BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi ...

28
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes Melitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang terjadi karena kelainan kerja insulin, kelainan sekresi insulin, atau keduanya. Hiperglikemia merupakan suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah di atas batas normal. Hiperglikemia merupakan tanda khas dari penyakit Diabetes Melitus (PERKENI, 2015). Hiperglikemia kronis pada Diabetes Melitus berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ di dalam tubuh, terutama mata, saraf, jantung, ginjal, dan pembuluh darah (American Diabetes Association, 2012). 2.1.2 Epidemologi Diabetes Melitus Diabetes Melitus merupakan salah satu masalah emergensi kesehatan terbesar di abad ke-21. Menurut International Diabetes Federation (2015), penyandang Diabetes Melitus di dunia pada kelompok usia 20-79 tahun diperkirakan meningkat dari 415 juta atau 8,8% pada tahun 2015 menjadi 642 juta atau 10,4% pada tahun 2040. Jumlah penyandang Diabetes Melitus di dunia pada kelompok usia 20-79 tahun yang meninggal pada tahun 2015 mencapai 5 juta orang. Peningkatan angka Diabetes Melitus tertinggi berada pada negara dengan ekonomi rendah sampai sedang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang Diabetes Melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi ...

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai

dengan hiperglikemia yang terjadi karena kelainan kerja insulin, kelainan sekresi

insulin, atau keduanya. Hiperglikemia merupakan suatu kondisi medik berupa

peningkatan kadar glukosa dalam darah di atas batas normal. Hiperglikemia

merupakan tanda khas dari penyakit Diabetes Melitus (PERKENI, 2015).

Hiperglikemia kronis pada Diabetes Melitus berhubungan dengan kerusakan

jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ di dalam tubuh, terutama

mata, saraf, jantung, ginjal, dan pembuluh darah (American Diabetes Association,

2012).

2.1.2 Epidemologi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan salah satu masalah emergensi kesehatan

terbesar di abad ke-21. Menurut International Diabetes Federation (2015),

penyandang Diabetes Melitus di dunia pada kelompok usia 20-79 tahun

diperkirakan meningkat dari 415 juta atau 8,8% pada tahun 2015 menjadi 642 juta

atau 10,4% pada tahun 2040. Jumlah penyandang Diabetes Melitus di dunia pada

kelompok usia 20-79 tahun yang meninggal pada tahun 2015 mencapai 5 juta

orang. Peningkatan angka Diabetes Melitus tertinggi berada pada negara dengan

ekonomi rendah sampai sedang.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah

penyandang Diabetes Melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi

7

21,3 juta pada tahun 2030. Sedangkan International Diabetes Federation (IDF)

memprediksi peningkatan penyandang Diabetes Melitus di Indonesia dari 9,1 juta

pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (PERKENI, 2015). Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menyatakan bahwa proporsi

penderita Diabetes Melitus penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia sebesar

6,9% atau sebanyak 12.191.564 orang (Infodatin, 2014). Indonesia menempati

peringkat ke-5 di dunia, naik dua peringkat jika dibandingkan data International

Diabetes Federation (IDF) tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia

(PERKENI, 2015).

Diabetes Melitus tipe 1 lebih jarang ditemui jika dibandingkan Diabetes

Melitus Tipe 2. Peningkatan insidensi Diabetes Melitus tipe 1 di dunia sekitar 3%

(International Diabetes Federation, 2015). Penderita Diabetes Melitus terbanyak di

dunia adalah Diabetes Melitus Tipe 2 yang jumlahnya mencakup 90-95%

(Diabetes Care, 2012).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (2015), Diabetes Melitus

diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu:

1. Diabetes Melitus tipe 1

Disebabkan karena destruksi sel β pakreas oleh sistem imun. Biasanya

akan memicu defisiensi insulin absolut.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

Disebabkan karena defek sekresi insulin progresif yang dilatarbelakangi

oleh resistensi insulin.

3. Gestational Diabetes Melitus

Diabetes yang didiagnosa pada kehamilan trimester kedua dan ketiga.

8

4. Diabetes Melitus tipe lain

Merupakan tipe spesifik dari Diabetes Melitus karena penyebab lain,

misalnya Sindrom Monogenik Diabetes (misalnya diabetes pada neonatus dan

Maturity Onset Diabetes of the Young [MODY]), penyakit pada kelenjar eksokrin

pankreas (cystic fibrosis), dan Diabetes Melitus yang diinduksi obat atau bahan

kimia (pada pengobatan HIV dan setelah transplantasi organ).

2.1.4 Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus Tipe 2 disebut juga non insulin dependent Diabetes

Mellitus (NIDDM) atau adult onset diabetes, jumlahnya meliputi 90-95% dari

seluruh tipe Diabetes Melitus (American Diabetes Association, 2015). Diabetes

Melitus Tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin ataupun resistensi insulin

pada organ target terutama otot dan hati (Soegondo, 2014). Pada Diabetes Melitus

Tipe 2, jaringan lemak, otot, dan hati tidak dapat berespon secara tepat terhadap

insulin. Akibatnya, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk

disimpan. Ketika glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, kadar glukosa dalam

darah akan tinggi. Keadaan ini disebut hiperglikemia. Tubuh tidak mampu

menggunakan glukosa untuk energi. Hal ini akan memicu munculnya gejala

Diabetes Melitus Tipe 2 (Wisse dan Zieve, 2016).

Resistensi insulin pada awalnya belum mampu menimbulkan diabetes

secara klinis karena sel beta pankreas memproduksi insulin secara ekstra untuk

mengkompensasi terjadinya resistensi insulin. Sehingga terjadi hiperinsulinemia

dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Tetapi lama-

kelamaan sel beta pankreas tidak mampu untuk mengkompensasi keadaan

tersebut dan tidak mampu memproduksi insulin secara cukup. Kondisi ini akan

memicu Diabetes Melitus secara klinis yang ditandai dengan meningkatnya kadar

9

glukosa dalam darah yang memenuhi kriteria diagnosis Diabetes Melitus.

