BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1...
22
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etanol
Etanol atau sering juga disebut dengan alkohol adalah suatu cairan transparan, mudah
terbakar, tidak berwarna, mudah menguap, dengan rumus kimia C2H5OH, dapat bercampur
dengan air, eter, dan kloroform, yang diperoleh melalui fermentasi karbohidrat dari ragi
yang disebut juga dengan etil alkohol (Bender, 1982).
Etanol atau etil alkohol (C2H5OH) termasuk kelompok hidroksil yang memberikan
polaritas pada molekul dan mengakibatkan meningkatnya ikatan hidrogen intermolekuler.
Etanol memiliki massa jenis 0.7893 g/mL. Titik didih etanol pada tekanan atmosfer adalah
78.32 °C. Indeks bias dan viskositas pada temperatur 20°C adalah 1.36143 dan 1.17 cP
(Kirk and Othmer, 1965). Etanol digunakan pada berbagai produk meliputi campuran
bahan bakar, produk minuman, penambah rasa, industri farmasi, dan bahan-bahan kimia.
Etanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat dijadikan sebagai
energi alternatif dari bahan bakar nabati (BBN). Etanol mempunyai beberapa kelebihan
dari pada bahan bakar lain seperti premium antara lain sifat etanol yang dapat diperbaharui,
menghasilkan gas buangan yang ramah lingkungan karena gas CO2 yang dihasilkan rendah
(Jeon, 2007).
Etanol dapat dibuat dengan beberapa cara sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
23
1. Etanol untuk konsumsi umumnya dihasilkan dengan proses fermentasi atau
peragian bahan makanan yang mengandung pati atau karbohidrat, seperti beras dan
umbi. Etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya berkadar rendah.
Untuk mendapatkan etanol dengan kadar yang lebih tinggi diperlukan proses
pemurnian melalui penyulingan ataupun destilasi. Etanol untuk keperluan industri
dalam skala lebih besar dihasilkan dari fermentasi tetes tebu, yaitu hasil samping
dalam industri gula tebu atau gula bit.
2. Melalui sintesis kimia melalui reaksi antara gas etilen dan uap air dengan asam
sebagai katalis. Katalis yang dipakai biasanya asam fosfat. Asam sulfat juga dapat
digunakan sebagai katalis, namun sangat jarang digunakan. (http://www.ristek.co.id,
2008).
Etanol dapat dijadikan sebagai bahan bakar, namun harus etanol dengan kadar
kemurnian yang tinggi atau terbebas oleh air. Adapun cara pemurnian etanol dapat
dilakukan dengan destilasi tetapi kemurniannya hanya sampai 96% karena adanya
peristiwa azeotrop antara campuran etanol dan air. Untuk dapat memperoleh etanol dengan
kadar yang tinggi maka dilakukan suatu cara yaitu absorbsi fisik atau molecular sieve.
Dalam penggunaan etanol sebagai bahan bakar, tidak dapat langsung digunakan pada
kendaraan bermotor, namun etanol harus ditambahkan dengan bensin. Sebagai contoh
sebanyak 10% etanol dari 1 liter bensin dapat digunakan sebagai bahan bakar (disebut
E10). Namun haruslah berhati-hati dalam penggunaan bahan bakar ini, karena etanol yang
digunakan harus benar-benar bebas dari air, dikarenakan ketersediaan air dapat
menyebabkan kerusakan dan korosi pada mesin.
Etanol merupakan hasil fermentasi yang memiliki masalah pada proses fermentasi
itu sendiri yakni timbulnya etanol dapat berakibat rusaknya struktur membran plasma
mikroba serta terjadinya denaturasi protein penyusun dari sel tersebut. Adanya
ketersediaan etanol di dalam media fermentasi dapat menjadi penghambat pertumbuhan
mikroba penghasil etanol (Supriyanto, 2010)
Universitas Sumatera Utara
24
2.2 Molase
Dalam industri gula dari tebu diperoleh suatu limbah dari sisa pengkristalan gula pasir
berbentuk cairan berwarna coklat kehitaman yang disebut dengan molase. Molase adalah
sirup yang mengandung glukosa dan fruktosa yang sangat sulit untuk dikristalkan. Molase
merupakan produk limbah dari industri gula dimana produk ini masih banyak mengandung
gula dan asam – asam organik, sehingga merupakan bahan baku yang sangat baik untuk
dijadikan sebagai bahan baku pembuatan ataupun industri etanol. Bahan ini merupakan
produk samping dari industri gula pasir dengan kandungan gula dari molase terutama
sukrosa berkisar 40-55% (http://whfoods.com,2008).
