bab 2 riski

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kelekatan Orang Tua-Anak 1. Konsep Orang Tua Menurut Faruzie (2010), orang tua merupakan adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi lainnya disampaikan oleh Astrida (2012), orang tua adalah setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu. Mustaqin (2013), mendefinisikan orang tua sebagai pemegang peranan utama dan pertama bagi

description

dsfdsf

Transcript of bab 2 riski

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kelekatan Orang Tua-Anak1. Konsep Orang TuaMenurut Faruzie (2010), orang tua merupakan adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat.Definisi lainnya disampaikan oleh Astrida (2012), orang tua adalah setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu.Mustaqin (2013), mendefinisikan orang tua sebagai pemegang peranan utama dan pertama bagi pendidikan anak, mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan.Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, orang tua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, atau salah satu saja yang berkedudukan sebagai pemegang peranan utama dalam keluarga dalam membimbinng dan mengasuh anak-anaknya.Umumnya peran orang tua dan komunikasi yang dilakukan terhadap anaknya tidak hanya menyalurkan perilaku anak tetapi juga sikapnya. Peran juga dapat mempengaruhi nilai-nilai yang dipegang orang tua dan mempengaruhi arah dari pembentukan dan perilaku anak. Menurut Faruzie (2010) masing-masing pribadi dapat mengetahui perannya di dalam keluarga antara lain peran ibu dan peran ayah dalam keluarga.a. Peran Ibu dalam keluarga1) Memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis, artinya kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral untuk melaksanakan kehidupan. Ibu memenuhi kebutuhan sosial, psikis yang bila tidak terpenuhi akan mengakibatkan suasana keluarga menjadi tidak optimal2) Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar dan konsisten, artinya ibu mempertahankan hubungan-hubungan dalam keluarga,3) Ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak, artinya ibu berperan dalam mendidik dan mengembangkan kepribadian anak.4) Ibu sebagai contoh dan teladan, artinya dalam mengembangkan kepribadian anak dan membentuk sikap-sikap anak seorang ibu perlu memberikan contoh dan teladan yang dapat diterima, karena anak belajar melalui peniruan terhadap orang lain.5) Ibu memberi rangsangan dan pelajaran, artinya seorang ibu memberi rangsangan sosial bagi perkembangan anak.

b. Peran Ayah dalam Keluarga1) Berperan dalam mencari nafkah, artinya sebagai tokoh utama yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.2) Berpartisipasi dalam pendidikan anak, artinya ayah menjadi model, teladan dalam meberi pengertian pada anak.3) Sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan mengasihi keluarga, artinya bahwa ayah merupakan tokoh otoritas yang tegas dan penuh wibawa menanmkan sikap-sikap patuh pada anak.Berdasarkan pembagian peran antara ibu dan ayah, dapat dipahami jika secara umum ibu merupakan sosok yang paling berperan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan anak, karena merupakan sosok yang memiliki intensitas pertemuan yang lebih tinggi dengan anak. Sedangkan ayah lebih bersifat sebagai penyedia sarana dan prasarana anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, pada penelitian ini, sosok ibu yang akan dijadikan responden.2. Kelekatan Orang Tua-Anaka. PengertianKelekatan (attachment) merupakan suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dan pengasuhnya. Konrad Lorenz (dalam Fajri, 2009) berpendapat bahwa periode awal kelahiran hingga batas waktu tertentu merupakan saat-saat terjalinnya keakraban dan keterikatan yang sangat penting pada bayi (pada setahun pertama). Karena pada masa itu manusia mengembangkan tahap trust dan mistrust.Berdasarkan Aeni (2010) kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang memiliki arti khusus dalam kehidupannya. Menurut Stayton (dalam Aeni, 2010) mengatakan para ibu yang menunjukkan kelekatan yang tidak aman cenderung bereaksi menurut keinginan pribadi bukan karena isyarat dari sang bayi. Ervika (2006) mengungkapkan kelekatan orang tua dengan anak merupakan suatu perasaan menyayangi atau loyalitas yang mengikat individu dengan individu yang lain. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, disimpulkan bahwa kelekatan merupakan ikatan emosional yang timbul diantara orang tua-anak dan merupakan suatu bentuk perasaan menyayangi yang mengikat satu dengan lainnya. b. Jenis-jenis KelekatanBerdasarkan Cahyani et al (1999), gaya kelekatan dibedakan menjadi 3, yaitu:1) Gaya Kelekatan AmanOrang dengan gaya kelekatan aman mempunyai model mental tentang diri dan dunia sosial dengan baik. Kemarahan akan diekspresikan dengan cara yang lebih konstruktif (anger control) dibandingkan dengan gaya kelekatan lainnya.

