BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air...

17
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi Pneumonia Pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai jaringan parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll), (Mardjandis, 2015). Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab penderita pneumonia dapat meninggal, selain dari penyebaran infeksi ke seluruh tubuh (Misnadiarly, 2008). 2.1.2 Epidemiologi Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Penyakit pneumonia adalah penyebab utama kematian balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut sebagai Pembunuh Balita Yang Terlupakan (The Forgotten Killer of Children). Di negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama bayi berusia kurang dari 2 bulan. Insidens pneumonia di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko pneumonia di negara tersebut (Mardjandis, 2015).

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air...

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

2.1.1 Definisi Pneumonia

Pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai jaringan parenkim paru.

Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian

kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll), (Mardjandis, 2015). Pneumonia

adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-kantung

kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat

sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab penderita pneumonia dapat meninggal,

selain dari penyebaran infeksi ke seluruh tubuh (Misnadiarly, 2008).

2.1.2 Epidemiologi

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama

pada anak di negara berkembang. Penyakit pneumonia adalah penyebab utama

kematian balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun tidak banyak perhatian

terhadap penyakit ini. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut sebagai Pembunuh

Balita Yang Terlupakan (The Forgotten Killer of Children). Di negara berkembang,

penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama

bayi berusia kurang dari 2 bulan. Insidens pneumonia di negara berkembang adalah

2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan

dengan etiologi dan faktor resiko pneumonia di negara tersebut (Mardjandis, 2015).

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

7

Menurut data (Riskesdas, 2013) pneumonia lebih banyak terjadi pada balita

laki laki dibanding balita perempuan. Berdasarkan kelompok umur penduduk,

pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai

meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur

berikutnya.

2.1.3 Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur maupun

mikoplasma. Namun lebih sering disebabkan oleh bakteri maupun virus. Adapun

bakteri, virus, jamur dan mikoplasma yang menyebabkan pneumonia adalah

sebagai berikut:

1. Pneumonia oleh Bakteri

Lebih dari 50% pneumonia bakterialis disebabkan oleh bakteri yang

bernama Streptococcus pneumoniae. Ada lebih dari 100 jenis Streptococcus

pneumoniae yang berbeda, dan organisme jenis ini banyak tinggal ditenggorokan

orang yang sehat. Saat pertahanan tubuh menurun, menurunnya kekebalan tubuh,

atau kesehatan yang buruk, bakteri ini berkembang biak dan akhirnya merusak

paru-paru (Schachter (2005) dalam Alfaqinisa, 2015).

2. Pneumonia oleh Virus

Kurang lebih 20-30% pneumonia disebabkan oleh virus. Penyebab yang

paling sering adalah virus influenza. Penyerang lainnya adalah Adenovirus, virus

Coxszckie, dan Respiratory Syncytial Virus (RSV) (Schachter (2005) dalam

Alfaqinisa, 2015).

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

8

3. Pneumonia oleh Jamur

Infeksi pneumonia akibat jamur jarang terjadi, ada tiga jenis jamur yang

menyebabkan pneumonia jamur yaitu Hitoplasma capsulatum yaitu penyebab

hitoplasmosis, Coccidioides immitis penyebab koksidioidomikosis dan

Blastomyces dermatitis penyebab blastomikosis (Romeo, 2018).

4. Pneumonia Mikoplasma

Jenis pneumonia yang ketiga disebut pneumonia atipik atau mikoplasma.

Mikoplasma adalah parasit permukaan yang melekat pada bagian atas membran sel

dan jarang menyerang jaringan atau aliran darah, tetapi pelekatannya menyebabkan

kerusakan dan kematian sel. Pneumonia mikoplasma dapat menyebabkan

pneumonia yang menyebar luas, walaupun biasanya ringan, dan dapat ditularkan

langsung dari orang ke orang (Schachter (2005) dalam Alfaqinisa, 2015).

2.1.4 Etiologi Berdasarkan Tempat Terjadinya Infeksi

1. Pneumonia community-acquired (yang diperoleh dari komunitas), sangat

sesuai dengan namanya karena penyakit ini mengenai orang ketika mereka

tinggal dan bekerja dirumah dan lingkungan mereka sendiri.