Molase dapat dikonversi menjadi etanol melalui proses fermentasi, biasanya pH
molase berkisar antara 5,5-6,5. Molase yang telah diencerkan hingga 10-18% telah
memberikan hasil yang memuaskan dalam menghasilkan etanol dari proses fermentasi
(http://www.wikipedia.com, 2008).
Molase dari tebu dapat dibedakan menjadi 3 jenis. Molase kelas 1, kelas 2 dan
“black strap”. Molase kelas 1 didapatkan saat pertama kali jus tebu dikristalisasi. Saat
dikristalisasi terdapat sisa jus yang tidak mengkristal dan berwarna bening. Maka sisa jus
ini langsung diambil sebagai molase kelas 1. Kemudian molase kelas 2 atau biasa disebut
dengan “Dark” diperoleh saat proses kristalisasi kedua. Warnanya agak kecoklatan
sehingga sering disebut dengan istilah “Dark”. Dan molase kelas terakhir yaitu “Black
Strap” diperoleh dari kristalisasi terakhir. Warna “Black Strap” ini memang mendekati
hitam (coklat tua) (http://www.bioetanolindo.blogspot.com).
Adapun komposisi kimia Molase Black Strap dapat dilhat pada tabel 2.1
Universitas Sumatera Utara
25
Tabel 2.1. Komposisi kimia molase black strap
Komposisi Presentase (%)
Bahan Kering
Total Gula sebagai Gula invert
- N
- P2O5
- CaO
- MgO
- K2O
Total Abu
77-84
52-67
0,4-1,5
0,6-2,0
0,1-1,1
0,03-0,1
2,6-5,0
7-11
(http://www.wikipedia.com, 2000).
2.3 Sel Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir sejati tergolong eukariot yang secara
morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat
telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembangbiak dengan membelah diri
melalui "budding cell" . Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta
jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel . Penampilan makroskopik mempunyai
koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan
memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah (Nikon et al, 2004) .
Taksonomi Saccharomyces cerevisiae menurut Sanger (2004), sebagai berikut:
Super kingdom : Eukaryota
Phylum : Fungi
Subphylum : Ascomycota
Class : Saccharomycetes
Order : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Universitas Sumatera Utara
26
Genus : Saccharomyces
Species : Saccharomyces cerevisiae
Khamir dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun gula
kompleks disakarida yaitu sukrosa (Marx, 1991). Selain itu untuk menunjang kebutuhan
hidup diperlukan oksigen, karbohidrat, dan nitrogen. Pada uji fermentasi gula – gula
mempunyai reaksi positif pada gula dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, raffinosa,
trehalosa, dan negatif pada gula laktosa (Lodder, 1970). Gambar 2.3 menunjukkan bentuk
sel Saccharomyces cerevisiae dengan bentuk blastospora bulat lonjong yang dilihat
menggunakan mikroskop cahaya.
Gambar 2.3 Sel Saccharomyces cerevisiae dengan perbesaran 10 x 40
Komposisi kimia S. cerevisiae dapat di lihat dalam tabel 2.2
Tabel 2.2 Kandungan kimia S. cerevisiae
Komposisi senyawa Presentasi (%)
Protein
Karbohidrat
Lemak
Mineral lain
50-52
30-37
4-5
7-8
(Reed and Nagodawithana, 1991)
Universitas Sumatera Utara
27
Suriawiria (1990) melaporkan komposisi kimia sel khamir yang hampir sama pada Tabel
2.3 dan kandungan asam aminonya Tabel 2.4.
