BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Debu di Lingkungan Kerja...

41
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Debu di Lingkungan Kerja 2.1.1 Pengertian Debu Menurut Suma’mur (1998) debu adalah partikel-partikel zat padat yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan baik organik maupun anorganik. Secara fisik debu atau particulate dikategorikan sebagai pencemar udara yaitu dust dan aerosol. Debu terdiri dari dua golongan, yaitu padat dan cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat dibagi menjadi 3 macam : 1. Dust Dust atau debu terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru. 2. Fumes Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti logam Cadmium dan timbal ( Plumbum). Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Debu di Lingkungan Kerja...

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Debu di Lingkungan Kerja

2.1.1 Pengertian Debu

Menurut Suma’mur (1998) debu adalah partikel-partikel zat padat yang

ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan,

penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari

bahan-bahan baik organik maupun anorganik. Secara fisik debu atau particulate

dikategorikan sebagai pencemar udara yaitu dust dan aerosol. Debu terdiri dari dua

golongan, yaitu padat dan cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat

dibagi menjadi 3 macam :

1. Dust

Dust atau debu terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai

yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam

sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup

ke dalam paru-paru.

2. Fumes

Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari

bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain

dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti

logam Cadmium dan timbal ( Plumbum).

Universitas Sumatera Utara

3. Smoke

Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak

sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron.

2.1.2 Macam dan Sifat-sifat Debu

Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu (Depkes R.I,

1993) :

1. Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup (debu kapas, debu

daun-daunan, tembakau dan sebagainya).

2. Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam (Pb, Hg,

Cd, dan Arsen).

3. Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks ( SiO2,

SiO3

Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu fisik

(debu tanah, batu, dan mineral), debu kimia (debu organik dan anorganik) dan debu

biologis (virus, bakteri, kista), debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar (batu

bara, Pb), debu radioaktif (uranium, tutonium), debu inert (debu yang tidak bereaksi

kimia dengan zat lain). Debu di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan

baku atau hasil produksi. Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan

elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi.

, dll).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Depkes RI (1993) sifat-sifat debu adalah sebagai berikut :

1. Sifat Pengendapan

Yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi. Debu

yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu

yang terdapat di udara.

2. Permukaan Cenderung Selalu Bersih

Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya

selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai

upaya pengendalian debu di tempat kerja.

3. Sifat Penggumpalan

Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah maka debu

satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat

kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah

debu membentuk gumpalan.

4. Debu Listrik Statik

Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang

berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya

penggumpalan.

5. Sifat Opsis

Opsis adalah partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang

dapat terlihat dalam kamar gelap.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan sifat kimianya dibedakan atas 3 golongan yaitu (Depkes RI,

1993) :

1. Inert Dust

Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paru-

paru. Efeknya sangat sedikit sekali pada penghirupan normal. Reaksi jaringan pada

paru-paru terhadap jenis debu ini adalah :

a. Susunan saluran nafas tetap utuh

b. Tidak terbentuk jaringan parut ( fibrosis ) di paru-paru

c. Reaksi jaringan potensial dapat pulih kembali dan tidak menyebabkan

gangguan paru-paru.

2. Profilferative Dust

Golongan debu ini di dalam paru-paru akan membentuk jaringan parut (Fibrosis).

Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu

fungsi paru. Contoh debu ini yaitu debu silika, kapur, asbes dan sebagainya.

3. Debu Asam atau Basa Kuat

Golongan debu yang tidak ditahan dalam paru namun dapat menimbulkan efek

iritasi. Efek yang ditimbulkan bisa efek keracunan secara umum misalnya debu

arsen dan efek alergi, khususnya golongan debu organik.

2.1.3 Klasifikasi Debu

Berdasarkan kemudahan mengendapnya, debu industri yang terdapat dalam

udara terbagi dua yaitu (Pudjiastuti, 2002) :

Universitas Sumatera Utara

1. Deposit Particulate Matter

Yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera

mengendap karena daya tarik bumi.

2. Suspended Particulate Matter

Yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Debu

dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang

berhubungan dengan debu yang dihasilkan proses produksinya.

Lestari (2007) membedakan klasifikasi debu berdasarkan ukuran debu dan

lokasi tempat partikulat dapat terdeposit. Klasifikasi ini dibedakan atas dua fraksi,

yaitu non inspirable fraction dan inspirable fraction. Inspirable fraction dapat di

subklasifikasikan menjadi lagi menjadi tiga bagian, yaitu fraksi nasofaring, fraksi

trakeobronkial dan fraksi respirable.

Gambar 2.1 Klasifikasi Debu

Sumber : Lestari, 2007

Debu Total

Fraksi Non Inspirable Fraksi Inspirable

Fraksi Nasofaring

Fraksi Trakeobronkial

Fraksi Respirable

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Ukuran Partikel Debu

Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.

Partikulat yang terdeposit pada bagian sistem pernafasan manusia sangat bergantung

kepada ukuran partikel tersebut. Partikulat dengan ukuran ≥ 100 μm terdeposit pada

bagian hidung dan disebut sebagai inhalable particle. Partikulat dengan ukuran > 4-

10 μm terdeposit pada bagian toraks dan disebut thoracic particle. Dan partikulat < 4

μm terdeposit pada bagian paru dan disebut sebagai partikel respirabel (particle

respirable) (Lestari, 2007).

Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle merupakan

indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena adanya

hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel

debu di udara (Pope, 2003).

2.1.5 NAB Debu di Lingkungan Kerja

Untuk menghindari bahaya gangguan kesehatan pekerja akibat paparan debu,

pemerintah telah nenetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) debu lingkungan kerja.

NAB debu adalah standar konsentrasi debu yang dianjurkan di tempat kerja agar

tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit gangguan

kesehatan untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan

NAB ini sebagai rekomendasi pada praktek hygiene perusahaan dalam melakukan

penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya

terhadap kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Untuk partikel debu telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi No. PER 13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor

Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja adalah bahwa NAB kadar debu di udara

tidak boleh melebihi 3,0 mg/m³. NAB dari debu-debu yang hanya mengganggu

kenikmatan kerja adalah 10 mg/m³. Nilai Ambang Batas (NAB) Konsentrasi debu

pada udara ambien di Indonesia diatur juga dalam Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan

Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, sebesar 10 mg/m3

2.1.6 Mekanisme Penimbunan Debu di dalam Paru

untuk waktu

pengukuran rata-rata 8 jam.

Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru-

paru. Partikel debu yang dapat dihirup oleh pernafasan manusia mempunyai ukuran

0,1 mikron sampai 10 mikron. Pada hidung dan tenggorokan bagian bawah ada cilia

yang berfungsi menahan benda-benda asing seperti debu dengan ukuran 5-10 mikron

yang kemudian dikeluarkan bersama secret waktu bernafas. Sedangkan yang

berukuran 3-5 mikron ditahan pada bagian tengah jalan pernafasan. Penumpukan dan

pergerakkan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas.

Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga

akhirnya dapat menurunkan fungsi paru (Suma’mur, 1998).

Untuk partikel 1- 3 mikron dapat masuk ke alveoli paru – paru dan partikel

0,1- 1 mikron tidak mudah hinggap di permukaan alveoli karena adanya gerakan

Universitas Sumatera Utara

Brown, tetapi akan membentur permukaan alveoli dan dapat tertimbun di alveoli.

Debu yang masuk alveoli dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan (fibrosis) dan

bila 10 % alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitasnya dalam menampung

volume udara. Kemampuan elastisitas alveoli yang berkurang akan menyebabkan

kemampuan untuk mengikat oksigen juga menurun. Fibrosis yang terjadi ini dapat

menurunkan kapasitas vital paru (Pudjiastuti, 2002).

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama

paparan berlangsung, maka jumlah partikel yang mengendap di paru-paru juga

semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli

paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per

millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru-paru.

Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan

dengan terjadinya pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).

Menurut Pope (2003) mekanisme pengendapan partikel debu di paru

berlangsung dengan berbagai cara sebagai berikut:

a. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya gravitasi.

b. Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan

yang kecil.

c. Brown Difusion yang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua

mikron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari

partikel oleh energi kinetik.

Universitas Sumatera Utara

d. Elektrostatic terjadi karena saluran napas dilapisi mukus, yang merupakan

konduktor yang baik secara elektrostatik.

e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel

berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana

terjadi pengendapan.

2.1.7 Debu di Lingkungan Pabrik Kelapa Sawit

Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit adalah limbah

cair dan limbah padat. Limbah padatnya berupa tandan buah kosong dan cangkang

sawit. Tandan buah kosong umumnya dapat dimanfaatkan kembali di lahan

perkebunan kelapa sawit untuk dijadikan pupuk kompos. Prosesnya terlebih dahulu

dicacah sebelum diaplikasikan (dibuang) ke lahan. Sedangkan cangkang buah sawit

dapat dimanfaatkan kembali sebagai alternatif bahan bakar (alternative fuel oil) pada

boiler dan power generation.

Pada umumnya debu di lingkungan PKS bersumber dari abu sisa pembakaran

bahan bakar di boiler, ampas sisa pressing buah kelapa sawit , ampas tandan kosong,

kernel plant dan cangkang buah kelapa sawit serta debu hasil penangkapan pada unit

Dust Collector.

2.1.8 Pengaruh Debu terhadap Pernafasan

Debu terinhalasi akan memberikan efek terhadap saluran pernapasan. Efek

tersebut dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut (Robbin & Cotran, 2006) :

Universitas Sumatera Utara

1. Banyaknya debu yang tertahan. Keadaan ini menggambarkan konsentrasi awal,

lamanya pajanan dan keefektifan mekanisme untuk membersihkannya.

2. Ukuran, bentuk dan keterapungan partikel. Partikel yang berukuran 1-5 µm

cenderung mengendap di dalam alveoli dan merupakan partikel yang secara

patologik paling signifikan.

3. Reaktifitas fisika kimiawi dan kelarutan partikel. Partikel yang bersifat sangat larut

dapat menimbulkan toksisitas dengan cepat. Partikel lainnya mungkin tidak bisa

bisa dilarutkan dan dengan bertahan dalam keadaan tak larut, partikel tersebut

berpotensi untuk menimbulkan reaksi fibrotik yang kronik.

Dari hasil penelitian ukuran partikel debu dapat mencapai target organ sebagai

berikut (Depkes RI, 2001) :

1. Partikel diameter > 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan. Ini dapat

menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis.

