BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hati -...

23
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hati 2.1.1 Anatomi Hati Hati merupakah organ terbesar pada tubuh, menyumbang sekitar 2 persen berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, berbentuk silindris dengan panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus hati berbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika dan kemudian ke vena cava. Lobulus dibentuk dari banyak lempeng sel hati yang menyebar dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hati tebalnya dua sel, dan diantara sel terdapat kanalikuli biliaris kecil yang mengalir ke ductus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hatiyang berdekatan (Guyton & Hall, 2012). (Bataller, 2005) Gambar 2.1 Arsitektur Normal Hati

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hati -...

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hati

2.1.1 Anatomi Hati

Hati merupakah organ terbesar pada tubuh, menyumbang sekitar 2

persen berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa.

Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, berbentuk silindris dengan

panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati

manusia mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus hati berbentuk

mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika dan

kemudian ke vena cava. Lobulus dibentuk dari banyak lempeng sel hati yang

menyebar dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hati

tebalnya dua sel, dan diantara sel terdapat kanalikuli biliaris kecil yang

mengalir ke ductus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus

hatiyang berdekatan (Guyton & Hall, 2012).

(Bataller, 2005)

Gambar 2.1 Arsitektur Normal Hati

6

(Bataller, 2005)

Gambar 2.2 Histologi Normal Hati

Didalam septum terdapat venula portal kecil yang menerima darah

terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula darah

mengalir ke sinusoid hati gepeng dan bercabang yang terletak diantara

lempeng-lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian, sel

hati terus-menerus terpapar dengan darah vena porta. Selain sel-sel hati,

sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel antarala lain Sel endotel khusus dan

Sel Kupffer besar (sel retikuloendotelia), yang merupakan makrofag residen

yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing

dalam darah sinus hepatikus. Diantara sel endotel dan sel hati, terdapat ruang

jaringan yang sangat sempit yang disebut ruang disse yang juga dikenal

sebagai ruang perisinusoidul. Jutaan ruang disse menghubungkan pembulu

limfe didalam septum interlobularis. Oleh karena itu, kelebihan cairan

didalam ruangan ini dikeluarkan melalui aliran limfatik. Karena besarnya pori

di endotel, zat didalam plasma bergerak bebas kedalam ruang disse bahkan

7

banyak protein plasma berdifusi dengan bebeas keruang ini (Guyton & Hall,

2012).

2.1.2 Fisiologi Hati

2.1.2.1 Fungsi Metabolisme

Tiga metabolisme dasar yang diregulasi oleh hati adalah metabolisme

karohidrat, protein, dan lemak. Fungsi metabolik lain yang terdapat dalam

hepar adalah penyimpanan vitamin, faktor koagulasi, penyimpanan besi, dan

ekskresi (obat, hormon, dan zat lain). Dalam metabolisme karbohidrat, hati

berfungsi untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Apabila

terdapat kelebihan glukosa dari darah hati akan menyimpan dan

mengembalikannya lagi kedarah apabila konsentrasi glukosa darah mulai

turun atau rendah. Selain mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal

hati juga memiliki fungsi sebagai gluconeogenesis. Gluconeogenesis

berfungsi untuk mempertahankan konsentrasi normal glukosa darah dengan

cara mengubah asam amino dan gliseroldari trigliserida menjadi glukosa

dalam kondisi konsentrasi glukosa dalam darah mulai menurun dibawah

normal (Guyton & Hall, 2012).

Dalam metabolisme lemak walaupun banyak sel tubuh

memetabolisme lemak, namun hampir semua sintesis lemak dalam tubuh dari

karbohidrat dan protein juga terjadi di hati. Beberapa fungsi spesifik

hatidalam metabolisme lemak antara lain oksidasi asam lemak untuk

menyuplai energi bagi fungsi tubuh lainnya, sintesis kolesterol, fosfolipid

dan sebagaian besar lipoprotein (Guyton & Hall, 2012).

8

Metabolisme yang paling penting dalam hati adalah metabolisme

protein yang apabila terjadi kegagalan dan hati tidak dapat melakukan

metabolisme protein total, pasien akan mengalami kematian dalam beberapa

hari. Fungsi hati yang paling penting dalam metabolisme protein antara lain :

Deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia,

pembentukan protein plasma dan interkonversi beragam asam amino dan

sintesis senyawa lain dari asam amino (Guyton & Hall, 2012).