Tabel 2.3 Komposisi sel Saccharomyces cerevisiae
Komposisi senyawa Presentase (%)
Abu
Asam Nukleat
Lemak
Nitrogen
5,0-9,5
6,0-12,0
2,0-6,0
7,5-8,5
(Suriawiria, 1990)
Tabel 2.4 Kandungan asam amino dalam Saccharomyces cerevisiae
Komposisi senyawa Presentase (%)
Fenilalanin
Isoleusin
Lisin
Leusin
Metionin
Sistin
Treonin
Triptofan
Valin
4,1-4,8
4,6-5,3
7,7-7,8
7,0-7,8
1,6-1,7
0,9
4,8-5,4
1,1-1,3
5,3-5,8
(Suriawiria, 1990)
Penggunaan sel Saccharomyces cerevisiae dalam produksi etanol didasarkan pada
beberapa faktor yaitu mudahnya diperoleh sel Saccharomyces cerevisiae di sekitar kita,
dan juga didasarkan pada jenis karbohidrat yang digunakan sebagai medium. Untuk
Universitas Sumatera Utara
28
memproduksi etanol dari molase yang sebagian besar merupakan sukrosa maka sel
Saccharomyces cerevisiae adalah sel yang tepat. Hal ini dikarenakan sel ini mampu
tumbuh dan berkembang dengan cepat dan mempunyai toleransi terhadap konsentrasi gula
(sukrosa) yang tinggi, selain itu etanol yang dihasilkan dapat ditoleransi oleh sel ini (Sa’id,
1987).
Menurut Fraenkel (1982), temperatur pertumbuhan yang optimum untuk sel
Saccharomyces cerevisiae adalah 28 – 36o C dan pH optimum untuk pertumbuhan adalah
4,5 – 5,5 ( Moat and Foster, 1998)
2.3.1 Sumber Energi
Sel Saccharomyces cerevisiae dapat hidupnya memperoleh energi dari bahan – bahan
organik dan anorganik. Sel ini mendapatkan energi dari ikatan karbon, hal ini
digunakannya untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya yang seluruhnya diperoleh
dari molekul glukosa, sukrosa, asam organik ataupun alkohol yang telah diubah menjadi
senyawa kompleks seperti protein, polisakarida, lemak dan lignin (Gattaway and evans,
1984).
Menurut Buckle (1987) karbon dan energi yang diperlukan oleh sel Saccharomyces
cerevisiae diperoleh dari gula dan karbohidrat lain seperti glukosa. Karbohidrat merupakan
sumber karbon paling banyak yang digunakan dalam fermentasi oleh sel ini.
Dalam industri etanol digunakan khamir jenis Saccharomyces cerevisiae yang
sering juga disebut khamir permukaan (top yeast), yaitu khamir yang bersifat fermentatif
kuat dan tumbuh dengan cepat pada suhu 20oC. Khamir permukaan ini tumbuh secara
bergerombol dan melepaskan karbon dioksida dengan cepat, yang mengakibatkan sel
terapung pada permukaan (Fardiaz, 1992).
Universitas Sumatera Utara
29
Kemampuan untuk menkonversi gula menjadi etanol ini disebabkan oleh adanya
peran dari enzim zimase dan invertase. Enzim zimase adalah enzim yang berperan sebagai
pemecah sukrosa dari gula menjadi monosakarida-monosakaridanya (glukosa dan
fruktosa), selanjutnya terdapat enzim invertase yang mengubah glukosa menjadi etanol.
Konsentrasi gula yang umumnya dibuat untuk pembuatan etanol berkisar 14-20 persen.
Jika konsentrasi lebih tinggi akan menghambat aktivitas dari khamir dikarenakan
menurunnya oksigen terlarut yang diperlukan khamir. Lama dari fermentasi sekitar 30 – 70
jam dengan kondisi anaerob (Judoamidjojo et al. 1992)
Jika pemberian O2 berlebihan (kondisi aerob), sel S.cerevisiae akan melakukan
respirasi secara aerobik, dalam keadaan ini enzim khamir dapat memecah senyawa gula
lebih sempurna, dan akan dihasilkan karbondioksida dan air.
2.3.2 Pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae
Pertumbuhan sel merupakan puncak aktivitas fisiologi yang saling mempengaruhi secara
berurutan. Proses pertumbuhan ini sangat kompleks meliputi pemasukan nutrien dasar dari
lingkungan ke dalam sel, konversi bahan-bahan nutrien menjadi energi dan berbagai
constituen vital cell serta perkembangbiakan. Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan
peningkatan jumlah dan massa sel serta kecepatan pertumbuhan tergantung pada
lingkungan fisik dan kimia (Anonymous, 2008).
Adapun kurva pertumbuhan mikroba secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.4.
.