Hiperglikemia awalnya terjadi pada fase setelah makan saat otot tidak mampu

mengambil glukosa secara optimal. Namun pada fase berikutnya saat produksi

insulin semakin menurun, hepar akan memproduksi glukosa secara berlebihan.

Akibatnya, gula darah akan meningkat pada saat puasa (Soegondo, 2014).

Terdapat berbagai macam penyebab Diabetes Melitus Tipe 2. Meskipun

etiologi yang spesifik belum diketahui, pada Diabetes Melitus Tipe 2 tidak terjadi

destruksi sel beta pankreas oleh sistem imun. Kebanyakan pasien Diabetes

Melitus Tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas sendiri dapat menyebabkan

resistensi insulin. Diabetes Melitus Tipe 2 biasanya tidak terdiagnosis selama

beberapa tahun karena hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada

tahap awal tidak cukup berat untuk menimbulkan gejala klasik Diabetes Melitus.

Namun demikian, pasien tersebut mengalami peningkatan risiko terjadinya

komplikasi mikrovaskular dan makrovraskular (American Diabetes Association,

2015).

2.1.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2

Hubungan antara faktor risiko dengan perkembangan penyakit diabetes

tidak pernah 100%. Namun, semakin banyak jumlah faktor risiko pada individu,

semakin besar kemungkinan individu tersebut menderita diabetes (American

Diabetes Association, 2002). Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat

dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi yang berkontribusi terhadap

berkembangnya Diabetes Melitus Tipe 2. Tabel di bawah ini merupakan faktor

risiko Diabetes Melitus Tipe 2 yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi

(Hydrie, 2012).

10

Tabel 2.1 Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 (American Diabetes Association, 2002)

Faktor Risiko yang Dapat

Dimodifikasi

Faktor Risiko yang Tidak Dapat

Dimodifikasi

Obesitas Etnis

Sedentary lifestyle Riwayat Keluarga menderita Diabetes

Melitus Tipe 2

Intoleransi glukosa Umur

Sidrom metabolik :

Hipertensi

Kadar HDL rendah

Peningkatan kadar TG

Jenis kelamin

Faktor makanan Riwayat gestational diabetes mellitus

Lingkungan intrauterin Polycystic ovary syndrome

Inflamasi

Faktor risiko mayor Diabetes Melitus Tipe 2, yaitu: (Khardori, 2016)

Usia, risiko lebih tinggi pada usia >45 tahun.

Berat badan lebih dari 120% dari berat badan ideal.

Riwayat keluarga menderita Diabetes Melitus Tipe 2 pada tingkat pertama

hubungan (misalnya orang tua atau saudara kandung).

Ras Hispanik, penduduk asli Amerika, Afrika Amerika, Asia Amerika, atau Pulau

Pasifik.

Riwayat mengalami impaired glucose tolerance (IGT) atau impaired fasting

glucose (IFG).

Hipertensi (≥140/90 mmHg) atau dislipidemia (kolesterol HDL < 40 mg/dL atau

trigliserida >150 mg/dL)

Riwayat Gestational Diabetes Melitus atau atau melahirkan bayi dengan

dengan berat badan di atas 9 Ib.

11

Polycystic ovarian syndrome (dapat menyebabkan resistensi insulin)

2.1.6 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Perkembangan perubahan metabolisme glukosa dihasilkan dari penurunan

fungsi sel beta pankreas secara bertahap yang terjadi dalam latar belakang

resistensi insulin (American Diabetes Association, 2011). Untuk Diabetes Melitus

Tipe 2, resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin harus ada. Gambar

2.1 merupakan skema patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (Khardori, 2016).

Gambar 2.1 Skema Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (Khardori, 2016)

12

Fungsi Sel Beta Pankreas

Diabetes Melitus Tipe 2 adalah suatu penyakit progresif dan merupakan

faktor utama yang bertanggung jawab terhadap penurunan fungsi sel beta

pankreas secara bertahap. Beberapa studi menyebutkan bahwa diabetes dan

prediabetes tidak berkembang sampai sel beta pankreas gagal untuk

mengkompensasi resistensi insulin perifer. Kemampuan sel beta pankreas

mensekresi insulin dalam jumlah yang cukup untuk respon yang adekuat terhadap

resistensi insulin perifer bergantung pada banyak faktor, yaitu massa sel beta

pankreas dan kapasitas sekresinya, yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan

lingkungan (American Diabetes Association, 2011).

Resistensi Insulin

Resistensi insulin terjadi 10-20 tahun sebelum onset penyakit. Resistensi

insulin mempengaruhi kegagalan fungsi sel beta pankreas secara progresif.

Mekanisme tepat mengenai resistensi insulin akan mempengaruhi kegagalan

fungsi sel beta pankreas masih belum sepenuhnya dipahami. Namun, hipotesis

yang paling mungkin adalah bahwa penyebab dari resistensi insulin juga

bertanggung jawab terhadap kegagalan fungsi sel beta pankreas, misalnya

lipotoksisitas (American Diabetes Association, 2011).

Resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan kadar asam lemak bebas

dan sitokin proinflamasi di dalam plasma yang memicu berkurangnya transport

glukosa ke sel otot, meningkatnya produksi glukosa hepar, dan meningkatnya

pemecahan lemak (Khardori, 2016).

