HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id 4... · Foto mikrograf isolat kapang dengan perbesaran...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id 4... · Foto mikrograf isolat kapang dengan perbesaran...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Identifikasi Kapang dan Khamir Ragi Tape
Berdasarkan hasil pengumpulan sampel ragi tape, terlihat bahwa masing-
masing daerah memiliki produk ragi tape tersendiri, kecuali ragi tape NKL yang
dapat ditemukan di tiga wilayah di pulau Jawa yaitu Semarang, Yogyakarta dan
Madiun. Sebanyak 13 sampel ragi tape telah berhasil diisolasi kandungan
mikroorganismenya dan diperoleh sebanyak 24 isolat kapang dan 13 isolat khamir
yang dapat dikelompokkan menjadi 5 Genus yaitu Mucor/Chlamydomucor,
Rhizopus, Aspergillus, Saccharomycopsis dan Saccharomyces. Selanjutnya
dilakukan identifikasi kapang lebih lanjut sampai ke tingkat spesies kecuali Genus
Aspergillus, sedangkan identifikasi khamir hanya sampai tingkatan Genus
mengingat keterbatasan uji-uji fisiologis yang dilakukan. Hasil isolasi dan
identifikasi kapang dan khamir dari ragi tape secara lengkap terangkum dalam
Tabel 4. Sedangkan karakteristik dan hasil pengamatan secara makroskopis dari
isolat kapang dan khamir dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6 serta Gambar 5 dan 6.
Tabel 4. Hasil isolasi dan identifikasi kapang dan khamir ragi tape
Asal Daerah Nama Ragi Isolat Kapang dan Khamir Kereta Kencana Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Saccharomycopsis
sp 2. Gunung Chlamydomucor oryzae., Rhizopus nigricans .
DKI Jakarta
Tanpa Merek Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Rhizopus arrhizus. Cakra Matahari Rhizopus oryzae., Saccharomycopsis sp 1. Berlian Chlamydomucor oryzae., Rhizopus oryzae,
Saccharomycopsis sp 1.
Bandung
Sae Super Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp 1. Gedang Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii,
Saccharomycopsis sp 2. Semarang
Na Kok Liong (NKL)
Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp. 1, Saccharomyces sp.
Rembang Sidojoyo Chlamydomucor oryzae, grup Aspergillus niger, Aspergillus sp, Saccharomycopsis sp 1.
MK Kalasan Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii Yogyakarta NKL Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii,
Saccharomycopsis sp 1., Saccharomyces sp. NKL Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp 2.,
Saccharomyces sp. Madiun
Tanpa Merek Mucor rouxii, Rhizopus nigricans, Saccharomycopsis sp 1.
32
Gambar 5. Foto mikrograf isolat kapang dengan perbesaran 400x
(1) Mucor rouxii (2) Chlamydomucor oryzae (3) Rhizopus nigricans (4) R. oryzae (5) R. arrhizus (6) grup Aspergillus niger
Tabel 5. Karakteristik isolat kapang ragi tape
Karakteristik isolat kapang Hasil identifikasi kapang Diameter sporangium < 100µm, berwarna putih sampai coklat keemasan, tumbuh pada suhu 37oC, spora berukuran 4-5µm
Mucor rouxii
Miselium berwarna putih, tidak membentuk spora atau konidia, klamidospora terdapat dalam jumlah banyak yang dibentuk di dalam hifa miselium terisolasi atau terletak dalam larikannya dengan ukuran yang berbeda-beda
Chlamydomucor oryzae
Rhizoid berkembang dengan baik, spora berukuran 9-12 x 7,5-8µm
Rhizopus nigricans
(1) (2)
(3) (4)
(5) (6)
33
Karakteristik isolat kapang Hasil identifikasi kapang
Rhizoid berkembang dengan baik, spora berukuran 7-9 x 4,5-6µm
Rhizopus oryzae
Rhizopus jarang ditemukan dan pendek, sporangiofora tidak membengkak dan panjangnya lebih dari 150µm
Rhizopus arrhizus
Kepala konidia berwarna hitam atau coklat tua, berbetuk bulat, tumbuh baik dan bersporulasi pada medium Czapeks agar
Grup Aspergillus niger
Gambar 6. Foto mikrograf isolat khamir perbesaran 400x (1) Saccharomycopsis sp. 1 (2) Saccharomycopsis sp. 2 (3) Saccharomyces sp.
(3)
(2)
(1)
34
Tabel 6. Karakteristik isolat khamir ragi tape
Karakteristik isolat khamir Hasil identifikasi khamir Koloni berwarna putih krem, sel tumbuh membentuk miselium sejati, berseptat dan bercabang, dapat tumbuh pada suhu 37oC, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi (lemah) dekstrosa, sukrosa dan maltosa, dan rafinosa, dapat melakukan asimilas i dekstrosa, sukrosa, maltosa, dan rafinosa
Saccharomycopsis sp1.
Koloni berwarna putih krem, sel tumbuh membentuk miselium sejati, berseptat dan bercabang, dapat tumbuh pada suhu 37oC, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi (lemah) dekstrosa, sukrosa dan maltosa, dan rafinosa, dapat melakukan asimilasi dekstrosa, sukrosa, maltosa, rafinosa dan trehalosa
Saccharomycopsis sp.2
Koloni berwarna putih krem, licin, sel berbentuk oval atau bulat berukuran (6,75-13,5µm) x (6,75-27µm), sel tunggal atau bergerombol, tidak membentuk pseudomiselium, dapat tumbuh pada suhu 37oC, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi) dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa dan rafinosa, dapat melakukan asimilasi dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, rafinosa dan trehalosa
Saccharomyces sp.