Gambar 2.4 Kurva pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae
Universitas Sumatera Utara
30
Pada dasarnya pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae dapat berlangsung tanpa
batas, akan tetapi karena pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae berlangsung dengan
mengkonsumsi nutrien sekaligus mengeluarkankan produk-produk metabolisme yang
terbentuk maka setelah waktu tertentu laju pertumbuhan akan menurun dan akhirnya
pertumbuhan berhenti sama sekali. Berhentinya pertumbuhan dapat disebabkan karena
berkurangnya beberapa nutrien esensial dalam medium atau karena terjadinya akumulasi
aututuksin dalam medium atau kombinasi dari keduanya (Ansori, 1989).
Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae pada umumnya berada dalam kultur
murni. Ragi yang beredar dipasaran biasanya mengandung mikroba jenis yeast. Didalam
ragi Saccharomyces cerevisiae dicampur dengan tepung beras dan dikeringkan, biasanya
berbentuk agak bulat dengan diameter 3 cm serta berwarna putih.
2.4 Alginat
Asam alginat adalah senyawa komplek yang termasuk karbohidrat koloidal hidrofilik hasil
polimerisasi D-asam mannuronat dengan rumus kimianya (C6H8O6)n dimana harga n
diantara 80 sampai 83. Ada dua jenis monomer penyusun asam alginat yaitu asam D-
mannuronat dan asam L-guloronat. Berikut struktur kimia penyusun alginat seperti gambar
2.5 (painter et al, 1986).
Universitas Sumatera Utara
31
Gambar 2.5 Struktur dasar penyusun alginat
Sifat-sifat alginat sebagian besar tergantung pada tingkat polimerisasi dan
perbandingan komposisi guluronat dan mannuronat dalam molekul. Asam alginat tidak
larut dalam air dan mengendap pada pH < 3,5 sedangkan garam alginat dapat larut dalam
air dingin atau air panas dan mampu membentuk larutan yang stabil. Natrium alginat tidak
dapat larut dalam pelarut organik tetapi dapat mengendap dengan alkohol. Alginat sangat
stabil pada pH 5 – 10, sedangkan pada pH yang lebih tinggi viskositasnya sangat kecil
akibat adanya degradasi ß- eliminatif. Ikatan glikosidik antara asam mannuronat dan
guluronat kurang stabil terhadap hidrolisis asam dibandingkan ikatan dua asam
mannuronat atau dua asam guluronat. Kemampuan alginat membentuk gel terutama
berkaitan dengan proporsi L-guluronat (An Ullman’s, 1998).
Asam alginat diproduksi dengan cara ekstraksi alga coklat (Phaeophyceae) dan
banyak digunakan sebagai bahan pembentuk gel dan pengental yang bersifat
thermoreversibel dalam berbagai bidang industri, juga dipakai sebagai suspending
emulsifying, dan stabilizing agent.
Alginat memiliki sifat hidrofilik sehingga banyak dimanfaatkan dalam industri
pembekuan makanan karena alginat dapat mengikat air. Sifat mengikat air ini juga
Universitas Sumatera Utara
32
dimanfaatkan dalam industri kosmetik karena dengan adanya alginat, kosmetik dapat
menempel dengan erat di jaringan kulit dengan kelembapan yang tetap terjaga.
Alginat memiliki sifat koloid, dapat membentuk gel dan hidrofilik, selain
digunakan di berbagai industri diatas, kemampuan alginat tersebut dapat digunakan dalam
proses imobilisasi. Dari penelitian yang telah banyak dilakukan, alginat merupakan matrix
imobilisasi yang paling baik, karena efisien, mudah digunakan, dapat dimodifikasi, dan
tidak bersifat toksik. Sifat-sifat alginat sebagian besar tergantung pada tingkat polimerisasi
dan perbandingan komposisi guluronat dan mannuronat dalam molekul.
Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam, dan sebagainya. Dalam
keadaan demikian, alginat akan mengalami degradasi. Selama penyimpanan, alginat cepat
mengalami degradasi dengan adanya oksigen, terutama dengan naiknya kelembaban udara.
