BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRANthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00520-mn 2.pdf ·...

36
10 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Corporate Social Responsibility Seiring dengan perkembangan bisnis dan teknologi, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan etika suatu perusahaan semakin meningkat. Masyarakat tidak hanya membeli produk dari suatu perusahaan namun mereka juga ingin mengetahui manfaat apa yang dapat diberikan perusahaan tersebut terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal inilah yang memicu perusahaan- perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab sosial dan kepeduliannya terhadap shareholders dan stakeholders nya. Salah satu bentuk tanggung jawab yang dapat dijalankan oleh suatu perusahaan adalah melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Adapun definisi Corporate Social Responsibility (CSR) menurut World Council for Sustainable Development dalam Kotler dan Lee (2005, p3) adalah : CSR is continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large.” Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.

Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRANthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00520-mn 2.pdf ·...

  

10  

BAB 2

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Corporate Social Responsibility

Seiring dengan perkembangan bisnis dan teknologi, kesadaran dan

kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan etika suatu perusahaan semakin

meningkat. Masyarakat tidak hanya membeli produk dari suatu perusahaan namun

mereka juga ingin mengetahui manfaat apa yang dapat diberikan perusahaan

tersebut terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal inilah yang memicu perusahaan-

perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab sosial dan kepeduliannya terhadap

shareholders dan stakeholders nya. Salah satu bentuk tanggung jawab yang dapat

dijalankan oleh suatu perusahaan adalah melalui program Corporate Social

Responsibility (CSR).

Adapun definisi Corporate Social Responsibility (CSR) menurut World Council

for Sustainable Development dalam Kotler dan Lee (2005, p3) adalah :

“CSR is continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large.”

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan

didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi

pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan melalui kerjasama

dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas

setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan

dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.

11  

Menurut Kotler dan Lee (2005, p3), definisi dari Corporate Social

Responsibility (CSR) adalah :

“Corporate social responsibility is a commitment to improve community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate resources.”

CSR adalah suatu komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

praktik bisnis yang bersifat diskresi dan kontribusi dari sumber daya perusahaan.

Kata kunci dari definisi tersebut adalah discretionary atau diskresi. Yang

dimaksud disini bukanlah kegiatan bisnis yang diwajibkan hukum atau yang

berhubungan dengan etika dan moral, akan tetapi lebih kepada komitmen

perusahaan yang bersifat sukarela dalam memilih dan mengimplementasikan

praktek-praktek tersebut. Komitmen tersebut harus direalisasikan agar perusahaan

dapat dikategorikan sebagai suatu perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial.

Hal ini dapat dipenuhi melalui adopsi praktek bisnis baru dan atau kontribusi dari

perusahaan tersebut, baik yang bersifat moneter maupun non-moneter.

Kotler dan Lee (2005, p3) juga menggunakan istilah corporate social

initiatives untuk menjelaskan usaha-usaha utama di bawah gaung tanggung jawab

sosial perusahaan dan menjelaskannya melalui definisi di bawah ini :

“Corporate social initiatives are major activities undertaken by a corporation to support social causes and to fulfill commitments to corporate social responsibility.”

Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa inisiatif tanggung jawab sosial

merupakan kegiatan-kegiatan utama yang dilakukan oleh suatu perusahaan untuk

mendukung permasalahan sosial serta memenuhi komitmen terhadap tanggung

jawab sosial perusahaan.

12  

Pada umumnya, permasalahan yang didukung inisiatif-inisiatif ini adalah

permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat (community health),

keselamatan (safety), pendidikan (education), dan ketenagakerjaan (employment);

lingkungan (environment); perkembangan komunitas dan ekonomi (community and

economic development; dan kebutuhan dasar manusia lainnya (basic human needs

and desires) Kotler dan Lee (2005, p4).

Dukungan dari perusahaan ini dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk,

yakni sumbangan uang, hibah, periklanan, publisitas, promosi sponsor, dan

sebagainya. Sumbangan uang dapat didatangkan secara langsung melalui pihak

perusahaan atau secara tidak langsung melalui badan organisasi yang bekerjasama

dengan perusahaan tersebut. Perusahaan dapat mensponsori inisiatif tersebut secara

sepihak atau melalui kerjasama dengan perusahaan atau organisasi lain.

Kotler dan Lee (2005, p22) memaparkan bahwa inisiatif sosial perusahaan

menunjukkan pemenuhan komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab sosial

perusahaan. Mereka menjelaskan bahwa terdapat 6 pilihan inisiatif perusahaan,

yaitu:

1. Cause Promotions, yaitu inisiatif korporasi untuk mengalokasikan dana atau

bantuan dalam bentuk barang dan sumber daya lain untuk meningkatkan

kesadaran dan perhatian tentang masalah sosial tertentu atau dalam rangka

rekrutmen sukarelawan.

2. Cause-Related Marketing, yang berarti korporasi berkomitmen untuk

mendonasikan sejumlah persentase tertentu dari pendapatan untuk hal tertentu

yang berkait dengan penjualan produk.

3. Corporate Social Marketing, yaitu upaya korporasi memberi dukungan pada

pembangunan dan atau pelaksanaan kegiatan yang ditujukan untuk mengubah

13  

sikap dan perilaku dalam rangka memperbaiki kesehatan masyarakat,

pelestarian lingkungan, dan lain-lain.

4. Corporate Philanthropy, berupa pemberian sumbangan sebagai kegiatan amal

(charity). Seringkali dalam bentuk hibah tunai, donasi, dan atau dalam bentuk

barang.

5. Community Volunteering, dalam perwujudan dukungan dan dorongan korporasi

kepada para karyawan, mitra pemasaran dan atau anggota franchise untuk

menyediakan dan mengabdikan waktu dan tenaga mereka untuk membantu

kegiatan organisasi sosial tertentu.

6. Socially Responsible Business Practices, yaitu adopsi praktik-praktik bisnis yang

bersifat diskresi serta berbagai investasi yang mendukung pemecahan masalah

sosial tertentu.

Corporate Social Responsibility (CSR) The Body Shop® melalui kampanye

Stop Trafficking of Children and Young People termasuk ke dalam bentuk inisiatif

sosial yang kedua, yaitu Cause Related Marketing (CRM). Kampanye ini bertujuan

untuk meningkatkan kesadaran dan menggalang dana untuk korban perdagangan

manusia dan mereka yang berisiko menjadi korban. Hal ini dilakukan melalui

penjualan produk Soft Hands Kind Heart Hand Cream yang khusus dijual untuk

mendukung kampanye tersebut. Keuntungan dari setiap hand cream yang terjual

akan didonasikan kepada ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and the

Trafficking of Children for Sexual Purposes) Indonesia yang merupakan organisasi

non-profit yang menangani permasalahan perdagangan seks anak-anak dan remaja.

14  

2.1.2 Cause Related Marketing (CRM)

2.1.2.1 Definisi dan Pengertian Cause Related Marketing (CRM)

Menurut Foundation Center, frase Cause Related Marketing (CRM) pertama

kali digunakan oleh perusahaan kartu kredit American Express pada tahun 1983

untuk menjelaskan kampanye mereka ke publik guna mengumpulkan dana untuk

restorasi patung Liberty. American Express menyumbangkan 1 sen untuk patung

Liberty setiap kali seseorang menggunakan kartu kreditnya. Hasilnya menunjukkan

jumlah pemegang kartu yang baru kemudian tumbuh sebesar 45% dan penggunaan

kartu meningkat sebesar 28%.

Business in the Community dalam Adkins (2004, p51) memberikan

pemahaman mengenai Cause Related Marketing (CRM) melalui definisi berikut :

“A commercial activity by which business and charities or good causes form a partnership with each other to market image, product or service for mutual benefit (Adkins, 2004, p11).”