Pada Tabel 4 terlihat bahwa kapang yang sering ditemukan pada sampel
ragi tape adalah Chlamydomucor oryzae dan Mucor rouxii, selain itu juga
ditemukan Rhizopus nigricans, R. oryzae, R. arrhizus dan grup Aspergillus niger.
Sedangkan khamir yang sering dijumpai adalah Saccharomycopsis sp1., selain itu
juga ditemukan Saccharomyces sp. pada semua sampel ragi tape NKL. Khamir
Saccharomycopsis sp merupakan nama baru dari Endomycopsis.
Saono (1982) telah melakukan penelitian isolasi mikroorganisme dari
25 sampel ragi tape yang berasal dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Hasil penelitian menunjukkan kandungan mikroorganisme ragi tape
sangat bervariasi karena terdapat keragaman bahan-bahan pembuatan ragi tape
khususnya bumbu rempah-rempah yang digunakan. Jenis mikroorganisme yang
berhasil diisolasi adalah Amylomyces, Mucor, Rhizopus, Endomycopsis
(Saccharomycopsis), Saccharomyces, Hansenula, Candida, Pediococcus dan
Bacillus
35
Dwijoseputro (1976) menemukan kapang Aspergillus oryzae, khamir
Candida parapsilosis, C. melinii, Hansenula subpelliculosa, H. anomala dan
H. malanga nov. sp pada ragi tape asal Malang. Sedangkan ragi tape asal
Surakarta dapat dijumpa i adanya kapang Chlamydomucor oryzae (Amylomyces
rouxii) dan khamir C. laktosa.
Isolasi dan identifikasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masing-
masing ragi tape mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme dan di antara
sampel ragi tape tidak terdapat kesamaan kandungan mikroorganisme. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Saono (1982) bahwa jenis kapang dan khamir yang
terdapat dalam ragi tape bermacam-macam tergantung asal dan cara ragi dibuat.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Saono (1982) dan Dwijoseputro
(1976), jenis isolat yang diperoleh secara umum hampir sama yaitu Genus Mucor,
Chlamydomucor/Amylomyces, Rhizopus, Aspergillus, Saccharomycopsis dan
Saccharomyces, namun ada beberapa isolat khamir yang tidak ditemukan dalam
penelitian ini yaitu Candida dan Hansenula. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan mikroorganisme yang terdapat di dalam ragi secara umum tidak
berubah banyak walaupun sudah diproduksi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu,
walaupun demikian variasi kandungan mikroorganisme di antara ragi tape masih
cukup tinggi.
Kapang Chlamydomucor oryzae (Amylomyces rouxii) dan khamir
Saccharomycopsis sering dijumpai karena mikroorganisme tersebut bersifat
amilolitik yang sangat berperan dalam proses pembuatan tape. Peranan
mikroorganisme dalam ragi tape terangkum dalam Tabel 7. Rahayu dan
Suliantari (1990) menyebutkan proses fermentasi tape dibagi menjadi dua tahap
yaitu pembuatan pati menjadi gula sederhana oleh kerja kapang dan perubahan
gula menjadi alkohol oleh kerja khamir. Mikroba yang diduga paling berperan
dalam fermentasi tape adalah Amylomyces rouxii, Endomycosis
(Saccharomycopsis) burtonii dan Saccharomyces cereviseae.
36
Tabel 7. Peranan mikroorganisme dalam ragi tape *)
Grup mikroorganisme Genus Peranan
Amylomyces Sakarifikasi dan likuifier Mucor Sakarifikasi dan likuifier
Kapang amilolitik
Rhizopus Likuifier (lemah) dan penghasil alkohol
Khamir amilolitik Endomycopsis / Saccharomycopsis
Sakarifikasi dan penghasil aroma (lemah)
Saccharomyces Penghasil alkohol Hansenula Penghasil aroma yang sedap Endomycopsis / Saccharomycopsis
Penghasil aroma spesifik
Khamir non amilolitik
Candida Penghasil aroma spesifik Bakteri asam laktat Pediococcus Penghasil asam laktat Bakteri amilolitik Bacillus Sakarifikasi *) Saono (1982)
Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir dalam Mereduksi Kandungan Aflatoksin
Isolat kapang dan khamir yang diisolasi dari ragi tape memiliki
kemampuan yang bervariasi dalam mereduksi aflatoksin (Tabel 8, Lampiran 8).
Kapang Chlamydomucor oryzae asal Ragi Gedang memiliki kemampuan terendah
dalam mereduksi aflatoksin total yaitu sebesar 39,5%, sedangkan kapang
M. rouxii asal Ragi Gedang memberikan persentase reduksi aflatoksin tertinggi
pada semua jenis aflatoksin yang diproduksi A. parasiticus yakni 99,4% untuk
AFB1 dan AFB2 ; 99,9% untuk AFG1 dan AFG2, dan aflatoksin total sebesar
99,7%. Persentase reduksi total aflatoksin oleh khamir ragi tape berkisar antara
72,4-98,1% dengan isolat Saccharomyces sp. asal Ragi NKL memiliki
kemampuan tertinggi dalam mereduksi aflatoksin dibandingkan jenis khamir
lainnya yakni sebesar 95,9% AFB1 ; 97,1% AFB2; 89,4% AFG1; 99,1% AFG2
dan 98,1% aflatoksin total.