2. Partikel diameter 0,5–5,0 mikron terkumpul di paru – paru hingga alveoli. Ini dapat

menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma.

3. Partikel diameter < 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat terabsorbsi ke dalam

darah.

Paparan debu yang sama baik jenis, ukuran partikel, konsentrasi maupun

lamanya paparan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian

ada yang mengalami gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin

ada yang tidak mengalami gangguan sama sekali. Menurut Miller (1989) hal ini

Universitas Sumatera Utara

diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh

terhadap paparan partikel debu terinhalasi sebagai berikut (Mangkunegoro, 2003) :

1. Secara Mekanik

Pertahanan tubuh secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan

menyaring partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran

pernafasan. Penyaringan berlangsung dihidung, nasofaring dan saluran nafas

bagian bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh

bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan

reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi.

Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi

berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel

debu dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.

2. Secara Kimia

Pertahanan tubuh secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara

fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan

silia yang “mucociliary escalator” ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksifikasi

dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus

dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag

alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.

Universitas Sumatera Utara

3. Secara Imunitas

Pertahanan tubuh secara imunitas adalah melalui proses biokimiawi yaitu humoral

dan seluler.

Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga

partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi

mekanisme rekasi atau perpindahan partikel.

Debu yang masuk ke dalam saluan napas menyebabkan timbulnya reaksi

mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport

mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat

terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila

kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga mengalami gangguan

dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin banyak atau

mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi saluran napas sehingga

resistensi jalan napas meningkat.

Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan

berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh

makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas

menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas

merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas

tadi sehingga terjadi lagi autolisis. Keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan

dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan

Universitas Sumatera Utara

jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini

terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial. Akibat

fibrosis paru menjadi kaku, menimbulkan gangguan pengembangan paru yaitu

kelainan fungsi paru (Pope, 2003).

2.2 Sistem Pernafasan

2.2.1 Pengertian Pernafasan

Pernapasan atau respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang

mengandung O2 atau oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang

banyak mengandung CO2 atau karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh.

Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Pernafasan

dapat berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2

1. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli.

Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih ada

udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan

ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini

penting karena menyediakan O

dari sel kembali ke

atmosfer. Proses ini dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu (Guyton & Hall, 1997) :

2

2. Difusi O

dalam alveoli untuk menghasilkan darah.

2 dan CO2

3. Pengangkutan O

antara alveoli dan darah.

2 dan CO2

4. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel-

sel.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Raharjo dkk (1994) dari aspek fisiologis ada dua macam pernafasan,

yaitu :

a. Pernafasan luar (external respiration) yaitu penyerapan oksigen dan pengeluaran

karbondioksida dari paru-paru.

b. Pernafasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah pertukaran

gas pada metabolisme energi dalam sel.

2.2.2 Anatomi Pernafasan

Munurut Mukono (1997) anotomi saluran pernafasan terdiri dari:

1. Hidung

Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membrane mukosa

bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan

dilembabkan. Fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran

pernafasan, yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel

goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam

lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan

mukosa. Gerakan silia menuju pharing. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan

suhu tubuh sehingga dalam keadaan normal, jika udara tersebut mencapai pharing,

dapat dikatakan hampir “bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh dan

kelembabannya 100%.

Universitas Sumatera Utara

2. Pharing

Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi dalam

tiga bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing merupakan

saluran penghubung ke saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Normalnya bila

makanan masuk melalui oropharing, epiglotis akan menutup secara otomatis

sehingga aspirasi tidak terjadi. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap benda-

benda asing (organisme) yang masuk ke hidung dan pharing.

3. Laring

Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan

disini didapatkan pita suara dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran

pernafasan bagian atas dan bawah. Kalau ada benda asing masuk sampai melewati

glotis, maka dengan adanya reflex batuk akan membantu mengeluarkan benda atau

sekret dari saluran pernafasan bagian bawah.

4. Trachea

Terletak di bagian depan esophagus, dari mulai bagian bawah krikoid kartilago

laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5. Trachea bercabang menjadi

bronchus kanan dan kiri. Tempat percabangannya disebut karina yang terdiri dari

6-10 cincin kartilago.

5. Bronkhus

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang-cabang menjadi segmen lobus,

kemudian menjadi segmen brokus. Percabangan ini diteruskan sampai cabang

Universitas Sumatera Utara

terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus, bergaris tengah

sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan yang dikelilingi otot polos.

6. Bronchiolus

Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan alveolus terminal,

merupakan struktur akhir paru-paru. Anderson (1999) mengatakan bahwa diluar

bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan

tempat pertukaran gas, asinus tersebut terdiri dari bronkiolus respirasi yang

mempunyai alveoli.

7. Paru-paru

Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total

seluas sebuah lapangan tenis. Alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein yang disebut

surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan resistensi terdapat

pengembangan pada waktu inspirasi serta mencegah kolapsnya alveolus pada

waktu respirasi (Davis dan Cornwell, 1991). Pembentukan surfaktan oleh sel

pembatas alveolus tergantung dari beberapa faktor antara lain pendewasaan sel

alveolus dan sel sistem biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran

darah kedinding alveolus. Surfaktan merupakan faktor penting dan berperan

sebagai pathogenesis beberapa penyakit rongga dada (Raharjoe dkk, 1994).

