BAB 3 SLE.doc

26
BAB 1 LATAR BELAKANG 1.1 Pendahuluan Lupus Eritematosus Sistemik Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) merupakan suatu kompleks penyakit yang melibatkan kelainan imun yang multiple meliputi fungsi abnormal sel B dan sel T, pembersihan abnormal kompleks imun berakibat penumpukan dalam jaringan, aktivasi komplemen dan apoptosis sel cacat yang menyebabkan penumpukan autoantigen yang potensial. Akibatnya terjadi induksi radang, gagal organ seperti pada ginjal, jantung, kulit dan sistem saraf. Etiopatogenesis SLE belum jelas diketahui. 1 Angka kejadian lupus dari tahun ke tahun makin meningkat.Pada tahun 1950-an angka kematian lupus menurun. Dengan kemajuan teknologi ilmu kedokteran molekuler, berkembangnya terapi biologik, maka penyakit lupus dapat dikendalikan dengan baik sehingga menurunkan angka kematiannya. 6 1

Transcript of BAB 3 SLE.doc

Page 1: BAB 3 SLE.doc

BAB 1LATAR BELAKANG

1.1 Pendahuluan Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE)

merupakan suatu kompleks penyakit yang melibatkan kelainan imun yang

multiple meliputi fungsi abnormal sel B dan sel T, pembersihan abnormal

kompleks imun berakibat penumpukan dalam jaringan, aktivasi komplemen dan

apoptosis sel cacat yang menyebabkan penumpukan autoantigen yang potensial.

Akibatnya terjadi induksi radang, gagal organ seperti pada ginjal, jantung, kulit

dan sistem saraf. Etiopatogenesis SLE belum jelas diketahui.1

Angka kejadian lupus dari tahun ke tahun makin meningkat.Pada tahun

1950-an angka kematian lupus menurun. Dengan kemajuan teknologi ilmu

kedokteran molekuler, berkembangnya terapi biologik, maka penyakit lupus dapat

dikendalikan dengan baik sehingga menurunkan angka kematiannya.6

Lupus termasuk penyakit autoimun yang kronik.Ditandai dengan berbagai

fase perjalanan penyakit.Pada fase awal hanya ditandai dengan pembentukan

antibodi tanpa ada gejala klinik. Bila berlanjut maka akan ditandai dengan gejala-

gejala kelainan organ yang tidak spesifik dan ini bisa berkembang menjadi

manifestasi lupus yang kompleks.5

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan kondisi inflamasi yang

berhubungan dengan sistem imunologi yang dapat menyebabkan kerusakan multi

organ.

1

Page 2: BAB 3 SLE.doc

2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik

Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang artinya “wolf” yang digunakan

pada pertengahan abad ke-18 untuk menjelaskan erosi kulit seperti gigitan serigala

yang diperkenalkan oleh Sarjana Ferdinand von Hebra. Sarjana ini pertama kali

mendeskripsikan malar rash pada wanita usia pertengahan yang didiagnosa lupus

eritematosus. Sarjana Kaposi pada tahun 1837 menjelaskan bahwa lupus adalah

penyakit sistemik yang menyerang saluran pencernaan. Kemudian Sarjana Osler

dan Jadassohn juga mempertegas penyakit lupus adalah penyakit sistemik. Pada

tahun 1923 ditemukan adanya lesi pada dinding jantung bagian dalam atau

endokarditis oleh Libman dan Sacks.4,6

Lupus Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana

sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. LES tergolong penyakit kolagen-

vaskular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal,

kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga

diperlukan pengobatan yang kompleks.2Pada tubuh manusia, sistem kekebalan

tubuh akan membuat antibodi yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari

berbagai macam virus, kuman, atau bakteri dan benda-benda asing lainnya

(antigen). Namun, pada penyakit autoimun seperti SLE, sistem kekebalan tersebut

kehilangan kemampuan untuk melihat perbedaan antara substansi asing dengan

sel dan jaringan tubuh sendiri.Pada penderita SLE antibodi yang dihasilkan terlalu

berlebihan. Antibodi yang berlebihan ini tidak “menyerang” benda asing yang

Page 3: BAB 3 SLE.doc

3

masuk ke dalam tubuh tetapi justru “menyerang” sistem kekebalan sel dan

jaringan tubuh sendiri. Antibodi ini disebut “auto-antibodi” yang kemudian

bereaksi dengan antigen “sendiri” membentuk kompleks imun. Kompleks imun

yang terdapat dalam jaringan  dapat menyebabkan peradangan, luka pada jaringan

rasa sakit.