2) Gaya Kelekatan MenghindarOrang dengan gaya kelekatan menghindar mempunyai kharakteristik model mental diri sebagai orang yang skeptis, curiga, dan memandang orang lain sebagai orang yang kurang mempunyai pendirian, kurang mampu meng ekspresikan emosi, kurang hangat, kurang terbuka, dan kurang bersedia mengenal orang lain lebih mendalam. Ketika mengalami situasi yang tidak mengenakkan, orang dengan gaya kelekatan menghindar ini cenderung mengekspresikan kemarahannya ke dalam (anger-in) dan masih mampu mengontrol kemarahan (anger control) dengan cukup baik bila dibandingkan dengan orang yang mempunyai gaya kelekatan cemas.3) Gaya Kelekatan CemasOrang dengan gaya kelekatan cemas akan memandang dirinya sebagai orang kurang berharga dan kurang percaya diri, demikian halnya dalam memandang orang lain penuh dengan prasangka. Ketika dalam situasi yang tidak mengenakkan, maka orang dengan gaya kelekatan cemas merasa kurang mampu mengontrol situasi sehingga merasa terancam harga dirinya. Oleh karenanya, kemampuan dalam mengontrol kemarahan sangat rendah dan cenderung mengekspresikan kemarahan pada orang lain. Individu dengan gaya kelekatan cemas mendapatkan skor kemarahan lebih tinggi dibandingkan gaya kelekatan aman, demikian halnya dalam anger-out dan anger-control. Artinya, individu dengan gaya kelekatan cemas akan mengekspresikan kemarahan ke luar (orang/objek) dan kurang mampu mengendalikan kemarahan. c. Karakteristik Kelekatan Berdasarkan Bowbly (dalam Dewi dan Valentina, 2013), menyebutkan terdapat empat ciri khas dari kelekatan, yaitu:1) Pemeliharaan kelekatanPemeliharaan kelekatan biasanya diikuti oleh keinginan untuk selalu dekat dengan orang-orang terdekat dalam keluarga. 2) Tempat berlindungUntuk menciptakan kelekatan yang dibutuhkan tempat berlindung yang nyaman bagi anak3) KeamananDalam proses membangun kelekatan dibutuhkan juga keamanan agar anak dapat mengembangkan kreativitasnya dibawah lingkungan yang aman4) Jauh dari hal-hal yang dapat menimbulkan stressAgar dapat terciptanya sebuah kelekatan emosional yang baik, anak-anak sedapat mungkin harus dijauhkan dari hal-hal atau keadaan yang dapat menimbulkan stressd. Pengukuran Kelekatan orang tua-anakPengukuran kelekatan orang tua-anak diukur mengacu pada Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA). IPPA merupakan instrumen yang mengukur kelekatan berdasarkan dimensi kognitif dan afektif individu. IPPA disusun berdasarkan paradigma kelekatan yang diungkapkan oleh Bowlby yaitu kepercayaan (trust), komunikasi (communication) dan keterasingan (alienation) yang terdiri dari 25 aitem pernyataan. Peneliti menggunakan backward translation yaitu kuesioner asli yang menggunakan bahasa Inggris diterjemahkan terlebih dahulu oleh peneliti ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris dengan bantuan ahli bahasa. Hasil dari IPPA tidak mengkategorikan individu dalam gaya kelekatan yang spesifik seperti yang dilakukan oleh Bowlby, Ainsworth, atau Bartholomew dan Horowits, tetapi mengkategorisasikannya menjadi rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan skor yang diperoleh subjek (Rosenberg, 2006).