Alginat dengan visositas tinggi lebih cepat terdegradasi dibandingkan alginat dengan
viskositas sedang atau rendah. Urutan stabilitas alginat selama penyimpanan adalah
natrium alginat > ammonium alginat > asam alginat (Sembiring, 2010)
Kemampuan alginat membentuk gel juga ditentukan oleh kadar asam guluronat
yang menyusun struktur alginat. Kekuatan gel ditentukan oleh ukuran molekul dan
komposisi struktur yang menyusun alginat. Tinggi kandungan asam guluronat di dalam
alginat akan menyebabkan alginat dapat mengikat ion divalent lebih baik dibandingkan
dengan alginat yang memiliki sedikit asam guluronat.
Kekakuan strukutur alginat dalam aplikasi imobilisasi ditentukan oleh adanya ion
divalent. Kekakuan strukutur alginat akan bertambah secara umum seiring dengan
bertambahnya afinitas terhadap ion – ion divalent. Berikut urutan ion yang dapat membuat
kekakuan dari alginat berdasarkan urutan afinitasnya,
Mn>Co>Zn>Cd>Ni>Cu>Pb>Ca>Sr>Ba. Namun tidak semua ion-ion ini dapat
diaplikasikan dalam imobilisasi sel. Ion Ca2+ adalah ion yang paling umum digunakan
untuk tujuan imobilisasi sel karena toksisitasnya yang paling rendah (Betha, 2009)
Universitas Sumatera Utara
33
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rantai asam guluronat melengkung
sedangkan rantai asam mannuronat merata. Hal ini menyebabkan keduanya mempunyai
perbedaan dalam berikatan dengan ion Ca2+. Penambahan Ca2+ pada asam guluronat
menjadikannya bentuk gel, seperti Ca2+ masuk kedalam egg box antar unit monomer
(Sembiring, 2010), seperti yang di tunjukkan dalam gambar 2.6.
Gambar 2.6 Proses terbentuknya egg box dari alginat
2.5 Kitosan
Kitosan adalah poli – (2,6– amino – 2 – deoksi - β -(1 – 4) – D – glukopiranosa dengan
rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga
dijumpai secara alamiah dibeberapa organisme. Proses kimiawi menggunakan basa,
misalnya NaOH, dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi,
yaitu mencapai 85 – 93% (Sugita et al, 2009).
Kitosan mempunyai nama lain selain kitin yaitu Kitosan Askorbat, N-karboksibutill
kitosan. Kitosan berbentuk lembaran tipis , tidak berbau, berwarna putih, dan terdiri dari
dua jenis polimer yaitu poli (2-deoksi-2-asetilamin-2-glukosa) dan poli (2-deoksi-2-
aminoglukosa) yang berikatan secara beta (1,4). Adapun struktur kitosan dapat dilihat pada
gambar 2.7.
Universitas Sumatera Utara
34
Gambar 2.7 Struktur dasar Penyusun dari Kitosan
Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa = 6,5) hal
yang sangat jarang terjadi secara alamiah. Sifat yang basa ini menjadikan kitosan:
a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat
digunakan dalam pembuata gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran,
membran, pelapis kapsul, serat dan spons.
b. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang dapat juga
digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul, dan membran.
c. Dapat digunakan sebagai pengkhelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan
sistem produksi terhadap efek dekstruksi dari ion (Meriaty, 2002)
2.6 Imobilisasi Sel
Proses produksi etanol dapat dilakukan dengan cara fermentasi. Teknik fermentasi
konvensional yang biasa dilakukan adalah dengan mencampur sel ragi yang mengandung
Saccharomyces cerevisiae dengan substrat yang mengandung glukosa. Namun teknik ini
memiliki beberapa kelemahan antara lain sulitnya proses isolasi produk hasil fermentasi
dan sel ragi yang digunakan tidak dapat diperoleh kembali sehingga ragi yang digunakan
hanya dapat digunakan sekali saja. Teknik ini juga memiliki kekurangan antara lain sel ragi
yang digunakan dapat mati diakibatkan oleh faktor inhibisi dari produk hasil fermentasi
yaitu etanol yang merupakan senyawa yang dapat memecah sel ragi tersebut sehingga
ketersediaan etanol sebenarnya menyebabkan kematian ragi semakin cepat. Kadar etanol
yang dapat ditoleransi oleh sel S.cerevisiae sebesar 14%. sel S.cerevisiae juga tidak dapat
mentoleransi dari perubahan lingkungan seperti pH dan suhu dari lingkungan medianya.
