BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41281/3/jiptummpp-gdl-hanifiyahn-47043-3-bab2.pdf · aseton...

17
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres 2.1.1 Definisi stres Stres merupakan suatu keadaan tuntutan lingkungan yang melebihi kapasitas dari biasanya dan membutuhkan respon yang lebih sehingga dapat mempengaruhi fisik dan psikologis pada seseorang (Bamuhair, 2015). Stres merupakan suatu respon tubuh yang tidak spesifik, dari keadaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan (Kaplan dan Sadock, 2015) 2.1.2 Sumber stres Stres merupakan kondisi yang didapatkan oleh berbagai sumber yang disebut stresor (Priyoto, 2014). Stresor yang dapat menimbulkan stres, yaitu: frustasi, konflik, tekanan atau krisis (Maramis, 2009). 2.1.2.1 Frustasi Frustasi dibagi menjadi dua yaitu frustasi yang timbul karena stresor dari luar dan yang timbul dari dalam. Frustasi yang timbul akibat stresor dari luar seperti: kecelakan, kematian orang tersayang, peperangan dan penyakit yang dapat menimbulkan frustasi. Frustasi yang timbul akibat stresor dari dalam seperti: kecacatan badaniah atau kegagalan yang berhubungan dengan harga diri (Maramis, 2009).

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41281/3/jiptummpp-gdl-hanifiyahn-47043-3-bab2.pdf · aseton...

  

4  

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres

2.1.1 Definisi stres

Stres merupakan suatu keadaan tuntutan lingkungan yang

melebihi kapasitas dari biasanya dan membutuhkan respon yang lebih

sehingga dapat mempengaruhi fisik dan psikologis pada seseorang

(Bamuhair, 2015). Stres merupakan suatu respon tubuh yang tidak

spesifik, dari keadaan yang menyenangkan maupun tidak

menyenangkan (Kaplan dan Sadock, 2015)

2.1.2 Sumber stres

Stres merupakan kondisi yang didapatkan oleh berbagai sumber

yang disebut stresor (Priyoto, 2014). Stresor yang dapat menimbulkan

stres, yaitu: frustasi, konflik, tekanan atau krisis (Maramis, 2009).

2.1.2.1 Frustasi

Frustasi dibagi menjadi dua yaitu frustasi yang timbul

karena stresor dari luar dan yang timbul dari dalam. Frustasi

yang timbul akibat stresor dari luar seperti: kecelakan,

kematian orang tersayang, peperangan dan penyakit yang

dapat menimbulkan frustasi. Frustasi yang timbul akibat

stresor dari dalam seperti: kecacatan badaniah atau kegagalan

yang berhubungan dengan harga diri (Maramis, 2009).

5  

2.1.2.2 Konflik

Konflik dapat terjadi ketika seseorang tidak dapat

menentukan pilihan antara dua atau lebih suatu kebutuhan

atau tujuan. Konflik juga dapat terjadi ketidak harusan

memilih diantara hal yang semua tidak sukainya (Maramis,

2009).

2.1.2.3 Tekanan

Tekanan seperti halnya dengan frustasi dapat berupa

dari dalam dan luar. Tekanan dari dalam seperti cita-cita atau

norma yang kita gantungkan terlalu tinggi dan kita

mengejarnya terlalu keras, sehingga kita terus menerus

dibawah tekanan. Tekanan dari luar seperti orang tua yang

meminta anaknya untuk prestasi sekolah yang tinggi

(Maramis, 2009).

2.1.2.4 Krisis

Krisis merupakan keadaan yang baru secara mendadak

dan besar yang akan menimbulkan stres, seperti penyakit

yang membutuhkan operasi dan masuk sekolah untuk

pertama kalinya (Maramis, 2009).

2.1.3 Gejala stres

2.1.3.1 Gejala psikologis

Gejala psikilogis yang sering terjadi adalah mudah

tersinggung, ingatan melemah, konsentrasi kurang, tugas

susah dilaksanakan, daya mengingat melemah, reaksi

6  

berlebihan terhadap hal sepele, tidak mampu santai pada saat

yang tepat, tidak tahan terhadap suara atau gangguan lain,

dan emosi yang tidak dapat dikendalikan (Priyoto, 2014).

2.1.3.2 Gejala fisik

Gejala fisik yang sering terjadi pada saat terkena stres

adalah nyeri dada, diare selama beberapa hari, lelah, sakit

kepala, susah untuk tidur (Priyoto, 2014).