Dari definisi tersebut, Cause Related Marketing (CRM) dapat diartikan

sebagai suatu aktivitas komersial dimana suatu bisnis dan badan amal saling

bekerjasama untuk memasarkan citra, produk atau jasa agar mencapai hubungan

yang saling menguntungkan. Lebih lanjut, Adkins (2004, p12) menjelaskan bahwa

untuk mencapai kesuksesan maka kemitraan dalam Cause Related Marketing (CRM)

harus merupakan representatif dari nilai-nilai dan etika bisnis.

Definisi lainnya dikemukakan oleh Kotler dan Lee (2005, p38) dimana

mereka menyatakan bahwa dalam Cause Related Marketing (CRM), perusahaan akan

mengajak masyarakat untuk membeli atau menggunakan produknya, baik itu barang

maupun jasa, dimana sebagian dari keuntungan yang didapat perusahaan akan

didonasikan untuk membantu suatu permasalahan tertentu.

15  

Varadarajan dan Menon dalam Brink et al (2006, p15) mendefinisikan Cause

Related Marketing (CRM) sebagai suatu proses memformulasikan dan menerapkan

kegiatan pemasaran perusahaan yang dikarakteristikkan melalui penawaran untuk

memberikan sejumlah dana pada suatu cause ketika konsumen terlibat pertukaran

transaksi yang dapat memuaskan tujuan organisasi dan individu. Dengan demikian,

cause dapat diartikan sebagai kegiatan sosial yang didukung perusahaan melalui

aktivitas pengumpulan dana (Mareta, 2006, p2).

Terkait dengan definisi mengenai Cause Related Marketing (CRM), Daw

(2006) memberikan penjelasan mengenai perbedaan Cause Related Marketing (CRM)

dengan kegiatan pemasaran tradisional lainnya melalui karakteristik Cause Related

Marketing (CRM), yaitu (1) Cause Related Marketing (CRM) menciptakan nilai sosial,

(2) Cause Related Marketing (CRM) merupakan kolaborasi bisnis yang saling

menguntungkan dan merupakan kerjasama dengan organisasi nirlaba, (3) Cause

Related Marketing (CRM) menghubungkan komponen-komponen dalam bisnis

perusahaan, termasuk karyawan dan konsumen, dan (4) Cause Related Marketing

(CRM) mengkomunikasikan nilai-nilai kewarganegaraan (citizenship).

Adkins (2004, p11) menekankan bahwa Cause Related Marketing (CRM)

tidak sama dengan filantropi atau altruism. Perusahaan, badan amal, serta pihak-

pihak lainnya yang terlibat dalam Cause Related Marketing (CRM) memfokuskan

pada pencapaian tujuan mereka dan peningkatan investasi, dimana investasi

tersebut dapat berupa uang, waktu, atau sumber daya lainnya atau bahkan

kombinasi dari ketiganya (Adkins, 2004, p11).

Cause Related Marketing (CRM) dapat diterapkan melalui berbagai bentuk

pemasaran. Cause Related Marketing (CRM) dapat diasosiasikan dengan teknik

promosi penjualan dimana pembelian terhadap produk mengacu pada sumbangan

terhadap suatu badan amal atau cause, namun ini hanya merupakan salah satu dari

16  

sekian banyaknya jenis Cause Related Marketing (CRM). Cause Related Marketing

(CRM) dapat didemonstrasikan melalui berbagai cara yang lain, antara lain cause

advertising, sponsorship, PR, dan direct marketing. Inti dari berbagai jenis Cause

Related Marketing (CRM) tersebut adalah kegiatan pemasarannya, dimana badan

amal atau cause terinspirasi untuk mendukung pemasaran suatu perusahaan dan

secara bersamaan memberikan manfaat kepada badan amal atau cause tersebut

(Adkins, 2004, p13).

Kotler dan Lee (2005, p83) menjelaskan berbagai macam cara untuk

melakukan Cause Related Marketing (CRM). Beberapa di antaranya adalah sebagai

berikut : (1) jumlah uang tertentu setiap produk terjual, (2) jumlah uang tertentu

setiap aplikasi terhadap suatu produk atau jasa tertentu, (3) persentase dari

penjualan suatu produk yang dijanjikan oleh perusahaan akan diberikan kepada

badan amal, (4) proporsi yang tidak ditentukan sebelumnya dari penjualan produk,

(5) perusahaan memberikan sejumlah kontribusi dari konsumen, (6) persentase

tertentu dari keuntungan bersih, (7) penawarannya mungkin terkait dengan satu

produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin

berlaku untuk kerangka waktu yang sudah ditentukan atau tidak dibatasi, atau (9)

perusahaan menetapkan batas atas dari kontribusi, bukan dengan waktu melainkan

dari jumlah penjualan produk.

Perusahaan yang menggunakan inisiatif Cause Related Marketing (CRM)

memperoleh berbagai manfaat yaitu perusahaan dapat mempromosikan citra,

produk, dan jasanya sekaligus melakukan kebajikan seperti menggalang dana untuk

kegiatan sosial tertentu dan secara bersamaan meningkatkan reputasinya,

mendemonstrasikan nilai-nilainya, meningkatkan loyalitas konsumen dan

meningkatkan tingkat penjualan produknya. Cause Related Marketing (CRM) juga

merupakan alat bantu dalam kerjasama antara pemasaran, perusahaan dengan

17  

komunitasnya, dan penggalangan dana untuk mencapai tujuan yang sama untuk

keuntungan bersama (Adkins, 2004, p11).

Selain manfaat yang telah disebutkan di atas, ada banyak keuntungan yang

bisa diperoleh perusahaan dan atau mitranya dengan melakukan Cause Related

Marketing (CRM). Yang pertama jelas adalah menarik konsumen baru, yaitu orang

yang sedari awal sudah tertarik untuk melakukan sesuatu atau cause yang kemudian

dipromosikan oleh perusahaan. Mereka yang tadinya memang hendak membantu

korban kekerasan, menyumbang untuk pendidikan, dan sebagainya tentu akan

tertarik pada produk yang baik sekaligus bisa membantu mereka menyumbang.

Tentu ini akan menjadi sukses manakala calon konsumen tersebut percaya bahwa

perusahaan akan dengan sungguh-sungguh melakukannya. Sebuah sistem

akuntabilitas sangat diperlukan di sini, untuk memastikan berapa jumlah produk

yang terjual, berapa yang seharusnya disumbangkan, serta berapa yang benar-benar

disumbangkan. Kalau akuntabilitas di tiga titik itu dipastikan, maka calon konsumen

akan sangat tertarik.

Yang kedua yaitu tersedianya dana untuk membiayai kegiatan sosial

tertentu. Kegiatan sosial ini bisa ditentukan oleh perusahaan, yang melihat

keterkaitan antara produk yang asosiasinya dengan kegiatan sosial tertentu.

Ketiga, perusahaan yang melakukan Cause Related Marketing (CRM) juga

akan bisa mendapatkan ceruk pasarnya dengan lebih tepat. Bagaimanapun CRM

akan menghubungkan antara produk dengan isu tertentu, dan mereka yang tertarik

dengan isu itu akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu dengan isu yang

menjadi perhatiannya manakala promosi dilakukan dengan tepat.

Keempat, hasil penjualan juga bisa meningkat karena tambahan konsumen

serta ceruk pasar. Kelima, terbentuknya kemitraan dengan pihak-pihak yang memiliki

18  

kepedulian yang sama. Terakhir, perusahaan tentu saja akan menikmati identitas

merek yang positif (Jalal, 2007, p2-4).