2.2 Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik

Penyebab LES masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa

penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan

adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan

efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus.1

Etiopatogenesis SLE belum jelas diketahui. Diduga terdapat beberapa

faktor resiko terjadinya SLE, antara lain:5

1. Faktor genetik

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan

dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai

kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian

SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara

kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa

banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2

dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal

reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta

gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin.

2. Faktor lingkungan

Page 4: BAB 3 SLE.doc

4

Factor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang

mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan

perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari

sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya

pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan

asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga

memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal

ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk

kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing

tersebut. Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan

pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi

antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan

memicu terjadinya SLE.

3. Faktor hormonal

Pada penelitian hewan coba, bahwa estrogen dan prolaktin dapat memicu

timbulnya penyakit autoimun yang ditandai dengan autoreaktif sel B. Hal

ini dapat menerangkan kenapa pada penyakit lupus banyak dijumpai pada

wanita pada usia produktif karena aktivitas hormonal masih sangat tinggi,

dan lupus dapat aktif pada kehamilan karena pada kehamilan terjadi

peningkatan hormonal.

Page 5: BAB 3 SLE.doc

5

2.3 Epidemiologi Lupus Eritematosus Sistemik

Tingkat LES sangat bervariasi antar negara, etnis, usia, gender, dan

perubahan dari waktu ke waktu.1 LES biasanya menyerang kelompok usia

produktif dengan insidensi 5:1 antara wanita dan pria.3Sembilan dari 10 orang

odapus adalah  wanita dan sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia

15-40 tahun.4

Di Amerika Serikat, LES diperkirakan menyerang 51 per 100.000

penduduk sedangkan untuk wilayah Eropa diperkirakan menyerang 2- 8 per

100.000 penduduk setiap tahunnya.4

Onset timbulnya penyakit LES terhadap penderita yaitu antara usia 16 dan

55 tahun (sekitar 16%), 20 % sebelum berusia 16 tahun dan 15% setelah berusia

55 tahun. Pada pria yang menderita lupus biasanya ditandai dengan lebih serositis,

tidak terlalu fotosensitivitas dan prognosis sat tahun lebih buruk dibandingkan

dengan wanita.4

Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah

Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,

didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi

Penyakit Dalam, sedangkan di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien

SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama

tahun 2010.7

2.4 Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik

Page 6: BAB 3 SLE.doc

6

Pada LES, antibodi ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak

pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-

histon.Ciri khas autoantigen ini adalah tidak spesifik pada suatu jaringan dan

merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama

disebut ANA (anti-nuclear antibody).Dengan antigennya yang spesifik, ANA

membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan

mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi

komplemen pada organ tersebut. Bagian penting dalam patogenesis LES adalah

terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah

automunitas patologis pada individu yang resisten.

Gambar 3.1 Patogenesis SLE

2.5 Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik7

Page 7: BAB 3 SLE.doc

7

Tabel 2.1 Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik

Kriteria Batasan

Ruam Malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada

daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat

nasolabial.

Ruam Diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan

sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat

ditemukan parut atrofik

Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal

terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis

pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.

Ulkus Mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri

dan dilihat oleh dokter pemeriksa.

Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih

sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak

atau efusia.

Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction

rubyang didengar oleh dokter pemeriksa atau

terdapat bukti efusi pleura.

Pericarditis Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial

friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.

Gangguan Renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau

>3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif

atau

b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder

eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau

campuran.

Gangguan Neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat obatan

atau gangguan metabolic (misalnya uremia,

ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit).

Page 8: BAB 3 SLE.doc

8

atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-

obatan atau gangguan metabolic (misalnya

uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan

elektrolit).

Gangguan Hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis

atau

b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali

pemeriksaan atau lebih

atau

c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali

pemeriksaan atau lebih

atau

d.Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa

disebabkan oleh obat-obatan

Gangguan Imunologi a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA

dengan titer yang abnormal

atau

b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap anti gen

nuklear Sm

atau

c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid

yang didasarkan atas:

1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal

baik IgG atau IgM,

2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan

metoda standard, atau

3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis

sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan

dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema

pallidumatau tes fl uoresensi absorpsi antibodi

Page 9: BAB 3 SLE.doc

9

treponema.

Antibodi anti nuklear

positif (ANA)

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear

berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau

pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu

perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang

diketahui berhubungan dengan sindroma lupus

yang diinduksi obat.

Keterangan:

1. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4

dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan

tenggang waktu.

2. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.

Terdapat gambaran tingkat keparaha SLE yang dibuat agar terciptanya

proses pengelolaan SLE yang baik, terutamamenyangkut obat yang akan

diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang

diberikan pada pasien, antara lain:

1. SLE ringan apabila :

Secara klinis tenang

Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,

gastrointestinal,susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

2. SLE sedang apabila :

Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

Page 10: BAB 3 SLE.doc

10

Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

Serositis mayor

3. SLE berat apabila :

Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,

miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.

Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli

paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati

transversa,mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma

demielinasi.

Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit

<1.000/mm3),trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik

trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.

2.6 Pemeriksaan Penunjang SLE

Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila

diperlukankreatinin urin.

Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

Page 11: BAB 3 SLE.doc

11

Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

Foto polos thorax,

1. pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan

untukmonitoring.

2. Setiap 3-6 bulan bila stabil

3. Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial

tromboplastin time.Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi

SLE.Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis

pasien.

2.7 Diagnosa Banding SLE

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan

diagnosisakibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang

serupa, yaitu

1. Undifferentiated connective tissue disease

2. Sindroma Sjögren

3. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

4. Fibromialgia (ANA positif)

5. Purpura trombositopenik idiopatik

6. Lupus imbas obat

2.8 Tatalaksana SLE

Page 12: BAB 3 SLE.doc

12

Kortikosteroid merupakan pengobatan utama pada penderita SLE.Meski

dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS

tetapmerupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan

imunosupresi.Dosis KS yang digunakan juga bervariasi.Pembagian dosis KS

membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik.Dosisrendah sampai sedang

digunakan pada SLE yang relatif tenang.Dosis sedang sampai tinggi berguna

untuk SLE yang aktif.Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untukkrisis

akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.Pulse

terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa,induksi atau

pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-

1 gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut

Tabel 2.2 Dosis Kortikosteroid

Kortikosteroid (KS) berpotensial menyebabkan efek samping, maka dosis

KS mulai dikurangisegera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus

dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan

de isiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-

adrenal (HPA) kronis.Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap

fungsi adrenal.Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan

Page 13: BAB 3 SLE.doc

13

lama terapi, serta respon klinis.Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison

lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2

minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-

20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis

prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankandalam dosis rendah untuk

mengontrol aktivitas penyakit. Efek samping SLE antara lain :

Tabel 2.3 Efek samping kortikosteroid

Selain pemberian Kortikosteroid, pengobatan SLE dapat diberikan

berdasarkan derajat beratnya SLE, yaitu :

a. Pengobatan SLE ringan

Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan

pengelolaan nyeri dan inflamasi.

Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat

denganpotensi ringan)

Page 14: BAB 3 SLE.doc

14

Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet

klorokuin250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa

mata padasaat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,

sementarahidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400

mg/hari) dan periksamata setiap 6-12 bulan.

Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau

yangsetara.

Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor

sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)

b. Pengobatan SLE sedang- berat terdapat pada algoritme dibawah ini :

Page 15: BAB 3 SLE.doc

15

Gambar 2.2 alogaritma tatalaksana Lupus Eritematosus Sistemik

SLE dapat terjadi saat kehamilanKesuburan penderita SLE sama dengan

populasi wanita bukan SLE. Beberapapenelitian mendapatkan kekambuhan lupus

selama kehamilan namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat

nefritis masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam

keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami

kekambuhan.

Page 16: BAB 3 SLE.doc

16

Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca

persalinansangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

1. Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah

6bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total.

Padalupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Halini

dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.

2. Medikamentosa:

Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi

7,5mg/hari prednison atau setara.

DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan

penuhkehati-hatian. Obat SLE pada ibu hamil yang aman, yaitu :

Gambar 2.4 Obat SLE pada ibu hamil

Page 17: BAB 3 SLE.doc

17

2.7 Prognosis SLE

Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik,

banyak penderita yangmenunjukkan penyakit yang ringan.Wanita penderita lupus

yang hamil dapat bertahan dengan amansampai melahirkan bayi yang normal,

tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat danpenyakitnya dapat

dikendalikan.

Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.Prognosis yang

paling buruk ditemukan padapenderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru,

jantung dan ginjal yang berat.

Page 18: BAB 3 SLE.doc

18

DAFTAR PUSTAKA

• Alsagaff, Hood dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. GRAMIK FK

UNAIR. 2004 

• Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland ed. 29. Jakarta:

EGC, 2002

• E. Jewetz. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan edisi 16 Jakarta: EGC,

2004

• Guyton Arthur C, John E Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.

11. Jakarta : EGC

• Hariadi, Slamet dkk. Dasar-dasar Diagnostik Fisik Paru. Departemen Ilmu

Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2008

• Levitzky, Michael G. 2007. Pulmonary Physiologi 7th Ed. New York :

McGraw-Hill

• Mason. Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. 4th ed.

Saunders: An Imprint of Elsevier. 2005.

• Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor

Hartanto Huriawati, dkk. EGC. Jakarta 2006