Minyak ikan

lemuru (%)

Log 2

0 2.11 ± 0.93 a 0 3 2.13 ± 0.64 a 6 2.22 ± 0.97 a 0 2.44 ± 0.88 a

100 3 2.63 ± 0.52 a 6 2.88 ± 0.64 a 0 2.89 ± 0.60 a

200 3 2.89 ± 0.60 a 6 2.67 ± 0.71 a

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Belum terlihatnya peranan minyak ikan lemuru sebagai efek

imunomodulator pada titer antibodi IBD, seperti halnya pada pengamatan titer

antibodi ND setelah vaksin pertama, ini menunjukkan indikasi yang kuat bahwa

minyak ikan mempunyai efek imunomodulator pada pemberian vaksin yang

kedua seperti yang dilaporkan Sijben et al. (2000).

Page 13: Bab 4  2008dru-5.pdf

41

Gambar 6. Grafik hubungan antara tingkat penggunaan minyak ikan lemuru

dalam ransum dengan titer antibodi IBD

Gambar 7. Grafik hubungan antara tingkat suplementasi vitamin E dalam

ransum dengan titer antibodi IBD

Suplementasi vitamin E memperlihatkan efek imunomodulator dengan

meningkatnya titer antibodi setelah vaksin IBD. Suplementasi vitamin E 100 ppm

nyata (P<0.05) meningkatkan titer antibodi dibandingkan dengan yang tidak

disuplementasi vitamin E. Peningkatan titer antibodi ini terjadi meskipun vaksin

IBD dilakukan pada pertama kalinya, tidak seperti halnya titer antibodi terhadap

Page 14: Bab 4  2008dru-5.pdf

42

ND. Pengaruh suplementasi vitamin E terhadap peningkatan titer antibodi

terhadap ND terjadi setelah vaksin ND yang kedua. Tampaknya pengaruh

vitamin E terhadap titer antibodi dipengaruhi oleh umur ayam. Pemberian vaksin

ND pertama dilakukan pada umur lebih awal yaitu umur empat hari sedangkan

pemberian vaksin IBD dilakukan pada umur 11 hari. Erf et al. (1998),

melaporkan bahwa pengukuran efek imunomodulator dari pemberian vitamin E

dengan mengamati sel T dan sel B ternyata pada umur ayam yang lebih muda

yakni umur 2 minggu belum memperlihatkan efek imunomodulator namun pada

umur yang lebih tua yakni umur 7 minggu memperlihatkan efek imunomodulator.

Ini menunjukkan bahwa umur ayam memberikan dampak efek imunomodulator

dari vitamin E, karena pada pemberian vaksin ND yang kedua titer antibodi

terhadap ND dipengaruhi oleh suplementasi vitamin E

Pengaruh Perlakuan terhadap Diferensiasi Sel Darah Putih

Komponen sel darah putih yang dapat diamati adalah eosinofil, heterofil

dan limfosit. Pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap masing-masing

komponen sel darah putih menunjukkan tidak adanya interaksi antara tingkat

penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E. Suplementasi

vitamin E nyata (P<0.05) menurunkan persentase eosinofil. Persentase heterofil

antar perlakuan tidak menununjukkan perbedaan yang nyata. Peningkatan

persentase limfosit nyata (P<0.05) dipengaruhi oleh pemberian minyak ikan

lemuru, sedangkan heterofil tidak dipengaruhi oleh suplementasi minyak ikan

lemuru maupun vitamin E.

Tabel 11. Pengaruh perlakuan terhadap diferensiasi sel darah putih

Vitamin E (ppm)

Minyak ikan lemuru (%)

Eosinofil (%)

Heterofil (%)

Limfosit (%)

0 2.88 ± 2.52 a 23.75 ± 14.19 a 69.50 ± 20.30 a 0 3 2.25 ± 1.39 a 28.25 ± 19.48 a 73.38 ± 15.61 a

6 1.00 ± 1.00 a 20.75 ± 9.79 a 78.25 ± 10.47 a 0 0.88 ± 1.27 a 19.38 ± 13.54 a 73.38 ± 19.12 a

100 3 1.13 ± 1.76 a 25.50 ± 19.90 a 79.75 ± 13.26 a 6 0.50 ± 0.50 a 13.50 ± 5.88 a 86.00 ± 5.66 a 0 0.38 ± 0.70 a 22.63 ± 8.12 a 79.38 ± 12.33 a

200 3 1.88 ± 1.27 a 18.75 ± 12.47 a 77.00 ± 8.03 a 6 1.00 ± 1.32 a 14.25 ± 9.07 a 84.75 ± 8.70 a Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (p<0.05)

Page 15: Bab 4  2008dru-5.pdf

43

Gambar 8. Grafik hubungan antara tingkat penggunaan minyak ikan lemuru

dalam ransum dengan kandungan limfosit

Pemberian ransum yang mengandung minyak ikan lemuru 3 % meskipun

menunjukkan peningkatan limfosit, namun tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata dibandingkan dengan yang diberi ransum yang tidak mengandung minyak

ikan lemuru. Peningkatan limfosit terlihat berbeda nyata (P<0.05) akibat diberi

ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dibandingkan dengan yang

diberi ransum yang tidak mengandung minyak ikan lemuru. Peningkatan limfosit

erat kaitannya dengan peranan organ limfoid dalam memproduksi sel limfosit (sel

B maupun sel T). Sel limfosit B adalah sel yang akan memproduksi antibodi.

Efek minyak ikan terhadap persentase sel limfoid dilaporkan oleh Huang et al.

(1992), melaporkan bahwa pada tikus yang tidak diinfeksi, pemberian asam

lemak n-3 PUFA yang tinggi dalam ransum (20 g minyak ikan/100 g ransum)

menghasilkan persentase sel T yang tertinggi, tetapi pada tikus yang diinfeksi

dengan Listeria, pemberian ransum ini menghasilkan persentase sel T terendah

dibandingkan dengan tikus yang diberi ransum yang mengandung minyak biji

bunga matahari dan minyak kelapa. Populasi sel B tidak dipengaruhi oleh

pemberian lemak pada tikus yang tidak diinfeksi, tetapi pemberian minyak ikan

menghasilkan persentase sel B tertinggi pada tikus yang diinfeksi.

Meningkatnya limfosit pada tingkat penggunaan minyak ikan lemuru 6 %,

ini menunjukkan peranan minyak ikan lemuru dalam meningkatkan kepekaan sel

B untuk membelah yang pada gilirannya meningkatkan limfosit. Peranan minyak

ikan lemuru pada tingkat 6 % sebagai imunomodulator selain didukung produksi

Page 16: Bab 4  2008dru-5.pdf

44

limfosit, didukung juga oleh meningkatnya titer antibodi pada vaksin ND yang

kedua. Pada tingkat penggunaan minyak ikan lemuru 3 % belum menunjukkan

efek imunomodulator, karena pada tingkat penggunaan minyak ikan lemuru 3 %

belum memperlihatkan peningkatan limfosit maupun titer antibodi. Ini

menunjukkan bahwa pada tingkat minyak ikan lemuru yang rendah belum

memperlihatkan efek imunomodulator, sebagaimana halnya yang dilaporkan oleh

Korver dan Klasing (1997), pada tingkat minyak ikan 2 % belum mampu

meningkatkan titer antibodi terhadap vaksin infectious bronchitis (IBV),

sedangkan Fristsche et al. (1991), tingkat penggunaan minyak ikan 7 % ternyata

mampu meningkatkan titer antibodi terhadap eritrosit domba.

Meskipun tingkat penggunaan minyak ikan lemuru mempengaruhi

persentase limfosit, tetapi tidak mempengaruhi persentase heterofil, demikian

juga suplementasi vitamin E belum mempengaruhi persentase heterofil. Heterofil

dan limfosit mempunyai peran penting dalam mempertahankan daya tahan tubuh

ayam terhadap penyakit. Tizard (1982), melaporkan bahwa heterofil memiliki

sediaan cadangan energi yang terbatas, yang tidak dapat diisi kembali, karena

itu walaupun heterofil sangat aktif setelah dilepas dari sumsum tulang, akan

menjadi cepat lelah dan hanya mampu berbuat sejumlah terbatas peristiwa

fagositosis, maka heterofil dapat dianggap sebagai garis pertahanan pertama

bagi ayam pada saat tubuh ayam terserang penyakit dan mengalami stress.

Heterofil sifatnya tidak mampu bertahan lama sehingga dianggap pertahanan

pertama, termasuk sistem fagositik mononuklir antara lain makrofag, sebagai

pertahanan selanjutnya adalah limfosit yang akan terangsang aktif untuk

mempertahankan tubuh hewan yang terserang penyakit.