B. Konsep Perilaku Adaptif Anak Tunagrahita1. Pengertian TunagrahitaMenurut Kemenkes (2010), seorang anak dikatakan tunagrahita jika memiliki prestasi sekolah kurang secara menyeluruh, tingkat kecerdasan (IQ) di bawah 70, memiliki ketergantungan pada orang lain secara berlebihan, kurang tanggap, penampilan fisiknya kurang proporsional, perkembangan bicara terlambat dan bahasa terbatas.Pendapat lainnya disampaikan oleh Rahayu (2010), yang mendefinisiskan secara spesifik, seseorang dikatakan tunagrahita mampu didik jika mempunyai IQ dalam kisaran 52-67, dan dikatakan tunagrahita mampu latih jika mempunyai IQ dalam kisaran 36-51 serta mengalami penyimpangan fungsi adaptif paling sedikit dua macam dan dialami sebelum usia 18 tahun.Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata (IQ 84 ke bawah) berdasarkan tes dan mengalami hambatan dalam berinteraksi sosial dan perilaku adaptif yang muncul sebelum anak berusia 18 tahun Ramawati (2011).Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan anak tunagrahita adalah individu dibawah 18 tahun yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata karakteristik utamanya, dan disertai dengan keterlambatan perilaku adaptifnya.2. Penyebab TunagrahitaMenurut Ramawati (2011), penyebab ketunagrahitaan antara lain adalah:a. Infeksi dan/atau intoksikasi, adalah keadaan retardasi mental karena adanya kerusakan jaringan otak akibat adanya infeksi intracranial, penggunaan obat-obatan, atau zat toksik lainnya.b. Masalah pre-natal, keadaan tunagrahita yang timbul akibat adanya masalah kesehatan sebelum bayi dilahirkan. Termasuk di dalamnya adalah anomali kranial primer (misalnya: hidrosefalus, mikrosefali, dan lain-lain) atau defek konginetal yang tidak diketahui penyebabnya. Dapat juga akibat terpapar sinar X atau radiasi, penggunaan alat kontrasepsi, atau usaha melakukan aborsi saat ibu mengandung/hamil.c. Masalah Post-natal, ketunagrahitaan yang disebabkan oleh adanya neoplasma dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi belum diketahui penyebabnya (diduga bersifat herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat degeneratif, infiltratif, peradangan, proliferatif, sklerotik atau repparatif. Salah satu penyebab ketunagrahitaan saat post-natal adalah kelahiran prematur/prematuritas.d. Gangguan metabolisme, semua keadaan ketunagrahitaan yang disebabkan oleh gangguan metabolisme, baik metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein yang dapat menganggu proses penyerapan zat-zat gizi di dalam tubuh. Termasuk diantaranya adalah kurang gizi dan nutrisi pertumbuhan. Gangguan gizi berat dan berlangsung sebelum anak berusia 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan tunagrahita. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan memperbaiki asupan gizi sebelum anak usia 6 tahun. Setelah usia tersebut biarpun anak diberikan makanan kaya gizi, tetap akan sulit meningkatkan tingkat kecerdasan yang rendah akibat kekurangan gizi sebelumnya.e. Kelainan kromosom, tunagrahita yang diakibatkan kelainan kromosom, baik dalam jumlah atau bentuk, misalnya Down Syndrome, Sindrom Klinefelter, dan Turner.f. Gangguan jiwa berat, untuk membuat diagnosa ini, harus jelas telah terjadi gangguan jiwa yang berat dan tidak terdapat tanda-tanda patologik otak.g. Faktor lingkungan, banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya ketunagrahitaan. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan hal ini, salah satunya adalah temuan Patton & Polloway (1986, dalam Rochyadi 2010) bahwa bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkembangan menjadi salah satu penyebab ketunagrahitaan. Latar belakang pendidikan orang tua sering juga dihubungkan dengan masalah-masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsang positif dalam masa perkembangan anak menjadi salah satu penyebab timbulnya gangguan. Mengenai hal ini, Triman Prasadio (1982, dalam Rochyadi, 2010) mengemukakan bahwa kurangnya rangsang intelektual yang memadai mengakibatkan timbulnya hambatan dalam perkembangan inteligensia sehingga anak dapat berkembang menjadi anak retardasi mental.3. Karakteristik Anak TunagrahitaMenurut Delphie(2008), karakteristik anak tunagrahita ditabulasikan sebagai berikut:Tabel 2.1. Karakteristik Tunagrahita (Delphie, 2008).TingkatLahir-5 tahun6 tahun -21 tahun21 Tahun lebih

Mampu Latih

Tk. ISangat BeratKelambanan gerak,grossmotor kurang pada sensori-motor. Memerlukan perawatan khusus.Perkembangan pada beberapa gerak terganggu. Tidak mampu melakukan kegiatan menolong diri dan memerlukan perawatan secara penuh.Gerak dan kemampuan berbicara terhambat, tidak mampu mengatur dirinya. Memerlukan rawatan penuh dan di bawah pengawasan khusus secara penuh.