Hampir 90% dari protein plasma dihasilkan oleh sel hati dan albumin

merupakan protein plasma yang paling banyakdalam tubuh manusia, yaitu

sekitar 55-60% dari protein serum yang terukur. Sintesis albumin hanya

terjadi di hati dengan kecepatan maksimum pembentukan 15-50 gram/hari.

Pengukuran serum albumin dapat digunakan untuk menilai perjalanan

penyakit, menilai gangguan fungsi hati, menenetukan awal dan keberhasilan

pengobatan bagi penderita sirosis hati. Pada penyakit hati kronis (contoh

sirosis) protein plasma seperti albumin dapat turun ke nilai yang sangat

rendah, yang dapat menyebabkan edema generalisata dan asites (Guyton &

Hall, 2012;Irsan dan Titie, 2008;Nafika, Leonita, Soehartini. 2013).

2.1.3 Regenerasi Sel Hati

Hati mempunyai kemampuan untuk mengembalikan dirinya sendiri

setelah kehilangan jaringan hati yang bermakna akibat hepatektomi parsial

atau jejas hati akut, selama jejas tersebut tidak diperparah oleh inveksi atau

peradangan. Regenerasi ini berlangsung sangat cepat dan membutuhkan

waktu hanya 5 sampai 7 hari pada tikus. Selama regenerasi hati, hepatosit

9

diperkirakan mengalami replikasi sebanyak satu atau dua kali, dan setelah

mencapai ukuran dan volume hati sebelumnya, hepatosit kembali dalam

keadaan semula (Guyton & Hall, 2012).

Pengaturan regenerasi hati belum diketahui jelas, namun faktor

pertumbuhan hepatosit (hepatocyte growth factor/HGF) sepertinya merupakah

faktor yang paling penting untuk menyebabkan pembelahan dan pertumbuhan

sel hati. HGF diproduksi oleh sel mesenkimal didalam hati dan jaringan lain,

namun bukan hepatosit. Kadar HGF darah meningkat lebih dari 20 kali lipat

setelah hepatektomi parsial, namun respon mitogenik biasanya ditemukan

hanya didalam hati setelah operasi ini, menunjukkan bahwa HGF mungkin

teraktifasi hanya pada sel yang bersangkutan. Faktor pertumbuhan lain,

terutama epidermal growth factor dan sitokin sepetri tumor necrosis factor

dan interleukin 6 dapat juga terlibat dalam merangsang regenerasi hati

(Guyton & Hall, 2012).

2.2 Jinten Hitam ( Nigella sativa )

Tanaman jinten hitam (Nigella sativa) sering ditemukan di daerah timur

tengah seperti Suriah, Lebanon, Israel, India, dan sampai Eropa selatan. Rata-rata

tinggi tanaman jinten hitam mencapa 45 cm dengan panjang daun 2.5 cm-5 cm

dan memiliki bunga berwarna biru pucat dan terkadang putih. Pada tangkai

bunga terdapat kapsul berisi biji berbentuk tabung yang sedikit pipih. Biji jinten

hitam ini sering digunakan untuk pengobatan tradisional (Paarakh, 2010).

Dalam Islam, biji jinten hitam dipercaya memiliki khasiat yang besar. Dalam

Ash-Shohihain diriwayatkan hadits dari Ummu Salamah, dari Abu Hurairah R.A,

10

Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya pada jintan hitam itu terdapat obat

untuk segala macam penyakit kecuali kematian”. Ibnu Sina juga menyatakan

dalam bukunya “The Canon of Medicine” bahwa biji jinten hitam dapat

meningkatkan energi dan menyembuhkan fatigue serta kelemahan (Paarakh,

2010).

2.2.1 Taksonomi

Kerajaan (Kingdom) : Plantae

Divisi (Division) : Magnoliophyta

Kelas (Class) : Magnoliopsida

Bangsa (Order) : Ranunculales

Suku (Family) : Ranunculaceae

Marga (Genus) : Nigella

Jenis (Species) : N. sativa (Sharma, et.al., 2009)

(Paarakh, 2010)

Gambar 2.3 Biji Jinten Hitam (Nigella sativa)

11

(Sultana, 2015)

Gambar 2.4 Bunga Jinten Hitam (Nigella sativa)

2.2.2 Kandungan

Biji jinten hitam mengandung dua jenis alkaloid yaitu alkaloid

isoquinolin misalnya nigellicimin dan alkaloid pyrazol misalnya nigellidin.

