BAB 2 LANDASAN TEORI - BINA NUSANTARA | Library &...
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI - BINA NUSANTARA | Library &...
15
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pemasaran
Kotler (2009:10) mengatakan pemasaran adalah suatu proses sosial
yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka
butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas
mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.
Menurut Stanton (2001), definisi pemasaran adalah suatu sistem
keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan,
menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa
yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli
potensial.
Dari definisi yang ada terlihat jelas bahwa marketing atau pemasaran
merupakan suatu konsep yang sangat universal mengenai sebuah proses
mengidentifikasi segala aspek sosial yang mampu diterjemahkan melalui
penciptaan gagasan, konsep, ataupun sebuah produk yang memiliki arti di
dalam benak konsumen.
16
Menurut Kotler (2009:22), pekerjaan pemasaran bukan lagi untuk
menemukan pelanggan yang tepat untuk produk, melainkan menemukan
produk yang tepat untuk pelanggan. Konsep pemasaran untuk mencapai
sasaran organisasi adalah perusahaan harus lebih efektif dibandingkan pesaing
dalam menciptakan, menyerahkan, dan mengkomunikasikan kepada pasar
sasaran yang dipilih.
Menurut Swastha dan Irawan, (2005:10) mendefinisikan konsep
pemasaran sebuah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan
kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan
hidup perusahaan.
Konsep pemasaran menurut Kotler (2009:33) menegaskan bahwa kunci
untuk mencapai sasaran organisasi adalah menentukan kebutuhan dan
keinginan sasaran pasar dan memberikan kepuasan yang diinginkan secara
lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaing.
2.1.2 Moment of Truth
2.1.2.1 Pengertian Moment of Truth
Salah satu sifat dari jasa atau pelayanan adalah diproduksi dan
dikonsumsi pada saat yang bersamaan (Irawan, 2002). Tidak seperti produk
manufaktur di mana hasil produksi dapat disimpan di gudang, dikirim ke
toko, dibeli oleh konsumen dan kemudian dikonsumsi. Oleh karena sifat ini,
kepuasan pelanggan terhadap suatu pelayanan sangatlah bergantung pada
17
proses interaksi atau waktu di mana pelanggan dan penyedia jasa bertemu.
Kepuasan pelanggan akan ditentukan oleh ratusan, bahkan ribuan interaksi
antara pelanggan dengan penyedia jasa. Istilah yang sering digunakan untuk
setiap interaksi adalah moment of truth (MOT) dan sebagian pakar
menyebutnya service encounter. Berdasarkan perspektif pelanggan, kesan
paling utama terhadap sebuah jasa terjadi pada service encounter (moment of
truth), di mana pelanggan berinteraksi dengan perusahaan jasa (Lovelock
dan Wirtz, 2011).
Moment of truth adalah setiap peristiwa di mana pelanggan
berinteraksi dengan setiap aspek perusahaan dan menerima kesan mengenai
mutu produk atau jasa yang diterimanya (Carlzon, 1987:3 dalam Irawan,
2002). Moment of truth dimulai ketika pelanggan datang hingga pelanggan
selesai melakukan kegiatannya atau sudah selesai berinteraksi. Dengan
adanya moment of truth, pihak perusahaan harus memberikan layanan yang
terbaik karena karena hal ini akan menentukan citra dari perusahaan atau
organisasi tersebut dan persepsi pelanggan sudah mulai terbentuk pada saat
itu. Bila moment of truth tidak dikelola dengan baik, maka persepsi tentang
mutu produk dan jasa perusahaan akan menurun. Gambar di bawah ini
menunjukkan beberapa input yang mempengaruhi faktor dari moment of
truth.
18
Sumber : Karl Albrecht, The Service Advantage, 1990 : 37
Gambar 2.1 The Moment of Truth Model
Dasar pemikiran yang utama untuk menjelaskan bagaimana manusia
berinteraksi dan berkomunikasi dikenal sebagai contect bound. Ini berarti
bahwa seluruh elemen dalam interaksi antara pelanggan dengan karyawan
memiliki dampak yang besar bagi mereka, bagi hubungan itu sendiri dan
hasilnya (Utomo, 2011).
Frames of Reference, bertindak sebagai filter dan membawa akibat
yang kuat bagi individu terhadap pelayanan, dan secara total didominasi
oleh proses berpikir, sikap-sikap, perasaan nilai-nilai keyakinan, keinginan
dan harapan-harapan individu. Customer's Generic Preferance
mengungkapkan bahwa :
• Pelanggan ingin diperlakukan sebagai manusia.
• Pelanggan tersentuh bila diperlakukan sebagai individu.
• Pelanggan menyukai produk yang bisa berfungsi dengan baik.
• Pelanggan menyukai hal yang mudah dan sederhana.
• Pelanggan mendambakan pengalaman tanpa birokrasi.
19
Menurut Zeithaml dan Bitner (2006), terdapat 3 dimensi moment
of truth yang terjadi dengan suatu pelayanan, yaitu:
1) Remote MOT, yakni interaksi antara pelanggan dengan penyedia jasa
tanpa melibatkan faktor manusia. Biasanya pelanggan mendapatkan
MOT-nya dari suatu instrumen atau mesin.