PENELITIAN TAHAP II

Performans Sebelum dan Sesudah Ditantang Virus IBD atau ND Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum pengaruh perlakuan sebelum dan sesudah ditantang

virus IBD atau ND dapat dilihat pada Tabel 12. Konsumsi ransum sebelum

ditantang virus IBD atau ND yaitu pada umur 1 sampai 3 minggu menunjukkan

perbedaan nyata (P<0.05) antar perlakuan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh

perbedaan ransum. Konsumsi ransum akibat pemberian ransum yang tidak

mengandung minyak ikan lemuru nyata lebih rendah (P<0.05) dibandingkan

dengan konsumsi ransum yang mengandung minyak ikan lemuru 6 % dan

suplementasi vitamin E 200 ppm. Penelitian tahap pertama konsumsi ransum

Page 17: Bab 4  2008dru-5.pdf

Tabel 12. Konsumsi ransum sebelum dan sesudah uji tantang virus IBD atau ND Umur (minggu) 1-3* 3-4 4-5 5-6 3-6** Konsumsi

Ransum (g)

R9 non vaksin 1167 ± 33 a 790 ± 28 a 890 ± 24 a 996 ± 37 a 2676 ± 43 a R9 vaksin 1188 ± 55 a 780 ± 52 a 894 ± 20 a 1030 ± 83 a 2734 ± 183 a R9 non vaksin ND + tantang virus ND 1131 ± 40 ab 785 ± 117 a 904 ± 144 a 986 ± 64 a 2797 ± 336 a R9 vaksin + tantang virus ND 1178 ± 70 a 858 ± 55 a 807 ± 70 a 935 ± 123 a 2600 ± 174 a R1 vaksin + tantang virus ND 1070 ± 44 b 838 ± 14 a 898 ± 24 a 1022 ± 95 a 2798 ± 132 a R9 non vaksin IBD + tantang virus IBD 1188 ± 50 a 757 ± 104 a 900 ± 123 a 1070 ± 50 a 2727 ± 65 a R9 vaksin + tantang virus IBD 1149 ± 30 a 799 ± 18 a 885 ± 37 a 1035 ± 24 a 2719 ± 43 a R1 vaksin + tantang virus IBD 1085 ± 48 b 753 ± 51 a 850 ± 61 a 1086 ± 88 a 2769 ± 212 a Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6% minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E

* Konsumsi ransum sebelum uji tantang virus IBD atau ND ** Konsumsi ransum sesudah uji tantang virus IBD atau ND

Page 18: Bab 4  2008dru-5.pdf

46

antar perlakuan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, hal ini

disebabkan pada penelitian tahap pertama konsumsi ransum pemeliharaan

selama 6 minggu. Semakin lama ayam mengkonsumsi ransum yang

mengandung minyak ikan lemuru dan disuplementasi vitamin E, maka akumulasi

vitamin E maupun produksi peroksidasi dari minyak ikan lemuru semakin besar,

sehingga ayam membatasi konsumsi ransum. Ayam umur 1 sampai umur 3

minggu merupakan masa pertumbuhan yang tinggi dimana kebutuhan harus

ditunjang oleh kebutuhan nutrien yang cukup. Kebutuhan untuk ayam periode

starter (1-3 minggu) kebutuhan vitamin E untuk ayam broiler 30 ppm, sementara

untuk periode pertumbuhan 10 ppm (Piliang 2000). Pemberian vitamin E 200

ppm cukup untuk mencegah reaksi oksidasi yang diakibatkan oleh penambahan

minyak ikan lemuru 6 %, dan sisanya dibutuhkan untuk proses metabolisme

untuk pertumbuhan sehingga untuk mengatasi hal tersebut ayam harus

meningkatkan konsumsi ransum, karena secara fisiologis ayam mampu

mengatur kebutuhan nutrien dengan mengatur konsumsi ransum yang diatur

oleh sistem saraf pusat secara neurochemicals (Denbow 2000).

Konsumsi ransum pada periode selanjutnya, dari umur 3 sampai 6

minggu, yaitu sesudah ditantang virus IBD atau ND tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata. Kondisi ini seperti pada penelitian tahap pertama bahwa

konsumsi ransum selama periode pemeliharaan 42 hari antara pemberian

ransum yang tidak mengandung minyak ikan lemuru tidak berbeda nyata dengan

konsumsi ransum yang mengandung minyak ikan lemuru 6 % dan suplementasi

vitamin E 200 ppm. Ini menunjukkan bahwa ayam yang ditantang virus IBD

maupun ND tidak mempengaruhi konsumsi ransum.

Menurut Husband (1995), reaksi tubuh terhadap antigen selain

mengaktifkan sel-sel pertahanan juga meningkatkan aktivitas katabolisme,

sebagai upaya untuk menyediakan energi pada peradangan. Diantara senyawa

yang mudah dipecah untuk menghasilkan energi adalah glukosa terutama hasil

dari glikolisis. Dalam reaksi pertahanan karena aktivitas PGE2 terjadi

peningkatan proses glikolisis dan glikogenolisis (Schmidt et al. 1995; Lehninger

1991). Didalam sel hati kelebihan glukosa hasil glikolisis ditransportasikan ke

dalam darah. Karena di dalam sel-sel lain seperti otot juga terjadi glikolisis

menyebabkan di dalam darah tidak dapat masuk ke sel, sehingga konsentrasi

glukosa darah meningkat. Keadaan ini menyebabkan peningkatan gelombang

listrik pada pusat kenyang yang berada di nukleus ventro medial hipotalamus

Page 19: Bab 4  2008dru-5.pdf

47

dan dalam waktu bersamaan menurunkan gelombang listrik pada pusat makan

yang berada di dalam nuklei hipotalamus lateral (Guyton 1983). Kondisi ini

menyebabkan konsumsi ransum menurun. Kenyataan pada penelitian yang

dilakukan pada kelompok ayam yang ditantang virus IBD ataupun ND tidak

memberikan pengaruh terhadap konsumsi ransum. Hal ini disebabkan dalam

penelitian ini digunakan ransum yang mengandung 6 % minyak, dengan total

lemak ransum 8.21%. Asam lemak yang dikandung ransum di dalam tubuh

dioksidasi menjadi asetil Ko-A yang bersifat menghambat proses glikolisis pada

tahap perubahan fosfofenol piruvat menjadi piruvat (Lehninger 1991). Kondisi ini

yang menyebabkan peningkatan glukosa darah dapat dicegah, sehingga

konsumsi ransum dapat dipertahankan meskipun ayam ditantang dengan virus

ND ataupun IBD.

Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan pengaruh perlakuan sebelum dan sesudah

ditantang virus IBD atau ND dapat dilihat pada Tabel 13. Pertambahan bobot

badan sebelum ditantang virus IBD ataupun ND menunjukkan tidak berbeda

nyata antar perlakuan. Ini menunjukkan bahwa faktor ransum tidak

mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam seperti halnya pada penelitian

tahap pertama. Perbedaan pertambahan bobot badan antar perlakuan tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata pada umur 3 – 4 minggu yaitu setelah

ayam ditantang virus IBD, demikian juga pertambahan bobot badan pada umur

4 -5 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan yaitu

setelah ayam ditantang virus IBD ataupun ND. Ini menunjukkan bahwa uji

tantang virus IBD maupun ND belum mempengaruhi pertambahan bobot badan.

Perbedaan pertambahan bobot badan yang nyata (P<0.05) antar

perlakuan baru terlihat pada umur 5 – 6 minggu, sehingga secara kumulatif

pasca uji tantang virus IBD maupun ND yaitu dari umur 3 –6 minggu

memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antar perlakuan. Ayam umur 5

– 6 minggu pertambahan bobot badan yang tertinggi dicapai oleh kelompok

ayam yang tidak diuji tantang virus, diberi ransum yang mengandung minyak ikan

lemuru lemuru 6 % dan 200 ppm vitamin E, dan pemberian vaksin lengkap (ND

dan IBD). Pertambahan bobot badan pada kelompok ayam yang tidak di uji

tantang virus antara yang divaksin maupun yang tidak divaksin tidak

memperlihatkan perbedaan yang nyata. Pertambahan bobot badan kelompok

Page 20: Bab 4  2008dru-5.pdf

Tabel. 13. Pertambahan bobot badan sebelum dan sesudah uji tantang virus IBD atau ND Umur (minggu) 1-3* 3-4 4-5 5-6 3-6** Pbb (g)

R9 non vaksin 510 ± 85 a 382 ± 45 a 492 ± 37 a 431 ± 35 abc 1304 ± 84 ab R9 vaksin 543 ± 47 a 391 ± 15 a 482 ± 58 a 524 ± 75 a 1398 ± 139 a R9 non vaksin ND + tantang virus ND 458 ± 77 a 373 ± 103 a 391 ± 90 a 302 ± 99 d 1066 ± 230 c R9 vaksin + tantang virus ND 538 ± 19 a 423 ± 17 a 488 ± 60 a 361 ± 34 bcd 1272 ± 87 ab R1 vaksin + tantang virus ND 466 ± 35 a 457 ± 11 a 436 ± 55 a 310 ± 141 cd 1202 ± 53 bc R9 non vaksin IBD + tantang virus IBD 436 ± 48 a 345 ± 50 a 470 ± 95 a 443 ± 96 ab 1258 ± 10 abc R9 vaksin + tantang virus IBD 496 ± 47 a 363 ± 20 a 531 ± 11 a 433 ± 17 abc 1327 ± 40 abR1 vaksin + tantang virus IBD 497 ± 113 a 338 ± 59 a 425 ± 62 a 442 ± 50 ab 1206 ± 125 bc Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6% minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E

* Pertambahan bobot badan sebelum uji tantang virus IBD atau ND ** Pertambahan bobot badan sesudah uji tantang virus IBD atau ND

Page 21: Bab 4  2008dru-5.pdf

49

ayam yang tidak diuji tantang virus tetapi diberi vaksin nyata (P<0.05) lebih tinggi

bila dibandingkan dengan kelompok ayam yang diuji tantang virus ND, namun

dengan kelompok ayam yang di uji tantang virus IBD belum menunjukkan

perbedaan yang nyata.