Kapang M. rouxii, Chlamydomucor oryzae dan Saccharomycopsis sp.
yang berasal dari ragi tape yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda
dalam mereduksi aflatoksin. Menurut Suzzi et al (1995), aktivitas biokontrol
tidak sepenuhnya tergantung pada spesies atau genus karena setiap galur memiliki
karakteristik yang spesifik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang
37
menunjukkan dari 12 galur S. cereviseae yang diuji aktivitas penghambatannya,
ternyata masing-masing galur memiliki aktivitas penghambatan yang bervariasi,
di mana S. cerevisiae galur N 826 dan N 831 mampu menghambat 9 jenis kapang
patogen yang diuji sementara galur lainnya hanya sekitar 6-8 jenis kapang
patogen.
Tabel 8 Reduksi aflatoksin oleh isolat kapang dan khamir ragi tape
Persentase reduksi aflatoksin Isolat kapang/khamir Ragi AFB1 AFB2 AFG1 AFG2 Total
1 Mucor rouxii Tanpa Merek 45,8 20 82,6 25 61,4 2 Mucor rouxii Gedang 99,4 99,4 99,9 99,9 99,7
3 Chlamydomucor oryzae.
MK Kalasan 98,3 99,1 99,7 99,6 99,3
4 Chlamydomucor oryzae.
Gedang 55 54 15,8 76,6 39,5
5 Grup Aspergillus niger Sidojoyo 99,2 99,2 99,5 99,5 99,4 6 Rhizopus nigricans Tanpa Merek 48,7 62,5 80,2 81,3 73,1
7 Rhizopus oryzae. Cakra Matahari 66,7 53,3 55,6 33,3 54,7 8 Saccharomycopsis sp. Berlian 71,6 85,9 89,4 89,7 86,2
9 Saccharomycopsis sp. Gedang 77,1 77,5 68,7 64,3 72,4 10 Saccharomyces sp. NKL 95,9 97,1 89,4 99,1 98,1
Menurut Horn dan Wicklow (1983) A. niger dapat menghambat produksi
aflatoksin B1 oleh A. flavus pada biji jagung sebesar 70-96%. Fusarium
moniliforme, Trichoderma viride dan R. nigricans dapat menghambat
pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin sebesar 73,2 % ; 80,9 %; dan
45,4% (Choundary 1992). Hasil penelitian Faraj et al (1993) menunjukkan
A. niger, R. oryzae dan M. racemosus yang ditumbuhkan bersama -sama dengan
A. flavus mampu mereduksi aflatoksin yang dihasilkan sebesar 47,3 % ; 44,4 %
dan 39,5 %.
Jika dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan di
atas, terlihat bahwa beberapa isolat kapang ragi tape memiliki kemampuan
mereduksi aflatoksin cenderung lebih baik, misalnya R. nigricans mampu
mereduksi aflatoksin 73,1% sementara hasil penelitian Horn dan Wicklow (1983)
menunjukkan penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin sebesar 45,4%.
Perbedaan hasil reduksi aflatoksin di atas dapat disebabkan oleh perbedaan galur
kapang antagonis yang digunakan serta metode pengujian yang digunakan di
dalam penelitian.
38
Kemampuan Penghambatan Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan A. parasiticus
Pada penelitian selanjutnya dipilih satu jenis isolat kapang dan satu jenis
isolat khamir yang memiliki kemampuan tertinggi dalam mereduksi aflatoksin
yaitu M. rouxii dan Saccharomyces sp. Dasar pertimbangan pemilihan kedua
isolat ini adalah selain memiliki persentase reduksi aflatoksin yang tinggi, kedua
isolat sering digunakan dalam proses pengolahan pangan sehingga relatif lebih
aman untuk diaplikasi. Kapang M. rouxii sering digunakan pada proses
sakarifikasi pati (Rahman 1990), di samping itu Genus Mucor dikenal juga
sebagai kapang the first saprophytic colonizer (Botha dan du Preez 2000).
Sedangkan khamir Saccharomyces sp. diketahui banyak berperan dalam proses
fermentasi produk pangan dan juga di bidang peternakan sebagai sumber nutrisi.
Pada uji reduksi aflatoksin sebelumnya terlihat bahwa kapang
Chlamydomucor oryzae asal Ragi MK Kalasan dan Grup Aspergillus niger asal Ragi
Sidojoyo juga memiliki persentase reduksi aflatoksin yang tidak jauh berbeda dengan
M. rouxii asal ragi Gedang yaitu sekitar 99%. Namun ada beberapa pertimbangan
sehingga kedua isolat tersebut tidak terpilih yaitu kapang C. oryzae diketahui tidak
membentuk spora atau konidia tetapi hanya klamidospora, sehingga dikhawatirkan secara
teknis akan berpengaruh pada saat proses perbanyakan kapang. Sedangkan kapang grup
A. niger tidak terpilih karena A. niger berindikasi menyebabkan mikosis
(Aspergillosis) pada hewan setelah A. fumigatus dan A. flavus
http://www.myology.adelaide.edu.au/Fungal_Des riptions/Hyphomyetes_(hyaline)/Asper
gillus /niger.html).
Penghambatan pertumbuhan kapang oleh mikroorganisme dapat
disebabkan oleh adanya kompetisi nutrisi dan ruang, senyawa filtrat yang
dihasilkan oleh mikroorganisme atau perbedaan waktu generasi kedua
mikroorganisme. Berdasarkan uji penghambatan pertumbuhan A. parasiticus
terlihat bahwa kedua isolat M. rouxii dan Saccharomyces sp. mampu menghambat
pertumbuhan A. parasiticus. Kapang M. rouxii dapat menghambat pertumbuhan
A. parasiticus sampai hari ke -6 waktu inkubasi, kemudian terjadi pertumbuhan
walaupun jumlahnya lebih rendah dibandingkan kontrol (Gambar 7, Lampiran 9).