Universitas Sumatera Utara
35
Untuk dapat mengeliminasi kelemahan-kelemahan tersebut maka dilakukan
imobilisasi sel Sacchaomyces cerevisiae tersebut. Dengan demikian sel yang diperoleh
lebih tahan terhadap inhibisi dari etanol yang dihasilkan. Sel terimobil ini juga dapat
menahan perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya seperti perubahan pH dan
suhu, dan tentunya dapat digunakan lagi berulang-ulang setelah mengkatalisis suatu reaksi
sintesis tertentu (Chibata, 1978).
Sel terimobilisasi dapat didefenisikan sebagai sel yang secara fisik ditempatkan
dalam suatu ruang tertentu yang sudah di atur dengan kondisi tertentu dan tetap memiliki
aktifitas katalitiknya dan dapat digunakan secara berulang-ulang ataupun secara berlanjut
(Chibata, 1978).
Imobilisasi sel juga merupakan salah satu usaha untuk mempermudah proses
pemisahan produk hasil fermentasi molase yaitu etanol dengan sel Saccharomyces
cerevisiae selama reaksi berlangsung dengan menggunakan sistem dua fase, yaitu satu fase
mengandung sel dan fase lainnya mengandung produk, sehingga tidak terjadi proses
kontaminasi dari produk terhadap sel yang digunakan (Chaplin, 1990).
Imobilisasi juga diartikan sebagai suatu modifikasi tempat sel untuk hidup dengan
meniru keadaan dari tempat berkembangnya sel sehingga sel tetap dapat berkembang dan
bekerja dalam proses katalisis suatu reaksi yang berkesinambungan (Zaborsky, 1973).
2.6.1 Metode Imobilisasi
Metode untuk imobilisasi enzim dapat dibagi atas 3 kategori dasar, yaitu:
1. Metode Carrier-binding
Metode ini dibagi menjadi tiga berdasarkan cara pengikatan enzimnya, yaitu
adsorpsi fisika, pengikatan ionik, dan pengikatan kovalen.
a. Metode Adsorpsi fisika
Universitas Sumatera Utara
36
Metode ini berdasarkan pada adsorpsi fisika dari protein enzim pada permukaan
pembawa yang tidak larut dalam air. Kelemahan dari metode ini dimana enzim
yang diserap dapat bocor selama pemakaian karena gaya ikat antara protein
enzim dan pembawa lemah.
b. Metode pengikatan ionik
Metode pengikatan ionik berdasarkan pengikatan ionik dari protein enzim pada
pembawa yang tidak larut dalam air yang mengandung residu penukar ion.
Kelemahan metode ini dimana kebocoran dapat terjadi dimana dalam larutan
substrat dengan kekuatan ionik yang tinggi atau pada variasi pH.
c. Metode pengikatan kovalen
Pada metode ini diperlukan kondisi reaksi yang sulit dan biasanya dilakukan
tidak dalam keadaan kamar. Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa ikatan
kovalen mengubah bentuk konformasi dan pusat aktif enzim yang
mengakibatkan kehilangan aktivitas atau perubahan spesifitas aktivitas.
2. Metode Ikat Silang
Metode ini berdasarkan pembentukan ikatan kimia seperti dalam metode ikat
kovalen,namun pembawa yang digunakan tidak larut dalam air. Imobilisasi enzim
dilakukan dengan pembentukan ikat silang intermolekuler diantara molekul enzim
dengan penambahan reagent bi-atau multifungsional.
3. Metode Penjebakan
Metode penjebakan berdasarkan pengikatan enzim dalam kisi matriks polimer atau
melingkupi enzim dalam membran semipermiabel dan dibagi menjadi tipe kisi dan
mikrokapsul.
a. Tipe kisi (lattice type)
Metode penjebakan tipe kisi meliputi penjebakan enzim dalam bidang batas
(intersititial space) dari suatu ikat – silang yang tidak larut dalam air misalnya
gel matriks.