Gambar 9. Grafik pertumbuhan ayam broiler pada berbagai perlakuan Keterangan :

(P1) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, tidak ditantang virus, tidak divaksin ND atupun IBD,

(P2) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, tidak ditantang virus, divaksin ND dan IBD

(P3) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus ND, tidak divaksin ND

(P4) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus ND, divaksin ND dan IBD

(P5) Diberi ransum 0 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E, ditantang virus ND, divaksin ND dan IBD

(P6) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, tidak divaksin IBD

(P7) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, divaksin ND dan IBD

(P8) Diberi ransum 0 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, divaksin ND dan IBD

Secara kumulatif dari umur 3 sampai umur 6 minggu penggunaan 6 %

minyak ikan lemuru dan suplementasi 200 ppm vitamin E dalam ransum ternyata

memberikan dampak positif dalam mengurangi hambatan pertambahan bobot

badan akibat uji tantang virus ND maupun IBD (lihat Gambar 10). Pertambahan

bobot badan kelompok ayam yang ditantang virus ND dan diberi ransum 0 %

minyak ikan lemuru, tidak suplementasi vitamin E, dan divaksin lengkap nyata

lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan pada kelompok ayam yang tidak

Page 22: Bab 4  2008dru-5.pdf

50

ditantang virus dan diberi vaksin lengkap. Kondisi yang sama dialami juga pada

pertambahan bobot badan kelompok ayam yang ditantang virus IBD, diberi

ransum 0 % minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E, dan divaksin

lengkap nyata lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan pada kelompok ayam

yang tidak ditantang virus dan diberi vaksin lengkap. Kondisi ini tidak terjadi

pada pertambahan bobot badan kelompok ayam yang ditantang virus IBD

maupun ND, apabila ayam tersebut diberi ransum yang mengandung 6 %

minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E, dan diberi vaksin

lengkap tidak menunjukkan perbedaan yang nyata bila dibandingakan dengan

kelompok ayam yang tidak ditantang virus

Gambar 10. Grafik pertambahan bobot badan kumulatif pasca uji tantang virus ND atau

IBD. Keterangan :

(P1) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, tidak ditantang virus, tidak divaksin ND atupun IBD,

(P2) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, tidak ditantang virus, divaksin ND dan IBD

(P3) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus ND, tidak divaksin ND

(P4) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus ND, divaksin ND dan IBD

(P5) Diberi ransum 0 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E, ditantang virus ND, divaksin ND dan IBD

(P6) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, tidak divaksin IBD

(P7) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, divaksin ND dan IBD

(P8) Diberi ransum 0 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, divaksin ND dan IBD

Page 23: Bab 4  2008dru-5.pdf

51

Peranan minyak ikan lemuru dalam mengurangi hambatan pertambahan

bobot badan akibat uji tantang virus IBD ataupun ND, erat kaitannya pada

kandungan asam lemak n-3 pada ransum. Minyak ikan lemuru mengandung

asam lemak n-3 berupa LNA, EPA dan DHA. Asam lemak n-3 mampu

mengurangi peradangan sebagai dampak dari infeksi. Dampak dari respon

peradangan akibat sistem pertahanan tubuh terhadap antigen ditandai dengan

menurunnya pertumbuhan protein otot, meningkatkan kecepatan metabolik, dan

sintesis protein fase akut (Klasing & Korver 1997) .

EPA akan dimetabolisme lebih lanjut menghasilkan senyawa eicosanoid

prostaglandin seri tiga diantaranya adalah PGE3 dan leukotrine B5, yang bersifat

anti radang dalam mengadakan sistem pertahanan tubuh ( Beaur 1993). Asam

lemak ini berlawanan dengan asam lemak n-6 yang bersifat radang, dimana

dalam sistem pertahanan tubuhnya menghasilkan senyawa eicosanoid

prostaglandin E seri 2 dan leukotrine B5. Perbandingan n-3:n-6 PUFA lebih

penting dalam mengatur biosintesis eicosanoid dari pada konsentrasi n-3 PUFA

dalam ransum (Boudreau et al. 1991; Broughton et al. 1991). Penambahan

minyak ikan lemuru 6 % dalam ransum penelitian menghasilkan imbangan

LNA/LA 0.15 dan imbangan asam lemak n-3 /n-6 total 0.56, sedangkan yang

tidak mengandung minyak ikan lemuru menghasilkan imbangan yang lebih

rendah yakni 0.05 baik untuk imbangan LNA/LA maupun imbangan asam lemak

n-3 /n-6 total. Imbangan asam lemak tersebut dapat mempengaruhi proses

metabolisme dalam tubuh ayam. Semakin besar nilai imbangan LNA/LA

semakin kecil kesempatan LA untuk dimetabolisme lebih lanjut menjadi AA,

tetapi mempermudah jalannya metabolisme LNA menjadi EPA. Hal ini

dikarenakan enzim yang bekerja sebagai katalis dalam metabolisme tersebut

adalah sama (Leece & Allman 1996; BNF 1994 ; Rusmana 2000). Pada

gilirannya makin tinggi imbangan asam lemak n-3 /n-6 total, dampak

penghambatan pertambahan bobot badan akibat respon peradangan dari ayam

yang ditantang virus IBD atau ND menjadi rendah

Konversi Ransum Konversi ransum pengaruh perlakuan sebelum dan sesudah ditantang

virus IBD atau ND dapat dilihat pada Tabel 14. Konversi ransum sebelum

ditantang virus ND maupun IBD menunjukan tidak berbeda nyata antar

perlakuan. Ini menunjukkan bahwa faktor ransum dan vaksinasi tidak

Page 24: Bab 4  2008dru-5.pdf

52

mempengaruhi konversi ransum. Seperti halnya pada penelitian tahap pertama

bahwa konversi ransum antara ayam yang diberi ransum yang mengandung

minyak ikan lemuru 6 % dan disuplementasi vitamin E 200 ppm dengan

yang tidak mengandung minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Konversi ransum mulai dipengaruhi oleh uji tantang virus IBD pada umur

3 – 4 minggu. Konversi ransum tertinggi dicapai oleh kelompok ayam yang diberi

ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm

vitamin E, ditantang virus IBD, tetapi tidak divaksin IBD. Konversi ransum dari

kelompok ayam yang diberi perlakuan tersebut nyata (P<0.05) lebih tinggi

dibanding kelompok ayam yang tidak ditantang virus dan divaksin. Konversi

ransum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kelompok yang

ditantang virus IBD dan yang tidak ditantang virus apabila ayam yang ditantang

virus tersebut diberi vaksin IBD. Ini menunjukkan bahwa ayam sudah mulai

mengalami respon peradangan, dimana efisiensi ransum yang diberikan

menurun, energi ransum yang dikonsumsi tidak sepenuhnya digunakan untuk

pertumbuhan.

Perbedaan konversi ransum yang tidak nyata akibat uji tantang virus IBD

ditunjukkan saat ayam umur 4-5 minggu dan umur 5 - 6 minggu. Ini

menunjukkan bahwa ayam sudah dapat mengatasi permasalahan peradangan

akibat uji tantang virus IBD, artinya ayam sudah mulai pulih kembali.

Dampak uji tantang virus ND terhadap konversi ransum mulai pada umur

4 – 5 minggu ( lima hari setelah infeksi ND). Uji tantang virus ND, yang tidak

divaksin pada kelompok ayam diberi ransum yang mengandung 6 % minyak ikan

lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E, menunjukkan konversi ransum

yang tertinggi dan nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok

ayam yang tidak ditantang virus. Konversi ransum pada ayam yang ditantang

virus ND, namun diberi vaksin baik yang diberi ransum yang mengandung 6 %

minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E, maupun yang tidak

mengandung minyak ikan lemuru tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

dibandingkan dengan kelompok yang tidak ditantang virus. Ini menunjukkan

peranan pemberian vaksin dalam mengurangi dampak patogenitas akibat virus

ND.

Page 25: Bab 4  2008dru-5.pdf

Tabel 14. Konversi ransum sebelum dan sesudah uji tantang virus IBD atau ND Umur (minggu) 1-3* 3-4 4-5 5-6 3-6** Konversi Ransum

R9 non vaksin 2.12 ± 0.27 a 2.09 ± 0.22 abc 1.82 ± 0.18 b 2.32 ± 0.11 bc 2.06 ± 0.10 bc R9 vaksin 2.02 ± 0.12 a 2.00 ± 0.08 bc 1.93 ± 0.12 b 1.98 ± 0.12 c 1.96 ± 0.07 c R9 non vaksin ND + tantang virus ND 2.26 ± 0.34 a 2.16 ± 0.30 abc 2.65 ± 0.62 a 3.61 ± 1.39 a 2.68 ± 0.37 a R9 vaksin + tantang virus ND 2.01 ± 0.11 a 1.88 ± 0.15 c 1.89 ± 0.37 b 3.07 ± 0.12 ab 2.16 ± 0.13 bc R1 vaksin + tantang virus ND 2.08 ± 0.08 a 1.98 ± 0.05 bc 1.94 ± 0.17 ab 3.09 ± 1.04 ab 2.21 ± 0.20 bc R9 non vaksin IBD + tantang virus IBD 2.37 ± 0.10 a 2.33 ± 0.19 a 2.20 ± 0.36 b 2.56 ± 0.58 bc 2.06 ± 0.10 bc R9 vaksin + tantang virus IBD 2.18 ± 0.20 a 2.09 ± 0.15 abc 1.73 ± 0.21 b 2.34 ± 0.10 bc 2.16 ± 0.04 bcR1 vaksin + tantang virus IBD 2.04 ± 0.40 a 2.25 ± 0.23 ab 2.21 ± 0.28 ab 2.48 ± 0.37 bc 2.31 ± 0.20 b Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6% minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E

* Konversi ransum sebelum uji tantang virus IBD atau ND ** Konversi ransum sesudah uji tantang virus IBD atau ND

Page 26: Bab 4  2008dru-5.pdf

54

Dampak uji tantang virus ND terhadap konversi ransum berlanjut terus

pada umur 5 –6 minggu. Uji tantang virus ND pada kelompok ayam yang diberi

vaksin baik yang diberi ransum ransum yang mengandung 6 % minyak ikan

lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E, maupun yang tidak mengandung

minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E menunjukkan konversi

ransum yang nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang tidak

ditantang virus dan diberi vaksin.