Brink et al (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat dua pola

dalam Cause Related Marketing (CRM), yaitu pola strategis dan taktis.  Pola taktis

memiliki perbedaan yang mendasar dengan pola Cause Related Marketing (CRM),

namun memiliki dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration),

jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management

involvement). Suatu perusahaan dikatakan menggunakan Cause Related Marketing

(CRM) strategis apabila terdapat kesesuaian hubungan yang tinggi yang dirasakan

antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning dan target pasar,

pelaksanaan kegiatan Cause Related Marketing (CRM) dalam jangka waktu yang

lama, keterlibatan manajemen yang menyeluruh dari puncak hingga bawahan, serta

jumlah investasi yang ditanamkan dalam program besar. Sedangkan dalam Cause

Related Marketing (CRM) secara taktis tingkat kesesuaian hubungan yang dirasakan

antara suatu isu dengan lini produk tidak tinggi, pelaksanaan kegiatan Cause Related

Marketing (CRM) dalam jangka waktu yang lebih singkat daripada Cause Related

Marketing (CRM) taktis, keterlibatan manajemen tidak menyeluruh, dan jumlah

investasi yang ditanamkan tidak sebesar Cause Related Marketing (CRM).

 

 

19  

 

Gambar 2.1

Skema dari Cause Related Marketing (CRM) taktis dan strategis

Sumber : Brink et al. (2006, p16).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam penelitian ini Cause Related

Marketing (CRM) akan diukur melalui keempat dimensi yang dikemukakan oleh Brink

et al, yaitu congruency, duration, amount of resources invested, dan senior

management involvement.

1. Congruency (kesesuaian)

Pengertian congruency dalam konteks Cause Related Marketing (CRM)

adalah kesesuaian antara perusahaan dan isu sosial yang dapat diperoleh dari misi,

produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau berbagi bentuk asosiasi kunci

lainnya (Becker, Karen, Cudmore, dan Hill, 2003, p46). Congruency merupakan salah

satu faktor penting untuk kesuksesan Cause Related Marketing (CRM) (Till dan

Nowak, 2000, p226). Pernyataan Till dan Nowak diperkuat oleh Menon dan Khan

(2003) dimana mereka menemukan bahwa atribut congruency atau kesesuaian

dalam Cause Related Marketing (CRM) merupakan atribut yang penting ketika

konsumen menilai dan mengevaluasi tanggung jawab sosial suatu perusahaan.

20  

Pracejus dan Olsen (2004, p635) mendemonstrasikan tingkatatan dari

congruency atau fit berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku loyalitas

konsumen. Lebih spesifik, program Cause Related Marketing (CRM) dengan

kesesuaian yang tinggi (high-fit) berpengaruh lima hingga sepuluh kali lebih besar

daripada kampanye dengan kesesuaian yang rendah (low-fit).

Ellen, P.S., Mohr, L.A. dan Webb, D.J. (2000, p393) berpendapat bahwa

salah satu variabel yang memiliki peran penting dalam proses evaluasi konsumen

terhadap aktivitas Cause Related Marketing (CRM) adalah perceived congruence.

Konsumen memiliki keyakinan yang kuat bahwa perusahaan seharusnya

mensponsori isu-isu sosial yang memiliki asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan

(Menon dan Kahn, 2003, p316).

Congruence atau fit berasal dari asosiasi bersama antara merek dan

filantropi, seperti misalnya dimensi produk, afinitas dengan target segmen spesifik,

corporate image associations yang terbentuk akibat aktivitas merek terdahulu dalam

domain sosial spesifik, dan keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau

merek pada domain sosial (Menon dan Khan, 2003, p316).

Becker et al. (2006, p46) mengemukakan bahwa peran penting congruence

didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh pada kuantitas

pikiran yang diberikan oleh individu pada suatu hubungan, misalnya meningkatkan

elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, dan atau hubungan itu sendiri ketika

dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal dan informasi yang ada. Alasan

kedua adalah congruence berpengaruh pada tipe spesifik yang timbul dalam pikiran,

seperti misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif dan low congruence

itu sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga adalah congruence mempengaruhi

evaluasi dari dua objek. Jika konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka

terdapat kecenderungan untuk mengurangi sikap mereka terhadap perubahan dan

21  

inisiatif sosial dan mempertanyakan motif dari apa yang dilakukan oleh perusahaan

(Menon dan Kahn, 2003).

2. Duration (durasi)

Miller (2002, p14) menyatakan bahwa perusahaan harus menunjukkan suatu

komitmen terhadap kampanye Cause Related Marketing (CRM). Hal ini dikarenakan

komitmen perusahaan dapat mengarahkan pada pembentukan loyalitas merek dari

para konsumennya. Salah satu faktor yang dapat mendemonstrasikan komitmen

perusahaan adalah durasi dari pelaksanaan program Cause Related Marketing (CRM)

tersebut (Miller, 2002, p14). Till dan Nowak (2000, p472) menyatakan bahwa

efektivitas dari suatu program Cause Related Marketing (CRM) meningkat tergantung

dengan durasi program tersebut. Perusahaan yang secara konsisten mendukung

suatu cause juga dapat memperoleh banyak manfaat (Brink et al, 2006, p18). Brink

et al. menambahkan bahwa kampanye Cause Related Marketing (CRM) dengan

jangka waktu menengah hingga panjang memiliki pontensi yang lebih tinggi dalam

meningkatkan persepsi konsumen terhadap citra perusahaan daripada kampanye

dengan jangka waktu pendek.

Sagawa et al. (2000) dalam Wymer dan Sergeant (2006, p9) juga

membenarkan bahwa durasi merupakan salah satu dimensi dalam Cause Related

Marketing (CRM). Usia yang panjang dalam suatu hubungan adalah penting bagi

perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis dengan organisasi non-profit.

Program Cause Related Marketing (CRM) dengan durasi waktu panjang adalah

bentuk yang ideal. Ketika hubungan tersebut berjalan dengan waktu yang lama,

maka akan terbentuk hubungan partnership yang akan membentuk komitmen

perusahaan yang sejalan dengan misi dari organisasi non profit. Sagawa dan Segal

(2001) dalam Wymer dan Sergeant (2006, p10) mengambil suatu pandangan yang

lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para mitra atau organisasi non-

22  

profit untuk tidak mencari keuntungan, dengan mengenali manfaat-manfaat yang

diharapkan dari para pendukung bisnis (perusahaan) untuk memastikan bahwa para

mitra bisnis mendapat publisitas dan pengenalan yang besar untuk dukungan

mereka.

Menurut Sundar (2007, p208), terdapat dua bentuk durasi program Cause

Related Marketing (CRM) berdasarkan waktu, yaitu:

1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi

non profit dalam jangka waktu yang pendek. Sebagai contoh, perusahaan

melakukan program Cause Related Marketing dalam jangka waktu tiga

bulan.

2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi

non profit dalam jangka waktu yang panjang, namun tidak secara permanen.

Hubungan antara Cause Related Marketing (CRM) perusahaan dengan

organisasi sponsor atau non-profit secara positif dapat meningkatkan brand equity

melalui kerjasama dalam waktu yang lama dengan organisasi tersebut. Asosiasi

kedua pihak menciptakan ingatan jangka panjang (long term memory) dalam benak

konsumen. Perusahaan dengan mudah dapat mengatur kembali asosiasi network

dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu rantai yang menghubungkan

perusahaan dan konsumen. Melalui penggunaan yang efektif dari prinsip-prinsip

pelajaran dasar asosiasi, perusahaan dapat meningkatkan investasi mereka dengan

mudah dalam hal yang terkait dengan Cause Related Marketing (CRM) (Till dan

Nowak, 2000, 473).