Selain alkaloid, biji jinten hitam (Nigela sativa ) juga mempunyai kandungan

lain.

Tabel 2.1 Kandungan Biji Jinten Hitam (Nigella sativa)

Kandungan Presentase (%)

Protein 26,7

Lemak 28,5

Karbohidrat 24,9

Serat 8,4

Karbo 4,8

Senyawa aktif

1. Tymoquinone

2. P-cymene

3. Carvacrol

4. 4-terpineol

5. Tanethol

6. sesquiterpene longifolene

30-48

7-15

6-12

2-7

1-4

1-8

(Sultana, 2015)

12

2.2.3 Kegunaan dan Manfaat

Biji jinten hitam diketahui telah digunakan dan menjadi bahan penting

sejak zaman dahulu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya biji jinten hitam

di makam Fir’aun, Tutankhamun, dimana dikisahkan pada ukiran sekitarnya

biji jinten hitam dipilih secara teliti oleh selirnya untuk membantu Fir’aun

menjalani kehidupan selanjutnya. Pada zaman dahulu biji jinten hitam sudah

menyebar di seluruh timur tengah dan asia selatan oleh para pedagang. Biji

jinten hitam terkenal akan manfaatnya dalam pengobatan penyakit ringan

seperti asma, bronkitis, rematik, penyakit radang, infeksi parasite, serta

meningkatkan produksi ASI. Biji jinten hitam seringnya dibuat menjadi

minyak dan dioleskan di permukaan kulit untuk mengobati eksema serta dapat

digunakan untuk mengompres saat demam. Oleh karena banyaknya manfaat

dari biji jinten hitam ini, masyarakat timur tengah memberi namaHabbatul

Barakah yang berarti biji yang diberkati (Ansari, 2013).

Di daerah Arab dan India biji jinten hitam dan minyaknya sering

digunakan dalam masakan karena akan terasa hangat dalam tubuh saat musim

dingin. Minyak biji jinten hitam juga sering ditambahkan dalam roti serta acar

agar lebih awet. Selain dalam makanan biji jinten hitam sering disimpan

bersama lipatan kain agar mencegah rayap. Manfaat yang banyak dari biji

jinten hitam ini membuatnya mudah menyebar sampai asia utara dan eropa

selatan (Ahmad, 2013).

Berdasarkan sejarah dan penggunaan tradisionalnya, biji jinten hitam

saat ini sering diteliti efek farmakologisnya. Biji jinten hitam memiliki

13

kandungan thymoquinone yang tinggi dalam minyak esensialnya. Penelitian

yang paling sering adalah mengenai efek antioksidan serta pengaruhnya dalam

perbaikan hepato-renal terhadap toksisitas. Selain itu efek antiinflamasi juga

sering diteliti dengan penginduksian karagenan dan melihat efeknya pada

telapak kaki tikus (Samani, 2015).

a. Efek Antioksidan dan antiinflamasi

Thymoquinone, kandungan utamaminyak volatil Nigella

sativa, merupakan antioksidan yang berefek tinggi untuk melindungi

tubuh dari radikal bebas yang dibentuk saat metabolisme zat-zat seperti

etanol, karbontetraklorida, ter-butilhidroperoksida, dan obat-obatan

(doxorubicin, cisplatin). Tymoquinone juga memiliki efek antioksidan

dengan mencegah pebentukan formasi antara CCL3 dengan O2 yang

membentuk radikal bebas bersifat toxic dan mengembalikan arsitektur

sel hepar serta mencegah meningkatnya enzim hati serta profil lipid

(Essawy, 2012). Thymoquinone dapat menghambat peroksidasi lipid

dengan menghambat siklooksigenase dan 5-lipoksigenase pada jalur

metabolisme asam arakhidonat, aktivitas tersebut berperan dalam

mekanisme antiinflamasi. Ekstrak Aqueous dari Nigellasativa

dilaporkan dapat menghambat produksi nitrit oksida dan sitokin

proinflamasi (TNF- α) pada tikus putih. Thymoquinone mencegah

kerusakanhepar tikus putih yang diinduksi etanoldengan menurunkan

kadar ALT, AST, ALP,IL-6, TNF- α, MDA, serta meningkatkankadar

14

GSH, SOD, CAT, DNA, RNA, Proteinhepar, melalui mekanisme

antioksidan danantiinflamasi (Juwita, 2011).