Gambar 11. Grafik konversi ransum pasca uji tantang virus ND atau IBD. Keterangan :

(P1) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, tidak ditantang virus, tidak divaksin ND atupun IBD,

(P2) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, tidak ditantang virus, divaksin ND dan IBD

(P3) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus ND, tidak divaksin ND

(P4) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus ND, divaksin ND dan IBD

(P5) Diberi ransum 0 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E, ditantang virus ND, divaksin ND dan IBD

(P6) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, tidak divaksin IBD

(P7) Diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, divaksin ND dan IBD

(P8) Diberi ransum 0 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E, ditantang virus IBD, divaksin ND dan IBD

Peranan pemberian ransum dalam mengurangi permasalahan

peradangan akibat uji tantang virus dapat dilihat dari konversi ransum pasca uji

Page 27: Bab 4  2008dru-5.pdf

55

tantang virus IBD dari umur 3 sampai umur 6 minggu. Uji tantang virus IBD pada

kelompok ayam yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru dan suplementasi

vitamin E menunjukkan konversi ransum yang nyata (P<0.05) lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak diuji tantang virus dan diberi

vaksin. Uji tantang virus IBD pada kelompok ayam diberi ransum yang

mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan suplementasi 200 ppm vitamin E ,

baik yang diberi vaksin maupun tidak , tidak memberikan pengaruh yang nyata

bila dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus IBD dan

diberi vaksin.

Menurut Klasing & Korver (1997) dampak dari respon peradangan akibat

sistem pertahanan tubuh terhadap antigen ditandai dengan meningkatnya

kecepatan metabolik. Reaksi tubuh terhadap antigen selain mengaktifkan sel-sel

pertahanan juga meningkatkan aktifitas katabolisme, sebagai upaya untuk

menyediakan energi pada peradangan (Husband 1995). Dalam reaksi

pertahanan karena aktivitas PGE2 terjadi proses glikolisis dan glikogenolisis

(Schmidt et al. 1995; Lehninger 1991). Pada penelitian yang dilakukan berupa uji

tantang virus IBD atau ND tidak menunjukkan pengaruh terhadap konsumsi

ransum namun memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan.

Pengaruh terhadap pertambahan bobot badan inilah yang menyebabkan

perbedaan nilai konversi pakan. Tingginya nilai konversi pakan pada kelompok

ayam yang ditantang virus ND maupun IBD menunjukkan bahwa sebagian energi

ransum yang dikonsumsi digunakan untuk menyediakan energi peradangan,

sehingga pertumbuhan jaringan terganggu. Dampak peradangan dengan

meningkatnya konversi ransum dapat dikurangi pada ayam yang diberi ransum

yang mengandung minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E.

Penambahan minyak ikan dalam ransum ayam dapat meningkatkan imbangan

asam lemak n-3 terhadap asam lemak n-6 (Rusmana 2000). Peningkatan

imbangan asam lemak n-3 terhadap asam lemak n-6 dapat menekan

pembentukan PGE2 akibat sistem pertahanan tubuh terhadap antigen.

Berat Relatif Organ Limfoid Berat Relatif Bursa Fabricius

Berat relatif bursa Fabricius sebelum dan sesudah ditantang virus IBD

atau ND dapat dilihat pada Tabel 15. Sebelum ditantang virus IBD atau ND berat

relatif organ bursa Fabricius antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang

Page 28: Bab 4  2008dru-5.pdf

56

nyata, walaupun terlihat bahwa kelompok ayam yang diberi ransum yang tidak

mengandung minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E

memperlihatkan berat relatif bursa Fabricius yang paling rendah dibandingkan

dengan kelompok ayam yang diberi ransum yang mengandung 6 % minyak ikan

lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E.

Tabel 15. Berat relatif bursa Fabricius sebelum dan sesudah ditantang virus ND atau IBD

Umur (minggu) 2* 4** 5** 6** Berat relatif

(10-3)bursa Fabricius ***

R9 non vaksin 2.95 ± 1.00 a 0.98 ± 0.48 b 0.60 ± 0.09 c 0.55 ± 0.21 aR9 vaksin 2.72 ± 0.24 a 1.02 ± 0.59 b 0.75 ± 0.10 c 0.63 ± 0.11 aR9 non vaksin ND+tantang ND 5.40 ± 3.47 a 2.20 ± 1.36 ab 1.92 ± 0.63 ab 0.91 ± 0.37 aR9 vaksin + tantang ND 2.91 ± 1.06 a 1.55 ± 0.86 ab 2.76 ± 1.17 a 0.77 ± 0.26 aR1 vaksin + tantang ND 2.27 ± 0.40 a 2.16 ± 1.08 ab 2.35 ± 0.58 a 0.54 ± 0.31 aR9 non vaksin IBD+tantang IBD 2.64 ± 1.28 a 2.25 ± 0.79 ab 0.54 ± 0.16 c 0.53 ± 0.11 aR9 vaksin+tantang IBD 2.64 ± 0.38 a 2.46 ± 0.27 a 0.68 ± 0.21 c 0.52 ± 0.17 aR1 vaksin+tantang IBD 1.69 ± 0.82 a 2.45 ± 0.28 a 1.05 ± 0.71 bc 0.49 ± 0.13 a

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuple-

mentasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi

vitamin E * Berat relatif bursa Fabricius sebelum ditantang virus ** Berat relatif bursa Fabricius sesudah ditantang virus

Berat bursa Fabricius (g) Bobot Badan (g)

Berat relatif bursa Fabricius mulai menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0.05) setelah ada kelompok ayam yang ditantang virus IBD atau ND. Respon

uji tantang virus IBD terhadap berat relatif bursa Fabricius terlihat pada umur 4

minggu (empat hari setelah dtantang virus IBD). Berat relatif bursa Fabricius

kelompok ayam yang ditantang virus IBD baik yang diberi ransum yang

mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E

maupun yang tidak mengandung minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi

vitamin E dan diberi vaksin menunjukkan nyata lebih besar (P<0.05) di

bandingkan dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus. Kelompok ayam

yang ditantang virus IBD tetapi tidak divaksin meskipun lebih berat dibandingkan

***Berat relatif bursa Fabricius =

Page 29: Bab 4  2008dru-5.pdf

57

dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus tetapi tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata

Respon uji tantang virus ND terhadap berat relatif bursa Fabricius terlihat

pada umur lima minggu (lima hari setelah ditantang virus ND). Berat relatif bursa

Fabricius kelompok ayam yang di tantang virus ND baik yang diberi ransum yang

mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E

maupun yang tidak mengandung minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi

vitamin E menunjukkan nyata lebih besar (P<0.05) di bandingkan dengan

kelompok ayam yang tidak ditantang virus.

Bertambah besarnya berat relatif bursa Fabricius pada kelompok ayam

yang dtantang virus sebagai respon tanggap kebal terhadap antigen, mengingat

bursa Fabricius sebagai organ limfoid primer maupun sekunder. Sebagai organ

limfoid primer bursa Fabricius berfungsi tempat pendewasaan dan diferensiasi

bagi sel dari sistem pembentuk antibodi, yang disebut sel B. Sebagai organ

limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi.

Organ limfoid ini responsif terhadap stimulasi antigenik dan akan kurang

berkembang pada hewan yang bebas hama (Tizard 1982).

Pemberian vaksin berperan juga dalam meningkatkan respon berat relatif

bursa Fabricius dari ayam yang ditantang virus. Pada ayam yang ditantang virus

ND namun tidak diberi vaksin ND memperlihatkan respon berat relatif bursa

Fabricius yang lebih rendah dibanding yang divaksin ND. Disini vaksin berperan

sebagai stimulasi antigenik pada organ limfoid.

Pengaruh uji tantang virus ND dan yang diuji tantang virus ND terhadap

berat relatif bursa Fabricius pada umur 6 minggu, dari kelompok ayam yang

diberi ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi

200 ppm vitamin E lebih besar dibandingkan dengan yang diberi ransum yang

tidak mengandung minyak ikan lemuru, tetapi belum memperlihatkan perbedaan

yang nyata. Peran ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan

disuplementasi 200 ppm vitamin E dalam meningkatkan respon berat relatif

organ limfoid baru terlihat nyata pada berat relatif limpa

Berat Relatif Limpa Berat relatif limpa pengaruh perlakuan sebelum dan sesudah ditantang

virus IBD atau ND dapat dilihat pada Tabel 16. Sebagaimana halnya organ

limfoid bursa Fabricius, perbedaan berat relatif limpa antar perlakuan ditunjukkan

Page 30: Bab 4  2008dru-5.pdf

58

setelah ternak ditantang virus. Respon berat relatif limpa akibat ditantang virus

baru terlihat nyata pada umur lima minggu untuk uji tantang virus ND, namun

untuk uji tantang virus IBD meskipun rataan berat relatif limpa lebih besar

dibandingkan dengan rataan berat relatif limpa dari kelompok ayam yang tidak

ditantang virus belum memperlihatkan perbedaan yang nyata .