2) Human MOT, yaitu interaksi yang terjadi antara pelanggan dan
penyedia pelayanan di mana terdapat elemen manusia dalam
interaksinya dan melibatkan kontak langsung antara pelanggan dan
penyedia pelayanan. Sebagian besar dari MOT suatu pelayanan masih
melibatkan human factor.
3) Telephone MOT, yaitu interaksi yang melibatkan 2 jenis MOT di atas,
yakni Remote MOT dan Human MOT. Dalam interaksinya, masih
terdapat human factor dalam MOT ini, tetapi secara fisik tidak
bertemu karena pelayanan hanya diberikan melalui telepon saja.
Menurut Irawan (2002) terdapat dua moral yang perlu dipelajari
dalam konteks moment of truth dan kepuasan pelanggan. Pertama,
setiap pelanggan harus tahu setiap MOT yang terjadi selama proses
pelayanan. Perusahaan penyedia jasa perlu menentukan manakah
MOT yang kritikal dalam menentukan kepuasan pelanggan, dan
manakah MOT yang relatif kurang berpengaruh. Kedua, apakah
pelanggan lebih mengharapkan standarisasi pelayanan atau pelayanan
yang bersifat personal. Ini sungguh vital dalam memberikan arah
terhadap investasi perusahaan ke depan, yaitu apakah harus investasi
untuk pembelian mesin pelayanan, membuat call center, atau
20
memperbanyak jumlah customer service. Kesalahan dalam mengambil
keputusan akan memperkecil peluang untuk dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan.
2.1.3 Kualitas Pelayanan (Service Quality)
2.1.3.1 Pengertian Kualitas
Kualitas telah menjadi harapan dan impian bagi semua orang baik
pelanggan maupun produsen. Yang dimaksud dengan kualitas atau mutu
suatu produk atau jasa yaitu:
a. Derajat atau tingkatan dimana produk atau jasa tersebut mampu
memuaskan keinginan dari pelanggan (Wignjosoebroto,
2003:251).
b. Menurut Yamit (2005) membuat definisi kualitas yang lebih luas
cakupannya yaitu “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
c. Menurut Utami (2006:245) keunggulan atau keistimewaan yang
dapat didefinisikan sebagai penyampaian pelayanan yang relatif
istimewa terhadap harapan pelanggan. Karena pelanggan biasanya
terlibat langsung dalam proses tersebut. Sedangkan perusahaan
yang menghasilkan produk menekankan pada hasil, karena
pelanggan umumnya tidak terlibat langsung dalam prosesnya.
Untuk itu diperlukan sistem manajemen kualitas yang dapat
21
memberikan jaminan kepada pihak pelanggan bahwa produk
tersebut dihasilkan oleh proses yang berkualitas (Yamit, 2005:9).
Lima pendekatan kualitas yang dapat digunakan oleh para praktisi
bisnis, menurut David Garvin yang dikutip oleh (Yamit, 2005:9-10) yaitu :
a. Transcedental Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat
dirasakan, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan maupun
diukur. Perspektif ini umumnya diterapkan dalam seni musik, seni
tari, seni drama dan seni rupa. Untuk produk dan jasa pelayanan,
perusahaan dapat mempromosikan dengan menggunakan
pernyataan-pernyataan seperti kehalusan dan kelembutan kulit
(sabun mandi), kecantikan wajah (kosmetik), pelayanan prima
(bank), tempat belanja yang nyaman (mall atau gerai). Definisi
seperrti ini sulit untuk dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam
manajemen kualitas.
b. Product-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau
atribut yang dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan
adanya perbedaan atribut yang dimiliki produk secara objektif,
tetapi pendekatan ini tidak menjelaskan perbedaan dalam
preferensi individual.
c. User-based Approach
Kualitas pada pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa
kualitas tergantung pada orang yang memandangnya dan produk
22
yang paling memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan
selera (fitness for used) merupakan produk yang berkualitas paling
tinggi. Pandangan yang subjektif ini mengakibatkan pelanggan
yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda
pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah kepuasan maksimum
yang dapat dirasakan.
d. Manufacturing-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau
dari sudut pandang produsen yang mendefinisikan kualitas sebagai
yang sesuai dengan persyaratannya (conformance quality) dan
prosedur. Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian spesifikasi
yang ditetapkan perusahaan secara internal. Oleh karena itu, yang
menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan
perusahaan, dan bukan pelanggan yang menggunakannya.
e. Value-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari
segi nilai dan harga. Kualitas didefinisikan sebagai “affordable
excellence”. Oleh karena itu kualitas dalam pandangan ini bersifat
relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi
belum tentu produk yang bernilai. Produk yang bernilai adalah
produk yang paling tepat beli.
Meskipun sulit mendefinisikan kualitas dengan tepat dan tidak ada
definisi kualitas yang dapat diterima secara universal, dari perspektif David
Garvin tersebut dapat bermanfaat dalam mengatasi konflik-konflik yang
23
sering timbul di antara para manajer dalam departemen fungsional yang
berbeda. Misalnya, departemen pemasaran lebih menekankan pada aspek
keistimewaan, pelayanan, dan fokus pada pelanggan. Menghadapi konflik
seperti ini sebaiknya pihak perusahaan menggunakan perpaduan antara
beberapa perspektif kualitas dan secara aktif selalu melakukan perbaikan
yang berkelanjutan atau melakukan secara terus-menerus.