2. Pneumonia hospital-acquired (yang diperoleh dirumah sakit) atau disebut

juga pneumonia nosokomial. Pneumonia ini menyerang seseorang setelah

dia dirawat inap selama 72 jam di rumah sakit (Mardjandis, 2015).

2.1.5 Patofisiologi

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke dalam paru bagian perifer

melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi endema akibat reaksi jaringan yang

mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

9

paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,

eritrosit, cairan endema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut

stadium hepatisasi merah. Selanjutnya deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat

fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.

Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag

meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan

debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem brokopulmoner

jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal (Mardjandis, 2015).

Paru-paru terdiri dari ribuan bronkhi yang masing-masing terbagi lagi

menjadi bronkhioli, yang tiap-tiap ujungnya berakhir pada alveoli. Di dalam alveoli

terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah dimana terjadi pertukaran oksigen dan

karbondioksida. Ketika seseorang menderita pneumonia, nanah (pus) dan cairan

mengisi alveoli tersebut dan menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen sehingga

terjadi kesukaran bernapas. Anak yang menderita pneumonia, kemampuan paru-

paru untuk mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat

agar tidak terjadi hipoksia (kekurangan oksigen). Apabila pneumonia bertambah

parah, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam. Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia atau sepsis

(infeksi menyeluruh) (Depkes, 2012).

2.1.6 Pneumonia pada Balita

Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita adalah

anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

10

pengertian usia anak di bawah lima tahun atau biasa digunakan perhitungan bulan

yaitu usia 12–59 bulan (Depkes, 2015).

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-

ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan nafsu makan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau

diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner

(Mardjandis, 2015).

b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,

takipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis

(Mardjandis, 2015).

2.1.7 Klasifikasi Pneumonia pada Balita

Menurut Aditama tentang pedoman tatalaksana pneumonia pada balita

pneumonia dalam kementrian kesehatan republik Indonesia cetakan edisi tahun

2012, dapat diklasifikasikan berdasarkan berat ringannya penyakit pneumonia

sebagai berikut:

Gambar 2.1 Klasifikasi Penyakit Pneumonia Umur Kurang Dari 2 Bulan

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

11

Gambar 2.2 Klasifiaksi Penyakit Pneumonia Umur 2-59 Bulan 2.1.8 Pengobatan

Pneumonia terbanyak disebabkan oleh bakteri dan virus, sehingga dalam

pengobatannya diberikan antibiotik yang sesuai. Menurut Aditama dalam Depkes

(2012) dalam modul tatalaksana standar pneumonia, pengobatan pneumonia pada

balita sebagai berikut :

1. Pemberian Antibiotik Oral

Beri antibiotik oral pilihan pertama yaitu kotrimoksazol (trimetoprim +

sulfametoksazol) bila tersedia. Ini dipilih karena sangat efektif, cara pemberiannya

pun mudah dan murah. Antibiotik pilihan kedua (amoksisilin) diberikan hanya

apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau apabila dengan pemberian obat

pilihan pertama tidak memberi hasil yang baik.

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

12

2. Pengobatan Demam

Demam sangat umum terjadi pada infeksi saluran pernapasan akut.

Penatalaksanaan demam tergantung dari apakah demamnya tinggi atau rendah.

Jika demam tidak tinggi (>38,5°C) yaitu nasihati ibunya untuk memberi cairan

lebih banyak dan tidak diperlukan pemberian paracetamol. Jika demam tinggi

(>38,5°C) maka anak dengan demam tinggi bisa diturunkan dengan paracetamol

sehingga anak akan merasa lebih enak dan makan lebih banyak. Demam itu sendiri

bukan indikasi untuk pemberian antibiotik, kecuali pada bayi kurang dari 2 bulan.

Pada bayi kurang dari 2 bulan apabila ada demam harus dirujuk, jangan berikan

parasetamol untuk demamnya.

3. Pengobatan Wheezing

Untuk bayi berumur <2 bulan, wheezing merupakan tanda bahaya dan

harus dirujuk segera. Pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun yaitu

penatalaksanaan wheezing dengan bronkhodilator tergantung dari apakah wheezing

itu merupakan episode pertama atau berulang.

2.1.9 Tata Laksana Medis

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi

perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, atau ada penyakit dasar

yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Penggunaan

antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi

antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga

disebabkan oleh bakteri (Mardjandis , 2015).