Saluran penghantar udara hingga mencapai paru - paru adalah hidung, faring,

laring, trakhea, bronkus dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai

Universitas Sumatera Utara

bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Permukaan epitel diliputi

oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa (Ganong, 1998).

Anatomi sistem pernafasan manusia dapat ditunjukkan seperti gambar 2.2

dibawah ini :

Gambar 2.2 Anatomi Sistem Pernafasan Manusia

Sumber : Pearce, 1986 2.3 Volume dan Kapasitas Paru

2.3.1 Volume Paru

Selama pernapasan berlangsung volume paru selalu berubah-ubah, dimana

mengembang sewaktu inspirasi dan mengempis sewaktu ekspirasi. Dalam keadaan

normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung hampir tanpa disadari

(Suma’mur, 1998). Beberapa parameter yang menggambarkan volume paru adalah:

Universitas Sumatera Utara

a. Volume Tidal (Tidal Volume = TV) adalah volume udara yang dihirup atau yang

dihembuskan pada satu siklus pernapasan selama pernafasan biasa. Besarnya TV

orang dewasa sebanyak 500 ml.

b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV) adalah volume

udara yang masih dapat dihirup ke dalam paru sesudah inspirasi biasa. Besarnya

IRV pada orang dewasa adalah 3100 ml.

c. Volume Cadangan Ekspirasi (Ekspiratory Reserve Volume = ERV) adalah

volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa.

Besarnya ERV pada orang dewasa adalah 1200 ml.

d. Volume Residu (Residual Volume = RV) adalah udara yang masih tersisa di

dalam paru sesudah ekspirasi maksimal.

2.3.2 Kapasitas Paru

Kapasitas paru merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih

(Suma’mur,1998). Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan sebagai

berikut :

a. Kapasitas Inspirasi

Kapasitas Inspirasi (Inspiration Capacity/IC) adalah jumlah udara yang dapat

dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan

paru sampai jumlah maksimum (kira-kira 3500 ml). Nilai kapasitas ini merupakan

hasil dari penjumlahan nilai volume tidal (TV) dengan volume cadangan inspirasi

(IRV).

Universitas Sumatera Utara

b. Kapasitas Residu Fungsional

Kapasitas Residu Fungsional (Fungtional Residual Capacity/FRC) adalah jumlah

udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 ml).

Nilai kapasitas ini adalah hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV)

ditambah volume cadangan ekspirasi (ERV).

c. Kapasitas Paru Total

Kapasitas paru total (Total Lung Capacity /TLC) adalah volume maksimum di

mana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira

5800 ml).

d. Kapasitas Vital

Kapasitas vital paru (Vital Capacity/VC) adalah jumlah gas yang dapat diekspirasi

setelah inspirasi secara maksimal. Besarnya adalah 4800 ml. Kapasitas vital paru-

paru merupakan hasil penjumlahan dari volume tidal, volume cadangan inspirasi

dan volume cadangan ekspirasi, seharusnya 80 % TLC. Berdasarkan pada tinggi

badan seseorang dapat ditaksir besar kapasitas vitalnya. Orang yang semakin tinggi

cenderung mempunyai kapasitas vital paru-paru yang lebih besar dari orang yang

tinggi badannya rendah. Pada pria kapasitas vital prediksi = (27,63-0,112 U)TB. U

merupakan umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam cm. Persentase

kapasitas vital dapat diukur dengan membandingkan kapasitas vital hasil

pengukuran dengan spirometer terhadap kapasitas vital prediksi dan dinyatakan

dalam satuan persen.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Kurva Volume dan Kapasitas Paru

2.3.3 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru

a. Karakteristik Individu

Kelainan paru karena adanya deposit debu dalam jaringan paru disebut

pneumokoniosis. Menurut definisi dari International Labor Organization (ILO)

pneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru

terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai

10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru

akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam

jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Khumaidah, 2009).

Nilai kapasitas vital paru pada dasarnya dipengaruhi oleh bentuk anatomi

tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernapasan serta

pengembangan paru dan otot dada (compliance paru). Penurunan kapasitas paru dapat

disebabkan oleh kelumpuhan otot pernapasan, misalnya pada penyakit poliomyelitis

Universitas Sumatera Utara

atau cedera saraf spinal, berkurangnya compliance paru, misalnya pada penderita

asma kronik, tuberkulosa, bronchitis kronik, kanker paru dan pleuritis fibrosa dan

pada penderita penyakit bendungan paru, misalnya pada payah jantung kiri (Guyton,

1994).

Daya tahan kardiorespirasi, yaitu kesanggupan jantung, paru dan pembuluh

darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan latihan untuk

mengambil oksigen dan mendistribusikan ke jaringan yang aktif untuk metabolisme

tubuh, dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor antara lain: keturunan/genetik, usia,

jenis kelamin, masa kerja, waktu kerja, kebiasaan merokok, riwayat penyakit

gangguan pernafasan, status gizi, kebiasaan berolah raga/aktivitas fisik dan

penggunaan alat pelindung diri berupa masker (Yunus, 1997; Guyton & Hall, 1996;

Harrington, 2005; Murray & Lopez, 2006; Suma’mur, 1994; Raharjoe dkk, 1994).