2.1.3.2 Pengertian Pelayanan
Bagian yang paling rumit dalam pelayanan adalah kualitasnya yang
sangat dipengaruhi oleh harapan pelanggan. Harapan pelanggan yang dapat
bervariasi dari pelanggan yang satu dengan pelanggan yang lain walaupun
pelayanan yang diberikan konsisiten.
Menurut Olsen dan Wycktoff (1978) yang dikutip oleh Yamit
(2004:22) melakukan pengamatan atas jasa pelayanan dan mendefinisikan
jasa pelayanan sebagai sekelompok manfaat yang berdaya guna secara
eksplisit maupun implisit atas kemudahan untuk mendapatkan barang
maupun jasa pelayanan. Dan definisi secara umum dari kualitas jasa
pelayanan ini adalah dapat dilihat dari perbandingan antara harapan
konsumen dengan kinerja kualitas jasa pelayanan.
2.1.3.3 Karakteristik Pelayanan
Beberapa perbedaan terhadap pengertian pelayanan secara terus
menerus perbedaan akan mengganggu, beberapa karakteristik pelayanan
berikut ini akan memberikan jawaban yang lebih mantap terhadap
24
pengertian pelayanan. Karakteristik pelayanan tersebut menurut Yamit
(2004:21) adalah:
a. Tidak dapat diraba (intangibility). Jasa adalah sesuatu yang
sering kali tidak dapat disentuh atau tidak dapat diraba. Jasa
mungkin berhubungan dengan sesuatu secara fisik seperti pesawat
udara, kursi dan meja. Bagaimanapun juga pada kenyataannya
konsumen membeli dan memerlukan sesuatu yang tidak dapat
diraba. Oleh karena itu jasa atau pelayanan yang terbaik menjadi
penyebab khusus yang secara alami disediakan.
b. Tidak dapat disimpan (inability to inventory). Salah satu ciri
khusus dari jasa adalah tidak dapat disimpan. Misalnya, ketika kita
pergi ke tempat jasa potong rambut, maka apabila pemotong rambut
telah dilakukan tidak dapat sebagiannya disimpan untuk besok.
c. Produksi dan konsumsi secara bersama. Jasa adalah sesuatu
yang dilakukan secara bersamaan dengan produksi. Misalnya
tempat praktek dokter, salon, restoran, dan sebagainya.
d. Memasukinya lebih mudah. Mendirikan usaha dibanding jasa
membutuhkan investasi yang lebih sedikit, mencari lokasi lebih
mudah dan banyak tersedia, tidak membutuhkan teknologi tinggi.
Kebanyakan usaha jasa hambatan untuk memasukinya lebih rendah.
e. Sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar. Jasa sangat
dipengaruhi oleh faktor dari luar, seperti: teknologi, peraturan
pemerintah, dan kenaikan harga energi.
25
Sedangkan Kotler (2008:12) menguraikan karakteristik atau sifat dari
jasa sebagai berikut:
a. Intangible (tidak berwujud)
Jasa memiliki sifat tidak berwujud, tidak dapat dilihat, dikecap,
dirasakan, dicium, atau dinikmati sebelum jasa tersebut dibeli.
b. Inseparability (tidak dapat dipisahkan)
Jasa tidak dapat dipisahkan dari sang pemberi jasa.
c. Variability (bervariasi)
Jasa senantiasa mengalami perubahan, yang dipengaruhi oleh untuk
siapa jasa tersebut diberikan. Karena sifat jasa tidak dapat
dipisahkan dari si pemberi jasa, maka perubahan yang terjadi adalah
perbedaan kualitas jasa tergantung dari siapa penyedia jasa,
penerima, dan kondisi di mana jasa tersebut diberikan.
d. Perishability (tidak bertahan lama atau tidak dapat disimpan)
Maksudnya adalah bahwa jasa tidak dapat disimpan untuk
digunakan atau dijual kemudian. Jasa langsung habis dinikmati
setelah dibeli saat itu juga.
2.1.3.4 Indikator Kualitas Pelayanan
Zeithaml, Berry dan Parasuraman, dalam Tjiptono (2007:95) meneliti
sejumlah industri jasa dan berhasil mengidentifikasikan indikator pokok
kualitas jasa, yaitu: reliabilitas, responsif atau daya tanggap, kompetensi,
akses, kesopanan, komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan
memahami pelanggan, dan bukti fisik (tangibles). Karena ditemukan adanya
26
overlapping dari beberapa dimensi di atas, sehingga indikator-indikator
tersebut disederhanakan menjadi lima indikator pokok kualitas jasa, yaitu:
a. Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik,
peralatan/perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
b. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan
pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang
telah dijanjikan.
c. Responsiveness (daya tangkap), yaitu kesediaan dan kemampuan
penyedia layanan untuk membantu para pelanggan dan merespon
permintaan dengan segera, meliputi:
� Ketanggapan karyawan dalam menangani masalah
� Ketersediaan karyawan menjawab pertanyaan pelanggan
d. Assurance (jaminan), yaitu pengetahuan dan kesopanan
karyawan serta kemampuan mereka dalam menumbuhkan rasa
percaya dan keyakinan pelanggan, meliputi:
� Keramahan dan sopan santun karyawan dalam melayani
pelanggan
� Pengetahuan karyawan mengenai produk atau jasa yang
ditawarkan
� Keterampilan karyawan dalam melayani pelanggan
e. Empathy (empati), yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan, komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus
terhadap kebutuhan pelanggan.