2.1.4 Tingkat stress

2.1.4.1 Stres ringan

Stres ringan di score kan dengan nilai 15-18 jika diukur

dengan kuisioner Depression Anxiety and Stress Scale

(DASS) (Lovibond, 1995)

2.1.4.2 Stres sedang

Stres sedang di score kan dengan nilai 19-25 jika

diukur dengan kuisioner Depression Anxiety and Stress Scale

(DASS) (Lovibond, 1995)

2.1.4.3 Stres berat

Stres berat di score kan dengan nilai lebih dari 26 jika

diukur dengan kuisioner Depression Anxiety and Stress Scale

(DASS) (Lovibond, 1995)

2.1.5 Respon terhadap stres

2.1.5.1 Neurotransmiter

Stresor mengaktifkan locus ceruleus di otak dan

menyebabkan keluarnya katekolamin dari sistem saraf

7  

otonom. Sistem serotonorgik juga mengalami peningkatan

serotonin ketika mengalami stres. Glukokortikoid yang

diperantarai oleh 5-HT2 akan menyebabkan fungsi

serotonergik meningkat pada depresi dan penyakit tertentu.

Stres akan meningkatkan neurotransmiter dopaminergik pada

jaras mesoprefrontal. Corticotropin Realising Factor (CRF),

glutamat dan gama–aminobutiric acid (GABA) mempunyai

peranan penting untuk mengatur respon stres pada otak

(Kaplan dan Sadock, 2015).

2.1.5.2 Endokrin

Hipothalamus mensekresikan CRF ke hipofisial-

hipofisis-portal. Corticotropin Realising Factor (CRF) di

hipofisis anterior akan melepaskan adenokortikotropin

(ACTH). ACTH di korteks adrenal akan melepaskan

glukokortikoid. Glukokortikoid akan menyebabkan sistem

flight or fight dalam tubuh dan akan menghambat fungsi

pertumbuhan, reproduksi dan imunitas. Hipotalamus-hipofis-

adrenal merupakan pengendali umpan negatif terhadap

kortisol dan ACTH (Kaplan dan Sadock, 2015).

2.1.5.3 Imun

CRF di locus ceruleus akan mengaktifkan sistem saraf

simpatis baik sentral maupun perifer serta meningkatkan

epinefrin dari medula adrenal dan stresor juga dapat

8  

melepaskan sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) dan IL-6

(Kaplan dan Sadock, 2015).

2.1.6 Stres pada mahasiswa fakultas kedokteran

Mahasiswa Fakultas kedokteran menghadapi berbagai jenis stres

dalam kehidupan mereka dan pada saat belajar menjadi mahasiswa

kedokteran (Shah, 2010). Penelitian sebelumnya juga menemukan

pada mahasiswa kedokteran mempunyai tingkat stres yang tinggi.

Penelitian di Amerika Utara memaparkan hasil penelitian 38%

mengalami stres, penelitian ini diikuti oleh 100 peserta mahasiswa

kedokteran, di Inggris sebanyak 31,2% mengalami stres penelitian ini

diikuti oleh 165 peserta, di Pakistan, dengan 161 peserta, prevalensi

stres sebanyak 30,84% (Shah, 2010) sedangkan di Asia sebesar 39,6-

61,3% (Habeeb, 2010). Penelitian di Bangladesh menyebutkan dari

990 peserta mahasiswa kedokteran 54% mengalami stres (Eva et al.,

2015). Prevalensi keseluruhan stres pada 3 universitas di Inggris

adalah 31,2% di 3 universitas di Inggris, sedangkan mahasiswa

kedokteran Malaysia 41,9% dan 61,4% di Thailand (Bamuhair, 2015).

Di Malaysia, dengan 396 peserta, prevalensi stres mahasiswa fakultas

kedokteran adalah 41,9% (Sherina, 2004), sedangkan di Indonesia

menunjukkan dari 422 partisipan mahasiswa fakultas kedokteran 15

orang (3,5%) mengalami stres ringan, 365 orang (86,5%) mengalami

stres sedang, 42 orang (10%) mengalami stres berat (Suganda, 2014).