Tk.IIBeratPerkembangan geraknya rendah, sedikit berbicara, tidak mampu melakukan kegiatan mengurus diri sendiri,tidak mampu melakukan komunikasi dengan orang lain.Tidak mau berbicara /berkomunikasi. Dapat dilatih untuk membiasakan diri memelihara kesehatan, sulit belajar memahami akademik. Mampu dilatih secara sistematik untuk kegiatan tertentu.Dapat melakukan suatu kegiatan yang berhubungan dengan keadaan dirinya melalui bantuan penuh dari guru, mampu untuk menjaga dirinya sedikitnya dalam lingkungan yang terawasi secara khusus.

Mampu Didik

Tk. IIISedangDapat berbicara dan berusaha untuk berkomunikasi. Kesadaran terhdap lingkungan dirinya kurang. Perkembangan geraknya wajar. Dapat diberikan latihan-latihan menolong diri.Dapat mempelajari kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan fungsi akademik, sedikitnya di kls.IV atau sekitar usia 10 tahun, jika mendapat pendidikan khusus.Mampu mengurus dirinya sendiri dan dpat melakukan kegiatan-kegiatan verja secara semi-skills atau dengan un-skills.

Tk.IVRinganKemampuan berkomunikasi berkembang, masih lamban pada sensori-motornya, walaupun tidak serius, kadang-kadang sulit dibedakan dengan anak normal yang seusianya.Dapat mempelajari kemampuan akademik sedikitnya pada umur 10 tahun. Tidak dapat mempelajari pelajaran umum lainnya di jenjang SMA dan memerlukan pendidikan khusus saat SMP.Mampu melakukan kegiatan-kegiatan kerja melalui latihan dan pendidikan khusus, memerlukan bimbingan dalam kesulitan yang serius dibidang keuangan dan pergaulannya.

4. Perilaku AdaptifPerilaku adaptif (Rahayu, 2010) didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana seseorang mampu berperilaku sesuai dengan standar kebebasan personal dan standard cara merespon lingkungan seperti yang diharapkan oleh kelompok budaya dan kelompok usia tertentu. Jadi standard tersebut dibuat dengan mengacu pada usia dan budaya. Seseorang dikatakan normal jika ia mampu berperilaku sesuai dengan standard tersebut. Dalam setting sekolah, perilaku adaptif didefinisikan (Dalphie, 2010) kemampuan untuk menerapkan ketrampilan belajar dalam kelas. Anak harus mampu mengembangkan penalaran, pernyataan dan ketrampilan sosial yang tepat sehingga mampu mengarah pada hubungan interpersonal yang positif dengan teman-teman seusianya.Sependapat dengan Dalphie, Rochyadi (2010) mendefinisikan perilaku adaptif sebagai kesanggupan individu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan usianya.5. Perilaku Adaptif Anak TunagrahitaPerilaku adaptif dapat dikelompokkan dalam empat ranah: komunikasi, ketrampilan dalam kehidupan sehari-hari, sosialisasi, gerak. Masing-masing ranah masih dapat dibagi lagi, yaitu (Rochyadi, 2010): a. Komunikasi, terbagi menjadi: 1) Reseptif: kemampuan seseorang untuk memahami, mendengarkan dan mengikuti instruksi. 2) Ekspresif: kemampuan seseorang untuk berbicara, memulai pembicaraan, berbicara interaktif, mengekspresikan ide-ide yang kompleks. 3) Tertulis: kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis b. Ketrampilan dalam kehidupan sehari-hari, terbagi menjadi:1) Personil: kemampuan seseorang dalam makan, berpakaian, dan merawat kesehatan 2) Domestik: kemampuan seseorang dalam membantu tugas-tugas rumah tangga 3) Masyarakat: kemampuan seseorang dalam menggunakan waktu, uang, telephon, orientasi kiri-kanan c. Sosialisasi, terbagi menjadi: 1) Hubungan antar personil: kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain. 2) Bermain dan waktu senggang: kemampuan seseorang memanfaatkan waktu 3) Ketrampilan mengatasi: kemampuan seseorang mengontrol dorongan, merespon dan mengikuti tugas d. Gerak, terbagi menjadi: 1) Motorik kasar: kemampuan seseorang untuk duduk, berjalan, berlari 2) Motorik halus: kemampuan seseorang untuk memanipulasi obyek, menggambar dan menggunakan gunting.