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

13

Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena

tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih

berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris

didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia

dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis (Mardjandis, 2015).

2.1.10 Pencegahan

Menurut Misnadiarly (2008) pencegahan yang dapat dilakukan untuk

pneumonia pada balita adalah sebagai berikut :

1. Menghindari balita dari paparan asap rokok, polusi udara, dan tempat

keramaian yang berpotensi menjadi faktor penularan.

2. Manghindari balita dari kontak penderita Pneumonia.

3. Memberikan ASI eklusif pada anak.

4. Segera berobat jika mendapatkan anak mengalami panas, batuk, pilek.

Terlebih jika disertai suara serak, sesak nafas, dan adanya terikat pada otot

diantara rusuk (retraksi).

5. Imunisasi lengkap dan gizi baik dapat mencegah pneumonia.

6. Mengatasi faktor lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan (dengan

memberikan kompor bersih dalam ruangan terjangkau misalnya) dan

mendorong kebersihan yang baik di rumah juga dapat mengurangi jumlah

anak-anak yang jatuh sakit terkena pneumonia.

7. Imunisasi Haemophilus Influenza tipe B (HIB) (untuk memberikan

kekebalan terhadap haemophilus influensa, vaksin pneumococcal disease)

dan vaksin influenzae pada anak resiko tinggi, terutama usia 2-23 bulan.

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

14

Namun untuk vaksin ini karena harganya yang cukup mahal, tidak semua

anak dapat menikmatinya.

2.2 Pendekatan Model Segitiga Epidemologi

Model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen

penyakit yaitu manusia (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment).

Menurut Hockennberry dan Wilson (2009) dalam Hartati (2011) penyakit dapat

terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agent, host, dan

environment. Dalam model ini faktor agent adalah yang bertanggung jawab

terhadap penyebab penyakit meliputi infectious agent yaitu organisme penyebab

penyakit, physical agent dan chemical agent. Faktor penjamu (host) adalah individu

atau populasi yang berisiko terpajan penyakit meliputi faktor genetik atau gaya

hidup. Faktor lingkungan (enviroment) adalah tempat dimana host hidup termasuk

cuaca dan faktor-faktor yang berhubungan dengan rumah, tetangga dan sekolah.

Gambar 2.3 Segitiga Epidemiologi

Gambar diatas memperlihatkan segitiga dalam status keseimbangan

(ekuilibrium) yang normal. Keseimbangan bukan menandakan kesehatan yang

optimum, tetapi pola biasa yang sederhana dari kondisi sehat dan sakit dalam

populasi. Berbagai perubahan yang terjadi pada salah satu sisi (agent, host, dan

environment) akan menghasilkan ketidakseimbangan (Hartati S, 2011).

Host

Agent Environment

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

15

Berikut adalah penjabaran hubungan 3 komponen yang terdapat dalam

model segitiga epidemiologi dengan faktor risiko terjadinya infeksi pneumonia

pada balita :

1. Faktor penyebab (agent) adalah penyebab dari penyakit pneumonia yaitu

berupa virus dan bakteri. Berdasarkan faktor penyebab (agent) pneumonia

dibedakan menjadi 1) pneumonia bakterial/tipikal yaitu pneumonia yang

dapat terjadi pada semua usia, 2) pneumonia atipikal adalah pneumonia

yang disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia, 3)

pneumonia virus adalah pneumonia yang disebabkan oleh virus (Hartati S,

2011).

2. Faktor Manusia (host) adalah manusia atau pasien. Faktor risiko dalam hal

ini adalah anak balita meliputi: Usia, jenis kelamin, berat badan lahir,

riwayat pemberian ASI, status gizi, riwayat pemberian vitamin A, riwayat

imunisasi, status sosial ekonomi (Mardjandis, 2015).

3. Faktor Lingkungan (environment) adalah yang dapat menjadi faktor risiko

terjadinya pneumonia pada balita meliputi kepadatan rumah, polusi udara,

cuaca, kelembaban (Hartati S, 2011).

2.3 Pengetahuan

2.3.1 Definisi

Pengetahuan adalah hasil mengingat sesuatu hal termasuk mengingat

kembali kejadian yang telah dialami, baik secara sengaja maupun tidak disengaja

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

16

setelah melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu

(Mubarak, 2007).