b. Efek Antifibrotik

Pada penelitian mekanisme efek antifibrotik dari ekstrak jinten

hitam pada tikus jantan Kunming yang dimodel liver fibrosis

thymoquinone dapat menurunkan ekspresi toll-like receptor (TLR4)

pada sel Kupffer, menghambat lipid peroxidase, serta menignkatkan

ekspresi TNF-related apoptosis-induced ligand (TRAIL) dalam

aktivasi sel natural killer (NK). Seluruh mekanisme tersebut bertujuan

untuk membuat hepatic stellate cell (HSC) apoptosis, HSC apoptosis

akan menurunkan sekresis TGF-ß yang dapat menginduksi platelet

untuk mensekresikan HGF yang berfungsi untuk meregenerasi

hepatosit yang rusak. Sehingga dengan adanya regenerasi hepatosit

diharapkan fungsi metabolisme protein khususnya albumin dapat

berfungsi kembali (Bai, 2014).

2.3 Fibrosis Hati

2.3.1 Definisi

Fibrosis merupakan respon intrinstik tubuh terhadap jejas akut dan

kronis, yang menyebabkan deposisi matriks ekstraselular yang berlebihan dan

menjadi jaringan parut, yang secara langsung mempengaruhi fungsi dan bentuk

hati (Saab,2014). Pembentukan jaringan parut merupakan respon penyembuhan

normal tubuh terhadap jejas, namun dalam fibrosis hati respon penyembuhan

15

ini justru semakin memperburuk keadaan hati. Jejas yang menyebabkan fibrosis

hati merupakan jejas kronis akibat berbagai macam faktor (Higleyman, 2014).

2.3.2 Etiologi dan Epidemiologi

Terdapat banyak faktor penyebab dari fibrosis hati antara lain infeksi

virus, parasit, kolestasis, penyalahgunaan alkohol, obat-obatan dan toksisitas

(Lingwal, 2015; Su, 2014). Faktor penyebab ini akan mempengaruhi satu sama

lain dan membuat jejas pada hepatosit yang akan menyebabkan akumulasi

protein Extracellular Matrix (ECM) yang dapat merusak arsitektur hati. Protein

ECM yang terakumulasi ini terdiri dari protein kolagen yang akan mengalami

crosslinking dan membentuk jaringan parut fibrosa yang dalam

perkembangannya dapat menjadi sirosis hati (Gines, 2004).

Fibrosis hati yang kemudian berkembang menjadi sirosis dapat

berakibat fatal bagi pasien dan dapat menuju kematian. Di Eropa setiap

tahunnya 170.000 kasus meninggal dunia dan di Amerika Serikat mencapai

33.539 kasus meninggal dunia. Data jumlah kematian akibat sirosis hati di

dunia terjadi peningkatan dari tahun 1980 dari 676.000 (dengan interval

452,863-1,004,530) hingga lebih dari 1 juta (dengan interval 670,216 -

1,554,530) pada tahun 2010 (Mokdad,et al. 2014). Prevalensi kematian di

Indonesia untuk fibrosis hati yang sudah berkembang menjadi sirosis yaitu

30,6% dengan penyebab utama HBV sebesar 40% dan HCV sebesar 30% serta

penyebab lain yang tidak diketahui sebesar 20% (Hasan,2006; Hutahaean,

2014).Bila sudah mencapai sirosis, satu-satunya terapi yang dapat

16

mengembalikan kualitas hidup pasien adalah transplantasi hepar (Blachier,

2013).