39
0
1
2
3
4
5
6
7
0 3 6 9Waktu (hari ke-)
Lo
g C
FU
/ml)
A
B
C
D
Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh M. rouxii diduga terjadi
akibat adanya kompetisi nutrisi di antara kedua kapang. Sepe rti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa Genus Mucor bersifat the first saprophytic
colonizer (Botha dan du Preez 2000) sehingga diduga kapang M. rouxii memiliki
kemampuan untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan A. parasiticus. Menurut
Dharmaputra et al. (2003), kapang yang mampu memperbanyak diri lebih cepat
dibandingkan A. flavus berpotensi untuk mengendalikan pertumbuhan A. flavus
sehingga dapat mencegah serangan A. flavus pada biji kacang tanah.
Pada Gambar 9 terlihat bahwa pertumbuhan kapang M. rouxii yang
diinokulasi bersama A. parasiticus maupun kontrol M. rouxii menunjukkan pola
pertumbuhan yang yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi
nutrisi antara kedua kapang tidak berpengaruh terhadap M. rouxii.
Gambar 7. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh M. rouxii, A,
A. parasiticus yang ditumbuhkan secara tunggal ; B, Jumlah A. parasiticus di dalam campuran A. parasiticus dan M. rouxii ; C, Jumlah M. rouxii di dalam campuran A. parasiticus dan M. rouxii ; D, M. rouxii yang ditumbuhkan secara tunggal
Selain akibat kompetisi nutrisi, penghambatan pertumbuhan A. parasiticus
diduga disebabkan juga oleh senyawa filtrat yang dihasilkan oleh M. rouxii.
Menurut Faraj et al. (1993) kapang Rhizopus sp menghasilkan filtrat yang dapat
menghambat pertumbuhan A. flavus dan atau produksi aflatoksin.
Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus
sebesar 3 satuan log dalam waktu 3 hari inkubasi (Gambar 8, Lampiran 10).
Aktivitas penghambatan Saccharomyces sp. dapat disebabkan oleh pertumbuhan
40
0
12
3
45
6
7
8
9
0 2 4 6 8 10Waktu (hari ke-)
Log
CFU
/ml A
B
C
D
Saccharomyces sp lebih cepat dibandingkan A. parasiticus sehingga terjadi
kompetisi nutrisi di antara kedua mikroba tersebut.
Hasil penelitian Suzzi et al. (1995) menunjukkan S. cerevisiae N 826 dan
N 831 dari buah beri anggur dapat menghambat pertumbuhan kapang patogen
pada buah dan tanah seperti Cladosporium variable, Rhizoctonia fragariae,
Phomopsis longicolla, Aspergillus niger, Sclerotinia sclerotiorum, Penicillium
digitatum, Macrophomina phseolina, Trichoderma viride dan Botrytis squamosa.
Pertumbuhan Saccharomyces sp. dengan atau tanpa A. parasiticus
menunjukkan pola yang serupa (Gambar 8, Lampiran 10). Seperti halnya
M. rouxii, kompetisi nutrisi antara A. parasiticus dan Saccharomyces sp. tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan Saccharomyces sp.
Gambar 8. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh Saccharomyces sp., A, A. parasiticus yang ditumbuhkan secara tunggal ; B, Jumlah A. parasiticus di dalam campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. ; C, Jumlah Saccharomyces sp. di dalam campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. ; D, Saccharomyces sp. yang ditumbuhkan secara tunggal
Pada hari terakhir inkubasi, terhadap campuran antara A. parasiticus dan
M. rouxii serta campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. dilakukan
pengamatan secara morfologi menggunakan kultur slide. Berdasarkan
pengamatan secara visual, A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama
dengan M. rouxii ataupun Saccharomyces sp. mengalami perubahan morfologi di
41
antaranya ukuran vesikel menjadi lebih kecil dan jumlah phialid yang terbentuk
menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol (Gambar 9).
Gambar 9. Pengaruh M. rouxii dan Saccharomyces sp. terhadap morfologi A. parasiticus setelah inkubasi bersama selama 9 hari (1) Kontrol A. parasiticus (2) A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama dengan M. rouxii (3) A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama dengan Saccharomyces sp (perbesaran 1000x)
Vesikel merupakan bagian dari struktur Aspergillus yang terbentuk dari
konidiofora yang mengalami pembengkakan. Vesikel lalu akan membentuk
phialid, dan selanjutnya phialid merupakan bagian untuk memproduksi konidia
(Bhatnagar et al. 2000). Apabila bentuk dan ukuran vesikel berubah serta jumlah
phialid yang terbentuk menjadi lebih sedikit, hal ini diduga akan berpengaruh
(1)
(2)
(3)
42
terhadap proses perbanyakan A. parasiticus karena berkaitan dengan jumlah
konidia yang terbentuk.
Hasil penelitian Razzaghi-Abyaneh et al. (2005) menunjukkan bahwa
berdasarkan pengamatan visual pada miselium A. parasiticus yang diiris
melintang setelah diberi perlakuan ekstrak daun neem sebesar 1,56% akan terjadi
pembentukan vakuola pada sitoplasma miselium, sementara bila konsentrasi
ekstrak dinaikkan menjadi 50% akan terjadi gangguan pembentukan dinding sel
miselium. Zohri et al. (1997) melaporkan bahwa A. parasiticus var. globosus IMI
120920 yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung natrium selenit 0,5 %
menyebabkan perubahan bentuk pada sterigmata dan ujung konidia telah
bergerminasi walaupun masih di dalam rantai konidia, sedangkan bila
ditumbuhkan pada medium yang mengandung kalium telurit 0,5% akan
menyebabkan sterigmata dan konidia membesar serta konidiofor menjadi lebih
ramping dan membentuk cabang seperti bentuk Penicillium.