2.1.7 Dislipidemia pada Diabetes Melitus Tipe 2

Tahap selanjutnya dari DM Tipe 2 yaitu sel beta pankreas menjadi lelah

atau rusak sehingga tidak mampu memproduksi cukup insulin untuk mencegah

13

hiperglikemia. Bila insulin tidak cukup, semua aspek pemecahan dan penggunaan

lemak sebagai sumber energi akan meningkat. Keadaan ini akan menyebabkan

hidrolisis trigliserida yang tersimpan pada jaringan adiposa yang akan melepaskan

sejumlah besar asam lemak dan gliserol ke dalam sirkulasi darah. Akibatnya,

konsentrasi asam lemak bebas di dalam plasma akan meningkat. Kelebihan asam

lemak di dalam plasma akan memacu pengubahan asam lemak menjadi fosfolipid

dan kolesterol di hati. Kemudian, kolesterol ini akan dilepaskan ke dalam darah

dalam bentuk lipoprotein. Hal ini mengakibatkan konsetrasi lipid dalam plasma

meningkat. Konsentrasi lipid yang tinggi, khususnya LDL, akan memacu

perkembangan aterosklerosis pada pasien DM Tipe 2 (Guyton dan Hall, 2014).

2.1.8 Stres Oksidatif pada Diabetes Melitus Tipe 2

Radikal bebas merupakan suatu senyawa atau molekul yang mengandung

satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Elektron

yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari

pasangan dengan cara mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya.

Radikal bebas yang terbentuk di dalam tubuh akan menghasilkan radikal bebas

yang baru melalui reaksi berantai yang pada akhirnya jumlahnya akan terus

bertambah. Selanjutnya menyerang sel-sel di dalam tubuh dan akhirnya

menyebabkan kerusakan jaringan. Bila tubuh dalam keadaan normal, di dalam

tubuh terjadi keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Keseimbangan

tersebut dapat terganggu akibat infeksi, radiasi, trauma, Diabetes Melitus,

merokok, dan dislipidemia. Keadaan ini menyebabkan munculnya stres oksidatif

di dalam tubuh (Panut, 2012).

Menurut Nurtamin (2014), stres oksidatif adalah suatu keadaan dimana

terjadi ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang disebabkan oleh

14

peningkatan jumlah ROS atau reactive nitrogen species (RNS) dibandingkan

dengan sistem pertahanan antioksidan endogen tubuh. Yang termasuk ROS

adalah superoksida (O2-), hidroksil (OH), peroksil (RO2), alkalosil (RO), dan non

radikal tertentu yang merupakan senyawa pengoksidasi dan atau mudah

dikonversi menjadi radikal, seperti asam hipoklorus (HOCl), ozone (O3), singlet

oksigen (O2), dan hidrogen peroksida (H2O2).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stres oksidatif memiliki peran

penting terhadap patogenesis komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular pada

penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Peningkatan stres oksidatif pada penderita

Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan konsekuensi dari berbagai macam

abnormalitas, termasuk hiperglikemia, resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan

dislipidemia. Setiap abnormalitas tersebut berkontribusi terhadap overproduksi

superoksida oleh mitokondria sel endotel pembuluh darah. Mekanisme

patofisiologi yang medasari komplikasi Diabetes Melitus dapat dijelaskan melalui

peningkatan produksi ROS yang disebabkan oleh beberapa jalur, yaitu jalur poliol

sorbitol, glikasi nonenzimatik protein, jalur protein kinase C, dan autooksidasi

glukosa (Franco et al., 2014).

Jalur Poliol Sorbitol

Sebagian glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh

enzim heksokinase pada keadaan normoglikemia. Sebagian kecil glukosa yang

tidak mengalami fosforilasi memasuki jalur poliol. Jalur poliol merupakan jalur

alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini, glukosa dalam sel dapat diubah

menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldosa reduktase. Konsentrasi sorbitol di

dalam sel rendah pada keadaan normal. Namun pada keadaan hiperglikemia akan

terjadi peningkatan kadar sorbitol. Sorbitol dengan bantuan enzim sorbitol

15

dehidrogenase akan diubah menjadi fruktosa (Panut, 2012). Aktivasi jalur poliol

akan menyebabkan menurunnya rasio NADPH sitosol terhadap NADP+. Rasio

NADPH sitosol terhadap NADP+ sangat penting terhadap fungsi pembuluh darah.

NADPH sitosolik juga sangat penting dalam proses defens antioksidan. Glutation

reduktase memerlukan NADPH sitosolik untuk menetralisasi berbagai oksidan

intrasel. Dengan demikian, menurunnya rasio NADPH sitosolik terhadap NADP+

dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Aktivasi jalur poliol sorbitol ini juga

akan mengaktivasi terjadinya glikasi nonenzimatik protein dan aktivasi protein

kinase C (Waspadji, 2014).

Glikasi Nonenzimatik Protein

Produksi glukosa-6-fosfat dan fruktosa meningkat melalui proses glikolisis

dan jalur poliol pada keadaan hiperglikemia. Glukosa sebagai agen pereduksi

dapat bersifat toksis karena memiliki gugus karbonil aldehid. Aldehid merupakan

senyawa yang mampu berikatan secara kovalen sehingga terjadi modifikasi

protein. Modifikasi tersebut dapat dibangkitkan melalui berbagai mekanisme, salah

satunya mekanisme nonenzimatik (Setiawan dan Suhartono, 2005). Reaksi

pengikatan aldehid dengan protein disebut glikasi. Produk akhir dari proses glikasi

adalah advanced glycosylation end product (AGE). AGE dapat mengakibatkan

kerusakan secara langsung pada sel karena berinteraksi dengan reseptor seluler

yang spesifik pada sel yaitu reseptor AGE (RAGE). Interaksi antara AGE dengan

RAGE menyebabkan peningkatan radikal bebas. Akumulasi AGE di berbagai

jaringan merupakan sumber utama radikal bebas sehingga berperan dalam

peningkatan stres oksidatif (Panut, 2012).

16

Jalur Protein Kinase C

Hiperglikemia akan menyebabkan meningkatnya diasilgliserol (DAG)

intraselular. Peningkatan DAG intrasel akan mengaktifkan protein kinase (PKC),

terutama PKC beta. Perubahan tersebut akan berpengaruh pada sel endotel.

Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga

menyebabkan terbentuknya berbagai sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan

(Waspadji, 2014).

Autooksidasi Glukosa

Proses autooksidasi glukosa dikatalisis oleh senyawa logam dalam jumlah

kecil seperti besi dan seng. Hasil katalisis tersebut adalah senyawa oksigen reaktif.