Berikut dijabarkan faktor-faktor yang memengaruhi nilai kapasitas vital paru

sebagai berikut :

1. Keturunan/Genetik

Dari penelitian diketahui bahwa 93,4% volume O2

2. Umur

max ditentukan oleh faktor

genetik. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan latihan yang optimal (Yunus,

1997).

Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis

sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai

Universitas Sumatera Utara

pada fase anak sampai kira – kira umur 22 – 24 tahun terjadi pertumbuhan paru

sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan

pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap (stasioner)

kemudian menurun secara gradual (pelan – pelan), biasanya umur 30 tahun sudah

mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru (FVC = Force Vital

Capacity/Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Force Expiratory Volum/Volume

Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rata-rata sekitar 20 ml

tiap pertambahan satu tahun umur individu (Pearce, 1986).

Kapasitas paru orang berumur > 30 tahun rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml,

dan pada mereka yang berusia > 50 tahun lebih kecil dari 3.000 ml. Meningkatnya

umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya

gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja (Yunus, 2006).

3. Jenis Kelamin

Nilai kapasitas vital paru pria dan wanita sampai usia pubertas tidak berbeda,

namun setelah itu dewasa laki-laki lebih tinggi 20-25% daripada wanita dewasa.

Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan kekuatan otot pria dan wanita

(Yunus, 1997).

4. Status Gizi

Indeks masa tubuh dapat digunakan sebagai indikator kondisi status gizi

pekerja. Status gizi akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang.

Ketidakseimbangan gizi dalam tubuh akan mengakibatkan menurunkan imunitas

Universitas Sumatera Utara

dan anti bodi sehingga seseorang mudah terserang infeksi seperti batuk, pilek, diare

dan berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap

benda asing seperti debu yang masuk ke dalam tubuh (Murray & Lopez, 2006).

Keadaan kesehatan berdasarkan kecukupan gizi umumnya dapat ditentukan

dengan Indeks Masa Tubuh/IMT atau Body Mass Index/BMI. Menurut WHO

ditetapkan tabel 2.1 seperti dibawah ini.

Tabel 2.1 Ambang Batas IMT

Category BMI Risk of Co-Morbidities

Underweight < 18.5

Normal 18.5 – 24.9 Average

Overwieght 25.0 – 29.9 Increased

Obese I 30.0 – 34.9 Moderate

Obese II 35.0 – 39.9 Severe

Obese III ≥ 40 Very Severe

Sumber : WHO, 2003

( Berat Badan) kg

IMT = (Tinggi Badan) 2

5. Kebiasan Merokok

m

Raharjoe dkk (1994) mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat

menimbulkan gangguan ventilasi paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi

mucus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi

efektifitas mukosilier dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan

media yang baik tumbuhnya bakteri.

Universitas Sumatera Utara

Yunus (1997) mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit

bronchitis dan kanker paru, untuk itu tenaga kerja hendaknya berhenti merokok bila

bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut.

Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,721 ml untuk non

perokok dan 38,4 ml untuk bekas perokok dan 41,7 ml untuk perokok aktif.

Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pengaruh debu yang hanya sepertiga

dari pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2009).

Kebiasaan merokok menurut Jama (1994) telah membagi menjadi 3 (tiga)

kategori perokok yaitu sebagai berikut :

a. Perokok ringan, bila jumlah rokok yang dihisap antara 1-6 batang/hari

b. Perokok sedang, bila jumlah rokok yang dihisap antara 7-12 batang/hari

c. Perokok berat, bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 12 batang/hari

6. Kebiasaan Berolah Raga

Faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal balik. Gangguan

faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya, latihan fisik yang

teratur atau olahraga dapat meningkatkan faal paru (Yunus, 1997). Secara umum

olah raga akan meningkatkan total kapasitas paru. Pada banyak individu yang

melakukan olah raga secara teratur maka kapasitas vital paru akan meningkat

meskipun hanya sedikit, tetapi pada saat yang bersamaan residual volume atau

jumlah udara yang tidak dapat berpindah atau keluar dari paru akan menurun.

Selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas vital paru, olah raga yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara

hendaknya memperhatikan empat hal, yaitu mode atau jenis olah raga, frekuensi,

durasi, dan intensitasnya (Wilmore, 1994).

7. Waktu Kerja

Menurut Harrington (2005), lama bekerja adalah durasi waktu untuk

melakukan suatu kegiatan/pekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan

jam. Budiono (2003) menyatakan lama kerja sebagai durasi waktu pekerja terpapar

risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya (time

exposure).

Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu di tempat kerja, maka perlu

dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan

tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan waktu

bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per

minggu (UU Nomor 13, 2003).

8. Masa Kerja

Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu

tempat. Menurut Suma’mur (1994) semakin lama seseorang dalam bekerja maka

semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja

tersebut.

Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpajan debu. Semakin

lama seseorang terpajan debu, akan semakin besar risiko terjadinya gangguan

fungsi paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi

Universitas Sumatera Utara

dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa

kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada

pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009).

9. Riwayat Penyakit Gangguan Pernafasan

Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru

seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit (Ganong,

2002). Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru-paru,

penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot

pernapasan (Price & Wilson, 1995).