Salah satu stresor yang dapat menimbulkan stres atau gangguan

kejiwaan adalah stresor psikososial. Stresor psikososial merupakan

9  

keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam

kehidupan seseorang sehingga orang tersebut harus melakukan

adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Contoh dari

stres psikosial antara lain, yaitu: masalah dengan keluarga, masalah

hubungan intrapersonal seperti masalah dengan teman atau lawan

jenis, masalah pekerjaan, masalah hukum atau adanya keterlibatan

dengan hukum, masalah keuangan yang merupakan merupakan faktor

yang seringkali sangat berpengaruh kepada seseorang menderita stres

dan mempunyai penyakit fisik yang dapat menyebabkan stres seperti

penyakit jantung, HIV/AIDS, kecelakaan, operasi / pembedahan,

aborsi, dan lain sebagainya (Hawari, 2011). Mahasiswa perempuan

lebih stres daripada laki-laki tapi mereka menggunakan strategi lebih

mengatasi juga (Banuhair, 2015). Perempuan berbeda dengan laki-

laki mereka cenderung menggunakan strategi penanggulangan

emosional dan avoidant lebih dari laki-laki lakukan. Studi dari Inggris

telah melaporkan mahasiswa kedokteran penggunaan tembakau

sebagai strategi koping untuk mengatasi stres (Al Dubai, 2011). Stres

pada mahasiswa fakultas kedokteran dapat menyebabkan masalah

pada kesehatan dan penurunan kepuasan hidup (Holm et al., 2010).

Penurunan kesehatan siswa dapat mempengaruhi kemampuan

belajar dan prestasi akademis serta pencapaian tujuan. Selain itu, stres

juga mempengaruhi hubungan sosial di dalam dan di luar universitas,

sehingga berdampak pada kesehatan mental. Stres pada mahasiswa

kedokteran dapat menyebabkan tekanan fisik, psikologis dan juga

10  

akademis seseorang yang akan merusak pada empati, perilaku etis,

dan profesionalisme, mudah lelah, putus sekolah dan juga

menyebabkan penyalahgunaan zat kimia yang dapat merusak tubuh

hingga bunuh diri (Schoeman, 2015).

Stres mahasiswa kedokteran meliputi stres akademik dan non-

akademik. Stres akademik meliputi tugas yang berlebihan, kurangnya

keterampilan mengatur waktu, ujian yang banyak, tekanan untuk

mendapatkan nilai yang baik. Stres non-akademik meliputi isu-isu

sosial dan masalah keuangan. Di Pakistan, stres yang paling umum di

antara mahasiswa kedokteran yang harapan yang tinggi orangtua

untuk masa depan dan juga untuk mendapatkan nilai yang baik,

luasnya kurikulum akademik atau sulit pembelajaran, kesulitan tidur

dan ujian yang banyak (Al Dubai, 2011). Stres akademik pada

mahasiswa kedokteran menjadikan topik yang menarik dikarenakan

mahasiswa kedokteran menghadapi tantangan akademis yang unik

yang membuat mereka lebih rentan terhadap stres dan kecemasan dari

mahasiswa fakultas lain. Mahasiswa baru, sangat rentan terhadap stres

karena sifat adaptasi dari kehidupan kampus, kehidupan kampus

memaksa untuk memperoleh adaptasi keterampilan sosial yang baru

dan untuk menimbulkan sifat tanggung jawab. Tekanan akademik

dikombinasikan dengan faktor emosional berlaku pada tahun pertama,

sementara alasan tekanan akademik yang berkaitan dengan perawatan

pasien dan faktor fisik yang lebih penting pada tahun-tahun berikutnya

(Bamuhair, 2015).

11  

2.1.7 Koping pada mahasiswa

Koping merupakan strategi untuk mengatasi stress. Mekanisme

koping menggunakan perilaku, faktor eksternal fisik, emosional,

spiritual dan strategi kognitif. Koping stres terbagi menjadi dua

koping positif dan koping negatif. Koping positif merupakan strategi

mengurangi stres yang bermanfaat dalam jangka panjang, seperti

olahraga mengurangi stres, memotivasi dan memberikan arah dan

meningkatkan kemampuan dalam belajar, rekreasi, mendapatkan

dukungan dari teman dan keluarga. Koping negatif merupakan strategi

mengurangi stres dalam jangka pendek (misalnya. Gunakan alkohol

atau obat-obatan, atau penarikan dari interaksi sosial) (Pariat et al.,

2014) Menurut penelitian Tobacco Etiology Research Network

mahasiswa merokok untuk melepaskan pikiran yang menjanggalnya

dan meyakini bahwa rokok dapat mengatasi stresornya (Tummers,

2013).