27
2.1.4 Kepuasan Pelayanan (Service Satisfaction)
2.1.4.1. Kepuasan
a. Pengertian Kepuasan
Kepuasan adalah suatu keadaan yang dirasakan konsumen setelah dia
mengalami suatu kinerja (atau hasil) yang telah memenuhi berbagai
harapannya. Menurut Oliver (1981), kepuasan adalah tingkat perasaan
seseorang (pelanggan) setelah membandingkan antara kinerja atau hasil
yang dirasakan (pelayanan yang diterima dan dirasakan) dengan yang
diharapkannya.
Menurut Kotler (2008), kepuasan konsumen adalah hasil yang
dirasakan oleh pembeli yang mengalami kinerja sebuah perusahaan yang
sesuai dengan harapannya (Hermanto, 2010).
Hingga saat ini definisi kepuasan pelanggan masih banyak
diperdebatkan, setidaknya ada dua tipe yang domain. Disatu pihak,
kepuasan pelanggan dipandang sebagai outcome atau hasil yang didapatkan
dari pengalaman konsumsi barang atau jasa spesifik (outcome-oriented
approach). Di lain pihak, kepuasan pelanggan juga kerapkali dipandang
sebagai proses (process-oriented approach).
Kendati demikian, belakangan ini prosess-oriented approach lebih
dominan. Penyebabnya, orientasi program dipandang lebih mampu
mengungkap pengalaman konsumsi secara keseluruhan dibandingkan
orientasi hasil. Orientasi proses menekankan perseptual, evaluatif, dan
psikologis yang berkontribusi terhadap terwujudnya kepuasan atau
28
ketidakpuasan pelanggan, sehingga masing-masing komponen signifikan
dapat ditelaah secara lebih spesifik (Hermanto, 2010).
b. Manfaat kepuasan
Beberapa manfaat kepuasan menurut Hermanto (2010) adalah:
1) Kepuasan pelanggan merupakan sarana untuk menghadapi
kompetisi di masa yang akan datang.
2) Kepuasan pelanggan merupakan promosi terbaik.
3) Kepuasan pelanggan merupakan asset perusahaan terpenting.
4) Kepuasan pelanggan menjamin pertumbuhan dan perkembangan
perusahaan.
5) Pelanggan makin kritis dalam memilih produk.
6) Pelanggan puas akan kembali.
7) Pelanggan yang puas mudah memberikan referensi.
2.1.4.2. Kepuasan Pelayanan (Service Satisfaction)
Kepuasan terhadap pelayanan akan dinyatakan melalui hal-hal sebagai
berikut (Satrianegara dan Sitti Saleha, 2009:141):
1) Komunikasi dari mulut ke mulut
Informasi yang diperoleh dari orang lain yang memperoleh
pelayanan yang memuaskan ataupun tidak, akan menjadi
informasi yang dapat digunakan sebagai referensi untuk
menggunakan atau memilih jasa pelayanan tersebut.
29
2) Kebutuhan pribadi
Masyarakat selalu membutuhkan pelayanan yang tersedia sebagai
kebutuhan pribadi yang tersedia pada waktu dan tempat sesuai
dengan kebutuhan. Masyarakat mengharapkan adanya kemudahan
dalam memperoleh pelayanan dengan baik.
3) Pengalaman masa lalu
Masyarakat yang pernah mendapatkan pelayanan yang
memuaskan akan kembali ke pelayanan yang terdahulu untuk
memperoleh layanan yang memuaskan sesuai dengan
kebutuhannya berdasarkan pengalaman masa lalu.
4) Komunikasi eksternal
Sosialisasi yang luas dari sistem pelayanan mengenai fasilitas,
sumber daya manusia, serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki
suatu organisasi atau perusahaan akan mempengaruhi pemakaian
jasa oleh masyarakat.
2.1.4.3. Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)
Konsep kepuasan masih bersifat abstrak. Pencapaian kepuasan dapat
merupakan proses yang sederhana maupun kompleks dan rumit. Peranan
setiap individu dalam pemberian service sangat penting dan berpengaruh
terhadap kepuasan yang dibentuk (Arief, 2007:166). Konsep kepuasan
menurut beberapa ahli:
30
a. Menurut Kotler (2008) kepuasan pelanggan adalah tingkat
perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja yang dia
rasakan atau alami terhadap harapannya.
b. Menurut Richard F. Gerson (Arief, 2007:167) kepuasan
pelanggan adalah jika harapannya telah terpenuhi atau terlampaui.
c. Menurut Hoffman dan Beteson (Arief, 2007:167) kepuasan
atau ketidakpuasan adalah perbandingan dari ekspektasi konsumen
kepada persepsi mengenai interaksi jasa (service encounter) yang
sebenarnya.
d. Wikkie (Tjiptono, 2007:349) mendefinisikan kepuasan
pelanggan sebagai tanggapan emosional pada evaluasi terhadap
pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa.
e. Menurut Wahyuddin dan Muryati (2001:191), ada dua pihak
yang terlibat dalam proses jasa atau pelayanan, yaitu penyedia
layanan (pelayan) dan pelanggan (yang dilayani). Dalam pelayanan
yang disebut pelanggan (customer) adalah masyarakat yang
mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan oleh organisasi
atau petugas dari organisasi pemberi layanan tersebut.