3. Amount of Resources Invested

Selain dari segi keuangan, suatu perusahaan dapat melakukan investasi

program Cause Related Marketing (CRM) melalui keahlian karyawan, kegiatan

kerelawanan, atau alternatif non-moneter lainnya. Dalam hal ini ditegaskan bahwa

23  

komitmen suatu perusahaan terhadap suatu kampanye Cause Related Marketing

(CRM) dapat ditingkatkan dengan ikut mengajak relawan karyawan dan memberikan

sumbangan non-moneter lainnya (Miller, 2002, p15).

Menurut Susanto (2007), penerapan Cause Related Marketing (CRM)

seharusnya tidak dianggap sebagai cost semata, melainkan juga sebuah investasi

jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan harus yakin bahwa ada

korelasi positif antara pelaksanaan Cause Related Marketing (CRM) dengan

meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan

yang bersangkutan. Pelaksanaan Cause Related Marketing (CRM) secara konsisten

dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap

kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya dapat memberikan

keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan.

Dalam menjalankan setiap kampanye dan kegiatan sosial lainnya, The Body

Shop® selalu mengharuskan karyawannya untuk ikut terlibat. Mereka ikut

mempromosikan kampanye STOP Trafficking of Children and Young People dengan

menyebarkan pamflet dan brosur ke para konsumen.

4. Senior Management Involvement

Selain menunjukkan komitmen perilaku, perusahaan juga perlu menunjukkan

komitmen sikapnya dalam Cause Related Marketing (CRM) (Miller, 2002, p15).

Pengukuran yang relevan terhadap komitmen ini adalah melalui tingkatan

keterlibatan manajemen puncak. Keterlibatan yang transparan dan memiliki

entusiasme yang tinggi dari eksekutif manajemen puncak dapat meningkatkan

kredibilitas kampanye Cause Related Marketing (CRM) (Brink et al., 2006, p18).

Menurut Susanto (2007), program Corporate Social Responsibility (CSR)

dalam pemasaran baru dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat

oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap

24  

unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen

dan dukungan dari karyawan program tersebut tidak akan berjalan dengan baik.

Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari program tersebut akan

memberikan arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.

Miller (2002, p15) menjelaskan faktor utama yang dapat meningkatkan

kesetiaan pelanggan dalam suatu kegiatan pemasaran yang terkait dengan Cause

Related Marketing (CRM) adalah menyatakan terlibat dalam program tanggung

jawab sosial perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan perlu mengingat bahwa

Cause Related Marketing (CRM) bukan hanya untuk mencari keuntungan, tetapi

untuk mendukung suatu cause dengan mengintegrasikan donasi, sukarelawan-

sukarelawan karyawan dan manajemen puncak perusahaan yang dapat mendukung

program Cause Related Marketing (CRM). Hal ini menunjukkan adanya komitmen

yang tinggi dari perusahaan untuk kemitraan dalam jangka waktu yang panjang,

yang pada akhirnya akan membangun loyalitas konsumen. Ketika mengembangkan

suatu program Cause Related Marketing (CRM), stakeholder perusahaan perlu

memahami keterkaitan dengan kemitraan tersebut, yang paling mudah

dikomunikasikan dengan memilih suatu program yang sesuai dengan kemampuan

perusahaan dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial.

2.1.2.2. Jenis-jenis Cause Related Marketing

Stole (2006, p1) membedakan jenis-jenis Cause Related Marketing (CRM) menjadi

enam jenis, yaitu :

1. Advertising (Periklanan) dan Public Relations (Hubungan Masyarakat)

Suatu bisnis menyesuaikan usahanya dengan suatu cause dan menggunakan

iklan untuk menyampaikan pesan dari cuase tersebut; sedangkan untuk jenis

25  

Public Relations, suatu bisnis mengumpulkan press dan perhatian publik untuk

membangun kerjasama antara pihaknya dan suatu organisasi nirlaba.

2. Sponsorship

Suatu perusahaan membantu mengumpulkan dana untuk suatu program atau

event.

3. Licensing

Suatu perusahaan membayar sejumlah uang untung menggunakan logo badan

amal untuk penjualan produk atau jasanya.

4. Direct marketing

Suatu bisnis dan organisasi nirlaba mengumpulkan dana dan mempromosikan

brand awareness perusahaan.

5. Facilitated giving

Suatu bisnis memfasilitasi sumbangan dari konsumen untuk suatu badan amal

atau untuk mereka sendiri.

6. Purchase-triggered Donations

Suatu perusahaan berjanji untuk menyumbangkan suatu persentase atau

sejumlah keuntungan yang diperoleh dari harga produk yang dijual untuk suatu

badan amal atau organisasi nirlaba.

Adapun jenis Cause Related Marketing (CRM) yang digunakan The Body Shop® yaitu

purchase-triggered donations dimana The Body Shop® mengumpulkan dana untuk

isu perdagangan manusia melalui kampanye Stop Trafficking of Children and Young

People dengan menyumbangkan keuntungan dari setiap penjualan produk Hand

Cream yang kemudian akan diberikan kepada ECPAT Indonesia.

26  

2.1.2.3 Kampanye Cause Related Marketing (CRM)

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, di dalam pelaksanaan kampanye

Cause Related Marketing (CRM) suatu perusahaan berkomitmen untuk melakukan

kontribusi atau menyumbangkan sebagian keuntungan yang diperolehnya melalui

penjualan produknya yang didasarkan pada suatu permasalahan sosial. Pada

umumnya, kampanye ini sudah ditetapkan masa berlakunya dan ditujukan untuk

produk dan sumbangan yang spesifik. Hubungan dengan penjualan produk inilah

yang membedakan Cause Related Marketing (CRM) dengan inisiatif sosial lainnya.

Perbedaan lainnya yang terlihat jelas adalah Cause Related Marketing (CRM)

merupakan satu-satunya inisiatif sosial perusahaan dimana besarnya sumbangan

perusahaan tergantung pada tindakan konsumen (Kotler dan Lee, 2005, p81).

Dalam suatu program Cause Related Marketing (CRM), sumbangan terhadap

pihak penerima didasari oleh kesepakatan yang memberikan keuntungan kepada

pihak pemberi sumbangan, salah satunya yaitu terhadap tingkat penjualan. Sehingga

tujuan spesifik dari semua kampanye Cause Related Marketing CRM adalah untuk

meningkatkan penjualan perusahaan tersebut (Polonski dan Speed, 2001, p7).

Selain itu, kampanye Cause Related Marketing (CRM) memiliki dua tujuan

lainnya yaitu mendukung suatu permasalahan sosial serta meningkatkan kinerja

pemasaran (Brink, Gaby, dan Pauwels, 2006). Dengan tujuan tersebut, program

Cause Related Marketing (CRM) memiliki tanggung jawab terhadap tiga

stakeholders yaitu, konsumen, para shareholders, dan satu stakeholder yang tidak

berkaitan secara langsung dengan aktivitas komersial perusahaan (Brink et al, 2006,

p16).

Cause Related Marketing (CRM) sekilas memang mirip dengan cause

promotions, dimana perusahaan mendukung kesadaran (awareness), perhatian

(concern), dan sumbangan (contributions) publik untuk suatu permasalahan.

27  

Perbedaannya adalah dalam Cause Related Marketing (CRM), perusahaan

menambahkan kontribusi berdasarkan respons dari konsumen. Kedua, inisiatif Cause

Related Marketing (CRM) biasanya membutuhkan persetujuan yang lebih formal dan

koordinasi dengan badan amal, contohnya seperti mengembangkan periklanan dan

melacak pembelian konsumen dan aktivitasnya. Terakhir, jenis inisiatif ini melibatkan

lebih banyak promosi, terutama periklanan yang dibayar (paid advertising). Sebagai

hasilnya, Cause Related Marketing (CRM) lebih cenderung diambil alih oleh

departemen pemasaran perusahaan (Kotler dan Lee, 2006, p82).