Sedangkan menurut Notoatmodjo, pengetahuan adalah hasil pengindraan

manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya

(mata, hidung, telinga, kulit, dan lainnya) (Notoatmodjo, 2014).

2.3.2 Jenis Pengetahuan

Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam konteks kesehatan

sangat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan bagian perilaku kesehatan.

Jenis pengetahuan menurut Budiman diantaranya sebagai berikut:

1. Pengetahuan Implisit

Pengetahuan implisit adalan pengetahuan yang masih tertanam

dalam bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat

nyata, seperti keyakinan pribadi, persfektif, dan prinsip. Biasanya

pengalaman seseorang sulit untuk ditransfer ke orang lain baik secara tertulis

ataupun lisan (Budiman, 2013).

Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan budaya bahkan

bisa tidak disadari. Contoh seseorang mengetahui tentang bahaya merokok bagi

kesehatan, namun ternyata ia merokok (Budiman, 2013).

2. Pengetahuan Eksplisit

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan

atau tersimpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku

kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

17

berhubungan dengan kesehatan. Contoh seseorang yang telah mengetahui

bahaya merokok bagi kesehatan dan tidak merokok (Budiman, 2013).

2.3.3 Pengetahuan Orang Tua Balita Terhadap Pneumonia

Berdasarkan penelitian Azizah, dapat dilihat dari hasil uji statistik terdapat

hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu balita dengan kejadian

pneumonia (P value=0,000) dengan koefisien kontingensi (R = 0,044). Ibu balita

yang berpengetahuan rendah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia

sebesar 0,4 kali dibanding ibu balita dengan pengetahuan tinggi (Azizah, 2014).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau

responden. Dalam mengukur pengetahuan harus diperhatikan rumusan kalimat

pertanyaan menurut tahapan pengetahuan (Budiman, 2013).

2.4 Pola Asuh

2.4.1 Definisi

Menurut Djamarah, asuh atau mengasuh merupakan bentuk kata kerja yang

bemakna menjaga (merawat atau mendidik) anak kecil, membimbing (membantu,

melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, memimpin (mengepalai,

menyelenggarakan) suatu badab kelembagaan. Pola asuh orang tua dalam keluarga

merupakan kegiatan orang tua (ayah atau ibu) dalam memimpin, mengasuh, dan

membimbing anak dalam keluarga (Djamarah, 2014).

Pengasuhan atau pola asuh merupakan suatu praktek yang dijalankan oleh

orang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan

kebutuhan pangan/gizi (termasuk kebutuhan ASI/cairan balita), perawatan dasar

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

18

(termasuk pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, higine perorangan,

sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih, 2017).

2.4.2 Komponen Pola Asuh

Lingkungan atau keadaan rumah tangga dapat memberikan kontribusi yang

besarnya kurang lebih seperenam dalam kejadian pneumonia balita (Sugihartono,

2012; 82-86). Hal ini bisa dikaitkan dengan peran serta keluarga terutama ibu dalam

merawat dan menjaga kesehatan pada balita yang dikenal dengan pengasuhan atau

pola asuh. Pengasuhan adalah suatu praktek yang diterapkan oleh orang yang lebih

dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan

pangan/gizi (termasuk kebutuhan ASI/cairan balita), perawatan dasar (termasuk

imunisasi dan pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, higine

perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih, 2012).

Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang dikembangkan

lebih lanjut oleh Engle et al (1997) dalam Widyaningtyas (2016), menekankan

bahwa tiga komponen makanan – kesehatan – asuhan merupakan faktor-faktor yang

berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.

Engle et al (1997) dalam Widyaningtyas (2016) mengemukakan bahwa pola asuh

meliputi 6 hal yaitu:

1. Perhatian atau dukungan ibu terhadap anak.

2. Pemberian ASI (kebutuhan cairan balita) atau makanan pendamping

pada anak

3. Rangsangan psikososial terhadap anak.

4. Persiapan dan penyimpanan makanan.

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

19

5. Praktek kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan.

6. Perawatan balita dalam keadaan sakit seperti pencari pelayanan

kesehatan.

Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan

penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan. Dengan kata

lain, pengasuhan atau pola asuh ibu terdiri dari tiga aspek utama, yaitu pengasuhan

makan/gizi balita (pemberian ASI/cairan kepada anak), perawatan dasar balita

(termasuk perawatan balita saat sakit), praktik kebersihan (Widyaningtyas, 2016).