Tabel 16. Berat relatif limpa sebelum dan sesudah uji tantang virus IBD atau ND

Umur (minggu) 2* 4** 5** 6**

Berat relatif(10-3)

limpa ***

R9 non vaksin 0.88 ± 0.37 a 1.55 ± 0.33 a 0.99 ± 0.29 b 1.05 ± 0.40 bR9 vaksin 0.83 ± 0.48 a 1.34 ± 0.34 a 1.02 ± 0.14 b 0.92 ± 0.11 b R9 non vaksin ND+tantang ND 1.21 ± 0.72 a 1.04 ± 0.07 a 1.48 ± 0.88 ab 1.46 ± 0.50 ab R9 vaksin + tantang ND 0.73 ± 0.31 a 1.16 ± 0.27 a 2.05 ± 0.22 a 2.38 ± 0.36 aR1 vaksin + tantang ND 0.97 ± 0.27 a 1.31 ± 0.22 a 1.59 ± 0.46 ab 1.12 ± 0.38 b R9 non vaksin IBD+tantang IBD 1.08 ± 0.68 a 1.54 ± 0.45 a 1.03 ± 0.43 b 1.59 ± 0.81 a R9 vaksin+tantang IBD 1.00 ± 0.18 a 1.74 ± 0.52 a 1.21 ± 0.15 b 2.33 ± 1.33 aR1 vaksin+tantang IBD 1.15 ± 0.44 a 1.55 ± 0.40 a 1.62 ± 0.46 ab 1.12 ± 0.19 b

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuple-

mentasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi

vitamin E * Berat limpa sebelum ditantang virus ** Berat limpa sesudah ditantang virus

Berat limpa(g) Bobot Badan (g)

Umur lima minggu dan umur enam minggu respon berat relatif limpa

akibat ditantang virus ND diperlihatkan pada kelompok ayam yang diberi ransum

yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin

E dan diberi vaksin. Respon berat relatif limpa akibat ditantang virus IBD pada

kelompok ayam yang diberi ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru

dan disuplementasi 200 ppm vitamin E dan diberi vaksin baru terlihat pada umur

enam minggu. Respon berat relatif limpa akibat ditantang virus IBD atau ND tidak

diperlihatkan pada kelompok ayam yang diberi ransum yang mengandung 6 %

minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E tetapi tidak divaksin.

Ini menunjukkan bahwa pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan

lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E dan pemberian vaksin

***Berat relatif limpa =

Page 31: Bab 4  2008dru-5.pdf

59

memberikan peran dalam meningkatkan respon berat relatif limpa terhadap

antigen. Menurut Tizard (1982), bahwa limpa responsif terhadap stimulasi

antigen dan karena itu kurang berkembang pada hewan bebas hama, dengan

demikian bila ada serangan penyakit maka perkembangannya akan lebih pesat.

Berat relatif limpa pasca uji tantang IBD atau ND pada umur enam

minggu kelompok ayam yang diberi ransum yang mengandung 6 % minyak ikan

lemuru dan disuplemetasi 200 ppm vitamin E menunjukkan nilai lebih (P<0.05)

besar dibandingkan dengan kelompok ayam yang diberi ransum yang tidak

mengandung minyak ikan lemuru dan tidak disuplemetasi vitamin E. Ini

menunjukkan bahwa ransum yang mengandung minyak ikan lemuru dan

disuplementasi vitamin E meningkatkan respon organ limpa terhadap uji tantang

virus ND atau IBD. Meningkatnya berat relatif organ limpa ini erat kaitannya

dalam menghasilkan limfosit dan antibodi. Pada penelitian tahap pertama

menunjukkan bahwa pada ayam yang diberi minyak ikan lemuru akan

menghasilkan limfosit dan antibodi yang lebih banyak dibanding ayam yang

diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru. Menurut Huang et al (1992), pemberian

minyak ikan meningkatkan populasi sel limfosit B pada tikus yang ditantang

Listeria. Penambahan minyak ikan dalam makanan pada hewan dapat

meningkatkan humoral immunity dan memperbaiki penekanan respon sel imun

oleh PGE2 (Fritsche et al. 1992; Schmidt et al. 1991). Pemberian ransum yang

mengandung minyak ikan akan meningkatkan PUFA n-3 pada membrane sel

imun yang kaya akan menekan pelepasan PUFA n-6 menjadi PGE2 (Billiar et al.

1988; Prescott 1984)

Berat Relatif Timus Berat relatif timus pengaruh perlakuan sebelum dan sesudah ditantang

virus IBD atau ND dapat dilihat pada Tabel 17. Berat relatif timus antar

perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata baik sebelum maupun

setelah ditantang virus.

Menurut Tizard (1982), fungsi timus tidak diketahui karena tidak adanya

akibat yang segera nyata bila timus pada hewan dewasa dibuang, tetapi bila

hewan tersebut dipelihara beberapa bulan sesudah operasi, terjadi penurunan

progresif jumlah limfosit yang beredar dan berkurangnya kemampuan limfosit

untuk menimbulkan tanggap kebal berperantara sel, maupun yang diperantarai

antibodi tetapi hanya terbatas. Timus pada hewan yang baru lahir berfungsi

Page 32: Bab 4  2008dru-5.pdf

60

sebagai sumber dari banyak limfosit darah yang beredar. Limfosit ini disebut

limfosit asal timus atau sel T. Limfosit asal timus ini sebenarnya berasal dari

sumsum tulang tetapi diproses di dalam timus sesudah tertarik oleh hormon yang

disekresi oleh sel epiteliel timus. Begitu di dalam timus limfosit ini sangat cepat

membelah diri. Pembelahan ini menurut Tizard (1982), tidak dipengaruhi oleh

adanya antigen, sehingga terlihat pada Tabel 22. bahwa uji tantang virus IBD

maupun ND tidak mempengaruhi berat timus. Pada ayam umur empat, lima dan

enam minggu berat relatif timus tidak berbeda nyata antar perlakuan .

Tabel 17. Berat relatif timus sebelum dan sesudah uji tantang virus IBD atau ND

Umur

(minggu)

2 4 5 6 Berat relatif

(10-3)timus ***

R9. Non Vaksin 5.66 ± 1.7 a 3.24 ± 1.04 a 4.97 ± 1.82 a 2.80 ± 0.89 a R9. Vaksin 3.52 ± 0.8 a 3.62 ± 1.57 a 3.66 ± 2.71 a 5.41 ± 1.53 a R9. Non Vaksin ND + infeksi ND 2.53 ± 1.5 a 3.25 ± 1.14 a 3.22 ± 1.70 a 3.26 ± 1.26 a R9. Vaksin + infeksi ND 3.32 ± 2.4 a 5.77 ± 1.49 a 4.12 ± 1.57 a 2.79 ± 1.19 a R1. Vaksin + infeksi ND 0.95 ± 0.5 a 5.93 ± 1.07 a 4.39 ± 0.42 a 3.03 ± 0.77 a R9. Non Vaksin IBD + infeksi IBD 2.51 ± 2.6 a 4.65 ± 0.90 a 3.75 ± 1.38 a 4.17 ± 1.24 a R9. Vaksin + infeksi IBD 2.89 ± 1.7 a 3.55 ± 2.06 a 3.61 ± 1.61 a 4.08 ± 1.26 a R1. Vaksin + infeksi IBD 2.49 ± 1.3 a 3.66 ± 1.71 a 3.86 ± 0.74 a 4.35 ± 1.06 a

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuple-

mentasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi

vitamin E * Berat relatif timus sebelum ditantang virus ** Berat relatif timus sesudah ditantang virus

Berat limpa(g) Bobot Badan (g)

Berat relatif timus kelompok ayam yang dinfeksi antara ayam yang diberi

ransum minyak ikan lemuru dengan diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini sama dengan temuan yang

diperoleh peneliti sebelumnya Fritsche dan Cassety (1992) dan Suharsono

(1997), bahwa asam lemak n-3 yang diwakili oleh eikosapentaenoat tidak

mempengaruhi perkembangan jaringan timus yang ditantang virus.