Mukono (1997) mengatakan bahwa pada orang normal tidak ada perbedaan

antara Force Vital Capacity (FVC) dan Vital Capacity (VC), sedangkan pada

keadaan kelainan obstruksi terdapat berbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity

(VC) merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau

kekakuan pergerakan dinding toraks. Vital Capacity (VC) yang menurun

merupakan kekuatan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan

pemenuhan (compliance) paru atau dinding toraks mempunyai korelasi dengan

penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan

sedikit atau mungkin normal.

10. Penggunaan Alat Pelindung Diri

Masker dan respirator digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari

pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat

Universitas Sumatera Utara

kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan

uap logam), pencemaran oleh gas atau uap. Alat pelindung pernafasan adalah

bagian dari alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi pernafasan

terhadap gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat

bersifat racun ataupun korosi. Pelindung pernafasan adalah alat yang penting,

mengingat 90% kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan kimia

beracun atau korosi lewat saluran pernafasan (Milos, 1991).

Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung, ada juga yang mencakup

wajah dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan

apa yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi

dan berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut.

Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu (Milos, 1991) :

a. Respirator yang Bersifat Memurnikan Udara

Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis, yaitu

respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter mekanik,

respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia.

b. Respirator yang Dihubungkan dengan Suplai Udara

Suplai udaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat

pernapasan yang mengandung udara (self contained breathing apparatus).

Universitas Sumatera Utara

c. Respirator dengan Suplai Oksigen

Biasanya berupa self contained breathing apparatus. Pekerja yang aktivitas

pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri

berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat

terhirup. Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-

partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari

kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat

terinhalasi ke paru-paru, sehingga pengendapan partikel dan penurunan nilai

kapasitas vital paru dapat diminimalisir.

Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung

debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran

pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari

kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar

debunya tinggi (Suma’mur, 1996).

b. Kondisi Fisik Lingkungan Kerja

Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya

pada aspek tenaga kerja selain dipengaruhi oleh karakteristik individu juga

dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja yaitu ventilasi, suhu dan kelembaban.

Faktor lingkungan ini diuraikan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

1. Ventilasi

Ventilasi industri merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara

dan menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses

produksi dan kenyamanan pekerja. Di samping itu juga digunakan untuk

menurunkan kadar suatu kontaminan di udara tempat kerja sampai batas yang

tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja.

Prinsip sistem ventilasi yang digunakan dalam suatu industri adalah membuat

prinsip suatu proses pertukaran udara di dalam ruang kerja. Pertukaran udara

dan mengganti udara segar yang dilaksanakan secara bersama-sama. Jika tidak

ada sistem pertukaran udara, kontaminan yang ada akan bergerak perlahan di

dalam udara ruang kerja. Sehingga kontaminan akan tetap berada di sekitar

sumber dan di daerah sekitar pernafasan pekerja dengan konsentrasi yang tinggi

(Khumaidah, 2009).

Pertukaran udara dapat dilakukan baik secara alami maupun dengan bantuan

peralatan mekanik. Pertukaran udara terjadi karena adanya perbedaan tekanan,

dimana udara bergerak dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi ke daerah

yang tekanannya rendah. Pertukaran udara secara alami karena adanya kondisi

ruangan panas. Dengan kondisi panas udara akan memuai dan naik lalu keluar

melalui vena di atap. Keluarnya udara panas akan diganti dengan udara segar

yang masuk melalui lubang-lubang bangunan, seperti melalui pintu yang

terbuka, jendela atau kisi-kisi bangunan. Pertukaran udara secara mekanik

Universitas Sumatera Utara

dilakukan dengan cara memasang sistem pengeluaran udara (exchaust system)

dan pemasukan udara (supply system) dengan menggunakan fan. Exhaust

system dipasang untuk mengeluarkan udara beserta kontaminan yang ada

sekitar ruang kerja, biasanya ditempatkan disekitar ruang kerja atau dekat

dengan sumber dimana kontaminan dikeluarkan. Supply system dipasang untuk

memasukkan udara ke dalam ruangan, umumnya digunakan untuk menurunkan

tingkat konsentrasi kontaminan di dalam lingkungan kerja (Khumaidah, 2009).

2. Suhu

Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja

adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga

kerja yaitu berkisar antara 18 0C sampai 31

0C. Suhu yang rendah dapat

menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar,

sedangkan peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan suatu

polutan udara, yang menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara

sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja lebih banyak. Hal itu yang

menjadikannya faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru bagi

pekerja. Bila suhu udara > 31 0C perlu menggunakan alat penata udara seperti

air conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu udara luar < 18 0

C perlu

menggunakan alat pemanas ruangan (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13/MEN/X/2011).

Universitas Sumatera Utara

3. Kelembaban

Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang

terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara

berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu

menjadi basah. Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh

kepada kesehatan pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Udara yang lembab

menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di

udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel

tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja

secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara

yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan

selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat

meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari

material bangunan (Suma’mur, 1996). Bila kelembaban udara ruang kerja > 95

% perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja

<65 % perlu menggunakan humidifier (Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).