Selain itu hasil pengamatan morfologi pada kultur slide juga menunjukkan
bahwa ukuran sel Saccharomyces sp. mengalami perubahan menjadi lebih kecil.
Sel Saccharomyces sp. yang ditumbuhkan secara tunggal memiliki ukuran
(6,75-13,5µm) x (6,75-27µm), sedangkan yang ditumbuhkan bersamaan dengan
A. parasiticus, ukuran sel menjadi (4-12µm) x (4-21µm) (Gambar 9). Hasil
penelitian Xu et al. (2003) menunjukkan bahwa spora A. flavus subsp parasiticus
yang ditumbuhkan bersama-sama dengan L. plantarum ATCC 8014 akan
mengalami pembengkakan, sementara L. plantarum ATCC 8014 sendiri juga
mengalami perubahan ukuran sel menjadi lebih besar dengan adanya A. flavus
subsp. parasiticus.
Kemampuan Saccharomyces sp. menghambat pertumbuhan A. parasiticus
selain disebabkan oleh kompetisi nutrisi di antara kedua mikroba, diduga juga
disebabkan oleh Saccharomyces sp. menghasilkan enzim β-glukonase yang
dapat melisis dinding sel kapang A. parasiticus. Menurut Ray (2001) sel khamir
dapat menempel dengan kuat pada miselia kapang dan memproduksi enzim
β-glukonase yang dapat melisis dinding sel kapang. Kemampuan
Saccharomyces sp. dalam melisis miselia kapang A. parasiticus dapat diketahui
melalui uji interaksi langsung khamir dengan kapang secara in vitro menurut
43
modifikasi metode Chan dan Tian (2005). Pada Gambar 10 terlihat bahwa sel
Saccharomyces sp. dapat menempel pada hifa A. parasiticus dan hal ini diduga
karena aktivitas enzim β-glukonase yang diproduksi Saccharomyces sp.
Gambar 10. Interaksi Langsung Saccharomyces sp. dengan A. parasiticus (perbesaran 400x) Hasil penelitian Chan dan Tian (2005) menunjukkan aktivitas enzim
β-1,3-glukonase dan ekso-kitinase khamir Pichia membranefaciens lebih tinggi
dibandingkan Cryptococcus albidus. Kondisi ini menyebabkan kemampuan
khamir P. membranefaciens menempel pada kapang patogen Monilinia fructicola,
Penicillium expansum dan Rhizopus stolonifer menjadi lebih tinggi dibanding
khamir C. albidus.
Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. terhadap Pertumbuhan
A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik filtrat M. rouxii maupun
Saccharomyces sp dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus (Gambar 11
dan 12 . Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium
mengandung filtrat M. rouxii pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 1,04 ; 1,42
; 1,91 ; 1,57 mg/ml. Sedangkan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium
MEB memiliki berat kering miselium sebagai berikut 1,88 ; 2,24 ; 1,83 ; dan 1,62
mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 11).
44
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 3 6 9 12waktu (hari)
ber
at k
erin
g m
isel
ia
(mg
/ml)
A B
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
Gambar 11 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap berat kering miselia A. parasiticus,
A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii
Fenomena serupa juga terlihat pada pertumbuhan A. parasiticus pada
medium yang mengandung filtrat Saccharomyces sp. A. parasiticus dapat tumbuh
pada medium yang hanya mengandung filtrat Saccharomyces sp. walaupun
pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan kontrol (Gambar 12).
Gambar 12 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap berat kering miselia A. parasiticus A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp.
Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium
mengandung filtrat Saccharomyces sp. pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut
0,89 ; 0,79 ; 1,34 ; 0,92 mg/ml. Sedangkan kontrol A. parasiticus yang
ditumbuhkan pada medium MEB menghasilkan berat kering miselium sebagai
45
berikut 1,88 ; 2,24 ; 1,83 ; dan 1,62 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran
12).
Menurut Rahman (1990), kapang genus Mucor dapat memproduksi asam
fumarat, suksinat, sitrat ataupun laktat. Sedangkan Saccharomyces sp. dapat
menghasilkan filtrat seperti etanol, gliserol, asam asetat, asam piruvat, asam
suksinat, asam á-ketoglutarat, dan asam fumarat pada medium yang mengandung
amonium (Albers et al. 1996). Filtrat-filtrat tersebut di atas diduga dapat
menghambat pertumbuhan A. parasiticus. Hasil penelitian Davis dan Diener
(1968) menyebutkan bahwa asam suksinat 6% dan asam sitrat 8% dapat
menghambat pertumbuhan A. parasiticus sedangkan etil alkohol 3%, asam
α-ketoglutarat 4% dan asam piruvat 5% dapat menjadi sumber karbon bagi
pertumbuhan A. parasiticus namun berat kering miselium yang terukur masih
lebih rendah dibandingkan bila menggunakan glukosa sebagai sumber karbon.
Gambar 13 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap kadar aflatoksin (1)B1, (2)B2,
(3)G1, (4) G2 dari A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii
Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh filtrat M. rouxii
berpengaruh juga terhadap biosintesis aflatoksin. Filtrat M. rouxii mampu
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 3 6 9 12
waktu (hari)
kad
ar
AF
G2 (p
pb
)
A B
(4) (3)
(2) (1)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0 3 6 9 12
waktu (har i )
A B
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
46
menghambat biosintesis keempat jenis aflatoksin yang dihasilkan A. parasiticus
yaitu Aflatokain B1, B2, G1 dan G2 (Gambar 13, Lampiran 15 dan 16).