Autooksidasi glukosa terjadi pada proses glikasi nonenzimatik protein yang

menghasilkan hidrogen peroksida. Selain hidrogen peroksida, radikal superoksida

juga dihasilkan (Setiawan dan Suhartono, 2005).

2.1.9 Diagnosis

Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kadar

glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan yaitu pemeriksaan

glukosa darah secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena (PERKENI,

2015). Pemeriksaan menjadi akurat hanya jika glikolisis pada sampel darah

dihambat secepat mungkin pada saat mengambil darah. Hal ini dapat dilakukan

melalui dua cara. Pertama, tabung darah disimpan dalam es dan disentrifugasi

selama 30 menit. Kedua, glikolisis di tabung dapat dihambat dengan penambahan

zat tertentu misalnya sitrat+fluoride (W. Kerner dan J. Brϋckel, 2014). Kecurigaan

menderita Diabetes Melitus perlu dipikirkan apabila ada keluhan sebagi berikut :

(PERKENI, 2015)

17

Keluhan klasik Diabetes Melitus : poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan

berat bada yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria A1C atau kriteria glukosa

plasma melalui nilai glukosa darah puasa (FPG) atau glukosa plasma 2 jam (2-h

plasma glucose/2-h PG) setelah pemberian beban glukosa 75 gram (75-g oral

glucose tolerance test/OGTT). Tes yang sama dapat digunakan untuk skrining dan

diagnosa diabetes (American Diabetes Association, 2015). Berikut ini merupakan

kriteria diagnosis Diabetes Melitus menurut PERKENI 2015:

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM (PERKENI, 2015)

Guidelines merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai alat

diagnostik untuk diabetes. Namun, ada beberapa kondisi yang menyebabkan

Pemeriksaan glukosa plasma puasa (FPG) ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi

tidak mendapat asupan kalori minimal 8 jam.

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah Test Toleransi Glukosa

Oral (OGTT) dengan beban glukosa 75 gram.

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik.

Atau

Pemeriksaan HbA1C ≥ 6.5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program

(NGSP).

18

HbA1C tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik (W. Kerner dan J. Brϋckel,

2014).

Tabel 2.3 Kondisi yang Memicu Pengukuran HbA1C Tidak Akurat (W. Kerner dan J. Brϋckel, 2014).

1. Varian hemoglobin (HbS, HbE, HbF, HbC, HbD, dll).

2. Kondisi dengan peningkatan atau pengurangan masa hidup eritrosit

(anemia hemolitik, anemia defisiensi besi, pembentukan darah pada

kondisi pengobatan anemia, penyakit liver dan ginjal).

3. Modifikasi kimia dari uremia hemoglobin (carbamylated Hb), terapi

asam asetilsalisilat dalam waktu lama dan dosis tinggi (acetylated

Hb).

4. Hambatan glikasi (terapi jangka panjang asam askorbat dan vitamin

E).

5. Kehamilan

Pemeriksaan untuk mendeteksi Diabetes Melitus Tipe 2 pada orang yang

asimtomatis harus dipertimbangkan pada orang dewasa dari segala usia yang

kelebihan berat badan (overweight) atau obesitas (BMI ≥25 kg / m2 atau ≥23 kg /

m2 di Amerika Asia) dan yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes.

Pemeriksaan harus dimulai pada usia 45 tahun untuk semua pasien, terutama

mereka yang kelebihan berat badan atau obesitas. Jika hasil pemeriksaannya

normal, pemeriksaan harus diulang dengan interval waktu minimal 3 tahun.

Pemeriksaan untuk mendeteksi Diabetes Melitus Tipe 2 harus dipertimbangkan

pada anak-anak dan remaja yang memiliki kelebihan berat badan atau obes dan

19

yang memiliki dua atau lebih faktor risiko untuk diabetes (American Diabetes

Association, 2015).

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi diabetes dibagi menjadi komplikasi mikrovaskular dan

komplikasi makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular disebabkan karena

kerusakan pembuluh darah kecil. Sedangkan komplikasi makrovaskular

disebabkan karena rusaknya pembuluh darah besar. Komplikasi mikrovaskular

termasuk retinopati yang dapat memicu kebutaan, nefropati yang dapat memicu

gagal ginjal, dan neuropati yang dapat memicu impotensi dan kelainan kaki

diabetik (termasuk infeksi berat yang dapat memicu amputasi). Komplikasi

makrovaskular termasuk penyakit kardiovaskular misalnya serangan jantung,

stroke, dan insufisiensi aliran darah ke kaki (WHO, 2016).

Komplikasi makrovaskular disebabkan karena hiperglikemia, kelebihan

asam lemak bebas, dan resistensi insulin. Hal tersebut menyebabkan stres

oksidatif , aktivasi protein kinase, dan aktivasi dari reseptor advanced glycosilation

end products (RAGEs) yang merupakan faktor yang bekerja pada endotelium

(Zimmerman, 2016).

2.1.11 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan diabetes bertujuan untuk menghilangkan gejala dan

mencegah atau memperlambat komplikasi (Khardori, 2016). Pengobatan Diabetes

Melitus Tipe 2 berfokus pada tiga area, yaitu: (Ripsin et al., 2009)

1. Perubahan gaya hidup meliputi aktivitas fisik minimal 150 menit/minggu,

penurunan berat badan dengan target awal turun 7% dari berat badan awal,

diet rendah lemak, pengurangan konsumsi kalori.

20

2. Manajemen faktor risiko kardiovaskular, misalnya hipertensi, dislipidemia, dan

mikroalbuminuria dengan penggunaan obat-obatan seperti aspirin, statin, dan

angiotensin converting enzyme inhibitors.

3. Menormalkan gula darah (HbA1C <7%).

Menurut Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia

2011, penatalaksanaan dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu

edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (Ndraha,

2014).