Kepuasan pelanggan terjadi setelah mengkonsumsi produk atau jasa
yang dibelinya. Pelanggan umumnya mengevaluasi pengalaman penggunaan
suatu produk atau jasa untuk memutuskan apakah mereka akan
menggunakan kembali produk atau jasa tersebut.
Satisfaction (kepuasan) berasal dari bahasa latin “satis” (artinya cukup
baik, memadai) dan “factio” (artinya melakukan atau membuat). Secara
31
sederhana, kepuasan dapat diartikan sebagai ‘upaya pemenuhan sesuatu’
atau ‘membuat sesuatu memadai’ (Tjiptono, 2005:349).
Menurut Kotler (2008:70) kepuasan pelanggan sebagai perasaan
senang atau kecewa seseorang terhadap suatu produk setelah ia
membandingkan hasil/prestasi produk yang dipikirkan terhadap kinerja atau
hasil produk yang diharapkan. Jika kinerja memenuhi harapan, maka itu
artinya pelanggan puas. Tetapi jika kinerja melebihi harapan pelanggan,
maka hal ini berarti pelanggan puas atau amat puas. Menurut Simamora
(2003:18), kepuasan pelanggan adalah hasil pengalaman terhadap produk.
Ini adalah sebuah perasaan pelanggan setelah membandingkan antara
harapan (prepurchase expectation) dengan kinerja aktual (actual
performance).
Berdasarkan kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan
merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di
bawah harapan, maka pelanggan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan
harapan, maka pelangan puas.
Dalam rangka mengembangkan suatu mekanisme pemberian layanan
yang memuaskan bagi pelanggan, maka perusahaan perlu mengetahui hal-
hal berikut:
1. Mengetahui apa yang pelanggan pikirkan tentang perusahaan,
pelayanan yang diberikan perusahaan dan pesaing.
2. Mengukur dan meningkatkan kinerja perusahaan
3. Mempergunakan kelebihan perusahaan dalam pemilihan pasar
32
4. Memanfaatkan kelemahan perusahaan dalam peluang
pengembangan, sebelum pesaing memulainya
5. Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap personil
mengetahui apa yang mereka kerjakan
6. Menunjukkan komitmen perusahaan terhadap kualitas dan
pelanggan
2.1.4.4. Elemen program Kepuasan Pelanggan
Menurut Tjiptono (2007:354) ada beberapa elemen kepuasan
pelanggan yaitu:
a. Kualitas produk dan jasa, perusahaan yang ingin
menerapkan program kepuasan pelanggan harus memiliki produk
berkualitas baik dan layanan prima. Biasanya perusahaan yang
tingkat kepuasan pelanggannya tinggi menyediakan tingkat
layanan pelanggan yang tinggi pula.
b. Program promosi loyalitas, program promosi loyalitas
banyak diterapkan untuk menjalin relasi antara perusahaan dari
pelanggan. Biasanya program ini memberikan semacam
‘penghargaan’ atau rewards khusus seperti bonus, voucher, diskon
dan hadiah yang dikaitkan dengan frekuensi pembelian atau
pemakaian produk atau jasa perusahaan kepada pelanggan yang
rutin agar tetap loyal pada produk atau jasa perusahaan.
c. Sistem penanganan keluhan, menurut Schnaars
(Tjiptono, 2007:355) penanganan komplain terkait erat dengan
33
kualitas produk dan jasa yang dihasilkan benar-benar berfungsi
sebagaimana mestinya sejak awal. Setelah itu, jika ada masalah
perusahaan segera berusaha memperbaikinya lewat system
penanganan komplain. Fakta menunjukkan bahwa kebanyakan
pelanggan mengalami berbagai macam masalah, setidaknya
berkaitan dengan konsumsi beberapa produk, waktu penyampaian,
atau layanan pelanggan. Oleh sebab itu, setiap perusahaan harus
memiliki sistem penanganan komplain yang efektif. Menurut
Tjiptono (2005:35) sistem penanganan komplain yang efektif
membutuhkan beberapa aspek yaitu:
1. Permohonan maaf kepada pelanggan atas
ketidaknyamanan
2. Empati terhadap pelanggan yang ramah
3. Kecepatan dalam penanganan keluhan
4. Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan masalah
atau keluhan
5. Kemudahan bagi konsumen untuk menghubungi
perusahaan (via saluran telepon bebas pulsa, surat, email,
fax, maupun tatap muka langsung) dalam rangka
menyampaikan komentar, saran, kritik, pertanyaan dan
komplain.
d. Garansi, strategi unconditional guarantees menurut
Hart (Tjiptono, 2007:356) mengungkapkan bahwa garansi
dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan program kepuasan
34
pelanggan. Garansi merupakan janji eksplisit yang disampaikan
kepada para pelanggan mengenai tingkat kinerja yang dapat
diharapkan akan mereka terima. Garansi yang baik harus memiliki
beberapa karakteristik pokok, seperti:
1. Tidak bersyarat, berarti tidak dibebani dengan berbagai
peraturan, ketentuan, atau pengecualian yang membatasi
atau menghambat kebijakan pengembalian atau
kompensasi.