Penurunan kemampuan biosintesis aflatoksin diduga disebabkan oleh filtrat
M. rouxii yang dapat menghambat biosintesis aflatoksin. Menurut Choundary
(1992), metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang dapat menyebabkan
perubahan lingkungan biokimia dari substrat, yang selanjutnya akan
mempengaruhi biosintesis aflatoksin.
Biosintesis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 oleh A. parasiticus juga dapat
dihambat pada saat kapang tersebut ditumbuhkan pada medium mengandung
filtrat Saccharomyces sp. sehingga kadar aflatoksin yang dihasilkan lebih rendah
dibandingkan dengan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB
(Gambar 14, Lampiran 19 dan 20). Terhambatnya pertumbuhan A. parasiticus
oleh adanya filtrat Saccharomyces sp. diduga menjadi penyebab biosintesis
aflatoksin juga menurun.
Gambar 14 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap biosintesis aflatoksin
(1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 dari A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp.
0
5
10
15
2 0
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 3 6 9 12waktu (har i )
A B
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
(4) (3)
(2) (1)
47
0
1
2
3
4
5
6
0 3 6 9 12waktu (hari)
A B
Hasil penelitian Purwijantiningsih (2005) menunjukkan bahwa medium
yang mengandung filtrat Candida sp. dapat menghambat pertumbuhan A. flavus
sekaligus biosintesis aflatoksin. Hua et al. (1999) menyatakan bahwa khamir
Pichia anomala WRL-076 dapat menghambat biosintesis aflatoksin.
Pada Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa biosintesis aflatoksin mencapai
titik tertinggi pada hari ke-9 inkubasi dan pada hari ke-12 mengalami penurunan.
Menurut Marth dan Doyle (1979), produksi aflatoksin maksimal terjadi setelah
inkubasi 5-9 hari. Inkubasi selanjutnya produksi aflatoksin menurun. Penurunan
tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas enzim P450 monooksigenase yang
berperan dalam mendegradasi aflatoksin secara endogen (Hamid et al. 1987).
Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp.
yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin
Pertumbuhan A. parasiticus di dalam medium yang mengandung filtrat
M. rouxii dan MEB (1:1) ternyata lebih cepat dibandingkan dengan kontrol
A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB (Gambar 15). Berat kering
miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang diperkaya yang
mengandung filtrat M. rouxii pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 3,66 ; 5,04
; 4,38 ; 3,43 mg/ml. Sedangkan kontrol A. parasiticus yang ditumbuhkan pada
medium normal menghasilkan berat kering miselium sebagai berikut 2,54 ; 3,67 ;
3,00 ; dan 2,34mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 13).
Gambar 15. Pengaruh filtrat M. rouxii yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap
pertumbuhan A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1)
48
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
Demikian halnya dengan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium
yang mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) juga mengalami
peningkatan pertumbuhan yang ditunjukkan dengan berat kering miselium
(Gambar 16). Nilai berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada
medium yang diperkaya pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 3,28 ; 2,84 ;
2,56 ; 2,30 mg/ml. Sedangkan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium
MEB memiliki berat kering miselium sebagai berikut 2,52 ; 2,55 ; 2,35 dan 2,02
mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 14).
Gambar 16. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1)
Peningkatan pertumbuhan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada kedua
medium di atas diduga disebabkan oleh pengkayaan nutrisi yang berasal dari
penambahan MEB sebanyak 50%. MEB (Malt Extract Broth) merupakan
medium pertumbuhan kapang yang mengandung malt extract, maltosa, dekstrosa
dan yeast extract. Selain itu konsentrasi filtrat kedua mikroba yang menjadi
separuhnya dibandingkan penggunaan filtrat 100% seperti pada penelitian
sebelumnya diduga sebagai promotor pertumbuhan kapang. Hasil penelitian
Graham dan Graham (1987) menunjukkan penggunaan konsentrasi bawang putih
0,3% pada medium YES dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus, namun
pada konsentrasi bawang putih 0,1-0,2% ternyata menstimulir pertumbuhan
A. parasiticus.
49
0
5
10
15
2 0
2 5
3 0
3 5
4 0
4 5
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
0
2
4
6
8
10
12
14
0 3 6 9 12
waktu (har i)
A B
Selain dapat menstimulir pertumbuhan A. parasiticus, filtrat M. rouxii dan
Saccharomyces sp. yang disuplementasi MEB (1:1) juga menyebabkan biosintesis
aflatoksin menjadi lebih tinggi dibandingkan kontrol . Pada Gambar 17 terlihat
bahwa kadar aflatoksin B1, B2, G1, G2 yang dihasilkan oleh A. parasiticus lebih
tinggi pada saat A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat
M. rouxii dan MEB (1:1)
Gambar 17 Pengaruh filtrat M. rouxii yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap
biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1)
Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang diperkaya
dan mengandung filtrat M. rouxii mencapai produksi maksimal pada hari ke -9, hal
ini sesuai dengan pernyataan Marth dan Doyle (1979) bahwa produksi aflatoksin
maksimum terjadi setelah inkubasi 5-9 hari.