2.1.11.1 Edukasi

Edukasi bertujuan untuk mendukung usaha pasien untuk mengerti

perjalanan penyakit dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau

komplikasi yang mungkin akan timbul saat masih reversibel, perubahan perilaku

atau kebiasaan kesehatan, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan

penyakit secara mandiri. Edukasi pada pasien diabetes meliputi perawatan kaki

diabetes, pemantauan glukosa secara mandiri, ketaatan penggunakan obat-

obatan, peningkatan aktivitas fisik, mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak

(Ndraha, 2014).

2.1.11.2 Terapi Gizi Medis

Terapi gizi medis merupakan bagian paling penting dari penatalaksanaan

DM tipe 2 secara komprehensif. Prinsip pengaturan makan pada penderita

diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu

meliputi makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

masing-masing individu (PERKENI, 2015). Penting juga untuk memperhatikan

jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan

21

untuk penderita diabetes terdiri dari karbohidrat 45-65%, protein 10-20%, lemak

20-25%, natrium <3 gram, dan makanan berserat kurang lebih 25 gram/hari

(Ndraha, 2014).

2.1.11.3 Latihan Jasmani

Latihan jasmani merupakan pilar penatalaksanaan diabetes apabila tidak

ada nefropati. Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam seminggu

selama kurang lebih 30-45 menit, total per minggu 150 menit (PERKENI, 2015).

Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobik seperti joging,

bersepeda, dan berenang. Tujuan latihan jasmani adalah untuk menurukan berat

badan, menjaga kebugaran, serta meningkatkan sensitivitas insulin (Ndraha,

2014).

2.1.11.4 Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan latihan jasmani dan

pengaturan makan. Terapi farmakologis terdiri dari sediaan oral dan injeksi

(PERKENI, 2015). Obat oral dan injeksi memiliki mekanisme yang berbeda dalam

menurunkan gula darah. Obat oral antihiperglikemik antara lain sulfonilurea, glinid,

biguanid, tiazolidindion, dan acarbose. Obat antihiperglikemik injeksi yaitu insulin

dan incretin mimetik atau agonis glucagon like peptide 1 (GLP-1) (Ndraha, 2014).

2.2 Aterosklerosis

Penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada pasien Diabetes Melitus

Tipe 2 adalah penyakit jantung koroner. Mekanisme terjadinya penyakit jantung

koroner dikaitkan dengan aterosklerosis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor

(Yuliani et al., 2014). Aterosklerosis atau kekakuan pembuluh darah arteri

merupakan suatu proses inflamasi kronik yang patofisiologinya melibatkan lipid,

22

trombosis, dinding vaskular, dan sel imun (Adi, 2014). Pada aterosklerosis terjadi

pembentukan plak di dalam pembuluh darah arteri. Arteri merupakan pembuluh

darah yang membawa darah kaya akan oksigen ke jantung dan bagian lain dari

tubuh. Plak terbuat dari lemak, kolestrol, kalsium, dan substansi lain yang

ditemukan dalam darah. Lama-kelamaan plak akan mengeras dan mempersempit

lumen pembuluh darah arteri. Hal ini membatasi aliran darah yang kaya akan

oksigen ke berbagai organ dan bagian lain tubuh. Aterosklerosis dapat memicu

terjadinya problem yang serius, termasuk serangan jantung, stroke, dan kematian

(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2016).

Aterosklerosis disebabkan karena disfungsi endotel dan inflamasi. Endotel

pembuluh darah akan mengatur homeostasis pembuluh darah dengan

menghasilkan zat-zat yang bisa menyebabkan penggumpalan (clotting) atau anti

penggumpalan (anticlotting). Nitrit Oxide (NO) merupakan bahan antiaterogenik

utama yang dihasilkan endotel sebagai faktor protektif. Adanya inflamasi dan

berbagai faktor risiko lain akan menyebabkan hilangnya efek proteksi endotel

tersebut (Adi, 2014).

Aterosklerosis melibatkan proses yang kompleks. Banyak peneliti percaya

bahwa plak mulai terbentuk karena kerusakan endotel. Kerusakan pada endotel

menyebabkan akumulasi lemak, kolestrol, platelet, debris selular, dan kalsium

pada dinding arteri. Berbagai substansi tersebut dapat menstimulasi sel pada

dinding arteri untuk memproduksi substansi lain. Pada akhirnya terjadi akumulasi

lebih banyak sel pada lapisan dalam dinding arteri. Pada waktu yang sama, lemak

menumpuk di dalam dan sekitar sel ini membentuk jaringan ikat. Dinding arteri

menjadi menebal karena akumulasi sel dan berbagai material disekitar sel. Arteri

menjadi menyempit dan aliran darah berkurang. Hal ini menyebabkan kurangnya

23

suplai oksigen. Jika suplai oksigen ke otot jantung berkurang akan terjadi serangan

jantung. Jika suplai oksigen ke otak berkurang akan terjadi stroke. Jika suplai

oksigen ke ekstremitas berkurang akan terjadi gangrene (American Heart

Association, 2014).

2.2.1 Patogenesis Aterosklerosis

Aterosklerosis adalah sekumpulan proses yang kompleks yang melibatkan

darah dan meterial yang dikandungnya, vasa vasorum, endotel vaskular, dan

mungkin juga lingkungan intrauterin. Aterosklerosis memiliki daerah predileksi

tertentu, misalnya aorta dan arteri koronaria (Adi, 2014).

Mekanisme terjadinya aterosklerosis dapat dilihat pada gambar 2.2. Tahap

awal dari aterosklerosis adalah disfungsi endotel yang akan menstimulasi

akumulasi dan oksidasi LDL kolestrol pada dinding pembuluh darah (Ferrières,

2009). Disfungsi endotel dipicu oleh injuri endotel, misalnya karena stres regangan

(shear stress), toksin dan bahan kimia iritan pada rokok yang akan meningkatkan

produksi ROS, peningkatan LDL kolestrol dalam darah, dan diabetes (Yelle, 2006).