2. Spesifik, yaitu perusahaan menjanjikan pengiriman sesuai
dengan kesepakatan perusahaan dan pelanggan.
3. Realistis, seperti pemberian garansi yang realistis dan
nyata.
4. Meaningful, mencakup aspek-aspek penyampaian jasa
yang penting bagi pelanggan
5. Dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti, maksudnya tidak dalam bahasa hukum yang
berbelit-belit.
e. Harga, untuk pelanggan yang sensitif biasanya harga
yang murah adalah sumber kepuasan, yang penting karena mereka
akan mendapatkan value for money yang tinggi. Namun bagi
pelanggan yang tidak sensitif terhadap harga, akan melihat hasil
jasa yang disampaikan perusahaan tersebut sesuai harga yang
mereka bayar.
35
Hanan dan Karp (1991) menyatakan bahwa untuk menciptakan
kepuasan pelanggan, suatu perusahaan harus dapat memenuhi kebutuhan
dan keinginan konsumen yang secara umum dibagi menjadi tiga kategori
sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan produk
� Kualitas produk, yaitu merupakan mutu dari semua
komponen-komponen yang membentuk produk, sehingga
produk tersebut memiliki nilai tambah
� Hubungan antara nilai sampai pada harga, merupakan
hubungan antara harga dan nilai produk yang ditentukan
oleh perbedaan antara nilai yang diterima oleh pelanggan
dengan harga yang dibayar oleh pelanggan terhadap suatu
produk yang dihasilkan oleh perusahaan
� Bentuk produk atau jasa, merupakan komponen-
komponen fisik dari suatu produk atau jasa yang
menghasilkan suatu manfaat.
� Keandalan, merupakan kemampuan dari suatu
perusahaan untuk menghasilkan produk yang sesuai
dengan apa yang dijanjikan oleh perusahaan.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan
� Jaminan, merupakan suatu jaminan yang ditawarkan
perusahaan untuk harga pembelian atau mengadakan
36
perbaikan terhadap produk atau jasa yang rusak setelah
pembelian
� Respon dari cara pemecahan masalah, merupakan sikap
dari karyawan dalam menanggapi keluhan serta masalah
yang dihadapi pelanggan
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pembelian
� Pengalaman karyawan, merupakan semua hubungan
antara pelanggan dengan karyawan khususnya dalam
komunikasi yang berhubungan dengan pembelian
� Kemudahan dan kenyamanan, yaitu segala kemudahan dan
kenyamanan yang diberikan oleh perusahaan terhadap
produk atau jasa yang dihasilkannya
2.1.4.5. Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Menurut Tjiptono (2005:366) ada beberapa konsep inti mengenai
objek pengukuran sebagai berikut:
a. Kepuasan pelanggan keseluruhan
Cara paling sederhana dalam mengukur kepuasan pelanggan
adalah langsung menanyakan langsung kepada pelanggan seberapa
puas mereka dengan produk atau jasa tertentu. Ada dua proses
dalam pengukurannya, yaitu mengukur tingkat kepuasan
pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan bersangkutan dan
menilai serta membandingkannya dengan tingkat kepuasan
pelanggan keseluruhan terhadap produk atau jasa pesaing
37
b. Harapan
Dalam konsep ini kepuasan pelanggan diukur berdasarkan
kesesuaian atau ketidaksesuaian antara harapan pelanggan dengan
kinerja perusahaan
c. Minat pembelian ulang
Kepuasan pelanggan diukur dengan menanyakan apakah
pelanggan akan berbelanja atau menggunakan jasa perusahaan
tersebut lagi
d. Kemudahan
Faktor kemudahan yang dimaksudkan adalah kemudahan
pelanggan dalam mendapatkan produk atau jasa tersebut.
Pelanggan akan semakin puas apabila relatif mudah dijangkau,
nyaman, dan efisien dalam mendapatkan produk maupun
pelayanan.
Menurut Tsiros et al. (2004), skala pengukuran kepuasan pelanggan
adalah sebagai berikut:
a. Kepercayaan pelanggan terhadap penyedia pelayanan
b. Kepuasan pelanggan terhadap karyawan yang memberikan
pelayanan
c. Kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan secara
keseluruhan
d. Kepuasan atas pengalaman interaksi pelanggan dengan penyedia
jasa
38
2.1.5 Niat Pembelian (Buying Intentions)
2.1.5.1 Pengertian Niat Pembelian
Niat membeli seringkali digunakan untuk menganalisa perilaku
konsumen. Sebelum melakukan pembelian, konsumen biasanya akan
mengumpulkan informasi tentang produk yang didasarkan pada
pengalaman pribadi maupun informasi yang berasal dari lingkungannya.
Setelah informasi dikumpulkan, maka konsumen akan mulai melakukan
penilaian terhadap produk, melakukan evaluasi serta membuat keputusan
pembelian setelah membandingkan produk serta mempertimbangkannya.
Niat pembelian oleh Ajzen dan Fishbein (2001) digambarkan
sebagai suatu situasi seseorang sebelum melakukan suatu tindakan yang
dapat dijadikan dasar untuk memprediksi perilaku atau tindakan tersebut.
