bab 2 tata

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Konjungtiva Konjungtiva adalah selaput lendir atau disebut lapisan mukosa. Konjungtiva melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi konjuntiva forniks yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kornea. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian : 1) Konjungtiva palpebra, 2) Konjungtiva forniks, dan 3) Konjungtiva bulbi. 5

description

bab 2 referat di bagian mata

Transcript of bab 2 tata

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi KonjungtivaKonjungtiva adalah selaput lendir atau disebut lapisan mukosa. Konjungtiva melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi konjuntiva forniks yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kornea. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian : 1) Konjungtiva palpebra, 2) Konjungtiva forniks, dan 3) Konjungtiva bulbi.5

Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen1,6 Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di forniks atas. Air mata mengalir dipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan pada bangunan lekukan di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi kelopak. Air mata yang mengalir ke bawah menuju forniks dan mengalir ke tepi nasal menuju punctum lakrimalis.5Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit.6,7

2.2 Definisi PterigiumPterygium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Suatu pterygium merupakan massa occular eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygium ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea.82.3 EpidemiologiPterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.10,11Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 pada kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah. 10,11The Australian National Trachoma and Eye Health Programme (NTEHP) menyatakan bahwa prevalensi pterygium pada 40.7999 bangsa non Aborigin pada semua umur sebanyak 1,1%, dan dari 64.314 bangsa Aborigin sebanyak 3,4%. Prevalensi tersebut juga berhubungan dengan faktor usia dan jenis kelamin yang menurut NTEHP pada bangsa Non Aborigin rata-rata prevalensi sekitar 9,9% dari populasi laki-laki yang berusia 40-59 tahun dan 12% dari laki-laki yang berusia 60 tahun atau lebih sedangkan pada wanita 6,1% dari 44 orang.11,12Paparan sinar ultraviolet merupakan faktor penting penyebab terbentuknya pterygium. Ditemukan prevalensi tertinggi pada bangsa Aborigin Australia yang memiliki paparan UV yang sering berhubungan dengan kegiatan dan pekerjaan mereka sehari-hari seperti bertani dan nelayan.10,11,12Berdasarkan letak Indonesia sebagai bagian negara beriklim tropis dan dengan paparan sinar UV yang tinggi, angka kejadian Pterygium cukup tinggi. Tingkat kekambuhan pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % - 52 %. Data di RSCM angka kekambuhan pterygium mencapai 65,1 % pada penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Pada studi yang dilakukan Gazzard di Indonesia ( Kepulauan Riau ) yang menyebutkan pada usia dibawah 21 tahun sebesar 10 % dan diatas 40 tahun sebesar 16,8 %, pada wanita 17,6 % dan laki-laki 16,1%.4

2.4 EtiologiEtiologi penyebab pterigium :1,81. Paparan sinar matahari (UV)Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterygium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.2.Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterygium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

2.5 Faktor resikoFaktor risiko yang mempengaruhi antara lain :1,81. UsiaPrevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.2. PekerjaanPertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.3. Tempat tinggalGambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.

4. Jenis kelaminTidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.5. HerediterPterygium dipengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.6. InfeksiHuman Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.7. Faktor risiko lainnyaKelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok, pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.

2.6 PatogenesisTerjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.1,8,13Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.1,8,13Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.1,8,13

2.7. Klasifikasi 2.7.1. Berdasarkan TipePterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:1,8,130. Berdasarkan Tipenya pterigium dibagi atas 3 :1. Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.1. Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.1. Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus korneaStadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.Gambar 2.Pterigium stadium 1 Gambar 3.Pterigium stadium 2

Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5.Pterigium stadium 4 3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)-Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat-T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

2.8 Manifestasi KlinisGejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. 1,8,13

collumcorpusapeks

Pterigium memiliki tiga bagian :1,8,130. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.0. Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala. 0. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.

2.9 Diagnosis Banding1. PinguekulaBentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.1,8,13

Mata dengan pinguekula2. PseudopterigiumPertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterygium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopterygium tidak didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterygium.9

Mata dengan pseudopterigium

2.10 Diagnosis1. AnamnesisPada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,8,132. Pemeriksaaan fisikPada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler danflat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi kekornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal.1,8,133. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.1,8,13

2.11 Penatalaksanaan

2.11.1 Non OperatifKeluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani dengan menghindari asap dan debu serta mengurangi iritasi dan paparan sinar ultraviolet. Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung ultraviolet.14,152.11.2. MedikamentosaPada pterygium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraocular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.14,15

2.11.3. Operatif Pada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulse pterygium. Sedapat mungkin setelah avulse pterygium maka bagian konjungtiva bekas pterygium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.15,16Tujuan utama pengangkatan pterygium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin dan angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterygium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.15,16Indikasi operatif (eksisi) pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata.15,16Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu : 15,161. Bare sclera Tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka. Teknik Bare sclera dilakukan dengan :a. Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah anastesi lokal. b. Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum. c. Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterygium dengan spuit 1cc. d. Dilakukan eksisi badan pterygium mulai dari puncaknya di kornea sampai pinggir limbus. Kemudian pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah badannya dengan menggunakan gunting.2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil). 3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek. 4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya. 5. Conjunctival graft Suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit. Teknik Conjunctival graft dilakukan dengan :a. Setelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal diukur. b. Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan lebih besar 1mm dari bare sclera yang diukur, kemudian diberi tanda. c. Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi konjungtiva dari tenon selama pengambilan autograft. d. Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang akan digraft. e. Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan menggunakan vicryl 8.0.6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan. 7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

2.12 PrognosisPengelihatan dan kosmetik pasien setelah di eksisi pada hari pertama post operasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graf dengan konjungtiva autograph atau trasplantasi membrane amnion.13Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau terpapar sinar matavari yang lama. Dianjurkan memakai kacamata sunblok dan mengurangi terpapar sinar matahari.14

2.13 KomplikasiKomplikasi Pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas Pterygium yang ada.8,13Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren Pterygium post operasi.8,13