Menurut Kotler dan Lee (2005, p102), agar suatu program Cause Related

Marketing (CRM) berhasil, maka perusahaan harus memikirkan hal-hal berikut ini :

1. Memilih isu sosial yang memang menjadi perhatian perusahaan maupun

konsumen yang menjadi target produknya

2. Memilih mitra yang memang telah memiliki jaringan luas dan terkenal

memiliki kinerja yang baik

3. Memilih produk yang asosiasinya dengan isu yang akan ditangani sudah atau

berpotensi menjadi kuat; melakukan riset dengan hati-hati terhadap

konsumen yang menjadi target, untuk kemudian menyusun strategi

pemasaran yang sesuai

4. Memastikan bahwa aktivitas ini “terlihat” melalui pencantuman yang jelas di

produk, iklan yang memadai, dan sebagainya

5. Memastikan bahwa tawaran Cause Related Marketing (CRM) sederhana dan

mudah dimengerti, untuk mencegah kecurigaan calon konsumen

6. Bersedia untuk mengakui kesalahan bila memang terjadi, dan melakukan

perbaikan atas kesalahan itu.

Meskipun kampanye Cause Related Marketing (CRM) mendukung berbagai

isu permasalahan, namun bentuk kampanye yang paling banyak memiliki pengikut

28  

dan pendukung adalah yang terkait dengan masalah kesehatan, kebutuhan anak-

anak, kebutuhan dasar, dan lingkungan (Kotler dan Lee, 2006, p85).

2.1.3 Keterlibatan Konsumen dalam Produk (Consumer Product

Involvement)

Keterlibatan konsumen terhadap suatu isu atau permasalahan didefinisikan

sebagai tingkat kepentingan pribadi dan atau ketertarikan yang timbul akibat adanya

suatu rangsangan (stimuli) di dalam suatu situasi tertentu (Antil dalam Brink et al,

p17). Keterlibatan konsumen merupakan teori konstruktif yang berkaitan dengan

gaya kognitif konsumen untuk menjelaskan perilaku konsumen (Knox et al dalam Lo,

2006, p3).

Konsumen menjadi terlibat pada saat suatu persepsi kognitif dari

kepentingan dan ketertarikan menimbulkan rangsangan berupa sperasaan afektif

(Peter dan Olson dalam Lo, 2006, p3). Derajat keterlibatan konsumen dalam suatu

kategori produk yang spesifik merupakan variabel utama yang berkaitan dengan

strategi periklanan dan strategi pemasaran lainnya (Ray, Rothschild, dan Vaughn

dalam Lo, 2006, p3). Tergantung dari tingkat keterlibatannya, setiap konsumen

berbeda berdasarkan sejauh mana proses keputusan dan pencarian informasi

dilakukan. Selain itu, konsumen dapat bersikap pasif atau aktif ketika mereka

menerima komunikasi periklanan yang sesuai dengan tingkat keterlibatan mereka

(Laurent dan Kapferer dalam Lo, 2006, p3). Sebagai hasilnya, konsep keterlibatan

memainkan peran yang penting dalam menjelaskan perilaku konsumen.

Berbagai jenis keterlibatan sudah pernah diteliti, didefinisikan, dan diukur

dari aplikasi istilah keterlibatan yang berbeda-beda. Literatur keterlibatan

menunjukkan bahwa terdapat tiga domain keterlibatan yang pada umumnya

digunakan oleh periset: domain periklanan (Krugman), domain produk (Howard dan

29  

Shet; Hupfer dan Gardner), dan domain keputusan pembelian (Zaichkowsky). Dua

pendekatan skala pengukur keterlibatan yang paling dikenal adalah skala pengukur

yang diciptakan oleh Kapferer (1985) dan Zaichkowsky (1985). Skala pengukur

Zaichkowsky (1985) yang dikenal dengan PII menganggap keterlibatan sebagai

konstruksi satu dimensi atau uni-dimensional sementara Laurent dan Kapferer

menciptakan skala pengukur yang dikenal dengan CIP dimana keterlibatan

merupakan multidimensi.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan skala pengukur keterlibatan

milik Kapferer yang kemudian dikembangkan oleh Quester dan Lim (2003, p3) yang

dikenal dengan Profil Keterlibatan Konsumen (Consumer Involvement Profile) atau

rentang CIP yang mampu mengukur keterlibatan melalui lima dimensi, yaitu interest,

pleasure, sign, risk importance, dan risk probability. Berdasarkan Kapferer yang

dijelaskan dalam Quester dan Lim (2003, p24) dimensi keterlibatan yang berbeda

memiliki pengaruh yang berbeda pula terhadap beberapa aspek perilaku konsumen.

Berdasarkan penelitian selanjutnya oleh Rodgers dan Schneider (1993), Quester dan

Lim (2003, p24) menemukan bahwa dimensi interest dan pleasure merupakan dua

faktor yang memiliki pengertian yang serupa, sehingga dapat digabung menjadi satu

dimensi. Maka secara garis besar dalam penelitian ini peneliti menggunakan empat

dimensi untuk mengukur keterlibatan konsumen. Adapun penjelasan mengenai

keempat dimensi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Interest (keinginan)

Interest adalah keinginan seseorang terhadap suatu produk, yang diartikan

memiliki nilai yang penting. Elemen interest adalah kepentingan pada produk,

keinginan pada produk dan permasalahan pada produk.

2. Sign (tanda)

30  

Sign adalah nilai produk yang diekspresikan oleh seseorang. Elemen sign berupa

personifikasi konsumen dalam memilih produk.

3. Risk Importance (resiko penting)

Risk importance adalah kepentingan yang didapat dari konsekuensi negatif yang

diasosiasikan pada pilihan produk buruk. Elemen risk importance terdiri dari nilai

penting ketika melakukan kesalahan dalam memilih produk, nilai penting ketika

produk tidak nyaman dan ketika membuat kesalahan pilihan.

4. Risk Probability (resiko kemungkinan)

Risk probability adalah kemungkinan membuat pilihan produk yang buruk.

Elemen risk probability adalah ketidakpastian ketika memilih, ketidakpastian

dalam mengambil produk dan kerumitan dalam mengambil keputusan.

Quester dan Lim (2003, p22) mengungkapkan bahwa produk dengan

keterlibatan tinggi adalah produk yang memiliki nilai aspek yang tinggi pada

keterlibatan konsumen didalamnya, yaitu ketertarikan yang tinggi untuk memilih

produk (interest), ekspektasi yang tinggi (pleasure) untuk memilih produk, ekspresi

kepuasan (sign) dapat memiliki produk sesuai pilihan, serta resiko dalam membuat

pilihan (risk importance) dan mengambil keputusan (risk probability) yang tinggi

pada produk. Jain dan Sharma (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

produk dengan harga yang tinggi, fitur yang kompleks, dan memiliki resiko persepsi

yang tinggi memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi, sedangkan produk dengan

harga yang rendah, fitur yang sederhana, dan resiko persepsi yang rendah memiliki

tingkat keterlibatan yang rendah.

Hawkins et al (2007) mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen

dalam pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan dan

ditimbulkan oleh stimulus. Tingkat keterlibatan konsumen dalam pengambilan

31  

keputusan ditentukan oleh pemrosesan informasi yang dapat mempengaruhi

konsumen yang pada akhirnya menimbulkan pembuatan keputusan yang kompleks.