Universitas Sumatera Utara
37
b. Mikrokapsul
Penjebakan dengan cara mikrokapsul melibatkan pelingkupan enzim dengan
membran polimer semipermiabel.Prosedur untuk mikroenkapsulasi enzim dapat
dibagi kedalam tiga kategori (Chibata,1978) yaitu :
1. Polimerisasi interfasial
2. Pengeringan cair (liquid drying)
3. Pemisahan fase (phase separation)
Teknik penjebakan yang umum untuk mikroorganisme dalam butiran adalah
pembentukan gel ionotropik dari makromolekul dengan kation multivalensi. Penjebakan
dapat terjadi dengan mencampurkan mikroorganisme dengan polimer anionik dan
kemudian diikatsilang larutan tersebut dengan kation multivalensi sehingga membentuk
struktur yang menjebak mikroorganisme tersebut. (Liouni,2007).
Dalam penelitian kali ini dilakukan teknik mikrokapsul. Dasar dari penggunaan
teknik mikrokapsul didasarkan pada kestabilan yang lebih tinggi pada proses fermentasi,
sederhana dalam pembuatan dan penggunaan, terjadi interaksi yang kuat, mudah dalam
pemisahan produk dan juga mudah dalam modifikasi (Mosbach, 1976).
2.7 Fermentasi
2.7.1 Pengertian Fermentasi
Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan
ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang pengertiannya berbeda
dengan air mendidih. Gas yang terbentuk tersebut di antaranya karbondioksida (CO2)
(Afrianti,2004).
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam kondisi anaerob (tanpa
oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan
Universitas Sumatera Utara
38
tetapi definisi yang lebih jelas mengatakan bahwa fermentasi diartikan sebagai respirasi
dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor electron eksternal (Darmanto, 2006).
Fermentasi juga dapat diartikan sebagai perubahan gradual oleh enzim, bakteri, khamir dan
jamur. Contoh fermentasi yang ada di kehidupan sehari – hari antara lain pengasaman
susu, perubahan gula menjadi alkohol serta oksidasi senyawa nitrogen organik (Hidayat et
al, 2006).
2.7.2 Pembagian Fermentasi
Menurut Afrianti (2004) fermentasi berdasarkan kebutuhan O2, dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Ferementasi aerob (proses respirasi)
Fermentasi aerob yaitu disimilasi bahan-bahan yang disertai dengan pengambilan oksigen.
Semua organisme untuk hidupnya memerlukan sumber energi yang diperoleh dari hasil
metabolisme bahan pangan, dimana organisme itu berada. Bahan energi yang paling
banyak digunakan mikroorganisme untuk tumbuh adalah glukosa. Dengan adanya oksigen
maka mikroorganisme dapat mencerna glukosa menghasilkan air, karbondioksida dan
sejumlah besar energi. Contoh : fermentasi asam asetat, asam nitrat, dan sebagainya.
2. Fermentasi anaerob
Fermentasi anaerob yaitu fermentasi yang tidak membutuhkan adanya oksigen, Beberapa
mikroorganisme dapat mencerna bahan energinya tanpa adanya oksigen. Jadi hanya
sebagian bahan energi itu dipecah, yang dihasilkan adalah sebagian dari energi,
karbondioksida dan air, termasuk sejumlah asam laktat, asetat, etanol, asam volatil, alkohol
dan ester. Biasanya dalam fermentasi ini menggunkan mikroba yeast, jamur dan bakteri.
Fermentasi tipe anaerob menghasilkan sejumlah kecil energi, karbondioksida, air, dan
produk akhir metabolik organik lain, seperti asam laktat, asam asetat, dan etanol serta
sejumlah kecil asam organik volatil lainnya, alkohol dan ester (Buckle et.al, 1985). Pada
Universitas Sumatera Utara
39
proses fermentasi anaerob mula-mula glukosa dipecah menjadi asam piruvat yang melalui
lintasan Embden Meyerhoff Pamas (EMP). Setelah itu terjadi dekarboksilasidehida asam
piruvat menjadi asetaldehida. asetaldehida tereduksi menjadi etanol yaitu menerima
elektron hasil oksidasi asam gliseraldehida 3- phosphat. Melalui proses fermentasi anaerob
ini 90% glukosa akan dirubah menjadi etanol dan CO2 (Ansori, 1989).