Tabel 2.2. Faktor Genetik dan Non-genetik dalam Progesif Fibrosis Hati

Jenis penyakit Candidate genes Faktor nongenetik

Hepatitis C HFE

Angiotensinogen

TGF-β1

TNF-α

MEH

Factor V

Konsumsi alcohol

Koinfeksi HIV & HBV

Usia

Transplantasi hepar

Diabetes mellitus

Tidak berespon terapi

Induksi alcohol IL-10

IL-1β

ADH

ALDH

CYP2E1

TNF-α

Konsumsi alcohol

Episode hepatitis alkoholik

NASH HFE

Angiotensin

TGF-β1

Usia

Beratnya obesitas

Diabetes mellitus

Hipertrigliserida

Sirosis Bilier primer IL-1β

TNF-α

Hepatitis autoimun HLA-II Hepatitis autoimun tipe II

Tidak respon terapi

(Anom, 2010)

2.3.3 Patogenesis Fibrosis Hati

Fibrosis hati merupakan hasil dari tidak seimbangnya sintesis dan

degradasi Extracellular Matrix (ECM). Fibrosis hati diawali dengan paparan

jejas yang dapat menyebabkan rusak atau apoptosit dari hepatosit. Kerusakan

dari hepatosit menyebabkan pelepasan sitokin proinflamatori Transforming

Growth Factor β1 (TGF-β1), Tumor Necrosis Factor α (TNF-α), Reactive

Oxygen Species (ROS), Platelet-Derived Growth Factor (PDGF) serta aktivasi

sel Kupffer melaluiToll-Like Receptor 4 (TLR4). Sitokin-sitokin tersebut

17

menyebabkan aktivasi Hepatic Stellate Cell (HSC) yang normalnya berfungsi

untuk memproduksi protein matriks (Xu, 2012).

HSC yang teraktivasi memproduksi glikoprotein, glikans, dan kolagen.

Selama perkembangan terjadinya fibrosis, ECM dipenuhi oleh protein-protein

tersebut dengan kolagen tipe 1 sebagai volume terbanyak. Selain protein ECM,

HSC juga memproduksi Matrix Metalloproteinase (MMP) yang berfungsi

untuk mendegenerasi tumpukan kolagen di ECM sehingga pada posisi ini

fibrosis hati memiliki potensi reversible (regresi). Potensi regresi dari fibrosis

dapat terjadi dengan aktivitas dari sel Natural Killer (NK) yang dapat

menginisasi apoptosis dari HSC. Mekanisme sel NK dalam inisiasi apoptosis

HSC adalah melalui TNF-related apoptosis-induced ligand (TRAIL). Pada

keadaan akut keseimbangan jaringan dalam hepar masih stabil dimana aktivasi

sel Kupffer, HSC, produksi kolagen, dan jumlah kematian hepatosit masih bisa

dikendalikan sehingga aktivitas dari sel NK dalam menginisiasi apoptosis HSC

masih dapat terjadi (Seki, 2015).

18

(Lingwal, 2015)

Gambar 2.5 Mekanisme Aktivasi HSC dalam fibrogenesis

Aktivasi dari HSC merupakan awal dari fibrogenesis, dimana HSC berdiferensiasi

menjadi sel myofibroblas yang berkontraktil. Jejas hepatosit yang menginisiasi sel

Kupffer serta pelepasan mediator inflamasi adalah faktor yang mengaktivasi HSC.

Aktivasi HSC meningkatkan produksi protein matriks ekstrasel seperti kolagen,

glikoprotein dan glikans.

Produksi MMP akan meningkat bila sumber jejas dihilangkan

sehingga stres oksidatif menurun. Namun apabila sumber jejas dibiarkan terus-

menerus dan semakin banyak hepatosit yang mati, HSC akan memproduksi

Tissue-Inhibitor Matrix Metalloproteinase (TIMP) yang bekerja dengan

menghambat MMP dan mempertahankan jaringan ikat kolagen di ECM

(Lingwal, 2015). Jaringan ikat kolagen di ECM berfungsi mempertahankan

arsitektur hepar disaat banyaknya sel hepar yang mati. Dalam kondisi kronis

jumlah hepatosit yang mati semakin meningkat menyebabkan aktivasi sel

Kupffer yang berlebihan dimana sel Kupffer berfungsi mengaktivasi HSC

19

melalui TLR4 dan melepaskan TGF-β1. Pelepasan TGF-β1menekan aktivitas

sel NK sehingga fungsinya dalam mengendalikan apoptosis HSC tidak dapat

dilakukan dan hal ini dapat menuju fibrosis yang progresif yang dapat berlanjut

ke sirosis (Seki, 2015).