2.3.4 Nilai Standar Kapasitas Vital Paru

Menurut Pinzon (1999), kapasitas vital paru prediksi untuk pria adalah (27,63-

0,112 U) TB, sementara pada wanita adalah (21,78-0,101 U) TB dimana U adalah

umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam centimeter.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Koesyanto (2005) nilai standar kapasitas vital paru dibagi kedalam

perbedaan jenis kelamin adalah seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.2 Nilai Standar Kapasitas Vital Paru Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Usia

(Tahun)

Nilai Standar Kapasitas

Vital Paru (ml)

Usia

(Tahun)

Nilai Standar Kapasitas

Vital Paru (ml)

Laki-laki Perempuan Laki-Laki Perempuan

17 4100 2750 27 4180 2740

18 4200 2800 28 4150 2720

19 4300 2800 29 4120 2710

20 4320 2800 30 4100 2700

21 4320 2800 31-35 3990 2640

22 4300 2800 36-40 3800 2520

23 4280 2790 41-45 3600 2390

24 4250 2780 46-50 3410 2250

25 4220 2770 51-55 3240 2160

26 4200 2760 56-60 3100 2060

Sumber : Koesyanto (2005)

Berdasarkan American Thoracic Society (1995) nilai prediksi kapasitas vital

paru dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan tinggi badan. Adapun nilai prediksi

kapasitas vital paru (estimated vital capacity) untuk pria adalah seperti terdapat pada

tabel 2.3 lampiran 1.

2.3.5 Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru

Pemeriksaan kapasitas vital paru adalah suatu pemeriksaan yang sering

digunakan secara klinik sebagai indeks fungsi paru (Ganong, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan

spirometer dengan alasan spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah, ringan

praktis, bisa dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup sensitif,

akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi handal

(Yunus, 2006).

Cara kerja spirometer adalah dengan cara menarik nafas dan menghembuskan

nafas) dalam keadaan hidung ditutup, sementara itu drum pencatat bergerak sesuai

jarum jam sehingga pencatat akan mencatat sesuai dengan gerak tabung yang berisi

udara.

Dengan spirometri ini dapat diketahui uji fungsi paru dasar yang meliputi

(Price and Wilson, 1992) :

1. Vital Capacity (VC), adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi sesudah

inspirasi maksimal

2. Force Vital Capacity (FVC), adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat pada

ekspirasi dengan dilakukan secepat dan sekuat mungkin.

3. Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1), adalah volume udara yang dapat

diekspirasi dalam waktu satu detik selama tindakan FVC .

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru dengan

menggunakan Spirometer, maka kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain

(Aurorina, 2003) :

Universitas Sumatera Utara

1. Normal bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC ≥ 80%

2. Gangguan restriksi bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC < 80%

3. Gangguan obstruktif bila FEV1/FVC < 75%, FVC ≥ 80% dan FEV1 < 95%

prediksi.

4. Gangguan campuran (restriksi dan obstruktif) bila FEV1/FVC < 75% dan FVC <

80%.

Hasil pengukuran kapasitas vital paru tersebut dapat diklasifikasikan seperti

pada gambar 2.4 dibawah ini.

Gambar 2.4 Klasifikasi Penilaian Faal Paru

Sumber : American Thoracic Society, 1995 Menurut Alsagaf (2004) Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV) adalah

besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi

orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat

mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai FVC. Fase detik pertama ini

dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan

FEV1/FVC

Normal

75%

Obstruksi

0 80% FVC

Restriksi

ObstuksiRestriksi

Universitas Sumatera Utara

didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak

didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila

FEV/FVC lebih dari 75% berarti normal. Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik

atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital

(kapasitas vital mungkin normal) sehingga rasio FEV1/FVC kurang 80%.

2.3.6 Penyakit Gangguan Faal Paru

Gangguan fungsi paru adalah gangguan atau penyakit yang dialami oleh paru-

paru yang disebabkan oleh berbagai sebab, misalnya virus, bakteri, debu maupun

partikel lainnya. Penyakit-penyakit pernapasan yang diklasifikasikan karena uji

spirometri ada 2 macam, yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gangguan

ventilasi obstruktif dan penyakit-penyakit yang menyebabkan ventilasi restriktif

(Guyton, 1994).

1. Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun

Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan suatu istilah yang

sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan

ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Suyono, 1995).

Menurut Guyton (1994), penyakit-penyakit yang terrmasuk PPOM yaitu:

a. Bronkitis Kronik

Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh

pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai

batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam

Universitas Sumatera Utara

setahun. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang terdapat

pada daerah industri.

b. Emfisema

Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat berkurangnya elastisitas paru

dan luas permukaan Alveolus. Resiko primer untuk emfisema adalah merokok.

Pajanan berulang ke asap rokok (perokok pasif) juga dapat menyebabkan

emfisema. Selain itu terdapat suatu suatu bentuk emfisema familial yang timbul

pada orang-orang yang tidak terpajan asap rokok.

c. Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-

cabang takeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini

bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan

reversibel akibat bronkospasme.

d. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah peradangan nekrosis kronis yang menyebabkan atau

mengikuti dilatasi abnormal dari bronki. Secara klinik, ditandai dengan batuk,

demam, dan dahak yang purulen, banyak sekali dan berbau.