2.2 Merokok

2.2.1 Definisi merokok

Merokok merupakan kegiatan membakar tembakau melalui pipa

atau cerutu yang kemudian dihirup asapnya. Asap tembakau

mempunyai campuran lebih dari 4000 bahan kimia yang memiliki

efek merugikan pada manusia. Selain itu, mempunyai kebiasaan

merokok merupakan awal dari penyalahgunaan dari narkoba (Aldo et

al., 2010).

12  

2.2.2 Kategori merokok

2.2.2.1 Perokok aktif

Seseorang yang merokok minimal satu batang dalam

sehari (Boneta, 1999). Seseorang yang menghirup langsung

asap rokok dan dapat membahayakan kesehatan dirinya

sendiri dan lingkungan sekitar (Bustan, 2000).

2.2.2.2 Perokok pasif

Seseorang yang menghirup asap rokok tetapi tidak

merokok (Bustan, 2000). Seseorang yang tidak aktif dalam

merokok tetapi terpapar atau terhirup oleh asap pembakaran

tembakau dari rokok oleh lingkungan sekitarnya (Ueno et al.,

2015).

2.2.3 Tipe merokok

Tipe merokok dibagi menjadi empat, yaitu (Alamsyah, 2009) :

2.2.3.1 Kebiasaan positif

Perilaku merokok yang disebabkan keinginan untuk

menambahkan rasa yang positif

a. Perilaku merokok untuk meningkatkan kenikmatan

yang sudah didapatkan dari sebelumnya, misalnya

merokok setelah minum kopi atau makan (Alamsyah,

2009).

b. Perilaku merokok yang untuk menyenangkan perasaan

(Alamsyah, 2009).

13  

2.2.3.2 Perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan negatif

Merokok untuk mengurangi perasaan negatif dalam

diri seseorang. Merokok yang dilakukan ketika sedang

marah, stres, cemas, gelisah dan seseorang tersebut

menganggap rokok sebagai penyelamat (Alamsyah, 2009).

2.2.3.3 Perilaku merokok yang adiktif

Kegiatan merokok yang dikarenakan keinginan yang

tidak tertahankan untuk merokok. Perokok ini akan

menambahkan dosis rokok yang dikonsumsi. Perokok ini

akan khawatir jika rokok tidak tersedia pada saat ingin

merokok (Alamsyah, 2009).

2.2.3.4 Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan.

Kegiatan merokok yang sama sekali bukan karena

untuk mengendalikan perasaan orang tersebut, tetapi karena

sudah menjadi kebiasaan (Alamsyah, 2009).

2.2.4 Frekuensi merokok

Tingkatan perokok menjadi 3 bagian, yaitu :

2.2.4.1 Perokok ringan

Perokok aktif yang menghisap rokok mulai dari 1

batang hingga 5 batang dalam satu hari (Gigliotti, 2001).

2.2.4.2 Perokok sedang

Perokok aktif yang menghisap rokok mulai dari 6

batang hingga 10 batang dalam satu hari (Gigliotti, 2001).

14  

2.2.4.3 Perokok berat

Perokok aktif yang menghisap rokok dari lebih dari 11

batang sehari (Gigliotti, 2001).

2.2.5 Kandungan rokok

Rokok mengandung sekitar 5.000 bahan kimia, bahan kimia

tersebut mengandung zat karsinogenik dan beracun, zat tersebut dapat

menyebabkan kematian. Penyakit yang paling sering disebabkan oleh

rokok yang menyebabkan kematian merupakan penyakit jantung,

penyakit paru obstruktif kronik, dan berbagai jenis kanker, seperti

kanker paru-paru dan masih banyak yang lainnya (Talhout et al.,

2011). Bahan kimia pada rokok seperti karbon monoksida, hidrogen

sianida, nitrogen oksida, hidrokarbon aromatik polisiklik, amonia,

asetaldehida, formaldehida, benzena, fenol, argon, pyridines dan

aseton mengandung zat karsinogenik pada manusia yang

membahayakan tubuh manusia (Slaughter et al., 2011).