2.3.4 Pengaruh Fibrosis Hati pada Sintesa Albumin

Pada keadaan fibrosis hati, jaringan fibrosis akan menempel pada

vena aferen dan eferen yang akan mengakibatkan penurunan perfusi darah pada

hepatosit, sehingga menyebabkan hepatosit iskemik dan nekrosis. Iskemik dan

nekrosis hepatosit juga mengakibatkan peningkatan aktivitas sel Kupffer

sehingga kadar TGF-β meningkat yang mengakibatkan kinerja platelet dalam

produksi HGF menurun. Akibatnya akan terjadi penurunan jumlah selhepatosit

akibat tidak ada mekanisme regenerasi hepatosit yang akan berpengaruh

terhadap fungsi metabolisme protein plasmadi hepatosit salah satunya adalah

sintesa albumin(Bataller, 2005; Garcia, 2013; Lingwal, 2015; Narmada, 2012).

Albumin merupakan protein plasma yang sangat penting yang hanya

disintesis oleh sel hati dan merupakan indikator untuk fungsi hati (Thapa dan

Anuj, 2007). Peningkatan serum albumin umumnya disebabkan oleh naik-

turunnya volume darah. Penurunan albumin serum tidak hanya disebabkan oleh

penurunan sintesisnya, namun melibatkan proses multifaktor yang meliputi

sintesis, kerusakan albumin, kebocoran ekstravaskuler dan asupan protein

(Irfan, Esfandiari, Choliq, 2014).

20

2.3.5 Diagnosis

Standar emas untuk diagnosis fibrosis hati adalah biopsi untuk

dilakukan pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan biopsi hati menjadi standar

emas dikarenakan langsung melihat jaringan hati dan dapat ditentukan staging

fibrosisnya (Lumongga, 2010). Dalam pemeriksaan histopatologis hati, staging

ditentukan umumnya menggunakan metode Metavir dan skor Ishak (Regev,

2002).

Selain pemeriksaan biopsi dapat juga dilakukan pemeriksaan

pencitraan dengan MRI atau USG. Pemeriksaan dengan pencitraan tidak

bersifat invasif namun ketelitian dan interpretasi sangat bergantung pada

operator terutama untuk USG. MRI dapat mencitrakan kerusakan hati sedang

sampai berat lebih baik daripada USG namun memiliki kekurangan dari segi

biaya (Callewaert, 2004).

Pada tikus model fibrosis yang diinduksi CCl4 menghasilkan

metabolisme yang hepatotoksik, menyebabkan pemecahan dari reticulum

endoplasmik dan merusak ribosom menjadi beberapa subunit dengan

memutuskan ikatan dari 40S subunit dan mRNA sehingga menyebabkan

penurunan serum albumin. Intoksikasi CCl4 juga dapat menyebabkan

kerusakan dari apparatus golgi dan menyebabkan pelepasan protein dari

hepatosit (Azizah,2014). Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan seperti

pengukuran serum albumin. Pengukuran serum albumin telah digunakan secara

umum sebagai uji laboratorik untuk mengetahui malgizi dan gangguan fungsi

hati, selain itu pengukuran serum albumin juga dapat digunakan untuk menilai

21

ramalan perjalanan penyakit, menentukan awal pengobatan dan

keberhasilannya bagi penderita sirosis hati (Nafika, Leonita, Soehartini, 2008).

2.3.6 Penanganan dan Pencegahan

Fibrosis hati merupakan penyakit kronis yang gejalanya sangat jarang

disadari oleh pasien kecuali sudah dalam kondisi yang berat. Fibrosis ringan

sebagian besar bersifat asimptomatik sehingga pasien tidak menyadari bahaya

yang akan datang. Pengaruh fibrosis pada arsitektur hati serta distorsi vena

porta merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien. Eliminasi

dan penanganan preventif dari etiologi fibrosis hati seperti antivirus untuk

hepatitis B atau C dapat menurunkan jumlah virus dalam tubuh, namun pada

kasus seperti NASH yang berhubungan dengan obesitas serta diabetes tipe 2

tidak dapat dilakukan penanganan preventif. Sebagian besar pasien yang datang

ke klinik dan rumah sakit diketahui berada pada tahap fibrosis berat atau

bahkan sirosis yang sudah tidak mungkin reversibel. Dewasa ini pencegahan

fibrosis untuk berkembang menjadi sirosis dengan menggunakan antifibrotik

menjadi fokus penelitian (Schuppan & Kim, 2016).