2.1.4 Loyalitas Merek (Brand Loyalty)

2.1.4.1 Pengertian Brand Loyalty

Menurut Kotler (2002, p357), merek adalah tanda, simbol atau rancangan

atau kombinasi dari semua ini yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi produk atau

jasa dari satu atau kelompok penjual dan membedakannya dari produk pesaing.

Sedangkan menurut pendapat Kartajaya (2005, p182), merek tidak sekedar nama,

bukan juga sebuah logo atau simbol. Merek adalah payung yang mepresentasikan

produk atau layanan. Merek merupakan cerminan value yang diberikan perusahaan

kepada pelanggan. Berdasarkan pendapat dari ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa

merek adalah disamping identitas suatu produk yang membedakan dengan produk

pesaing juga sebagai pemberi manfaat melalui nilai-nilai yang diberikan kepada baik

kepada konsumen maupun kepada lingkungan sekitar masuk masyarakat.

Konsumen dalam memenuhi kebutuhannya membeli produk dengan merek

tertentu. Kalau merek pilihan konsumen itu dapat memuaskan kebutuhannya, maka

kesetiaan konsumen terhadap produk merek tersebut mulai berkembang. Jika pilihan

mereka itu tidak dapat memuaskan, maka pada pembelian berikutnya merek itu

tidak akan dipilih. Pada saat kesetiaan konsumen mulai berkembang maka

perusahaan harus mempertahankan agar kesetiaan itu tetap bertahan. Konsumen

yang setia pada merek produk tertentu, dalam keputusan pembelian merek tersebut

tidak membandingkan dengan merek lain dan tidak diperlukan banyak penelitian dan

informasi. Karena konsumen tersebut telah loyal terhadap merek produk tersebut

atau bisa dikatakan produk tersebut telah mendapat predikat brand loyalty (loyalitas

merek).

32  

Menurut Durianto, (2004, p126) loyalitas merek merupakan suatu ukuran

keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini dapat memberikan

gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada pelanggan untuk

beralih kemerek lain, terutama jika merek tersbut mengalami perubahan baik

menyangkut harga maupun image. Konsumen yang loyal terhadap suatu merek tidak

akan dengan mudah memindahkan suatu pembeliannya ke merek lain. Tjiptono et al

(2005, p387) berpendapat bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang

teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang

disukai secara konsisten dimasa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian

merek yang sama secara berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya

pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku beralih merek.

Dari sudut pandang penulis, brand loyalty (loyalitas merek) merupakan suatu

konsep yang sangat penting. Karena loyalitas merek ini adalah suatu prediksi

penjualan dimasa yang akan datang, produsen bisa memperkirakan berapakah

sebaiknya suatu produk dengan merek tertentu akan diproduksi dengan melihat

tingkat loyalitas konsumen terhadap merek produk tersebut. Di sisi lain pada kondisi

pasar dengan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah namun persaingannya

sangat ketat saat ini, keberadaan konsumen yang loyal pada merek sangat

dibutuhkan oleh setiap produsen agar siklus kehidupan perusahaan dan produk

dapat tetap bertahan hidup.

2.1.4.2 Tingkatan Loyalitas Merek

Menurut Lu Ting Pong dan Tang Pui Yee (2001) kita bisa mengukur loyalitas

konsumen terhadap suatu merek dengan beberapa tingkatan yaitu;

1. Repeat purchase behavior

Kecenderungan untuk melakukan pembelian ulang yang konsisten merupakan

salah satu dari perilaku yang menunjukkan loyalitas.

33  

2. Word of mouth

Dalam konteks loyalitas, word of mouth dapat dipahami sebagai

merekomendasikan orang lain untuk melakukan pembelian atas suatu merek

tertentu. Oleh karena itu, konsumen yang loyal tidak hanya menggunakan

produk dengan merek tersebut tapi juga dengan senang hati akan menceritakan

hal-hal yang positif tentang merek tersebut.

3. Price tolerance

Konsumen yang loyal akan bersedia untuk membayar dengan harga premium.

Hal tersebut disebabkan karena terdapatnya perceived risk yang sangat tinggi

sehingga membuat konsumen rela membayar dengan harga yang lebih tinggi

untuk menghindari resiko.

4. Preference

Loyalitas yang sesungguhnya hanya dapat diraih ketika konsumen

mengekspresikan preferensi positif yang merupakan alasan untuk melakukan

pembelian ulang yang tinggi

5. Choice reduction behavior

Choice reduction behavior merupakan hasil yang nyata dari loyalitas. Hal ini

dikarenakan konsumen dengan loyalitas tinggi akan mengurangi motivasi

pencarian sebagai alternatif lain.

6. First in mind

Idealnya, konsumen yang loyal hanya akan memiliki satu pilihan yang

merupakan pilihan pertama dalam benaknya. Dengan demikian, semakin tinggi

tingkat loyalitas akan menyebabkan konsumen lebih mempertimbangkan

pilihannya tersebut ketika harus memilih.

Menurut Durianto, et.al. (2001, p.128), tingkatan-tingkatan yang terdapat

dalam loyalitas merek adalah sebagai berikut:

34  

1. Switcher (Berpindah-pindah)

Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan

yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin sering pembelian

konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan

bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini,

merek memegang peranan kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang jelas

dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu merek karena harganya

murah.

2. Habitual buyer (Pembeli yang bersifat kebiasaan)

Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan

merek produk yang dikonsumsinya. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk

membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu

membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa

pembeli ini membeli suatu merek karena kebiasaan.

3. Satisfied buyer (Pembeli yang puas)

Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk kedalam kategori puas ketika mereka

mengkonsumsi merek tersebut.

4. Liking the brand (Menyukai merek)

Pembeli dalam kategori ini adalah pembeli yang benar-benar menyukai merek

tersebut. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan

merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait

dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam pengunaan sebelumnya baik yang

dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang disebabkan oleh karena

persepsi kualitas yang tinggi.

5. Commited Buyer (Pembeli yang berkomitmen)

35  

Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu

kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan tersebut menjadi

sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai

suatu penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu

ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Pada tingkat ini, salah satu

aktualisasi loyalitas pembeli ditujukan oleh tindakan merekomendasikan dan

mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.

Kemudian Durianto (2001,p132) menyimpulkan bahwa terdapat beberapa

pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur loyalitas konsumen

terhadap suatu merek yang dibeli, pendekatan-pendekatan tersebut adalah :

1. Behaviour measures (Pengukuran Perilaku Konsumen)

Merupakan cara yang langsung untuk menetapkan kesetiaan, khususnya untuk

perilaku kebiasaan, yaitu untuk mempertimbangkan pola-pola pembelian yang

sebenarnya.

2. Switching cost (Biaya Peralihan)

Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindikasikan loyalitas pelanggan

terhadap suatu merek. Pada umumnya jika biaya untuk berganti merek sangat

mahal, pelanggan akan enggan untuk berganti merek sehingga laju penyusutan

dari kelompok pelangggan dari waktu kewaktu akan rendah.

3. Measuring satisfaction (Pengukuran Kepuasan Konsumen)

Pengukuran terhadap kepuasan maupun ketidakpuasan pelangan suatu merek

merupakan indikator penting dari brand loyalty. Bila ketidakpuasan pelanggan

terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya tidak cukup alasan bagi

pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali bila ada faktor-faktor

penarik yang sangat kuat. Dengan demikian, sangat perlu bagi perusahaan

untuk mengeksplorasi informasi dari pelanggan yang memindahkan

36  

pembeliannya ke merek lain dalam kaitannya dengan ketergesaan mereka

memindahkan pilihannya.

4. Measuring liking the brand (Pengukuran Kesukaan terhadap Merek)

Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan-perasaan hormat atau

bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan

pelanggan. Akan sangat sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan

yang sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini.