Proses diawali dengan oksidasi LDL kolestrol menjadi LDL yang teroksidasi atau

Ox LDL (Adi, 2014).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa disfungsi endotel disebabkan

oleh penurunan biavailabilitas NO. NO diketahui memiliki fungsi yang sangat

penting bagi pembuluh darah seperti vasodilatasi, menghambat proliferasi sel otot

polos, agregrasi platelet, adesi monosit dan platelet, oksidasi LDL, ekspresi

molekul adesi dan produksi endotelin. Stres oksidatif merupakan

ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang disebabkan oleh

peningkatan ROS atau RNS (Reactive Nitrogen Species). Stres oksidatif dapat

menyebabkan disfungsi endotel dengan cara menurunkan bioavalilabilitas NO dan

24

menghambat jalur sintesis NO. Penurunan NO menyebabkan vasokontriksi

pembuluh darah dan endotel menjadi bersifat proaterogenik dan proinflamasi.

Stres oksidatif juga memicu aktivasi nuclear faktor Ƙb (NF-kB) dan aktivator protein

1 (AP-1) yang merupakan gen-gen bersifat proinflamasi. NF-kB dan AP-1

bertanggung jawab terhadap ekspresi molekul vascular cellular adhesion

molecules (VCAM-1), intercellular adhesion molecules (ICAM-1), E selectin, dan

sitokin lain. Pada keadaan ini, pembuluh darah lebih permeabel (Nurtamin, 2014).

Berdasarkan ukuran dan konsentrasinya, molekul plasma dan lipoprotein bisa

ekstravasasi melalui endotel yang rusak atau bocor dan masuk ke ruangan

subendotelial. Ox LDL akan terperangkap dan berubah menjadi bersifat sitotoksik,

kemotaktik, proinflamasi, dan proaterogenik. Endotel menjadi aktif karena

pengaruh inflamasi dan aterogenik tersebut. Selain itu sel-sel adesi (VCAM-1,

ICAM-1, E selectin) akan menangkap monosit dan sel T limfosit. Monosit akan

berubah menjadi makrofag dan menangkap Ox LDL, kemudian akan berubah

menjadi sel busa (foam sel). Selanjutnya, sel busa akan berkembang menjadi inti

lemak (lipid core) dan mempunyai pelindung fibrosa (fibrous cap). Pelindung

fibrosa ini dapat rapuh sehingga memicu proses trombogenesis yang berakibat

terjadinya sindrom koronaria akut (Adi, 2014).

Proses aterosklerosis dimulai dari pembentukan lapisan lemak (fatty

streak). Lapisan lemak merupakan tanda awal aterosklerosis. Lapisan lemak

mengandung sel busa yang berada pada subendotel. Seiring berjalannya waktu,

lapisan lemak dapat berkembang menjadi plak aterosklerosis. Injuri endotel akan

memicu adesi monosit, peregangan celah endotel, dan migrasi monosit ke

subendotel yang kemudian akan menjadi makrofag. Endotelium yang permeabel

akan memperbolehkan LDL untuk masuk ke lapisan intima arteri, dan makrofag

25

akan memakannya melalui fagositosis. Makrofag yang memfagosit Ox LDL disebut

sel busa, dan kumpulan sel busa akan membentuk lapisan lemak (fatty streak).

Gambar 2.2 Patogenesis Aterosklerosis (LaMorte, 2016)

Limfosit T pada tunika intima juga akan memproduksi sitokin yang akan

menginduksi sel otot polos bermigrasi dari tunika media ke tunika intima (LaMorte,

2016). Sitokin yang terlibat antara lain TNF-α dan IL-1. Sel otot polos juga

berproliferasi dibawah pengaruh growth factor (FGF dan TGF-β) (Yelle, 2006).

Lama-kelamaan akan terjadi akumulasi lemak dan sel otot polos secara progresif

pada tunika intima. Akhirnya, lesi ini mulai mengangkat endotel dan mengisi lumen

arteri (LaMorte, 2016).

Terdapat dua bentuk evolusi dari plak aterosklerosis. Plak yang tumbuh

lambat akan meluas secara bertahap karena akumulasi lemak pada sel busa dan

migrasi serta proliferasi sel otot polos. Plak ini cenderung stabil dan tidak mudah

26

ruptur. Plak ini disebut fibrin cap pada lesi yang matur. Sebaliknya, plak lain

tumbuh cepat sebagai hasil dari deposisi lemak yang cepat. Plak ini memiliki fibrin

cap yang tipis dan cenderung mudah ruptur. Ketika plak ruptur akan memicu

trombosis akut (clot) oleh platelet dan clotting cascade yang teraktivasi (LaMorte,

2016).

2.3 Struktur Pembuluh darah

Dinding pembuluh darah terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terdalam adalah

tunika intima. Lapisan tengah adalah tunika media. Lapisan terluar adalah tunika

adventitia (Eroschenko, 2012).

2.3.1 Tunika Intima

Tunika intima terdiri dari selapis sel endotel. Sel endotel tersebut ditopang

oleh selapis tipis subendotel jaringan ikat longgar yang terkadang mengandung

otot polos (Mescher, 2011). Sel endotel berfungsi melapisi permukaan dalam

pembuluh darah dan memberikan permukaan licin antara darah dan dinding

pembuluh darah. Sel endotel memproduksi zat-zat seperti prostaglandin, heparin,

dan aktivator plasminogen yang berfungsi untuk mencegah agregrasi trombosit

dan vasokontriksi (Rahman, 2012). Tunika intima dipisahkan dengan tunika media

oleh lamina elastica interna yang merupakan komponen terluar intima. Lamina ini

terdiri atas elastin dan memiliki celah (fenestra) yang memungkinkan terjadinya

difusi zat untuk memeberi nutrisi ke sel-sel bagian dalam pembuluh darah

(Mescher, 2011).