Bahan kimia pada rokok yang dapat menyebabkan kanker

seperti, formaldehida yang dapat digunakan untuk pengawet pada

mayat, benzene yang dapat ditemukan di bensin, dan Polonium 210

yang bersifat radioaktif dan sangat beracun. Bahan kimia yang

terkandung pada rokok juga mengandung logam beracun seperti

chromium yang digunakan untuk membuat baja, arsenik yang

digunakan dalam pestisida, timah hitam yang digunakan dalam cat,

dan kadmium yang digunakan dalam pembuatan baterai. Zat yang

terkandung dalam rokok juga mengandung gas beracun seperto karbon

15  

monoksida yang dapat ditemukan di knalpot mobil, hydrogen sianida

digunakan dalam senjata kimia, amonia yang digunakan untuk

pembersih rumah tangga, butana yang digunakan dalam cairan ringan.

Toluena yang dapat digunakan untuk pengencer cat (Benjamin,

2010).

Gambar 2.1 Kandungan pada rokok yaitu : nikotin, amonia, methanol, carbon monoxida, arsenik, methan, asam asetik, butana, kadmium, asam stearik,haksamin dan toluen (Surodjo dan Langi, 2013)

Nikotin merupakan cairan berminyak yang tidak berwarna,

bisa menghambat rasa lapar, menimbulkan kecanduan, mempengaruhi

sistem saraf dan memepercepat detak jantung melebihi detak normal

sehingga memperbesar risiko penyakit jantung (Surodjo dan Langi,

2013). Metil Klorida merupakan campuran zat kimia bervalensi satu

dengan unsur utama hidrogen dan karbon. Zat ini sangat berbahaya

dan uapnya bersifat sama dengan pembius (Surodjo dan Langi, 2013).

Metanol merupakan cairan ringan yang mudah menguap dan terbakar.

Jika diminum dan dihisap dapat menyebabkan kebutaan hingga

kematian (Surodjo dan Langi, 2013). Tar merupakan kotoran pekat

berwarna coklat tua atau kehitaman yang merupakan efek dari getah

16  

tembakau atau distilasi kayu. Tar mempunyai banyak dampak buruk

untuk tubuh, tar dapat mengiritasi paru-paru dan menyumbat

pernapasan, bisa menyebabkan penyakit bronkitis kronis, emfisema

dan kanker paru-paru. Racun kimia dalam tar dapat meresap ke dalam

darah yang kemudian dikeluarkan oleh urine. Tar yang tersisa dalam

kandung kemih akan menyebabkan kanker kandung kemih (Surodjo

dan Langi, 2013).

2.2.6 Faktor yang menyebabkan merokok

Penelitian sebelumnya mengatakan ada beberapa faktor yang

menyebabkan merokok. Lingkungan sosial dan tiga jenis faktor

psikologis yang merupakan interpersonal, sikap, dan intrapersonal

dapat menyebabkan merokok (Bricker, 2010).

2.2.6.1 Lingkungan sosial

Lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi

berperilaku merokok merupakan orang tua yang merokok dan

teman-teman dekat yang merokok. Keduanya merupakan

alasan yang kuat dalam merokok pada remaja (Otten et al.,

2013). Pada tahun 1993 Rutter melaporkan bahwa keluarga

dan sekolah adalah konteks sosial yang paling penting yang

mempengaruhi perilaku berisiko merokok pada remaja

(Faucher, 2003). Lingkungan pekerjaan merupakan faktor

yang dapat menyebabkan perilaku merokok seperti bekerja di

caffe, restaurant, dan bar (Bricker, 2010).

17  

2.2.6.2 Faktor psikologis

Faktor psikologis tebagi menjadi tiga yaitu

interpersonal, sikap, dan intrapersonal. Faktor interpersonal

yang dimaksud adalah ketidakpatuhan kepada orang tua dan

keinginan yang kuat untuk mematuhi teman. Sikap yang

dapat menyebabkan berperilaku merokok adalah motivasi

yang rendah untuk berprestasi dan adanya perilaku yang tidak

sesuai atau pemberontakan. Intrapersonal dapat menyebabkan

berprilaku merokok seperti mencari sensasi dan keinginan

berprilaku yang berisiko (Otten et al., 2013).