2. Penyakit Pernapasan Restriktif

Menurut Suyono (1995), ada beberapa macam penyakit pernapasan restriktif,

yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Sarkoidosis

Penyakit ini relatif sering ditemukan yang ditandai dengan grunuloma non-

kaseosa pada jaringan manapun. Paru adalah tempat yang biasa terkena, secara

karakteristik granuloma tersebar difus (menunjukkan gambaran retikuloduner

pada foto sinar X) dan tidak terlihat secara makroskopik kecuali fokus

granuloma yang berpadu. Lesi paru condong untuk penyembuh sehingga

mungkin terlihat sebagai parut secara mikroskopik.

b. Fibrosis Paru Idiopatik

Kelainan yang ditandai oleh fibrosis interstinum paru progresif yang

menyebabkan hipoksia. Penyakit ini progresif pada kebanyakan kasus,

berakibat insufisiensi paru, kor pulmonaler dan payah jantung.

c. Pneumokoniosis

Pneumokoniosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan karena inhalasi

debu organik dan anorganik tertentu. Penyakit ini sering dikaitkan dengan

penyakit akibat kerja. Bahan-bahan lain yang dapat menyebabkan

pneumokoniosis antara lain silika, batu bara, besi, asbes. Pneumokoniosis

hanya timbul setelah terpajan bertahun-tahun.

d. Pneumonitis Hipersensitivitas

Kelainan karena faktor imunologik ini disebabkan oleh debu atau antigen

terinhalasi, misalnya spora pada jerami, protein bulu dan bakteri termofilik.

Universitas Sumatera Utara

e. Eosinofilia Paru

Bermacam-macam kondisi klinikopatologik yang ditandai oleh sebutan

(infiltrasi) eosinofil dalam interstinum paru dan/atau ruang alveolus, meliputi

eosinofilia paru sederhana, eosinofilia tropikal, eosinofilia paru kronik

sekunder, pneumonia eosinofilia kronik idiopatik.

f. Bronkiolitis Obliterans atau Pneumonia Terorganisasi

Respons yang terjadi terhadap infeksi atau jejas radang pada paru, secara klinis

terkait dengan batuk, sesak napas, dan sering dengan infeksi paru yang baru,

hubungan etiologi lain adalah toksin terinhalasi, obat, dan penyakit vaskuler-

kolagen.

g. Hemoragi Paru Difus

Komplikasi yang serius pada beberapa penyakit paru interstisial, terutama

yang disebut sindrom paru hemoragik, termasuk dalam penyakit ini adalah

sindrom goodpasture, hemosiderosis pulmonal idiopatik dan pendarahan yang

berkaiatan dengan vaskulitis.

h. Proteinosis Alveolar Paru

Penyakit ini dapat terjadi setelah pemaparan debu dan bahan kimia yang

menyebabkan iritasi dan pada penderita yang tertekan kemampuan

imunologiknya. Bersifat progresif pada kebanyakan penderita, tetapi beberapa

penderita dapat mengalami perjalanan-perjalanan penyakit yang ringan dan

akhirnya terjadi resolosilesi.

Universitas Sumatera Utara

2.4 Landasan Teori

Analisis Pengaruh karakteristik pekerja dan paparan debu serta karakteristik

fisik lingkungan kerja terhadap kapasitas vital paru pekerja di PT. Perkebunan

Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2013

dilakukan mengacu kepada Teori Simpul (Achmadi, 2008) yaitu proses kejadian

penyakit yang diuraikan ke dalam 4 simpul sebagai berikut :

1. Simpul 1 disebut sebagai sumber penyakit yaitu risk agent berupa adanya bahan

pencemar di lingkungan kerja yang berasal dari debu sawit hasil pengolahan

Tandan Buah Segar (TBS).

2. Simpul 2 merupakan media transmisi penyakit yaitu udara lingkungan kerja yang

telah tercemar dengan debu, suhu dan kelembaban udara lingkungan kerja.

3. Simpul 3 adalah perilaku pemajanan (host) yaitu dalam penelitian ini adalah

karakteristik pekerja.

4. Simpul 4 adalah dampak kesehatan bagi manusia yaitu pekerja yang akan dinilai

fungsi faal parunya dengan indikator kapasitas vital paru.

Universitas Sumatera Utara

Secara umum kerangka teori dapat disampaikan seperti dibawah ini.

Gambar 2.5 Kerangka Teori

Kapasitas Vital Paru Pekerja

Karakteristik Pekerja : Umur Masa kerja Waktu kerja Penggunaan APD Kebiasaan merokok Kebiasaan berolah raga

Proses Pengolahan Kelapa Sawit

Bahan Baku

Proses Produksi

Hasil Produksi

Limbah

Kondisi Fisik Pekerja Udara Lingkungan Kerja

Debu : Sifat debu Kadar debu Kompisi kimia Ukuran partikel

Normal atau terjadi gangguan

Simpul 1

Simpul 2

Kadar Debu di Lingkungan Kerja

Paparan Debu ke Saluran Pernafasan

Anatomi Paru Sistem pertahanan tubuh Status Gizi Penyakit gangguan

pernafasan Jenis Kelamin Faktor Genetik

Simpul 4

Simpul 3 Kondisi fisik lingkungan Kerja : Suhu Kelembaban

Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.6 Kerangka Konsep

Kapasitas Vital Paru Responden

Karakteristik Responden : 1. Umur 2. Masa Kerja 3. Penggunaan APD 4. Kebiasaan Merokok

Kondisi Fisik Lingkungan Kerja PKS :

1. Suhu 2. Kelembaban

Kadar Debu di Lingkungan PKS

Universitas Sumatera Utara