Menurut Assael (1995:135) niat pembelian merupakan perilaku
yang muncul sebagai respon terhadap obyek yang menunjukkan
keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian. Beberapa pengertian
dari niat pembelian adalah sebagai berikut:
a. Niat beli juga mengindikasikan seberapa jauh orang mempunyai
kemauan untuk membeli.
b. Niat beli menunjukkan pengukuran kehendak seseorang dalam
membeli.
c. Niat beli berhubungan dengan perilaku membeli yang terus menerus.
Rossiter dan Percy dalam Nababan (2008:20) mengemukakan
bahwa minat beli merupakan instruksi diri konsumen untuk melakukan
39
pembelian atas suatu produk, melakukan perencanaan, mengambil
tindakan-tindakan yang relevan seperti mengusulkan (pemrakarsa),
merekomendasikan (influencer), memilih, dan akhirnya mengambil
keputusan untuk melakukan pembelian. Schiffman dan Kanuk (2007:49)
menyatakan bahwa motivasi sebagai kekuatan dorongan dari dalam diri
individu yang memaksa mereka untuk melakukan tindakan. Jika
seseorang mempunyai motivasi yang tinggi terhadap obyek tertentu,
maka dia akan terdorong untuk berperilaku menguasai produk tersebut.
Sebaliknya jika motivasinya rendah, maka dia akan mencoba untuk
menghindari obyek yang bersangkutan. Implikasinya dalam pemasaran
adalah untuk kemungkinan orang tersebut berminat untuk membeli
produk atau merek yang ditawarkan atau tidak. Dua teori yang digunakan
untuk melihat niat membeli konsumen, yaitu Theory Reasoned Action
(TRA) dan Theory of Planned Behavior (TPB).
2.1.5.2 Theory Reasoned Action (TRA)
TRA menyatakan bahwa perilaku didahului oleh niat dan niat
ditentukan oleh sikap keperilakuan serta norma subjektif secara individual
(Njite & Parsa 2005:45-46). The Theory Reasoned Action (TRA) yang
dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Summers et al
(2006:407) didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah rasional dan
membuat penggunaan informasi yang tersedia menjadi sistematis untuk
mereka.
40
Berdasarkan teori ini, niat beli seseorang ditentukan oleh dua faktor,
yaitu sikap berperilaku secara individu (individual’s attitude toward the
behavior) dan norma subjektif (subjective norm). Sikap berperilaku adalah
fungsi dari keyakinan yang menonjol (salient beliefs) yang menyatakan
bahwa perilaku memiliki beberapa atribut dan evaluasi dari keyakinan
tersebut. Norma subjektif merupakan fungsi dari keyakinan individu, secara
khusus individu atau kelompok berfikir bahwa mereka seharusnya atau tidak
seharusnya menyatakan perilaku dan motivasi individu untuk menuruti
referensi tersebut (Summers et al 2006:407).
Summers et al (2006:408) juga menemukan bahwa sebagian besar
peneliti yang menggunakan TRA hanya berfokus pada variabel utama yaitu
sikap keprilakuan (attitude toward the behavior) dan norma subjektif
(subjective norm), meskipun beberapa peneliti lairmya juga memasukkan
pengaruh variabel eksternal, seperti perdebatan, harga dan prestise sebagai
faktor eksternal yang mempengaruhi niat.
Theory of Reasoned Action yang dikembangkan oleh Fishbein &
Ajzen memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan terbesar dari teori ini
menurut Ajzen & Fisbein (1980:1) adalah orang merasa bahwa mereka
memiliki sedikit kekuatan atas sikap dan perilaku mereka. Untuk
menyeimbangkan teori ini, Ajzen menambahkan elemen ketiga yaitu kontrol
keprilakuan yang dirasakan (perceived behavioral control). Penambahan
elemen ini menghasilkan teori baru yang dikenal dengan The Theory of
Planned Behavior (Roslina, 2009).
41
2.1.5.3 Theory of Planned Behavior (TPB)
Alasan utama dari teori ini adalah perilaku pembelian tidak dibuat
secara spontan tetapi berhubungan dengan proses yang mempengaruhi
perilaku Walaupun secara tidak langsung yaitu sikap (attitude), norma
(norms), dan kontrol persepsi dari perilaku.
The Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1985) dalam Chiou et al
(2005:319) mendalilkan tiga konseptualisasi faktor independen yang
menentukan niat. Faktor pertama adalah sikap untuk bertindak (attitude
toward the act) dan tingkat dimana orang akan menyukai atau tidak
menyukai evaluasi atau menilai pertanyaan perilaku. Faktor kedua adalah
norma yang dirasakan (perceived norm) dan tekanan sosial yang dirasakan
untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku. Faktor ketiga adalah
kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control) dan tingkat
sumber dan kontrol perilaku yang dirasakan.
TPB merupakan perluasan dari The Theory of Reasoned Action
(TRA) Ajzen & Fishbein (1980) dengan menambahkan variabel baru untuk
memberikan perhatian pada konsep kemauan sendiri, dengan menambahkan
variabel kontrol keprilakuan yang dirasakan (perceived behavioural
control), dengan alasan beberapa perilaku tidak dalam kontrol penuh
seseorang, hal ini bisa disebabkan sumber daya yang dimiliki, kerjasama
dengan orang lain, dan kemampuan seseorang (Chiou et al, 2005:319).