5. Commitment (Pengukuran Komitmen Konsumen)

Komitmen merupakan hubungan yang paling kuat antara pelanggan dengan

sebuah merek. Merek dengan brand equity yang tinggi akan memiliki sejumlah

besar pelanggan yang setia dengan segala bentuk komitmennya. Salah satu

indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan

produk tersebut. Kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan mendorong

mereka untuk membicarakan merek tersebut pada pihak lain baik dalam taraf

sekedar menceritakan mengenai alasan pembelian merek terhadap merek

tersebut atau bahkan tiba pada taraf merekomendasikannya pada orang lain

untuk mengkonsumsi merek tersebut. Indikator lain adalah sejauh mana tingkat

kepentingan merek tersebut bagi seorang yang berkenan dengan aktivitas

kepribadian mereka, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam kaitan

dengan penggunaannya.

2.1.4.4 Fungsi Loyalitas Merek

Menurut Durianto, et.al (2004, p21), dengan pengelolaan dan pemanfaatan

yang benar, brand loyalty dapat menjadi aset yang sangat berharga bagi

perusahaan. Beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada

perusahaan adalah:

37  

1. Mengurangi biaya pemesanan

Dalam kaitannya dengan biaya pemesaran, akan lebih murah mempertahankan

pelanggan dibanding dengan upaya mendapatkan pelanggan baru. Jadi, biaya

pemasaran akan mengecil jika loyalitas merek meningkat. Ciri yang paling

terlihat dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena

harganya murah.

2. Menigkatkan perdagangan

Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan meningkatkan perdagangan dan

memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Dapat disimpulkan bahwa

pembeli dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama

ini.

3. Menarik minat pelanggan baru

Dengan banyaknya pelanggan baru suatu merek yang merasa puas dan suka

pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon pelanggan

untuk mengkonsumsi merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka

lakukan mengadung resiko tinggi. Di samping itu, pelanggan yang puas

umumnya akan mrekomendasikan merek tersebut kepada oarang yang dekat

dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru.

4. Memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan

Jika salah satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelangan yang

loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersbut untuk memperbaharui

produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisasikannya.

38  

2.1.4.5 Dimensi Loyalitas Merek

Dari pembahasan teori diatas terdapat beberapa kesamaan antara tingkatan

loyalitas merek yang dikemukakan oleh Lu Ting Pong dan Tung Pui Yee (2001) dan

Durianto (2001) yang dijadikan dimensi terhadap variabel dependen dalam penelitian

ini (brand loyalty). Tetapi, tidak semua tingkatan bisa dijadikan dimensi, namun

hanya beberapa tingkatan saja yang akan digunakan sebagai dimensi sesuai dengan

karakteristik dari produk The Body Shop® dalam penelitian ini.

Jadi, dimensi untuk loyalitas merek The Body Shop® yang sesuai dalam

penelitian ini adalah :

1. Future Purchase

Dimensi yang pertama adalah future purchase yaitu kombinasi dari tingkatan

yang dikemukakan oleh Durianto (2001) yaitu habitual buyer yang mana

diasumsikan konsumen cukup puas dengan merek produk yang dikonsumsinya

atau setidaknya pembeli tidak mengalami kerugian dalam mengkonsumsi merek

tersebut, sehingga konsumen tidak memiliki alasan yang kuat untuk membeli

merek lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan

usaha, biaya, atau pengorbanan lain, jadi pembeli ini membeli suatu merek

karena telah terbiasa mengkonsumsi produk ini. Dapat disimpulkan bahwa

konsumen ini dalam membeli suatu merek karena didasarkan atas kebiasaan

pembelian yang telah dilakukan selama ini. Hal serupa juga terdapat pada

pendapat Lu Ting Pong dan Tang Pui Yee (2001) yaitu pada tingkatan repeat

purchase behavior yang mana konsumen diasumsikan cenderung melakukan

pembelian ulang yang konsisten secara terus-menerus karena telah puas

dengan apa yang diberikan oleh produk tersebut. Maka dapat disimpulkan

bahwa dimensi ini lebih ditekankan pada pengukuran future purchase yaitu

pembelian suatu merek yang dilakukan konsumen dimasa yang akan datang.

39  

2. Liking of The Brand

Dimensi yang ketiga adalah liking of the brand dimana indikator ini merupakan

kombinasi dari sudut pandang dari para ahli terhadap tingkatan loyalitas

konsumen terhadap merek. Seperti yang dikemukakan oleh Lu Pong dan Tang

Pui Yee (2001) pada pengukuran preference dan first in mind. Untuk preference

diasumsikan bahwa konsumen mengekspresikan preferensi positif terhadap

produk sehingga memungkinkan konsumen untuk melakukan pembelian ulang

yang tinggi. Dan untuk first in mind diasumsikan konsumen yang telah

menyukai satu merek maka hanya merek itu saja yang pertama terlintas

dibenaknya. Tingkatan yang terkait juga disimpulkan oleh Durianto (2001) yaitu

liking the brand dimana konsumen diasumsikan memiliki perasaan emosional

yang terkait dengan merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh

asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam pengunaan

sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang

disebabkan oleh karena persepsi kualitas yang tinggi. Jadi berdasarkan

kombinasi dari tingkatan loyalitas konsumen terhadap merek diatas maka dapat

disimpulkan bahwa liking the brand adalah dimensi ketiga untuk brand loyalty

terhadap merek The Body Shop® pada penelitian ini.

3. Commitment

Dimensi yang keempat adalah commitment yaitu kombinasi dari beberapa

tingkatan yang diungkapkan oleh beberapa ahli seperti yang diungkapkan oleh

Lu Pong dan Tang Pui Yee (2001) tentang word of mouth dimana konsumen

diasumsikan melakukan aktualisasi loyalitas terhadap merek dengan

mempromosikan dan merekomendasikan orang lain untuk melakukan pembelian

atas suatu merek tertentu. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Durianto

(2001) yang juga menjadi dimensi untuk brand loyalty yaitu committed buyer

40  

dimana konsumen diasumsikan memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna

suatu merek dan bahkan tersebut menjadi sangat penting bagi mereka

dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu penting bagi mereka

dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa

mereka sebenarnya. Pada tingkat ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli

ditujukan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek

tersebut kepada pihak lain. Jadi, berdasarkan tingkatan-tingkatan yang

diungkapkan oleh padara ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa dimensi

keempat untuk brand loyalty terhadap merek The Body Shop® pada penelitian

ini adalah commitment yaitu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan dengan

tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek yang mereka

konsumsi tersebut kepada pihak lain, seperti teman dan keluarga mereka.

2.1.5. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang telah dilakukan oleh Brink, Odekerken-Schroder, dan

Pauwels (2006) menunjukkan adanya pengaruh positif dari Cause Related Marketing

(CRM) terhadap loyalitas merek. Lebih spesifik, penelitian ini menjelaskan pengaruh

dari strategic Cause Related Marketing (strategic CRM) dan tactical Cause Related

Marketing (tactical CRM). Pengaruh dari kedua jenis Cause Related Marketing (CRM)

tersebut dikur dengan menggunakan 4 (empat) dimensi yakni congruency, duration,

amount of resources invested, dan senior management involvement. Lebih lanjut

lagi, Brink et al (2006) meneliti pengaruh keterlibatan konsumen terhadap produk

sebagai variabel pemoderasi terhadap hubungan antara Cause Related Marketing

dan Brand Loyalty. Keterlibatan konsumen pada penelitian ini dibagi menjadi dua

yaitu keterlibatan tinggi (high involvement) dan keterlibatan rendah (low

involvement). Adapun pengukuran terhadap keterlibatan konsumen terhadap suatu

41  

produk dilakukan dengan menggunakan alat pengukuran milik Zaichkowsky (1985)

yang dikenal dengan Personal Involvement Inventory (PII). PII dirancang untuk

mengukur konstruk keterlibatan itu sendiri, tidak melekat pada perubahan perilaku

konsumen sebagai akibat dari keterlibatan tersebut.