2.3.2 Tunika Media

Terdiri atas lapisan sel otot polos yang tersusun secara berpilin. Diantara

sel-sel otot polos terdapat berbagai serat dan lamela elastin, serat retikular

27

kolagen tipe III, proteoglikan, dan glikoprotein yang semuanya dihasilkan oleh sel

otot polos ini. Tunika media dan tunika aventitia dipisahkan oleh lamina elastica

externa yang lebih tipis (Mescher, 2011).

2.3.3 Tunika Adventitia

Disebut juga tunika eksterna. Terutama terdiri atas serat kolagen tipe I dan

elastin. Lapisan ini berangsur menyatu dengan jaringan ikat stromal organ tempat

pembuluh darah berada (Mescher, 2011). Lapisan ini juga dikelilingi vasa vasorum

yaitu jaringan arteriol (Rahman, 2012).

2.4 Tomat (Lycopersicon esculentum)

2.4.1 Sistematika Tanaman Tomat

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Asteridae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Solanum

Spesies : Solanum lycopersicum

2.4.2 Karakteristik Umum dan Kandungan Kulit Tomat

Tomat atau Lycopersicon esculentum merupakan jenis tanaman sayuran

yang umumnya ditanam di dataran tinggi (Kusandryani et al., 2005). Tomat tumbuh

di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia (Pratiwi, 2009). Faktor

28

temperatur mempengaruhi warna buat tomat. Pada temperatur di atas 32 °C warna

buah tomat cenderung kuning. Temperatur ideal dan berpengaruh baik terhadap

warna buah tomat adalah antara 24°C - 28°C.Tanaman tomat memerlukan

intensitas cahaya matahari sekurang–kurangya 10-12 jam setiap hari (Gehel,

2012).

Kuntum bunga tomat terdiri dari 5 helai daun kelopak dan lima mahkota.

Daun tomat berwarna hijau dan berbulu. Bunga tanaman tomat berwarna kuning.

Buahnya berbentuk bulat, bulat lonjong, bulat pipih, atau oval. Buah tomat yang

masih muda berwarna hijau. Sedangkan buah tomat yang sudah tua berwarna

merah cerah sampai merah gelap. Buah tomat memliki daging yang lembut, lunak,

dan kadang-kadang banyak mengandung biji. Buah tomat memiliki rasa manis,

asam, dan sedikit dingin (Pratiwi, 2009).

Tomat ditanam di seluruh dunia digunakan untuk produksi pasta tomat,

saus tomat, dan sup, sejumlah tomat juga dikonsumsi tanpa diproses. Tomat

mengandung komponen seperti likopen, fenolik, flavonoid, vitamin C dan E yang

berfungsi sebagai antioksidan (Toor dan Savage, 2005). Ketika memasak tomat,

pastikan jangan membuang kulit tomat karena pada kulit tomat banyak

mengandung beta karoten dan likopen. Likopen merupakan antioksidan yang kuat.

Tomat juga memiliki mekanisme protektif, misalnya antitrombotik dan

antiinflamasi. Beberapa menyebutkan bahwa mengkonsumsi tomat secara teratur

dapat menurukan risiko kanker, penyakit kardiovaskular, osteoporosis, kerusakan

kulit akibat sinar ultraviolet, dan disfungsi kognitif.

Tomat memiliki berbagai varietas, tetapi semua varietas memiliki

kandungan nutrisi yang sama. Kandungan nutrisi tomat antara lain potasium,

29

fosfor, magnesium, besi, vitamin A,B, dan C, fitosterol, dan asam folat (Debjit et

al., 2012).

Stewart et al. (2000) melaporkan bahwa kandungan flavonol terbanyak ada

pada kulit tomat. George et al. (2004) melaporkan bahwa kulit tomat mengandung

banyak fenolik dan asam askorbat. Pada studi yang dilakukan oleh Toor dan

Savage (2004) menyebutkan bahwa jumlah fenolik, flavonoid, likopen, dan asam

askorbat terbanyak terdapat pada kulit tomat jika dibandingkan dengan buah dan

biji tomat.

Salah satu keuntungan utama mengkonsumsi tomat adalah kandungan

likopen di dalamnya. Tomat memiliki kandungan likopen tertinggi dibandingkan

buah lain. Likopen merupakan antioksidan kuat yang membantu melawan

pembentukan sel kanker dan berbagai macam masalah kesehatan lain. Radikal

bebas di dalam tubuh dapat dihilangkan oleh kandungan likopen yang tinggi pada

tomat. Tomat juga membantu untuk mengurangi risiko aterosklerosis dan

degenerasi otot. Likopen pada tomat dapat mencegah oksidasi LDL sehingga

pembentukan plak pada dinding arteri dapat dihambat (Debjit et al., 2012).

2.4.2.1 Fenol

Fenol merupakan senyawa organik yang ditandai dengan adanya gugus

hidroksil (-OH) yang menempel pada atom karbon yang merupakan bagian dari

cincin aromatik. Fenol mirip dengan alkohol tetapi membentuk ikatan hidrogen

yang lebih kuat. Oleh karena itu, fenol lebih mudah larut dalam air dan memiliki

titik didih yang tinggi (Wade, 2008). Flavonoid merupakan komponen utama dari

fenol (Toor dan Savage, 2005). Fenol yang paling banyak terdapat pada tomat

adalah flavonoid. Flavonol, salah satu jenis flavonoid, pada tomat sangat tinggi.

98% flavonol terkandung pada kulit tomat. Fenol dapat diklasifikasikan menurut

30

jumlah karbon dalam senyawanya. Berikut ini merupakan klasifikasi fenol

(Mariska, 2009).

2.4.2.1.1 Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa C15 yang semuanya memiliki struktur C6-

C3-C6 (Mariska, 2009). Flavonoid mengandung dua cincin benzena yang

dihubungkan oleh rantai pendek tiga karbon. Flavonoid dapat dibagi menjadi enam

subtipe, yaitu chalcones, flavones, isoflavonoids, flavanones, anthoxanthins and

anthocyanins (Robertson, 2016).Flavonoid dapat memberikan warna pigmen pada

berbagai tanaman, termasuk warna biru gelap pada bluberi dan warna merah pada

raspberi (Mateljan, 2016).