***Berat relatif timus =

Page 33: Bab 4  2008dru-5.pdf

61

Skor Lesio Histopatologi Organ Limfoid Skor Lesio Histopatologi Bursa Fabricius

Lesio yang ditemukan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13,

lesio dapat berupa vakuolisasi, deplesi sel-sel limfosit, oedema dan degenerasi

sel lemak. Lesio yang berat dapat menyebabkan imunosupresif. Perbedaan

rataan skor lesio histopatologi antar perlakuan dan perubahan sebelum dan

sesudah ditantang virus IBD ataupun ND dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Skor lesio histopatologi bursa Fabricius

Umur

(minggu) 2* 4** 5** 6** R9 non vaksin 0 1.00 ± 0.00 bc 1.00 ± 0.00 b 1.00 ± 0.00 b R9 vaksin 0 1.00 ± 0.00 bc 1.00 ± 1.41 b 1.00 ± 0.82 b R9 non vaksin ND+tantang ND 0 1.00 ± 0.82 bc 2.25 ± 0.96 ab 2.00 ± 0.82 a R9 vaksin + tantang ND 0 0.50 ± 0.58 c 1.75 ± 0.96 ab 2.00 ± 0.82 a R1 vaksin + tantang ND 0 1.33 ± 0.58 abc 2.00 ± 1.00 ab 2.67 ± 0.58 a R9 non vaksin IBD+tantang IBD 0 2.00 ± 0.00 a 2.50 ± 0.58 a 2.00 ± 0.82 a R9 vaksin+tantang IBD 0 0.80 ± 0.50 c 1.50 ± 0.58 ab 1.00 ± 0.00 b R1 vaksin+tantang IBD 0 1.70 ± 0.58 ab 1.00 ± 0.00 b 2.00 ± 0.00 a

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Skor 0 : Plika utuh, limfonodulus berukuran normal tidak ada kerusakan Skor 1 : Vakuolisasi pada plika, deplesi ringan pada limfonodulus Skor 2 : Kerusakan ringan pada plika, deplesi agak berat pada

Limfonodulus Skor 3 : Nekrosa pada plika, deplesi berat pada limfonodulus Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuple-

mentasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi

vitamin E * Skor lesio sebelum ditantang virus; ** Skor lesio sesudah ditantang virus

Umur 2 minggu yaitu sebelum ayam ditantang virus belum menunjukkan

adanya lesio pada bursa Fabricius. Lesio dari bursa Fabricius mulai terjadi pada

umur 4 minggu. Lesio ditunjukkan oleh adanya deplesi limfonodulus dengan

adanya degenerasi sel-sel lemak dan vakuolisasi ringan pada plika. Skor lesio

tertinggi dicapai oleh kelompok ayam yang yang ditantang virus IBD, yaitu pada

kelompok ayam yang diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan

disuplementasi 200 ppm vitamin E tetapi tidak diberi vaksin IBD, Lesio pada

perlakuan tersebut ditemukan adanya vakuolisasi besar yang meliputi satu

limfonodulus. Rataan skor lesio yang dicapai oleh kelompok ayam tersebut

adalah 2, skor tersebut nyata (P<0.05) lebih tinggi bila dibandingkan dengan

Page 34: Bab 4  2008dru-5.pdf

62

kelompok ayam yang tidak ditantang virus. Uji tantang virus IBD kelompok ayam

yang diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan disuplementasi

200 ppm vitamin E dan diberi vaksin IBD menunjukkan rataan skor lesio yang

nyata (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan kedua kelompok ayam lainnya

yang di uji tantang virus IBD, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus. Hal ini

menunjukkan peranan pemberian vaksin dan ransum yang mengandung minyak

ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam mengurangi deplesi limfonodulus

akibat uji tantang virus IBD.

1

2

Gambar 12. Fotomikrograf bursa Fabricius ayam (1) diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, divaksin ditantang virus ND (Pembesaran objektif 4 X); (2) diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E, divaksin, ditantang virus ND (12 hari setelah infeksi) limfonodulus terjadi deplesi berat. (Pembesaran objektif 4 x)

1

2

Gambar 13. Fotomikrograf bursa Fabricius ayam (1) diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, divaksin , ditantang virus IBD (18 hari setelah infeksi) plika utuh, limfonodulus tidak terjadi deplesi (pembesaran objektif 4 X); (2) diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E ,divaksin dan ditantang virus IBD (18 hari setelah infeksi), tanda adanya oedema. (Pembesaran objektif 4 x). Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Page 35: Bab 4  2008dru-5.pdf

63

Umur 5 minggu skor lesio kelompok ayam yang ditantang virus IBD yang

diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan disuplementasi 200

ppm vitamin E dan tidak diberi vaksin terus meningkat, rataan skor lesio

mencapai 2.50 nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ayam

yang tidak ditantang virus IBD. Tidak demikian halnya dengan uji tantang virus

IBD pada kelompok ayam yang diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan

lemuru, dan disuplementasi 200 ppm vitamin E ataupun diberi ransum yang tidak

mengandung minyak ikan lemuru namun diberi vaksin rataan skor lesio tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan kelompok ayam yang

tidak ditantang virus IBD. Pada umur ini menunjukkan peranan vaksin dalam

mengurangi deplesi limfonodulus akibat ditantang virus IBD.

Penurunan rataan skor lesio terjadi pada umur 6 minggu pada kelompok

ayam yang ditantang virus IBD, divaksin dan diberi ransum yang mengandung 6

% minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E mencapai skor 1,

skor tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan

rataan skor lesio pada kelompok ayam yang tidak ditantang virus. Peningkatan

skor lesio justru terjadi pada kelompok ayam ditantang virus IBD yang diberi

ransum yang tidak mengandung minyak ikan lemuru meskipun diberi vaksin

mencapai skor 2, nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok

ayam yang tidak ditantang virus IBD. Hal ini menunjukkan peranan ransum yang

mengandung minyak ikan lemuru yang suplementasi vitamin E dan pemberian

vaksin dalam pemulihan lesio bursa fabricius akibat infeksi IBD.

Seperti halnya pada kelompok ayam yang ditantang virus IBD, kelompok

ayam yang ditantang virus ND terjadi peningkatan skor lesio pasca infeksi yaitu

pada umur 5 minggu. Skor lesio pada kelompok ayam yang ditantang virus ND

tertinggi dicapai oleh kelompok ayam yang diberi ransum mengandung 6 %

minyak ikan lemuru, dan disuplementasi 200 ppm vitamin E tetapi tidak diberi

vaksin, dan kelompok ayam yang diberi ransum yang tidak mengandung minyak

ikan lemuru meskipun telah diberi vaksin. Namun skor tersebut belum

menunjukkan perbedaan yang nyata bila dibandingkan dengan kelompok ayam

yang tidak ditantang virus.

Perbedaan yang nyata (P<0.05) ditunjukkan oleh kelompok ayam yang

ditantang virus ND dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak ditantang

virus pada umur 6 minggu. Rataan skor lesio tiga kelompok ayam yang

ditantang virus ND, nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok

Page 36: Bab 4  2008dru-5.pdf

64

ayam yang tidak ditantang virus. Skor lesio diantara ketiga kelompok ayam yang

dinfeksi tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, meskipun skor lesio

yang dicapai kelompok ayam yang diberi ransum yang tidak mengandung minyak

ikan lemuru dan diberi vaksin mencapai 2.67 sementara skor kelompok lainnya

lebih rendah yakni mencapai 2.

Peranan minyak ikan lemuru dalam upaya mengurangi lesio bursa

Fabricius berupa deplesi limfonodulus, tidak terlepas dari peran bursa Fabricius

sebagai organ limfoid primer maupun sekunder. Sebagai organ limfoid primer

bursa fabricius berfungsi tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari

sistem pembentuk antibodi, yang disebut sel B. Sebagai organ limfoid sekunder

yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi. Organ limfoid ini

responsif terhadap stimulasi antigenik dan akan kurang berkembang pada

hewan yang bebas hama (Tizard 1982). Minyak ikan lemuru dalam hal ini asam

lemak n-3 yang dikandungnya dapat meningkatkan sel limfosit, dan peran asam

lemak n-3 dalam menekan asam lemak n-6 dimetabolisir lebih lanjut menjadi

PGE2, sehingga dampak imunosupresif dari sel imune dapat dicegah (Billiar et

al. 1988; Prescott 1984; Huang et al. 1992; Fritsche et al. 1992; Schmidt et al.

1991)

Skor Lesio Histopatologi Limpa Lesio yang ditemukan pada organ limpa adalah dimulai dengan adanya

deplesi ringan dari limfonodulus oleh berkurangnya sel-sel limfosit, adanya sel-

sel radang, kongesti, sampai pada deplesi berat berupa pengecilan area pulpa

putih. Skor lesio yang tinggi dari organ limpa ditunjukkan pula dengan adanya

kongesti yang menyebar pada pulpa merah. Kongesti tampak parah pada

kelompok ayam yang ditantang virus ND, tidak divaksin dan diberi ransum

mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan disuplementasi 200 ppm vitamin E

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16. Kondisi ini ditemukan pula pada

kelompok ayam yang ditantang virus ND, divaksin dan diberi ransum yang tidak

mengandung minyak ikan lemuru. Perbedaan rataan skor lesio histopatologi

antar perlakuan dan perubahan sebelum dan sesudah ditantang virus IBD atau

ND dapat dilihat pada Tabel 19.