Sedangkan untuk loyalitas merek, Brink et al mengukurnya melalui dua

dimensi yaitu konsep perilaku (behavior) dan konsep sikap (attitude). Indikator dari

konsep perilaku difokuskan pada pembelian ulang (repeat purchasing) yang

dilakukan oleh konsumen terhadap suatu merek, dimana manfaat dari pendekatan

ini adalah dapat mengukur perilaku yang dapat dipantau (observable behaviors),

daripada sekedar mengukurnya melalui niat (intentions) dan pernyataan

(declarations) (Odin et al dalam Brink et al, 2001). Untuk konsep sikap, Brink et al

mengukurnya melalui tiga indikator yang terdiri dari komponen afektif, kognitif, dan

konatif.

Penelitian tersebut menggunakan desain penelitian eksperimental untuk

menguji hipotesis yang ingin diuji. Brink et al membuat suatu dasar cerita (story

boards) dimana mereka menciptakan suatu perusahaan, merek, serta kampanye

CRM fiktif. Responden diperkenalkan terhadap sebuah perusahaan, merek, serta

produk yang imajinatif. Produk yang digunakan berupa celana panjang (high

involvement), atau pengokot (stapler) yang merupakan produk dengan keterlibatan

rendah (low involvement).

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa strategic Cause Related Marketing

(CRM) memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap loyalitas merek daripada tactical

Cause Related Marketing (CRM). Mereka menemukan bahwa perusahaan harus

memiliki komitmen jangka panjang terhadap cause yang didukung dan kampanye

yang digunakan harus berhubungan dengan produk yang memiliki tingkat

keterlibatan yang rendah.

42  

Penelitian yang telah dilakukan oleh Westberg dan Pope (2004)

menunjukkan adanya pengaruh yang positif dari Cause Related Marketing (CRM)

terhadap perubahan sikap terhadap merek. Adanya kecocokan antara merek dengan

cause secara positif dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap strategi Cause

Related Marketing (CRM).

Nilsson dan Rahmani (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa

kegiatan Cause Related Marketing (CRM) dapat berlangsung dengan baik apabila

terjadi hubungan yang sinergis antara perusahaan dengan organisasi amal.

Hubungan yang sinergi diantara kedua belah pihak secara positif mensukseskan

kegiatan Cause Related Marketing (CRM).

2.2 Kerangka Pemikiran

Cause Related Marketing (CRM) dapat meningkatkan kegiatan pemasaran

produk tergantung pada pola kampanye program melalui berbagai macam strategi

yang tepat. Brink et al (2006, p16) menyatakan bahwa jenis strategi yang dilakukan

dalam Cause Related Marketing (CRM) terdiri dari dua bentuk, yaitu Cause Related

Marketing strategis dan Cause Related Marketing taktis. Perusahaaan dalam

mendeterminasikan Cause Related Marketing strategis dan taktis melalui empat

pendekatan, yaitu kesesuaian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi

(amount of investment) dan keterlibatan manajemen (management involvement).

Determinasi empat faktor tersebut apabila memiliki nilai yang rendah umumnya

menunjukkan perusahaan melakukan kegiatan Cause Related Marketing (CRM) secara

taktis, sedangkan apabila memiliki nilai yang tinggi menunjukkan perusahaan

melakukan kegiatan Cause Related Marketing secara strategis. Pendekatan Cause

Related Marketing (CRM) tidak sepenuhnya harus secara taktis maupun strategis,

tetapi setidaknya memiliki karakteristik dari bentuk taktis dan strategis. Empat

43  

dimensi tersebut menjadi dasar yang baik bagi perusahaan untuk terlibat dalam

Cause Related Marketing (CRM).

Sen dan Bhattacharya dalam Brink et al. menemukan bahwa Cause Related

Marketing (CRM) memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku konsumen. Brink et

al. lalu mengembangkan penelitian tersebut dengan meneliti pengaruh kampanye

Cause Related Marketing (CRM) terhadapa loyalitas merek dari konsumen. Seorang

konsumen yang loyal cenderung mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk suatu

barang atau jasa dan mereka merupakan sumber periklanan word-of-mouth (Kapferer

dalam Brink et al). Karena loyalitas merek merupakan salah satu variabel yang paling

berpengaruh terhadap kinerja pemasaran suatu perusahaan (Brink et al, 2006), maka

peneliti menggunakannya sebagai variabel utama yang mendapatkan pengaruh dari

Cause Related Marketing (CRM). Brink et al. juga meneliti keterlibatan konsumen

sebagai variabel pemoderasi terhadap hubungan antara Cause Related Marketing

(CRM) dengan loyalitas merek.

Ringkasnya, penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh Cause Related

Marketing (CRM) terhadap loyalitas konsumen terhadap merek The Body Shop® dan

meneliti sejauh mana pengaruh Cause Related Marketing (CRM) terhadap loyalitas

merek dimoderasi oleh keterlibatan konsumen dalam produk.

44  

Kerangka pemikiran dari masalah yang ada serta pemecahannya digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2

Kerangka Pemikiran

Sumber : Brink et al. (2006)

Dari hasil kerangkan pemikiran tersebut, maka secara garis besar melalui penelitian ini penulis akan:  

1. Meneliti bagaimana pengaruh yang diberikan Cause Related Marketing

(CRM) terhadap loyalitas merek.

2. Meneliti apakah keterlibatan konsumen sebagai variabel pemoderasi

memperkuat atau memperlemah pengaruh Cause Related Marketing (CRM)

terhadap loyalitas merek The Body Shop®.

Risk Importance SignInterest  Risk Probability

Congruence

Consumer Involvement Duration 

Brand Loyalty Cause Related Marketing (CRM)

CommittmentAmount of Resources Invested

Liking of The Brand

Senior Management Involvement Future Purchase

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran 

Sumber: Hasil Pengolahan Peneliti, 2010 

45  

2.3 Hipotesis

Menurut Ellen et.al. (2000, p393), konsumen mengevaluasi program Cause

Related Marketing (CRM) melalui teori atribut. Konsumen dalam mengevaluasi progam

adalah dengan membuat kesimpulan tentang motivasi yang mendasari perusahaan

untuk melibatkan diri dalam program sosial. Respon positif konsumen dalam melihat

motivasi perusahaan yang tinggi dalam pelaksanaan Cause Related Marketing (CRM)

secara tidak langsung meningkatkan loyalitas merek dan produk perusahaan.

Sugiyono (2005, p70) menjelaskan hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah

dinyatakan dalam bentuk pernyataan. Sesuai dengan pertanyaan pada rumusan

masalah dibab 1, maka hipotesis utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

Ho: Cause Related Marketing (CRM) tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap tingkat loyalitas merek The Body Shop®

H1: Cause Related Marketing (CRM) berpengaruh secara signifikan

terhadap tingkat loyalitas merek The Body Shop®

Dan berikut adalah hipotesis variabel moderating yaitu keterlibatan konsumen :

H o: Keterlibatan konsumen tidak sebagai faktor pemoderasi

meningkatkan pengaruh Cause Related Marketing (CRM) pada loyalitas

merek The Body Shop®

H 2: Keterlibatan konsumen sebagai faktor pemoderasi meningkatkan

pengaruh Cause Related Marketing (CRM) pada loyalitas merek The Body

Shop®