Flavonoid memiliki fungsi antioksidan yang sangat penting bagi kesehatan

tubuh. Flavonoid, terutama subtipe flavonol dan flavan-3-ols, sangat efektif untuk

mengurangi radikal bebas yang merusak sel di dalam tubuh (Mateljan, 2016).

Beberapa studi menyebutkan bahwa flavonoid mengurangi risiko aterosklerosis

dengan cara menghambat oksidasi LDL (Robertson, 2016).

2.4.2.2 Likopen

Likopen atau α-carotene adalah suatu karotenoid pigmen merah terang

yang banyak ditemukan pada buah tomat dan buah lain yang berwarna merah

(Mu’nisa, 2012). Likopen mengandung atom hidrogen dan karbon. Likopen tidak

memiliki aktivitas provitamin A karena tidak memiliki cincin terminal beta ion.

Likopen merupakan antioksidan yang paling poten dan paling efektif sebagai

scavenger singlet oksigen (Story et al., 2013). Kemampuan likopen dalam

mengendalikan radikal bebas 100 kali lebih efisien daripada vitamin E atau 12.500

kali daripada glutathion (Mu’nisa, 2012). Likopen dapat mengurangi risiko penyakit

31

kardiovaskular dengan menghambat oksidasi LDL, sehingga tidak terbentuk plak

aterosklerosis (Debjit et al., 2012).

2.4.2.3 Asam Askorbat

Asam askorbat atau vitamin C terdiri dari enam rantai karbon. Vitamin C

merupakan vitamin yang larut air dan banyak terdapat pada jeruk dan berbagai

sayuran. Vitamin merupakan antioksidan poten yang berfungsi untuk melawan

infeksi bakteri, reaksi detoksifikasi, dan pembentukan kolagen pada jaringan

fibrosa, gigi, tulang, jaringan ikat, kulit, dan kapiler. Vitamin C tidak dapat

diproduksi atau disimpan oleh tubuh dan harus diperoleh dari makanan.

Gambar 2.3 Struktur 2 Dimensi Vitamin C (National Center for Biotechnology Information, 2016).

Efek antoksidan yang dimiliki vitamin C pada perjalanan diabetes adalah

sebagai inhibitor enzim aldolase reduktase dan meminimalisir pembentukan

AGEs, sehingga dapat mencegah terbentuknya ROS. Di dalam sel endotel, asam

askorbat mempengaruhi enzim nitrit oksida sintase sehingga radikal superoksida

sebagai produk samping pembentukan nitrit oksida dapat ditekan (Setiawan dan

Suhartono, 2005). Selain itu, mekanisme antioksidan pada vitamin C yaitu

32

mengurangi oksidasi LDL sehingga mencegah terjadinya penyakit kardiovaskular

dan stroke (National Center for Biotechnology Information, 2016).

2.5 Streptozotocin

Streptozotocin (STZ) merupakan senyawa natural yang diproduksi oleh

bakteri tanah Streptomyces achromogenes. Streptozotocin sangat larut dalam air,

keton, dan alkohol tetapi sedikit larut pada pelarut organik polar. Streptozotocin

memiliki rumus molekul C8H15N3O, berat molekul 265 g/mol dan struktur yang

terdiri dari separuh nitrosourea dengan gugus metil yang menempel pada salah

satu ujung dan molekul glukosa menempel pada ujung lain (Eleazu et al., 2013).

Streptozotocin digunakan untuk menginduksi Insulin Dependent Diabetes Melitus

pada hewan coba karena memiliki efek toksik pada set beta pankreas. Efek

diabetogenik pada STZ secara langsung menghasilkan kerusakan ireversibel

terhadap sel beta pankreas. Akhirnya sel beta pankreas mengalami degranulasi

dan kehilangan fungsinya untuk mensekresi insulin (Khaleel et al., 2015).

2.5.1 Mekanisme STZ Menginduksi Kerusakan Sel Beta Pankreas

STZ memasuki sel beta pankreas melalui glucose transporter (GLUT 2)

dan menyebabkan alkilasi DNA. Kerusakan DNA menginduksi aktivasi poly ADP-

ribosylation, suatu proses yang sangat penting terhadap efek diabetogenesitas

dari STZ. Poly ADP-ribosylation memicu deplesi NAD+ dan ATP. Hal ini juga

mengakibatkan peningkatan produksi xantine oxidase, yang pada akhirnya akan

terjadi pembentukan radikal superoksida. Akibatnya, hidrogen peroksida dan

radikal hidroksil juga terbentuk. Selanjutnya, STZ akan membebaskan sejumlah

toksin yaitu NO. NO akan mengakibatkan kerusakan DNA dan akhirnya terjadi

nekrosis sel beta pankreas (Szkudelski, 2001).

33

Pemberian diet tinggi lemak pada hewan coba akan menyebabkan

resistensi insulin, tetapi tidak hiperglikemia atau diabetes. Pemberian diet tinggi

lemak merupakan cara yang tepat untuk menginisiasi resistensi insulin, yang mana

merupakan salah satu ciri terpenting pada Diabetes Melitus Tipe 2. Pada waktu

yang sama, STZ secara luas digunakan untuk menginduksi insulin dependent dan

non insulin dependent diabetes melitus. STZ dosis tinggi akan mengganggu

sekresi insulin yang mekanismenya mirip dengan Diabetes Melitus Tipe 1.

Sedangkan STZ dosis rendah dapat digunakan untuk menginduksi gangguan

sekresi insulin yang mekanismenya mirip dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Oleh

karena itu, kombinasi antara diet tinggi lemak dengan injeksi STZ dosis rendah

dapat memberikan hasil yang lebih baik untuk mengembangkan tikus model

Diabetes Melitus Tipe 2 (Ming et al., 2008)