Dalam TPB, norma subjektif dan kontrol keprilakuan yang
dirasakan (perceived behavioural control) bisa memperkuat atau
memperlemah niat seseorang untuk berprilaku. Jika terjadi perubahan-
42
perubahan pada norma subyektif dari konsumen tersebut dan
konsekuensinya dari perubahan yang tidak diharapkan itu akan turut
mempengaruhinya (Smith et al, 2008:312 dalam Roslina, 2009).
2.1.5.4 Pengukuran Niat Beli
Pengukuran niat beli dikemukakan oleh beberapa penulis dengan
menggunakan beberapa skala (Roslina, 2009), antara lain dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 2.1 Pengukuran Niat Pembelian
Peneliti Skala Pengukuran
Wu & Lo
(2009:l85)
Akan membeli pada harga yang sama
Akan merekomendasikan kepada teman untuk membeli
Akan membeli meskipun dengan harga yang lebih tinggi
Akan merekomendasikan kepada teman untuk membeli
meskipun dengan harga yang lebih tinggi
Lee et al
(2008:300)
Saya berniat untuk berulangkali membeli merek ini
Saya berniat untuk membeli merek ini lebih sering
Wu & Luan
(2007:ll)
Kemungkinan membeli produk
Keinginan untuk membeli produk
Ada kemungkinan saya akan mempertimbangkan
membeli produk
Saya akan mempertimbangkan membeli produk pada
harga yang ditunjukkan
43
Jika saya membeli produk saya akan
mempertimbangkan untuk membeli model yang
ditunjukkan harganya
Coombs & Holladay
(2007:306)
Kemungkinan saya membeli produk yang dibuat
organisasi ini sangat tinggi
Saya akan terus membeli produk yang dibuat oleh
organisasi ini pada tahun yang akan datang
Chandon et al.
(2005) dalam
Espejel et al. (2008)
Saya bermaksud untuk membeli produk ini lagi
Jika ada orang lain yang menyarankan saya untuk
membeli produk ini maka saya akan membeli
Saya akan membeli produk ini atas dorongan dari opini
diri saya sendiri
Saya hanya akan melakukan pembelian produk di toko
ini saja
Sumber : Penulis, 2013
2.2 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian yang berjudul “Customer Satisfaction in the First and
Second Moments of Truth” pada Journal of Product & Brand, Lofgren, Witell
dan Gustafsson (2008) menyatakan bahwa atribut-atribut dari moment of truth
akan berdampak kepuasan pelanggan dan juga loyalitas pada akhirnya.
44
Thomas Aichner (2012) mengatakan dalam penelitiannya yang berjudul
“The Zero Moment of Truth in Mass Customization” pada International Journal
of Industrial Engineering and Management menyatakan bahwa pada produk
kustomisasi masal (mass customization), zero moment of truth akan berpengaruh
bagi niat pembelian (buying intentions) melalui pengetahuan produk (product
knowledge), dan keterlibatan produk (product involvement).
Saha dan Theingi (2009) menyatakan dalam penelitiannya yang berjudul
“Service quality, satisfaction, and behavioural intentions: A study of low-cost
airline carriers in Thailand” pada Managing Service Quality bahwa dimensi
kualitas pelayanan memiliki peran yang penting dalam membentuk kepuasan
penumpang pesawat dan juga pembentukan niat perilaku mereka sesudahnya.
Mishra dan Sharma (2010) dalam penelitiannya yang berjudul
“Relationship between service quality, loyalty and cross-buying intention:
moderating role of perceived risk and alternative attractiveness” pada
International Journal of Strategic Management menyatakan bahwa pelanggan
akan memiliki niat untuk membeli ketika pelanggan menerima pelayanan dengan
kualitas terbaik dari yang ditawarkan oleh perusahaan.
Rahman, Haque dan Khan (2012) menyatakan dalam penelitiannya yang
berjudul “A Conceptual Study on Consumers’ Purchase Intention of Broadband
Services: Service Quality and Experience Economy Perspective” pada
International Journal of Business and Management bahwa aspek-aspek kualitas
45
pelayanan dan pengalaman ekonomi akan mempengaruhi perilaku pelanggan
dalam pembentukan niat pembelian layanan broadband.
Tat et al. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Consumers’
Purchase Intentions in Fast Food Restaurants: An Empirical Study on
Undergraduate Students” pada International Journal of Business and Social
Science menyatakan bahwa dari 5 dimensi kualitas pelayanan yang diuji,
assurance memiliki pengaruh yang paling besar terhadap kepuasan pelanggan
restoran siap saji. Hasil lainnya juga menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan
dapat mendorong terbentuknya niat pembelian.
Gounaris, Dimitriadis, dan Stathakopoulos (2010) menyatakan dalam
penelitiannya yang berjudul “An examination of the effects of service quality and
satisfaction on customers’ behavioral intentions in e-shopping” pada Journal of
Services Marketing bahwa kualitas pelayanan memiliki dampak positif terhadap
kepuasan pelanggan dan juga mempengaruhi niat perilaku seperti mengunjungi
ulang website, komunikasi word-of-mouth, dan pembelian ulang, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui kepuasan tersebut.