Page 37: Bab 4  2008dru-5.pdf

65

Tabel 19. Skor lesio histopatologi limpa

Umur (minggu) 2 4 5 6 R9 non vaksin 0 0.50 ± 0.08 a 0.50 ± 0.18 c 0.45 ± 0.44 c R9 vaksin 0 0.87 ± 0.15 a 0.83 ± 0.42 c 0.38 ± 0.17 c R9 non vaksin ND+tantang ND 0 0.38 ± 0.19 a 2.00 ± 0.94 ab 1.85 ± 1.06 ab R9 vaksin + tantang ND 0 0.63 ± 0.21 a 0.75 ± 0.85 c 0.85 ± 0.47 bcR1 vaksin + tantang ND 0 0.63 ± 0.14 a 2.10 ± 0.87 a 1.97 ± 0.96 a R9 non vaksin IBD+tantang IBD 0 0.70 ± 0.14 a 0.75 ± 0.06 c 1.60 ± 0.94 abc R9 vaksin+tantang IBD 0 0.68 ± 0.22 a 0.53 ± 0.26 c 0.80 ± 0.52 bcR1 vaksin+tantang IBD 0 0.67 ± 0.31 a 1.03 ± 0.21 bc 1.73 ± 0.15 ab Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan

yang nyata (p<0.05). Skor 0 : Batas antara pulpa putih dan pulpa merah masih jelas Skor 1 : Pulpa putih mulai deplesi Skor 2 : Deplesi pulpa putih, adanya sel radang Skor 3 : Deplesi pulpa putih dan batas mulai tak jelas, terjadi kongesti

yang meluas pada pulpa merah Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuple-

mentasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi

vitamin E * Skor lesio sebelum ditantang virus ** Skor lesio sesudah ditantang virus

Umur 2 minggu lesio histopatologi limpa belum terlihat sebelum ditantang

virus IBD atau ND. Lesio mulai terjadi pada umur 4 minggu baik yang ditantang

virus IBD maupun yang tidak ditantang. Skor lesio pada kelompok ayam yang

tidak ditantang virus namun diberi vaksin ada kecenderungan lebih tinggi

dibandingkan dengan yang tidak diberi vaksin, ini terjadi pada umur 4 minggu

sampai umur 5 minggu. Lesio yang terjadi berupa kongesti ringan dan adanya

sel-sel radang. Lesio tersebut disebabkan dampak pemberian vaksin ND yang

kedua pada umur 18 hari. Vaksin yang oleh tubuh ayam dianggap antigen

akan memberikan reaksi peradangan. Kondisi ini tidak berlanjut ketika ayam

berumur enam minggu, skor lesio dari limpa dari kelompok ayam yang divaksin

ND menunjukkan penurunan.

Umur 5 minggu yaitu setelah 11 hari infeksi IBD, kelompok ayam yang

ditantang virus IBD mulai menunjukkan peningkatan skor lesio, kecuali kelompok

ayam yang diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan

disuplementasi 200 ppm vitamin E yang divaksin. Peningkatan skor lesio terjadi

pada kelompok ayam yang ditantang virus IBD yaitu ayam yang diberi ransum

mengandung 6 % minyak ikan lemuru, disuplementasi 200 ppm vitamin E yang

Page 38: Bab 4  2008dru-5.pdf

66

tidak divaksin, dan yang diberi ransum yang tidak mengandung minyak ikan

lemuru, namun belum memperlihatkan perbedaan yang nyata dibandingkan

dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus IBD

1 2 Gambar 14. Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru,

suplementasi 200 ppm vitamin E, divaksin IBD, ditantang virus IBD, tidak ditemukan sel radang, (2) yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin IBD, ditantang virus IBD, ditemukan sel radang (SR); Pewarnaan HE (Pembesaran objektif 40 x)

1

2

Gambar 15. Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi vitamin E 200 ppm, divaksin ND ditantang virus ND; Pulpa putih (PP) utuh; Pulpa Merah (PM), (2)yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus ND; Pulpa putih (PP) deplesi berat; Pulpa merah (PM) terlihat lebih luas. Pewarnaan HE. (Pembesaran objektif 10 X).

Page 39: Bab 4  2008dru-5.pdf

67

1 2 Gambar 16. Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru,

suplementasi 200 ppm vitamin E, tidak divaksin ND, ditantang virus ND, terjadi kongesti (K), (2) yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin ND, ditantang virus ND, terjadi perdarahan yang menutupi pulpa merah (PM); Pewarnaan HE (Pembesaran objektif 40 x)

Umur 6 minggu yakni 18 hari setelah infeksi IBD, tiga kelompok ayam

yang ditantang virus IBD relatif mengalami peningkatan skor lesio dibandingkan

minggu sebelumnya. Diantara ketiga kelompok ayam yang ditantang virus IBD,

hanya kelompok ayam yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru

menunjukkan skor lesio yang nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok ayam yang tidak ditantang virus. Hal ini menunjukkan peranan minyak

ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam upaya mencegah lesio pada

organ limpa.

Umur 5 minggu yaitu setelah 5 hari setelah uji tantang virus ND,

kelompok ayam yang ditantang virus ND mulai menunjukkan peningkatan skor

lesio. Skor lesio kelompok ayam yang ditantang virus ND yaitu yang diberi

ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan disuplementasi 200 ppm

vitamin E yang tidak divaksin, dan yang diberi ransum yang tidak mengandung

minyak ikan lemuru dan divaksin nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan

dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus. Lesio yang terjadi berupa

akumulasi sel-sel radang. Hanya kelompok ayam yang diberi ransum

mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan disuplementasi 200 ppm vitamin E

dan divaksin yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata bila dibandingkan

dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus. Hal ini menunjukkan peranan

ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan disuplementasi 200

ppm vitamin E dan pemberian vaksin dalam mengurangi lesio limpa akibat

patogenitas virus ND

Page 40: Bab 4  2008dru-5.pdf

68

Dua belas hari setelah ayam yang ditantang virus ND, skor lesio pada

kelompok ayam yang diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan

disuplementasi 200 ppm vitamin E dan divaksin terlihat terjadi sedikit

peningkatan dibanding minggu sebelumnya, tetapi tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata, bila dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus.

Skor lesio kelompok ayam yang diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan

lemuru, dan disuplementasi 200 ppm vitamin E dan tidak divaksin, dan kelompok

ayam diberi ransum yang tidak mengandung minyak ikan lemuru terjadi sedikit

terjadi penurunan namun masih nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus ND. Lesio limpa yang terjadi

pada kedua kelompok ayam tersebut ditunjukkan dengan adanya kongesti yang

parah seperti terlihat pada Gambar 16. Terjadinya kongesti tersebut disebabkan

oleh meningkatnya proses metabolisme akibat infeksi ND. Menurut Smith dan

Borgest (1985), jika membran sel dirangsang oleh ikatan antigen-antibodi

kompleks, AA terlepas dari ikatannya, masuk ke dalam sitoplasma dan

mengalami metabolisme lebih lanjut yang mempunyai aktivitas berbagai macam

bergantung pada jaringan yang ditempatinya. Didalam jaringan AA

dimetabolisme lebih lanjut menjadi PGE2 dan leukotrin seri B4 (LTB4) (Rodenam

& Golgerg 1982; BNF 1994). Kedua metabolit tersebut dapat meningkatkan

kecepatan metabolit (Klasing & Korver 1997). Meningkatnya kecepatan metabolik

pada gilirannya akan meningkatkan aliran darah yang pada kondisi tertentu dapat

menyebabkan peradangan seperti kongesti pembuluh darah pada jaringan.

Lebih rendahnya skor lesio dari kelompok ayam yang diberi ransum yang

mengandung minyak ikan lemuru, karena asam lemak EPA yang dikandung

minyak ikan lemuru mampu menahan proses metabolisme AA menjadi PGE2 dan

LTB4 (Billiar et al. 1988, Prescott 1984). Demikian juga vitamin E dapat

mencegah jalur Cyclooxygenase yang mengubah AA menjadi PGE2 (BNF 1994).

Meningkatnya skor lesio berupa deplesi limfonodulus dari kelompok ayam

yang ditantang virus baik ND maupun IBD, karena sifat metabolit PGE2 bekerja

sebagai imunosupresif (Kizaki et al. 1990). Menurut Fritsche et al (1992) dan

Schmidt et al (1991), penambahan minyak ikan dalam pakan hewan dapat

memperbaiki respon penekanan sel imun yang disebabkan oleh PGE2.

Page 41: Bab 4  2008dru-5.pdf

69

Skor Lesio Histopatologi Timus Lesio yang ditemukan pada timus berupa deplesi dari korteks yang berisi

sel myeloid dan sel limfosit pada Gambar 17 (2). dengan pembesaran objektif 4

x, 18 hari pasca uji tantang IBD deplesi tampak sekali pada timus ayam yang

diberi ransum yang tidak mengandung minyak ikan lemuru dan diberi vaksin.

Dua belas hari pasca uji tantang virus ND, tampak juga deplesi berat dan

kongesti pada kelompok ayam yang diberi ransum yang tidak mengandung

minyak ikan lemuru, dan tidak disuplementasi vitamin E, divaksin (Gambar 18. 1).