6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Adaptif Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Charles (dalam Astati, 2010) menunjukkan bahwa setelah dewasa tunagrahita mampu melakukan perilaku adaptif. Mereka bekerja sebagai buruh, menikah, mempunyai anak, dan dapat membeli rumah sendiri. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Philip L Browing dan Rick Herbert (dalam Rochyadi, 2005), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku adaptif dengan intelegensi. Semakin tinggi perkembangan fungsi intelektual seorang anak, semakin tinggi pula kemampuan perilaku adaptifnya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahayu (2005), dapat diketahui bahwa korelasi antara kecerdasan emosi dengan perilaku adaptif (meliputi kemampuan komunikasi, kemampuan di dalam kehidupan sehari-hari dan kemampuan sosialisasi) adalah negatif. Artinya semakin rendah kecerdasan emosi siswa tunagrahita mampu didik maka akan semakin baik perilaku adaptifnya. Semakin tinggi kecerdasan emosi siswa tunagrahita mampu didik maka akan semakin buruk perilaku adaptifnya. Hal ini dapat diartikan, semakin siswa mampu mengenali emosi diri sendiri, mampu mengelola emosi diri sendiri, mampu memotivasi diri sendiri, mampu mengenali emosi orang lain, mampu membina hubungan dengan orang lain, siswa akan semakin buruk perilaku adaptifnya. Menurut American Association on Intellectual and Developmental Disabilities dalam Prasetya (2008), dukungan sosial penting untuk tahap perkembangan individu penyandang retardasi mental, karena dukungan sosial dapat meningkatkan fungsi adaptif individu, membantunya mandiri, keterampilan bermasyarakat yang baik, dan meningkatkan kesehatan. Pemberian dukungan yang optimal melalui pendekatan person center merupakan cara untuk meningkatkan pendidikan, pekerjaan, rekreasi, dan lingkungan hidup bagi penyandang retardasi mental.Kelekatan juga membuat anak tidak melepaskan diri dari ikatan keluarga ketika anak belajar untuk mengembangkan perilaku adaptif remaja. Seperti yang dikatakan Audy dan Valentina (2013), kelekatan memberi sumbangan terhadap perkembangan manusia sepanjang hidupnya melalui dukungan emosional dan rasa kedekatan, dalam hal ini adalah dari orangtua terhadap remaja. Jadi ketika remaja belajar untuk berperilaku adaptif seperti menjalin hubungan dengan orang diluar keluarganya, dukungan dari keluarga akan memampukan remaja untuk lebih percaya diri dan terbuka terhadap orang lain (Rice & Dolgin, 2001).Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku adaptif adalah faktor eksternal meliputi lingkungan, dukungan social, dan kelekatan; dan faktor internal meliputi intelegensi, dan kecerdasan emosi.

C. KerangkaTeoriBerdasarkan landasan teori-teori di atas, maka dapat digambarkan kerangka teori dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

Faktor Internal:Kecerdasan emosiintelgensia

Perilaku adaptif Tunagrahita

Faktor eksternal:LingkunganDukungan socialKelekatan orang tua

Gambar Skema 2.1. Kerangka Teori Faktor-Faktor Perilaku Adaptif Modifikasi Dalphie (2009), Rochyadi (2010) dan Dewi dan Valentina (2013).

D. Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori dan kerangka teori di atas, maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :Variabel Bebas Variabel Terikat

Kelekatan orang tua-anak:Tinggi Sedang rendah

Perilaku adaptif

RinganSedang

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

E. HipotesisHipotesis merupakan suatu jawaban sementara dari suatu permasalahan yang harus dibuktikan kebenarannya dikemudian hari (Sugiyono, 2008).Dalam penelitian ini rumusan hipotesis yang akan di uji kebenarannya adalah hubungan antara kelekatan orang tua-anak dengan perilaku adaptif anak tunagrahita di SLB Bagian C dan C1 Yayasan Usaha Tama Purwokerto, dimana :1. Ha : Terdapat hubungan antara kelekatan orang tua-anak dengan perilaku adaptif anak tunagrahita di SLB Bagian C dan C1 Yayasan Usaha Tama Purwokerto.2. Ho : Tidak Terdapat hubungan antara status ekonomi dengan status emosi orang tua anak tunagrahita SLB Bagian C dan C1 Yayasan Kesejahteraan Usaha Tama Purwokerto.