A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat
Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) mampu melakukan biosintesis aflatoksin B1,
B2, G1 dan G2 lebih tinggi dibandingkan bila hanya ditumbuhkan pada medium
(4) (3)
(2) (1)
0
1
2
3
4
5
6
7
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
0
0.4
0.8
1.2
1.6
2
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
50
0
2000
4000
6000
8000
10000
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
MEB. Biosintesis keempat jenis aflatoksin maksimum terjadi pada hari ke-3,
bahkan produksi aflatoksin B1 bisa mencapai 10 kali lipat jika dibandingkan
kontrol (Gambar 18). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa gula-gula
seperti maltosa, dekstrosa ya ng terkandung di dalam medium setelah suplementasi
dengan MEB (1:1) menyebabkan terjadinya peningkatan biosintesis aflatoksin.
Hasil penelitian Buchanan dan Lewis (1984) menunjukkan bahwa miselium
kapang A. parasiticus yang semula ditumbuhkan pada medium pepton-mineral
salts tidak memproduksi aflatoksin, kemudian setelah dipindahkan ke dalam
medium glucose -mineral salts, terjadi kenaikan berat miselium sebesar 50%
antara 22-53 jam waktu inkubasi. Produksi aflatoksin juga terjadi setelah 23 jam
waktu inkubasi dengan produksi maksimum terjadi antara 47-70 jam kemudian
menurun.
Gambar 18 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp yang disuplementasi MEB (1:1)
terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1)
(4) (3)
(2) (1)
0
50
100
150
2 0 0
250
3 0 0
350
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
0
2 0 0
4 0 0
6 0 0
8 0 0
1 0 0 0
1 2 0 0
1 4 0 0
1 6 0 0
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
0
2 0
4 0
6 0
8 0
100
120
140
160
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
51
Secara umum, terjadinya peningkatan aktivitas biosintesis aflatoksin
diduga disebabkan oleh adanya suplementasi MEB sebesar 50% dari total
campuran medium. Penambahan medium MEB tersebut ditujukan sebagai
sumber nutrisi bagi kapang A. parasiticus dalam biosintesis aflatoksin selain
pengaruh dari filtrat kapang dan khamir kompetitor. MEB (Malt Extract Broth)
merupakan medium pertumbuhan kapang yang berisi malt extract, maltosa,
dekstrosa dan yeast extract yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi untuk
pertumbuhan dan biosintesis aflatoksin. Dutton (1988) melaporkan jenis gula
sukrosa yang disuplementasi dengan yeast extract akan menstimulir produksi
aflatoksin. Lebih lanjut Abdollahi dan Buchanan (1981a) menyebutkan bahwa
glukosa atau produk hasil metabolitnya merupakan inducer bagi satu atau lebih
enzim yang dibutuhkan dalam biosintesis aflatoksin.
Selain pengaruh dari sumber nutrisi pada medium MEB, filtrat yang
dihasilkan oleh M. rouxii dan Saccharomyces sp. diduga menyebabkan
peningkatan aktivitas biosintesis. Hasil penelitian Shantha dan Murthy (1981)
menunjukkan bahwa asam asetat secara tunggal atau dikombinasi dengan asam
fumarat dapat mendukung sintesis aflatoksin oleh A. flavus, namun pada saat
dikombinasi dengan asam piruvat terjadi penghambatan sintesis toksin. Hal ini
diduga disebabkan oleh terbentuknya asam oksaloasetat akibat reaksi antara asam
asetat dengan asam piruvat dan kondisi tersebut menyebabkan siklus TCA
menjadi aktif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa asam asetat
merupakan senyawa yang terkandung di dalam filtrat M. rouxii dan
Saccharomyces sp., sedangkan asam fumarat terkandung di dalam filtrat
M. rouxii.
Gliserol yang terkandung di dalam filtrat Saccharomyces sp. diduga juga
dapat menstimulir biosintesis aflatoksin. Hasil penelitian Davis dan Diener
(1968) menunjukkan bahwa gliserol 15% merupakan sumber kar bon yang baik
untuk pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin, lebih lanjut
Abdollahi dan Buchanan (1981b) mengemukakan bahwa gliserol merupakan
senyawa yang dapat menginduksi biosintesis aflatoksin.
Gareis et al. (1984) melaporkan bahwa asam sorbat 0,025% dapat
menstimulir produksi aflatoksin B1 oleh A. flavus. Stimulasi produksi aflatoksin
52
diduga disebabkan kerja senyawa antimikroba dari asam sorbat yang mengganggu
kerja siklus TCA (tricarboxylic acid) dan menghambat kerja enzim pada sel
seperti suksinat dehidrogenase dan malat dehidrogenase. Siklus TCA diketahui
sangat berperan dalam proses katabolisme dan anabolisme kapang. Apabila
siklus TCA terganggu maka akan terjadi akumulasi asetil-KoA yang merupakan
senyawa intermediat dalam biosintesis aflatoksin melalui jalur poliketida.
Kemampuan M. rouxii dan Saccharomyces sp dalam
Mendegradasi Aflatoksin
Degradasi aflatoksin secara biologi melibatkan transformasi dari molekul
aflatoksin menjadi derivat yang kurang toksisitasnya ataupun menjadi tidak
toksik. Menurut Mishra dan Das (2003), perlakuan detoksifikasi aflatoksin B1
diharapkan mampu memindahkan ikatan rangkap pada ujung cincin furan atau
membuka cincin lakton sehingga toksisitas senyawa aflatoksin B1 menjadi
berkurang.