2.2.7 Merokok dan risiko kesehatan

Lebih dari 16 juta orang telah memiliki setidaknya satu penyakit

akibat merokok. Lebih dari 20 juta orang Amerika meninggal karena

merokok sejak tahun 1964, termasuk sekitar 2,5 juta kematian akibat

paparan asap rokok. Sebanyak 8,6 juta orang hidup dengan penyakit

serius yang disebabkan oleh merokok. Rata-rata, perokok meninggal

13 sampai 14 tahun lebih awal dibanding bukan perokok (U.S

Department of Health & Human Services, 2016). Perokok aktif

memiliki risiko empat kali lipat terkena stroke dibandingkan dengan

orang yang melaporkan mereka tidak pernah merokok (Bonita, 1999).

Penelitian di Jepang telah membuktikan bahwa merokok dapat

menyebabkan kerusakan gigi dan mulut pada pria (Ueno et al., 2015).

Merokok menyebabkan banyak jenis kanker, seperti kanker

tenggorokan, mulut, rongga hidung, kerongkongan, lambung,

18  

pankreas, ginjal, kandung kemih, dan leher rahim, serta AML/ Acute

Myeloid Leukemia (U.S Department of Health & Human Services,

2016).

Merokok merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung

(National Heart, Blood and Lung Institute, 2015). Merokok dapat

menyebabkan COPD, emfisema dan kronis bronchitis. Merokok

menyababkan penyebab diabetes mellitus tipe 2 dan dapat membuat

lebih sulit untuk mengontrol. Risiko terkena diabetes adalah 30-40%

lebih tinggi dibanding yang tidak merokok (Center for Disease

Control and Prevention, 2015). Merokok juga menyebabkan beberapa

penyakit autoimun, termasuk penyakit Crohn Disease dan Rheumatoid

Arthritis (U.S Department of Health & Human Services, 2016).

2.2.8 Merokok dan stres

Gambar 2.2 Nikotin Addiksi dan Withdrawl pada manusia, tahap pertama merupakan tahap tidak ada nikotin di aliran darah, tahap kedua kandungan rokok akan membuka sinyal reseptor nikotin di tenggorokan, tahap ketiga ketika rokok sudah habis reseptor nikotin tidak sensitif dan tidak berespon sehingga membutuhkan lebih banyak nikotin, tahap keempat merokok jangka panjang menyebabkan peningkatan keinginan (Raffx, 2016)

19  

Hubungan rokok dengan stres karena rokok mengandung

nikotin. Pada otak manusia, terdiri dari miliaran neuron. Neuron

melakukan komunikasi dengan cara melepaskan neurotransmitter.

Nikotin memiliki bentuk molekul seperti asetilkolon. Nikotin

mencapai otak dengan melalui darah dan menembus blood-brain-

barier, setelah nikotin sampai di otak akan menempel pada reseptor

asetilkolin yang akan mengaktifkan rasa kepuasan, nyaman dan

sebagai stimulan (Raffx, 2016).

Nikotin dihisap melalui paru melewati arteri karotis interna

lalu ke otak dan akan berefek pada otak 10-15 detik, nikotin akan

melepaskan dopamin, GABA, serotonin, beta-endorfin yang berfungsi

memberikan sensasi rasa senang, bahagia, meningkatkan mood dan

mengurangi rasa cemas dan tegang. Nikotin akan menimbulkan

kecanduan yang disebabkan oleh reseptor kolinergik di otak, di area

Tegmental Ventral Ikatan antara nikotin dengan reseptor nikotinik

menyebabkan pelepasan dopamin di Nukleus Akumbens, yang akan

menyebabkan rasa nyaman dan menyebabkan ketergantungan, hal ini

akan menyebabkan peningkatan frekuensi merokok pada perokok

aktif. Menggunakan nikotin, secara akut maupun kronik, akan

menimbulkan toleransi pada tubuh kita. Pada toleransi akut terjadi

akibat desensitisasi reseptor. Ketika nikotin berikatan dengan reseptor

nikotinik, akan terjadi perubahan alosterik dan reseptor menjadi tidak

sensitif terhadap nikotin untuk beberapa waktu. Pada penggunaan

kronik akan meningkatkan jumlah reseptor nikotinik hingga 50% yang

20  

kemungkin merupakan akibat dari desensitisasi reseptor. Pada

keadaan tersebut jika nikotin tidak tersedia, maka pelepasan dopamin

dan neurotransmiter lainnya akan menurun di bawah kadar normal,

sehingga akan menimbulkan efek putus zat atau yang disebut dengan

Nicotine Withdrawl, keadaan ini akan menyebabkan stres (Gayatri,

2012)