Reaksi pada Gambar 2.8 asetaldehida bertindak sebagai penerima hidrogen dalam
fermentasi, dimana hasil reduksinya oleh NADH2 menghasilkan etanol, dan NAD yang
teoksidasi kemudian dapat digunakan lagi untuk menangkap hidrogen (Fardiaz,1992)
Gambar 2.6 Proses fermentasi glukosa
Gambar 2.8 Proses pembentukan etanol dari glukosa
2.7.3 Mekanisme fermentasi
Didalam fermentasi , kapasitas mikroba untuk mengoksidasi tergantung dari jumlah
akseptor elektron terakhir yang dapat dipakai. Sel – sel melakukan fermentasi
menggunakan enzim-enzim yang akan mengubah hasil dari reaksi oksidasi , dalam hal ini
yaitu asam menjadi senyawa yang memiliki muatan positif, sehingga dapat menangkap
elektron terakhir dan menghasilkan energi (Fardiaz, 1990)
Untuk memperoleh hasil fermentasi yang optimum, terdapat hal – hal yang harus
dipenuhi untuk pertumbuhan dari sel (Winarno, 1980) yaitu :
Universitas Sumatera Utara
40
- pH dari Reaksi yang berlangsung
- Konsentrasi substrat yang digunakan
- Temperatur selama fermentasi dan
- Kemurnian dari Sel yang digunakan.
Jika tumbuh dalam keadaaan anaerobik, sel Saccharomyces cerevisiae lebih
cenderung memfermentasi substrat karbohdirat untuk menghasilkan etanol bersama sedikit
produk akhir, sesuai dengan jalur glikolisis menurut Buckle, (1987).
2.8 Kromatografi Gas
Kromatografi gas merupakan teknik kromatografi yang digunakan untuk memisahkan
senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa yang dapat dipisahkan dengan
kromatografi gas sangat banyak, namun ada batasan-batasannya. Senyawa tersebut harus
mudah menguap dan stabil pada temperatur pengujian. Temperatur ini berkisar 50-300oC.
Jika senyawa yang diuji tidak dapat menguap dan stabil pada temperatur pengujian, maka
senyawa tersebut bisa diderivatisasi agar dapat dianalisis dengan kromatografi gas
(Mardoni et al, 2007).
Penentuan kadar etanol yang terdapat dalam sampel dapat dilakukan dengan
menggunakan kromatografi gas (GC). Metode ini dapat digunakan karena metode ini
mampu memisahkan zat-zat organik (berupa cairan komplek), waktu analisis relatif
singkat, jumlah sampel yang dibutuhkan untuk analisis relatif kecil, dan kepekaan tinggi
(Munson, 1981).
Kromatografi gas, fase geraknya berupa gas inert, sedangkan fase diamnya dapat
berupa zat padat atau zat cair. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas
bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap)
yang terikat pada zat padat penunjangnya (Khopkar, 2003).
Universitas Sumatera Utara
41
2.9 Mikroskop cahaya
Mikroskop cahaya merupakan jenis mikroskop yang menggunakan cahaya matahari atau
lampu sebagai sumber cahaya. Pada dasarnya mikroskop cahaya bekerja sebagai suatu alat
pembesar tingkat dua. Suatu lensa objektif melakukan pembesaran awal, dan suatu lensa
okuler ditempatkan sedemikian rupa sehingga memperbesar bayangan pertama untuk
kedua kalinya. Pembesaran seluruhnya diperoleh dengan mengalikan kekuatan pembesaran
lensa objektif dan lensa okuler.
Untuk dapat melihat bagaimana interaksi dari penyusun bead, dapat dilakukan
menggunakan mikroskop cahaya, hal ini berlandaskan bahwa pada setiap penyusun dari
bead memiliki bentuk permukaan yang berbeda. Melalui mikroskop cahaya masing-masing
penyusun dapat dilihat dari bentuk permukaan yang berbeda-beda sehingga dapat
ditentukan komponen penyusun dari bead.
Liouni (2007) menggunakan mikroskop cahaya sebagai alat untuk melihat jumlah
bead yang rusak dari pengujian stabilitas mekanik dari bead. Mikroskop cahaya dapat
digunakan sebagai alat untuk melihat permukaan dari bead dikarenakan perbesaran hingga
1000x sehingga dapat dijadikan cara untuk melihat pori dan permukaan dari benda. Bead
yang terbentuk dan yang digunakan dalam fermentasi juga dianalisis menggunakan
mikroskop cahaya dikarenakan mikroskop cahaya mudah dalam penggunaan, biaya
operasional relatif murah dan menghasilkan gambar yang jelas.
Universitas Sumatera Utara