Gambar 19. Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh M. rouxii
(4) (3)
(2) (1)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
0
1
2
3
4
5
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
0
2
4
6
8
10
12
14
0 3 6 9 12waktu (hari)
kad
ar A
FG
1 (p
pb
)
A B
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
0 3 6 9 12
w a k t u ( h a r i )
A B
53
0
2
4
6
8
10
12
0 3 6 9 12
waktu (hari)
kad
ar A
FB
1 (p
pb
)
A B
M. rouxii dan Saccharomyces sp. dapat mendegradasi aflatoksin yang
dihasilkan oleh A. parasiticus. Degradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 oleh
M. rouxii berturut -turut sebesar 76,9 % ; 83,3 %; 77,8 % ; dan 81,8 %, sedangkan
Saccharomyces sp. mampu mendegradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 sebesar
36,4 % ; 55,6 %; 37,8 %; dan 46,7% (Gambar 19 dan 20).
Degradasi aflatoksin oleh M. rouxii diduga disebabkan oleh enzim yang
dihasilkan oleh kapang tersebut. Hasil penelitian Cole dan Kirksey (1971)
menunjukkan bahwa R. oryzae dapat memetabolisme aflatoksin G1 menghasilkan
AF-1. AF-1 tersebut mulai terdeteksi di dalam kultur R. oryzae pada minggu
pertama inokulas i dan proses biodegradasi lengkap terjadi pada minggu ke -4
setelah inokulasi. Proses biodegradasi tersebut dapat disebabkan oleh enzim yang
diproduksi selama pertumbuhan kapang R. oryzae. Kapang Rhizopus sp. dan
A. flavus non-aflatoksigenik diketahui dapat mengubah aflatoksin B1 menjadi
aflatoksikol. Proses degradasi tersebut diduga disebabkan oleh enzim intraseluler
yang dihasilkan oleh kedua mikroorganisme (Nakazato et al. 1991)
Gambar 20. Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh Saccharomyces sp.
(4) (3)
(2) (1)
0
1
2
3
4
0 3 6 9 12
waktu (hari)
A B
0
2
4
6
8
10
12
14
0 3 6 9 12waktu (hari)
A B
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
0 3 6 9 12waktu (hari)
A B
54
Hasil penelitian Cole et al. (1972) menunjukkan bahwa R. arrhizus dapat
mendegradasi aflatoksin B1 sebesar 50-60%, sedangkan Marth dan Doyle (1979)
menyatakan bahwa Mucor alternans NRRL 3358 dapat mengubah AFB1 menjadi
aflatoksikol dalam waktu 3-4 hari. Hasil penelitian Purwijantiningsih (2005)
menunjukkan bahwa Rhizomucor pusillus dan Candida sp. mampu mendegradasi
aflatoksin B1 sebesar 27,3% dan 50%, sedangkan degradasi aflatoksin B2 oleh
kedua mikroba tersebut sebesar 22,7% dan 27,3%.
Selain itu degradasi aflatoksin dapat juga disebabkan karena pengikatan
aflatoksin oleh mikroorganisme ataupun komponen dari mikroorganisme tersebut.
Mannan dan glukan yang terdapat dalam dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat
aflatoksin B1 95%, zearalenon 77%, fumonisin 59% dan deoksinivalenol 12%
(Galvano et al 2001).
Pada Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa kadar aflatoksin total yang tidak
diinokulasi dengan M. rouxii dan Saccharomyces sp. mengalami penurunan
sebesar 60,77%. Hal ini menunjukkan selama waktu inkubasi 12 hari pada suhu
30oC terjadi perubahan sebagian struktur aflatoksin di dalam campuran medium
MEB dengan aflatoksin (1:1). Medium MEB merupakan medium pertumbuhan
kapang memiliki nilai pH 4,7 ± 0,2. Kondisi medium MEB yang cenderung asam
diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi aflatoksin pada campuran medium
MEB dengan aflatoksin (1:1) yang tidak diinokulasi dengan kapang/khamir.
Marth dan Doyle (1979) menyebutkan bahwa aflatoksin dapat terdegradasi
oleh larutan asam dan basa kuat. Tabata et al. (1994) melaporkan bahwa larutan
asam klorida dan asam sulfat dengan konsentrasi 1% dapat mendegradasi
aflatoksin B1 dan G1. Hasil penelitian Mendez-Albores et al. (2005)
menunjukkan bahwa larutan asam sitrat 1N dapat mendegradasi aflatoksin B1
(93 ng/g) sebesar 96,7% pada jagung membentuk senyawa yang kurang
mutagenik dibandingkan aflatoksin B1 yakni aflatoksin D1. Pembentukan
senyawa ini disebabkan oleh medium asam dapat mengkatalisis pembentukan
struktur β-keto acid yang dilanjutkan dengan proses hidrolisis cincin lakton
menghasilkan aflatoksin D1 (senyawa turunan dari dekarboksilasi cincin lakton
yang terbuka dari aflatoksin B1).
55
Lebih lanjut Hafez dan Megalla (1982) melaporkan bahwa larutan asam
laktat 2% dari silage dapat mendetoksifikasi aflatoksin B1 menjadi senyawa yang
kurang toksik yaitu aflatoksin B2a (hidroksidihidro-aflatoksin B1).
Selain faktor kondisi asam, degradasi aflatoksin dapat disebabkan oleh
adanya kontaminan karena senyawa-senyawa lain yang mungkin terekstrak yang
dapat mengganggu kestabilan larutan aflatoksin. Maggon et al. (1977) melaporkan
bahwa selain keempat jenis aflatoksin, A. parasiticus dapat menghasilkan
senyawa lain seperti sterigmatosistin dan senyawa turunannya seperti
O-metilsterigmatosistin, aspertoxin serta versikolor C dan A. Senyawa-senyawa
tersebut di atas merupakan prekursor-prekursor di dalam biosintesis aflatoksin.