2.4.3 Pola Asuh Terhadap Pneumonia

Berdasarkan hasil penelitian Jacob (2017), dikatakan bahwa ada hubungan

antara pola asuh dengan kejadian pneumonia dinilai dari hasil analisis penelitian

dengan nilai signifikansi p value = 0,003 ini berarti p value < 0,05 artinya terdapat

hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan kejadian ISPA (Jacob,

2017).

2.5 Perilaku

2.5.1 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan yang

berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan

lingkungan (Notoatmodjo, 2015).

Menurut Notoatmodjo (2014), perilaku kesehatan (health behavior) adalah

respons seseorang terhadap stimulus suatu objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,

penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti

lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan yang sejalan dengan

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

20

batasan perilaku menurut Skiner. Dengan kata lain, perilaku kesehatan adalah

semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable)

maupun yang tidak dapat diamati (unabsorvable) yang berkaitan dengan

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Oleh sebab itu, perilaku kesehatan pada

garis besarnya dikelompokkan menjadi dua, yakni:

1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini

disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang mencakup perilaku-perilaku

(overt dan covert behavior) dalam mencegah atu menghindari dari penyakit

dan penyebab penyakit/masalah, atau penyebab masalah kesehatan

(perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya

kesehatan (perilaku promotif). Contoh : tidak merokok dan meminum-

minuman keras, menghindari gigitan nyamuk, menggosok gigi setelah

makan, dan sebagainya.

2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan , untuk

memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya.

Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking

behavior). Perilaku ini mencakup tinadakan-tindakan yang diambil

seseorang atau anaknya bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk

memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan yang

dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas

pelayanan kesehatan, baik fasilitas atau pelayanan kesehatan tradisional

(dukun dan paranormal), maupun pengobatan modern atau professional

(rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan sebagainya).

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

21

2.5.2 Perilaku Hidup Sehat

Dari 10 indikator perilaku hidup sehat dalam Notoatmodjo (2014), telah

ditetapkan oleh Departemen Kesehatan untuk mengukur perilaku kesehatan di

tatanan rumah tangga atau keluarga, yang benar-benar dapat mengukur perilaku

hidup sehat bagi keluarga, atau idnividu dalam keluarga adalah:

1. Mencari pertolongan persalinan ke tenaga kesehatan.

2. Memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif.

3. Tidak merokok.

4. Melakukan aktivitas fisik.

5. Mengonsumsi sayur dan buah secara cukup.

Sedangkan 5 indikator lain yang belum dapat dimasukkan sebagai indikator

perilaku sehat adalah:

1. Kepemilikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPKM).

2. Rumah tangga yang tersedia jamban.

3. Rumah tangga yang tersedia air bersih.

4. Rumah tangga dengan kesesuaian luas lantai dengan jumlah anggota

keluarga.

5. Rumah tangga dengan lantai rumah bukan tanah.

2.5.3 Perilaku Merokok Terhadap Pneumonia

Merokok adalah kebiasaan yang tidak sehat, namun di Indonesia jumlah

perokok cenderung meningkat. Hampir 50% pria dewasa di Indonesia adalah

perokok. Rumah tangga tidak merokok adalah rumah tangga dimana tidak ada

anggota rumah tangga yang berumur 15 tahun keatas yang merokok di dalam

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/BAB 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis ... apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau

22

lingkungan rumah setiap hari. Berdasarkan batasan operasional ini, maka yang

dimaksud tidak merokok adalah penduduk yang tidak merokok selama satu bulan

yang lalu saat dilakukan survei. Oleh sebab itu, mantan perokok adalah termasuk

kategori yang tidak merokok (Notoatmodjo, 2014).

Berdasarkan hasil uji statistik Wijaya dari penitian menunjukan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan

kejadian penyakit pneumonia pada balita, dengan nilai signifikansi (p value) =

0,000 yang mana nilai dibawah 0,05. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR =

1,269, dimana balita yang memiliki keluarga dengan kebiasaan merokok,

mempunyai peluang mengalami Pneumonia sebanyak 1,269 kali dibanding balita

yang tidak memiliki keluarga dengan kebisasaan merokok (Wijaya, 2014).