Terapi antifibrotik menjadi penting karena apabila fibrosis hati telah

berkembang menjadi sirosis, dibutuhkan transplantasi hati untuk dapat

mengembalikan kualitas hidup pasien. Namun transplantasi hati memiliki

kendala yang cukup besar bagi sebagian pasien seperti kekurangan pendonor,

komplikasi post operasi dan biaya yang sangat mahal. Selain itu pada pasien

penderita HCV, setelah dilakukan transplantasi hati dapat terjadi rekuren virus

(Anom, 2010; Eom, 2014).

22

Strategi dalam penanganan fibrosis hati secara umum menuju pada

mekanisme regresi fibrosis. Banyak penelitian saat ini fokus kepada empat

pendekatan farmakologis untuk meningkatkan mekanisme regresi fibrosis.

Fokus pertama adalah meminimalisir kerusakan pada jejas jaringan sehingga

pelepasan mediator inflamasi dan produksi protein intersisial menurun. Fokus

kedua adalah perubahan keseimbangan suasana di hepar dari pro-fibrogenik

menjadi anti-fibrogenik dengan menurunkan makrofag pro-inflamatori. Fokus

ketiga adalah deaktivasi atau apoptosis dari HSC, dimana HSC merupakan

produsen utama dari kolagen intersisial. Fokus keempat adalah degradasi

penumpukan kolagen dan protein ECM dengan menghambat crossinking

kolagen (Biswas, 2016).

(Biswas,2016)

Gambar 2.6Fokus Mekanisme Penangan Fibrosis Hati

23

2.4 Fibrosis Hati yang diinduksi Carbon Tetrachloride (CCl4)

2.4.1 Definisi

Carbon tetrachloride (CCl4) merupakan senyawa kimia yang

direkayasa dalam pabrik dan tidak didapatkan secara alami di lingkungan

sekitar. Bentuk CCl4 yaitu cairan bening dan mudah sekali untuk berevaporasi,

karena itu seringnya CCl4 ditemukan dalam bentuk gas. CCl4 memiliki aroma

yang manis dan kebanyakan orang baru dapat menciumnya saat konsentrasi

CCl4 mencapai 10 ppm. Karena CCl4 mudah sekali menguap, sehingga lapisan

ozon menjadi tempat bertumpuknya CCl4 di atmosfer. Namun CCl4akan

berdegradasi menjadi bahan kimia lain dalam hitungan tahun (Gerberding,

2005).

Produksi CCl4 dilakukan di pabrik dalam jumlah yang sangat besar

sebagai cairan kulkas dan propellan untuk tabung aerosol. Kedua produk

tersebut menyebabkan CCl4 mudah sekali menguap dan menambah endapan

CCl4 pada lapisan ozon, sehingga produksinya dihentikan. Selain sebagai cairan

kulkas dan propellan, CCl4 juga pernah digunakan sebagai pemadam api, cairan

pembersih, dan insektisida (Gerberding, 2005).

Rute pemberian CCl4biasanya adalah melalaui injeksi intraperitoneal

(ip), injeksi subkutan (sc), oral, dan inhalasi. Selain itu CCl4masuk kedalam

tubuh harus menggunakan pengantar alami yaitu (olive oil, corn oil, paraffin

oil) karena CCl4tidak dapat memeasuki tubuh jika tidak menggunakan

pengantar tersebut (Delire, 2015).

24

2.4.2 Mekanisme Toksisitas

Bila CCl4 terpapar pada tubuh manusia atau hewan, organ yang paling

sensitif adalah hepar. Diketahui hepar memiliki fungsi metabolisme dan

ekskresi zat kimia. Didalam hepar akan mengalami metabolisme oleh enzim

CYP2E1, CYP2B1, CYP2B2, atau CYP3A untuk menghasilkan CCl3 yang

merupakan radikal bebas. Radikal bebas ini akan berikatan pada molekul sel

seperti asam nukleat, protein, atau lemak. Salah satu yang paling merusak

adalah CCl3 bereaksi dengan oksigen membentuk triklorometil peroksi

(OOCCl3) yang merupakan penyebab stress oksidatif dapat merusak sitokrom

P-450 (World Health Organization, 2004).