Dinamika skor lesio antar perlakuan dan perubahannya setiap minggu dapat

dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Skor lesio histopatologi timus

Umur (minggu) 2* 4** 5** 6**

R9 non vaksin 0.50±0.58 a 1.25±0.96 a 0.75±0.50 bc 1.75±0.96 bcR9 vaksin 0.33±0.58 a 0.67±0.58 a 0.25±0.50 c 1.00±0.00 cR9 non vaksin ND+tantang ND 0.50±0.58 a 1.25±0.96 a 0.75±0.50 bc 3.00±0.00 aR9 vaksin + tantang ND 0.25±0.50 a 0.25±0.50 a 1.25±0.50 ab 1.75±0.50 bcR1 vaksin + tantang ND 0.33±0.58 a 0.33±0.58 a 1.00±0.00 bc 2.00±1.00 bR9 non vaksin IBD+tantang IBD 0.50±0.58 a 0.50±0.58 a 1.50±0.58 ab 2.25±0.50 abR9 vaksin+tantang IBD 0.33±0.58 a 0.25±0.50 a 1.50±0.58 ab 1.50±0.58 bcR1 vaksin+tantang IBD 0.33±0.58 a 1.33±0.58 a 2.00±0.00 a 2.33±0.58 ab

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Skor 0 : Tidak ditemukan kelainan baik pada korteks maupun medula Skor 1 : Deplesi ringan sel myeloid dan sel limfosit Skor 2 : Deplesi sel myeloid dan sel limfosit, oedema Skor 3 : Deplesi berat sel myeloid dan sel limfosit, kongesti/pembendungan Uji tantang virus IBD dilakukan pada umur 24 Uji tantang virus ND dilakukan pada umur 30 hari R9 : Ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuple-

mentasi 200 ppm vitamin E R1 : Ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi

vitamin E * Skor lesio sebelum ditantang virus ** Skor lesio sesudah ditantang virus

Pengaruh uji tantang virus IBD terhadap skor lesio pada timus baru

memperlihatkan pengaruh yang nyata pada umur 5 minggu yaitu 11 hari setelah

ditantang virus IBD. Skor lesio diantara ketiga kelompok ayam yang ditantang

virus IBD tidak berbeda nyata, meskipun ayam yang diberi ransum yang tidak

mengandung minyak ikan lemuru menunjukkan skor lesio paling tinggi. Skor

lesio ketiga kelompok ayam yang ditantang virus IBD nyata (P<0.05) lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak ditantang virus diberi ransum

yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan disuplementasi 200 ppm vitamin

Page 42: Bab 4  2008dru-5.pdf

70

E dan divaksin. Lesio yang ditunjukkan oleh ketiga kelompok ayam yang

ditantang virus IBD adalah adanya deplesinya sel myeloid dan sel limfosit.

Adanya uji tantang virus IBD meyebabkan imunosupresif . Menurut Smith dan

Borgest (1985), jika membran sel dirangsang oleh ikatan antigen-antibodi

kompleks, AA terlepas dari ikatannya. Didalam jaringan AA dimetabolisme lebih

lanjut menjadi PGE2 dan leukotrin seri B4 (LTB4) (Rodenam & Golgerg 1982; BNF

1994). Sifat metabolit PGE2 bekerja sebagai imunosupresif (Kizaki et al. 1990)

1

2

Gambar 17. Fotomikrograf timus ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi 200 ppm vitamin E, divaksin dan ditantang virus IBD, (K) korteks yang terdiri dari sel myeloid dan sel limfosit tidak terjadi deplesi; pembesaran objektif 4 X; (2) yang diberi ransum tidak mengandung minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus IBD (18 hari setelah uji tantang) (K) korteks yang terdiri dari sel myeloid dan sel limfosit terjadi deplesi berat; M = medulla; pembesaran objektif 4 X ;Pewarnaan HE.

1

2

Gambar 18 Fotomikrograf timus ayam yang diberi ransum tidak mengandung minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus ND (12 hari setelah uji tantang) (1) (D) Deplesi berat sel myeloid dan sel limfosit dan terdapat bercak-bercak kongesti pada medulla (struktur retikuler); (Pembesaran objektif 4X)dengan pewarnaan HE; (2) (K) Kongesti. (Pembesaran objektif 20 X); Pewarnaan HE

K

D

Page 43: Bab 4  2008dru-5.pdf

71

Satu minggu kemudian yaitu pada umur 6 minggu, 18 hari setelah infeksi

IBD, skor lesio dari kelompok ayam yang ditantang virus yang diberi ransum

yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan disuplementasi 200 ppm vitamin

E, tidak divaksin, dan yang diberi ransum yang tidak mengandung minyak ikan

lemuru dan divaksin mengalami peningkatan skor lesio. Uji tantang virus IBD

pada kedua kelompok ayam tersebut menyebabkan skor lesio yang nyata

(P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak ditantang

virus. Skor lesio akibat uji tantang virus IBD tidak terjadi peningkatan pada

kelompok ayam diberi ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru, dan

disuplementasi 200 ppm vitamin E dan divaksin, dan tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak

ditantang virus.

Umur ayam lima minggu skor lesio yang tinggi pada kelompok ayam yang

ditantang virus ND dicapai oleh kelompok ayam yang diberi ransum yang

mengandung 6 % minyak ikan lemuru, disuplementasi 200 ppm vitamin E, dan

diberi vaksin. Skor lesio yang dicapai oleh kelompok ayam tersebut nyata

(P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak ditantang

virus dan diberi vaksin. Namun, kedua kelompok ayam lainnya yang ditantang

virus ND tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan

kelompok ayam yang tidak ditantang virus dan diberi vaksin. Sebaliknya saat

umur ayam 6 minggu pada ayam yang ditantang virus ND skor lesio yang tinggi

dicapai pada kelompok ayam yang diberi ransum yang mengandung 6 % minyak

ikan lemuru, disuplementasi 200 ppm vitamin E, tidak divaksin, dan kelompok

ayam yang diberi ransum yang tidak mengandung minyak ikan lemuru dan tidak

disuplementasi vitamin E. Skor lesio yang ditunjukkan oleh kedua kelompok

ayam tersebut nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ayam

yang tidak ditantang virus, dan diberi vaksin. Lesio pada timus yang ditunjukkan

oleh kelompok ayam yang ditantang virus ND (12 hari setelah uji tantang), diberi

ransum yang tidak mengandung minyak ikan lemuru, dan tidak suplementasi

vitamin E berupa kongesti dan deplesi berat dari sel myeloid dan sel lmfosit

(Gambar 18). Disini ditunjukkan peranan pemberian ransum yang mengandung

minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam mengurangi deplesi dari

timus akibat infeksi virus IBD.

Meningkatnya skor lesio berupa kongesti dan deplesi dari sel myeloid dan

sel lmfosit dari kelompok ayam yang ditantang virus baik ND maupun IBD,

Page 44: Bab 4  2008dru-5.pdf

72

karena sifat metabolit PGE2 bekerja sebagai imunosupresif (Kizaki et al. 1990).

Menurut Fritsche et al (1992) dan Schmidt et al (1991), penambahan minyak ikan

dalam pakan hewan dapat memperbaiki respon penekanan sel imun yang

disebabkan oleh PGE2.

Page 45: Bab 4  2008dru-5.pdf

73

Mortalitas Pengaruh perlakuan pasca uji tantang virus ND atau IBD terhadap

mortalitas dapat dilihat pada Tabel 21. Pengaruh perlakuan pasca uji tantang

virus ND atau IBD menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tingkat

mortalitas.

Tabel 21. Pengaruh perlakuan terhadap tingkat mortalitas

Mortalitas (%)

R9 non vaksin 0.0 ± 0.0 a R9 vaksin 0.0 ± 0.0 a R9 non vaksin ND+tantang ND 12.5 ± 9.6 b R9 vaksin + tantang ND 0.0 ± 0.0 a R1 vaksin + tantang ND 6.7 ± 11.5 ab R9 non vaksin IBD+tantang IBD 5.0 ± 5.7 ab R9 vaksin+tantang IBD 0.0 ± 0.0 a R1 vaksin+tantang IBD 10.0 ± 0.0 b

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Mortalitas tidak ditemukan pada kelompok ayam yang tidak ditantang

virus. Mortalitas hanya ditemukan pada kelompok ayam yang ditantang virus ND

maupun kelompok yang ditantang virus IBD.

Kelompok ayam yang ditantang virus ND mortalitas yang tertinggi dicapai

pada ayam yang diberi ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan

disuplementasi 200 ppm vitamin E, tetapi ayam tidak divaksinasi ND. Mortalitas

pada kelompok ini mencapai 12.5 %. Mortalitas justru tidak ditemukan pada

ayam yang diberi ransum yang sama dengan kelompok tersebut namun diberi

vaksin. Uji tantang virus ND juga menyebabkan mortalitas sebesar 6.7 %

meskipun ayam telah diberi vaksin, namun ayam di beri ransum yang tidak

mengandung minyak lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E

Kelompok ayam yan ditantang virus IBD mortalitas tertinggi dicapai pada

ayam yang diberi ransum tanpa minyak ikan dan tidak disuplementasi vitamin E

yaitu mencapai 10 %, meskipun ayam dilakukan vaksinasi. Mortalitas ditemukan

juga pada ayam yang diberi ransum yang mengandung 6% minyak ikan lemuru

dan disuplementasi 200 ppm vitamin E, tetapi tidak divaksin, yaitu mencapai 5 %.

Uji tantang virus IBD tidak menunjukkan adanya mortalitas pada kelompok ayam

yan diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, disuplementasi vitamin E, dan diberi

vaksin.

Page 46: Bab 4  2008dru-5.pdf

74

Tingkat mortalitas kelompok ayam yang diberi ransum tanpa minyak ikan

lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E, meskipun ayam diberi vaksin baik

yang ditantang virus ND maupun IBD ternyata melebihi batas yang ditoleransi

oleh suatu usaha peternakan. Demikian juga kelompok ayam yang ditantang

virus ND, di beri ransum yang mengandung 6% minyak ikan lemuru dan

disuplementasi 200 ppm vitamin E, namun tidak divaksin tingkat mortalitasnya

melebihi batas yang ditoleransi oleh suatu usaha peternakan. Tingkat mortalitas

yang toleransi oleh suatu usaha peternakan adalah tidak melebihi dari 5%

(Scanes, et al. 2004). Ini menunjukkan bahwa pemberian 6% minyak ikan lemuru

yang disuplementasi 200 ppm vitamin E dalam ransum, tetapi ayam harus tetap

diberi vaksin mampu menghambat tingkat mortalitas.