Triklorometil peroksid kemudian akan berikatan secara kovalen dengan

lemak mikrosomal dan protein serta bereaksi langsung dengan membran

fosfolipid dan kolesterol. Reaksi ini menginisiasi terbentuknya lipid

hiroperoksidase (LOOH) dan lipid alkoksil (LO) melalui proses fragmentasi

yang akan menjadi malonaldehid. Senyawa aldehid ini akan menyebabkan

rusaknya permeabilitas mitkondrial, reticulum endoplasma, dan membrana

plasma. Kerusakan ini akan menyebabkan hilangnya kalsium dan homeostasis

dari sel yang dapat membuat sel rusak secara keseluruhan (Weber, 2003).

Pada tikus CCL4fibrosis hati terbentuk setelah 2 minggu pemberian

secara injeksi intraperitoneal, dan 6 minggu jika diberikan secara inhalasi

maupun oral (Delire,2015).

25

2.5 Tikus Putih Jantan Wistar (Rattus norvegicus)

Tikus Rattus norvegicus pertama kali ditemukan oleh Berkenhaut pada tahun

1769. Saat itu pertama diketahui hanya berada di daerah Caucasia atau Eropa

utara dan setelah itu menyebar ke Timur tengah serta Asia timur (Yigit, 1998).

Pengembangan tikus Rattus norvegicus menjadi objek eksperimen pertama kali

dilakukan di Jerman pada tahun 1880. Rattus norvegicus memiliki dua strain dari

hasil budidaya yaitu strain Wistar dan strain Sprague-Dawley. Perbedaannya

adalah strain Wistar memiliki kepala yang lebih lebar dan ekor yang lebih pendek

daripada strain Sprague-Dawley. Usia rata-rata dari strain Sprague-Dwaley juga

lebih pendek yaitu 24 bulan dibandingkan dengan strain Wistar yang rata-rata

mencapai 31 bulan. Berat badan rata-rata tikus putih Wistar adalah 450-520g

untuk jantan dan 250-300g untuk betina sang abdominal, dan 3 pasang inguinal).

Tulang tengkorak tikus pada dasarnya kuat dan rongga otak berbentuk sempit serta

lonjong. Prosessus maxillaris dari arkus zygomatikum melebar kesamping.

Foramen incisivus memanjang dari depan kebelakang sampai kepada molar (Yigit,

1998).

26

(International Food Biotechnology Comittee, 2013) Gambar 2.7 Organ dalam Tikus

Otot-otot penting dari tikus adalah M. bisep brachii di permukaan anterior

humerus, M. bisep femoris di lateral femur terdiri dari dua kepala otot, M. external

obliqus di lateral abdomen, dan M. pectoralis major/minor di bagian pectoral.

Jantung tikus berada lebih ke sentral dan terdiri dari dua atrium dan dua ventrikel.

Hepar tikus berada tepat dibawah diafragma dan tidak memiliki kantung empedu.

Posisi gaster juga tidak berada di sebelah kanan melaikan dibawah hepar, karena

biasanya hepar melintang dari dextra sampai sinistra abdomen. Spleen memiliki

warna yang serupa dengan gaster dengan posisi di bagian inferolateral dextra

gaster. Posisi ginjal tidak terlihat bila tikus dibedah dari abdomen sehingga organ

abdomen harus disingkirkan dahulu dengan ginjal dextra lebih tinggi daripada

sinistra (Sowash, 2009).

Pada tikus model fibrosis yang diinduksi CCl4 menghasilkan

metabolisme yang hepatotoksik, menyebabkan pemecahan dari reticulum

27

endoplasmik dan merusak ribosom menjadi beberapa subunit dengan memutuskan

ikatan dari 40S subunit dan mRNA sehingga menyebabkan penurunan serum

albumin. Intoksikasi CCl4 juga dapat menyebabkan kerusakan dari apparatus golgi

dan menyebabkan pelepasan protein dari shepatosit (Azizah,2014).